• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksklusi Sosial dalam Anggaran Publik di Lamongan, Ngawi, dan Makasar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Eksklusi Sosial dalam Anggaran Publik di Lamongan, Ngawi, dan Makasar"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Eksklusi Sosial dalam Anggaran Publik

Studi Kasus di Ngawi,

Lamongan, dan Makasar

D z u r i y a t u n T o y i b a h

Sosiologi FISIP Universitas Islam Negeri Jakarta Email: dzuriyatun@yahoo..com

Abstract

The article aims to describe the process of social exclusion and inclusion within local government budget (APBD) in Lamongan and Ngawi East Java in 2006-2008, and Makasar South Sulawesi in 2009. Social exclusion was indicated by the absent of public participation in the decision making process. Social exclusion for public local budget appeared in regulation level such as unclear mechanism of public participation and the constraints to access budget documents. Those lead to avoid civil society to understand the real local budget. However, civil societies in three regions made several strategies to reduce social exclusion. The process was begun by the attempts to open public access for budget forums and budget documents by developing cooperation with member of local parliament. The next step of the process was inviting civil society organizations to attend budget deliberation forums to analyze the documents using a simple method to compare between public and apparatus expenditure. The result of budget analysis showed that public budget excluded public interest as the most important aspect of social exclusion in public budget.

(3)

PE N DA H U LUA N

Studi tentang partisipasi masyarakat dalam anggaran publik mulai muncul di Porto Alegre Brazil. Salah satunya adalah studi yang dilakukan oleh Santos S.B (1998) menggambarkan tentang proses budget yang partisipatif, bagaimana proses tersebut dilaksanakan, serta kondisi politik dan masyarakat di Porto Alegre. Adapun di Indonesia kajian tentang anggaran daerah pada umumnya menggambarkan peluang dan tantangan serta pengalaman mengadvokasi anggaran oleh LSM (lihat Sucipto & Khadafi 2006; Mastuti 2007; Waidl 2009). Studi ini melengkapi studi sebelumnya tentang gambaran proses eksklusi dan inovasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil di tingkat lokal untuk mendorong anggaran yang partisipatif (inklusif).

Pertanyaan yang diangkat dalam studi ini adalah bagaimana proses eksklusi sosial dalam anggaran publik? Upaya apa saja yang dilakukan kelompok masyarakat sipil untuk menguranginya? Tulisan berikut akan menggambarkan bentuk-bentuk eksklusi dalam anggaran publik dan pengalaman masyarakat sipil di Ngawi, Lamongan, dan Makasar dalam melakukan proses inklusi anggaran melalui upaya-upaya akses dokumen, serta analisis dan advokasi anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang lebih pro masyarakat miskin. Tulisan ini merupakan hasil pendampingan penulis selama 2006-2008 sebagai

project officer program Participatory Budgetting and Expenditure

PP Lakpesdam NU dan NDI. Penulis mendapatkan data dengan melakukan observasi dan analisis dokumen bersama LSM lokal Jaringan Masyarakat Lamongan di Lamongan dan Pagar Madani Ngawi di Ngawi. Sedangkan data dari Makasar didapatkan dari sumber sekunder hasil analisis LSM lokal KOPEL Makasar.

E K SK LUSI DA N I N K LUSI S O SI A L DA L A M A NG G A R A N PU BL I K

Salah satu definisi eksklusi sosial adalah sebagaimana dijelaskan Byrne (2005) sebagai ketiadaan pemenuhan hak-hak sipil, politik, dan hak-hak sosial.

(4)

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 183

be seen as the denial (or non-realisation) of the civil, political and social rights of citizenship.

Sebelumnya, Mandanipour sebagaimana dikutip Byrne (2005) menyatakan bahwa eksklusi sosial merupakan proses yang bersifat multidimensi yang meliputi ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan politik, tidak hanya akses terhadap pekerjaan dan sumber-sumber material, tetapi juga lemahnya integrasi dalam proses-proses kultural. Jika fenomena tersebut terjadi secara bersamaan, maka akan terjadi eksklusi yang sangat akut.

Social exclusion is defined as a multi-dimensional process, in which various forms of exclusion are combined: participation in decision making and political processes, access to employment and material resources, and integration into common cultural processes. When combined, they create acute forms of exclusion that find a spatial manifestation in particular neighbourhoods.

Berkembangnya pemikiran eksklusi sosial Menurut Hilary Silver dalam Rodger (1995) tidak bisa dilepaskan dari tiga paradigma yaitu paradigma solidarity, specialization, dan monopoly yang masing-masing memiliki cara pandang berbeda dalam melihat fenomena eksklusi sosial. Dalam hal ini, eksklusi sosial selalu dihubungkan dengan peran negara.

