• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanggulangan Bencana dan peran pekerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penanggulangan Bencana dan peran pekerja"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II PEMBAHASAN

2.1Analisis Undang-undang tentang Penanggulangan Bencana A. Sistem Penanggulangan Bencana di Indonesia

Sistem penanggulangan bencana di Indonesia didasarkan pada kelembagaan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada waktu yang lalu, penanggulangan bencana dilaksanakan oleh satuan kerja-satuan kerja yang terkait. Dalam kondisi tertentu, seperti bencana dalam skala besar pada umumnya pimpinan pemerintah pusat/daerah mengambil inisiatif dan kepemimpinan untuk mengkoordinasikan berbagai satuan kerja yang terkait.

Dengan dikeluarkannya UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, maka terjadi berbagai perubahan yang cukup signifikan terhadap upaya penganggulangan bencana di Indonesia, baik dari tingkat nasional hingga daerah yang secara umum, peraturan ini telah mampu memberi keamanan bagi masyarakat dan wilayah Indonesia dengan cara penanggulangan bencana dalam hal karakeristik, frekuensi dan pemahaman terhadap kerawanan dan risiko bencana.

Sejak tahun 2001, Pemerintah Indonesia telah memiliki kelembagaan penanggulangan bencana seperti tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2001. Rangkaian bencana yang dialami Indonesia khususnya sejak tsunami Aceh tahun 2004 telah mendorong pemerintah memperbaiki peraturan yang ada melalui PP No. 83 tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas-PB). Rangkaian bencana yang terus terjadi mendorong berbagai pihak termasuk DPR untuk lebih jauh mengembangkan kelembagaan penanggulangan bencana dengan mengeluarkan UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di dalam UU tersebut, diamanatkan untuk dibentuk badan baru, yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggantikan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas-PB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menggantikan Satkorlak dan Satlak di daerah.

Sistem pendanaan penanggulangan bencana dalam mekanisme Bakornas PB dilaksanakan melalui anggaran masing-masing

departemen/satuan kerja pemerintah. Apabila dalam pelaksanaan terdapat kekurangan, maka pemerintah melalui ketua Bakornas PB dapat melakukan alih anggaran dan mobilisasi dana. Pada mekanisme tersebut, peranan masyarakat dan lembaga donor tidak terintegrasi dengan memadai. Dengan adanya perubahan sistem khususnya melalui BNPB dan BPBD maka alokasi dana untuk penanggulangan bencana, baik itu di tahap mitigasi hingga rehabilitasi dan rekonstruksi tetap memiliki alokasi yang cukup melalui BNPB maupun BPBD. Sementara aturan tentang dana cadangan juga sudah diatur oleh UU, namun belum memiliki aturan main yang jelas. Pemerintah perlu merumuskan aturan main ini dengan segera untuk menghindari kemungkinan penyalahgunaan dan juga menyusun mekanisme pencairan terutama untuk dana cadangan tingkat daerah.

Namun demikian besar alokasi anggaran untuk bencana masih akan menjadi tanda tanya di kemudian hari mengingat alokasi ini diserahkan kepada kemampuan keuangan daerah, sehingga besar kemungkinan daerah rawan bencana, namun kemampuan keuangan lemah tetap akan mengalokasikan dana untuk penanggulangan bencana seadanya, sehingga akan menimbulkan potensi bencana yang lebih besar lagi. Untuk itu pemerintah perlu mengambil kebijakan tertentu untuk wilayah dengan PAD yang kecil namun memiliki potensi bencana yang cukup besar.

(2)

B. Asas , Landasan dan Struktur Pembentukan

Asas pembentukan Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana berdasarkan :

1. Asas-asas

Penanggulangan Bencana menganut asas :  Kemanusiaan

Yang dimaksud asas kemanusiaan termanifetasi dalam penanggulangan bencana sehingga undang-undang ini memberikan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara profesional.

 Keadilan

Bahwa setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali

 Kesamaan kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan.

Bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencan tidak boleh berisi hal-hal yang mebedakan latar belakang antara lain , agama , suku , ras ,golongan , gender , atau status sosial.

 Keseimbangan

Bahwa setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencanaMencerminkan keseimbangan kehidupan sosial dan lingkungan.  Keselarasan

Bahwa setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencanamencerminkan keselarasan tata kehidupan dan lingkungan  Keserasian

Bahwa setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencanaMencerminkan keserasian lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.

 Ketertiban dan Kepastian Hukum

SISTEM LAMA SISTEM BARU

Dasar Hukum Bersifat sektoral Berlaku umum dan mengikat seluruh departemen, masyarakat dan lembaga non pemerintah

Paradigma Tanggap darurat Mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi

Lembaga Bakornas PB,

Satkorlak dan Satlak

BNPB, BPBD PROPINSI, BPBD Kab/Kota

Peran

Masyarakat Terbatas Melibatkan masyarakat secara aktif

Pembagian Tanggung Jawab

Sebagian besar pemerintah pusat

Tanggung jawab pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten

Perencanaan Pembangunan

Belum menjadi bagian aspek perencanaan pembangunan

Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana (RAN PRB)

• Rencana

Penanggulangan Bencana (RPB) • Rencana Aksi Daerah Pengurangan Resiko Bencana (RAD PRB)

Pendekatan Mitigasi

Kerentanan Analilsa resiko (menggabungkan antara kerentanan dan kapasitas)

Forum kerjasama antar pemangku

kepentingan

Belum ada National Platform (akan) Provincial Platform (akan) Alokasi

Anggaran

Tanggung jawab pemerintah pusat

Tergantung pada tingkatan bencana

Pedoman Penanggulangan Bencana

Terpecah dan bersifat sektoral

Mengacu pada pedoman yang dibuat oleh BNPB dan BPBD

Keterkaitan

(3)

Bahwa setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencanaharus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

 Kebersamaan

Bahwa setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencanapada dasarnya menjadi tugas dan tanggungjawab bersama Pemerintah dan masyarakat yang dilakukan secara gotong royong.

