• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tela’ah tafsir al-tahrîr wa al- tanwîr karya ibnu ‘asyûr

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tela’ah tafsir al-tahrîr wa al- tanwîr karya ibnu ‘asyûr"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

TELA’AH TAFSIR AL-TAHRÎR WA AL- TANWÎR KARYA IBNU ‘ASYÛR

Faizah Ali Syibromalisi

Email. faizahalis@gmail.com

Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak: Tafsir Al-Tahwîr wa Al- Tanwîr karya Ibnu „Asyûr adalah tafsir yang masyhur di Tunis, sebagaimana tafril Al-Manâr karya Muhammad Abduh dan rasyid Ridha yang masyhur di Mesir. Tafsir al-Tahrîr wa Al- Tanwîr banyak memuat analisa kebahasaan. Karenanya tafsir ini nampak bukan hanya sebagai al-Qur`an, tetapi juga kitab kebahasaan. Kitab tafsir ini menjadi rujukan para ulama tafsir, khususnya dalam hal analisa bahasa dari ayat-ayat al-Qur`an. Tulisan berikut ingin menyajikan analisa

terhadap Tafsir Ibnu „Asyûr. Analisa ini meliputi analisa terhadap metodologi dan

karakteristik penafsiran, dan juga analisa terhadap sosok Ibnu „Asyur sebagai penulis tafsir, baik kelebihan maupun kekuranganya.

Kata kunci:Tafsir, Ibnu „Asyûr, karakteristik , metode penafsiran

Pendahuluan

Ibnu ‘Asyûr adalah penulis tafsir yang masyhur pada abad ke-14 H/20 M. Jika tafsir Al-Manâr adalah tafsir terkemuka di Mesir, maka tafsir al-tahrîr wa Al- tanwîr karya Ibnu ‘Asyûr adalah tafsir terkemuka di Tunis.Tafsir Ibnu ‘Asyûr tergolong tafsir yang moderat. Penulisanya memposisikanya terhadap tafsir penengah dari tafsir-tafsir lainya. Dengan ini penulis ingin meluruskan pemahaman terhadap al-Qur`an, baik makna kosakatanya maupun isi kandunganya. Dalam menafsirkan al-Qur`an, Ibnu ‘Asyûr lebih condong menggunakan rasio daripada tafsir Nabi dengan alasan ayat-ayat yang belum ditafsirkan Nabi jauh lebih banyak dari yang sudah ditafsirkan, sehingga diperlukan ijtihad untuk memahaminya.

(2)

2 Biografi Ibnu ‘Asyûr

1. Riwayat Hidup Ibnu ‘Asyur

Ibnu ‘Asyûr memiliki nama lengkap Muhammad Thâhir Ibn Muhammad al-Thâhir Ibnu ‘Asyûr.1 Keturunan keluarga ‘Asyûr adalah keluarga yang terkenal di Tunis, karena memiliki posisi ilmiah dan jabatan di di pemerintahan. Ibnu ‘Asyûr dilahirkan pada tahun 1296 H/1879 M di kota Mousha, yang terletak di sebalah utaraTunisia. Ibnu ‘Asyûr tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang mencintai ilmu pengetahuan. Pendididkanya diperhatikan penuh oleh ayah, ibu dan kakeknya. Mereka semua menginginkan cucunya menjadi orang yang terhormat sebagaimana nenek moyang mereka.

Ibnu ‘Asyûr mulai belajar al-Qur’an sejak usia 6 tahun. Setelah itu, ia menghafal Matan al-Jurûmiyyah dan mempelajari bahasa Perancis. Baru pada usia 14 tahun, Ibnu ‘Asyûr tercatat sebagai murid pada Universitas Az-Zaitunah ( 1310 H/ 1893 M).2 Disana ia belajar ilmu syariah (fiqh, dan ushûl fiqh), bahasa Arab, hadits, sejarah, dan lain-lain. Setelah belajar selama tujuh tahun di Universitas Az-Zaitunah, Ibnu ‘Asyûr berhasil menempuh gelar sarjana tahun 1317 H/ 1899 M.3

Belajar di Universitas Az-zaitunah nampaknya belum memenuhi dahaganya dalam menuntut ilmu. Di waktu luangnya, Ibnu ‘Asyur membaca buku-buku tafsir, buku al-Milâl wa al- Nihâl, menghafal hadits-hadits, syair-syair Arab dari masa pra Islam hingga sesudahnya, membaca buku-buku sejarah dan lain-lain.