Paradigma solidarity menekankan eksklusi sosial sebagai perpecahan ikatan sosial antara individu dan masyarakat. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk melindungi masyarakat dari individu untuk bertindak liberal dan melindungi individu sebagai bagian masyarakat dari kemiskinan yang disebabkan sistem masyarakat industrial.

(5)

Paradigma monopoli menganggap eksklusi sosial sebagai konsekuensi ketertutupan secara sosial (social closure) yang dilakukan oleh pihak yang menyisihkan. Hal ini terjadi karena ada satu kelompok dengan kekuasaan yang lebih besar dapat memaksimalkan sumber daya yang ada dengan membatasi akses orang lain atas sumber-sumber tersebut. Bagi paradigma monopoli, social order

merupakan paksaan (coersive) yang dilakukan melalui relasi kekuasaan yang hierarkis.

Aspek-aspek eksklusi sosial dalam anggaran publik pada tulisan ini mencakup aspek-aspek kesulitan masyarakat sipil dalam proses partisipasi dan kontrol kebijakan publik berbentuk APBD. Secara umum terdapat tiga bentuk eksklusi yaitu eksklusi dari partisipasi dalam proses perencanaan anggaran, eksklusi untuk mendapatkan akses terhadap dokumen APBD, dan eksklusi kepentingan publik dari alokasi APBD.

E k sk l u si d a r i Pa r t i sipa si

d a l a m P r os e s Pe r e n ca n a a n An g ga r a n

Secara normatif partisipasi publik dianggap sebagai hal yang sangat penting dalam proses demokrasi di Indonesia. Wacana partisipasi dalam beberapa hal telah direspon dalam beberapa UU di Indonesia. Misalnya pasal 53 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya disebut UU 10/2004 menyatakan bahwa:

”masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.”

Selain itu, dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebut UU 32/2004 pasal 27 ayat (2) juga ditegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban kepala daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.

(6)

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 185

penyiapan atau pembahasan rancangan perda”. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang selanjutnya disebut UU 17/2003 pasal 3 ayat (3) menyebutkan “APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah.”

Namun demikian, UU tersebut masih menekankan bahwa partisipasi masyarakat sangat terkait erat dengan peran DPR/DPRD. Baik UU 10/2004 maupun UU 32/2004 tidak menjelaskan secara terperinci mekanisme atau alat apa yang bisa digunakan sebagai mekanisme partisipasi masyarakat. Meskipun demikian, UU 10/2004 mewajibkan DPR untuk mempromosikan, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak partisipasi masyarakat dalam proses legislasi yang diturunkan dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI tahun 2004-2005. Dalam tata-tertib (tatib) tersebut disebutkan beberapa mekanisme atau alat yang bisa digunakan yakni melalui pertemuan-pertemuan seperti rapat dengar pendapat (hearing), pertemuan dengan pimpinan alat kelengkapan DPR, dan pertemuan dengan tim penyiapan RUU. Penyebaran draft RUU dilaksanakan dengan berbagai media seperti media elektronik (televisi, radio, internet) dan media cetak atau surat kabar.

Sementara itu, penyaluran aspirasi masyarakat kepada eksekutif biasanya dilakukan dengan konsultasi publik. Konsultasi publik biasa diartikan sebagai semua kegiatan mekanisme dan alat menghimpun atau mengakomodasi masukan/aspirasi masyarakat yang diperoleh melalui pertemuan/forum tatap muka, pernyataan tertulis, media (elektronik dan cetak), dan media on-line (internet, email, web-forum). Konsultasi publik juga secara sempit biasanya dimaknai sebagai sebuah alat dengan teknik/cara tertentu yang disusun berdasarkan panduan tertentu (Farhan dkk 2007).

(7)

berdasarkan asas umum penyelenggaraan negara yakni asas kepentingan umum, asas keterbukaan, dan asas akuntabilitas (Suhirman 2006). Namum demikian, UU SPPN ini mengatur hanya sebatas pada ranah proses perencanaan pembangunan, belum menyentuh ranah penganggaran.

Proses eksklusi dalam anggaran publik tersebut dimulai dari proses perencanaan APBD melalui Musrenbang. Proses ini kemudian diramu dengan proses teknokratis dalam forum SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) sehingga muncul RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah). Sebagai proses ”partisipatif”, Musrenbang juga biasanya tidak terbuka secara umum. Biasanya hanya kepala desa, ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) dan ketua organisasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang biasanya dijabat istri kepala desa, yang terlibat dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang). Hanya melalui upaya-upaya sistematis akhirnya publik secara umum bisa mengaksesnya. Ketika masuk dalam perencanaan anggaran dalam forum SKPD, akses publik menjadi semakin rumit. Ketika hasil Musrenbang dan SKPD seharusnya diramu oleh Bapan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), publik semakin sulit untuk memastikan berapa persentase usulan Musrenbang yang bisa masuk dalam RKPD.

