• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kesiapasiagaan Tenaga Gizi dalam Menghadapi Gizi Darurat pada Bencana di Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Kesiapasiagaan Tenaga Gizi dalam Menghadapi Gizi Darurat pada Bencana di Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013"

Copied!
171
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KESIAPSIAGAAN TENAGA GIZI DALAM MENGHADAPI GIZI DARURAT PADA BENCANA

DI KABUPATEN ACEH BESAR

TESIS

Oleh ROSI NOVITA 117032118/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ANALISIS KESIAPSIAGAAN TENAGA GIZI DALAM MENGHADAPI GIZI DARURAT PADA BENCANA

DI KABUPATEN ACEH BESAR

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh ROSI NOVITA 117032118/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)
(4)

Telah Diuji

pada Tanggal : 04 Pebruari 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si Anggota : 1. Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes

(5)

PERNYATAAN

ANALISIS KESIAPSIAGAAN TENAGA GIZI DALAM MENGHADAPI GIZI DARURAT PADA BENCANA

DI KABUPATEN ACEH BESAR

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, April 2014

(6)

ABSTRAK

Kesiapsiagaan adalah program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan seluruh potensi sumberdaya di wilayah agar dapat menanggulangi masalah kesehatan akibat kedaruratan dan bencana secara efisien dari tahap tanggap darurat sampai rehabilitasi secara berkesinambungan sebagai bagian dari pembangunan kesehatan yang menyeluruh. Kesiapsiagaan akan membawa manusia didaerah rawan bencana pada tataran kesiapan atau kesiapsiagaan yang lebih baik dalam menghadapi bencana.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesiapsiagaan tenaga gizi menghadapi gizi darurat pada bencana di Kabupaten Aceh Besar dengan metode penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif, untuk menggambarkan tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan tenaga gizi sebagai bentuk kesiapsiagaan dalam menghadapi gizi darurat pada bencana, selain itu untuk menjelaskan masalah masalah yang mendalam berkaitan dengan kesiapsiagaan tenaga gizi dalam menghadapi gizi darurat juga dilakukan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam untuk mendukung data kuantitatif.

Dari hasil penelitian diperoleh pengetahuan tenaga gizi di Kabupaten Aceh Besar sebanyak 54,90% memiliki pengetahuan yang baik. Tenaga gizi di Kabupaten Aceh Besar memiliki sikap positif sebanyak 74,51%. Keterampilan tenaga gizi diperoleh sebanyak 25,49% yang terampil. Kesiapsiagaan tenaga gizi diperoleh sebanyak 37,25% tenaga gizi siap siaga dan 62,74% tenaga gizi kurang siap siaga. Dari wawancara mendalam juga diperoleh bahwa tenaga gizi belum pernah dilibatkan dalam kegiatan penanggulangan bencana. Koordinasi yang dilakukan selama ini masih kurang baik, pedoman gizi darurat belum dimiliki oleh tenaga gizi kecuali yang bertugas di Dinas Kesehatan, sosialisasi belum pernah diikuti, pelatihan gizi darurat belum pernah diikuti dan belum pernah diadakan simulasi bencana.

Kesimpulan penelitian ini, tenaga gizi di Kabupaten Aceh Besar masih perlu meningkatkan kesiapsiagaannya. Dukungan dan kesempatan tenaga gizi untuk meningkatkan kesiapsiagaan masih kurang. Oleh karena itu tenaga gizi perlu terus meningkatkan kemampuan dalam memberikan pelayanan gizi darurat serta perlu mendapat dukungan dari instansi terkait dalam meningkatkan kesiapsiagaan tenaga gizi, termasuk mulai dilibatkannya tenaga gizi dalam kegiatan penanggulangan bencana.

Kata Kunci : Kesiapsiagaan, Gizi Darurat, Bencana

(7)

ABSTRACT

Preparedness and complete alertness is development program which is aimed to increase the capacity and capability of all potential resources in regional level to handle health problems efficiently as the result of emergency and disaster from immediate responsiveness to sustainable rehabilitation as a part of complete health development. Preparedness and complete alertness will lead people who are subject to disaster area on to the level of good preparedness or complete alertness in facing disaster.

The objective of the research was to analyze the preparedness and complete alertness of nutrition care providers in facing emergency nutrition in disaster which occurred in Aceh Besar District, using descriptive quantitative method to describe the level of knowledge, attitude, and skill of nutrition care providers, in the form of preparedness and complete alertness, in facing emergency nutrition in the disaster area and to explain serious problems related to the preparedness and complete alertness of nutrition care providers in facing emergency nutrition, using qualitative approach and in-depth interviews to support the quantitative data.

The result of the research showed that nutrition care providers (54.90%) in Aceh Besar District had good knowledge. nutrition care providers (74.51%) had positive attitude. Nutrition care providers (25.49%) were skillful. Nutrition care providers (37.25%) were in preparedness and complete alertness, and them (62.74%) were not in preparedness and complete alertness. The result of the in-depth interviews showed that nutrition care providers were never asked to get involved in the activity of disaster response; coordination was bad; nutrition care providers did not have any guidance for emergency nutrition, except those who were in duty in the Health Office; they were never asked to participate in counseling and training about emergency nutrition; and there was no disaster simulation.

The conclusion of the research was that nutrition care providers in Aceh Besar District still need to improve their preparedness and complete alertness. There was lack of support and opportunity for nutrition care providers; therefore, they have to improve their capability in providing emergency nutrition, and the agency concerned needs to support them to improve their preparedness and complete alertness by involving them in the disaster response activities.

(8)

KATA PENGANTAR

Selayaknya hamba, bersyukur kepada Allah SWT adalah suatu keharusan,

atas helaan nafas, nikmat yang tak terhitung, diantara setiap ruas tubuh dan sendi

kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Analisis

Kesiapasiagaan Tenaga Gizi dalam Menghadapi Gizi Darurat pada Bencana di

Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013”. Selayaknya umat maka shalawat beriring salam

pantas disanjungsajikan bagi junjungan Rasululllah SAW.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan tesis ini sangat banyak

mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itulah dalam kesempatan ini penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DMT&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M,Si. dan Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes.

sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan

(9)

5. dr. Heldy BZ, M.P.H. dan dr. Arifin Siregar, M.Si. selaku anggota tim penguji

yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan guna penyempurnaan tesis

ini.

6. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar beserta jajarannya yang telah

memberikan izin melakukan penelitian sehingga tesis ini dapat diselesaikan

7. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Besar beserta

jajarannya yang telah memberikan izin melakukan penelitian sehingga tesis ini

dapat diselesaikan

8. Ketua Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Ahli Gizi Kabupaten Aceh Besar yang

telah memberikan izin melakukan penelitian sehingga tesis ini dapat diselesaikan

9. Seluruh pengajar dan staf Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat.

10.Seluruh responden dan informan yang telah meluangkan waktu untuk

diwawancarai selama penelitian ini.

11.Ayahanda (Alm) Razali Husin dan ibunda Selly Halidar atas segenap kasih

sayang pengorbanan dan doa tulusnya.

12.Teristimewa untuk suamiku Erwandi Usman atas segenap cinta, pengertian,

dorongan dan dukungan yang tak ternilai. Dan tiga permata jiwa Muhammad

Ghufran Syafiq, Mahira Dhiya Ul’Haq dan Princess Musyafa Erwandi atas setiap

(10)

13.Adikku Rosa dan suami serta Ghina Telly dan Gibran Tello-ummi atas bantuan

luar biasa.

14.Seluruh rekan rekan seperjuangan

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itulah

kritik membangun dan saran positif sangat penulis harapkan, akhirnya penulis

menyerahkan semua kepada pemilik hidup dan kematian Allah SWT untuk memohon

Ridha-Nya, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia gizi, kesehatan dan

kebencanaan, Amin.

Medan, April 2014 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangse pada tanggal 3 November 1979 dan diberi nama

Rosi Novita, beragama Islam, putri pertama dari dua bersaudara pasangan suami istri

(Alm) Razali Husin dan Selly Halidar.

Pendidikan formal penulis dimulai dari Taman Kanak Kanak Aisyah Sigli dan

selesai tahun 1987, selanjutnya menempuh pendidikan di Sekolah Dasar

Muhammadyah Sigli sampai kelas 4 dan melanjutkan di SD Negeri No 8 Tapaktuan

tamat tahun 1993, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri No.1

Tapaktuan dan tamat tahun 1994. Kemudian menjadi siswa di Sekolah Menengah

Umum Negeri No.1 Tapaktuan dan selesai pada tahun 1997. Menjadi mahasiswa

Akademi Gizi Departemen Kesehatan Banda Aceh dan selesai pada tahun 2001,

kemudian menjadi mahasiswa alih jenjang pada Jurusan Gizi Masyarakat dan

Sumberdaya Keluarga pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan selesai

pada tahun 2003.

