• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya Hambat Edible Coating Kitosan Terhadap Kualitas Fillet Ikan Patin (Pangasius Sp.) Skin On Pada Penyimpanan Suhu Chilling

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Daya Hambat Edible Coating Kitosan Terhadap Kualitas Fillet Ikan Patin (Pangasius Sp.) Skin On Pada Penyimpanan Suhu Chilling"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

DAYA HAMBAT

EDIBLE COATING

KITOSAN TERHADAP

KUALITAS

FILLET

IKAN PATIN (

Pangasius

sp.)

SKIN ON

PADA PENYIMPANAN SUHU

CHILLING

ULFA TRI ASTUTI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudulDaya Hambat Edible Coating Kitosan terhadap Kualitas Fillet Ikan Patin (Pangasius sp.) Skin On pada Penyimpanan Suhu Chilling” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Ulfa Tri Astuti NIM C34110077

________________________

(4)
(5)

ABSTRAK

ULFA TRI ASTUTI. Daya Hambat Edible Coating Kitosan terhadap Kualitas Fillet Ikan Patin (Pangasius sp.) Skin On pada Penyimpanan Suhu Chilling. Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan PIPIH SUPTIJAH.

Pangasius sp. adalah salah satu ikan patin yang biasa diolah menjadi fillet. Penambahan larutan kitosan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menjaga kualitas fillet ikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memelajari daya hambat dari konsentrasi edible coating kitosan yang berbeda dan korelasi waktu perendaman terhadap kualitas fillet patin skin on pada penyimpanan suhu chilling. Fillet patin direndam dalam larutan kitosan dengan konsentrasi 0%, 1%, 2%, dengan waktu perendaman 1 menit dan 3 menit. Fillet patin disimpan pada suhu chilling (4°C). Parameter yang dianalisa adalah organoleptik, pH, TVB, dan TPC pada hari ke-0, hari ke-2, dan hari ke-5. Konsentrasi kitosan, waktu perendaman, dan interaksi antara kedua faktor mempengaruhi kualitas fillet ikan patin skin on. Perlakuan terbaik adalah fillet ikan patin skin on yang direndam dalam larutan kitosan 2%.

Kata kunci: edible coating,fillet, kitosan, mutu

ABSTRACT

ULFA TRI ASTUTI. Inhibitory Effect of Chitosan Edible Coating on the Quality of Catfish (Pangasius sp.) Skin On Fillet Stored at Chilling Temperature. Supervised by TATI NURHAYATI and PIPIH SUPTIJAH.

Pangasius sp. is one of catfish which commonly processed as fillets. Addition of chitosan solution is one of treatments that can be used to maintain the quality of fish fillets. The aims of this research are to study the inhibition of edible coating in different concentration and the correlation of the soaking time to the quality of catfish skin on fillet stored at chilling temperature. The catfish fillets were soaked in chitosan solution with the concentrations 0%, 1%, 2%, with soaking time was 1 minute and 3 minutes. The catfish fillets were kept at chilling temperature (4°C). The parameters analyzed are organoleptic, pH, TVB, and TPC on day 0, day 2, and day 5. Chitosan concentration, soaking time, and the interaction between the two factors affected the quality of catfish skin on fillet. The best treatment is the catfish skin on fillets which soaked in 2% chitosan solution.

(6)
(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(8)
(9)

DAYA HAMBAT

EDIBLE COATING

KITOSAN TERHADAP

KUALITAS

FILLET

IKAN PATIN (

Pangasius

sp.)

SKIN ON

PADA PENYIMPANAN SUHU

CHILLING

ULFA TRI ASTUTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(10)
(11)

Judul Skripsi : Daya Hambat Edible Coating Kitosan terhadap Kualitas Fillet Ikan Patin (Pangasius sp.) Skin On pada Penyimpana1 Suhu Chilling

Nama : Ulfa Tri Astuti

NIM : C3411 0077

Program Studi: Teknologi Hasil Perairan

Dr Tati SPi MSi

Pembimbing I

Disetujui oleh

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

3 0 JUL 2015

--Dr --Dra MBA

(12)
(13)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul “Daya Hambat Edible Coating Kitosan terhadap Kualitas Fillet Ikan Patin (Pangasius sp.) Skin On pada Penyimpanan Suhu Chilling” ini dapat diselesaikan. Tujuan penyusunan karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada

1 Dr Tati Nurhayati, SPi MSi dan Dr Dra Pipih Suptijah, MBA selaku dosen

pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan dukungan kepada penulis.

2 Dr Ir Iriani Setyaningsih MS selaku dosen penguji dan Prof Dr Ir Nurjanah

MS selaku dosen wakil komisi pendidikan.

3 Prof Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil

Perairan.

4 Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS selaku Ketua Program Studi Departemen

Teknologi Hasil Perairan.

5 Dr Sugeng Heri Suseno, SPi MSi selaku dosen pembimbing akademik atas

bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis.