Ilmu yang diperolehnya dari Azzaitunah dan aktivitas keilmuwanya membentuk kepribadian dan iktelektualitasnya yang tinggi. Di samping itu perhatian ayah dan akkeknya yang menambahkan akhlak mulia kepada Ibnu ‘Asyûr, memberi pengaruh besar pada pribadinya sebagai ulama yang bersahaja di Tunis. Ibnu ‘Asyur wafat pada 1393 H/ 1973 M.

2. Karir Intelektual Ibnu ‘Asyûr

Menelusuri jejak kehidupan intelektual seseorang dalam wilayah akademik merupakan aspek penting dalam kajian tokoh. Ini dilakukan melihat karya-karya akademik yang dihasilkanya, baik dalam bentuk buku, makalah ilmiah dan lainya. Setelah sekian tahun menimba ilmu di Universitas Azzaitunah, Ibnu ‘Asyûr diangkat sebagai guru pada tahun 1320 H/ 1903 m di Azzaitunah. Karirnya terus meningkat dalam bidang pengajaran sehingga ia terpilih menjadi tenaga pengampu di sekola

1 Dari garis keturunan Ibnu Asy’ûr ini lahir para intelektual, qâdhi, dan mufassir, serta orang-orang yang memangku jabatan penting lainya dari abad 11 sampai 14 H/ 17-20 M. Diantara keturunan Ibnu ‘asyûr yang tercatat dalam sejarah adalah Muhammad Thâhir Ibnu ‘Abdul Qadîr Ibnu ‘Asyûr seorang sastrawan, qadhi, dan mufti yang menjadi objek pembahasan makalah ini. Nama lainya adalah seorang mufassir dan putranya, Muhammad Fadhil Ibnu ‘Asyûr (w. 1390 H/ 1970 M) seorang ilmuwan, politikus dan kolumnis yang terkenal di Tunis. Kata „Asyûr merupakan isim kunyah (nama marga) dari sebuah keluarga besar dari keturunan Al-Idrisyi Al-Husyaimiyah, nenek moyang para pemuka masyarakat di Maroko. Salah satu anggota keluarga ini yaitu Ibnu ‘Ayûr hijrah dan menetap di Tunis.

2 Syeikh Muhammad Thâhir Ibnu ‘Asyûr dan metodologinya dalam tafsir Ibnu ‘Asyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr jilid.1, h. 25-26

(3)

3

Ashidiqiah pada tahun 1321 H/ 1904 M. Berikutnya ia diangkat sebagai anggota Bidang Akademis pada sekolah yang sama pada tahun1326 H/1909 M.

Sebagai penghargaan atas kepakaranya dalam bidang ilmu-ilmu keislaman dan bahasa Arab tahun 1940, Ibnu Asy’ûr diangkat sebagai salah seorang anggota lembaga bahasa Arab di Cairo dan anggota koresponden lembaga ilmiah di Damaskus pada tahun 1955. 4

3. Karya-karya Ibnu’Asyûr

Dengan latar belakang keluarga dan lingkungan yang mencintai ilmu, dengan berbekal kejeniusan, ketekunan, keikhlasan, dan komitmen pada pendidikan serta

kewara‟anya menjadikan Ibnu ‘Asy’ûr sebagai pribadi yang mengabdikan diri pada

ilmu, dengan menjadi guru dan tokoh agama. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mengajar dan menulis buku. Dua bukunya yang fenomenal, tafsir al-Tahrîr wa Al-Tanwîr dan Maqashîd al-Syarî‟ah al-islâmiyah menjadi rujukan utama bagi para

mufassir.

Berikut ini karya-karya ilmiah yang ditulis Ibnu ‘Asyûr: a. Al- Tahrîr wa Al-Tanwîr

b. Al- Nadzar al-fasîh „Inda madhâyiq al-Andzâr fi al-Jâmi‟ al-Shahîh

c. Kasyfu al-Mughthiy min al-Ma‟âni wal al-Fadhi wa al-Waqî‟ah fi al -Muwatha‟

d. Al-Tadhîh wa al-Tashîh

e. Maqâshid al-Syarî‟ah al-Islâmiyah

f. Wajîz al-Balâghah

g. Ushûl al-Insya wa al-Khithâbah

h. Syarah al-Muqaddimah al-Adabiyah li syarh al-Imâm al-Marzûqi Ali Diwân al-Hamashah li Abi Tamâm

i. Naqd al-Ilmi li kîtab al-Islâm wa Ushûl al-Hikâm

j. Ushûl an-Nadzhâm al-Ijtimâ‟iy fi al-Islam

k. Alaîsa al-Subhu bi Qarîb

l. Qisbah al-Maûlid

Analisa Terhadap Tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr

1. Latar belakang penulisan tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr

Ibnu ‘Asyûr mulai menulis tafsir pada 1431 H/ 1923 M, setelah beliau naik jabatan dari qâdhi menjadi mufti. Tafsir 30 juz, ditulisnya dalam 15 jilid kitab, dalam waktu 39 tahun. Meskipun diselingi dengan penulisan karya-karya lain, buku maupun makalah, beliau tetap bersungguh-sungguh menyelesaikan penulisan tafsirnya. Ini berkat keikhlasan, tekad kuat untuk menulis tafsir yang menyatukan antara kemaslahatan dunia dan akhirat.5

