• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik Penegakan Hukum Terhadap Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana Umum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Praktik Penegakan Hukum Terhadap Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana Umum"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

THE PRACTICE OF LAW ENFORCEMENT TO MILITARY MEMBERS ENGAGED IN PUBLIC CRIME

By:

Rismubeda

Criminal law is public law binding for anyone. The enforcement of public criminal law showed

its authority applies to any person who violates the provisions that are in the book of uiminal law. Criminal law applies

in

general,

is

different from criminal law

in

particular but the provisions stipulated specifically deviates from the Criminal Code (KUHP) but should not be contrary to the Criminal Code (KUHP). The problems in this thesis are how the law enforcement against military members who commit the public criminal acts and the prospective

of

law

enforcement against military members who commit the public crime.

The approach used

in

this writing is the normative and empirical juridical approach. Data collecting technique was conducted with the literature study and interviews with the Chief of

Dilmil

II-08 Jakarta and experts associated both with academics and legal observers. Data

collection was done with the literature study and interviews with Chief Dilmil II-08 Jakarta and experts associated both with academics and legal observers. Furthermore, the data obtained were

analyzed qualitatively to get the conclusion according to the subject matter covered.

The research results and discussion indicated that the military criminal law enforcement in

Indonesia is stilt not reached the level of perfection, or in other words the military criminal law

has not been enforced in practice as a whole, which is one of the reasons was because the society were still not concerned with the military law itself. But the next, lot of changes that must be done, among others: a. Legislative Process; b. jurisdiction;

c.

Organization and Structure of Military Justice; d. Transition, and e. Technical Military Justice.

In the end, recommended that the implementation of the military criminal law in the Indonesian

itself should get special attention, as well as it's needed for revision to the Code of Military Criminal law, which was inherited from the Dutch East Indies and

is still

valid today in

Indonesia.

(2)

ii

ABSTRAK

PRAKTIK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA UMUM

Oleh

Rismubeda

Hukum pidana merupakan hukum publik yang mengikat bagi siapa saja, pemberlakuan hukum pidana yang bersifat publik tersebut menunjukan kewenangannya berlaku bagi setiap orang yang melanggar ketentuan yang ada di dalam kitab undang-undang hukum pidana. Hukum pidana ini berlaku secara umum, berbeda dengan hukum pidana yang berlaku secara khusus namun ketentuan yang diatur secara khusus tersebut memang menyimpang dari KUHP tetapi tidak boleh bertentangan dengan KUHP. Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah bagaimanakah penegakan hukum terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum dan prospektif penegakan hukum terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normative dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara dengan Kepala Dilmil II-08 Jakarta dan pakar terkait baik dengan akademisi maupun pengamat hukum. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan kesimpulan sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penegakan hukum pidana militer di Indonesia sampai saat sekarang ini masih belum mencapai tingkat kesempurnaannya atau dengan kata lain hukum pidana militer dalam pelaksanaannya belum ditegakkan secara keseluruhan, yang salah satu penyebabnya adalah karena masyarakat yang masih kurang menaruh perhatian pada hukum militer itu sendiri. Namun ke depan banyak perubahan yang harus di lakukan, antara lain dengan: (a) Proses Legislasi; (b) Yurisdiksi; (c) Organisasi dan Struktur Peradilan Militer; (d) Masa Transisi, dan (e) Teknis Peradilan Militer. Pada akhirnya disarankan agar pelaksanaan hukum pidana militer itu sendiri di Indonesia harus mendapatkan perhatian yang khusus, serta perlunya dilakukan revisi ulang terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer yang merupakan warisan hukum Hindia Belanda dan masih berlaku sampai sekarang di Indonesia.

(3)

PRAKTIK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA

MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA UMUM

Oleh

RISMUBEDA NPM 1222011074

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PRAKTIK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA

MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA UMUM

(TESIS)

Oleh

RISMUBEDA NPM 1222011074

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

MOTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Pemikiran dan Konseptual... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Peradilan Militer ... 14

B. Pengertian Penegakan Hukum ... 20

C. Hukum Acara Khusus Bagi Tentara ... 25

D. Kedudukan dan Peranan Peradilan Militer ... 27

E. Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer sebagai Wujud Kepastian Hukum... 29

F. Undang-Undang Peradilan Militer yang Berlaku Saat ini ... 31

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 36

(6)

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 38 D. Analisis Data ... 38

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum terhadap Anggota Militer yang Melakukan Tindak Pidana Umum ... 40 B. Prospektif Penegakan Hukum terhadap Anggota Militer yang

Melakukan Tindak Pidana Umum ... 81

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 95 B. Saran ... 96

(7)

KATA PENGAI\TAR

Alhamdulillah, segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT., atas segala karunia dan ridho-NYA, sehingga tesis dengan judul "Praktik Penegakan Hukum

Terhadap Anggota Militer yang Melakukan Tindak Pidana lJmum" ini dapat diselesaikan.

Tesis

ini

disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar

Magister Hukum (M.H.) pada proglam studi Magister Hukum Universitas Lampung. Oleh karena ifu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar besarnya, kepada:

1.

Bapak Prof. Dr.

Ir.

Sugeng P. Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas Lampung.

2.

Bapak Dr. Heryandi, s.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum unila.

3.

Bapak Dr. Khaidir Anwar, s.H., M.Hum. selaku Ketua Progtam dan Bapak

Dr.

Eddy Rifai, s.H., M.H., selaku Sekretaris Program pada Program Pascasarjana Program Magister Hukum Universitas Lampung'

4.

Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Pembimbing Utama dan Ibu Dr. Erna Dewi, s.H., M.H. selaku Pembimbing Pendamping penulis yang sangat banyak membantu.

5.

Ibu Dr. Nikmah Rosidah, s.H., M.H. dan Bapak Dr. Eddy Rifai, s.H., M.H. selaku Penguji.

6.

Ayah dan Amak atas semua

do'4

usaha dan pengorbanannya untuk keberhasilanku.

7.

Isteriku tercinta Ikhramah, s.Pd., dan anak-anakku Alzena ophelia Ismubeda danlzzaqzizalsmubeda yang selalu setia mendampingi dalam kondisi apapun dan selalu memberikan semangat, do'a dan dukungan kepada penulis dalam meniti karier.

8.

Bapak, Ibu Dosen dan Staf Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas LamPung.
(8)

9.

Semua teman-temanku angkatan 2012/2013 Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Universitas Lampung yang saya cintai dan semua pihak

yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dan

dorongannya dalam penyelesaian tesis ini'

Dengan keterbatasan pengalamarq pengetahuan maupun pustaka yang ditinjar.r,

penulis menyadari bahwa tesis

ini

masih banyak kekurangan dan perlu pengembangan lebih lanjut agar benar benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar tesis ini lebih sempurna serta sebagai masukan bagi penulis untuk penelitian dan penulisan karya ilmiah di masa yang akan datang.