6 Seluruh dosen dan staf Departemen Teknologi Hasil Perairan IPB.

7 Bapak (Marsono) dan Ibu (Siti Khoiriyah), Mas (Ma’ruf Rahmat), Mas

(Ma’ruf Hidayat), dan adik (Arif Setiawan).

8 Teman-teman satu bimbingan Mely Shara Bangun dan Eki Fikri yang saya banggakan.

9 Keluarga THP IPB 48 dan Keluarga H&R (Mpit, Mely, Sizu, Mia, Arini, dan Fitria).

10 Laboran yang telah membantu penelitian saya (Mas Ipul, Ibu Ema dan Mbak Dini) serta pihak Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.

11 Mada, Iman, Wekson, Hanum, Nisa, Idan, Kak Laela, dan Kak Made Suhandana yang telah memberikan dorongan semangat selama penelitian dan penyusunan tugas akhir.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juli 2015

(14)
(15)

DAFTAR ISI

Derajat Keasaman (pH) Fillet Ikan Patin Skin On pada Penyimpanan Suhu Chilling Hari ke 0, 2, dan 5 ... 20

Total Volatile BaseFillet Ikan Patin Skin On pada Penyimpanan Suhu Chilling Hari ke 0, 2, dan 5 ... 21

(16)

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik kitosan bahan penelitan dan standar ... 11

2 Serapan IR beberapa gugus fungsi kitosan ... 12

3 Nilai viskositas kitosan berdasar perbedaan konsentrasi ... 13

4 Morfometrik ikan patin ... 14

5 Komposisi kimia fillet ikan patin skin on ... 14

6 Deskripsi hasil organoleptik kemunduran mutu fillet ikan patin skin on .. 19

7 Pengaruh konsentrasi kitosan dan waktu perendaman terhadap nilai pH fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5 ... 20

8 Pengaruh konsentrasi kitosan dan waktu perendaman terhadap nilai TVB fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5 ... 21

9 Pengaruh konsentrasi kitosan dan waktu perendaman terhadap nilai log TPC fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5 ... 22

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir prosedur penelitian daya hambat edible coating kitosan terhadap kualitas fillet ikan patin pada penyimpanan suhu chilling ... 5

2 FTIR kitosan ... 12

3 Rendemen ikan patin ... 14

4 Nilai organoleptik kenampakan fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5 ... 16

5 Nilai organoleptik bau fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5 ... 17

6 Nilai organoleptik tekstur fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5 ... 18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Score sheet uji organoleptik fillet ikan segar (BSN 2006) ... 31

2 Fillet ikan patin skin on ... 32

3 Contoh perhitungan derajat deasetilasi kitosan uji ... 32

4 Sertifikat karakteristik kitosan ... 33

5 Tabel Kruskal Wallis kenampakan penyimpanan hari ke-2 ... 34

6 Tabel Kruskal Wallis kenampakan penyimpanan hari ke-5 ... 35

7 Tabel Kruskal Wallis bau penyimpanan hari ke-2 ... 36

8 Tabel Kruskal Wallis bau penyimpanan hari ke-5 ... 37

(17)

10 Tabel Kruskal Wallis tekstur penyimpanan hari ke-5 ... 39

11 Tabel ANOVA pH penyimpanan hari ke-0 ... 39

12 Tabel ANOVA pH penyimpanan hari ke-2 ... 40

13 Tabel ANOVA pH penyimpanan hari ke-5 ... 40

14 Tabel uji lanjut interaksi pH penyimpanan hari ke-5 ... 40

15 Tabel ANOVA TVB penyimpanan hari ke-0 ... 40

16 Tabel ANOVA TVB penyimpanan hari ke-2 ... 41

17 Tabel ANOVA TVB penyimpanan hari ke-5 ... 41

18 Uji lanjut interaksi TVB penyimpanan hari ke-5 ... 41

19 Tabel ANOVA TPC penyimpanan hari ke-0 ... 41

20 Tabel uji lanjut interaksi TPC penyimpanan hari ke-0 ... 42

21 Tabel ANOVA TPC penyimpanan hari ke-2 ... 42

22 Tabel ANOVA TPC penyimpanan hari ke-5 ... 42

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan patin merupakan komoditas ikan air tawar yang sangat potensial. Ikan patin memiliki permintaan dalam negeri yang tinggi dan pasar ekspor yang luas (Hutagalung 2009). Produksi ikan patin di Indonesia mengalami kenaikan rata-rata sebesar 39,90% dari tahun 2009 hingga tahun 2013 (KKP 2014). Diversifikasi olahan ikan patin juga beragam antara lain dalam bentuk fillet dan berbagai macam produk berbasis surimi (Suryaningrum 2008). Indonesia masih mengimpor daging irisan (fillet) patin sebanyak 900 ton atau setara dengan 2700 ton ikan patin sehingga ikan ini berpeluang untuk dikembangkan dalam bentuk fillet.