Pada tahun 2006 sampai sekarang penulis bekerja di Jurusan Gizi Politeknik

Kesehatan Kemenkes RI Aceh di Banda Aceh, dan pada Tahun 2011 berkesempatan

melanjutkan studi dengan tugas belajar pada program studi S2 Ilmu Kesehatan

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Kesiapsiagaan ... 9

2.1.1. Parameter Kesiapsiagaan Masyarakat terhadap Bencana... 12

2.2. Kemampuan ... 14

2.3. Makanan dan Gizi pada Saat Darurat... 17

2.4. Sumber Daya Manusia ... 18

2.5. Kebutuhan Tenaga Ahli Gizi berdasarkan Jumlah Pengungsi ... 19

2.6. Standart Profesi Gizi ... 19

2.7. Organisasi Profesi Gizi di Indonesia ... 22

2.8. Pelayanan Tanggap Darurat Bencana ... 23

2.8.1. Pengawasan Makanan ... 23

2.8.2. Dapur Umum ... 24

2.8.3. Penanganan Gizi Dalam Situasi Darurat ... 25

2.9. Domain Perilaku... 28

2.10. Pengembangan Manajemen Bencana ... 33

2.11. Kerangka Teori ... 36

2.12. Kerangka Konsep ... 37

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 38

3.1. Jenis Penelitian ... 38

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

(13)

3.2.2. Waktu Penelitian ... 38

3.3. Populasi dan Sampel ... 39

3.3.1. Populasi ... 39

3.3.2. Sampel ... 39

3.3.3. Pemilihan Informan Penelitian ... 39

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 40

3.4.1. Data Primer ... 40

3.4.2. Data Sekunder ... 40

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 41

3.6 Metode Pengukuran ... 41

3.7. Metode Analisis Data ... 43

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 45

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 45

4.2. Karakteristik Responden ... 48

4.3. Distribusi Pelatihan Peningkatan Kemampuan dalam Pelayanan Gizi Darurat ... 49

4.4. Pengetahuan ... 50

4.5. Sikap ... 52

4.6 Keterampilan ... 54

4.7. Kesiapsiagaan ... 56

4.8. Karakteristik Informan ... 57

4.9. Hasil Wawancara dengan Informan Mengenai Peran Tenaga Gizi dalam Penanggulangan Bencana ... 57

4.10. Hasil Wawancara dengan Informan Mengenai Koordinasi dalam Penanggulangan Bencana ... 59

4.11.Hasil Wawancara dengan Informan Mengenai Pedoman Gizi Darurat... 60

4.12. Hasil Wawancara dengan Informan Mengenai Sosialisasi Kebencanaan dan Gizi Darurat dalam penanggulangan Bencana ... 61

4.13. Hasil Wawancara dengan Informan Mengenai Pelatihan Tenaga Gizi Untuk Meningkatkan Kapasitas dalam Penanggulangahn Bencana... 62

4.14. Hasil Wawancara dengan Informan Mengenai Simulasi Bencana ... 64

BAB 5. PEMBAHASAN ... 66

5.1. Pengetahuan Tenaga Gizi dalam Memberikan Pelayanan Gizi Darurat ... 66

(14)

5.3. Keterampilan Tenaga Gizi dalam Memberikan Pelayanan Gizi

Darurat ... 70

5.4. KesiapsiagaanTenaga Gizi ... 73

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

6.1. Kesimpulan ... 95

6.2. Saran ... 96

(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman 3.1. Variabel, Jumlah Pertanyaan, Kategori, Skor, dan Kesiapsiagaan 42

4.1. Distribusi Potensi Bencana Menurut Kecamatan di Kabupaten

Aceh Besar ... 46

4.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Tenaga Gizi di Kabupaten

Aceh Besar ... 49

4.3. Distribusi Frekuensi Pelatihan yang berkaitan dengan Peningkatan Kemampuan dalam Pelayanan Gizi Darurat ... 50

4.4. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tenaga Gizi tentang

Pelayanan Gizi Darurat Tahun 2013 ... 51

4.5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tenaga Gizi tentang

Pelayanan Gizi Darurat Tahun 2013 ... 52

4.6. Distribusi Frekuensi Sikap Tenaga Gizi dalam Menghadapi Pelayanan Gizi Darurat pada Bencana di Kabupaten Aceh

Besar ... 52

4.7. Distribusi Frekuensi Sikap Tenaga Gizi terhadap Pelayanan Gizi Darurat Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Tenaga Gizi

Berdasarkan Sikap Tenaga Gizi ... 54

4.8. Distribusi Frekuensi Keterampilan Tenaga Gizi Berkaitan

dengan Gizi Darurat ... 55

4.9. Distribusi Frekuensi Keterampilan Tenaga Gizi dalam Menghadapi Gizi Darurat pada Bencana di Kabupaten Aceh

Besar ... 56

4.10. Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Tenaga Gizi dalam Menghadapi Gizi Darurat pada Bencana di Kabupaten Aceh

(16)

4.11. Karakteristik Informan dalam Menganalisis Kesiapsiagaan Tenaga Gizi dalam Menghadapai Gizi Darurat pada Bencana di

Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013 ... 57

4.12. Matriks Peran Tenaga Gizi dalam Penanggulangan Bencana di

Kabupatean Aceh Besar Tahun 2013 ... 58

4.13. Matriks Koordinasi dalam Penanggulangan Bencana di

Kabupatean Aceh Besar Tahun 2013 ... 59

4.14. Matriks Pedoman Pelayanan Gizi Darurat dalam Penanggulangan Bencana di Kabupatean Aceh Besar Tahun

2013 ... 60

4.15. Matriks Sosialisasi Kebencanaan dan Gizi Darurat dalam Penanggulangan Bencana di Kabupatean Aceh Besar Tahun

2013 ... 62

4.16. Matriks Pelatihan Tenaga Gizi dalam Penanggulangan Bencana

di Kabupatean Aceh Besar Tahun 2013 ... 63

(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 2.1. Siklus Manajemen Bencana ... 36

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman 1. Transkrip Wawancara Mendalam ... 102

2. Pedoman Wawancara Mendalam ... 119

3. Kuesioner Penelitian Analisis Kesiapsiagaan dalam Menghadapi

Gizi Darurat pada Bencana di Kabupaten Aceh Besar ... 123

4. Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan ... 130

5. Lampiran Struktur Organisasi Badan Penanggulangan Bencana

Daerah (BPBD) Kabupaten Aceh Besar ... 149

6. Surat Izin Penelitian dari FKM USU ... 150

7. Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian dari BPBD

Kabupaten Aceh Besar ... 151

8. Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian dari Dinas

Kesehatan Kabupaten Aceh Besar ... 152

9. Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian dari DPD

(19)

ABSTRAK

Kesiapsiagaan adalah program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan seluruh potensi sumberdaya di wilayah agar dapat menanggulangi masalah kesehatan akibat kedaruratan dan bencana secara efisien dari tahap tanggap darurat sampai rehabilitasi secara berkesinambungan sebagai bagian dari pembangunan kesehatan yang menyeluruh. Kesiapsiagaan akan membawa manusia didaerah rawan bencana pada tataran kesiapan atau kesiapsiagaan yang lebih baik dalam menghadapi bencana.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesiapsiagaan tenaga gizi menghadapi gizi darurat pada bencana di Kabupaten Aceh Besar dengan metode penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif, untuk menggambarkan tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan tenaga gizi sebagai bentuk kesiapsiagaan dalam menghadapi gizi darurat pada bencana, selain itu untuk menjelaskan masalah masalah yang mendalam berkaitan dengan kesiapsiagaan tenaga gizi dalam menghadapi gizi darurat juga dilakukan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam untuk mendukung data kuantitatif.

Dari hasil penelitian diperoleh pengetahuan tenaga gizi di Kabupaten Aceh Besar sebanyak 54,90% memiliki pengetahuan yang baik. Tenaga gizi di Kabupaten Aceh Besar memiliki sikap positif sebanyak 74,51%. Keterampilan tenaga gizi diperoleh sebanyak 25,49% yang terampil. Kesiapsiagaan tenaga gizi diperoleh sebanyak 37,25% tenaga gizi siap siaga dan 62,74% tenaga gizi kurang siap siaga. Dari wawancara mendalam juga diperoleh bahwa tenaga gizi belum pernah dilibatkan dalam kegiatan penanggulangan bencana. Koordinasi yang dilakukan selama ini masih kurang baik, pedoman gizi darurat belum dimiliki oleh tenaga gizi kecuali yang bertugas di Dinas Kesehatan, sosialisasi belum pernah diikuti, pelatihan gizi darurat belum pernah diikuti dan belum pernah diadakan simulasi bencana.

