• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Keripik Daging dengan Perlakuan Jenis Tepung yang Digoreng Vakum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produksi Keripik Daging dengan Perlakuan Jenis Tepung yang Digoreng Vakum"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI KERIPIK DAGING DENGAN

PERLAKUAN JENIS TEPUNG

YANG DIGORENG VAKUM

YUSTINI ELINDA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Produksi Keripik daging dengan Perlakuan Jenis Tepung yang Digoreng Vakum adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2007

(3)

ABSTRACT

YUSTINI ELINDA. The Production Beef Chips with Vaccum Frying at Different Starchs. Under the direction of RUDY PRIYANTO and EDDIE GURNADI.

Beef is a kind of meat from cattle which has a high nutritive value. However, it is the most perishable product. Processing this kind of meat into beef chip by vaccum frying may enchance its self life and promote meat product diversivication.

The aim of this study is to examine the influence of tapioca starch and its combination with wheat and maize starchs at different frying time on phisycal chemical and organoleptic properties of beef chip. The experiment was set in a completely randomized design with 3x6 factorial arrangement and three replication

The results indicated that combination of starchs and heating time showed significant different for reduction form, moisture content and peroxide value. In order that combination of starchs significant different for aroma and cripness of chips.

(4)

ABSTRAK

YUSTINI ELINDA. Produksi Keripik Daging dengan Perlakuan Jenis Tepung yang Digoreng Vakum. Dibimbing oleh RUDY PRIYANTO DAN EDDIE GURNADI.

Daging merupakan bahan pangan produk peternakan yang memiliki nilai gizi relatif lengkap dan seimbang. Pengolahan produk hasil ternak dimaksudkan untuk mendapat nilai tambah dan meningkatkan daya simpan, mengingat daging merupakan bahan yang mudah rusak (perishable). Penelitian ini mempunyai tujuan mempelajari pengaruh jenis tepung dan lama pengorengan terhadap sifat fisik dan kimia keripik daging.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan pola faktorial 3 x 6 dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah jenis tepung yang terdiri atas tepung tapioka, tepung terigu dan tepung maizena dan faktor kedua adalah lama penggorengan yaitu 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit.

Dari hasil analisis jenis tepung tidak mempengaruhi sifat fisik keripik daging namun Lama penggorengan mempengaruhi sifat fisik keripik daging kecuali kekerasan objektif. Jenis tepung tidak mempengaruhi sifat kimia keripik daging kecuali bilangan peroksida namun lama penggorengan mempengaruhi sifat kimia keripik daging kecuali kadar lemak. Sifat fisik dan kimia keripik daging tidak dipengaruhi oleh interaksi jenis tepung dan lama penggorengan

(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi,

(6)

PRODUKSI KERIPIK DAGING DENGAN

PERLAKUAN JENIS TEPUNG

YANG DIGORENG VAKUM

YUSTINI ELINDA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Produksi Keripik Daging dengan Perlakuan Jenis Tepung yang Digoreng Vakum

Nama : Yustini Elinda NIM : D 051040051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rudy Priyanto Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak September 2006 adalah Produksi Keripik Daging dengan Perlakuan Jenis Tepung yang Digoreng Vakum.

Pada kesempatan yang berbahagia ini penulis menghaturkan terima kasih yang tulus tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat Bapak Dr. Ir. Rudy Priyanto dan Bapak Prof. Dr. H. Eddie Gurnadi masing-masing sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing atas kesabaran, penyediaan waktu, tenaga dan pikiran walaupun di tengah-tengah kesibukan beliau untuk memberikan bimbingan dan nasehat kepada penulis sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Demikian pula kepada Bapak Dr. Ir. Nachrowi, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu Ternak serta Kepala Laboratorium Pangan dan Gizi PAU IPB yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksankan penelitian di laboratorium ini.

Ucapan terima kasih penulis tujuakan kepada Dr. Ir. Dedi Rahmat atas bantuannya selama saya melaksanakan penelitian serta Dr. Ir. Heni Nuraini, Msi selaku penguji luar komisi atas saran-saran yang diberikan sehingga dapat menyempurnakan lagi tulisan ini. Demikian pula kepada rekan-rekan S-2 maupin S-3 PTK IPB, khususnya angkatan 2004, beserta semua pihak yang yang tak mungkin disebutkan satu per satu, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih sedalam-dalamnya atas bantuan moril dan kerjasamanya selama penulis menempuh studi S-2.

Kupersembahkan tesis ini untuk ibu, suami tercinta serta saudara-saudaraku Desy, Lia, Corry dan Novy yang senantiasa telah mencurahkan kasih sayang dan mendukung serta anak-anakku tercinta Vira dan Syifa untuk mendorong kalian untuk giat belajar.

(9)

bijaksana penulis mengharapkan saran demi peningkatan mutu tesis ini pada masa berikutnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dijadikan Allah SWT sebagai amal sholeh bekal penulis menempuh hidup di dunia dan di akhirat nanti. Amin.

Bogor, April 2007

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Juni 1968, di Kota Bandung, Jawa Barat. Penulis adalah anak kelima dari lima bersaudara dari pasangam Johan Iskandar Sastrawinata dan Rd Rr Ngt. Sulastri.

Pendidikan formal penulis diawali tahun 1974 di SDN Karang Pawulang I Bandung, lulus pada tahun 1980. Tahun yang sama melanjutkan ke SMPN 13 Bandung hingga lulus tahun 1983. Kemudian tahun 1983 penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 8 Bandung lulus tahun 1986. Pada tahun 1987 penulis diterima sebagai mahasiswa di Universitas Padjadjaran melalui jalur Sipenmaru dan tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Peternakan jurusan Sosial Ekonomi Peternakan. Pada tahun 2004, penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana IPB.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………. iv

DAFTAR GAMBAR ………. v

DAFTAR LAMPIRAN ……….. vi

PENDAHULUAN ……….. 1

Latar Belakang ………. 2

Tujuan Penelitian ……….. 3

Kegunaan Penelitian .……… ……… 4

TINJAUAN PUSTAKA ………. 6

Daging ……….. 7

pH Daging ……… 7

Daging Olahan ………. 7

Bahan Pengisi ……….. 8

Tepung / Pati ……… 10

Tepung Jagung ………. 10

Tepung Tapioka ………... 10

Tepung Terigu ………. 11

Bahan Tambahan ………. 11

Phosphat ……….. 11

Garam ……….. 12

Es ………. 12

Keripik Daging ………. 12

Transfer Panas ……….. 13

Teknik Penggorengan Secara Vakum ……….. 14

Minyak ……….. 15

Struktur Bahan Pangan Digoreng ………. 16

Proses Menggoreng ……….. 16

Pengaruh Penggorengan terhadap Kerusakan Nutrisi ... 17

BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 20

(12)

Bahan dan Alat ... 20

Metode Penelitian ... 20

Peubah yang Diamati ... 24

Rancangan Percobaan ... 27

Analisis Data ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

Karakteristik Fisik ... 29

Rendemen ... 30

Penyusutan Bentuk ... 30

Kekerasan Objektif ... 30

Karakteristik Kimia ... 31

Nilai Proksimat ... 31

Kadar Air ... 33

Kadar Lemak ... 34

Bilangan Peroksida ... 36

Penilaian Organoleptik terhadap Keripik Daging …… ... 38

Warna ... 39

Aroma ... 40

Tekstur ... 40

Rasa ... 43

Kerenyahan ... 43

SIMPULAN DAN SARAN ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komposisi bahan keripik daging ... 21

2 Analisis rendemen, penyusutan bentuk dan kekerasan objektif keripik daging pada jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda ...

29

3 Nilai Proksimat sampel daging olahan dan keripik Daging ... 31 4 Analisis kadar air keripik daging pada jenis tepung dan lama

penggorengan yang berbeda...

33

5 Analisis kadar lemak keripik daging pada jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda ...

33

6 Analisis bilangan peroksida keripik daging pada jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda ...

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur dan jaringan ikat otot ... 5

2 Rantai lurus molekul amilose dan rantai bercabang molekul amilopektin ... 9 3 Struktur bahan pangan yang digoreng ... 16

4 Proses penggorengan ... 16

5 Alat penggorengan vakum ... 22

6 Spinner ... 22

7 Tahapan proses pembuatan keripik daging ... 23

8 Histogram kadar air keripik daging pada jenis tepung dan lama Penggorengan yang berbeda ... 34 9 Grafik pengaruh jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda terhadap bilangan peroksida keripik daging ... 37 10 Grafik tes median penilaian warna keripik daging ... 39

11 Grafik tes median penilaian aroma keripik daging ... 40

12 Grafik tes median penilaian tekstur keripik daging ... 41

13 Grafik tes median penilaian rasa keripik daging ... 42

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kuesioner penilaian organoleptik uji hedonik ... 48

2 Analisis ragam rendemen keripik daging ... 55

3 Analisis ragam penyusutan keripik daging ... 55

4 Analisis ragam kekerasan objektif keripik daging ... 55

5 Analisis ragam kadar air keripik daging ... 55

6 Analisis ragam kadar lemak keripik daging ... 55

7 Analisis keragaman bilangan peroksida keripik daging ... 55

8 Uji kruskall wallis penilaian warna ... 56

9 Uji kruskall wallis penilaian aroma ... 56

10 Uji kruskall wallis penilaian tekstur ... 56

11 Uji kruskall wallis penilaian rasa ... 56

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging merupakan bahan pangan produk peternakan yang memiliki nilai gizi relatif lengkap dan seimbang. Daging yang umum dikonsumsi biasanya berasal ternak konvensial, yaitu sapi dan ayam. Sumber-sumber daging ternak lain masih agak terabaikan karena beberapa alasan diantaranya rasa, aroma faktor budaya maupun prestise.