 Kelestarian Lingkungan Hidup

Bahwa setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencanamencerminkan kelestarian lingkungan untuk generasi sekarang dan untuk generasi yang akan datang demi kepentingan bangsa dan negara.

 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Bahwa setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencanaharus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal mempermudah dan mempercepat proses penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi bencana maupun pada tahap pasca bencana.

2. Landasan Fisiolofis

Didalam sila ke-5 Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 secara jelas dinyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi dasar salah satu filosofis pembangunan bangsa , karenanya setiap warga Negara Indonesia berhak atas Kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya . Agar keadilan dan kesejahteraan sosial ini dapat dicapai , maka setiap warga Negara Indonesia berhak dan wajib sesui kemampuannya masing – masig untuk sebanyak munkin ikut serta dalam usaha kesejahteraan sosial .

Untuk mencapai situasi dan kondisi yang berkeadilan sosial maka urusan kepemerintahan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1045 dalam alinea IV Pembukaan UUD 45 yaitu : melindungi segenap bangsa Indonesia dan Seluruh tumpah darah Indoneisa , memajukan kesejahteraan umum , mencerdaskan kehidupan bangsa , dan ikut serta melaksanakan keetertiban dunia berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi dan keadilan sosial. 3. Landasan Yuridis

Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945;

4. Landasan Sosiologis

Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat rawan bencana. Berdasarkan data dari Badan Metereologi dan Geofisika Indonesia, hampir semua pulau besar di Indonesia (kecuali Kalimantan) berpotensi besar terhadap gempa dan tsunami. Daerah-daerah yang memiliki gunung api yang masih aktif berpotensi terhadap bencana gunung meletus. Fenomena Alam seperti cuaca ekstrim cenderung menyebabkan berbagai bencana lainnya, seperti kemarau yang berkepanjangan sehingga terjadi kekeringan atau curah hujan yang sangat tinggi yang dapat menyebabkan banjir.

Masyarakat yang tinggal di Daerah Rawan Bencana seperti penduduk di sekitar gunung Merapi atau gunung Kelud maupun masyarakat yang menjadi korban akibat bencana seperti korban tsunami di Aceh atau korban bencana lumpur di Sidoarjo membutuhkan bantuan yang komperehensif. Korban Bencana Alam menghadapi situasi dan kondisi yang sangat kompleks, baik secara fisik maupun psikologis dan sosial. Korban bencana yang mengalami kerugian harta benda seringkali menyebabkan mereka menjadi miskin sedangkan kehilangan anggota keluarga atau peristiwa pada saat bencana seringkali menyebabkan perasaan kekhawatiran, ketakutan bahkan trauma yang berkepanjangan. 2.2 Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana Nasional

Dari hasil evaluasi yang dilakukan terhadap implementasi sistem penanggulangan bencana pada tingkat nasional masih banyak ditemukan berbagai isu dan permasalahan yang cukup penting dan membutuhkan penanganan segera seperti tertera dalam uraian berikut ini:

A. Kebijakan

1. Definisi dan Status Bencana

(4)

pada sistem penganggaran serta pendanaan kegiatan penanggulangan bencana serta sumber dari dana penanggulangan, apakah yang berasal dari APBD Kabupaten/kota, provinsi atau APBN.

2. Kelengkapan Perangkat Aturan Pelaksana

Masih banyak aturan pelaksana penjabaran dari UU No. 24/2007 yang belum dibuat, sehingga menghambat implementasi berbagai sistem Penanggulangan Bencana yang diatur dalam Undang-undang. Disamping itu, masih terdapat berbagai aturan yang saling tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada, misalnya dengan aturan tata ruang, aturan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, peraturan yang terkait dengan keuangan dan lain-lain. Masalah lainnya yang juga cukup penting dalam upaya mengarusutamakan penanggulangan bencana ke dalam sistem perencanaan pembangunan adalah belum adanya integrasi kebijakan penanggulangan bencana dengan kebijakan lainnya, seperti kebijakan untuk masalah kemiskinan, otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam.

3. Kelembagaan

Disamping isu tersebut di atas masih terdapat beberapa isu kelembagaan yang harus segera diselesaikan dan cenderung menghambat proses implementasi sistem penanggulangan bencana, karena beberapa pertimbangan berikut:

Dengan status lembaga setingkat menteri (BNPB), banyak instansi K/L yang meragukan pelaksanaan tata komando ketika terjadi bencana dapat terlaksana secara efektif di lapangan.

Proses seleksi anggota Unsur Pengarah diperkirakan akan akan memakan waktu lama, belum lagi masalah kualitas SDM yang terbatas, sistem penggajian yang belum jelas, dan kewenangan dalam mengintervensi kebijakan Unsur Pelaksana serta peran unsur pengarah dengan lembaga teknis lainnya yang berada di luar BNPB.

Fungsi “Pelaksana” dari BNPB punya kecendrungan untuk berbenturan dengan fungsi departemen-departemen teknis lainnya yang terkait dengan penanggulangan bencana.

Fungsi koordinasi antara BNPB dan BPBD akan cendrung sulit dilaksanakan secara efektif, karena BPBD sebagai

perangkat daerah akan tunduk kepada Kepala Daerah dan Anggaran Daerahnya masing-masing.

B. Strategi Dan Operasi

Beragam masalah yang ditemukan pada sektor strategi dan operasi penanggulangan bencana untuk tingkat nasional adalah sebagai berikut :

Lemahnya legalitas Implementasi RAN-PRB agar dilaksanakan secara konsisten

oleh Departemen Teknis erkait.