Kesimpulan penelitian ini, tenaga gizi di Kabupaten Aceh Besar masih perlu meningkatkan kesiapsiagaannya. Dukungan dan kesempatan tenaga gizi untuk meningkatkan kesiapsiagaan masih kurang. Oleh karena itu tenaga gizi perlu terus meningkatkan kemampuan dalam memberikan pelayanan gizi darurat serta perlu mendapat dukungan dari instansi terkait dalam meningkatkan kesiapsiagaan tenaga gizi, termasuk mulai dilibatkannya tenaga gizi dalam kegiatan penanggulangan bencana.

Kata Kunci : Kesiapsiagaan, Gizi Darurat, Bencana

(20)

ABSTRACT

Preparedness and complete alertness is development program which is aimed to increase the capacity and capability of all potential resources in regional level to handle health problems efficiently as the result of emergency and disaster from immediate responsiveness to sustainable rehabilitation as a part of complete health development. Preparedness and complete alertness will lead people who are subject to disaster area on to the level of good preparedness or complete alertness in facing disaster.

The objective of the research was to analyze the preparedness and complete alertness of nutrition care providers in facing emergency nutrition in disaster which occurred in Aceh Besar District, using descriptive quantitative method to describe the level of knowledge, attitude, and skill of nutrition care providers, in the form of preparedness and complete alertness, in facing emergency nutrition in the disaster area and to explain serious problems related to the preparedness and complete alertness of nutrition care providers in facing emergency nutrition, using qualitative approach and in-depth interviews to support the quantitative data.

The result of the research showed that nutrition care providers (54.90%) in Aceh Besar District had good knowledge. nutrition care providers (74.51%) had positive attitude. Nutrition care providers (25.49%) were skillful. Nutrition care providers (37.25%) were in preparedness and complete alertness, and them (62.74%) were not in preparedness and complete alertness. The result of the in-depth interviews showed that nutrition care providers were never asked to get involved in the activity of disaster response; coordination was bad; nutrition care providers did not have any guidance for emergency nutrition, except those who were in duty in the Health Office; they were never asked to participate in counseling and training about emergency nutrition; and there was no disaster simulation.

The conclusion of the research was that nutrition care providers in Aceh Besar District still need to improve their preparedness and complete alertness. There was lack of support and opportunity for nutrition care providers; therefore, they have to improve their capability in providing emergency nutrition, and the agency concerned needs to support them to improve their preparedness and complete alertness by involving them in the disaster response activities.

(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

bencana, baik yang disebabkan kejadian alam seperi gempa bumi, tsunami, tanah

longsor, letusan gunung berapi, banjir, angin puting beliung dan kekeringan, maupun

yang disebabkan oleh ulah manusia dalam pengolahan sumberdaya dan lingkungan

serta konflik antar kelompok masyarakat (Depkes, RI, 2006).

Penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin

terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,

terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada

masyarakat dari ancaman, resiko, dan dampak bencana. Penyelenggaraan bencana

meliputi tahap prabencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana (UU,

Penanggulangan Bencana, No 24 Tahun 2007).

Semula penanggulangan bencana lebih ditekankan kepada bantuan

kemanusiaan dan pertolongan darurat. Saat ini penanggulangan bencana juga

dilakukan melalui pengurangan resiko bencana, disamping tetap memberikan bantuan

kemanusiaan dan pertolongan darurat saat terjadi bencana, dilakukan juga upaya

upaya penting untuk pengurangan resiko bencana dalam jangka panjang yang

diintegrasikan dalam program pembangunan. Ini adalah cara yang lebih efektif untuk

(22)

ini disebut perubahan pola pikir dalam penanganan bencana, yang semula bersifat

menunggu sampai terjadi bencana baru bertindak memberi bantuan kemanusian dan

pertolongan darurat, berubah menjadi bersifat pencegahan, mitigasi dan

kesiapsiagaan menghadapi bencana (Disaster Risk Reduction Aceh, 2011).

Hal ini juga sejalan dengan kerangka kerja aksi Hyogo 2005-2015,

membangun ketahanan bangsa dan masyarakat terhadap bencana yang merumuskan

tiga hal yang perlu diperhatikan : (1) menginterasikan pengurangan resiko bencana

kesetiap kebijakan dan perencanaan pembangunan berkelanjutan, (2) membangun

dan memperkuat kelembagaan, mekanisme, dan kemampuan dalam ketahanan

menghadapi bencana, (3) memasukkan pendekatan pengurangan resiko bencana

secara sitematik dalam pelaksanaan kesiapsiagaan menghadapi bencana, tanggap

darurat, dan pemulihan serta rehabilitasi bagi masyarakat yang terkena bencana

(Nurjanah, 2011).

Kesiapsiagaan adalah program pembangunan jangka panjang yang bertujuan

untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan seluruh potensi sumberdaya di

wilayah agar dapat menanggulangi masalah kesehatan akibat kedaruratan dan

bencana secara efisien dari tahap tanggap darurat sampai rehabilitasi secara

berkesinambungan sebagai bagian dari pembangunan kesehatan yang menyeluruh

(World Health Organization, 2009).

Kesiapsiagaan adalah tindakan untuk meningkatkan kapasitas tenaga

kesehatan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan agar berada dalam

(23)

Kejadian bencana umumnya berdampak merugikan. Rusaknya sarana dan

prasarana fisik (perumahan penduduk, bangunan perkantoran, sekolah, tempat ibadah,

sarana jalan, jembatan dan lain lain) hanyalah sebagian kecil dari dampak bencana

disamping masalah kesehatan seperti korban luka, penyakit menular tertentu,

menurunnya status gizi masyarakat, stres pasca trauma, dan masalah psikososial

lainnya, bahkan korban jiwa. Bencana dapat pula mengakibatkan terjadinya arus

pengungsian penduduk ke lokasi lokasi yangg dianggap aman. Hal ini tentu

menimbulkan masalah kesehatan baru diwilayah yang menjadi tempat penampungan

pengungsi, mulai dari munculnya kasus penyakit dan masalah gizi serta masalah

reproduksi hingga masalah penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, penyediaan air

bersih, sanitasi serta menurunnya kualitas kesehatan lingkungan (Depkes RI, 2006).

Penanggulangan krisis akibat bencana merupakan serangkaian kegiatan

bidang kesehatan untuk mencegah, menjinakkan (mitigasi) ancaman/bahaya yang

berdampak pada aspek kesehatan masyarakat, mensiapsiagakan sumberdaya

kesehatan, menanggapi kedaruratan kesehatan, memulihkan (rehabilitasi) serta

membangun kembali (rekonstruksi) infrastruktur kesehataan yang rusak akibat

bencana secara lintas program dan lintas sektor (Kemenkes RI, 2011).

Salah satu kendala yang sering dijumpai dalam upaya penanggulangan krisis

di daerah bencana adalah kurangnya SDM (Sumber Daya Manusia) kesehatan yang

dapat difungsikan dalam penanggulangan krisis akibat bencana yang terjadi.

Kekurangan tenaga tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain keadaan

(24)

atau adanya tenaga kesehatan yang menjadi korban pada saat terjadi bencana

(Kemenkes RI, 2011).

Dikatakan bahwa kunci utama penanganan bencana terdapat pada pendidikan

kepada penduduk, namun demikian yang penting adalah siapakah yang akan

melaksanakan pendidikan kepada penduduk. Tingkat spesialis mereka pun berbeda

beda seperti kelompok yang memiliki kompetensi tertentu yang bermanfaat pada saat

pelaksanaan penanggulangan bencana, tenaga ahli untuk manajemen kehidupan di

tempat pengungsian, tenaga ahli untuk keamanan dan informasi, bagaimana pun juga

yang penting adalah bukan membina SDM khusus untuk bencana akan tetapi

pelatihan yang berkelanjutan supaya SDM yang biasanya menangani fungsi tersebut

pada saat normal bisa menerapkan fungsi tersebut pada saat normal bisa menerapkan

fungsi tersebut pada saat darurat (Keperawatan Bencana, 2007)

Keberhasilan penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana ditentukan oleh

kesiapan masing masing unit kesehatan yang terlibat, manajemen penanganan

bencana serta kegiatan pokok seperti penanganan korban massal, pelayanan

kesehatan dasar di pengungsian, penanggulangan dan pengendalian penyakit,

penyediaan air bersih dan sanitasi, penanganan gizi darurat, penanganan kesehatan

jiwa, serta pengelolaan logistik dan perbekalan kesehatan (Kemenkes, 2011).