Pengolahan produk hasil ternak dimaksudkan untuk mendapat nilai tambah dan meningkatkan daya simpan, mengingat daging merupakan bahan yang mudah rusak (perishable). Pengolahan daging dibagi menjadi dua yaitu pengolahan basah dan kering. Pengolahan basah memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi tetapi mempunyai umur simpan yang kurang maksimal jika disimpan pada suhu ruang sebaiknya, dilakukan pengolahan kering.

Pengolahan kering biasanya dilakukan pada daging sebelum dikonsumsi. Salah satu daging olahan dengan metoda transfer panas dapat dibuat keripik untuk memperpanjang umur simpan. Akan tetapi, pada pembuatan keripik terjadi kerusakan gizi akibat pemanasan. Salah satu upaya untuk meminimalkan kerusakan gizi tersebut adalah penggorengan daging secara vakum. Penggorengan vakum adalah penggorengan hampa pada kondisi tekanan rendah dan suhu 90 °C. Pembuatan keripik dengan cara vakum ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik daging maupun diversifikasi makanan. Sesuai dengan trend yang berkembang di masyarakat perkotaan yang menginginkan produk olahan yang simpel dan praktis maka keripik daging ini perlu dikembangkan sehingga dapat langsung dikonsumsi.

(17)

Dalam proses menggoreng, udara dan temperatur tinggi merupakan dua faktor utama pemyebab kerusakan minyak goreng. Aerasi udara secara berlebihan selama proses penggorengan harus dihindari untuk mengurangi proses oksidasi. Pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan penyedotan uap atau aerasi. Proses oksidasi dengan cara ionisasi - radiasi dengan adanya oksigen akan menghasilkan hidroperoksida dan senyawa karbonil, namun peroksida tidak terbentuk pada proses ionisasi - radiasi jika penggorengan dilakukan dalam suasana vakum.

Suhu penggorengan merupakan faktor yang akan mempengaruhi mutu hasil penggorengan. Mutu hasil gorengan dengan stabilitas penyimpanan yang baik dihasilkan pada suhu menggoreng yang paling rendah. Salah satu pertimbangan pemilihan suhu menggoreng yang optimum adalah pengaruhnya secara langsung terhadap perubahan warna dari bahan pangan yang digoreng. Disamping itu, suhu yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya denaturasi protein daging secara berlebihan sehingga dapat menghasilkan produk dengan flavor yang tidak disukai. Penggorengan dengan temperatur tinggi pada suhu 300 – 350 °C juga dapat menyebabkan terbentuknya bahan-bahan carsinogenik yang menstimulasi penyakit kanker pada manusia.

Tujuan Penelitian

1. Mempelajari pengaruh jenis tepung terhadap sifat fisik dan kimia keripik daging

2. Mempelajari pengaruh lama penggorengan terhadap sifat fisik dan kimia keripik daging

3. Mempelajari interaksi jenis tepung dan lama penggorengan terhadap sifat fisik dan kimia keripik daging

Kegunaan Penelitian

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Daging

Menurut Aberle et al. (2001), seseorang memakan daging dengan beberapa alasan diantaranya karena tradisi atau kebiasaan yang sudah dilakukan oleh generasi sebelumnya, karena alasan daging mengandung nutrisi yang tinggi atau pengaruh sosial bisa juga karena alasan religius. Kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain posisi otot pada tubuh hewan. Otot yang berkualitas tinggi dan berharga mahal terletak pada bagian dorsal yaitu otot Longisisimus dorsi. Sementara otot yang murah adalah otot-otot yang banyak dipakai beraktivitas bergerak seperti otot ekstensor. Otot kerangka merupakan organ dari sistem muskular yang langsung maupun tidak langsung melekat pada tulang melalui ligamen, fascia, cartilage atau kulit. Ada 600 otot pada tubuh ternak yang berbeda ukuran dan bentuknya.

(19)

menutupi dalam garis sejajar yang lurus. Unit dasar ini dikenal sebagai sarkomer dimana serabut tebalnya terdiri dari protein miosin dan serabut tipis terdiri dari protein aktin. Serabut-serabut ini panjangnya kira-kira 1 – 3 µm dan bergaris tengah 6 – 16 µm (Buckle et al. 1987).

Menurut McWilliams (2001) jaringan otot mempunyai komponen utamanya terdiri dari 75 % air, diikuti oleh protein sebanyak 18%, lemak dengan kisaran 4 – 10 % serta karbohidrat sebesar 1%. Karbohidrat pada jaringan otot utamaya dibentuk dari glikogen ditambah sedikit glukosa dan glukosa 6 – phosphat.

Glikogen merupakan persediaan karbohidrat utama di dalam hati dan serabut otot. Granula tunggal atau kelompok granula glikogen terdapat didalam sarkoplasma diantara miofibril dan di bawah membran sel. Glikogen adalah polisaharida yang terbentuk dari ikatan sejumlah unit D-glukosa secara bersama-sama.

Struktur dan jaringan ikat otot dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1 Struktur dan jaringan ikat otot

(20)

dan retikulin) serta pembuluh darah, epithel dan syaraf. Otot terdiri dari berkas otot (muscle bundle), berkas otot terdiri dari serat otot (muscle fiber) yang merupakan sel otot yang meruncing kedua ujungnya. Serat otot berisi benang otot (myofibril) sedangkan myofibril terdiri dari beberapa sarkomer. Dalam sarkomer terdapat filamen-filamen halus (myofilamen) yang tebal dan tipis. Filamen tebal disebut myosin dan yang tipis disebut actin, yang disebut juga dengan protein myofibril. Kedua protein ini sangat berperan dalam proses kontraksi otot.

Lawrie (2003) dan Aberle et al. (2001) menambahkan bahwa protein pada otot bisa diklasifikasikan sebagai protein myofibrilar, protein sarkoplasmik dan protein stromal (jaringan ikat dan organel). Menurut Ham (1962) dalam deMan (1989) bahwa protein otot mempengaruhi kemampuan daging dalam mengikat air. Sekitar 34% protein ini larut dalam air. Kemampuan otot mengikat air terutama disebabkan oleh actomyosin yaitu komponen myofibril. Aberle et al. (2001) mengatakan bahwa daya mengikat air oleh daging bisa menurun akibat beberapa perlakuan diantaranya adalah pemanasan.

pH Daging

(21)

negatif yang sama, sehingga gugus tersebut cenderung saling menarik dan hanya gugus yang tersisa yang tersedia untuk mengikat air. Menurunnya pH akhir daging akibat akumulasi asam laktat pada perubahan postmortem selama konversi otot menjadi daging. Penurunan pH postmortem dipengaruhi oleh faktor instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik antara lain dipengaruhi oleh spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas sedangkan faktor ekstrinsik antara lain temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif dan stress sebelum pemotongan. Penurunan pH mempunyai hubungan erat dengan temperatur lingkungan, temperatur tinggi meningkatkan laju penurunan pH sedangkan temperatur rendah dapat menghambat penurunan pH. Laju penurunan pH otot yang cepat akan mengakibatkan (1) warna daging menjadi pucat, (2) daya ikat protein daging terhadap cairannya menjadi rendah dan (3) permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan ke permukaan potongan daging.

Daging Olahan

Daging olahan didefinisikan sebagai makanan yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging kurang 50 %) dan pati atau serealia dengan atau tambahan bahan makanan yang diizinkan (SNI 1995).

Bahan Pengisi

Bahan pengisi mengandung komponen utama karbohidrat yang dapat meningkatkan daya mengikat air karena mempunyai kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemasakan tetapi tidak dapat mengemulsikan lemak (Oeckerman 1983).