Akhir kat4 penulis berharap tesis ini memberikan manfaat bagi kita semua.

(9)

1. Tim Penguji

Pembimbingl

:

Pembimbingtr

Penguji

Penguji

Penguji

MENGESAHKAN

: I)r. Maroni, S.H., M.H.

: I)r. Erna l)ewi, S.H., M.H,

: Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H

: Dr. Eddy Rifai, S.H.,It{.H.

: Dr. Eeni Siswantoo S.H., M.E.

I

_^'\Ota.-K':li^

.:)

andi, S.H.r_M.S.

E"g

(10)

198603 Judul Tesis

Nama

Mahasiswa

:

NomorPokok Mahasiswa :

Program Kekhususan

Program

Studi

:

Fakultas

:

PRAKTIK PENEGAKAN

HUKUM

TERHADAP

ANGGOTA

MILITER

YANG

MELAKUKAN

TINDAK PIDANA UMUM Rismubeda

12220t1074 Hukum Pidana

Program Pascasarj ana Magister Hukum Magister Hukum

MEIYYETUJUI

Dosen Pembimbing

Pembimbing Utamd,'

,\tr-/Dr.

Maroni, S.H., ilI.H. NrP 19600310 198703 1003

Pembimbing Pendamping,

Dr. Erna Dewi, S.H., M.H,

NrP 1961071s 198503 20043

-MENGETAHUI

Ketua Program Pascasarjana

Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum

ampung

r,

S. ., M.Hum.

1 001

(11)

LEMBAR PERIIYATAAI\

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

Tesis dengan judul "Prattik Penegakan Hukum Terhadap Anggota Militer

yang Melakukan Tindak Pidana lJmum" adalah karya saya sendiri dan saya

tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan

cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme'

Hak intelektual atas karya ilmiah

ini

diserahkan sepenuhnya kepada Universitas LamPung.

Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidak benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada say4

saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, Juni 2014

Pembuat PemYataan,

1.

2.

122201t074

(12)

v

MOTO

Keadilan dan kebenaran adalah impian setiap insan. Justru itu setiap

tindakan anda dalam menegakkan panji keadilan dan kebenaran hendaklah

timbul dari jiwa dan rasa adil, benar serta kejujuran demi cita-cita dan

cinta akan kemanusiaan karena tanpa keadilan dan kebenaran dari rasa dan

jiwa anda sendiri, niscaya keadilan dan kebenaran tidak dapat anda

tegakkan.

(13)

vi

PERSEMBAHAN

Tesis ini saya persembahkan untuk:

Ayah dan Amak tercinta yang telah membesarkan, mendidik, membimbing

dengan penuh kasih sayang hingga penulis dewasa serta selalu berdo’a

memberikan dukungan dan ridhonya dalam setiap langkah demi keberhasilan

penulis dalam menggapai cita-cita.

Isteriku tercinta Ikhramah, S.Pd., dan anak-anakku Alzena Ophelia Ismubeda

dan Izza Eziza Ismubeda yang selalu setia mendampingi dalam kondisi

apapun dan selalu memberikan semangat, do’a dan dukungan kepada penulis dalam meniti karier.

(14)

vii

R I W A Y A T H I D U P

Penulis dilahirkan di Desa Muara Putus Tiku V Jorang, Kecamatan Tanjung Mutiara Agam Sumatera Barat pada tanggal 12 September 1970 yang merupakan anak ke-5 dari 10 bersaudara buah hati pasangan Hi. Abdul Muis Datuk Bandaro dan Hj. Zahara.

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini proses penegakan hukum di dalam masyarakat kembali menjadi topik yang sangat hangat untuk dibicarakan, keberadaan hukum yang seharusnya menjadi penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat dipertanyakan. Bagaimana kekuatan hukum itu mampu mengikat dan berlaku bagi para subjek dari hukum tersebut, apakah hukum yang dibentuk tersebut mampu diletakkan pada tempat dimana hukum itu seharusnya berada dan bekerja tanpa adanya keterbatasan dan hambatan dari hal-hal yang dapat menggangu kinerja hukum.

Penegakan hukum di segala bidang hukum harus dilakukan secara menyeluruh baik dari hukum materiil itu sendiri maupun dari sisi hukum formilnya. Dari ini sampel yang akan diambil adalah proses penegakan hukum dari sisi hukum pidana, sisi penegakan hukum melalui proses penyelesaian suatu perkara tindak pidana itu akan dibahas.

(16)

2

Perbuatan yang dilarang atau tindak pidana yang dimasksudkan tersebut terbagi menjadi beberapa ruang lingkup, yakni lingkup tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum merupakan perbuatan pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya di singkat dengan KUHP). Tindak pidana militer merupakan salah satu tindak pidana yang diluar KUHP, merupakan tindak pidana khusus dikarenakan militer itu memegang senjata dan dapat mempergunakannya serta mempunyai tugas untuk pembelaan dan pertahanan negara. Proses penyelesaian tindak pidana umum menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHAP) sebagai hukum formil dari penerapan hukum materiil tindak pidana umum yakni KUHP. Hukum acara peradilan militer diatur dalam tempat pengaturan yang sama dengan ketentuan materiil dari pidana militer itu sendiri yakni di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur:

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Selanjutnya pada Pasal 25 ayat (4) diatur:

(17)

3

Berdasarkan ketentuan pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 di atas, bahwa untuk tindak pidana umum dan militer yang dilakukan oleh militer, peradilan militer mempunyai wewenang untuk mengadili perkara tersebut.

Hukum pidana militer merupakan bagian dari hukum militer, yakni suatu peraturan-peraturan khusus yang hanya berlaku bagi anggota militer. Hukum pidana militer merupakan bagian dari hukum militer dengan konteks militer sebagai objek dari perundang-undangan tersebut. Pasal 9 angka1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 memberi batasan kepada pihak-pihak yang diperiksa dan diadili di peradilan militer. Pihak-pihak tersebut adalah:

1. Prajurit, yakni militer murni dan masih aktif dalam organisasi TNI; 2. Orang-orang yang disamakan dengan prajurit menurut undang-undang;

3. Anggota dari badan atau organisasi atau jawatan yang dipersamakan dengan prajurit menurut undang-undang.

(18)

4

berdisiplin dalam organisasinya, sehingga seolah-olah TNI merupakan kelompok tersendiri untuk melaksanakan tujuan tugas pokok, untuk itu diperlukan suatu hukum atau peraturan yang khusus dan peradilan yang tersendiri yang terpisah dari peradilan umum.

Suatu kekhususan dalam penyelesaian suatu perkara yang dilakukan oleh seorang anggota TNI ialah bahwa peranan komandan yang bersangkutan tidak boleh diabaikan, bahkan ada kalanya lebih didahulukan daripada peranan petugas penegak keadilan (Polisi Militer, Oditur Militer, Hakim Militer).