Ikan patin memilki keunggulan tersendiri, antara lain tidak bersisik, durinya relatif sedikit dan dagingnya putih kemerahan serta mudah dikuliti sehingga relatif mudah dibuat fillet yang baik. Fillet ikan patin mudah mengalami kerusakan dan penurunan mutu yang berpengaruh terhadap kenampakannya. Kurniasih (2013) menyatakan bahwa kerusakan dan penurunan mutu ikan patin disebabkan karena adanya kandungan protein dan kadar air yang tinggi.

Fillet merupakan produk yang cepat mengalami kemunduran mutu. Kandungan asam lemak tak jenuh pada fillet menyebabkan terjadinya proses oksidasi lemak yang dapat mempercepat terjadinya penurunan mutu bahan (Putri et al. 2014). Permasalahan yang sering muncul adalah adanya penggunaan bahan kimia berbahaya seperti formalin untuk memperpanjang daya simpan produk perikanan. Hastuti (2010) menyatakan bahwa penggunaaan formalin pada makanan dapat mengakibatkan keracunan pada tubuh manusia sehingga perlu adanya upaya lain yang harus dilakukan.

Daya awet fillet ikan patin dapat dimaksimalkan dengan penambahan edible coating, yaitu suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan. Edible coating diharapkan dapat mempertahankan kualitas dari produk makanan, barrier terhadap uap air dan pertukaran gas O2 serta CO2 (Bourtoom 2008).

Penelitian mengenai pelapisan produk pangan dengan edible film dan coating telah banyak dilakukan dan terbukti dapat memperpanjang masa simpan dan memperbaiki kualitas produk. Edible coating merupakan sistem kemasan alternatif yang dapat mengganti beberapa bahan kemasan sintetis atau mengurangi penggunaan bahan sintetis (Regalado et al. 2006).

(20)

2

coating berbahan kitosan bersifat antimikroba dan dapat mencegah kontaminasi patogen pada berbagai bahan pangan yang memiliki jaringan (daging, buah-buahan, dan sayuran) (Quintavalla dan Vicini 2002).

Pengamatan kemunduran mutu fillet ikan patin dilakukan dengan mengetahui kondisi fisiologis pada setiap fase. Fase yang diamati antara lain prerigor, rigor mortis, dan postrigor. Kemunduran mutu fillet ikan dapat dihambat dengan penambahan bahan alami berupa edible coating kitosan sebagai alternatif pengganti formalin. Informasi mengenai penambahan edible coating kitosan pada fillet ikan patin masih sedikit sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan konsentrasi kitosan dan lama pencelupan terhadap kualitas fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling. Penggunaan edible coating kitosan diharapkan dapat memperpanjang daya simpan fillet ikan patin skin on.

Rumusan Masalah

Fillet ikan patin merupakan produk yang cepat mengalami kemunduran mutu. Permintaan konsumen akan produk fillet ikan patin segar dan bebas formalin mendorong dilakukannya penelitian yang difokuskan pada penggunaan bahan alami sebagai bahan alternatif pengganti formalin yang aman untuk kesehatan. Penelitian mengenai penggunaan kitosan sebagai bahan pengawet alami diperlukan untuk menentukan pengaruh kitosan yang diaplikasikan sebagai edible coating dalam mempertahankan mutu fillet ikan patin skin on yang disimpan pada suhu chilling (4oC).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari daya hambat dari konsentrasi edible coating kitosan yang berbeda dan korelasi waktu perendaman terhadap kualitas fillet patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5.

Manfaat Penelitian

Penelitian edible coating kitosan pada fillet ikan patin skin on diharapkan dapat memberikan informasi mengenai konsentrasi dan lama pencelupan edible coating kitosan terbaik dalam memperlambat kemunduran mutu fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5.

Ruang Lingkup Penelitian

(21)

3

on, pengujian pH, pengujian total basa-basa volatil (TVB), pengujian total plate count (TPC) fillet ikan patin skin on.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2015. Preparasi sampel dan pengujian organoleptik dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor. Proses pembuatan edible coating dilakukan di Laboratorium Membran, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor. Pengujian proksimat kitosan dan fillet ikan dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Kimia dan Analisis Pangan L3 ITP Seafast Institut Pertanian Bogor. Proses analisis dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta Pusat.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan pada penelitian adalah ikan patin dengan berat 500-600 g yang diperoleh dari Kurnia Fishery Babakan, Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Bahan yang digunakan dalam pembuatan edible coating adalah kitosan yang didapat dari Bio Chitosan Indonesia, asam asetat 1%, dan akuades. Bahan yang digunakan untuk analisis mikrobiologi adalah akuades, butterfield’s phosphate buffered dan media agar PCA. Bahan yang digunakan untuk analisis TVB adalah TCA 7%, asam borat, K2CO3 jenuh, dan HCl 0,02 N.

Bahan yang digunakan untuk analisis derajat keasaman (pH) adalah akuades. Alat-alat yang digunakan adalah hot plate, magnetic stirrer, FTIR Spectroscopy (Bruker Tensor 37), oven (Yamato DV 40), inkubator, digital colonicounter, pH meter (Thermo), vortex (Thermo Scientific), lemari sterilisasi (Pathfinder), dan viscometer (Toki Sangyo Co LTd).