E k sk l u si pa d a L e v e l A k s e s D ok u m e n An g ga r a n

Anggaran biasanya menjadi isu sensitif, sehingga hanya kalangan tertentu saja yang berhak tahu. Cara pandang bahwa anggaran adalah hak prerogatif pemerintah ini sejak awal telah mengeksklusikan masyarakat. Dalam hal ini, APBD hanya diketahui oleh pemerintah yang diwakili oleh kalangan tertentu dan DPRD saja. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa hal-hal yang terkait dengan APBD (dokumen-dokumennya) terkesan sangat rumit, tebal, dan tidak mudah untuk memahaminya.

(8)

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 18 7

“Transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah.”

Akan tetapi, pasal 103 Permendagri 59/2007 menegaskan bahwa sebelum diserahkan kepada DPRD pemerintah daerah melalui sekretaris daerah sebagai ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TPAD) harus menyosialisasikan raperda kepada masyarakat, tetapi sosialisasi tersebut hanya bersifat memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pemerintah dalam pelaksanaan APBD. Persoalan ini sebenarnya masih bisa diatasi karena UU 17/2003 maupun UU 25/2004 telah menggariskan bahwa peraturan lebih lanjut mengenai mekanisme Musrenbang (perencanaan) dan mengenai penyusunan RK A-SKPD (penganggaran) diatur lebih lanjut oleh peraturan daerah. Dengan pertimbangan bahwa anggaran negara (APBD/ APBN) merupakan dana publik, maka anggapan bahwa proses perencanaan dan penganggaran sebagai hak prerogatif kalangan tertentu menjadi hal yang bisa dianggap sebagai proses eksklusi terhadap partisipasi publik.

E k sk l u si P u bl ik d a l a m A l ok a si An g ga r a n

Alokasi anggaran bisa dilihat dari dokumen Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) dan juga RKA-SKPD, dan Daftar Perincian Anggaran (DPA). Pertanyaan-pertanyaan krusial dalam inklusi dan eksklusi APBD adalah apakah alokasi anggaran dalam dokumen-dokumen tersebut menggambarkan kebutuhan masyarakat? Karena kesulitan akses terhadap dokumen tersebut, dokumen ringkasan R APBD atau APBD seringkali digunakan oleh kelompok civil society untuk mengetahui eksklusi atau inklusi kepentingan masyarakat dalam anggaran publik.

(9)

U PAYA AWA L M E N U J U A NG G A R A N YA NG I N K LUSI F

Aspek terpenting dari anggaran yang inklusif meliputi dua hal pokok dalam penyusunan anggaran yaitu terkait proses serta substansi/alokasi anggaran. Dua pokok masalah ini saling terkait satu sama lain karena substansi sangat dipengaruhi oleh proses dan proses tidak akan berarti jika keluar dari substansi.

Proses anggaran biasanya dimulai dengan Musrenbang yang dilanjutkan dengan satu rangkaian kegiatan oleh Bappeda dan Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD), yaitu mengompilasi hasil Musrenbang yang melibatkan seluruh SKPD. Hasil kompilasi Musrenbang ini disebut sebagai Rancangan Kerja Pembangunan Daerah (RKPD).

Sementara itu, anggaran dikatakan inklusif apabila dari aspek proses cukup partisipatif, sehingga dari aspek substansi, alokasi belanjanya lebih banyak diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan warga, terutama yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sebaliknya, anggaran dikatakan buruk apabila terjadi gap yang sangat besar antara alokasi belanja tidak langsung dan alokasi belanja langsung.

Pe n ga l a m a n Ma s y a r a k a t S ipil d a l a m Me n ga k s e s D ok u m e n A PBD

Di Kabupaten Lamongan, persoalan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sudah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan No. 7 Tahun 2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan dan Partisipasi Masyarakat yang selanjutnya disebut Perda Kab. Lamongan 7/2005. Perda ini memberikan hak kepada setiap warga untuk memperoleh informasi terkait dengan kebijakan publik; dari proses perencanaan pembangunan, penyusunan produk hukum, rencana dan pelaksanaan kegiatan, pelayanan publik, agenda rapat DPRD, pertanggungjawaban kepala daerah, hingga berhak membantu melakukan pengawasan, serta monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan publik atau program pembangunan di daerah.

(10)

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 189

Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), dan rencana perumusan kebijakan daerah yang menyangkut pungutan daerah, Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Namun demikian, sejauh ini akses publik terhadap dokumen RKPD, KUA PPAS, RKA-SKPD, R APBD, APBD dan DPA masih tetap menjadi masalah. Dalam kehidupan sehari-hari kelompok masyarakat sipil bisa berteman dengan ketua BAPPEDA, dan anggota DPRD. Namun, jika terkait dengan permintaan untuk bisa mendapatkan dokumen APBD, mereka biasanya akan menghindar, tidak mau memberikan.