Berdasarkan hasil pemantauan Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan

Akibat Bencana, Kementerian Kesehatan (2011), selama tahun 2006 sampai 2009

telah terjadi ekskalasi kejadian maupun jumlah korban akibat bencana. Kejadian

(25)

(2009). Jumlah korban yang meninggal, hilang luka berat dan ringan tercatat 298.550

orang (2006), 353.885 orang (2007), dan 57.753 orang (2009).

Dampak kerugian akibat bencana secara fisik umumnya adalah rusaknya

berbagai sarana dan prasarana fisik seperti pemukiman, bangunan fasilitas pelayanan

umum, dan sarana transportasi. Namun demikian, dampak yang lebih mendasar

adalah timbulnya permasalahan kesehatan dan gizi pada kelompok masyarakat

korban bencana akibat rusaknya sarana pelayanan kesehatan, terputusnya jalur

ditribusi pangan, rusaknya sarana air bersih dan sanitasi lingkungan yang buruk.

Masalah gizi yang biasa timbul adalah kurang gizi pada bayi dan anak yang

berumur dibawah dua tahun (Baduta), bayi tidak mendapatkan air susu ibu karena

terpisah dari ibunya, dan semakin memburuknya status gizi kelompok masyarakat

yang sebelum bencana memang dalam kondisi bermasalah. Kondisi ini diperburuk

dengan bantuan makanan yang sering terlambat, tidak berkesinambungan, serta

terbatasnya ketersediaan pangan lokal (Kemenkes, 2010).

Masalah lain yang sering muncul adalah bantuan pangan dari dan luar negeri

yang mendekati atau melewati masa kadaluarsa tidak disertai label halal dan

melimpahnya bantuan susu formula dan botol susu. Masalah tersebut diperburuk

dengan kurangnya pengetahuan dalam penyiapan makanan buatan lokal khusus untuk

bayi.

Dalam pelaksanaan, upaya penanganan gizi dalam situasi darurat merupakan

rangkaian kegiatan dimulai sejak sebelum terjadinya bencana melalui pembekalan

(26)

penanganan bencana. Semua dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan

kapasitas tenaga gizi (Kemenkes RI, 2010).

Kemampuan adalah upaya atau tindakan yang dapat dilakukan seseorang atau

masyarakat untuk mengurangi korban jiwa, kerugian harta benda atau kerusakan.

Dengan kata lain kemampuan merupakan penguasaan sumberdaya, cara, dan

kekuatan yang dimiliki seseorang atau masyarakat yang memungkinkan mereka

untuk mempertahankan dan mempersiapkan diri, mencegah, mengurangi,

menanggulangi, meredam resiko bencana, serta dengan cepat memulihkan diri dari

akibat bencana (Disaster Rsik Reduction Aceh, 2011).

Keberadaan wilayah Kabupaten Aceh Besar jika ditinjau dari berbagai jenis

bencana cukup memiliki tingkat kerawanan yang membutuhkan kesiapsiagaan.

Kabupaten Aceh Besar merupakan wilayah yang memiliki indeks risiko tinggi untuk

bencana gempa bumi, tsunami, gunung api, gerakan tanah, banjir, kebakaran hutan,

kebakaran gedung dan pemukiman. Selain itu bencana kekeringan dan erosi untuk

wilayah Aceh Besar tergolong dalam indeks risiko sedang (Rencana Nasional

Penanggulangan Bencana 2010-2014).

Selama ini penangulangan bencana di bidang kesehatan pada Dinas Kesehatan

Kabapaten Aceh Besar terdapat di bawah seksi pelayanan medik, dimana tenaga gizi

belum dilibatkan secara langsung dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat

bencana, tenaga gizi juga belum pernah mendapatkan sosialisasi mengenai bagaimana

seharusnya bertindak jika terjadi bencana di wilayah kerja. Koordinasi juga masih

(27)

kemudian tenaga gizi dilibatkan, padahal jika tenaga gizi ikut dalam tim kesehatan

tersebut, dapat melakukan pemantauan sehingga munculnya kasus gizi buruk sudah

dapat diidentifikasi lebih awal ketika masih berada dalam kondisi gizi kurang.

Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki

ancaman bahaya dari berbagai jenis bencana yang membutuhkan kesiapsiagaan

semua unsur, dimana salah satunya adalah sumber daya tenaga kesehatan terutama

tenaga gizi dalam penanggulangan bencana. Kesiapsiagaan yang dimaksud ini

merupakan upaya upaya yang difokuskan kepada pengembangan rencana rencana

menghadapi bencana.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan

penelitian untuk menganalis kesiapsiagaan tenaga gizi menghadapi gizi darurat pada

bencana di Kabupaten Aceh Besar.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian tersebut diatas maka rumusan

dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kesiapsiagaan tenaga gizi menghadapi gizi

darurat pada bencana di Kabupaten Aceh Besar.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk menganalisis kesiapsiagaan

(28)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan bagi Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat

Bencana dalam rangka pengembangan sumberdaya manusia kesehatan.

2. Sebagai masukan bagi Badan Penanggulangan Bencanan Daerah Aceh Besar

3. Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar selaku

(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kesiapsiagaan

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat

guna dan berdaya guna (UU Penanggulangan Bencana, 2007). Pengelolaan bencana

yang efektif memerlukan kombinasi empat konsep, yaitu atas semua bahaya,

menyeluruh, terpadu, dan kesiapan masyarakat, pendekatan terpadu pegelolaan

bencana efektif memerlukan kerjasama aktif berbagai pihak terkait, artinya semua

organisasi dengan tugasnya masing masing bekerjasama dalam pengelolaan bencana.

Menurut Undang Undang No 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana

disampaikan bahwa pemerintah melaksanakan kesiapsiagaan penanggulangan

bencana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 15 huruf a untuk memastikan

terlaksananya tindakan yang cepat dan tepat pada saat terjadi bencana meliputi,

penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan bencana. Pengorganisasian,

pemasangan dan pengujian sistim peringatan dini. Penyediaan dan penyiapan barang

pasokan pemenuhan barang kebutuhan dasar. Pengorganisasian, penyuluhan,

pelatihan dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat bencana. Penyiapan lokasi

evakuasi, penyusunan data akurat, informasi, dan pemukhtakiran prosedur tetap

tanggap darurat bencana, dan penyediaan dan penyiapan bahan, barang dan peralatan

(30)

Kesiapsiagaan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi

kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian

harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan

dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi, kegiatan yang

dilakukan antara lain: (a) pengaktifan pos pos siaga bencana dengan segenap

pendukungnya, (b). pelatihan siaga/ simulasi/ gladi/ teknis bagi setiap sektor

penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum),

(c) inventaris sumberdaya pendukung kedaruratan, (d) penyiapan dukungan dan

mobilisasi sumberdaya/logistik, (e) penyiapan sistem informasi dan komunikasi

terpadu guna mendukung tugas kebencanaan, (f) penyiapan pemasangan instrument

sistem peringatan dini (early warning), (g) penyusun rencana kontigensi (contigency

plan), serta (h) mobilisasi sumberdaya dalam hal personil dan prasarana/ sarana

peralatan (Depkes, 2007).

Menurut WHO (1999), kesiapsiagaan adalah program pembangunan

kesehatan jangka panjang yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan

kemampuan seluruh potensi sumberdaya wilayah agar dapat menanggulangi masalah

kesehatan akibat kedaruratan dan bencana secara efisien dari tahap tanggap darurat

sampai rehabilitasi secara berkesinambungan sebagai bagian dari pembangunan

kesehatan yang menyeluruh.

Kesiapsiagaan menghadapi bencana yaitu bila upaya pencegahan dan mitigasi

(31)

upaya kesiapsiagaan, peringatan dini, dan beberapa kegiatan tanggap darurat bencana

masuk dalam kegiatan kesiapsiagaan (Disaster Risk Reduction Aceh, 2011).

Kesiapsiagaan menurut Kemenkes (2011), upaya yang dilaksanakan untuk

mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana, dilakukan pada saat bencana sudah

mulai teridentifikasi terjadi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain adalah,

penyusunan rencana kontijensi, simulasi/galdi/pelatihan siaga, penyiapan dukungan

sumberdaya, penyiapan sistim informasi dan komunikasi.