Selama penulisan tafsir, kondisi sosial politik Tunis mengalami dinamika sedemikian rupa. Berbagai peristiwa, perubahan dan peralihan besar terjadi pada

(4)

4

masyarakat Tunis saat itu. Masyarakat Tunis saat itu sedang berusaha merebut kemerdekaanya dari penjajah. Sementara gerakan reformasi dan pembaharuan yang dipelopori Muhammad Abduh di Mesir (1849/ 1905), setelah merebak ke berbagai belahan negara Islam, tidak terkecuali Tunis. Ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh mulai mempengaruhi intelektual Tunis, tidak terkecuali Ibnu ‘Asyûr.6

Saat itu Muhammad Abduh di Mesir, menghimbau agar umat Islam melakukan pembaharuan dalam bidang pendidikan. Himbauan ini nampaknya juga bergema di Tunis. Ibnu ‘Asyûr merespon himbauan tersebut dan bergerak mereformasi pendidikan dan menyampaikannya di berbagai seminar.

Tidak hanya itu, Ibnu ‘Asyûr pun ikut terjun dalam gerakan reformasi yang terjadi. Hasilnya adalah dibangunya cabang-cabang Azzaitunah di berbagai kota di Tunis. Kualitas pendidikanpun ditingkatkan dengan menambahkan ilmu-ilmu selain ilmu syari’ah, seperti matematik, kimia, filsafat, sejarah dan bahasa Inggris.

Menelaah bagian pembukaan tafsir Ibnu ‘Asyûr membuktikan bahwa Ibnu ‘Asyûr memiliki cara tersendiri dalam menafsirkan Al-Qur`an. Dari sini bisa ditelusuri jejak-jejak keterlibatan Ibnu ‘Asyûr dalam gerakan reformasi di Tunis.

Sejak awal penulisan tafsirnya, Ibnu ‘Asyûr selalu menjaga komitmen untuk menjadikan penafsiranya sebagai sebuah kritik bukan taqlîd. Sisi pembaharuan Ibnu ‘Asyûr dapat dicermati dan obsesinya menafsirkan Al-Qur`an dengan memunculkan hal-hal baru yang belum pernah ditulis dalam tafsir-tafsir sebelumnya. Ini dengan tujuan untuk menjadikan tafsirnya sebagai penengah dari tafsir-tafsir lainya. Menurut Ibnu ‘Asyûr, membatasi penafsiran pada tafsir bi al-ma‟tsur akan menelantarkan isi kandungan Al-Qur’an yang memang tidak akan pernah habis untuk dibahas.7 Menurut Ibnu ‘Asyûr diantara sebab terbelakangnya ilmu tafsir, adalah kecenderungan yang berlebihan terhadap tafsir bil ma‟tsûr. Juga karena besarnya kecenderungan para ulama menulis hanya dengan penukilan, dengan alasan takut keliru dalam menafsirkan. Akibatnya orang menjadikan tafsir bi al-ma‟tsûr sebagai satu-satunya metode penafsiran. Bahkan karena terlalu berpegang pada metode tafsir bi al-ma‟tsûr, maka tafsir dengan riwayat lemah sekalipun tetap digunakan, padahal ada penafsiran dengan nalar yang lebih tepat.

Pada akhirnya, tafsir yang hanya sekedar penukilan dari tafsir-tafsir sebelumnya, dapat membatasi pemahaman terhadap Al-Qur`an dan mempersempit maknanya. Contoh nyata dari pembaharuan Ibnu ‘Asyûr bisa dilihat pada nama tafsirnya yang semula berjudul Tahrîr al Ma’nâ al Sadîd wa Tanwîr al ‘Aql al jadîd (Memilih Makna yang Tepat dan Mencerahkan Akal yang Baru dari AL-Qur`an). Akan tetapi kemudian judul tafsirnya disingkat menjadi al Tahrîr wa al-Tanwîr.

6

(5)

5

2. Karakteristik tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr r

Untuk melihat karakteristik sebuah tafsir, bisa dilihat dari berbagai aspek. Seperti tujuan menfsirkan, sumber penafsiran, gaya bahasa, corak penafsiran, sistematika penulisan, aliran madzhab yang diikuti, dan lain sebagainya.