(22)

Menurut Aberle et al. (2001) beberapa macam bahan bukan daging (non meat) dapat ditambahkan dalam formula masakan daging. Bahan-bahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai ekstender, binder dan filler. Binder adalah komponen bukan daging yang memiliki peran dalam meningkatkan daya ikat air dan memperbaiki emulsi sedangkan filler bisa berperan seperti binder tetapi sifat emulsifier yang dimiliki tidak setinggi binder, sedangkan ekstender adalah bahan non meat, bukan juga air, garam dan bumbu yang ditambahkan untuk meningkatkan jumlah produk akhir.

Tepung/Pati

Tepung merupakan polisakarida terbuat dari unit glukosa yang bersambung membentuk rantai panjang. Jumlah molekul glukosa yang bergabung dalam satu molekul yang bervariasi dari limaratus sampai beratus ribuan, jumlah ini tergantung dari tipe tepung. Pati tersimpan dalam bentuk energi tanaman. Tanaman membentuk molekul-molekul tepung menjadi amiloplas yang tersimpan dalam bentuk granul-granul, yang mempunyai garis tengah bervariasi antara 2 – 130 µm. Ukuran dan bentuk dai granul merupakan karakteristik dari tanaman sebagai sumber pati. Ada dua tipe dari molekul glukosa didalam pati yaitu terdiri dari amilose dan amilopektin. Amilose berkisar antara 20 – 30% dari total perkiraan dari tepung alami (Parker 2003).

Amilosa didalam amilosa merupakan molekul-molekul glukosa saling bergandengan melalui gugus glukopiranosa α-1.4, berbeda dngan selulosa yang saling bergandengan melalui gugus glukopiranosa β-1.4. Pada hidrolisis amilose menghasilkan maltosa di samping glukosa dan aligosakarida lainnya.

Amilopektin pada amilopektin sebagian dari molekul-molekul glukosa didalam rantai percabangannya saling berikatan melalui gugus α-1.6. Ikatan

(23)

secara bersama-sama bertugas memutus ikatan-ikatan rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa yang bebas. Gambaran rantai lurus molekul amilose dan rantai bercabang molekul amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2 Rantai lurus molekul amilosa dan rantai bercabang molekul amilopektin

Menurut Parker (2003) molekul amilose membentuk gel, hal ini karena cabang lurus dapat melintang satu sama lain sehingga berikatan. Percabangan molekul amilopektin menjadi kental pada saat pemasakan. Pada saat berbeda mempunyai perbedaan relatif antara amilose dan amilopektin.

(24)

adonan daging, meningkatkan daya ikat air, meningkatkan tekstur dan cita rasa, menurunkan susut masak, memperbaiki sifat potongan serta mengurangi biaya produksi.

Tepung Jagung

Menurut Radley (1976) proporsi amilose dan amilopektin pada tepung jagung masing-masing sebesar 27% amilose dan 73% amilopektin. Keduanya merupakan berat molekul polimer yang tinggi, yang terbentuk dari unit D-glukosa. Amilopektin merupakan percabangan dari molekul yang terdiri dari 4 000 atau lebih unit glukosa. Amilose secara esensial merupakan rantai yang lurus terdiri dari 1 000 unit glukosa. Tepung jagung mempunyi kadar protein 9.2 mg/100gram tepung (Depkes RI 1972).

Tepung Tapioka

Tepung tapioka mempunyai kadar amilose lebih rendah dibanding tepung jagung dan terigu, termasuk ke dalam jenis pati yang kadar amilopektin yang tinggi. Pati-pati yang mempunyai kandungan amilopektin yang tinggi sangat tepat digunakan sebagai bahan baku industri karena pada umumnya jenis pati ini sedikit mengandung ISSP (Insoluble Starch Particle) yang merupakan partikel pati yang tersusun atas sejumlah besar amilose yang saling bergandengan membentuk rantai yang lurus. Bahan ini dapat dihidrolisis dengan memakai katalistor asam pada suhu tinggi, meskipun hasil hidrolisis masih tetap mengandung sejumlah kecil sisa ISSP. Hidrolisis dengan enzim hanya dapat dilakukan pada suhu tinggi. Pada suhu di bawah 85 °C enzim α-amilase hampir-hampir tidak berfungsi.

(25)

(retak-retak), stabilitas amilopektin pada suhu yang amat rendah juga lebih tinggi ; (5) Suhu gelatinisasi lebih rendah

Tepung tapioka mempunyai sifat lengket dan cenderung seperti benang karena molekul amilose mempunyai rantai yang panjang. Berdasarkan kadar protein tepung tapioka termasuk ke dalam jenis pati yang berkadar protein rendah yaitu 1.1 gram/100gram (Depkes RI 1972).

Tepung Terigu

Menurut Radley (1976) proporsi amilose dan amilopektin masing-masing sebesar 16 – 24% amilose dan 76 – 84% amilopektin. Tepung terigu merupakan Tepung terigu mempunyai kadar protein sebesar 8.9 gram/100gram tepung (Depkes RI 1972).

Protein dalam tepung terigu sangat penting digunakan dalam pembuatan produk makanan. Kisaran dari protein yang diekstraksi dari tepung terigu sebesar 85% dari protein yang larut. Protein yang tidak larut dipisahkan dalam dua fraksi yang dinamakan gliadin dan glutelin. Ketika tepung terigu dilarutkan dalam air dan tercampur rata protein yang larut membentuk gluten. Pada tepung terigu 10 – 14 % terdiri dari gluten. Gluten sangat penting sebagai bahan pengisi, dapat membuat adonan menjadi elastis (Parker 2003).

Bahan Tambahan Phosphat

(26)

Garam

Garam merupakan bumbu utama yang berguna untuk daya mengikat air protein daging, pemberi rasa, meningkatkan produk hasil dan membantu ekstraksi protein larut garam (Keeton 2001). Menurut Underriner dan Hume (1994), garam memilki peran yang besar pada rasa, garam tidak hanya digunakan untuk meningkatkan flavor tetapi juga memiliki peranan penting dalam pengolahan pangan yaitu sebagai pengawet dengan menurunkan aktivitas air dan membatasi pertumbuhan mikroba pada daging.

Es

Kelembaban produk akhir berkisar antara 45 – 80 % yang berasal dari bahan tambahan maupun air yang ditambahkan pada adonan. Ada beberapa alasan ditambahkan air dengan maksud untuk memperbaiki keempukan serta juiciness, jika tidak akan kurang disukai bila kelembabannya berkurang (Aberle et al. 2001)

Menurut Pearson dan Tauber (1984) penambahan es pada pembentukan emulsi daging mempunyai tujuan (1) melarutkan garam dan menditribusikannya secara merata ke seluruh bagian daging, (2) memudahkan ekstraksi protein serabut otot, (3) membantu pembentukan emulsi dan (4) mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah akibat pemanasan mekanis.

Keripik daging

Keripik adalah merupakan makanan jajanan atau cemilan yang populer baik di Indonesia maupun di dunia. Bentuk dan ukuran keripik sangatlah bervariasi tergantung dari jenis bahan yang digunakan ataupun keinginan produsen. Namun secara fisik keripik marupakan bahan makanan yang disayat tipis, baik sebelum atau sesudah diolah kemudian digoreng kering. Produk yang berasal dari sapi kita kenal kerupuk paru, sebenarnya namanya adalah keripik karena kerupuk paru tidak mengembang saat digoreng.

(27)

bahan makanan berkabohidrat antara lain ketela pohon, kentang, pisang. Keripik mempunyai tekstur yang kering, ringan dan rasa yang renyah cripsness. Pembuatan keripik biasanya dilakukan untuk menbuat produk menjadi lebih awet.

Menurut Matz (1984) keripik banyak menyerap minyak selama penggorengan. Banyak sedikitnya minyak yang diserap akan mempengaruhi rasa, tekstur serta penampakan keripik. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi banyak sedikitnya minyak yang diserap adalah kandungan padatan bahan, suhu minyak goreng, ketebalan bahan serta fisik permukaan irisan.

Transfer Panas

Penggorengan merupakan fenomena transfer yang terjadi secara simultan yaitu transfer panas, transfer massa air dan transfer minyak Panas yang ditransfer dari minyak ke bahan, massa air diuapkan dari bahan dan minyak diserap oleh bahan (Whitaker 1977a; Sahin et al. 1999) Faktor-faktor yang mempengaruhi proses transfer panas dan massa tersebut adalah sifat-sifat thermal dan physicochemical bahan dan minyak, suhu minyak dan perlakuan bahan sebelum digoreng (Krokida et al. 2001). Proses transfer panas pada daging yang sedang digoreng terjadi dalam dua cara. Transfer panas dari minyak goreng ke bahan terjadi secara konveksi dan transfer panas dalam bahan terjadi secara konduksi (Costa et al. 1999). Akibat adanya proses transfer panas bahan makanan yang akan digoreng mengalami kenaikan suhu bersamaan dengan itu terjadilah pemasakan bahan makanan yang antara lain dengan penurunan kadar air, gelatinisasi pati dan denaturasi protein.