Prosedur Penelitian

(22)

4

perendaman fillet ikan dalam larutan coating selama 1 dan 3 menit serta perlakuan kontrol (tanpa perendaman). Fillet ikan patin skin on yang diberi perlakuan edible coating selanjutnya disimpan pada suhu chilling (4oC) kulkas dan dianalis tingkat kesegarannya pada hari ke-0, hari ke-2, dan hari ke-5. Analisis tingkat kesegaran yang dilakukan meliputi uji organoleptik, analisis mikrobiologi, analisis pH, dan analisis TVB. Diagram alir prosedur penelitian daya hambat edible coating kitosan terhadap kualitas fillet ikan patin (Pangasius sp.) skin on pada penyimpanan suhu chilling dapat dilihat pada Gambar 1.

Proses Preparasi Fillet Ikan (CAC 2012)

Ikan patin segar sebanyak 25 ekor dengan berat 491,64±10,78 g per ekor. Ikan dimatikan terlebih dahulu dengan memukul bagian kepalanya. Ikan patin yang telah mati tersebut kemudian dibuat fillet skin on dengan memisahkan bagian daging dengan kepala dan tulang. Peralatan yang kontak langsung dengan ikan dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan detergen food grade kemudian disiram dengan menggunakan air panas. Pasokan air bersih yang cukup diperlukan untuk mencuci fillet ikan dari lendir, darah, dan jeroan. Fillet ikan patin skin on dijaga suhunya antara 0°C-4°C dengan memberikan es dengan ukuran yang cukup halus pada fillet ikan.

Proses Pembuatan Edible Coating Kitosan (Butler et al. 1996)

Prosedur pembuatan larutan edible coating dari kitosan pada penelitian ini menggunakan metode dari Butler et al. (1996) yang dimodifikasi. Konsentrasi kitosan yang digunakan adalah 0, 1 dan 2%. Larutan dengan konsentrasi 0% dibuat dengan mencampurkan 30 mL asam asetat dan 70 mL akuades. Edible coating dengan konsentrasi 1 dan 2% dibuat dengan melarutkan 1 dan 2 gram kitosan ke dalam 30 mL asam asetat, kemudian ditambah 70 mL akuades. Pelarutan kitosan dalam asam asetat 1% dilakukan bertahap agar kitosan dengan larut secara sempurna. Larutan dihomogenkan dengan pengaduk magnetic stirer pada suhu 50oC selama 60 menit sampai larutan coating terlarut dengan sempurna.

Prosedur Analisis Analisis Kadar Air (BSN 1992)

Analisis kadar air mengacu pada SNI 01-2891-1992. Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 102-105°C hingga diperoleh berat konstan selama 15 menit. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sampel ditimbang seberat 2 g. Cawan yang telah diisi sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105oC selama 6 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan pada suhu ruang kemudian ditimbang. Perhitungan kadar air adalah sebagai berikut:

Kadar air (%) = −

(23)

5

Gambar 1 Diagram alir penelitian daya hambat edible coating kitosan terhadap kualitas fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling

Analisis kemunduran mutu fillet ikan patin skin on:

Pemasukan fillet yang telah dilapisi kitosan ke dalam plastik steril

Penyimpanan selama 5 hari pada suhu chilling (4°C)

Fillet ikan uji

Uji viskositas Fillet ikan

Serbuk kitosan

Penimbangan 0, 1, dan 2 g

Penambahan 30 mL asam asetat 1%

Pengadukan dengan stirer pada suhu ±50oC selama 60 menit

Penambahan akuades sebanyak 70 mL

Pengadukan dengan stirer pada suhu ±50oC selama 15 menit

Penyaringan

Perendaman fillet ikan patin skin on dalam larutan asam asetat dan larutan edible coating 1 dan 2% selama 1 dan

3 menit

(24)

6

Keterangan: A= Bobot cawan kosong (g)

B= Bobot cawan dengan sampel (g)

C= Bobot cawan dengan sampel setelah dikeringkan (g)

Analisis Kadar Abu (BSN 1992)

Analisis kadar abu mengacu pada SNI 01-2891-1992. Cawan porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu sekitar 105oC selama 30 menit. Cawan porselen tersebut dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan kemudian ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3 g, kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselen dan dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap. Sampel dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600oC selama 6 jam. Cawan dimasukkan di dalam desikator dibiarkan sampai dingin dan kemudian ditimbang.

Kadar abu (%) = C−A

B−A x 100%

Keterangan: A=Bobot cawan abu porselen kosong (g)

B=Bobot cawan abu porselen dengan sampel (g)

C=Bobot cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan (g)

Analisis Kadar Protein (BSN 1992)

Analisis kadar protein mengacu pada SNI 01-2891-1992. Analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.

(1) Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 1 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl. Setengah tablet kjeldahl atau selenium dimasukkan ke dalam labu kjeldahl yang berfungsi untuk mempercepat reaksi tersebut dan ditambahkan 10 mL H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat

pemanas dengan suhu 410oC. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi hijau bening.