(19)

5

Salah satu agenda penting tersebut adalah pembenahan peraturan dan penerapan dari sistem peradilan militer bagi anggota TNI dan warga sipil yang tersangkut dalam kejahatan atau tindak pidana umum. Reformasi sistem peradilan militer menjadi salah satu agenda penting dalam reformasi sistem hukum dan peradilan yang lebih luas di tingkat nasional. Ini merupakan produk dari reformasi politik serta hukum dan keamanan yang lebih luas. Runtuhnya Orde Baru di bawah rezim kekuasaan Suharto yang identik dengan praktik KKN, militerisme dan pelanggaran HAM, melahirkan berbagai prakarsa untuk mereformasi sistem keamanan dan sistem kebijakan negara yang lebih akomodatif terhadap norma HAM. Ini kemudian telah menjadi agenda mendesak yang tak terhindarkan. Reformasi sistem peradilan militer sendiri merupakan salah satu agenda utama yang hingga kini belum berhasil diraih. Secara khusus agenda reformasi sistem peradilan militer di Indonesia tertera pada Pasal 3 ayat (4) a TAP MPR VII Tahun 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia:

”Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan

militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.”

Apabila dikaitkan dengan penjelasan dari Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menjelaskan bahwa:

(20)

6

Kedua ketentuan di atas bertentangan, namun apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:

Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.

Berdasarkan ketentuan dalam KUHP tersebut di atas maka Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Pasal 49 menyatakan:

“Ketentuan mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan

Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut undang-undang ini.”

(21)

7

Perubahan terkait reformasi sistem peradilan militer di Indonesia, sulit untuk menjustifikasi bahwa reformasi sistem peradilan militer telah menghasilkan kemajuan yang berarti dalam konteks pemenuhan prinsip fair trial, independensi, dan imparsialitas sistem peradilan yang lebih luas, serta menghadirkan rasa keadilan bagi para korban terkait langgengnya rantai impunitas di Indonesia, khususnya atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh personel militer.

Proses penegakan hukum pidana militer sebagai suatu wacana dalam masyarakat menjadi topik yang sangat hangat dibicarakan. Berbagai komentar dan pendapat baik yang berbentuk pandangan ataupun penilaian dari berbagai kalangan masyarakat selalu menghiasi media massa yang ada di negeri ini. Beberapa hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan dengan proses penegakan hukum tersebut adalah masalah tidak memuaskan atau bahkan bisa dikatakan buruknya kinerja sistem dan pelayanan peradilan militer yang dilakukan oleh aparat penegak hukum,1 (Formal: Polisi militer, Oditur militer, Hakim militer, advokad, dan “Papera”) yang disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan dan

kemampuan, atau bahkan kurangnya ketulusan dari mereka yang terlibat dalam system peradilan. Semua hal tersebut akhirnya melahirkan pesimisme prajurit untuk tetap menyelesaikan sengketa melalui lembaga peradilan, sehingga yang terjadi adalah main hakim sendiri. Sebagai suatu system, kinerja peradilan militer berada pada titik yang buruk. Berbagai keluhan dari masyarakat dan para prajurit yang sedang mencari keadilan seolah-olah tidak dapat lagi menjadi media kontrol bagi lembaga tersebut untuk selanjutnya melakukan berbagai perbaikan yang signifikan bagi terciptanya suatu sistem peradilan yang mempunyai asas

1

(22)

8

sederhana, cepat dan biaya ringan, terlihat sudah sangat sulit untuk ditemukan dan diterapkan oleh lembaga dan aparat peradilan militer. Keadaan tersebut diperparah oleh berlikunya manajemen perkara yang harus mendapat persetujuan Ankum dan atau ”Papera” untuk dilanjutkan atau tidak dilanjutkannya suatu perkara ke

peradilan militer.

Kriteria buruknya pelayanan peradilan militer dapat dilihat dan diukur dari lambatnya proses penyidikan yang dilakukan oleh Oditur Militer, banyaknya administrasi yang harus ditempuh, untuk dapat seseorang diajukan penuntutan harus mendapat persetujuan dari Ankum dan atau Papera. Dengan kata lain oditur militer sebagai bagian dari struktur peradilan militer tidak memiliki kekuasaan peradilan, sebagaimana mestinya. Sehingga proses perkara pengadilan yang dilalui dari pendaftaran sampai keluar putusan pengadilan militer terlalu berbelit-belit, tidak efisien. Hal tersebut menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan pencari keadilan terhadap lembaga peradilan militer semakin menipis. Muladi menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana, pemberantasan kejahatan, dan untuk mencapai kesejahteraan sosial.2

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah:

2

Muladi, Peranan Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan pidana Terpadu (Suatu

(23)

9

a. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum?

b. Bagaimanakah prospektif penegakan hukum terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan Hukum Pidana terutama mengenai kajian-kajian yang berhubungan dengan penegakan hukum terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum, dan prospektifnya di masa mendatang. Lokasi penelitian dibatasi hanya pada wilayah hukum Oditur Militer II-08 Jakarta pada kurun waktu 2011 sampai dengan 2012.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk:

a. Menganalisis pelaksanaan penegakan hukum terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

b. Menganalisis prospektif penegakan hukum terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

2. Kegunaan Penelitian

(24)

10

dan memahami mengenai penegakan hukum terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

b. Secara praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi instansi terkait, khususnya penegakan hukum terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

D. Kerangka Pemikiran dan Konseptual

1. Kerangka Pemikiran

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan ada beberapa, yaitu:

a. Teori Penegakan Hukum Pidana

Teori Penegakan Hukum Pidana oleh Joseph Goldstein. Upaya penegakan hukum pidana menurut Joseph Goldstein dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:3

1) Total Enforcement (penegakan hukum sepenuhnya)

Yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana substantif (substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik aduan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut Area of no Enforcement (area di mana penegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan sepenuhnya). Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi Area of no Enforcement, muncul bentuk penegakan hukum pidana yang kedua, yakni Full Enforcement.

2) Full Enforcement (penegakan hukum secara penuh)

Penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, akan tetapi oleh Joseph Goldstein harapan itu dianggap tidak mungkin dilaksanakan secara penuh, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu,

3

Dalam Muladi. Menjamin Kepastian Ketertiban Penegakan dan Pelindungan Hukum

(25)

11

personil, alat-alat investigasi, dana, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukan diskresi.