Paradigma penguasa yang belum reformis sangat kuat sehingga cara-cara biasa untuk bisa mendapatkan dokumen-dokumen tersebut hampir menjadi suatu hal yang tidak mungkin. Penguasa belum memiliki pandangan bahwa dokumen APBD adalah dokumen publik yang bisa diakses oleh masyarakat. Cara lain yang biasanya ditempuh adalah dengan memiliki relasi pribadi dengan salah satu anggota DPRD yang membutuhkan bantuan teknis untuk membaca APBD. Hal ini mengingat bahwa masih banyak anggota DPRD yng memiliki kemampuan terbatas dalam menjalankan fungsi-fungsinya yakni fungsi agregasi (menyerap aspirasi masyarakat) untuk dibawa menjadi fungsi legislasi (membuat peraturan perundangan) dan fungsi budget (fungsi untuk menyusun dan mengalokasikan budget). Kesulitan-kesulitan tersebut membuat proses advokasi APBD yang lebih pro-poor, pro-masyarakat, serta efektif dan efisien mengalami keterlambatan. Analisis anggaran seharusnya dilakukan sebelum anggaran disahkan. Menurut jadwal yang ditetapkan dalam Permendagri 11/2006, APBD seharusnya disahkan pada sekitar bulan Desember, sehingga bisa diimplementasikan pada bulan Januari. Jika hal itu bisa dilakukan, maka idealnya bisa diusulkan realokasi untuk alokasi anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun demikian, dokumen ringkasan R APBD biasanya lebih mudah didapatkan, sedangkan yang paling sulit adalah dokumen RKA-SKPD dan dokumen Dokumen Pelaksanaan Anggaran Pejabat

Pengelola Keuangan Daerah(DPA-PPKD).

A N A L I SI S A PBD

(11)

itu, selain ketersediaan informasi terhadap dokumen APBD juga diperlukan keterampilan mengalisis. Sejauh ini berkembang beberapa cara untuk menganalisis APBD. Jika dilihat dari pendekatannya, terd apat pendek at a n a k adem is d a n pendek at a n popu lis. Pendekatan akademis memfokuskan pada persoalan-persoalan pertanggungjawaban ilmiah secara metodologi serta mensyaratkan dokumen-dokumen yang lebih detail seperti RKA-SKPD dan DPA SKPD yang jarang sekali bisa diakses publik. Sedangkan analisis yang bersifat populis menekankan pada kesederhanaan metode agar data apapun yang tersedia bisa digunakan untuk menunjukan apakah APBD sudah pro-rakyat atau belum.

Cara yang biasa digunakan untuk menganalisis APBD di Ngawi, Lamongan, dan Makasar adalah dengan membandingkan antara belanja langsung dan tidak langsung. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung dari suatu kegiatan terdiri dari belanja barang dan jasa serta belanja modal. Adapun belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja tidak langsung meliputi: belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga (Permendagri 13/2006 pasal 36).

An a l i si s A PBD Nga w i

Dengan membandingkan belanja langsung dan tidak langsung tampak bahwa APBD Kabupaten Ngawi 2008 disusun tanpa memperhatikan proporsi keduanya. Menurut Pagar Madani (sebuah jaringan perkumpulan LSM lokal di Ngawi), APBD Kabupaten Ngawi tahun 2008 masih berpihak kepada aparatur karena jumlah belanja tidak langsung mencapai 61,61% dan belanja langsung kurang dari 39%.

(12)

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 191

dimasukkan, maka alokasi sektor pendidikan dalam APBD Ngawi yang sampai kepada masyarakat hanya 6,51% tahun 2008, dan 4,83% pada tahun 2007. Sedangkan pada biaya langsung masih banyak terdapat biaya-biaya yang manfaatnya hanya dirasakan oleh aparat.

Gambar 1. Perbandingan Belanja APBD Ngawi tahun 2008

Perbandingan Belanja APBD Ngawi 2008

BELANJA TIDAK LANGSUNG, 446,825,798,754.15, 62% BELANJA LANGSUNG,

278,454,770,611.61, 38%

Sumber: Toyibah dkk 2008

Alokasi sektor kesehatan tahun 2007 masih 5,9 % dari total APBD. Jika dilacak, persentase alokasi anggaran yang diterima masyarakat hanya sebesar 2,5% dari belanja APBD.

tabel 1. Alokasi APBD Kab. Ngawi Sektor Pendidikan

Uraian Jmulah Perbandingan

dalam APBD Belanja APBD 2008 725,280,569,365.76

Belanja DAERAH sektor Pendidikan tahun 2008 non aparatur

47,249,926,168.63 6.51%

Belanja APBD 2007 588,238,249,732.29 Belanja DAERAH sektor

Pendidikan tahun 2007 non aparatur

28,409,442,300.00 4.83%

Sumber: Analisis APBD oleh Pagar Madani, Maret 2008 dalam Toyibah 2008

(13)

tabel 2. Perbandingan Belanja Sektor Kesehatan dengan Total APBD 2007 yang Diterima Masyarakat Alokasi Belanja untuk Masyarakat Sektor