(28)

porositas bahan, perbedaan tekanan kapiler. Panas merupakan dasar dari proses pemasakan, yang diakibatkan dari meningkatnya temperatur berakibat terhadap energi input.

Teknik Penggorengan secara Vakum

Menurut Ketaren (1986) ada beberapa cara sistem menggoreng yang lazim dilakukan dalam praktek komersial, yaitu pan frying dan deep frying. Yang dimaksud dengan pan frying adalah proses penggorengan dengan hanya menggunakan sedikit minyak dengan titik asap yang rendah. Sementara pada deep frying menggunakan banyak minyak sehingga produk terendam dalam minyak dan suhu minyak dapat mencapai 200 – 205 oC. Bila ditinjau dari kontak bahan dengan udara maka cara penggorengan dapat dibagi menjadi penggorengan biasa (terjadi kontak dengan udara) dan penggorengan dengan cara bervakum. Pada sistem penggorengan bervakum, penggorengan dilakukan dalam suatu tabung yang udaranya disedot keluar dengan pompa vakum sehingga tekanan dalam tabung menjadi -76 cm Hg.

Di Indonesia saat ini dipasarkan dua jenis tipe penggorengan vakum yaitu tipe horizontal dan tipe vertikal. Tipe horizontal sangat sesuai untuk digunakan di laboratorium, karena kapasitas minyaknya lebih sedikit (60 kg), dan tempat sampel tidak dapat dilepas dari tabung penggorengan. Untuk tipe komersial kapasitas minyak lebih banyak (80 kg) dan wadah tempat sampel dapat dilepas dari tabung vakum, sehingga proses penirisan dapat dilakukan dengan cepat.

(29)

Penggorengan vakum berguna untuk memperlambat terjadinya ketengikan pada medium penggorengan. Hal ini disebabkan kontak dengan udara dapat diminimumkan dan temperatur yang dipakai sekitar 90 oC. Dengan demikian medium penggorengan dapat dipakai berkali-kali.

Minyak

Menurut Ketaren (1986) pada dasarnya minyak adalah campuran trigliserida. Trigliserida terbentuk dari 1 molekul gliserol dan 3 asam lemak. Trigliserida dapat berwujud padat atau cair, hal ini tergantung dari komposisi asam lemak yang menyusunnya. Sebagian besar minyak nabati berbentuk cair karena mengandung asam lemak tidak jenuh yaitu asam olet, linoleat dan linolenat dengan titik cair yang rendah. Di dalam proses penggorengan, jenis minyak akan berpengaruh terhadap kualitas produk. Minyak merupakan hasil dari esterifikasi glicerol dengan asam lemak, yang juga disebut sebagai trigliserida. Berat molekul gliserida sebagian besar berasal dari berat molekul asam lemak (94-96%). Oleh sebab itu sifat kimia dan fisika gliserida sangat dipengaruhi oleh jenis asam lemaknya. Pada asam lemak jenuh, semua atom C pada rantai karbonnya diisi oleh atom hidrogen, sementara asam lemak tidak jenuh pada rantai atom carbonnya terdapat ikatan rangkap, sehingga tidak semua atom C diisi oleh atom hidrogen. Tingkat ketidakjenuhan suatu asam lemak tergantung pada jumlah ikatan rangkapnya. Ada beberapa jenis minyak yang biasa dipakai dalam proses penggorengan, yaitu minyak kelapa dan minyak kelapa sawit atau minyak inti sawit.

Struktur Bahan Pangan Digoreng

(30)

Gambar 3 di bawah ini mempelihatkan potongan melintang dari bahan pangan yang digoreng. Inner zone atau core merupakan bagian dalam dari bahan pangan berkadar air tinggi dan umum terdapat pada bahan pangan yang digoreng.

Core (inner zone)

Lapisan luar (outer zone)

Gambar 3. Struktur bahan pangan yang digoreng

Permukaan luar (outer zone surface) akan berwarna coklat keemasan akibat penggorengan. Timbulnya warna pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi browning atau reaksi maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu menggoreng serta komposisi kimia dari bahan pangan yang digoreng sedangkan jenis lemak yang digunakan berpengaruh sangat kecil terhadap warna permukaan bahan pangan (Ketaren 1986).

Proses Menggoreng

Menggoreng adalah suatu proses untuk memasak bahan pangan menggunakan lemak atau minyak pangan.

Permukaan Luar (outer zone surface)

Minyak dalam ketel penggorengan Bahan Mentah

Minyak

Panas Penyaringan Remah

Hasil Gorengan Uap Uap yang dihasilkan dari

(31)

Gambar 4. Proses Penggorengan

Berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi penggorengan dalam ketel adalah pemanasan dengan adanya udara, minyak yang panas, aerasi pada minyak, kontak minyak dengan logam dari ketel, kontak bahan pangan dengan minyak serta adanya kerak. Pemanasan yang tidak mencapai suhu penggorengan menyebabkan minyak membentuk busa, sehingga proses penggorengan menjadi tidak praktis (Ketaren 1986).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi proses minyak dalam ketel adalah uap yang dilepaskan dan penambahan minyak segar untuk menggantikan minyak yang hilang dari ketel selama proses menggoreng. Uap yang dihasilkan dalam proses menggoreng berfungsi untuk memisahkan hasil dekomposisi lemak dapat menguap yang dapat menimbulkan bau tengik.

Pengaruh Penggorengan Terhadap Kerusakan Nutrisi

Oksidasi pada lemak dapat menyebabkan terjadinya ketengikan. Menurut Ketaren (1986) faktor-faktor yang dapat mempercepat oksidasi adalah (1) Radiasi oleh panas dan cahaya; (2) Bahan pengoksidasi (oxidizing agent) seperti peroksida, perasid, ozone dan asam nitrat; (3) katalis metal khususnya garam dari logam berat; (4) sistem oksidasi yang diakibatkan adanya katalis organik yang labil terhadap panas. Kerusakan akibat oksidasi pada bahan pangan yang berlemak terdiri atas dua tahap, tahapan pertama disebabkan oleh reaksi lemak dengan oksigen, tahapan kedua yang merupakan kelanjutan dari tahapan pertama, yang prosesnya dapat merupakan proses oksidasi maupun non oksidasi. Proses oksidasi ini umumnya terjadi pada setiap jenis lemak seperti minyak goreng.

Autooksidasi biasanya terjadi melalui proses reaksi radikal bebas. Yang dimaksud dengan radikal bebas adalah sebuah molekul atau atom dengan elektron yang tidak berpasangan, misalnya -CH3, -Br Radikal bebas

dapat memiliki dua elektron yang tidak berpasangan, biradikal, -C6H5-.

(32)

kontak dengan panas, cahaya, ion metal dan oksigen. Reaksi terjadi pada kelompok metilen yang berdekatan dengan ikatan rangkap –C=C-. Selanjutnya adalah tahap propagasi yaitu bertemunya radikal bebas dengan oksigen membentuk radikal peroksida (ROO*). Radikal peroksida bebas ini akan mengekstrak ion hidrogen dari lipida lainnya (R1H) yang akan

membentuk hidrogen peroksida (ROOH) dan molekul radikal lipida baru (R1*). Tahap akhir adalah tahap terminasi dimana hidroperoksida yang sangat

tidak stabil terpecah menjadi senyawa organik berantai pendek seperti aldehid, keton, alkohol dan asam.

Inisiasi RH ---> R* + H* Katalis

RH ---> R* + OOH* O2+ Katalis

Propagasi R* + O2 ---> ROO*

ROO* + R1H ---> ROOH + R1*

Terminasi R1* + R* ---> R1-R

ROO* + R* ---> ROOR

Autooksidasi acyl-lipid dapat dihambat dengan tiga cara (Ketaren, 1986), yaitu dengan meminimalkan kontak dengan oksigen. Hal ini dapat dilakukan dengan kemasan vakum atau dengan pemberian glucose oxidase. Selanjutnya adalah penyimpanan pada suhu rendah bebas cahaya. Terakhir adalah dengan pemberian antioksidan. Pengukuran terjadinya autooksidasi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan mengetahui bilangan peroksidasi, yaitu dengan mengukur kemampuannya membebaskan yodium (I) dari potasium yodida (KI) iodimetry):

ROOH + 2KI Æ ROH + I2 + K2O

(33)

Bilangan peroksida biasanya diekspresikan dalam miliekuivalen dari oksigen per kg lemak. Oksidasi lemak akan bereaksi dengan komponen bukan berasal dari lemak yaitu dengan protein. Perubahan oksidatif dari fraksi lemak adalah kecil tergantung dari kadar asam lemak tidak jenuh pada makanan yang digoreng.

(34)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Desember 2006 di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Besar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Pangan Gizi PAU IPB.