Kesiapsiagaan merupakan upaya upaya yang difokuskan kepada

pengembangan rencana rencana untuk menghadapi bencana. Ini penting artinya untuk

memastikan bahwa tindakan-tindakan yang akan diambil segera setelah terjadi

bencana terjadi merupakan tindakan yang cepat, tepat, dan efektif. Tujuan dari usaha

kesiapsiagaan dalam bidang kesehatan adalah: (a) meminimalkan jumlah korban. (b)

mengurangi penderitaan korban (c) mencegah munculnya masalah kesehatan pasca

bencana (d) memudahkan upaya tanggap darurat dan pemulihan cepat (Kepmenkes,

2006).

Upaya kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi

bencana. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan

terjadi. Upaya upaya yang dapat dilakukan adalah: penyusunan rencana kontinjensi,

simulasi/gladi/pelatihan siaga, penyiapan dukungan sumberdaya, dan penyiapan

(32)

2.1.1. Parameter Kesiapsiagaan Masyarakat terhadap Bencana

Menurut LIPI – UNESCO/ISDR (2006) terdapat 5 faktor kritis kesiapsiagaan

untuk mengantisipasi bencana alam, terutama tsunami, yaitu :

(a) pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana, (b) kebijakan dan panduan, (c)

rencana untuk keadaan darurat bencana, (d) sistem peringatan bencana dan, (e)

kemampuan untuk memobilisasi sumberdaya. Kelima faktor kritis ini kemudian

disepakati menjadi parameter dalam assessment framework.

1. Parameter pertama adalah pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana.

Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan.

Pengalaman bencana tsunami di Banda Aceh dan daerah lain akan memberikan

pelajaran bahwa pengetahuan memiliki peran yang sangat penting terutama

mengenai bencana alam. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat memengaruhi

sikap dan kepedulian untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana terutama

bagi mereka yang tinggal di wilayah yang memiliki resiko bencana.

2. Parameter kedua adalah kebijakan dan panduan yang berkaitan dengan

kesiapsiagaan untuk mengantisipasi kejadian bencana alam. Kebijakan

kesiapsiagaan bencana alam sangat penting dan merupakan upaya konkrit untuk

melaksanakan kegiatan siaga bencana. Kebijakan yang signifikan berpengaruh

terhadap terhadap kesiapsiagaan meliputi pendidikan publik, emergency planing,

sistem peringatan bencana, dan mobilisasi sumberdaya, termasuk pendanaan,

organisasi pengelola, sumber daya manusia (SDM) dan fasilitas penting untuk

(33)

tetapi akan lebih bermakna apabila dicantumkan secara konkrit dalam peraturan

peraturan, seperti Surat Keputusan atau Peraturan Daerah (di Aceh Qanun) yang

disertai dengan job description yang jelas. Agar kebijakan dapat

diimplementasikan dengan optimal, maka dibutuhkan panduan operasionalnya.

3. Parameter ketiga adalah rencana untuk keadaan darurat bencana alam, rencana

ini menjadi bagian penting dalam kesiapsiagaan terutama berkaitan dengan

evakuasi, pertolongan dan penyelamatan, agar korban bencana dapat

diminimalkan. Upaya upaya ini sangat krusial, terutama ada saat terjadi bencana

dan hari hari pertama setelah bencana sebelum bantuan dari pemerintah dan pihak

luar datang. Pengalaman bencana di Aceh dan Indonesia secara umum

menunjukkan bantuan dari pihak luar tidak segera datang, karena rusaknya sarana

dan infrastruktur, seperti jalan jembatan dan pelabuhan.

4. Parameter ke empat berkaitan dengan sistim peringatan bencana. Sistim ini

meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi akan terjadinya bencana.

Dengan peringatan bencana ini, masyarakat dapat melakukan tindakan yang tepat

untuk mengurangi korban jiwa, harta benda dan kerusakan lingkungan, untuk itu

diperlukan latihan dan simulasi apa yang harus dilakukan apabila mendengar

peringatan, kemana dan bagaimana harus menyelamatkan diri dalam waktu

tertentu, sesuai dengan lokasi dimana masyarakat sedang berada saat terjadi

peringatan.

5. Parameter kelima yaitu: mobilisasi sumber daya. Sumberdaya yang tersedia

(34)

penting untuk keadaan darurat merupakan potensi yang dapat mendukung atau

sebaliknya menjadi kendala dalam kesiapsiagaan bencana alam, karena itu

mobilisasi sumberdaya menjadi faktor yang krusial.

2.2. Kemampuan

Kemampuan menurut Spencer adalah karakteristik dasar yang terdiri dari

keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge) serta atribut personal lainnya yang

mampu membedakan sesorang yang melakukan dan tidak melakukan. Setiap orang

mempunyai kekuatan dan kelemahan dalam kemampuan yang membuatnya relatif

unggul atau menonjol dibandingkan orang lain dalam melakukan tugas atau kegiatan

tertentu. Kemampuan (ability) merujuk kesuatu kapasitas individu untuk mengerjakan

berbagai tugas dalam suatu pekerjaan (Sedarmayanti,2010).

Kemampuan merupakan kombinasi dari semua kekuatan dan sumberdaya

yang ada dalam masyarakat, kelompok atau organisasi yang bisa mengurangi tingkat

resiko atau akibat dari bencana. Kajian kemampuan mengidentfikasi kekuatan dan

sumberdaya yang ada di tiap individu, rumah tangga dan masyarakat untuk

mengatasi, bertahan, mencegah, menyiapkan, mitigasi atau segera pulih setelah

bencana. Mengatasi berarti memanfaatkan sumberdaya dalam keadaan yang tidak

menguntungkan (BNPB, 2011)

Kemampuan merupakan keadaan adanya atau tersedianya upaya atau tindakan

(35)

dapat dilakukan seseorang atau masyarakat untuk mengurangi korban jiwa, harta

benda atau kerusakan.

Secara sederhana, hubungan antara kejadian bencana, ancaman bahaya

(hazard-H), kerentanan (Vulnerable-V), kapasitas atau kemampuan (capacity-C) dan

risiko bencana (Risk-R) dapat digambarkan sebagai berikut:

Bencana dapat terjadi setiap saat dimana saja. Tiap bencana mengandung

ancaman bahaya (hazard). Tiap orang atau masyarakat menjadi lebih rentan terhadap

ancaman bahaya bila keadaan fisik, sosial dan ekonominya rentan serta tinggal di

daerah rawan bencana. Ancaman bahaya dapat menimbulkan risiko yang tinggi pada

manusia atau masyarakat yang rentan saat terjadi bencana. Oleh karena itu untuk

mengurangi dampak risiko maka kapasitas atau kemampuan orang atau masyarakat

harus ditingkatkan. Kemampuan ditingkatkan, dibuktikan, dan ditunjukkan dengan

upaya untuk mengurangi tingkat kerentanan (Disaster Risk Reduction Aceh, 2011).

Kemampuan petugas dalam penanganan gizi pada situasi darurat secara cepat

dan tepat sehingga dapat mencegah terjadinya penurunan status gizi pengungsi,

diantara kemampuan tersebut dapat dijabarkan menjadi tiga yaitu:

1. Kemampuan petugas di lapangan dalam mengenali dan memecahkan masalah gizi

terutama pada bayi, baduta, ibu hamil, dan ibu menyusui pada situasi darurat.

2. Kemampuan petugas di lapangan dalam penyelenggaraan makanan kepada

pengungsi pada situasi darurat khususnya kelompok rawan.

3. Kemampuan petugas di lapangan dalam mengelola bantuan makanan termasuk

(36)

Dalam manajemen bencana, resiko bencana adalah interaksi antara tingkat

kerentanan daerah dengan ancaman bahaya yang ada, tingkat kerentanan daerah

dapat dikurangi sehingga kemampuan dalam menghadapi bencana semakin

meningkat dengan kata lain menurunkan tingkat kerentanan dan meningkatkan

kemampuan, sehingga resiko jika terjadi bencana akan berkurang (Nurjanah, 2012).

Menurut Twigg (2007) dalam rangka pengurangan resiko bencana diperlukan

masyarakat yang tahan bencana agar jika terjadi bencana maka masyarakat sudah siap

sehingga resiko yang mungkin ditimbulkan dapat diminimalkan. Diketahui bahwa

pegurangan resiko bencana adalah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi,

mengkaji, dan mengurang resiko bencana. Ini merupakan upaya pengembangan dan

penerapan secara luas dari kebijakan, strategi, kegiatan untuk meminimalkan

kerentanan dan resiko bencana di masyarakat dengan tujuan untuk mengurangi

kerentanan sosial, ekonomi terhadap bencana dan mengurangi ancaman bahaya

lingkungan maupun bahaya lainnya yang menimbulkan kerentanan. Untuk itu

masyarakat perlu diberdayakan agar tahan menghadapi bencana, adapun ciri ciri

masyarakat yang tahan bencana harus mempunyai:

1. Kemampuan untuk menyerap tekanan yang menghancurkan yang dilakukan

melalui perlawanan atau adaptasi.