Mengingat keterbatasan yang dimiliki sebuah makalah, maka penulis membatasi analisanya pada karakteristik tafsir Ibnu ‘Asyûr hanya pada aspek-aspek berikut: sumber penafsiran, tujuan penafsiran, gaya bahasa, dan corak penafsiran serta metode penulisanya.

3. Sumber Penafsiran tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr

Mengetahui sumber penafsiran sebuah karya tafsir sangat penting artinya. Ini diantaranya berguna untuk mengetahui kapasitas bi al-ra‟yî dan bi al-naqli sebuah kitab tafsir. Dan juga untuk mengetahui apakah sebuah tafsir merupakan hasil kolaborasi dari tafsir bi al-ma‟tsûr dan tafsiir bi al-ra‟yî.

a. Tafsir bi al-ma‟tsûr menurut Ibnu „Asyûr

Menurut Ibnu ‘Asyûr, tafsir bi al-ma‟tsûr adalah tafsir yang datang dari Al-Qur`an atau sunnah atau perkataan sahabat sebagai penjelasan dari maksud Allah SWT menurunkan kitab sucinya. Begitu juga dengan tafsir tabi‟in, meskipun beberapa ulama berbeda berselisih paham mengenai posisi tafsir tabi‟in, apakah termasuk bi al-ma‟tsûr

atau bi al-ra‟yi. Dalam hal ini al-Thabari yang membatasi tafsirnya sebagai tafsir bi

al-ma‟tsûr memasukan tafsir tabi‟in sebagai bi al-ma‟tsûr.

Untuk tafsir yang berdasarkan Qur`an, atau bisa disebut menafsirkan Al-Qur`an dengan atas dasar Al-Al-Qur`an itu sendiri, maka tingkat kebenaranya tidak diragukan lagi. Ini karena tafsir Al-Qur`an dengan Al-Qur`an dianggap berasal dari Allah, yang paling mengetahui maksud kandungan Qur`an. Sedangkan tafsir Al-Qur’an dengan hadits Nabi merupakan bentuk penjelasan Nabi saw terhadap Al-Qur`an. Karena memang beliau diperintahkan untuk menjelaskanya, sebagaimana firman Allah berikut:

ن ر فتي م لعل م يلإ ن ام انلل نيبتل ركذلا كيلإ انل نأ

“Dan kami turunkan kepadamu al-dzikir (Al-Qur`an) agar engkau menerangka

(nya) kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan upaya mereka

memikirkan.” (QS. Al-Nahl:44)

Sementara itu tafsir Al-Qur`an yang besumber pada pendapat-pendapat para sahabat hukumnya marfu‟, jika terkait dengan asâb nuzûl. Ini sebagaimana dikatakan oleh al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak. Mengenai tafsir sahabat, imam al-Syathibi berpendapat bahwa tafsir sahabat memiliki dua kelebihan: Pertama, bahasa Arab mereka fasih. Mereka juga dianggap paling mengetahui dan memahami Al-Qur`an dan Sunnah. Jika ada penjelasan atau perbuatan sahabat yang menempati posisi sebagai penjelas Al-Qurr’an, menurut al-Syathibi, maka tafsir sahabat termasuk dalam tafsir bi

(6)

6

Kedua, sahabat adalah orang-orang yang terlibat langsung dalam berbagai peristiwa yang mengiringi turunya wahyu dan menyaksikan sendiri turunya wahyu. Sehingga para sahabat lebih memahami makna-makna ayat dari pada generasi-generasi sesudahnya. Karena itu jika ada di antara sahabat yang membatasi makna ayat yang mutlak, mengkhususkan yang umum, maka bisa diamalkan dengan syarat antara mereka, maka tafsir sahabat dianggap sebagai hasil ijtihad.

Untuk tafsir yang bersumber dari pandangan tabi‟in Imam Suyuti mempertanyakan, sejauh mana tafsir tabi‟in bisa menjadi hujjah yang dibenarkan dalam tafsir Al-Qur’an. Hal ini dijawab, jika riwayat-riwayat itu bersumber dari riwayat-riwayat yang shahîh, maka hukumnya maqbûl (bisa diterima). Jika hanya penafsiran dari sisi kebahasaan saja yang dijadikan parameter dari penafsiran, maka menurut al-suyuthi, hal ini juga bisa dianggap maqbûl (bisa diterima).