3) Actual Enforcement

Merupakan area yang dapat ditegakkan oleh hukum pidana, melihat pada kenyataannya bahwa peristiwa tersebut melibatkan banyak orang dalam hal ini para pengusaha maupun masyarakat.

b. Teori Keberlakuan Hukum

Hukum mampu menjalankan fungsinya secara normal untuk melakukan pembatasan kekuasaan berhubungan dengan konsekuensi dan efektivitas keberlakuan hukum (rechtsgelding).4 Menurut Bruggink ada 3 (tiga) macam keberlakuan hukum, yaitu:5

1) Keberlakuan normatif atau keberlakuan formal kaidah hukum, yaitu jika suatu kaidah merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang di dalamnya terdapat kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk. Sistem kaidah hukum terdiri atas keseluruhan hirarki kaidah hukum khusus yang bertumpu kepada kaidah hukum umum, kaidah khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih tinggi;

2) Keberlakuan faktual atau keberlakuan empiris kaidah hukum, yaitu keberlakuan secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk setiap kaidah hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut. Keadaan itu dapat dinilai dari penelitian empiris; dan

3) Keberlakuan evaluatif kaidah hukum, yaitu jika kaidah hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai. Dalam menentukan keadaan keberlakuan evaluatif, dapat didekati secara empiris dan cara keinsafan.

Soerjono Soekanto mengemukakan konsep pengaruh hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang dikaitkan dengan suatu kaidah hukum yang isinya, berupa larangan, suruhan, atau kebolehan. Keberhasilan atau kegagalan hukum diukur dari keberhasilannya mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuan tertentu. Sikap tindak atau perilaku yang sesuai dengan tujuan

4

Bambang Poernomo, Hukum Pidana: Kumpulan Karangan Ilmiah, Jakarta: Bina Aksara, 1982,

hlm. 65. 5

Bruggink, Refleksi tentang Hukum (Penerjemah Arif Sidharta), Bandung: Citra Aditya Bakti,

(26)

12

tersebut disebut „positif‟ aatau „efektif‟, sedangkan sikap tindak yang tidak sesuai

dengan tujuan atau perilaku yang menjauhi tujuan dinamakan „negatif‟ atau „tidak

efektif‟.6

Dalam hal ini, Soerjono Soekanto menganggap efektivitas hukum merupakan salah satu konsekuensi hukum yang dapat dipertentangkan dengan konsekuensi hukum lain, yaitu kegagalan hukum. Namun, keadaan tidak selalu dapat digolongkan kepada salah satu diantara keduanya.7 Adakalanya hukum dipatuhi, tetapi tujuannya tidak sepenuhnya tercapai. Hal itu disebabkan kadang-kadang tidak sama antara semangat kaidah hukum dengan tulisan kaidah hukum itu sendiri.

2. Konseptual

Untuk membatasi istilah yang digunakan dalam penulisan tesis ini dirumuskan pengertian-pengertian sebagai berikut:

a. Praktik8 adalah pelaksanaan secara nyata apa yg disebut dalam teori, atau pelaksanaan pekerjaan.

b. Penegakan Hukum9 adalah merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.

c. Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Prajurit adalah anggota TNI.

6

Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, Bandung: Remaja Rosdakarya,

1985, hlm. 7. 7

Soerjono Soekanto, Ibid, hlm. 8.

8

http://kamusbahasaindonesia.org

9

(27)

13

d. Perkara pidana10 adalah suatu kasus atau permasalahan yang diancam dengan pidana.

a. Tindak pidana11 adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan disertai ancaman (sanksi) dan menurut wujudnya atau sifatnya perbuatan-perbuatan atau tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.

10

Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981, hlm. 43.

11

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Peradilan Militer

Peradilan militer untuk pertama kali, berlaku melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Peraturan Mengadakan Pengadilan Tentara. Pengadilan tentara ini memiliki wewenang mengadili berdasarkan kompetensi absolut terhadap prajurit tentara, baik Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara serta orang-orang sipil yang berhubungan dengan kepentingan ketentaraan. Sementara susunan pengadilan terdiri dari Mahkamah Tentara dan Mahkamah Tentara Agung. Dalam sistem peradilan militer, dikenal juga mekanisme koneksitas yaitu aturan mengadili tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama antara terdakwa yang masuk dalam kompetensi peradilan militer dan terdakwa yang masuk dalam kompetensi peradilan umum. Lebih khusus, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Peraturan Mengadakan Peradilan Tentara, Pasal 5 mengatur bahwa perkara koneksitas diadili oleh pengadilan biasa (negeri) kecuali oleh ketetapan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman diadili di peradilan militer.

(29)

15

berdasar pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1946 tentang Hukum Acara Pidana Guna Peradilan Tentara yang mengatur pengusutan dan penyerahan perkara ada pada jaksa.

Tahun 1948 terjadi perubahan melalui PP No 37 Tahun 1948 tentang jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1948 tentang Pemberian Kekuasaan Penuh kepada Presiden dalam Keadaan Bahaya. PP No 37 Tahun 1948 mengatur perubahan ketentuan susunan, kedudukan dan daerah hukum yang telah diatur sebelumnya. Kompetensi absolut peradilan militer ini meluas kepada prajurit TNI, orang yang ditetapkan sama dengan prajurit TNI melalui Penetapan Presiden, anggota suatu golongan atau jabatan yang dipersamakan atau dianggap tentara oleh atau undang-undang atau orang-orang yang ditetapkan langsung oleh Menteri Pertahanan dan disetujui oleh Menteri Kehakiman serta terdakwa yang termasuk dalam kejahatan yang dinyatakan dalam keadaan bahaya berdasarkan Pasal 12 UUD 1945. Perluasan ini menunjukkan besarnya campur tangan dari kekuasaan eksekutif namun di sisi lain berkurangnya independensi peradilan.

(30)

16

Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, anggota pasukan yang telah dimiliterisir serta pegawai tetap yang bekerja pada angkatan perang. Sementara hukum acara yang digunakan adalah acara summier sesuai Pasal 337 HIR dan tidak ada banding. Di sisi lain, susunan pengadilan pun disesuaikan dengan pemerintahan militer, yaitu Mahkamah Tentara zonder distrik militer, Mahkamah Tentara distrik militer serta Mahkamah Tentara daerah gubernur militer. Di masa Republik Indonesia Serikat (RIS), peraturan diganti kembali menjadi Perpu 36 Tahun 1949. Walau demikian, kompetensi absolut, susunan pengadilan dan hukum acara sama dengan PP No. 37 Tahun 1948. Pada masa UUDS 1950, peraturan mengenai peradilan militer diganti kembali menjadi Undang-Undang Darurat No 16 Tahun 1950, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950.

(31)

17

juga dilakukan oleh Jaksa Tentara Agung yang ketuanya adalah Jaksa Agung terhadap Kejaksaan Tentara Tinggi dan Kejaksaan Tentara. Hukum acara yang digunakan adalah Undang-Undang Darurat No 17 Tahun 1950 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950. Pada saat inilah, komandan/atasan memiliki wewenang menyidik menambah pihak yang sudah tercantum dalam HIR. Walaupun demikian, pengusutan dan penyerahan perkara tetap merupakan wewenang jaksa melalui kewajiban komandan menuruti petunjuk Kejaksaan Tentara dan memberikan laporan tertulis tiap bulannya kepada Kejaksaan Tentara. Sementara susunan pengadilan tetap seperti sebelumnya.