Bahan dan Alat Bahan

Bahan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah :

• Daging sapi yang diperoleh di Pasar Anyar

• Tepung tapioka, tepung terigu, tapioka, tepung maizena, garam, bawang putih diperoleh dari Toko Yogya Jl Baru Bogor

• STPP (Na5P3O10) diperoleh dari Toko Bahan Kimia Seger Jl. Ahmad Yani

Bandung

• Es diperoleh dari Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan IPB

• Minyak goreng diperoleh dari Toko Citra Usaha Jl. Bara Darmaga Bogor

Alat

Peralatan yang digunakan adalah alat penggiling daging, timbangan, wadah dari plastik, timbangan digital, pisau, thermometer, kompor, loyang, dandang, gelas ukur talenan, refrigerator, meat slicer, alat penggorengan vakum bentuk vertikal. Peralatan untuk analisis fisik dan kimia yaitu seperangat peralatan laboratorium lainnya yang digunakan untuk kepentingan analisis.

(35)

Penelitian produksi keripik daging secara keseluruhan dapat dibagi ke dalam tiga tahap yaitu :

Tahap 1. Pembuatan daging olahan

Tahapan pembuatan daging olahan adalah sebagai berikut :

1. Daging sapi segar sebanyak 500 gram dipisahkan dari lemak dan jaringan ikat, dipotong kecil-kecil kemudian dicuci

2. Potongan daging digiling dengan meat grinder ditambahkan es 30 %, STPP 0.3 %, bumbu dan tepung sampai tercampur homogen.

Adapun perlakuan tepung sebagai berikut :

Tepung A : Konsentrasi tepung tapioka sebanyak 15 %

Tepung B : Konsentrasi tepung tapioka 10 %, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5%

Tepung C : Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%

3. Adonan daging dimasukan ke dalam loyang kemudian didinginkan dalam refrigerator selama 30 menit.

4. Adonan daging dikukus dengan suhu 65 °C selama 60 menit.

5. Daging olahan dikeluarkan dari loyang didinginkan kemudian dibekukan dalam freezer pada suhu -18 °C.

6. Daging olahan beku diiris dengan menggunakan meat slicer pada ketebalan 2 mm

Komposisi bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan keripik daging secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi bahan keripik daging

(36)

Garam 5 5 5

Merica 2.5 2.5 2.5

STTP 1.5 1.5 1.5

Bawang Putih 1.5 1.5 1.5

Tahap 2. Penggorengan keripik daging

Irisan daging yang masih beku ditimbang dan dimasukan ke dalam tempat berbentuk kotak, kemudian digoreng dengan menggunakan alat penggorengan vakum, berbentuk vertikal (Gambar 5) pada temperatur pemanasan suhu terkontrol pada suhu 90 °C dengan lama penggorengan 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit. Setelah matang keripik daging ditiriskan dengan menggunakan spinner (Gambar 6) selama 10 menit untuk mengurangi kelebihan minyak yang menempel pada keripik daging.

(37)

Gambar 6. Spinner

Tahapan proses pembuatan keripik daging dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 7. Tahapan proses pembuatan keripik daging

Tahap 3. Analisis fisik, kimia dan uji organoleptik Analisis Fisik

Analisis Fisik yang dilakukan pada keripik daging adalah rendemen, penyusutan bentuk dan uji kekerasan objektif dengan menggunakan rheoner.

- STTP 0.3 % - Tepung - Es batu 30 %

- Bumbu

Daging sapi 500 gram

Pemotongan kecil-kecil

Pencucian

Penggilingan

Adonan Daging

Dimasukan ke dalam loyang dan didiamkan

selama 30 menit

Dikukus (60 menit dengan suhu 65 oC) Didinginkan dalam refrigerator selama 30 menit

Diiris dengan ketebalan 2 mm Dibekukan pada suhu

-Sayatan daging olahan digoreng vakum pada suhu 90 oC selama 60’

Ditiriskan dengan menggunakan spinner selama 10

(38)

Analisis Kimia

Analisis Fisik dilakukan pada keripik daging yang digoreng dengan lama penggorengan 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit adalah analisis proksimat (kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat), kadar air, bilangan peroksida.

Penilaian Organoleptik

Penilaian organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji hedonik dengan karakteristik penentu adalah warna, aroma, tekstur, rasa dan kerenyahan pada 30 panelis. Penilaian organoleptik yang diuji pada keripik daging yang digoreng pada lama penggorengan 60 menit dengan 3 ulangan.

Peubah yang Diamati

Metoda Analisis Fisik dan Kimia 1. Fisik

a. Rendemen

Perhitungan rendemen dilakukan dengan membagi berat keripik yang telah ditiriskan dengan berat sampel awal yang belum digoreng dan dikalikan 100%.

Rendemen = Berat Keripik yang telah digoreng Berat Sampel sebelum digoreng

b. Penyusutan Bentuk

Perhitungan penyusutan bentuk dilakukan dengan membagi luas keripik (cm) dengan luas sampel yang belum digoreng (cm) dikali 100%.

c. Kekerasan Objektif

Pengukuran kerenyahan dilakukan secara mekanis dengan menggunakan alat Rheoner RE-3305. Keripik ditekan dengan menggunakan plunger berbentuk silinder yang berdiameter 4 mm. Pengukuran dilakukan pada sensitivity voltage 0.5 mV (skala penuh =

(39)

500 gf), sampel table speed 5 mm/detik dengan preset nomer 1 (besarnya strain) yang diatur sebesar 5 mm dan preset nomor 2 (frekuensi pergerakan sampel tabel) yang diatur sebanyak satu kali. Tingkat kerenyahan keripik dinyatakan dalam gf yang berarti besarnya gaya tekan untuk memecahkan keripik

2. Kimia

a. Nilai proksimat

Dilakukan untuk menentukan Kadar Air, Protein Kasar, Lemak Kasar, Karbohidrat dan Abu (AOAC 1995).

Kadar Air

Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan dalam cawan, kemudian dioven pada suhu 105 oC selama 5 jam. Cawan kemudian dipindahkan ke dalam desikator dan didinginkan serta ditimbang berat akhirnya.

Kadar Air (% bk) = a – b Berat contoh basah Keterangan : bk = bahan kering

a = berat cawan + contoh kering (g) b = berat cawan + contoh basah (g)

Kadar protein

Sejumlah sampel yang dimasukan ke dalam labu Kjedahl 30 ml, kemudian ditambahkan 1.9 g K2SO4 40 mg HgO dan 2.0 ml H2SO4 serta

ditambahkan batu didih. Sampel didihkan sampai cairan menjadi jernih. Setelah jernih cairan didinginkan dengan air mengalir secara perlahan-lahan. Isi labu kemudian dipindahkan ke dalam alat destilasi kemudian dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air serta dipindahkan airnya ke alat destilasi.

(40)

Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 4 tetes indikator

(campuran 2 bagian metil merah 0.2 % dalam alkohol diletakan di bawah kondensor. Ujung kondensor harus terendam, di bawah larutan H3BO3 . Setelah itu ditambahkan 8 – 10 ml larutan NaOH- Na2S2O3

dan dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlemmeyer. Tabung kondensor kemudian dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Dilakukan juga penetapan blanko :

% N = (ml HCl – ml Blanko) x Normalitas x 14.007 x 100 Mg sampel

% Protein = % N x Faktor Koreksi

Kadar Lemak (Metode Soxhlet)

Sampel yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 5 gram dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas yang bebas lemak. Kertas saring yang berisi sampel diletakan ke dalam alat soxhlet, kemudian alat kondensor diletakan di atasnya dan labu lemak di bawahnya. Pelarut dietil eter atau petroleum eter dituangkan ke dalam labu lemak dan dilakukan refluks sampai pelarut yang turun ke labu berwarna jernih. Pelarut yang ada di labu didestilasi dan pelarutnya ditampung. Selanjutnya abu lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC kemudian setelah kering ditimbang.

% Lemak = Berat lemak x 100 % Berat sampel

Kadar Karbohidrat

(41)

biarkan sampai 10 menit dan tempatkan dalam penangas air selama 15 menit, diukur absorbansinya dan dibuat kurva standar.

Kadar Abu

Sampel sejumlah 3-5 gram dimasukan ke dalam cawan kering yang telah diketahui beratnya dan dibakar pada pembakar gas sampai asapnya habis. Kemudian dimasukan ke dalam tanur sampai beratnya konstan

Berat Abu

Kadar Abu (%) = X 100 Berat sampel

b. Bilangan Peroksida

Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam erlemeyer tertutup, kemudian ditambahkan 30 ml asam asetat glasial dan kloroform dan dikocok sampai larut. Kemudian tambahkan 1.5 ml KI jenuh dan diamkan selama 1 menit. Tambahkan aquades 30 ml dan titrasi dengan Na2S2O3 0.01 N sampai

warna kuning larutan hampir hilang. Tambahkan larutan indikator kanji 1% dan titrasi kembali sampai warna biru hilang. Lakukan hal yang sama untuk blanko.