Untuk tafsir Al-Qur`an yang menggunakan ijma‟ (kesepakatan) Ibnu ‘Asyûr berpendapat bahwa ijma‟ umat dalam prnafsirsan Al-Qur`an, bisa dianggap sebagai al-atsar, jika memiliki dalil yang shahîh. Seperti adanya kesepakatan bahwa yang dimaksud dengan خأا dalam ayat „al-kalâlah‟ adalah saudara perempuan dari pihak ibu.8

Menurut Ibnu ‘Asyûr, tafsir tabi‟in ditolak bila datang dari para pendusta,9 seperti riwayat isrâiliyât. Menyikapi tafsir yang demikian, menutut Ibnu ‘Asyûr, kita

tidak perlu meyakininya secara mutlak dan tidak menolaknya secara mutlak pula. Dalam hal ini Nabi saw bersabda:

لا دعق أ ي ف ادع ي ع ك ج ح ا ليئ سإ ى ب ع ا خ يأ ى ع ا غ ب

“sampaikan dariku walaupun itu satu ayat. Dan ambilah dari Bani Israil dan janganlah engkau ragu. Barangsiapa berbohong atas namaku secara sengaja, maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka.”10

b. Ibnu „Asyûr dan tafsir bi al-ra‟yi

Yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra‟yi adalah menafsirkan Al-Qur`an dengan cara berijtihad. Ini dilakukan oleh mufasir yang memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu bahasa Arab dan mengetahui lafadz-lafadz Al-Qur`an, juga mengetahui syair-syair Arab jahiliyah. Mereka juga harus mengetahui asbâb nuzûl, mengetahui nasakh mansûkh dan perangkap „UlûmAl-Qur`an lainya.11

Ibnu „Asyûr dalam muqaddumah kitab tafsirnya, di bawah tema sahnya tafsir

Tanpa bi al-Ma‟tsûr dan makna Tafsir bil al-Ra‟yi, mengajak pembaca untuk berdialog secara bersahaja seraya meyakinkan mereka bahwa berijtihad untuk menafsirkan ayat dibolehkan, karena banyak tafsir Al-Qur`an yang sanadnya tidak sampai kepada Rasul saw.

8 Ibnu ‘Asyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, jilid 1, h. 25 9

Al-Zarqani, Manahil al-Irfan, jilid 2, h. 22. 10

HR. Riwayat al-Bukhari, Shahîh al-Bukhari, Kitâb al-Anbiyâ, jilid 4, h. 320. 11

(7)

7

Lebih jauh Ibnu „Asyûr menyatakan bahwa jika ijtihad di dalam menafsirkan Al-Qur`an dilarang, tentu penafsiran menjadi sangat ringkas, hanya dalam beberapa lembar saja.12 Ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Imam Ghazali dan al-Qurthubi bahwa tidak semua apa yang dihasilkan sahabat itu bersumber pada apa yang mereka dengar dari rasul saw. Dalam hal ini, menurut al-Syathibi tergantung pada dua hal berikut:

Pertama, Nabi saw tidak menafsirkan Al-Qur`an. Aisyah berkata,

يإ لي ج ع اد دع يأ اإ ه ك ص ه ل س ك “Rasulullah tidak menafsirkan Alqur`an kecuali beberapa ayat yang

diajarkan oleh jibril kepadanya,”13

Kedua, Para sahabat berselisih pada apa yang mereka tafsirkan, sehingga sulit disatukan perbedaan antara mereka. Ini menunjukan bahwa mustahil para sahabat itu mendengar semuaya dari Rasul saw yang nampak pada kita adalah bahwa masing-masing sahabat menafsirkan Al-Qur`an sesuai dngan hasil ijtihad mereka.

Situasi ini memberikan kesempatan kepada siapa saja yang memiliki perangkat ilmu yang cukup untuk menafsirkan ayat-ayat AL-Qur`an yang belum ditafsirkan oleh Nabi saw maupoun oleh sahabtnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh al-Dzahabi,

didukung oleh Ibnu ‘Asyûr. Karena ada atsar (hadits) yang menegaskan bahwa

menafsirkan Al-Qur`an semata hanya mengandalkan logika adalah tindakan yang tercela. Misalnya atsaryang diriwayatkan Ibn ‘Abbas bahwa Rasul bersabda:

لا دعق أ ي ف ع يغب يأ ب سأ ب أ قلا ىف ل ق “Barang siapa yang berbicara mengenai Al-Qur`an dengan logikanya sendiri, tanpa ilmu pengetahuan, maka bersiap-siaplah untuk tempatnya di neraka.”14

Seorang sahabat bernama Jundub juga mengatakan bahwa Rasul saw bersabda: أ حأ دقف صأف يأ ب أ قلا ىف ل ق

“Barang siapa yang berbicara mengenai Al-Qur`an dengan logikanya sendiri,

(meskipun) salah benar, maka dia (tetap) bersalah.”15

Menyikapi hadits-hadits semacam di atas, Ibn ‘Asyûr mengemukakan salah satu dari 54 argumen berikut:

1) Yang dimaksud dengan kata al-ra‟yu adalah perkataan yang terbesit (di hati) tanpa memperhatikan dalil-dalil, baik dari sisi bahasa, maqâshid atau tujuan

syari’ah, tanpa memperdulikan asbâb nuzûl dan nasikh mansûkh dan lain-lain.