2. Kemampuan untuk mengelola atau mempertahankan fungsi fungsi dan struktur

dasar tertentu selama adanya kejadian yang mendatangkan malapetaka.

3. Kemampuan untuk memulihkan diri setelah kejadian bencana sehingga kehidupan

(37)

2.3. Makanan dan Gizi pada Saat Darurat

Upaya penanganan gizi dalam situasi rangkaian kegiatan dimulai sejak

sebelum terjadi bencana yang dilakukan melalui pembekalan tentang penanganan gizi

dalam situasi darurat kepada tenaga gizi (Depkes,2010).

Kekurangan makanan pada kondisi pasca bencana umumnya terjadi akibat

dua sebab. Pertama adalah kerusakan persediaan makanan di daerah yang tertimpa

bencana, disertai dengan kehilangan persediaan makanan pribadi sehingga

menggurangi ketersediaan atau keterjangkauan makanan secara langsung. Kedua

adalah sistim distribusi yang tidak teratur, ikut berperan dalam kekurangan makanan

walau sebenarnya kelangkaan total tidak benar benar terjadi. Setelah gempa bumi,

kasus kekurangan makanan jarang mencapai tingkatan yang cukup parah yang dapat

mengakibatkan malnutrisi. Meluapnya sungai dan gelombang pasang luar biasa yang

menyebabkan banjir di pesisir pantai dapat mempengaruhi persediaan makanan dan

merusak panen, selain mengganggu distribusinya. Distribusi makanan yang efisien

mungkin menjadi kebutuhan kunci dalam jangka pendek tetapi skala besar atau

sumbangan makanan jarang dibutuhkan (World Health Organization, 2006)

Ketika beberapa indikator bencana diidentifikasi, perlu langkah-langkah

kesiapsiagaan dan darurat, seperti persedian makanan darurat dan staf terlatih untuk

mengurangi tingkat kematian, karena kematian pada populasi pengungsi dapat

meningkat sepuluh kali lebih tinggi jika dibandingkan pada tingkat kematian untuk

(38)

Tujuan dari bantuan makanan pada tanggap darurat adalah untuk memberikan

makanan tepat waktu dalam jumlah yang cukup dengan kualitas makanan yang baik

kepada penduduk yang terkena bencana untuk mengurangi risiko kekurangan gizi

akut dan mencegah kematian pada kelompok rawan dan pengungsi, sehingga

masyarakat, rumah tangga dan individu dapat bertahan dan pulih dari keadaan

darurat. Menerapkan bantuan pangan yang memadai pada tahap awal merupakan

kombinasi tindakan dengan kesehatan masyarakat sehingga akan mempertahankan

status gizi penduduk yang terkena bencana (Johshopkins,2013).

2.4. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia kesehatan adalah seorang yang bekerja secara aktif di

bidang kesehatan baik yang memiki pendidikan formal kesehatan maupun tidak yang

untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan,

(DepKes Nomor 066/MenKes/SK/II/2006). Manajemen sumber daya manusia

kesehatan adalah serangkaian kegiatan perencanaan dan pendayagunaan tenaga yang

bekerja secara aktif di bidang kesehatan dalam melakukan upaya kesehatan. Pada

saat terjadi bencana perlu adanya mobilisasi sumber daya manusia kesehatan yang

tergabung dalam suatu tim penanggulangan krisis yang meliputi: tim reaksi cepat,

tim penilai cepat, tim bantuan kesehatan.

Untuk mengkoordinir kegiatan tersebut maka ditunjuklah kepala Dinas

(39)

Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 066 Tahun 2006, dan ahli gizi perannya

termasuk kedalam tim bantuan kesehatan.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan Nurul (2010) tentang kesiapsiagaan

sumberdaya manusia kesehatan di DKI Jakarta, sebagaian besar sumberdaya manusia

kesehatan menyatakan siap siaga dalam menghadapi bencana (68,1%) dan sebanyak

31,9% menyatakan tidak siap dalam menghadapi bencana.

2.5. Kebutuhan Tenaga Ahli Gizi Berdasarkan Jumlah Pengungsi

Kebutuhan ahli gizi dalam tim bantuan kesehatan yang diberangkatkan setelah

tim reaksi cepat atau tim RHA kembali dengan laporan hasil kegiatan dilapangan

adalah sebagai berikut, jika jumlah pengungsi antara 10.000-20.000 orang

dibutuhkan ahli gizi sebanyak 2-4 orang. Dan jikalau jumlah pengungsi 5.000 orang

dibutuhkan 1 orang ahli gizi untuk pelayanan 8 jam, dan 1 orang untuk pelayanan 24

jam (Kemenkes RI, 2012).

Kabupaten Aceh besar saat ini memiliki 57 orang ahli gizi yang bisa

memberikan pelayanan kegizian, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk

Kabupaten Aeh Besar saat ini maka mashi terjadi kekurangan sumberdaya tenaga gizi

sebanyak 15 orang.

2.6. Standart Profesi Gizi

Profesi gizi adalah suatu pekerjaan di bidang gizi yang dilaksanakan

(40)

melalui pendidikan yang berjenjang, memiliki kode etik dan bersifat melayani

masyarakat (Standart Profesi Gizi, 2007).

Profesi gizi memiliki ciri ciri yaitu, menekankan pada teknik intelektual

dalam melaksanakan layanan. Memerlukan latihan latihan khusus dalam masa relatif

panjang. Para anggota mempunyai otonomi yang luas dalam melaksanakan keahlian.

Menekankan pada pengabdian daripada keuntungan ekonomi. Mempunyai kode etik

yang jelas bagi para anggotanya. Adanya asosiasi atau organisasi profesi. Adanya

pengakuan masyarakat sebagai profesi. Adanya perhatian yang profesional terhadap

pelaksanaan profesi (adanya sanksi, perlu lisensi, dan sebagainya). Mempunyai

hubungan kerja sama dengan profesi lain (Bakri, 2010).

Soekirman dalam Bakri (2010), menyatakan bahwa profesional harus

memiliki persyaratan sebagai berikut: (a) berpendidikan, berpengetahuan, dan

memiliki keterampilan yang cukup. (b) mempunyai etika yang baik, antara lain jujur,

tepat janji, berfalsafah ilmu padi. (c) mempunyai integritas yaitu, memiliki nilai

intelektual yang baik, harga diri, dan memiliki kebanggaan serta kepribadian.

(d) mempunyai organisasi, tempat ia bertukar pikiran dan bertukar pengetahuan/ilmu

serta mengembangkan diri. (e) memiliki jurnal yang bisa menunjang profesinya.

Sedangkan Tait de Marco (1996), menyatakan bahwa professional harus

memenuhi tiga hal yaitu: memiliki pengetahuan, keahlian, dan keterampilan khusus

yang tidak dimiliki profesi lain. Memegang teguh nilai- nilai dan prilaku khas untuk

(41)

Selanjutnya Azwar (1994), menjelaskan bahwa profesional mempunyai 4 (empat) ciri

sebagai berikut:

1. Body of Knowledge, yaitu memiliki seperangkat pengetahuan sesuai bidang profesi

yang digelutinya.

2. Continuing Education, yaitu senantiasa meningkat kemampuan dan keterampilan

melalui pendidikan berkelanjutan.

3. Altruism, artinya memiliki jiwa pengabdian dan dedikasi, bekerja adalah untuk

bekerja sesuai profesi yang diembannya, tanpa pamrih, apa pun.

4. Ethics, yaitu seperangkat standar/ prinsip-prinsip moral yang menilai,

menyesuaikan, dan mengatur perilaku manusia.

Standar kompetensi gizi adalah standart kemampuan yang menjamin bahwa

ahli gizi dan ahli madya dapat menyelenggarakan praktek pelayanan gizi dalam

masyarakat. Sedangkan standar pelayanan gizi adalah standar yang mengatur

penerapan ilmu gizi dalam memberikan pelayanan dan asuhan gizi dengan

pendekatan manajemen kegizian (KepMenKes RI,2008).