Bilangan Peroksida = [(ml sampel-ml blanko) x N Na2S2O3 (0.01)] / 6.01 x

1000

Penilaian Organoleptik

Penilaian organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji hedonik dengan karakteristik penentu adalah warna, aroma, tekstur, rasa dan kerenyahan pada 30 panelis dengan 3 ulangan. Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih dengan menggunakan format isian (Rahayu 1998). Penilaian skala hedonik ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik dengan tingkat kesukaan, yaitu tidak suka = 1, biasa/netral = 2, agak suka = 3, suka = 4, sangat suka = 5 dan amat sangat suka = 6 (Soekarto 1985). Data dianalisis dengan Kruskall Wallis.

(42)

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan pola faktorial 3 x 6 dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah jenis tepung yang terdiri atas tepung tapioka, tepung terigu dan tepung maizena dan faktor kedua adalah lama penggorengan yaitu 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit.

Model matematik pengaruh perlakuan dianalisis dengan metoda statistik yang digunakan Steel and Torrie (1995) adalah :

Yijk = µ + σi + βj + (σβ) ij + εijk

Yijk = Pengaruh perlakuan dan lama penggorengan terhadap kualitas keripik daging

µ = nilai rataan umum

σi = pengaruh perlakuan jenis tepung ke-i

βj = pengaruh lama penggorengan ke-j

(σβ) ij = Interaksi dari faktor jenis tepung dan lama penggorengan

εijk = pengaruh acak pada perlakuan ke-i , lama penggorengan ke-j dan ulangan ke-k

Analisis Data

Untuk menguji pengaruh perlakuan terhadap respon yang diamati dilakukan analisis ragam dengan prosedur General Linier Program (GLM) dari Statistical System (SAS) Program. Apabila hasil analisis ragam menunjukkan perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Least Square Means (LSMeans) (Steel dan Torrie 1995). Penilaian organoleptik data diolah dengan uji Kruskall Wallis.

(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik dan Kimia

Karakteristik Fisik

Karakteristik fisik keripik daging meliputi rendemen, penyusutan bentuk dan kekerasan objektif. Hasil analisis rendemen, penyusutan bentuk dan kekerasan objektif disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis rendemen, penyusutan bentuk dan kekerasan objektif keripik daging pada jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda.

Lama penggorengan (menit)

Keterangan :Angka yang diikuti superkrip pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan

yang nyata (P<0.05)

Tepung A : Konsentrasi tepung tapioka sebanyak 15 %

Tepung B : Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5%

Tepung C : Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%

Rendemen

Rendemen adalah berat keripik daging yang diperoleh dibandingkan dengan berat daging olahan sebelum digoreng. Rendemen sangat dipengaruhi oleh hilangnya air selama pemasakan, keadaan ini dipengaruhi oleh protein yang dapat mengikat air selama penggorengan. Hal ini dimungkinkan karena jumlah kolagen yang berbeda dalam proses gelatinisasi dan pembentukan matrik pati protein.

(44)

pada tepung A (konsentrasi tepung tapioka sebanyak 15%) sebesar 53.03%, tepung B (konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung jagung 2.5 %) sebesar 54.35% dan tepung C (konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5% dan tepung maizena 5 %) sebesar 51.19%. Rendemen dipengaruhi secara nyata (P<0.05) oleh lama penggorengan, semakin lama penggorengan vakum maka semakin kecil rendemen keripik daging yang diperoleh. Pindah panas secara konduksi yang terjadi di dalam produk yang digoreng selalu diikuti dengan terjadinya pindah massa yang ditandai dengan hilangnya sejumlah kandungan air karena penguapan. Hilangnya sejumlah kandungan air dari bahan yang digoreng menyebabkan terjadinya penurunan massa bahan.

Penyusutan Bentuk

Penyusutan bentuk keripik daging merupakan adanya penurunan luas dari produk yang digoreng dengan sebelum digoreng. Dari analisis diperoleh penyusutan bentuk keripik daging tidak dipengaruhi secara nyata oleh jenis tepung. Hal ini diduga dengan kombinasi persentase tepung yang sama tidak menunjukkan adanya penyusutan yang nyata. Namun demikian, lama penggorengan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap penyusutan keripik daging. Semakin lama penggorengan maka keripik daging semakin menyusut, hal ini disebabkan semakin banyak air yang hilang selama penggorengan vakum.

Kekerasan Objektif

(45)

Tinggi rendahnya nilai gaya akan mempengaruhi sedikit dan banyaknya renyahan (crust) yang terbentuk pada produk. Menurut Ketaren (1986) salah satu fungsi minyak yang terserap untuk melunakkan permukaan kulit luar yang terbentuk pada bahan yang digoreng.

Karakteristik Kimia

Karakteristik kimia keripik daging meliputi nilai proksimat (kadar abu, kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat) pada lama penggorengan menit ke-60, kadar air, kadar lemak dan bilangan peroksida.pada laju 10 sampai dengan 60 menit.

Nilai Proksimat

Nilai proksimat daging olahan dan keripik daging dianalisis pada lama penggorengan menit ke-60. Nilai Proksimat daging olahan sebelum digoreng dan keripik daging dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai proksimat sampel daging olahan dan keripik daging

Kandungan Nutrisi (%) No. Sampel Tepung

Air Abu Protein Lemak Karbohidrat

1. Daging Olahan A 72.47 2.35 16.21 2.52 6.45

Keterangan : Tepung A : Konsentrasi tepung tapioka sebanyak 15 %

Tepung B : Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5%

Tepung C : Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%

(46)

untuk tepung A dan C, hal ini menunjukkan adanya perbedaan sifat antara tepung tapioka dengan kombinasi tepung tapioka, tepung terigu dan tepung maizena. Perbedaan tersebut diduga kombinasi tepung tapioka, tepung terigu dan tepung maizena menyerap air lebih banyak. Menurut Lee (1984) dalam Rustamadji (1989) bahwa jenis pati yang ditambahkan akan menentukan gel yang didapat, karena hal tersebut dapat mempengaruhi daya ikat air selama gelatinisasi dan viskositas pati tergelatinisasi.

Kadar abu sampel sebelum digoreng berkisar antara 2.35 sampai 2.77 %, sedangkan kadar abu keripik daging berkisar antara 6.36 sampai dengan 7.55 %. Perbedaan kadar abu pada produk ini dipengaruhi oleh kandungan bahan baku yang digunakan, dimana masing-masing bahan baku tersebut mempunyai kandungan yang bervariasi. Kandungan mineral utama daging antara lain kalsium, phosphor, kalium dan natrium. Penyebaran mineral ini dapat berada dalam bentuk terlarut dan bentuk zat terlarut. Mineral yang tidak larut berasosiasi dengan protein terutama pada bagian daging non lemak. Daging tidak berlemak umumnya memiliki kandungan atau abu lebih tinggi. Proses pengolahan biasanya tidak mengurangi kandungan mineral daging (de man 1989).

Protein merupakan kelompok nutrien yang sangat penting. Protein dalam bahan pangan biasanya menentukan kualitas dari suatu produk terutama bahan dasar berasal dari daging yang merupakan pangan sumber protein. Kadar protein sampel sebelum digoreng berkisar antara 14.19 sampai dengan 19.65 %, sedangkan sampel keripik daging berkisar antara 35.92 sampai dengan 41.11 %. Protein dapat meningkat dengan adanya penambahan bahan lain yang mengandung protein. Naruki dan Konani (1991) menerangkan bahwa kolagen merupakan protein yang tahan terhadap panas.

(47)

suhu permukaan bahan meningkat dan air menguap yang menjadikan permukaan mengering.

Kadar Air

Analisis kadar air untuk jenis tepung pada berbagai lama penggorengan disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama penggorengan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap penurunan kadar air. Penurunan kadar air keripik daging pada awal penggorengan sampai menit ke-20 terjadi sangat cepat, selanjutnya kadar air bahan konstan sampai akhir penggorengan dengan rataan sebesar 3.32 %. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan sifat pada jenis tepung yang digunakan.

Tabel 4. Analisis kadar air keripik daging pada jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda

Lama penggorengan (menit)

Keterangan : Angka yang diikuti superskrip menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) Tepung A : Konsentrasi tepung tapioka sebanyak 15 %

Tepung B: Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5%

Tepung C : Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%

(48)

0.00

Gambar 8 Histogram kadar air keripik daging pada jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda

Menurut Supriyanto et al. (2006) air yang berada di permukaan bahan akan menjadi uap karena adanya kontak langsung dengan minyak goreng, akibatnya konsentrasi air pada permukaan bahan selalu lebih rendah dibandingkan konsentrasi air yang berada di dalam bahan. Massa air akan terdifusi dari dalam ke permukaan bahan sebagai kadar air akhir produk goreng.