2) Yang dimaksud dengan al-ra‟yu yang dilarang adalah yang tidak melalui

tadabbur (perenungan mendalam) terhadap Al-Qur`an. Yang dilarang adalah, menafsirkan hanya dengan pandangan sekilas, atau hanya dari sisi kebahasaan saja tanpa mengetahui penggunaan bahasa tersebut. Seperti menafsirkan kata

ص dengan memiliki penglihatan tidak buta padahal makna yang dimaksud adalah (al-Isra’ {17}: 59)

12 Ibn ‘Asyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, jilid 1, h. 28 13

ibid 14

HR. Ahmad dalam Musnad Ahmad, jilid 1, h. 385, (Mesir: Dar Ihya` al-Turâts, TT) 15

(8)

8

ص ق لا د ث ي أ

3) Yang dimaksud dengan perumpamaan al-ra‟yu yang dilarang adalah jika memiliki kecenderungan fanatis terhadap madzhab tertentu dengan penuh tendensi. Sehingga yang terjadi lalu bukan menafsirkan Al-Qur`an, tetapi mentakwilkan ulama selama ini kepada makna yang sesuai dengan pendapat madzhabnya saja. Seperti tafsir ب ىلإ dengan arti menunggu nikmat Tuhannya, dengan catatan huruf jar ىلإ adalah mufrâd (tunggal) dari jama إا ءاإ Penafsiran ini dianggap keluar dari makna dzâhirnya ayat.

4) Yang dimaksud dengan penggunaan al-ra‟yu yang dilarang adalah menafsirkan dengan al-ra‟yu yang mementingkan makna harfiyahnya saja, dan menganggap hanya itulah penafsiran yang benar. Sementara penafsiran lainya dianggap salah.

5) Maksud dari perkataan yang terkandung dalam hadits-hadits yang melarang menafsirkan hanya dengan ijtihad adalah tercela, adalah agar berhati-hati dalam menafsirkan. Kehati-hatian ini berbeda-beda antara satu mufassir dengan mufassir lainya sesuai dengan tingkat kerendahan hati (al-wara‟) mereka terhadap Al-Qur`an, semakin rendah hati semakin hati-hati ia menafsirkan Al-Qur`an, begitu juga sebaliknya.16

Lima argumen di atas menunjukan bahwa Ibnu ‘Asyûr menjelaskan bahwa tidak semua al-ra‟yu adalah madzmum (tercela). Jika semua yang didasarkan

al-ra‟yu itu tercela maka tentu banyak perkataan sahabat dan tabi‟in yang tertolak.

Padahal mereka aktif menafsirkan Al-Qur`an, baik berpegang pada Sunnah nabi maupun melalui ijtihad. Kata a;-Ra‟yu menurut Ibnu ‘Asyûr adalah kata umum

yang membutuhkan rincian atau penjelasan.17

c. Tujuan Menafsirkan

Dalam menafsirkan Al-Qur`an, Ibnu ‘Asyûr menyimpulkan ada delapan tujuan penafsiran:

1. Memperbaiki keyakinan dan mengajarkan aqîdah yang benar 2. Mendidik akhlak.

3. Bertujuan menafsirkan dan mengungkap hukum-hukum yang terkandung dalam-ayat-ayat Al-Qur`an, baik yang bersifat khusus maupun umum.

4. Menafsirkan dan mengungkap isi kandungan Al-Qur`an tentang aturan hidup manusia.

5. Menafsirkan kisah-kisah dan berita-berita umat sebelumnya.

6. Memberikan pendidikan dan pelajaran yang disesuaikan dengan mukhâtab

atau objek ayat dan sesuai dengan kesiapan mereka menerima dan mendakwahkanya.

7. Menafsirkan Al-Qur`an yang berisi nasihat, peringatan dan kabar gembira mencakup semua ayat yang berisi janji dan ancaman.

(9)

9

8. Menafsirkan juga bertujuan untuk mengetahui dan mengambil pelajaran dan argumen-argumen yang terdapat dalam Al-Qur`an, yang ditujukan untuk mendebat orang yang meragukan kebenaran Al-Qur`an.