Kesehatan dalam APBD Ngawi 2007

Jumlah Persentase

Belanja APBD 588,238,249,732.29 100% Belanja untuk masyarakat langsung (belanja

modal plus belanja barang & jasa)

14,866,713,157.00 2.5%

Sumber: Hasil Analisis APBD oleh Pagar Madani, Maret 2008 (Toyibah, 2008)

Kecilnya alokasi anggaran sektor pertanian kemungkinan terkait dengan Permendagri 13/2006 yang menempatkan pertanian sebagai urusan pilihan saja. Sementara di sisi lain, sebagian besar masyarakat Ngawi berprofesi sebagai petani. Visi bupati terpilih juga menjadikan Ngawi sebagai daerah yang agraris dan agamis. Hal ini sangat menarik karena ada inkonsistensi antara problem di masyarakat, visi bupati, dan peraturan yang ada.

An a l i si s A PBD L a m on ga n

Jaringan Masyarakat Lamongan (JAMAL) melakukan analisis dengan membandingkan APBD-P 2007 dan APBD 2008. Lamongan merupakan salah satu dari tiga kabupaten yang pertama kali memiliki perda yang mangatur transparansi. Keberadaan kelompok masyarakat sipil yang melakukan upaya partisipasi dalam APBD ini sudah cukup lama. Pejabat di lingkungan Pemda Lamongan juga sudah mafhum akan tuntutan partisipasi dalam anggaran. Munculnya perda itu menjadi indikator kemajuan Lamongan dalam menangkap wacana partisipasi dalam anggaran dibandingkan dengan Ngawi atau daerah lainnya. Pertanyaan mendasar adalah apakah kemajuan menangkap wacana partisipasi anggaran sejalan dengan munculnya APBD yang memihak masyarakat miskin?

Jika dilihat dari ringkasan APBD saja, persentase antara belanja aparatur/belanja tidak langsung dan belanja belanja publik/belanja langsung nampak cukup seimbang. Namun demikian, analisis dari Jaringan Masyarakat Lamongan masih menunjukan adanya indikasi inefisiensi. Hal ini terlihat dari adanya kenaikan anggaran Dinas Kesehatan (Dinkes) sebesar Rp 6 milyar pada tahun 2007 (dari Rp 42 milyar pada 2006 menjadi sebesar Rp 48 milyar pada 2007).

(14)

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 193

mendapatkan investasi dari Bank Dunia dalam program P2TPD sebesar Rp 6 milyar dilakukan persiapan selama tiga tahun (2002– 2005) dengan prasyarat harus membuat dokumen Strategi Rencana Tindak Pengurangan Kemiskinan (SRTPK). Sedangkan kenaikan anggaran Dinkes menurut aktifis JAMAL terjadi tanpa usaha dan prasyarat yang ketat bisa langsung mendapat tambahan Rp 6 milyar. Dari anggaran Rp 48 milyar tersebut, sekitar Rp 31,1 milyar atau 65% dialokasikan untuk pegawai/birokrasi. Nampak bahwa dalam setiap program untuk masyarakat selalu terdapat komponen transport, ATK, dan perjalanan dinas yang jumlahnya cukup signifikan, seperti terlihat dalam tabel berikut.

tabel 3. Analisis Alokasi Anggaran Dinas Kesehatan Kab.Lamongan Tahun 2008 Program Anggaran Belanja Untuk Pegawai

Imunisasi 60 juta 30 juta

Pencegahan penyakit menular

120 juta 92 juta (perjalanan dinas, ATK, dll) Penyusunan standar

pelayanan

25 juta 24 juta (honor, perjalanan dinas, dll) Pertolongan persalinan ibu

dari keluarga tidak mampu

37 juta 35 juta (honor, cetak, transportasi)

Sumber: Analisis JAMAL berdasarkan RKA-SKPD 2008 dalam Toyibah 2008

An a l i si s A PBD Ma k a sa r

Kecenderungan yang sama terjadi pula pada APBD Makasar tahun 2009 dengan biaya tidak langsung yang cukup besar, sebagaimana muncul dari analisis KOPEL (sebuah kelompok masyarakat sipil di Makasar). Tahun 2009, Pemerintah Kota Makasar memprogramkan kesehatan gratis sebanyak Rp 17.410.875.996,00. Anggaran sebesar ini tersebar ke seluruh kecamatan di 37 PKM (Pusat Kesehatan Masyarakat) Kota Makasar pada pos biaya operasional dan pemeliharaan kesehatan gratis.