Kadar Lemak

Kadar lemak keripik daging menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata. Menurut Pinthus, Weinberg and Saguy et al.(1993) dalam Mellema (2003) volume dari lemak seimbang dengan total volume air yang keluar dari bahan yang digoreng. Menurut Moeira, Palau dan Sun et al. 1995; Soulthern et al. 2000 dalam Mellema (2003) secara tidak langsung penguapan air dapat berakibat dari rusaknya permukaan dan kadar lemak akan sebanding dengan kadar air yang menguap selama penggorengan.

(49)

Tabel 5. Analisis kadar lemak untuk jenis tepung pada berbagai lama

Keterangan : Tepung A : Konsentrasi tepung tapioka sebanyak 15 %

Tepung B : Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5%

Tepung C : Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%

Kadar lemak pada keripik daging dengan penggunaan jenis tepung A, B dan C pada lama penggorengan 10 – 60 menit mempunyai rataan sebesar 24.76 – 28.24%. Menurut Markinson et al. (1987) kadar lemak meningkat dengan adanya energi yang termetabolis dari produk pangan yang digoreng. Produk pangan yang digoreng yang berasal dari tumbuhan dan hewan jika dibandingkan setelah digoreng selama 10, 30 dan 70 detik pada suhu 175 °C, kadar lemak meningkat dengan meningkatnya lama penggorengan. Pangan yang berasal dari tumbuhan dapat menyerap lemak lebih tinggi dibanding pangan yang berasal dari hewan. Tingginya kadar lemak setelah hasil penelitian pada penggorengan tomat (35 – 75 %) dan jamur (65 – 80 %). Kadar lemak pada kentang goreng lebih rendah (15 – 36 %) namun masih lebih tinggi kadar lemaknya dibanding pada ayam goreng

(10 – 30%) dan daging sapi goreng (10 – 25%).

(50)

Bilangan Peroksida

Analisis bilangan peroksida keripik daging pada jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Analisis bilangan peroksida keripik daging pada jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda

Keterangan : Angka yang diikuti superskrip pada baris dan kolom menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05)

Tepung A : Konsentrasi tepung tapioka sebanyak 15 %

Tepung B: Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5%

Tepung C : Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%

Hasil analisis bilangan peroksida keripik daging pada jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) dan terjadi interaksi diantara keduanya. Keripik daging dengan perlakuan tepung A (konsentrasi tepung tapioka 15%) mempunyai rataan bilangan peroksida sebesar 31.78 mg/kg, tepung B (konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 5% dan tepung maizena 5%) mempunyai rataan bilangan peroksida 29.83 mg/kg sedangkan tepung C (konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5% dan tepung maizena 5%) mempunyai rataan bilangan peroksida sebesar 27.54 mg/kg. Menurut Ketaren (1986) peroksida tidak terbentuk pada proses ionisasi radiasi dalam suasana vakum, namun adanya air akan mempercepat pembentukan peroksida dari persenyawaan asam lemak tidak jenuh. Nilai bilangan peroksida dari keripik daging yang dihasilkan dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen dalam tabung penggorengan karena proses penggorengan dilakukan secara vakum ketersediaan oksigen dapat dikurangi. Menurut Nawar (1996) reaksi oksidasi dipengaruhi oleh tekanan oksigen, suhu dan luas permukaan yang bersinggungan.

(51)

timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak dikehendaki. Jika jumlah peroksida lebih dari 100 mh/kg akan bersifat racun.

Grafik pengaruh jenis tepung dan lama penggorengan terhadap bilangan peroksida keripik daging dapat dilihat pada Gambar 9.

0

Gambar 9. Grafik pengaruh jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda terhadap bilangan peroksida keripik daging

(52)

Penilaian organoleptik terhadap keripik daging

Penilaian organoleptik keripik daging yang terdiri dari tiga perlakuan jenis tepung yang digunakan pada penelitian ini dilakukan melalui uji hedonik atau uji kesukaan. Dalam uji ini, panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan terhadap keripik daging. Penilaian meliputi warna, aroma, tekstur, rasa dan kerenyahan dari masing-masing produk.

Warna

(53)

Gambar 10. Grafik tes median penilaian warna keripik daging

Hasil tes median panelis penilaiannya terhadap keripik daging perlakuan tepung A (konsentrasi tepung tapioka 15%) berada di atas median sebanyak 51.11% sedangkan dibawah dan sama dengan median sebanyak 49.99%. Penilaian panelis terhadap warna keripik daging mulai tidak suka sampai agak suka. Penilaian warna keripik daging perlakuan tepung B

(

konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5%) berada di atas median sebanyak 49.99% sedangkan di bawah dan sama dengan median sebanyak 51.11%. Penilaian panelis terhadap warna keripik daging mulai tidak suka sampai suka. Penilaian warna keripik daging perlakuan tepung C (Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%) di atas median 46.67% sedangkan di bawah dan sama dengan median 53.33%. Penilaian panelis terhadap warna keripik daging mulai tidak suka sampai agak suka.

Aroma

Aroma dapat mempengaruhi pemilihan dan kesukaan konsumen terhadap suatu produk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aroma keripik daging jenis tepung A (konsentrasi tepung tapioka 15%) dan tepung B

(

konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5% dan tepung maizena 2.5%) penilaian panelis agak suka (skor 3) sedangkan penilaian keripik daging tepung C dengan penilaian

(54)

netral (skor 2). Hasil analisis Kruskall Wallis menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) dengan menggunakan test median diperoleh Gambar 11.

Gambar 11. Grafik tes median penilaian aroma keripik daging

Penilaian aroma keripik daging perlakuan tepung A

(

konsentrasi tepung tapioka 15%) berada di atas median sebanyak 42.22% sedangkan di bawah dan sama dengan median sebanyak 57.88% atau penilaian panelis terhadap aroma keripik daging mulai netral sampai suka. Penilaian aroma keripik daging perlakuan tepung B (Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5%) di atas median 43.33% sedangkan di bawah dan sama dengan median 46.67% atau penilaian panelis terhadap aroma keripik daging mulai netral sampai suka. Penilaian warna keripik daging perlakuan tepung C (Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%) di

atas median 30.00% sedangkan di bawah dan sama dengan median 70.00% atau

penilaian panelis terhadap aroma keripik daging mulai netral sampai suka.

Tekstur

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian tekstur disukai (skor 4) untuk keripik daging jenis tepung A (konsentrasi tepung tapioka 15%) dan B

C B

A

6

5

4

3

2

1

0

Jenis Tepung

P

(55)

(

konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5%) sedangkan untuk jenis tepung C (Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%) penilaian agak disukai (skor 3). Keripik daging pada tepung A dan B mempunyai konsentrasi tepung tapioka yang lebih banyak dibanding kombinasi C. Hal tersebut dapat mempengaruhi terhadap tekstur yang dihasilkan, karena sifat dari tepung tapioka memiliki daya pemekat yang tinggi serta tidak mudah rusak atau pecah. Penilaian tekstur dengan menggunakan test median diperoleh Gambar 12.

Gambar 12. Grafik tes median penilaian tekstur keripik daging

Penilaian tekstur keripik daging perlakuan tepung A

(

konsentrasi tepung tapioka 15%) berada di atas median sebanyak 52.22% sedangkan di bawah dan sama dengan median sebanyak 47.78% atau penilaian panelis terhadap tekstur keripik daging mulai netral sampai suka. Penilaian warna keripik daging perlakuan tepung B (Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5%) di atas median 52.22% sedangkan di bawah dan sama dengan

median 47.78% atau penilaian panelis terhadap tekstur keripik daging mulai agak

suka sampai suka. Penilaian warna keripik daging perlakuan tepung C (Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%) di

(56)

atas median 35.56% sedangkan di bawah dan sama dengan median 64.44% atau penilaian panelis terhadap tekstur keripik daging mulai tidak suka sampai agak suka.

Rasa

Rasa merupakan faktor yang menentukaan dalam keputusan akhir konsumen untuk menerima atau menolak makanan. Penilaian rasa pada keripik daging untuk jenis tepung A

(

konsentrasitepung tapioka 15%) dan C (Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%) adalah disukai (skor

4), sedangkan untuk tepung B (konsentrasitepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 %

dan tepung maizena 2.5%) penilaian agak disukai (skor 3), dengan menggunakan test median pada Gambar 13.

Gambar 13. Grafik tes median penilaian rasa keripik daging

Menurut Winarno (1997) rasa dipengaruhi oleh komponen-komponen penyusun makan seperti protein, lemak, protein, lemak, vitamin dan lainnya. Rasa merupakan faktor penentu utama daya terima konsumen terhadap produk pangan (Pearson dan Tauber 1984).