Pengadilan militer model ini bertahan hingga pemberlakukan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1954, Pasal 35 menjadi dasar adanya perwira penyerah perkara yang diikuti dengan Undang-Undang Darurat 1 Tahun 1958 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 yang mengatur atasan yang berhak menghukum atau komandan dengan sejumlah hak yaitu melakukan pemeriksaan sendiri, dapat memerintahkan pengusutan, dapat menentukan suatu perkara tindak pidana atau disiplin, dapat menahan atau membebaskan, memerintah Jaksa Tentara melakukan pengusutan /pemeriksaan, berhak menyerahkan perkara kepada Pengadilan Tentara dan penentuan hari persidangan.

(32)

18

pengadilan-pengadilan ini belum sepenuhnya independen dari kekuasaan lain karena untuk beberapa hal masih berada di bawah kekuasaan eksekutif, seperti di bawah pimpinan MA, organisatoris, administratif dan finansial ada di bawah kekuasaan Depkeh, Depag dan departemen-departemen dalam lingkungan angkatan bersenjata.

Tahun 1965, kontrol militer terhadap peradilan militer semakin besar melalui PNPS No 22 Tahun 1965 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950. Melalui peraturan ini pejabat utama pada badan-badan peradilan militer dijabat oleh kalangan militer sendiri. PNPS ini diikuti oleh SKB Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Kepala Staf AD No MK/KPTS-189/9/196174 UP/DKT/A/11022/181/Pen, yang menyatakan pengalihan wewenang administratif termasuk pengangkatan, penghentian jaksa tentara dan penentuan kebijaksanaan dalam kejaksaan militer kepada Menteri/KSAD.

Kompetensi absolut peradilan militer semakin luas dalam PNPS No. 3 Tahun 1965. Undang-undang ini memberlakukan pidana tentara, hukum acara pidana tentara dan hukum disiplin tentara kepada anggota-anggota angkatan kepolisian RI. Kepolisian pada saat ini hanya memiliki kewenangan penyidikan, penyerahan perkara dan pengambilan tindakan disiplin. Pihak yang dapat diadili di peradilan militer semakin luas lagi dengan disahkannya PNPS No 4 Tahun 1965, yang memberlakukan hukum pidana tentara, hukum acara pidana tentara dan hukum disiplin tentara berlaku kepada hansip dan sukarelawan.

(33)

19

juga bertambah kewenangannya, yaitu kepolisian berwenang memeriksa dan mengadili sendiri meski terbatas pada tingkat pertama, tingkat banding diperiksa dan diadili Pengadilan Tentara Tinggi di lingkungan angkatan lain yang ditunjuk oleh Menteri Koordinator Kompartimen Pertahanan Keamanan/Ka Staf AB. Melalui SK No Kep/B/161/1968 badan peradilan di lingkungan angkatan kepolisian semakin bertambah wewenangnya yaitu dapat mengadili dalam tingkat banding tamtama, bintara dan perwira angkatan kepolisian RI. Pada perkembangannya, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menyatukan pengadilan terakhir seluruh pengadilan yang ada kepada Mahkamah Agung.

(34)

20

dimana pemutusan sepenuhnya berada pada Mahkamah Agung sehingga wewenang Menteri Pertahanan dihilangkan.

B. Pengertian Penegakan Hukum

Ketika berbicara penegakan hukum, maka harus dipahami lebih dahulu oleh para penstudi hukum adalah apa yang dimaksud dengan penegakan hukum dan faktor yang mempengaruhi untuk menganalisisnya. Dalam konstelasi negara modern, hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Roscoe Pound12 menekankan arti pentingnya hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi. Konteks sosial teori ini adalah masyarakat dan badan peradilan di Amerika Serikat.

Pada tataran konteks ke Indonesiaan, fungsi hukum demikian itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat.13 Sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peraturan perundang-undangan itu.

Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto Rahardjo,14 merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan

12

Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara, hlm, 7.

13

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun,

Jakarta: BPHN-Binacipta, 1978, hlm. 11. 14

(35)

21

hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat.15

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto,16 dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundangundangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyara-kat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

15

Satjipto Rahardjo, Op.Cit. 1983, hlm. 25. 16

(36)

22

Satjipto Rahardjo,17 membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial. Pada sisi lain, Jerome Frank,18 juga berbicara tentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi.

Sementara itu, Lawrence M. Friedman19 melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapanharapan

17

Satjipto Rahardjo, Op.Cit. 1983, hlm. 23-24.

18

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hlm. 122.

19

Lawrence M, Friedman, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc,

(37)

23

dan pendapat tentang hukum. Dalam perkembangannya, Friedman20 menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi objek kajian peneliti. Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell,21 konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga Negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.

Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memperoleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound,22 atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja disebutkan sebagai hukum yang berfungsi seba-gai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.

20

Lawrence M. Friedman, American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and

how it affects our daily lives, New York: W.W. Norton & Company, 1984, hlm. 16.

21

Roger Cotterrell, The Sociology of Law An Introduction, London: Butterworths, 1984, hlm. 25.

22

(38)

24

Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi. Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat.23

Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono24 melihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini. Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan peraturan perundang-undangan, di samping ditentukan oleh suasana atau konfigurasi politik momentum pembuatannya, juga berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota legislatif itu sendiri. Oleh karena semangat hukum (spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang, maka dalam konteks membangun hukum yang demokratis, tinjauan tentang peran pembentuk undang-undang penting dilakukan.

23

Max Weber dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan

Sosial (Buku I), Jakarta: Sinar Harapan, 1988, hlm. 483.

24

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung:

(39)

25

Menurut Gardiner bahwa pembentuk undang-undang tidak semata-mata berkewajiban to adapt the law to this changed society, melainkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri. Pembentuk undang-undang, dengan demikian, tidak lagi semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini Roeslan Saleh25 menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan makmur serta modern yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari pembentuk undang-undang.

C. Hukum Acara Khusus Bagi Tentara

Tentara walaupun sebagai warga negara RI akan tetapi bukan merupakan kelas tersendiri, karena tiap anggota tentara adalah juga sebagai anggota masyarakat biasa, tapi karena adanya beban kewajiban Angkatan Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara, maka diperlukan suatu pemeliharaan ketertiban yang lebih disiplin dalam organisasinya. Sehingga seolah-olah merupakan kelompok tersendiri untuk mencapai tujuan tugasnya yang pokok.

Pengertian tentara secara formilnya menurut undang-undang dapat ditemukan dalam Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 49 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara (S. 1934-164 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947.

25

Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan, Jakarta:

(40)

26

Pasal 46Ayat (1) yang dimaksud dengan tentara adalah:

Ke-1. Mereka yang berikatan dinas secara sukarela pada Angkatan Perang, yang wajib berada dalam dinas secara terus menerus dalam tenggang waktu ikatan dinas tersebut.