(2) Tahap destilasi

Sampel yang telah didestruksi dilarutkan ke dalam labu takar 100 mL menggunakan akuades. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 10 mL. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam Erlenmeyer 125 mL berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes

indikator (cairan methyl red dan bromocresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai terjadi perubahan warna dari merah muda menjadi biru.

(3) Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan pada Erlenmeyer berubah warna menjadi merah muda kembali. Perhitungan kadar protein adalah sebagai berikut:

Protein (%) = Vol HCL x N HCl x 14,01 x 6,25 x Fp

mg Sampel x 100%

(25)

7

Analisis Kadar Lemak (BSN 1992)

Analisis kadar lemak mengacu pada SNI 01-2891-1992. Sampel seberat 2 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan selongsong lemak, kemudian

dimasukkan ke dalam soxhlet. Labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) disambungkan dengan soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam

soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak heksana. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 80oC menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pelarut akan tertampung disoxhlet dan dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak. Labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 15 menit, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak adalah sebagai berikut:

Kadar Lemak (%) = W 3−W 2

W 1 x 100%

Keterangan : W1 = Berat sampel (g)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g) Viskositas (BSN 1998)

Pengujian viskositas mengacu pada SNI 06-4558-1988. Larutan kitosan dibuat dalam 3 taraf konsentrasi yaitu 0%, 1% dan 2%. Konsentrasi kitosan dibuat dengan cara menimbang kitosan masing-masing 0 g, 1 g dan 2 g yang dilarutkan dalam larutan asam asetat 1% sebanyak 30 mL dan kemudian ditambahkan akuades hingga volume mencapai 100 mL. Larutan kitosan masing-masing diukur viskositasnya dengan menggunakan alat viskometer.

Derajat Deasetilasi (Domszy dan Robert 1985)

Penetapan derajat deasetilasi kitosan dengan FTIR. Derajat deasetilasi dapat diukur dengan metode spektrofotometri inframerah dengan teknik film pada sel kalium bromida. Analisis ini dilakukan dengan mencampurkan 2 mg serbuk kitosan dengan 200 mg kalium bromida untuk dijadikan pelet. Pelet dibuat dengan menggunakan hand press Shimadzu. Pengukuran spektrum FTIR dilakukan dengan menggunakan Spektrometer FTIR MD3000 yang dilengkapi dengan detektor DTGS. Nilai serapan dapat dihitung dengan rumus:

A = log �

Keterangan: P = Jarak antara garis dasar dan puncak

Po = Jarak antara garis dasar dengan garis singgung Derajat deasetilasi dapat dihitung dengan cara

Derajat deasetilasi= 1− 1655

3450 1

(26)

8

Uji Organoleptik (BSN 2006)

Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian yang bersifat subyektif dengan menggunakan panca indera. Pengujian organoleptik ditunjukkan pada kenampakan, bau, dan tekstur. Pengujian organoleptik dilakukan untuk mengetahui fase-fase kemunduran mutu ikan, yaitu fase pre rigor, rigor mortis, dan post rigor. Tahap pengujian organoleptik dilakukan dengan interval pengamatan yaitu setiap 24 jam dengan penyimpanan fillet ikan patin skin on pada suhu chilling (4ºC). Pengujian organoleptik menggunakan score sheet berdasarkan SNI 01-2346-2006 (BSN 2006) (Lampiran 1). Fillet ikan patin skin on uji dapat dilihat pada Lampiran 2.

Uji Nilai pH (BSN 1992)

Pengujian nilai pH mengacu pada SNI 01-2891-1992. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Alat pH meter yang digunakan untuk pengujian nilai pH dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan buffer standar pH 4 dan 7. Fillet ikan patin sebanyak 10 g dihancurkan dan dihomogenkan dengan akuades sebanyak 90 mL menggunakan homogenizer. Daging yang telah homogen kemudian diukur menggunakan pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi.

Uji TVB (BSN 2009)

Pengujian kadar TVB mengacu pada SNI 2354.8:2009. Kadar TVB merupakan salah satu parameter dalam menentukan kemunduran mutu ikan. Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawa basa-basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip dari analisis TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amin, mono-, di-, dan trimetilamin). Senyawa tersebut selanjutnya diikat oleh asam borat dan dititrasi dengan larutan HCl. Sampel uji untuk pengamatan hari ke-0 di thawing terlebih dahulu. Sampel dimasukkan ke dalam plastik kedap air dan kemudian dialiri dengan air didalam wadah selama 1 jam. Preparasi sampel dilakukan dengan menimbang 15 g sampel yang telah dicacah dihomogenisasi dengan 45 mL TCA 7% selama 1 menit. Sampel disaring sehingga didapatkan supernatan yang akan digunakan untuk analisis. Uji TVB dilakukan dengan memasukkan 1 mL H3BO3 ke dalam inner