Belum ada mekanisme untuk mengintegrasikan RAN-PRB ke dalam dokumen

RPJMN, sehingga belum dijadikan acuan dalam menyusun program dan kegiatan terkait dengan kebencanaan.

Belum ada relasi (mandat) yang jelas antara RAN-PRB dengan RAD-PRB.

Masih banyak pedoman teknis (termasuk Protap-Protap) tersebar di berbagai

departemen (sektor) yang belum memiliki kesamaan standarisasi.

2.3 Evaluasi Sistem Dan Implementasi Penanggulangan Bencana Daerah Apa yang terjadi pada tingkat nasional tentu saja akan mempengaruhi proses implementasi kebijakan tingkat daerah. Dari hasil evaluasi yang dilakukan maka terdapat berbagai temuan sebagai berikut: 1. Temuan Hasil Suervey Di Daerah

Dari tujuh provinsi yang telah dikunjungi, kebijakan yang dikembangkan oleh ketujuh propinsi tersebut memiliki karakteristik yang unik seperti dapat dipaparkan dalam matrik berikut:

A. Kebijakan dan Peraturan

Temuan di lapang memperlihatkan bahwa secara umum di daerah terdapat dua kondisi dalam penyusunan kebijakan penanggulangan bencana (Rencana Penanggulangan Bencana/RPB dan Rencana Aksi Daerah/RAD), yaitu:

 Daerah yang belum memiliki kebijakan PB.

(5)

UU No. 24/2007 dan daerah yang kebijakan disusun sendiri sesuai dengan kebutuhan lokal.

Daerah yang belum memiliki kebijakan PB pada umumnya mengemukakan beberapa penjelasan seperti berikut:

 Belum ada sosialisasi yang menyeluruh pada SKPD yang terkait.

 Ketidakjelasan siapa yang harus memulai.

 Masih adanya tumpang tindih dengan peraturan-peraturan lain yang terkait.

 Ketidakjelasan aspek keuangan yang akan muncul bila kebijakan dikeluarkan.

 Urgensi dan prioritas daerah yang berbeda sehingga kebijakan PB yang khusus

dirasakan belum mendesak.

 Kesulitan komunikasi dengan lembaga pengambil kebijakan (DPRD) untuk mengalokasikan dana guna membiayai program pengembangan kebijakan PB.

Daerah-daerah yang sudah memiliki kebijakan PB pada umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu:

Terjadinya bencana alam yang besar.

Inisiasi aktif dari pelaku lembaga non pemerintah, yaitu lembaga internasional

(UNDP, JICA, GTZ) maupun lembaga nasional (akademisi, LSM, PMI,

perusahaan).

Gelombang kesadaran perlunya kebijakan PB mengemuka terutama setelah terjadinya bencana tsunami di Aceh tahun 2004 diikuti berbagai bencana lain. Proses perumusan kebijakan PB pada daerah-daerah bencana pada umumnya merupakan bagian dari proses penanganan bencana yang terjadi. Hal ini menyebabkan berbagai kebijakan PB di daerah disusun sebelum UU No. 24/2007 dikeluarkan. Sebagai akibatnya berbagai kebijakan PB di daerah memiliki format dan isi yang berbeda dengan yang dimaksudkan dalam UU No. 24/2007.

B. Strategi dan Operasi

Strategi dan operasi Penanggulangan Bencana (PB) yang pada saat ini dilaksanakan di daerah pada umumnya masih menggunakan

mekanisme yang saat ini ada, yaitu Satkorlak dan Satlak. Mekanisme ini masih dipakai, karena beberapa alasan:

 Jenis dan tingkat bencana masih dapat ditangani oleh mekanisme yang ada.

 Mekanisme yang ada masih dapat dioptimalkan dengan beberapa penyesuaian

seperti alokasi dana yang memadai.

 Belum adanya informasi mengenai arah PB ke depan.

 Belum adanya kelembagaan dan mekanisme baru yang jelas. Upaya pengembangan strategi dan operasi PB di daerah dilakukan dengan melakukan optimalisasi mekanisme dan fungsi yang ada. Beberapa daerah berpandangan lebih efektif untuk mengoptimalkan mekanisme yang ada dan mendorong SKPD menjalankan tupoksinya secara optimal. Agar hal ini dapat berjalan, pada umumnya menuntut beberapa hal seperti keterlibatan kepala daerah yang tinggi, penunjukan pimpinan satkorlak/satlak serta dinas yang tepat, alokasi anggaran yang memadai.

2. Isu dan Masalah Sistem Penanggulangan Bencana di Tingkat Pemerintah Daerah

Di satu sisi kebijakan sistem penanggulangan bencana di daerah telah mampu menghasilkan berbagai dampak positif seperti berikut ini:

 Terbentuknyasistem dan tangggung jawab baru bagi daerahdalam urusan

Penanggulangan Bencana dengan mulai disusunnya sejumlah rencana dan

peraturan terkait dengan penanggulangan bencana tingkat daerah.

 Pemerintah Daerah mulai“melek” tentang Pengurangan Risiko Bencana (PRB),

terutama dari sisi mitigasi.

 Pemerintah Daerah mulai memfokuskan diri untukmembentuk lembaga baru

(6)

adapula Daerah-Daerah yang belum menyadari pentingnya sistem penanggulangan daerah bagi wilayahnya.

Namun di sisi lain masih terdapat berbagai permasalahan yang membutuhkan pemecahan seperti berikut ini:

A. Kebijakan dan Peraturan

 Ketiadaan definisi yang jelas tentang penetapan ukuran kejadian yang dapat

dikategorikan bencana, akan mempengaruhi arah kebijakan Pemerintah Daerah dalam urusan Penanggulangan Bencana, termasuk penganggaran.