4. Sisi bahasatafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr

Tafsir Ibnu ‘Asyûr bukan hanya dianggap sebagai kitab tafsir, tetapi juga bisa

dikatakan sebagai kitab kebahasaan. Karena dalam penjelasanya, banyak sekali dipaparkan penafsiran dari sisi nahwu, sharaf, dan balâghah. Bahkan sisi balâghah

(keindahan bahasa) adalah sisi yang menjadi fokus tafsir ini. Untuk memahami

Al-Qur`an, Ibnu ‘Asyûr berhasil mengeksplorasi bahasa yang bertumpu pada syair-syair

Arab. Dalam hal ini Ibnu ‘Asyûr sangat memperhatikan penjelasan makna nahwu,

menyebutkan fungsi kata dari sisi makna dan balâghahnya 5. Metodologi Penulisan tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr

Tafsir Ibnu ‘Asyûr merupakan tafsir yang memiliki kecenderungan tafsil bi

al-ra‟yi. muqaddimah tafsirnya terdiri dari pembahasan tema-tema berikut: tafsir dan

ta‟wil, keabsahan tafsir bi al-ra‟yi, Tujuan mufassir, sabab nuzûl, al-Qira‟at, Qassash fi

al-Qur`an, Nama-nama Al-Qur’an ayat, surah dan susunanya, Makna-makna ayat dan tartîb (urutan) ayat, Makna surah dan sususnanya, Makna-makna yang dikandung Al-Qur`an dianggap sebagai yang dimaksudkanya dan kemukjizatan Al-Al-Qur`an („Ijaz Al -Qur`an).

Metode penulisannya dimulai dengan menyebutkan nama-nama surat, keutamaanya, keutamaan membacanya, susunanya, urutan turunya surat (tartib nuzûl surah), tujuanya, jumlah ayatnya, baru kemudian menjelaskan isi surat tersebut ayat per ayat.

Dalam bidang fiqh (hukum islam), Ibnu ‘Asyûr menekankan pentingnya

mengetahui ilmu maqâshid syari‟ah sebagai sarana untuk mentarjih pendapat yang satu dan pendapat lainya. Seorang ahli hukum Islam, menurut Ibnu ‘Asyûr harus mampu membedakan berbagai posisi khitâb. Apakah posisinya sebagai targhîb atau tarhîb tabsyîr (kabar gembira) atau tahzîn (peringatan). Tentu ini dalam rangka mentarjih dan menentukan maqâshid syari‟ahnya.18

Untuk menunjukan kepakaranya dalam bidang fiqh, Ibnu ‘Asyûr tidak pernah

melewatkan komentar-komentar fiqhnya ketika menafsiran ayat-ayat ahkam (ayat-ayat hukum). Komentarnya ditulis secara ringkas tanpa bertele-tele, sesuai dengan pemaparan para fuqâha (ahli fiqh), penjelasan para sahabat dan tabi‟in. Baru di akhir komentarnya, beliau beristinbath (menentukan hukum). Misalnya tafsir ayat surat Al-Baqarah ayat 102 ا حس س لا عي Ibnu ‘Asyûr menjelaskan bahwa Islam telah memberi peringatan dan mencela sihir. Hal ini bukan berkaitan dengan hakikat sihir tetapi peringatan terhadap rusaknya akidah dan hilangnya ikatan agama.

Para ulama Islam sendiri berbeda pendapat seputar keberadaan sihir dan pengingkaranya, yaitu perbedaan yang diakibatkan oleh cara pandang. Setiap kelompok

(10)

10

melihat macam-macam sihir. Ali Iyâzi dalam bukunya ahlussunnah wal jamâ‟ah berpendapat bahwa sihir memang ada.

Kemudian Ibnu ‘Asyûr mengatakan bahwa, tidak ada dalan pembicaraan mereka

penjelasan tentang sihir yang mereka tetapkan keberadaanya. Masalah ini merupakan maslah furû‟iyah. Pembicaraan mengenai sihhir termasuk dalam masalah hukuman bagi orang yang murtad, dan tidak masuk dalam masalah pokok agama (ushuluddin).

Ibnu ‘Asyûr sangat memperhatikan sisi kebahasaan dan balâghah. Ia menjelaskan

makna kosakata disertai struktur linguistiknya (i‟rab). Kadang-kadang ia menggunakan kosa kata dengan syair sebagai penguat. Ini terpengaruh oleh tafsir Al-Kasyaf.19 Ibnu

‘Asyûr juga orang yang sangat memperhatikan munâsabah (persesuaian) antar ayat.