Penilaian rasa keripik daging perlakuan tepung A

(

konsentrasi tepung tapioka 15%) berada di atas median sebanyak 52.22% sedangkan di bawah dan

(57)

sama dengan median sebanyak 47.78% atau penilaian panelis terhadap rasa keripik daging mulai agak suka sampai suka. Penilaian warna keripik daging perlakuan tepung B (Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5%) di atas median 52.22% sedangkan di bawah dan sama dengan

median 47.78% atau penilaian panelis terhadap rasa keripik daging mulai agak suka

sampai suka. Penilaian warna keripik daging perlakuan tepung 3 (Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%) di atas median

44.44% sedangkan di bawah dan sama dengan median 54.54% atau penilaian panelis

terhadap rasa keripik daging mulai netral sampai suka.

Kerenyahan

Kerenyahan keripik berdasarkan bunyi yang ditimbulkan jika produk dipatahkan, semakin tinggi daya patah pada angka tertentu akan menurunkan tingkat kerenyahan. Hal ini terjadi karena pada makanan kering seperti keripik timbulnya bunyi disebabkan adanya rongga sel yang kaku dan rapuh yang berisi udara apabila diberikan gaya dari luar, sel-sel akan patah dan menimbulkan getaran udara pada rongga-rongga tersebut. Getaran ini akan menghasilkan bunyi renyah yang penyaringannya tergantung pada kekakuan sel (Vickers 1974), Penilaian kerenyahan berdasarkan hasil analisis Kruskall Wallis menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05), penilaian kerenyahan mempunyai penilaian disukai (skor 4), dengan menggunakan test median pada Gambar 14.

Penilaian kerenyahan keripik daging perlakuan tepung A

(

konsentrasi tepung tapioka 15%) berada di atas median sebanyak 52.22% sedangkan di bawah dan sama dengan median sebanyak 47.78% atau penilaian panelis terhadap kerenyahan keripik daging mulai agak suka sampai suka. Penilaian warna keripik daging perlakuan tepung B (Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5%) di atas median 52.22% sedangkan di bawah dan sama

dengan median 47.78% atau penilaian panelis terhadap kerenyahan keripik daging

(58)

Gambar 14. Grafik tes median kerenyahan keripik daging

Penilaian kerenyahan keripik daging perlakuan tepung C (Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%) di atas median

44.44% sedangkan di bawah dan sama dengan median 54.54% atau penilaian panelis

(59)

SIMPULAN

• Jenis tepung tidak mempengaruhi sifat fisik keripik daging

• Lama penggorengan mempengaruhi sifat fisik keripik daging kecuali kekerasan objektif.

• Jenis tepung tidak mempengaruhi sifat kimia keripik daging kecuali bilangan peroksida

• Lama penggorengan mempengaruhi sifat kimia keripik daging kecuali kadar lemak.

• Sifat fisik dan kimia keripik daging tidak dipengaruhi oleh interaksi jenis tepung dan lama penggorengan.

(60)

DAFTAR PUSTAKA

Aberle ED, Forrest JC, Gerrard DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science. Fourth Ed. Dubuque, IOWA : Kendall/Hunt publishing Company.

AOAC. 1995. Official methods of analysis of the Association of Official Analylitical Chemists. Washington D.C.: AOAC.

Buck DF. 1991. Antioxidants. In: M.J. Smith (Ed). Food Additive User’s Handbook. Glasgow : Blackie Academic and Professional.

Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, Wotton M. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan. Purnomo H Adiono. Jakarta : UI Press

Carballo J, Fernandez P, Baretto G, Solas MT, Colmenero FJ. 1996. Morphology and Texture of Bologna Sausage as Related to Content of Fat, Starch and Egg White. Journal Food Science. 61(3): 652-655

Costa, R M., Fernanda, A R.. Delaney, O., Gekas, V. 1999. Analysis of The Heat Transfer Coeficient during Patato Frying. Journal of Food Engineering 39 : 293-299

Dallal DB 1981. Blacks Agriculture Dictionary. Second Edition. New Delhi India : Jaypee Brither.

Fellows, PJ. 1992. Food Processing Tecnology. Principles and Practise. London : Ellis Horwood.

Keeton, J T. 2001. Formed and Emulsion Products. Sams, A R (Ed). Poultry Meat Processing. New York : CRC Press

Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Edisi Ke-5. Terjemahan A. Parrakasi. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

McWilliams, M . 2001. Foods Experimental Perspektives. New Jersey : Prentise Hall

Matz SA. 1984. Snack Food Technology. 2nd Edition. Westfort, Connecticut : AVI Pub. Co., Inc..

(61)

Moreira, R G., Barufet, M A 1996. Spatial Distribution of Oil after Deep Fat Frying Tortilla Chips From a Stochastic Model. Journal of Food Engineering 31 : 485 - 498

Nawar WW. 1996. Lipids In O.R. Fennema (Ed) Food Chemistry. 3rd Edition. Marcel Dekker, New York.

Naruki S, Konani, S. 1991. Kimia dan Teknologi Pengolahan Hewan. PAU Pangan dan Gizi. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

Ockerman HW. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10th ed. Department of Animal Science. The Ohio State University and The Ohio Agricultural Research and Development Center.

Parker R. 2003. Introduction to Food Science. Dilmar

Pearson AM, Tauber FW. 1984. Processed Meats. Wesport, CT : The Avi Publishing Co., Inc.

Pinthus, E J., Sagui, I S. 1995. Oil Uptake in Deep Fat Frying as Affected by Porosity. Journal of Food Science

Rahayu WP. 1998. Petunjuk Praktikum Penilaian Organoleptik Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Robertson J, Ratcliff D, Bouton PE, Harris PV, Shorthose WR. 1986. A comparism of Some Properties of Meat from Young Buffalo (Bubalis bubalis) and Cattle. Journal Food Science 51,47-57

Rustamaji E. 1989. Karakterisasi Jaringan Daging Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersoni). [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian. IPB.

Sahin, S., Sastry, S K., Bayindirli, L. 1999. The Determinations of Convective Heat Transfer Coeficient During Frying. Journal of Food Engineering Siahaan D. 1988. Mengkaji Pengaruh Suplementasi Protein Terhadap

Karakteristik Fisika Kimia dan Organoleptik Keripik Sagu. [Skripsi]. Fateta, IPB

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

(62)

Supriyanto, Rahardjo B, Marsono. 2006. Pemodelan Matematik Transfer Panas dan Massa pada Proses Penggorengan Bahan Makanan Berpati. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 17 (1):28-37

Underriner E.W, Hume I.R.. 1994. Handbook of Industrial Seasonings. London : Blackie Academic & Professional.

Whitaker, S. Harnett P H, Irvine T F, editor 1977. Simultaneous Heat, Mass and momentum Transfer in Porous Media : A Theory of Drying in Advantaces in Heat Transfer. Academic Press pp: 119-202

(63)

Lampiran 1

Kuesioner Penilaian Organoleptik Uji Hedonik

U 1

Nama : Tanggal :

Petunjuk : 1. Di hadapan saudara terdapat 6 sampel.

2. Saudara dimohon untuk memberikan penilaian terhadap masing-msing sampel berdasarkan kesukaan terhadap warna, aroma, tekstur, rasa dan kerenyahan.

3. Berilah tanda checklist (√) sesuai dengan kesan yang dicicipi.

4. Setelah mencicipi stu sampel, saudara harap minum air putih yang telah disediakan untuk menetralkan sebelum mencicipi sampel berikutnya.

(64)

Suka Sangat Suka

Amat Sangat Suka

Kode Sampel Penilaian Kerenyahan

7 9 11 Tidak Suka

Netral Agak Suka

Suka Sangat Suka

Gambar

Gambar 1  Struktur dan jaringan ikat otot
Gambar 2 Rantai lurus molekul amilosa dan rantai bercabang molekul amilopektin
Gambar 3 di bawah ini mempelihatkan potongan melintang dari bahan
Tabel 1. Komposisi bahan keripik daging
+7

Referensi

Dokumen terkait

Saran untuk pengembangan penilitian lebih lanjut di antaranya menambahkan jarak ambang batas agar dapat mengetahui secara otomatis jika citra wajah tersebut benar

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

Diduga kandungan fenol pada minyak atsiri yang terdapat dalam ekstrak jahe tersebut berperan penting dalam menekan pertumbuhan dan produksi spora jamur Pythium sp.. Masih

Diesel engine membutuhkan udara untuk membakar bahan bakar, system pemasukan udara harus mampu menyediakan udara bersih yang cukup untuk pembakaran, sementara

Maksud dari kegiatan penelitian ini adalah untuk merancang rumah sakit khusus anak dengan taman terapi yang dapat mengakomodasi kegiatan terapi para penggunanya

Hasil penelitian menunjukkan gangguan yang dirasakan akibat kebisingan adalah gangguan komunikasi, mudah terkejut, emosional, konsentrasi, peningkatan tekanan darah,

a) Aktivitas 1: tugaskan peserta didik untuk mempraktikkan tendang bola menggunakan kaki kanan bagian dalam ke dinding dan menahan dengan menggunakan kaki kanan bagian dalam