Ke-2. Semua Sukarelawan lainnya pada Angkatan Perang dan para militer wajib sesering dan selama mereka itu berada dalam dinas, demikian juga jika mereka berada di luar dinas yang sebenarnya dalam tenggang waktu selama mereka dapat dipanggil untuk masuk dalam dinas, melakukan salah satu tindakan yang dirumuskan dalam Pasal 97, 99 dan 139 KUHPT. Pasal 47: Barangsiapa yang kenyataannya bekerja pada Angkatan Perang, menurut hukum dipandang sebagai militer, apabila dapat diyakinkan bahwa dia tidak termasuk dalam salah satu ketentuan dalam pasal di atas.

Pasal 49 Ayat (1) termasuk pula sebagai anggota Angkatan Perang. Ke-.1. para bekas tentara yang dipekerjakan untuk dinas ketentaraan.

Ke-2. komisaris-komisaris yang berkewajiban ketentaraan yang berpakaian dinas tentara tiap-tiap kali apabila mereka itu melakukan.

Ke-3. para perwira pensiunan, para anggota suatu pengadilan tentara (luar biasa) yang berpakaian dinas demikian itu.

Ke-4. mereka yang memakai pangkat militer titular baik oleh atau bedasarkan undang-undang atau dalam waktu keadaan bahaya diberikan oleh atau bedasarkan peraturan Dewan Pertahanan, selama dan sebegitu jauh mereka dalam menjalankan tugas kewajibannya, berdasarkan mana mereka memperoleh pangkat militer titular tersebut.

Pasal 45 KUHPT, menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan Angkatan Perang adalah:

1. Angkatan Darat dan Militer wajib yang termasuk dalam lingkungannya terhitung juga personil cadangan (nasional)

2. Angkatan laut dan militer wajib yang termasuk dalam lingkungannya, terhitung juga personil cadangannya (nasional)

3. Angkatan udara dan militer wajib termasuk dalam lingkungannya, terhitung juga personil cadangannya (nasional)

(41)

27

Angkatan perang merupakan wadah bagi orang-orang yang ditugaskan untuk berperang, maka Pasal 46 dan Pasal 47 merupakan penegasan siapa-siapa orangnya yang termasuk di dalam wadah tersebut.26

D. Kedudukan dan Peranan Peradilan Militer

Adanya pemisahan lembaga peradilan diantara peradilan umum dengan peradilan militer menimbulkan suatu pengaturan yang baru dan berbeda. Adanya pemisahan ini di sebabkan karena Militer adalah orang terdidik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur. Karena itu bagi mereka diadakan norma-norma atau kaidah-kaidah yang khusus. Mereka harus tunduk tanpa reserve pada tata kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan yang pelaksanaannya di awasi dengan ketat. Beberapa pihak menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Itu benar, tetapi hendaknya jangan lupa bahwa salah satu unsur untuk menegakkan disiplin itu adalah hukum. Karenanya hukum itu secara tidak langsung menyelenggarakan pemeliharaan disiplin militer. Pengadilan Militer sebagai wujud nyata bagi masyarkat umum adalah lembaga penegakan hukum/displin bagi para anggota militer. Pelaksanaan peradilan militer didalam lingkungan masing-masing angkatan seperti yang ada sebelumnya tetap berlaku hingga pada awal 1973. Tahun 1970 lahirlah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menggantikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini mendorong proses integrasi peradilan di lingkungan militer. Baru kemudian berubah ketika dikeluarkan berturut-turut:

26

(42)

28

1. Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan/Pangab pada tanggal 10 Juli 1972 No. J.S.4/10/14 – SKEB/B/498/VII/72;

2. Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan keamanan pada tanggal 19 maret 1973 No. KEP/B/10/III/1973 – J.S.8/18/19 tentang perubahan nama, tempat kedudukan, daerah hukum, jurisdiksi serta kedudukan organisatoris pengadilan tentara dan kejaksaan tentara. Barulah kemudian peradilan militer dilaksanakan secara terintegrasi. Pengadilan militer tidak lagi berada di masing-masing angkatan tetapi peradilan dilakukan oleh badan peradilan militer yang berada di bawah departemen pertahanan dan keamanan. Kemudian berdasar dari SK bersama tersebut, maka nama peradilan ketentaraan di adakan perubahan. Dengan demikian, maka kekuasaan kehakiman dalam peradilan militer dilakukan oleh:

a. Mahkamah Militer (MAHMIL);

b. Mahkamah Militer Tinggi (MAHMILTI); c. Mahkamah Militer Agung (MAHMILGUNG).

(43)

29

Pada tahun 1997 diundangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Undang-undang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan militer, mengingat aturan sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini kemudian mengatur susunan peradilan militer yang terdiri dari;

1. Pengadilan Militer;

2. Pengadilan Militer Tinggi; 3. Pengadilan Militer Utama; 4. Pengadilan Militer Pertempuran.

Dengan diundangkannya ketentuan ini, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian halnya dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara, sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Drt Tahun 1958 dinyatakan tidak berlaku lagi.

E. Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer sebagai Wujud Kepastian Hukum

(44)

30

jurisdiksi peradilan militer, kita bisa melangkah lebih jauh pada hal-hal yang tidak kalah krusial untuk dibahas. Dalam pertemuan antara DPR dengan Pemerintah beberapa waktu yang lalu tersebut disepakati untuk melanjutkan pembahasan RUU Peradilan Militer di tingkat Panitia Kerja (Panja), di mana akan dibahas beberapa hal antara lain tentang pengadilan koneksitas, serta definisi tindak pidana umum yang dilakukan prajurit Tentara Nasional Indonesia. Selain itu, ada usulan untuk melakukan penyesuaian terhadap KUHP, KUHAP, dan KUHP Militer sebelum aturan tentang Peradilan Militer direvisi. Mencermati perkembangan tersebut, tim advokasi imparsial merasa menyampaikan beberapa hal, yaitu:27

1. Sebagai perangkat dasar bagi warga negara untuk memperoleh dan mempertahankan hak-haknya, sekaligus juga untuk menjaga dan melindungi kualitas kewarganegaraan yang demokratis, harus ada kejelasan mengenai jurisdiksi peradilan, serta independensi dan fairness dari pengadilan. Dengan demikian sebuah sistem peradilan yang independen, tidak terkooptasi oleh kekuasaan lain, serta menjamin due process of law, merupakan condition sine qua non bagi perlindungan hak asasi manusia.