Pelayanan gizi adalah suatu upaya memperbaiki atau meningkatkan gizi,

makanan, dietetik masyarakat, kelompok individu atau klien yang merupakan suatu

rangkaian kegiatan yang meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis, kesimpulan,

anjuran, implementasi, dan evaluasi gizi, makanan dan dietetik dalam rangka

mencapai status kesehatan optimal dalam kondisi sehat atau sakit. Ada beberapa

pengertian tentang ahli gizi. Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan

(42)

gizi serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui suatu pendidikan

khususnya bidang gizi. Tugas yang diemban oleh ahli gizi berguna untuk

kesejahteraan manusia. Peran ahli gizi diantaranya adalah berpartisipasi bersama tim

kesehatan dan tim lintas sektoral (Bakri, 2010).

2.7. Organisasi Profesi Gizi di Indonesia

Saat ini terdapat beberapa organisasi profesi yang berkaitan dengan gizi,

antara lain: PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi Indonesia), ASDI (Asosiasi Dietesien

Indonesia), PERGIZI PANGAN (Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan Indonesia),

PDGKI (Persatuan Dokter Gizi Klinik Indonesia), PERNEPARI (Perhimpunan

Nutrisi Enteral dan Parenteral Indonesia). Masing masing organisasi profesi tersebut

memiliki anggaran dasar/ anggaran rumah tangga serta kode etik masing masing.

PERSAGI didirikan di Jakarta pada Tanggal 13 Januari 1957. Pada saat itu

beranggotakan para lulusan SMK Gizi dan Akademi Gizi. Sesuai dengan

perkembangannya, organisasi ini telah mengubah sejumlah ketentuan tentang

anggotanya, yaitu sebagai anggota biasa memiliki ijazah sekurang kurangnya sarjana

muda gizi atau D3 gizi dan sarjana berlatar belakang gizi yang diakui pemerintah.

Sesuai dengan Anggaran Dasar dalam organisasi ini pada pasal 5 PERSAGI

memiliki tujuan untuk: (a) meningkatkan keadaan gizi masyarakat.

(b) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang gizi dan bidang lainnya

yang terkait. (c) membina dan mengembangkan kemampuan profesional anggota.

(43)

2.8. Pelayanan Tanggap Darurat Bencana

Pelayanan kesehatan pada saat bencana merupakan faktor yang sangat penting

untuk mencegah terjadinya kematian, kecacatan dan kejadian penyakit, karena

bencana merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan dan biasanya terjadi secara

mendadak serta disertai jatuhnya korban (Rustrini, dkk,2011)

Posko pelayanan kesehatan sangat diperlukan dalam penanganan bencana/

musibah. Hal tersebut dikarenakan pengungsi/masyarakat yang terkena musibah atau

bencana rawan terhadap penyakit, baik secara fisik maupun secara psikologi. Oleh

karena itu petugas kesehatan yang berhadapan langsung dengan masyarakat harus

cepat tanggap mendirikan posko pelayanan.

Salah satu pelayanan yang perlu dilakukan adalah pelayanan gizi pada posko

pelayanan bencana. Pada keadaan dimana belum tersedianya fasilitas dan sarana air

bersih maka tidak ada salahnya untuk memberikan makanan yang siap saji kepada

pengungsi, baik makanan kaleng, susu evaporasi dalam kaleng, buah buahan, roti dan

lainnya yang siap santap (Depkes, 2008).

2.8.1. Pengawasan Makanan (Fisik, Kimia dan Bakteriologi)

Makanan yang diberikan kepada pengungsi tidak jarang bantuan dari

dermawan, baik makanan siap santap, maupun bahan makanan mentah atau yang

perlu pengolahan. Oleh karena itu petugas kesehatan yang berada diposko harus

memperhatikan makanan-makanan bantuan baik siap santap. Adapun yang perlu

diperhatikan adalah: tanggal kadaluarsa, basi/keadaan hampir basi, bentuk makanan

(44)

dengan makanan tersebut, karena dapat mengakibatkan keracunan atau alergi

(Kemenkes, 2008).

Lebih baik lagi jika makanan jangan memakai kuah atau makanan kering.

Untuk menghindari terjadinya masalah malnutrisi yang berat pada golongan anak dan

bayi, khususnya dibawah dua tahun maka dilakukan: memberikan ASI, menciptakan

dan mempertahan kondisi yang kondusif, mengontrol dengan ketat distribusi dan

penggunaan susu penganti ASI (susu formula), menyiapkan makanan pendamping,

mempermudah akses kepada seluruh ibu atau pengasuh bayi berbagai bahan

makanan, mengurangi stres mental atau fisik, melindungi kesehatan bayi dan anak,

melakukan pencarian terus menerus kepada anak yang kurang gizi, melakukan

intervensi secepat mungkin sejak awal kejadian, memantau kejadian secara terus

menerus. (Depkes, 2008).

2.8.2. Dapur Umum

Dapur umum harus ditempatkan pada suatu lokasi, lebih disukai jika berada

dalam satu bangunan dan di pagar, ruang dapur ditata untuk keperluan, menampung

air, pencucian, dan membersihkan makanan, pengadaan awal, penyiapan makanan

sebelum disajikan dan pencucian alat alat makan, dan alat masak. Pada umumnya

penyelenggaraan dapur umum dapat dilaksanakan didalam ruangan maupun di luar

ruangan. Apabila dalam ruangan diperhatikan hal hal berikut: tidak ada kemungkinan

kebakaran, lokasi baik, tempat tidak rusak, mempunyai lantai yang kuat, cukup

cahaya, cukup persedian air, atau sumber air, ada fasilitas kamar mandi dan jamban,

(45)

Jika diluar ruangan, beberapa hal yang harus diperhatikan: tempatnya datar,

kering dan tidak ada binatang kecil, ada pohon pohon sebagai pelindung, dekat

dengan tempat pemberian makanan, dekat dengan tempat pembekalan, dekat dengan

sumber air, tidak ada benda benda atau logam berbahaya.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mempersiapkan dapur umum:

susun tempat masak sedemikian rupa, tempat makan dibuat beberapa lajur, arah

pembagian makanan ditentukan dengan petunjuk, susun alat dapur darurat,

hendaknya diatur sedemikian rupa, tempat pencucian hendaknya sesuai dengan

urutan kerja (Depkes, 2008).

2.8.3. Penanganan Gizi dalam Situasi Darurat

Penanganan gizi dalam situasi darurat terdiri dari dua tahapan yaitu tahap

penyelamatan dan tahap tanggap darurat:

a. Tahap Penyelamatan, tahap penyelamatan terdiri dari dua fase yaitu:

1. Fase pertama, ditandai dengan kondisi sebagai berikut, korban bencana bisa

dalam pengungsian atau belum dalam pengungsian, petugas belum sempat

mengidentifikasi korban secara lengkap, bantuan pangan sudah mulai

berdatangan, adanya penyelenggaraan dapur umum, tenaga gizi mulai terlibat

sebagai penyusun menu dan mengawasi penyelenggaraan dapur umum,

pemberian makan pada fase ini bertujuan agar pengungsi tidak lapar dan dapat

mempertahankan status gizinya (Kemenkes, 2012).

Melakukan pemeriksaan cepat sebagai bagian dari kegiatan Rapid

(46)

pengungsi, Bayi 0-5 bulan, 6-11 bulan, anak 12-24 bulan, anak usia 25-59

bulan, bayi piatu, ibu hamil, ibu menyusui, orang lanjut usia, dan lain lain.

Bayi dan anak dibawah usia dua tahun (Baduta) merupakan kelompok

yang paling rawan sehingga memerlukan penanganan gizi secara khusus.

Pemberian makanan yang tidak tepat serta kekurangan gizi pada kelompok

tersebut dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian yang lebih tinggi

pada situasi darurat (Kemenkes, 2010).

Penelitian di pengungsian menunjukkan bahwa kematian anak balita

2-3 kali lebih besar dibandingkan kematian pada semua kelompok umur.

Kematian terbesar terjadi pada kelompok umur 0-6 bulan (WHO, Unicef,

2001). Oleh karena itu dalam situasi darurat penanganan gizi kelompok ini

dalam situasi darurat menjadi bagian penting untuk menangani pengungsi

secara cepat dan tepat.

2. Fase kedua, kegiatan yang dilakukan meliputi:

Melakukan pengukuran berat badan dan tinggi atau panjang badan balita serta

informasi faktor pemburuk (Diare, ISPA, campak, dan malaria) untuk

mengetahui besar dan luasnya masalah gizi dan kesehatan yang ada. Besar

sampel yang diperlukan ditentukan sebagai berikut: populasi kurang dari

10.000 rumah tangga gunakan sistematik random sampling dengan jumlah

sampel minimal 450 balita. Populasi sampai 3000 jiwa seluruh balita diukur.