Ketika menafsirkan isi kandungan surat, Ibnu ‘Asyûr tidak terpaku pada tafsir bi

al-ma‟tsûr, tetapi juga tidak terbatas hanya pada tafsir bi al-ra‟yi. Ibnu ‘Asyûr

menafsirkan sebuah ayat, ia menjelaskan ayat tersebut dari semua sisi,terutama dari tujuan-tujuanya, agar pembaca tafsir tidak terbatas hanya memahami penjelasan kosa katanya saja. Beliau menjelaskan tujuan dan makna-makna kosa kata yang dibedahnya lebih teliti dari sebuah kamus.20

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sistematika penafsiran Ibnu

‘Asyûr adalah sebagai berikut: menempuh cara-cara tafsir atau ta‟wil, menjelaskan

makna surah, keutamaanya, jumlah ayatnya dan lain sebagainya, menjelaskan

munasâbah (persesuaian) antara Ayat dan antara surah, meskipun dalam skala kecil, membahas i‟rab (struktur kalimat) secara detail dan juga sisi balâghah (keindahan) sebuah ayat, menjadikan syair-syair sebagai syawâhid (bukti-bukti) kebahasaan dalam menentukan makna sebuah ayat Al-Qur`an. mendahulukan penafsiran ayat dengan ayat atau ayat dengan surah (bi al-Ma‟tsûr) yang tepat. melakukan ijtihad dan sinkronisasi antara makna ayat untuk memperoleh makna yang tepat dan merumuskan maqâshid syarîah dari ayat-ayat ahkâam.

Penutup

Demikian tela’ah singkat atas tafsir Al-Tahrîr wa Al-Tanîr karya Ibnu ‘Asyûr. Tela’ah

ini dilakukan dengan tujuan selain untuk lebih mengenal khazanah tafsir yang ada, juga untuk menjadi sumbangan bagi pengembangan keilmuwan Islam, khususnya yang terkait ilmu-ilmu Al-Qur`an dan tafsirnya.

19

(11)

11

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad bin hanbal, Musnad ahmad, jilid 1 Mesir: Dâr Ihya` al-Turâts, t.th Al-Dzahabi, al-tafsir wa al-Mufassirûn, jilid 1

Ibnu ‘Asyûr, al tahrîr wa al-tanwîr, jilid 1, Mesir: Dâr al-Fikr, t.th

Ibnu ‘Asyûr, Nadzariyah al Maqâshid „Inda al-Thâhir Ibn „Asyûr, Mesir, Dâr al-Fikr,

t.th

Imam al-Bukhari, shahih al-Bukhari, kitâb al-Anbiyâ, jil;id 4, Cairo Dâr al-Ihyâ, t.th Iyazi, Ali Iyâzi, Al Mufassirûn wa Manhâjuhum, TK: Muassasah al-Thabâ’ah wa al

-nasyr Wuzarah Tsaqâfah wa al-Irsyâd al islâmy, 1992 Al Syathibi, Muuwaffaqât, jilid 3

Al-Thabari, Ibnu Jarir, Jâmi‟ al-Bayâan fi Tafsir Al-Qur`an, jilid 1, Beirut, Dâr al-Fikr, 1405 H/1984

Al-Zarqani, Manahil al-„Irân, jilid 2

Referensi

Dokumen terkait

Observasi pembelajaran di sekolah dilakukan secara individu baik di dalam ataupun di luar kelas. Hal ini bertujuan agar mahasiswa dapat melihat dan mengamati secara

Hasil dari penelitian ini kepuasan pada pimpinan tidak berpengaruh pada kinerja tenaga penjual, sehingga dapat disimpulkan meskipun kinerja tenaga penjual meningkat

4.6.4 Minat Menggunakan Internet Banking yang Dipengaruhi Oleh Persepsi Kegunaan, Persepsi Kemudahan Penggunaan, Persepsi Kredibilitas : Gender sebagai Variabel Moderating Gibson

Sesuai definisi yang disajikan dalam bagian pendahuluan laporan ini, pendidikan berkelanjutan adalah pendidikan yang diselenggarakan bagi mereka yang telah menyelesaikan

4.  Adalah  jenis  video  yang  sengaja  dibuat  untuk  mendemonstrasi  materi  atau topik yang dibahas ...  a. Dokumenter  b. Berita 

Nangka dapat tumbuh di daerah kering dengan bulan-bulan kering lebih dari 4 bulan (Djaenuddin et al. Pohon nangka berbuah besar mulai berbuah pada umur 5- 10 tahun

lnstitut lnsinyur Wageningen di Hindia Belanda pada tahun 1932 mengungkapkan beberapa keinginan mengenai masa praktek sebagai berikut : "banyak orang menganggap

Pada penelitian ini merancang sebuah sistem kontrol suhu pada dispenser kopi instan otomatis menggunakan kontrol fuzzy yang dapat menghasilkan respon sistem untuk memenuhi