 Belum ada aturan yang jelas tentang penetapan status bencana (nasional,

provinsi, dan kabupaten/kota) juga mempengaruhi Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber pendanaan penanggulangan bencana terutama yang berasal dari APBD dan DAK.

 Belum ada aturan yang jelas tentang kewenangan siapakah yang dapat melakukan

penetapan status bencana.

B. Kelengkapan Aturan Pelaksana

 Karena masih banyak aturan pelaksana yang bersifat teknis dan operasional

yang belum dibuat di tingkat pusat (nasional), sehingga menimbulkan kebingungan Pemerintah Daerah dalam mengimplementasikan berbagai aturan pelaksana penanggulangan bencana.

 Masih banyak aturan yang saling tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada,

terutama aturan setingkat perda.

 Belum adanya integrasi kebijakan penanggulangan bencana dengan kebijakan

lainnya, khususnya sesuai dengan karateristik daerahnya masing- masing, seperti masalah kemiskinan, kebakaran Hutan, dan pengelolaan sumber daya alam.

 Kurangnya sosialisasi tentang kebijakan Penanggulangan Bencana.

3. Pembentukan Kelembagaan di Daerah

Dalam UU No. 24 tahun 2007 dinyatakan bahwa untuk daerah akan dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk menggantikan fungsi Satkorlak dan Satlak. Hal ini menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan seperti yang dijelaskan di bawah ini: Matrik Perbandingan Kelembagaan Satkorlak-Satlak & BPBD

Aspek Satkorlak-Satlak BPBD

Status Bukan merupakan SKPD

 Satkorlak (provinsi)

 Satlak (kabupaten/kota)

Merupakan SKPD

 BPBD (provinsi)

 BPBD (kabupaten/kota) Wewen

ang

pembentukan

Gubernur (provinsi) Bupati/Walikota (kabupaten/kota)

Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD

Pimpin an di daerah

Gubernur (propinsi) Bupati/Walikota (kabupaten/kota)

Kepala Badan

Dalam kaitan dengan pembentukan BPBD seperti yang diamanatkan oleh UU No. 24 tahun 2007, pemerintah daerah mengemukakan beberapa hal yang menjadi faktor penghambat, antara lain, yaitu:

 Pada beberapa daerah, Pemerintah Daerah telah mengambil inisiatif untuk mengajukan usulan pembentukan BPBD namun dalam proses pengambilan putusan bersama dengan DPRD, usulan tersebut tidak menjadi prioritas.

 Beberapa pengambil kebijakan di daerah tidak merasakan adanya kebutuhan pengembangan kelembagaan penanggulangan bencana baik, karena dianggap bencana besar belum terjadi maupun bila bencana besar sudah terjadi tidak akan terjadi lagi dalam jangka waktu dekat.

(7)

 Tidak semua daerah bersedia membentuk BPBD dimana “Sekdanya” merangkap jabatan (benturan eselonisasi).

 Proses seleksi anggota Unsur Pengarah untuk BPBD provinsi dan kabupaten/kota juga memakan waktu lebih lama, karena kualitas SDM yang sangat terbatas, terutama di tingkat kabupaten, serta sistem penggajian yang belum jelas, dan kewenangan dalam mengintervensi kebijakan Unsur Pelaksana (dan kaitan lembaga teknis lain) yang belum terdeskripsi.

 Fungsi “Pelaksana” dari BPBD punya kecendrungan untuk berbenturan dengan fungsi dinas-dinas teknis lainnya yang terlait dengan bencana

 Fungsi koordinasi antara BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota akan cendrung sulit dilaksanakan secara efektif, karena BPBD sebagai perangkat Daerah akan tunduk kepada Kepala Daerah dan Anggaran Daerahnya masing-masing

4. Strategi Dan Operasi Penanggulangan Bencana Di Daerah

 Masih banyak bias yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam menerjemahkan legalitas Implementasi dokumen RPB maupun RAD-PRB .

 Belum ada mekanisme untuk mengintegrasikan RAD-PRB ke dalam dokumen RPJMD, sehingga belum dijadikan acuan dalam menyusun program dan kegiatan terkait dengan kebencanaan.  Belum ada panduan yang jelas untuk menyusun dokumen RPB

maupun RAD-PRB sehingga terdapat variasi dalam pemahaman dan penyusunannya.

 Masih banyak pedoman teknis (termasuk Protap-Protap) tersebar di berbagai departemen dan sektor yang belum memiliki kesamaan stadarisasi.

 Jenis dan tingkat bencana masih ditangani oleh mekanisme yang lama (ketanggap daruratan saja).

 Alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana masih memakai mekanisme lama, yaitu diambil dari “dana tak tersangka” yang birokrasinya tidak mudah dan makan waktu.

 Keterlambatan bantuan dan timbulnya bias dalam jumlah korban dan kerugian masih mendominasi dalam persoalan tanggap darurat yang dilakukan Pemerintah Daerah.

2.4 Keterkaitan UU NO. 24 tahun 2007 dengan Pekerja Sosial

Ruang Lingkup Kelompok Pengungsi Bencana Alam yang diasumsikan menjadi calon penerima pelayanan Pekerjaan Sosial dalam bahasan ini adalah masyarakat di sekitar gunung Kelud. Sebagaimana diketahui bahwa untuk menghindari atau meminimalisir kerugian harta benda dan korban jiwa maka Pemerintah telah menerapkan kebijakan untuk mengevakuasi masyarakat di sekitar gunung Kelud ke daerah-daerah yang relatif aman dari bahaya letusan gunung tersebut.