Populasi lebih dari 10.000 rumah tangga, gunakan kluster sampling, yaitu

(47)

Menentukan klasifikasi kedaruratan sebagai berikut: jika tingkat

kedaruratan adalah gawat atau kritis, dilakukan skrining pada semua balita

dan bumil dengan melakukan pengukuran LILA, skrining dimaksudkan untuk

mengetahui balita kurang gizi buruk serta Bumil KEK.

b. Tahap Tanggap Darurat

Tahap ini dimulai setelah selesai tahap penyelamatan, adapun tujuannya

adalah untuk menanggulangi masalah gizi melalui intervensi sesuai tingkat

kedaruratan, kegiatan dalam tahap ini meliputi: menghitung prevalensi status gizi

balita berdasarkan indeks BB/TB-P dan menganalisis adanya faktor pemburuk seperti

kejadian diare, campak, demam berdarah dan lain lain. Informasi tentang prevalensi

dari hasil surveilans gizi ini selanjutnya digunakan untuk penentuan jenis intervensi

yang sesuai dengan mempertimbangkan pula hasil surveilans penyakit.

Melakukan modifikasi/perbaikan interveni sesuai dengan perubahan tingkat

kedaruratan, jika prevalensi balita kurus ≥ 1 5% atau 1 0 -14,9 % dengan faktor

pemburuk, maka tindakan yang diperlukan adalah pemberian ransum ditambah PMT

darurat kepada semua kelompok rawan khususnya Balita, ibu hamil, dan ibu

menyusui (Blanket Supplementary Feeding Program) dengan ketentuan kecukupan

gizi. Untuk balita gizi buruk tingkat berat ditangani sesuai tata laksana gizi buruk.

Jika prevalensi Balita kurus 10-14,9 % atau 5-9,9% dengan faktor pemburuk maka

tindakan yang perlu dilakukan adalah PMT darurat terbatas (Targeted Supplementary

Feeding Program) hanya kepada balita kurus dan sangat kurus, untuk balita gizi

(48)

balita kurus 5-9,9% atau < 5 % dengan faktor pemburuk maka tindakan yang

dilakukan melalui pelayanan kesehatan rutin.

2.9. Domain Prilaku

Prilaku menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2010) adalah merupakan

respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (ransangan dari luar). Dengan

demikian perilaku manusia terjadi melalui proses. Prilaku terbentuk di dalam diri

seseorang dari dua faktor utama yakni faktor dari luar seseorang tersebut (eksternal),

dan respon merupakan faktor dari dalam diri orang yang bersangkutan (faktor

internal).

Blum (1908) dalam Notoatmdjo (2010), membedakan tiga ranah atau domain

prilaku yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Selanjutnya dalam perkembangan

berdasarkan pembagian domain oleh Blum ini dikembangkan menjadi tiga tingkat

ranah prilaku yaitu:

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan

sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan

pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi

terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera

(49)

terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis

besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu:

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau mengukur

bahwa seseorang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan pertanyaan.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak

sekedar menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterprestasikan

secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan apabila seseorang yang telah memahami objek. Yang

dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui

tersebut pada situasi yang lain.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau

memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen komponen yang

terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa

pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tahap analisis adalah apabila

seseorang tersebut telah mampu untuk membedakan, atau memisahkan,

mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek

(50)

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau

meletakkan dalam hubungan logis dari komponen-komponen pengetahuan

yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk

menyusun formulasi baru dari formulasi formulasi yang telah ada, misalnya

dapat meringkas dengan kata kata atau kalimat sendiri tentang hal hal yang

telah dibaca atau didengar, dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang

telah dibaca.

f. Evaluasi (Evaluasi)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilai ini dengan sendirinya

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma norma yang

berlaku di masyarakat.

Pengetahuan selalu dijadikan sebagai awal dari sebuah tindakan dan

kesadaran seseorang sehingga dengan kapasitas pengetahuan yang dimilikinya bisa

menjadi dasar dari tindakan seseorang (Nugroho,2007).

2. Sikap

Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu,

yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang

tidak senang, setuju tidak setuju, baik tidak baik dan sebagainya). Campbell dalam

(51)

sindroma atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga

sikap tersebut melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan lainnya.

Menurut Allport dalam Nooadmodjo (2010) sikap itu terdiri atas tiga komponen

pokok yaitu:

1. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek terhadap.

Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapatan atau pemikiran seseorang

terhadap objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana

penilaian (terkandung didalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek.

3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah

merupakan komponen yang mendahului tindakan atau prilaku terbuka. Sikap

adalah ancang ancang untuk bertindak atau berprilaku terbuka (tindakan).

Ketiga komponen tersebut secara bersama sama membentuk sikap yang utuh

(total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,

keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Seperti halnya pengetahuan, sikap

juga mempunyai tingkat tingkat berdasarkan intesitasnya, sebagai berikut:

1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang

diberikan objek.

2. Menanggapi (Responding)

Menangapi disini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap

(52)

3. Menghargai (Valuing)

Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai positif terhadap

objek atau stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang lain dan bahkan

mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons.

4. Bertanggung Jawab (Responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa

yang diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan

keyakinannya dia harus berani mengambil resiko bila ada orang lain

mencemoohkan atau ada resiko lain.

3. Keterampilan atau Praktik (Practice)

Seperti telah disebutkan bahwa sikap adalah kecendrungan untuk bertindak

(praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk mewujudkan

tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana prasarana.

Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu:

a. Praktik Terpimpin (Guided Response)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih

tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan.

b. Praktik secara Mekanisme (Mechanism)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu

(53)

c. Adopsi (Adoption)

Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya,

apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja akan tetapi

sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau prilaku yang berkwalitas.

Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana yang

dilakukan oleh LIPI-UNESCO/ISDR (2006) ditiga kabupaten meliputi Kabupaten

Aceh Besar, Kota Padang, dan Kota Bengkulu yang mengkaji pengetahuan dan sikap,

dimana masyaraat Kabupaten Aceh Besar dinilai kurang siap siaga bila dibandingkan

Kota Padang namun sama dengan Kota Bengkulu. Untuk pengetahuan mengenai

bencana ketiga kabupaten ini relatif bagus, dan untuk kemampuan memobilisasi

sumberdaya yang dinilai kurang mampu adalah Kabupaten Aceh Besar.

Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil dari Survei yang dilakukan

(Usman, 2010). Survei ini mengukur pengetahuan dan sikap serta praktek dimana

pengetahuan tentang tindakan yang harus diambil sebelum terjadi bencana responden

sebagian besar menjawab tidak tahu harus melakukan tindakan apa.

2.10. Pengembangan Manajemen Bencana

Bencana adalah suatu kejadian yang ekstrem dalam lingkungan alam atau

manusia yang secara merugikan mempengaruhi kehidupan manusia, harta benda, atau

aktivitas sampai pada tingkat yang menimbulkan bencana (UNDP, 1995).

Gambar

Gambar 2.1. Siklus Manajemen Bencana
Gambar 2.2.  Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Variabel, Jumlah Pertanyaan, Kategori, Skor, dan Kesiapsiagaan
Tabel 4.1 (Lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Persiapan lahan yang dilakukan oleh petani responden agar drainase baik dan lahan siap tanam meliputi pengolahan tanah, penambahan bahan organik yang berasal dari pupuk

Sudah menjadi ketentuan adat di daerah tersebut bahwa jumlah rumah dan kepala keluarga itu harus enam dengan susunan tiga rumah di sebelah kiri dan tiga rumah di

Adapun fungsi pada A = {bilangan asli} yang didefinisikan dengan f(x) = 2x adalah fungsi satu-satu, sebab kelipatan dua dari setiap dua bilangan yang

Penelitian ini menggunakan penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional yang dilakukan pada 46 murid di SMP Negeri 8 Surakarta, sampel diambil

terhadap pengukuran partikel PM 10 di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang, terlihat bahwa nilai rata-rata dan nilai maksimum konsentrasi harian PM 10 setelah

DFD menggambarkan tentang langkah-langkah pemohon, mulai dari menyerahkan formulir SPPA, sampai dengan permohonan polis asuransi tersebut disetujui atau dikabulkan oleh pihak

Dunia teknologi informasi sangat pesat sehingga masyarakat sudah menuntut agar bisa mendapatkan informasi yang mereka butuhkan di SMAN 100 Jakarta.Oleh karena itu, penulis

Sehingga user yang telah memiliki telepon selular yang ingin mengetahui produk TIANSHI apa yang paling cocok untuk suatu penyakit, termasuk informasi tentang komposisi, khasiat