2. Dengan tercapainya kesepakatan mengenai jurisdiksi peradilan militer, menjadi tidak relevan untuk membahas peradilan koneksitas. Penghapusan mekanisme perkara koneksitas tidak hanya dengan mencabut perkara koneksitas dalam undang-undang tentang peradilan militer, tetapi juga harus dibarengi dengan menghapus seluruh ketentuan-ketentuan yang bersifat internal dari TNI dan menghapus seluruh ketentuan-ketentuan perihal penggunaan perkara koneksitas di seluruh peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

3. Reformasi peradilan militer dengan membatasi jurisdiksi peradilan militer, sebagai bagian dari perbaikan kualitas demokrasi dan politik kewarganegaraan kita, tidak serta merta menghapus kebutuhan akan sebuah peradilan militer yang kuat dan independen. Peradilan militer tetap diperlukan sebagai mekanisme kontrol internal terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh prajurit TNI.

4. Tentara Nasional Indonesia, sebagai sebuah institusi yang selama ini menjadi tulang punggung Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus tetap menjunjung tinggi keadilan dengan menempatkan tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI sebagai tanggung jawab personal. Dengan demikian, institusi TNI akan semakin kuat, bersih dan berwibawa.

27

Donny Adryanto, Pemerintah dan DPR Harus Segera Menuntaskan RUU Peradilan Militer,

(45)

31

5. Di tataran teknis perundang-undangan, tidak ada perubahan mendesak yang harus dilakukan terhadap KUHP, mengingat di dalam KUHP kita tidak ada pengaturan khusus ataupun pengecualian terhadap subyek hukum tertentu, khususnya prajurit TNI.

6. KUHAP Militer selama ini merupakan bagian dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dengan demikian, pembahasan RUU Peradilan Militer mencakup pula revisi terhadap KUHAP Militer. Akan menjadi lebih baik apabila KUHAP Militer ini ditempatkan sebagai aturan tersendiri yang terpisah dari Undang-Undang Peradilan Militer, sehingga Undang-Undang Peradilan Militer sepenuhnya mengatur mengenai organisasi, struktur dan fungsi peradilan militer.

7. KUHP Militer yang kita miliki saat ini adalah Wetboek van Militair Strafrecht voor Nederlands Indie (Stb. 1934 Nr. 167) yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947. Undang-Undang tersebut sudah diberlakukan di Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak tanggal 1 Oktober 1934 dengan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 25 Maret No. 35 Bbl. 1934 Nr. 337. Dengan demikian, memang sudah selayaknya kita menyusun KUHP Militer yang baru.

8. Presiden harus segera menyampaikan surat resmi sebagai jawaban atas surat DPR sekaligus untuk mempertegas posisi Pemerintah terhadap RUU Peradilan Militer. Dengan demikian, Pansus Peradilan Militer serta Departemen Pertahanan dan Departemen Hukum dan HAM dapat melanjutkan tugasnya dalam Panitia Kerja RUU Peradilan Militer untuk membahas hal-hal lain yang juga harus segera dituntaskan dalam proses reformasi peradilan militer ini.

9. Penegasan Panglima TNI mengenai doktrin baru TNI Tri Dharma Eka Karma, memperkuat kembali signifikansi penegasan jusrisdiksi peradilan militer sesuai dengan fungsi dasar TNI sebagai alat pertahanan Negara.

F. Undang-Undang Peradilan Militer yang Berlaku Saat ini

(46)

32

1. Kompetensi Absolut

Dalam undang-undang ini, peradilan militer memiliki kompentensi absolut terhadap prajurit atau orang atau badan atau golongan yang dipersamakan dengan prajurit berdasarkan undang-undang. Kompetensi berlaku pula kepada orang-orang sipil yang atas keputusan Panglima atau persetujuan Menkeh harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

2. Ruang Lingkup dan Kewenangan Peradilan Militer, yaitu:

a. Pengadilan Militer: Pengadilan tingkat pertama untuk prajurit berpangkat kapten ke bawah dan pihak lain yang masuk justisiabel peradilan militer termasuk tingkat kepangkatan kapten (penentuan tingkat kepangkatan ini ditentukan keputusan panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman); b. Pengadilan Militer Tinggi

1) Pengadilan banding untuk perkara yang telah diputus oleh pengadilan militer;

2) Pengadilan tingkat pertama untuk mengadili prajurit berpangkat mayor ke atas atau pihak lain yang termasuk tingkat kepangkatan mayor ke atas.

3) Pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan militer di daerah hukumnya

c. Pengadilan Militer Utama

1) Pengadilan tingkat banding untuk perkara yang telah diputus pada tingkat pertama oleh pengadilan militer tinggi

(47)

33

pengadilan militer tinggi yang berbeda, antar pengadilan militer tinggi dan antar pengadilan militer tinggi dengan pengadilan militer.

3) Memutus perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah Perkara dan oditur tentang diajukan atau tidaknya suatu perkara kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

4) Meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali, dan grasi kepada Mahkamah Agung.

5) Pengawasan terhadap: penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing serta tingkah laku dan perbuatan para hakim dalam menjalankan tugasnya.

d. Pengadilan Militer Pertempuran: tingkat pertama dan terakhir di daerah pertempuran. Karenanya, daerah hukumnya berada di daerah pertempuran tergantung dari perpindahan pasukan.

3. Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum)

(48)

34

4. Perwira Penyerah Perkara (Papera)

Penyerahan perkara ini berarti suatu perkara dapat: a. diserahkan ke pengadilan untuk diadili; b. diselesaikan untuk diadili;

c. ditutup demi kepentingan hukum/umum/militer

Yang memiliki kewenangan penyerah perkara adalah Panglima, Kepala Staf TNI dan yang ditunjuk komandan atau kepala kesatuan dengan syarat komandan Korem. Khusus untuk menutup perkara hanya dapat dilakukan oleh Panglima.

5. Keterbukaan Peradilan

Pengadilan militer dapat dinyatakan tertutup untuk perkara yang menyangkut rahasia militer dan/atau rahasia negara. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, kriteria rahasia militer dan rahasia negara tidak jelas sehingga potensial untuk disalahgunakan.

6. Koneksitas

(49)

35

peradilan militer yang melanggar asas persamaan di depan hukum, koneksitas harus dipahami sebagai sebuah moderasi pembaruan yang sungguh-sungguh di lingkungan peradilan militer.

7. Bantuan Hukum

Walaupun bantuan hukum diakui dalam peradilan militer, tetapi konsepnya adalah pembatasan terhadap hak bantuan hukum itu sendiri. Penasihat hukum dalam mendampingi di tingkat penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan harus atas perintah (untuk yang berasal dari dinas bantuan hukum) atau izin Papera atau pejabat lain yang ditunjuknya (untuk yang berasal dari luar dinas bantuan hukum). Bahkan untuk terdakwa sipil dalam persidangan perkara koneksitas, harus dengan izin kepala pengadilan. Selain itu, dalam berhubungan dan berbicara dengan kliennya diawasi oleh pejabat yang bersangkutan, tidak hanya melihat tetapi juga mendengar isi pembicaraan.

8. Pelaksanaan Putusan Pengadilan

(50)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Berdasarkan permasalahan dan tujuan dan penelitian ini, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan ini dilakukan dengan cara mempelajari dan menelaah teori-teori, konsep-konsep, serta perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelesaian terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum, baik dalam undang-undang formil maupun undang-undang-undang-undang meteriel.