1. TEORI-TEORI YANG MENDASARI

Teori-teori, pendekatan, pandangan dan strategi yang digunakan dalam praktek Pekerjaan Sosial dengan pengungsi korban bencana alam adalah sebagai berikut :

A. Pandangan Socialist – Collectivist Views

Pekerja Sosial mencari kerja sama dan saling mendukung dalam masyarakat sehingga orang-orang yang paling tertindas dan tidak beruntung dapat memperoleh kekuatas atas kehidupan mereka sendiri.

Pekerjaan Sosial memfasilitasi dengan memberdayakan orang untuk mengambil bagian dalam proses belajar dan bekerja sama yang menciptakan lembaga-lembaga yang dapat dimiliki semua dan berpartisipasi di dalamnya.

B. Pendekatan

Pendekatan Konstruksi Sosial

Realitas adalah pengetahuan yang membimbing perilaku manusia tetapi setiap orang bisa saja mempunyai pandangan yang berbeda terhadap realitas tersebut.

Kita mencapai pandangan bersama tentang realitas dan membagi pengetahuan kita melalui berbagai proses sosial yang mengorganisirnya dan menjadikannya obyektif.

Pendekatan Partisipatif

Pendekatan ini penting karena setiap orang ingin dan punya hak untuk terlibat dalam keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan mereka.

(8)

Pendekatan ini meningkatkan akuntabilitas, menjadikan pelayanan menjadi lebih efisien dan membantu mencapai tujuan-tujuan pekerjaan sosial (juga membantu untuk menentang diskriminasi yang terlembaga).

C. Teori atau Model

Belajar Sosial (Social Learning Theory)

Kebanyakan belajar diperoleh melalui persepsi dan fikiran manusia tentang apa yang dialaminya. Manusia belajar dan meniru contoh orang lain yang di sekitarnya.

Teori Komunikasi

Manusia melakukan suatu tindakan dengan merespon suatu informasi yang telah diterima. Informasi tersebut dapat berupa fakta atau hal-hal lain yang mungkin dipelajari.

Setiap orang mempunyai aturan sendiri-sendiri dalam memproses informasi untuk memisahkan mana yang penting dan mana yang tidak.

Teori Intervensi Krisis

Setiap orang, kelompok dan organisasi mengalami krisis.

Peristiwa-peristiwa berbahaya adalah masalah utama atau serangkaian kesulitan yang menimbulkan krisis. Peristiwa-peristiwa tersebut ada yang dapat diantisipasi dan ada yang tidak dapat diantisipasi (misalnya kematian, bencana, perang dll). Keadaan rentan pada saat terjadi peristiwa berbahaya menyebabkan manusia kehilangan keseimbangan (kemampuan untuk mengatasi hal-hal yang terjadi).

Teori Interaksional

Manusia hidup dalam konteks sosial. Relasi dan masalah klien tidak pernah terlepas dari konteks sosial dan konflik selalu berubah.

Pekerja Sosial melakukan mediasi interaksi di antara klien atau individu atau kelompok agar fungsi sosialnya meningkat.

Teori Fokus pada Solusi

Meningkatkan fungsi sosial dan memfasilitasi perubahan bagi klien dengan membantu mereka dalam mengidentifikasi dan mengembangkan berbagai tindakan yang relevan dengan masalah yang sedang dihadapi.

D. Strategi Advokasi

Usaha untuk mewakili kepentingan-kepentingan klien yang tidak berdaya terhadap individu-individu yang kuat dan struktur sosial. Pemberdayaan

Usaha untuk membantu klien memperoleh kekuatan dari keputusan dan tindakan atas kehidupan mereka sendiri dengan mengurangi akibat dari hambatan sosial dan pribadi untuk melaksanakan kekuatan yang ada yang dilakukan dengan meningkatkan kemampuan dan keyakinan diri untuk menggunakan kekuatan tersebut serta memindahkan kekuatan dari lingkungan kepada klien.

2. MODEL-MODEL PELAYANAN BAGI KELOMPOK PENGUNGSI

Secara umum, permasalahan pengungsi sejak masa pra bencana sampai dengan pasca bencana hampir sama namun model-model pelayanan yang diberikan tidak dapat diseragamkan. Pemberian pelayanan dapat diberikan secara generalis untuk jenis masalah tertentu namun untuk kasus-kasus tertentu diperlukan model pelayanan yang khusus pula. Model-model pelayanan bagi pengungsi korban bencana alam dalam masing-masing tahapan adalah sebagai berikut :

A. Tahap Pra Bencana

Pada tahap ini, pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah dan semua pihak termasuk profesi Pekerjaan Sosial bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana yang sudah diperkirakan. Langkah-langkah dan kegiatan yang dilaksanakan antara lain :

- Pendataan Daerah Rawan Bencana - Pendataan Masyarakat

- Inventarisasi dan penyediaan kebutuhan sarana dan prasarana penanggulangan bencana (bahan makanan, bahan sandang, kamp penampungan, sarana pelayanan kesehatan dan sarana penunjang lainnya).

- Memberikan penyuluhan mengenai bahaya dan kerugian yang ditimbulkan oleh bencana serta upaya meminimalisir kerugian yang mungkin timbul.

- Memberikan latihan dan simulasi bagi masyarakat dalam menghadapi kejadian bencana

(9)

- Memindahkan atau mengevakuasi masyarakat ke lokasi yang telah ditetapkan.

Dalam tahap ini praktek Pekerjaan Sosial perlu melakukan intervensi terhadap keluarga-keluarga yang enggan untuk mengungsi karena berbagai alasan. Penguatan kapabiltas kelompok dengan menggunakan pengaruh stakeholder juga sangat diperlukan. Pada kasus pra bencana di gunung Kelud, sebagian masyarakat menolak untuk dievakuasi sekalipun sudah dihimbau oleh Tokoh Masyarakat yang ada.