chamber cawan conway dan tutup cawan diletakkan dengan posisi setengah menutupi cawan. Filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber di sebelah kiri sebanyak 1 mL. Larutan K2CO3 jenuh sebanyak 1 mL ditambahkan ke dalam

outer chamber sebelah kanan. Cawan ditutup dengan diolesi vaselin pada pinggir cawan agar proses penutupan sempurna. Cawan conway digerakkan agar filtrat dan K2CO3 tercampur. Blanko dikerjakan dengan prosedur sama tetapi filtrat yang

digunakan diganti menjadi TCA 7%. Kedua cawan conway diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37ºC, selanjutnya larutan asam borat dalam inner chamber cawan Conway yang berisi blanko dititrasi HCl 0,021 N sehingga berubah menjadi warna merah muda. Cawan Conway yang berisi larutan atau filtrat dititrasi dengan larutan yang sama yaitu HCl 0,021 N sehingga menjadi warna merah muda sama seperti pada blanko.

N (mg N/100 g) = (A-B) x N HCl x 100 x

(27)

9

Keterangan: A = mL HCl contoh fp = faktor pengenceran

B = mL HCl blanko N = Normalitas HCl (0,0211 N)

Uji Total Plate Count (BSN 2006)

Prinsip kerja analisis jumlah total mikroba dengan metode total plate count (TPC) adalah perhitungan jumlah bakteri yang ada pada sampel yaitu daging ikan

patin dengan pengenceran tertentu. Pengujian TPC mengacu pada SNI 01-2332.2:2006. Pembuatan larutan sampel dengan cara mencampur 10 g

sampel ke dalam larutan pengencer sebanyak 90 mL sehingga diperoleh pengenceran 10-1 (1:10), pengenceran berturut-turut 10-2 dan seterusnya sesuai kebutuhan. Larutan pengencer yang digunakan adalah butterfield’s phosphate buffered. Pengambilan sampel dan pengenceran dilakukan secara aseptik. Media agar (PCA) dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 mL dan digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode cawan tuang), kemudian didiamkan beberapa saat hingga dingin dan mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik, yaitu tutup cawan diletakkan dibagian bawah cawan petri. Suhu inkubator yang digunakan adalah sekitar 30oC dan diinkubasi selama 2 hari, selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri.

N= � � � � � �

1 1 + 0,1 2

Keterangan : N = Jumlah koloni per mL/per gram pada cawan (unit koloni/g) n1 = Jumlah cawan pada pengenceran I

n2 = Jumlah cawan pada pengenceran II

d = Pengenceran pada cawan I

Analisis Data

Uji organoleptik menggunakan 30 ulangan dan 7 perlakuan. Pengujian organoleptik dilakukan dengan analisa non parametrik menggunakan metode uji Kruskal Wallis. Statistik uji Kruskal Wallis dapat ditentuan dengan menggabungkan seluruh data contoh, merangking setiap pengamatan dari yang terkecil hingga terbesar (jika terdapat nilai yang sama maka diberi peringkat tengah), dan menghitung jumlah peringkat untuk setiap contoh. Data organoleptik di analisis dengan menggunakan software Statistical Analysis System (SAS) 9.1.3 Portable. Statistik uji Kruskal Wallis dapat diperoleh dengan rumus (Montgomery 1997).

K = 12 2−�(�−1)2

4 =1

Keterangan: K = Nilai Kruskal-Wallis dari hasil perhitungan S2 = Ragam

(28)

10

Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut:

H0= Perbedaan konsentrasi kitosan dan waktu pencelupan memberikan pengaruh yang sama terhadap nilai organoleptik fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5.

H1= Minimal terdapat satu perlakuan yang memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai organoleptik fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5.

Uji lanjut Dunn dilakukan ketika hasil uji Kruskal Wallis memberikan pengaruh. Nilai value <0,05 menyatakan bahwa tolak H0 dan dilanjutkan dengan menggunakan analisis Dunn (Daniel 1990):

|Ri-Rj| ≤ z [� �2−1 − � 3−� ]

6�(�−1)

Keterangan: Ri-Rj = Rata-rata peringkat untuk contoh/perlakuan ke-i dan ke-j k = Banyaknya kategori/perlakuan (i=1,2,3,…..,k)

N = Jumlah seluruh data

Σt = Banyaknya nilai yang sama pada pengamatan (ties)

Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut

H0= Perbedaan konsentrasi kitosan dan waktu pencelupan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai organoleptik fillet ikan patin skinon pada penyimpanan suhu chillinghari ke 0, 2, dan 5.

H1= Perbedaan konsentrasi kitosan dan waktu pencelupan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai organoleptik fillet ikan patin skinon pada penyimpanan suhu chillinghari ke 0, 2, dan 5.