(15)

tabel 4. Komponen Belanja Program Kesehatan Gratis

Komponen Belanja Kesehatan Gratis Jumlah Anggaran

Belanja pakaian dinas 436,650,000.00

Belanja bahan bangunan 488,509,109.00 Belanja honorarium pelaksana kegiatan 7,268,455,620.00

Belanja obat obatan 1,964,419,854.00

Lainnya 7,252,841,413.00

Total Anggaran 17,410,875,996.00

Sumber: Hasil Analisis RAPBD 2009 Kota Makassar yang dilakukan oleh KOPEL

DE MOK R A SI R E PR E SE N TAT I F V S DE MOK R A SI PA RT I SI PAT I F DA L A M A NG G A R A N

Salah satu persoalan penting menuju inklusifitas anggaran adalah keterlibatan masyarakat sipil dalam proses penganggaran. Hal itu tidak cukup dengan keterlibatan pada proses Musrenbang dan forum SKPD tetapi juga pada ketersediaan dokumen anggaran mulai dari RKPD, RKA-SKPD, RAPBD, APBD, dan DPA. Dokumen-dokumen tersebut adalah ‘harta karun’ untuk membuka tabir rahasia siapa penerima anggaran. Sejauh ini, pendekatan kelembagaan dan sistem yang memungkinkan dokumen anggaran dibuka untuk publik masih menemui banyak hambatan. Selama ini, pemerintah berpegang teguh pada pemikiran bahwa dokumen anggaran merupakan rahasia negara, sehingga tidak dibenarkan ada intervensi dari pihak lain.

Dalam hal ini, terdapat empat model partisipasi dalam demokrasi sebagaimana dijelaskan oleh Myra Marx Ferree dkk. (2002) yakni: (a) siapa saja yang harus berpartisipasi? (b) bagaimana seharusnya bentuk dan isi dari public discourse? (c) bagaimana para aktor berkomunikasi satu sama lain? (d) apa hasil yang diharapkan jika prosesnya sudah berjalan sebagaimana seharusnya?

(16)

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 195

Kedua, participatory liberal theory yang menganggap penting memaksimalkan partisipasi warga negara dalam pembuatan keputusan publik yang memberi dampak dalam kehidupan mereka. Karena itu, warga harus menjadi partisipan aktif dalam public sphere sebagaimana dinyatakan Paul Hirst sebagai “associative democracy” dan Benjamin Barber menyebutnya sebagai “strong democracy”. Namun demikian, tidak mungkin semua warga bisa memberikan seluruh waktunya untuk mendiskusikan masalah publik secara langsung. Menurut teori ini, harus ada delegasi/perantara yang mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan warga dalam public sphere. Delegasi tersebut adalah organisasi-organisasi yang memiliki anggota yang berpartisipasi secara aktif dan kepemimpinan yang bertanggung jawab terhadap anggota.

Ketiga, discursive theory. Model ini agak mirip dengan participatory liberal theory, terutama dalam hal keterlibatan seluruh masyarakat

(popular inclusion), tetapi proses yang digagas bersifat deliberative. Popular inclusion tidak semata-mata sebagai tujuan, tetapi merupakan alat untuk discourse yang bersifat rasional. Teori ini merujuk pada pemikiran Jurgen Habermas yang menganggap wajar ketika keputusan masalah publik yang rutin hanya melibatkan politik pusat

(political center) seperti pejabat pemerintah, parlemen, pengadilan, dan partai politik. Dalam beberapa persoalan, Habermas menganggap penting keterlibatan aktor dari politik pinggiran (periphery) yang terdiri dari civil society dan organisasi di tingkat grassroot.

Teori ini juga mengacu pada pemikiran C. Wright Mills, Amy Gutman Dennis Thompsons dan Amitai Etzioni yang juga menganggap penting apa yang disebut dengan proses deliberatif

yakni sebuah discourse (dialog) yang rasional dan beradab dengan mengedepankan argumen yang valid tanpa harus membedakan siapa yang mengusulkan opini tersebut. Seluruh peserta dialog tidak boleh menganggap ada pihak yang pasti benar atau ada pihak yang pasti salah.

Keempat, constructivist theory yang lebih bersifat kritis terhadap gagasan-gagasan sebelumnya terutama terhadap discursive theory.

(17)

individu bersifat privat. Prinsip yang dikedepankan adalah prinsip inklusi dan pengakuan (recognition) terhadap standpoint yang berbeda dari para aktor (yang terlibat dalam public sphere). Mereka menolak pemisahan antara privat dan publik. Hal-hal yang privat seperti apa yang dibeli, dimakan, dipakai, atau yang digunakan dalam perjalanan adalah persoalan privat dan pilihan politik sekaligus.