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan ini dilakukan dengan penelitian di lapangan dengan melakukan wawancara dengan pakar terkait baik dengan akademisi, pengamat hukum.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Kedua jenis data tersebut bersumber dari:

(51)

37

2. Data sekunder, yaitu data yang bersumber dari studi kepustakaan dan studi dokumentasi perkara prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum dalam wilayah hukum Oditur Militer II-08 Jakarta.

Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. 1. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat, yaitu: a. Undang Undang Dasar 1945;

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; c. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP);

d. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

e. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

f. Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan

bahan hukum primer yang terdiri peraturan pemerintah, peraturan menteri dan petunjuk lapangan, petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan, serta peraturan pelaksanaan lainnya seperti Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer. 3. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang fungsinya melengkapi dan

(52)

38

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah: 1. Studi kepustakaan (library research)

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mencatat, mengutip hal-hal penting dari berbagai buku literatur, internet, perundang-undangan dan informasi lain yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

2. Studi lapangan (field research)

Studi lapangan untuk pengumpulan data primer dilakukan dengan cara mengadakan wawancara langsung kepada beberapa narasumber dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan. Sebagai narasumber penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Kadilmil Jakarta : 1 orang

2) Kadistut : 1 orang

3) Kaotmil : 1 orang

4) Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung : 2 orang + Jumlah = 5 orang

Data yang telah terkumpul baik data kepustakaan maupun data lapangan kemudian diproses, diperiksa dan diteliti dengan cermat. Dimaksudkan apakah ada kesalahan dan kekeliruan atau apakah ada kekurangan lainnya. Setelah cukup baik dan lengkap, kemudian data tersebut dikelompokkan dan disusun secara sistematis dan dipersiapkan untuk dianalisis.

D. Analisis Data

(53)

39

(54)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab pembahasan sebagai jawaban atas permasalahan yang timbul dalam bab pendahuluan, maka dapatlah ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut.

(55)

96

sebuah pelanggaran disiplin, Ankum dapat langsung menentukan dan memberikan hukuman.

2. Keberadaan/eksistensi peradilan militer sudah seharusnya dipertahankan, tetapi permasalahannya apakah lingkup kewenangannya tetap mengadili pelanggaran tindak pidana umum dan tindak pidana militer yang dilakukan oleh prajurit TNI atau hanya mengadili tindak pidana militer, sedangkan tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI dilakukan di peradilan sipil/umum perlu suatu aturan yang mengatur permasalahan tersebut.

B. Saran

Memperhatikan kesimpulan tersebut di atas serta dengan adanya kesempatan bagi penulis dalam penulisan ini, maka penulis mencoba memberikan saran-saran yang kemungkinan ada gunanya bagi penulis sendiri, para pembaca umumnya, maupun Instansi Pemerintah terkait pada khususnya, yaitu:

1. Hendaknya pelaksanaan hukum pidana militer di Indonesia harus mendapatkan perhatian yang khusus, agar penegakan hukum pidana militer yang sebagaiamana diinginkan oleh masyrakat dapat dilakukan dengan baik dan secara keseluruhan, salah satunya adalah dengan selalu dilakukannya pengawasan dalam proses peradilan militer itu sendiri.

(56)

97

Indonesia yang melibatkan oknum-oknum Tentara Nasional Indonesia agar dapat dijadikan pengalaman dan pelajaran untuk “hukum” Indonesia yang

(57)

DAFTAR PUSTAKA

1. Literatur

Bruggink, 1996. Refleksi tentang Hukum (Penerjemah Arif Sidharta), Bandung: Citra Aditya Bakti.

Cotterrell, Roger, 1984. The Sociology of Law An Introduction, London: Butterworths.

D. Schaffmeister, N.Keijzer, E. PH. Sutorius, 1995. Hukum Pidana, Editor Penerjemah Sahetapy, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen P & K, Jogyakarta, Liberty.

Hamzah, Andi, 2006. Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Jakarta, Penerbit PustakaKartini.

Hartono, Sunaryati, C.F.G. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni.

Huda, Chaerul, 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta, Prenada Media. Huijbers, Theo, 1991. Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius.

Kanter E.Y., dan S.R. Sianturi, 1981. Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Jakarta, Alumni AHM-PTHM.

Kusumaatmadja, Mochtar, 1978. Fungsi Hukum Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun, Jakarta: BPHN-Binacipta.

M. Friedman, Lawrence, 1977. Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc.

---. 1984. American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily lives, New York: W.W. Norton & Company. Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

(58)

Poernomo, Bambang, 1982. Hukum Pidana: Kumpulan Karangan Ilmiah, Jakarta: Bina Aksara.

Pound, Roscoe, 1989. Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara.

Prinst, Darwan, 2003. Peradilan Militer, Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti. Prodjodikoro, Wirdjono, 2009. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta,

Refika Aditama.

Rahardjo, Satjipto, 1983. Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru. Salam, Moch. Faisal, 2004. Peradilan Militer di Indonesia, cetakan kedua,

Bandung, Mandar Maju.

Saleh, Roeslan, 1979. Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan, Jakarta: Bina Aksara.

Soegiri dkk, 1976. 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia, cetakan pertama. Jakarta, Indra Jaya.

Soekanto, Soerjono, 1983. Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta. ---. 1985. Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Sudarto, 1981. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumn

Referensi

Dokumen terkait

- BKC, yaitu beton untuk kuat lentur yang berbentuk balok dengan penambahan kawat ayam berdiameter 0,7 mm dan dimensi grid 12,5 mm.. - BKB, yaitu beton untuk kuat

[r]

a) Dilakukan pengerukan sedimen pada 5 segmen saluran sekunder yaitu Kali Tembok Gede, Kali Semarang, Kali Margo Rukun, Kali Demak Timur, dan Kali Dupak, agar saluran pada

Penempatan tanaman uji di median jalan tol Jagorawi (a) dan kebun percobaan Sindangbarang (b)... Titik pengambilan sampel NO 2 udara ambien di tempat terbuka dan

Pada contoh Gambar 3.9 file data raster memiliki ekstensi .asc dan telah tergeoreferensi sehingga akan menempati lokasi yang benar dalam peta QGIS.. Apabila data raster

Dari tabel tersebut terlihat bahwa kemurnian DNA sampel ubi jalar yang diekstraksi menggunakan metode CTAB dari Tanaka dan Nakatani mempunyai kemurnian yang lebih baik dibandingkan

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa setiap pertanyaan yang digunakan yang terdiri dari 5 pertanyaan dalam menggambarkan variabel keputusan pembelian maka nilai

bahwa di negara demokratis, seharusnya negara membuka lebar-lebar tuntutan yang menjadi aspirasi mayarakat dan pelaksanaan kebebasan asasi dari para warganya,