Analisis data pH, TPC, dan TVB dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial. Faktor A adalah konsentrasi larutan kitosan dan faktor B adalah lama pencelupan dalam larutan kitosan. Pengujian dilakukan secara duplo pada masing-masing perlakuan (7 perlakuan). Data pH, TVB, dan TPC yang didapat diuji normalitas terlebih dahulu. Data dianalisis secara statistik dengan analisis ragam (ANOVA). Analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan apabila hasil ANOVA berbeda nyata. Data di analisis menggunakan software Statistical Analysis System (SAS) 9.1.3 Portable. Model matematika yang digunakan adalah (Mattjik dan Sumertajaya 2002):

Yijk = μ + αi+ βj+ (αβ)ij+ εijk

Dimana:

Yijk : Pengamatan faktor A level i, faktor B level j

μ : Nilai tengah umum

αi : Pengaruh faktor ke A (konsentrasi kitosan) level i

βj : Pengaruh faktor ke B (lama perendaman dalam larutan kitosan) level j

(αβ)ij : Interaksi AB pada A level i dan B level j

(29)

11

Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah:

1. H0= Konsentrasi kitosan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata

terhadap kemunduran mutu fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5

H1= Minimal ada satu konsentrasi kitosan yang memberikan pengaruh pada

kemunduran mutu fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5

2. H0= Waktu pencelupan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata

terhadap kemunduran mutu fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5

H1= Minimal ada satu waktu pencelupan yang memberikan pengaruh pada

kemunduran mutu fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5

3. H0= Interaksi antara konsentrasi kitosan dan waktu pencelupan tidak

memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kemunduran mutu fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5

H1= Minimal ada satu interaksi antara konsentrasi larutan kitosan dan waktu

pencelupan yang memberikan pengaruh terhadap kemunduran mutu fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterikstik Kitosan

Kitosan pada penelitian diperoleh dari hasil deasetiasi kitin pada cangkang udang. Kitosan sebagai bahan baku perlu dianalisis untuk mendapatkan informasi sifat dan karakteristiknya. Kitosan sebagai edible coating pada industri pangan sangat dipengaruhi oleh kualitas kitosan itu sendiri. Karakteristik kitosan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik kitosan bahan penelitian dan standar

Senyawa Jumlah (%)

Bahan Penelitian Standar Kitosan (BSN 2013)

Kadar air (%) 11,58±0,01 Maksimal 12

Kadar abu (%) 0,65±0,01 Maksimal 5

Kadar nitrogen (%) 6,36 Maksimal 5

Derajat deasetilasi (%) 87,5 Minimal 75 Bentuk partikel Serpihan-serbuk Serpihan kecil Warna kitosan Putih sampai kuning pucat Coklat muda sampai putih

Warna larutan Jernih Jernih

(30)

12

berdampak pada besarnya kemurnian dari kitosan yang dihasilkan (Indrasti et al. 2012). Hasil spektra FTIR kitosan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Spektra FTIR kitosan

Gambar 2 menunjukkan bahwa terdapat serapan pada gelombang 3433,50 cm-1 yang menandakan adanya serapan dari gugus –OH dan serapan pada panjang gelombang 2923,86 cm-1 menunjukkan adanya gugus –CH. Spektra IR pada gambar juga menunjukkan adanya vibrasi gugus N-H dan C-C masing-masing pada bilangan gelombang 1655,64 cm-1 dan 1382,83 cm-1.

Penentuan derajat deasetilasi dilakukan dengan analisis FTIR. Analisis FTIR akan mendeteksi gugus fungsi yang terdapat dalam kitosan. Serapan IR beberapa gugus fungsi dari kitosan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Serapan IR beberapa gugus fungsi dari kitosan

Ikatan Bilangan gelombang (cm

-1

) Hasil penelitian Penelitian lainnya

-OH 3433,50 3445*

-CH 2923,86 2922,65**

N-H 1655,64 1658***

C-C 1382,83 13380,14****

Keterangan: * Ramasamy dan Annaian (2014) **Rakhmawati (2007)

*** Fitriah (2012) **** Pitriani (2010)

Derajat deasetilasi dijadikan sebagai indikator penghilangan gugus asetil (COCH3) yang terdapat pada kitin. Kitin yang mengalami proses deasetilasi

(31)

13

disebut kitosan. Derajat deasetilasi yang tinggi menunjukkan kemurnian dari kitosan yang dihasilkan (Suptijah et al. 1992). Hasil analisis FTIR pada kitosan menunjukkan derajat deasetilasi sebesar 83% (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa kitosan uji mengalami penurunan nilai jika dibandingkan dengan derajat deasetilasi yang dicantumkan di sertifikat PT Bio Chitosan Indonesia, yakni sebesar 87,5% (Lampiran 4) sehingga dapat disimpulkan bahwa kitosan uji telah memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan BSN, yaitu >75%.