Bagi masyarakat yang bersedia untuk dievakuasi ke daerah yang aman diberikan pelayanan-pelayanan yang sesuai, antara lain : 1. Advokasi

Yaitu memberikan perlindungan dan mewakili kepentingan pengungsi melakukan koordinasi dengan pihak terkait (utamanya Pemerintah) agar hak-hak pengungsi dan kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan layak.

2. Mediasi

Yaitu membantu pengungsi dalam berhubungan dengan sistem sumber yang berkompeten dalam memenuhi kebutuhannya. 3. Membentuk Kelompok-kelompok Bantu Diri (Self Help) Pembentukan kelompok ini dimaksudkan agar pengungsi dapat saling mendukung di antara mereka sendiri dalam menghadapi situasi dan kondisi kehidupan di kamp penampungan, memikirkan dan merencanakan alternatif-alternatif pemecahan masalah dan langkah-langkah yang ditempuh apabila bencana benar-benar terjadi dan menginventarisasi kebutuhan maupun sistem sumber yang diharapkan dapat membantu untuk pelaksanaannya.

4. Partisipasi

Yaitu melibatkan pengungsi dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di kamp pengungsian, seperti dapur umum, membangun fasilitas umum atau perbaikan sanitasi lingkungan atau menciptakan beberapa kegiatan baru, misalnya latihan-latihan keterampilan yang sederhana, melibatkan para orang tua untuk ikut mendirikan dan mengajar di sekolah tenda dan sebagainya. Kegiatan ini bertujuan agar pengungsi dapat mengalihkan perasaan-perasaannya yang negatif (cemas, takut, dll) menjadi perasaan positif dalam kegiatan yang sifatnya gotong royong dan konstruktif.

Metoda yang digunakan dalam tahap ini adalah Pengorganisasian Masyarakat (Community Organization) dan Pekerjaan Sosial dengan Kelompok (Social Group Work).

B. Tahap Kejadian (Tanggap Darurat)

Pada tahap ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah : - Evakuasi

- Pemberian bantuan bahan makanan, sandang dan penampungan sementara, dll bagi masyarakat yang sebelumnya menolak dievakuasi.

- Menambah stok kebutuhan pengungsi - Meningkatkan pelayanan kesehatan.

Dalam tahap ini yang paling utama yang perlu dilakukan oleh Pekerja Sosial adalah berempati terhadap korban bencana, melakukan pendataan terhadap pengungsi-pengungsi baru dan bekerja sama dengan semua pihak untuk menempatkan pengungsi di kamp-kamp yang sudah disediakan dan memastikan agar mereka berkumpul dengan keluarganya serta semua kebutuhannya terpenuhi.

Dalam kegiatan ini profesi Pekerjaan Sosial biasanya tidak dapat menjadi Leading Sector karena dalam semua kasus bencana termasuk di Indonesia, peran Pemerintah (Satuan Penanggulangan Bencana yang terdiri dari Dinas Kimpraswil, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, BMG, TNI, POLRI dan Instansi terkait lainnya) lebih dominan. Pekerjaan Sosial dapat mengambil posisi penting sebagai manajer kasus apabila mempunyai data yang lengkap dan akurat mengenai jumlah pengungsi dan berbagai kebutuhannya mulai pada masa pra bencana, mempunyai rencana program dan kegiatan penanggulangan yang memungkinkan untuk dilaksanakan serta dapat meyakinkan semua pihak terkait untuk melaksanakannya secara terkoordinasi. Metode yang digukan pada tahap ini adalah Pengorganisasian Masyarakat.

C. Tahap Pasca Bencana

1. TAHAP REHABILITASI DAN PEMULIHAN

(10)

rehabilitasi dan pemulihan dapat dilanjutkan di daerah asal masing-masing pengungsi atau di tempat tinggal mereka yang baru apabila mereka direlokasi.

Peran Pekerjaan Sosial dalam tahap ini sangat penting karena permasalahan yang timbul akan menjadi lebih kompleks bila bencana yang terjadi juga menimbulkan korban jiwa. Peran Pemerintah pada tahap ini lebih ditujukan pada pemenuhan kebutuhan makan minum pengungsi dan sarana penunjang di kamp penampungan.

Pasca kejadian bencana, Pekerja Sosial perlu membiarkan para korban bencana alam atau pengungsi untuk beberapa waktu (1 – 3 hari) untuk meluapkan perasaan-perasaannya (marah, sedih, kecewa), mencari atau dikunjungi kerabatnya, menenangkan diri dan mulai beradaptasi dengan situasi dan kondisi di kamp penampungan. Model pelayanan yang dilakukan oleh Pekerja Sosial yaitu :

a. Advokasi

Yaitu memastikan agar semua kebutuhan pengungsi dapat terpenuhi secara layak dan memadai. Kebutuhan-kebutuhan yang belum mencukupi dikomunikasikan dengan pihak Pemerintah dan pihak-pihak lainnya agar dapat disediakan.

b. Intervensi Keluarga

Pelayanan ini utamanya dilakukan apabila keluarga yang bersangkutan mengalami kehilangan anggota keluarga (meninggal) atau ada anggota keluarga yang sakit fisik (karena terkena material letusan gunung atau benda-benda lainnya) atau mengalami keguncangan.

c. Terapi Krisis

Pelayanan ini diberikan kepada individu-individu yang mengalami stress atau trauma karena kejadian bencana itu sendiri, karena kehilangan harta bendanya atau karena kehilangan anggota keluarganya.

d. Partisipasi

Seperti halnya pada tahap pra bencana maka pada masa pasca bencana pengungsi perlu dilibatkan dalam berbagai kegiatan di kamp penampungan (dapur umum, latihan keterampilan, dll) untuk mengalihkan perasaan-perasaannya yang negatif.