Constructivist theory menolak deliberation dan juga argumen formal dalam diskursus. Mereka menganggap penting halaman belakang

(backyard politics). Mereka menganggap penting bentuk-bentuk non-expert dalam politik karena pendapat kelompok yang tidak mampu membuat argumen secara rasional juga perlu didengarkan. Mereka menolak gagasan public sphere yang hanya melibatkan institusi formal seperti parlemen atau pengadilan. Sebaliknya, discourse publik harus bersifat seinklusif mungkin dengan melibatkan semua pihak.

PE N U T U P

Cara pandang aparat pemerintah yang mempertahankan ketertutupan anggaran menunjukan bahwa kecenderungan model

representative liberal theory masih tinggi. Namun demikian, kehidupan publik tidak menjadi lebih baik dengan minimnya partisipasi masyarakat. Dengan dokumen yang tersedia, nampak pada APBD 2007-2009 masih terdapat kecenderungan eksklusi sosial yang diakibatkan oleh APBD yang hanya berpihak kepada aparat pemerintah. Dari sini sangat masuk akal jika kemudian berkembang suatu prejudice bahwa akar persoalan bukan pada rahasia negara atau kekhawatiran untuk diintervensi oleh pihak-pihak asing. Alasan tersebut hanya untuk menutupi agenda tersembunyi memasukkan kepentingan-kepentingan aparat pemerintah untuk masuk dalam alokasi anggaran. Oleh karena itu, sangat wajar jika penyusunan APBD menjadi salah satu modus operandi korupsi autogenic, yaitu korupsi yang dilakukan dengan didasarkan pada proses yang legal untuk melakukan penyelewengan wewenang kekuasaan untuk kepentingan aparat dengan merugikan kepentingan masyarakat.

(18)

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 19 7

dokumen anggaran semata-mata sebagai rahasia negara yang tidak bisa diakses oleh publik sebenarnya merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Dengan proses ini muncul sebuah pertanyaan, sejauh mana masyarakat sipil bisa mengintervensi proses pembuatan kebijakan anggaran? Apakah anggaran hanya bisa diintervensi oleh DPRD dan pemerintah? Sejauh ini gerakan masyarakat sipil, meskipun berupaya untuk menyuarakan persoalan tersebut melalui public hearing dengan anggota DPRD dan media massa, masih menunjukan hasil yang belum maksimal. Namun demikian, upaya tersebut menjadi sebuah langkah yang positif untuk pendidikan politik warga, juga bagian dari partisipasi politik yang bersifat kritis. Tidak bisa dinafikan bahwa masih dibutuhkan strategi lain untuk mencapai tujuan anggaran yang demokrastis secara proses dan efektif secara hasil.

Harus disadari bahwa partisipasi sebagai bentuk keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan publik, bukanlah hal yang bisa bersifat instan. Banyak hal diperlukan untuk menumbuhkan partisipasi seperti proses penyadaran, pengorganisasian, inisiasi dan fasilitasi ruang-ruang publik. Selain itu, praktik partisipasi juga membutuhkan warga negara yang aktif (active citizen), melalui proses pengorganisasian dan pendampingan yang bersifat terus menerus, ada keinginan politik (political will), dan kesadaran politik (political awareness) dari institusi pemerintahan.

Konsep partisipasi kewargaan juga membalik paradigma yang melihat warga sebagai pihak “yang harus diatur/diperintah”. Sebagai pihak yang diperintah, warga negara yang baik diharapkan dapat mematuhi peraturan dan memenuhi kewajibannya baik kepada warga negara lain maupun kepada “pihak yang mengatur/memerintah”. Sebaliknya, pihak yang memerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada warga. Asumsi ini ternyata tidak berjalan dengan baik. Tanpa ada partisipasi masyarakat, sangat jarang pemerintah bisa menjalankan kewajibannya. Sebaliknya pemerintah seringkali memonopoli mandat yang diberikan kepadanya dan cenderung korup.

(19)

diharapkan akan bisa berkontribusi secara maksimal terhadap pemecahan masalah-masalah di daerah bersangkutan.

DA F TA R PUS TA K A

Bahagijo, Sugeng dan Rusdi Tagaroa ed. 2005. Orde Partisipasi: Bunga Rampai Partisipasi dan Politik Ang garan, Jakarta: Perkumpulan Prakarsa

Byrne, David. 2005. Social Exclusion. England, Open University Press.

Break, Fridolin et.al. 2006. Kumpulan Modul Pendidikan Politik Anggaran Bagi Warga, Bandung: BIGS dan TIFA Foundation Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2006. Peraturan

Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

---. 2004a. Undang-Undang No. 10 Ta hun 20 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

---. 2004b. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

---. 2004c. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Ferree, Myra Marx et.al. 2002. “Four Models of Public Sphere in Modern Democracies.” Journal Theory and Society Vol. 31 No. 3. Farhan, Yuna et.al. 2007. Memfasilitasi Konsultasi Publik: Refleksi Pengalaman Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Jakarta: Kemitraan Partnership.

Farhan, Yuna. 2008. “Memetakan Perubahan Regulasi Keuangan Daerah.”Makalah dipresentasikan dalam diskusi publik Implikasi Revisi Kebijakan Keuangan Daerah, diselenggarakan oleh The Asia Foundation dan CIDA.

(20)

E K S L U S I S O S I A L D A N A N G G A R A N P U B L I K | 19 9

Jaringan Masyarakat Lamongan. 2008. “Analisis RKA-SKPD Dinas Kesehatan Kabupaten Lamongan tahun 2008.” Dokumen tidak dipublikasikan.

KOPEL Makasar. 2009. “Hasil Analisis APBD Kota Makasar tahun 2009.” Dokumen tidak dipublikasikan.

Khadafi, Ucok Sky dan Sucipto Yenny. 2006. Membangun Gerakan

Pro-Poor Budget. Jakarta: Seknas FITRA DFID, TAF.

DPRD Kabupaten Ngawi. 2007. RAPBD Ngawi tahun 2007

DPRD Kabupaten Lamongan. 2008. RAPBD Lamongan tahun 2008

DPRD Kabupaten Makasar. 2009. RAPBD Makasar tahun 2009

Masturi, Sri. 2007. Anggaran Responsif Gender, Konsep dan Aplikasi.

Jakarta: CIBA, TAF, CIDA.

Pagar Madani. 2008. “Hasil analisis APBD Ngawi.” Dokumen tidak dipublikasikan.

Rodger, Gerry. 1995. Social Exclusion: Rhetoric Reality Responses, A Contribution To the World Summit For Social Development.

International Labour Organization.

Suhirman. 2006. “Perencanaan dan Penganggaran Yang Pro-Poor.” Hlm. 111-120 dalam Modul Participatory Budgeting and Expenditure Tracking (PBET) Fase 1 dan 2, diedit oleh Amir, Islamil, et.al. Bandung: FPPM, NDI, BIGS.

Sen, Amartya. 2000. Social Exclusion: Concept Application and Scrutiny. Manila, Philippines: the Asian Development Bank. Santos, S.B. 1998. Participatory Budgeting in Porto Alegre: Toward

A Redestributive Democracy. Diakses 3 Maret 2011 (http://www. archonfung.net/docs/pal218/SantosPortoAlegre.pdf)

Taket, Ann et.al. 2005. Theorising Social Exclusion. London and New York: Routledge.

Toyibah, Dzuriyatun, et.al. 2008. Merebut Anggaran Publik: Jalan Panjang Demokratisasi Penganggaran Daerah. Jakarta: PP Lakpesdam NU dan NDI.

Waidl, Abdul, Sakri, Diding, Farhan, dan Yuna. 2009. Anggaran Pro-Kaum Miskin Sebuah Upaya Menyejahterakan Kaum Miskin.

Gambar

Gambar 1. Perbandingan Belanja APBD Ngawi tahun 2008
tabel 2. Perbandingan Belanja Sektor Kesehatan dengan Total APBD 2007 yang Diterima Masyarakat
tabel 3. Analisis Alokasi Anggaran Dinas Kesehatan Kab.Lamongan Tahun 2008
tabel 4. Komponen Belanja Program Kesehatan Gratis

Referensi

Dokumen terkait

Pada Tugas Akhir ini penulis memilih bisnis waralaba sebagai obyek penelitian perancangan dan pembuatan Sistem Pendukung Keputusan untuk menentukan lokasi bisnis yang

Berdasarkan tabel 6 yang tergolong dalam sektor basis adalah sektor basis adalah sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor

Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) dapat dimanfaatkan untuk pengendalian larva S.litura Fabricius karena dapat dijadikan bioinsektisida dan

Dengan kegiatan mengamati gambar keberagaman tari daerah, siswa dapat mengetahui pengertian gerak tari dan menyebutkan berbagai tari kreasi daerah

2. Menjelaskan fungsi-fungsi bagian tubuh hewan yang ada di sekitar rumah dengan benar. 3. Mendeskripsikan bagian tumbuhan yang ada disekitar rumah

Ketika kita membeli saham berfundamental bagus dan sesaat setelah itu harganya turun, tidak perlu panik karena beberapa waktu kedepan pasti g y , p p p p p akan naik kembali,

Berdasarkan pertimbangan Bapak/Ibu, mohon berikan penilaian besarnya tingkat kepentingan dari keterlibatan pihak terkait ( stake holders ) dalam melakukan perencanaan program

Hubungan yang kuat antara merek dengan konsumen memberikan dampak bahwa konsumen semakin loyal meng- gunakan merek tersebut seperti menggunakan Hon- da Vario dalam