e. Menyusun Rencana Pemulihan bersama-sama dengan Pengungsi

Kegiatan ini adalah penyusunan alternatif rencana pemulihan yang akan dilakukan pengungsi pada saat kembali ke tempat tinggalnya semula atau ke lokasi yang baru. Pekerja Sosial perlu memberi gambaran dan membantu pengungsi untuk meningkatkan kesiapan mental dan sosialnya dalam menghadapi situasi terburuk yang mungkin akan dihadapi di daerah asalnya atau di lokasi yang baru. Umumnya pengungsi korban bencana alam telah mengetahui dan pasrah kehilangan tempat tinggal di daerah asalnya namun pada saat mereka melihat sendiri kerusakan yang terjadi maka tidak dapat dihindari akan timbul perasaan-perasaan kecewa, sedih yang mendalam dan putus asa.

f. Mediasi

Pekerja Sosial melakukan mediasi antara pengungsi dan Pemerintah atau pihak-pihak lain agar rencana pemulihan yang telah disusun oleh pengungsi dapat dilaksanakan secara sinkron dengan rencana pemulihan yang disusun oleh Pemerintah.

g. Fasilitasi

Apabila pengungsi dipindahkan ke lokasi yang baru (relokasi) maka Pekerja Sosial perlu melakukan fasilitasi agar pengungsi dapat beradaptasi dengan lingkungan dan masyarakat di daerah yang baru. Demikian pula sebaliknya, Pekerja Sosial perlu melakukan pendekatan, penyuluhan dan fasilitasi terhadap masyarakat di daerah tujuan yang baru agar dapat menerima kehadiran para pengungsi yang direlokasi ke daerah mereka. Pelayanan-pelayanan yang diberikan pada tahap rehabilitasi dan pemulihan ini menggunakan metoda Pekerjaan Sosial dengan Individu (Social Case Work), Pekerjaan Sosial dengan Kelompok (Social Group Work) serta Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat (CO/CD).

2. TAHAP PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN

Dalam tahap ini, pelayanan yang diberikan oleh Pekerja Sosial adalah :

a. Advokasi

(11)

b. Adaptasi

Bagi pengungsi yang direlokasi ke daerah yang baru maka Pekerja Sosial perlu memberikan pemahaman, pembelajaran dan mendukung mereka dalam proses penyesuaian diri.

c. Intervensi Keluarga

Keluarga-keluarga pengungsi yang kehilangan kepala keluarganya perlu mendapatkan pelayanan khusus karena seorang istri atau ibu harus mengambil alih tanggung jawab sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah. Pengertian, dukungan dan partisipasi semua anggota keluarga sangat dibutuhkan agar masa transisi peran tersebut dapat dilaksanakan dengan baik agar fungsi keluarga dapat pulih kembali dan stabilitasasi peran keluarga dapat dicapai.

d. Pembentukan dan Terapi Kelompok

Dalam banyak kejadian bencana, banyak terjadi kasus adanya sekelompok orang yang menolak untuk dipindahkan ke daerah yang baru, tidak puas dengan situasi dan kondisi yang baru atau merasa tidak berdaya dengan situasi dan kondisi baru yang sangat berbeda dengan tempat tinggalnya semula. Perasaan-perasaan tersebut seringkali menimbulkan tekanan atau stress, frustasi dan selalu ada kemungkinan timbul aksi sosial atau konflik.

Untuk kasus seperti ini maka Pekerja Sosial perlu membentuk kelompok-kelompok khusus untuk mendapatkan terapi. Terapi yang dilakukan antara lain : pengungkapan perasaan-perasaan negatif yang dilanjutkan dengan pembelajaran sederhana mengenai cara membangun perasaan-perasaan yang positif dan bekerja bersama-sama dengan kelompok untuk menginventarisasi hal-hal positif yang dapat dilakukan di daerah yang baru dan menyusun rencana kegiatannya.

Metoda yang digunakan dalam pemberian pelayanan pada tahap ini adalah Pekerjaan Sosial dengan Kelompok serta Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat.

2.5 Manfaat untuk PMKS ( Korban Bencana Alam ) dengan adanya UU NO. 24 tahun 2007

Bantuan dari berbagai sumber yang berbentuk material mungkin dapat memenuhi kebutuhan fisik para Korban Bencana tetapi tidak begitu saja dapat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, baik sebelum kejadian bencana maupun setelah kejadian

bencana. Oleh karena itu, praktek Pekerjaan Sosial sebenarnya dapat memberikan kontribusi yang besar dan penting dalam upaya kesiapsiagaan masyarakat di daerah rawan bencana, pada saat kejadian bencana maupun pasca bencana.

Bencana (Disaster) didefiniskan sebagai kejadian yang waktu terjadinya tidak dapat diprediksi dan bersifat sangat merusak. Pengertian ini mengidentifikasikan sebuah kejadian yang memiliki empat faktor utama, yaitu (1) tiba-tiba, (2) tidak diharapkan (3) bersifat sangat merusak dan (4) tidak direncanakan

Bencana terjadi dengan frekuensi yang tidak menentu dan akibat yang ditimbulkannya meningkat bagi mereka yang tidak mempersiapkan diri terhadap kemungkinan-kemungkinan timbulnya bencana. Rencana pencegahan dan perbaikan terhadap bencana dapat membantu melindungi manusia, aset organisasi atau komunitas atau masyarakat, pekerjaan, data-data penting dan fasilitas yang ada di lokasi rawan bencana. Cakupan bencana tidak hanya terbatas pada kerugian harta benca tetapi juga korban jiwa (sakit atau meninggal).

Jenis-jenis bencana alam antara lain : Gunung meletus, gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, angin putting beliung, kekeringan akibat musim kemarau yang panjang dan banjir.

Pengungsi akibat Bencana Alam

Pengungsi Internal atau Internally Displaced Persons (IDPs) akibat Bencana Alam (Natural Disaster) adalah orang-orang yang terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah mereka sebagai akibat atau dalam rangka menghindarkan diri dari bencana alam dan berpindah ke daerah yang letaknya masih dalam negaranya sendiri (dalam satu provinsi atau satu kabupaten atau satu kecamatan).

Pengungsi Internal termasuk kelompok rentan karena tidak tersedianya payung hukum internasional maupun kebijakan nasional yang secara khusus mengatur mengenai keberadaan dan hak-hak mereka.

(12)

(DUHAM), Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik adalah :

- Hak untuk memeluk agama - Hak untuk bebas dari perbudakan - Hak untuk bebas dari penyiksaan

- Hak untuk meminta dan menerima perlindungan bantuan humaniter - Hak atas kebebasan berpindah

- Hak atas rasa aman - Hak atas pendidikan

- Hak untuk memperoleh informasi tentang keberadaan sanak saudara.

Di tingkat nasional, hak asasi manusia pengungsi internal tidak dicantumkan secara khusus. Kebijakan, program, pelayanan yang diberikan bagi pengungsi terkait hak asasinya dimuat secara umum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, pasal 5 ayat 3 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan yang lebih karena kekhususannya.

Dalam Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, dimuat aturan mengenai penanganan pengungsi yang meliputi upaya pelayanan dan perlindungan kemanusiaan terhadap pengungsi yang timbul akibat konflik yang terjadi di suatu daerah termasuk kegiatan pencegahan, tanggap darurat, penampungan, pemindahan dan relokasi pengungsi. Pengungsi yang dimaksud dalam aturan ini lebih dikenal dengan istilah korban konflik atau korban bencana sosial. Dalam Keputusan Presiden tersebut, belum diatur secara khusus penanganan dan pelayanan kemanusiaan bagi pengungsi korban bencana alam.

Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, Indonesia mempunyai payung hukum atau landasan konstitusional dalam memberikan pelayanan bagi pengungsi korban bencana alam. Peluang profesi Pekerjaan Sosial untuk berpartisipasi aktif sebagai anggota Tim Penanggulangan Bencana terbuka luas dengan dicantumkannya “Pekerja Sosial” sebagai tenaga pelaksana dalam salah satu ayat dalam pasal-pasal Undang-undang Penanggulangan Bencana Tahun 2007.

BAB III KESIMPULAN

Secara umum dapat disimpulkan bahwa sistem penanggulangan bencana yang saat ini dikembangkan baik di tingkat nasional maupun daerah sedang berada pada tahap transisi antara sistem yang selama ini berjalan dengan sistem baru seperti yang diamanatkan oleh UU No. 24 tahun 2007. UU ini menjadi “milestone” perubahan pendekatan

penanggulangan bencana. Tiga hal yang secara khusus dirombak oleh UU No. 24 tahun 2007 adalah:

1.Legalitas payung hukum. Upaya penanggulangan bencana memiliki payung hukum yang memperkuat dan melindungi berbagai inisiatif yang terkait. Pada waktu sebelumnya penanggulangan bencana adalah sebuah inisiatif dan program, namun pada saat ini telah menjadi kewajiban legal.

2.Perubahan paradigma/mindset. Penanggulangan bencana bukan lagi sebuah tindakan reaktif dan terpisah dari inisiatif pembangunan. Pembangunan bencana pada saat ini perlu dilihat sebagai sebuah pendekatan menyeluruh yang terintegrasi dalam proses pembangunan. 3.Pengembangan kelembagaan. Lembaga dan sistem penanggulangan bencana melalui UU No. 24 tahun 2007 telah mendapatkan posisi yang lebih kuat sehingga diharapkan dapat berfungsi lebih efektif dalam melaksanakan berbagai tahap penanggulangan bencana. Paparan tata lembaga penanggulangan bencana seperti yang tercantum dalam undang-undang tersebut perlu dielaborasi lebih lanjut dengan memisahkan dua fungsi yaitu disaster council dan disaster agency. Disaster council lebih berperan dalam pengembangan legal and regulatory framework serta mengembangkan enabling environment bagi stakeholders untuk berpartisipasi, sementara disaster agency adalah lembaga pelaksana penanggulangan bencana yang memiliki otoritas penuh dan menjalankan fungsi komando.

(13)

Referensi

Dokumen terkait

Kopling manual atau mekanis yang dikenal juga dengan istilah kopling sekunder adalah kopling yang cara kerjanya diatur oleh handel kopling. Kopling manual

Agung Andhika Putra ST, MT selaku pembimbing ketiga sekaligus sahabat bagi penulis yang telah meluangkan waktunya dan memberikan ilmunya kepada penulis

Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

daerah dalam rangka mengukur dan mengevaluasi variabel atau kriteria potensi daerah yang dipersyaratkan untuk mengetahui kemungkinan penataan wilayah di Provinsi

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh efek perlakuan subjek yang kelompok kontrol latihan pernapasan jalan enam menit selama 6 minggu dengan kelompok subjek yang

bahwa dengan telah terbentuknya Kabupaten Bener Meriah berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2003 dan dalam rangka mengisi Keistimewaan di Provinsi Nanggroe Aceh

Kompleksitas jaring makanan ikan memperkuat hipotesis bahwa daerah estuari Teluk Bintuni bervegetasi mangrove merupakan lumbung makanan bagi banyak spesies ikan..

rahmatNya) bagi kaum yang (mahu) menggunakan akal fikiran.. b) Sebagai Khalifah Di Muka Bumi. - Oleh itu kita perlukan kepada ilmu sains dan teknologi. c) Supaya Manusia