Viskositas merupakan parameter yang berhubungan dengan sifat kekentalan suatu bahan. Pengukuran viskositas menggunakan alat viskometer. Viskositas suatu makromolekul berkaitan dengan derajat depolimerisasi suatu bahan dan dinyatakan dengan suatu konstanta (Km). Besaran konstanta ini tergantung pada

sifat alami bahan terlarut dan pelarutnya, jenis ikatan dan molekulnya (Suharjo dan Noor 2005). Nilai viskositas kitosan berdasar perbedaan konsentrasi disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai viskositas kitosan berdasar perbedaan konsentrasi

Konsentrasi kitosan Viskositas (cP)

0% 3,95±0,04

1% 33,25±0,03

2% 69,95±0,01

Nilai viskositas edible coating kitosan yang digunakan tergolong rendah, yaitu dibawah 200 cP. Viskositas edible coating kitosan yang rendah diperlukan dalam industri makanan karena akan mempermudah difusi kitosan ke dalam bahan pangan (Renur 2014). Viskositas larutan kitosan akan bertambah dengan meningkatnya konsentrasi polimer (Hwang dan Shin 2000) dan ukuran partikel kitosan yang kecil akan lebih mudah larut dalam larutan sehingga secara fisik menjadi lebih kental (Suharjo dan Noor 2005). Hal inilah yang menyebabkan semakin banyak kitosan yang ditambahkan dalam larutan maka larutan akan memiliki nilai viskositas yang tinggi pula.

Morfometrik dan Proporsi Bagian Tubuh Ikan Patin (Pangasius sp.) Pengukuran morfometrik dilakukan untuk mengetahui panjang baku, panjang total, tinggi, dan bobot ikan patin. Data hasil pengukuran morfometrik 25 sampel ikan patin disajikan pada Tabel 4.

(32)

14

Tabel 4 Morfometrik ikan patin

Parameter Satuan Nilai

Panjang baku cm 29,94±1,99

Panjang total cm 35,92±1,55

Tinggi cm 8,99±0,11

Bobot ikan g 491,64±10,78

Perhitungan proporsi bagian tubuh ikan dilakukan untuk mengetahui porsi bahan baku yang dapat dimanfaatkan. Rendemen merupakan bagian dari suatu bahan baku yang dapat diambil dan dimanfaatkan (biasanya dinyatakan dalam persen). Tubuh ikan patin terdiri dari daging, kulit, jeroan, kepala, dan tulang. Proporsi masing-masing bagian tubuh ikan patin disajikan pada Gambar 3. Ningsih (2011) menyatakan bahwa rendemen fillet dari ikan patin mencapai 38,56% dan rendemen tertinggi terdapat pada tulang dan kepala, yaitu sebesar 43,28%.

Gambar 3 Proporsi bagian tubuh ikan patin

Komposisi Kimia Fillet Ikan Patin Skin On

Komposisi kimia fillet ikan berbeda-beda tergantung jenis ikan, perbedaan spesies, dan antar bagian tubuh dari satu individu ikan. Thammapat et al. (2010) menyatakan bahwa komposisi kimia ikan patin dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya pakan, umur, musim, dan tempat budidaya. Komposisi kimia fillet ikan patin skin on dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi kimia fillet ikan patin skin on

Senyawa Jumlah (%)

Air 79,6 ±0,41

Abu 1,38±0,00

Lemak 2,40±0,19

Protein 13,56±0,52

Karbohidrat (by different) 3,06±0,30

33,8% Daging

8,26% Jeroan 50,05%

Tulang, kepala, sirip

(33)

15

Komponen terbesar pada fillet ikan patin skin on adalah air yakni sebesar 79,6%. Kadar air sangat berpengaruh terhadap daya tahan dan kesegaran fillet ikan patin. Suryaningrum et al. (2010) menyatakan bahwa kadar air dapat mempengaruhi tekstur sehingga menyebabkan tekstur ikan menjadi lembek.

Protein pada ikan merupakan target utama dari enzim-enzim protease. Naiu (2011) menyatakan bahwa pelunakan daging ikan disebabkan oleh

melemahnya jaringan ikat. Unsur-unsur pokok jaringan ikat lebih cepat berubah daripada degradasi protein seperti myosin dan actinin yang bertanggung jawab terhadap kecepatan pelunakan daging ikan segar selama penyimpanan dingin.

Organoleptik Fillet Ikan Patin Skin On pada Penyimpanan Suhu Chilling Hari ke 0, 2, dan 5

Kenampakan

Parameter utama untuk menentukan tingkat kesegaran ikan adalah kenampakan daging. Perubahan sensori dari fillet ikan sangat berkaitan dengan tingkat kesegaran ikan tersebut (Viji et al. 2014). Hasil pengamatan organoleptik terhadap kenampakan fillet ikan patin skin on dengan perlakuan konsentrasi larutan kitosan dan waktu perendaman pada penyimpanan suhu chilling disajikan pada Gambar 4.

Kenampakan fillet ikan patin skin on yang dilapisi maupun tidak dilapisi edible coating kitosan pada penyimpanan hari ke-0 hingga penyimpanan hari ke-2 masih segar dengan nilai berkisar antara 7-9 dan sesuai dengan SNI 01-2346-2006. Penggunaan kitosan sebagai edible coating mampu mempertahankan nilai organoleptik fillet ikan patin skin on jika dibandingkan dengan fillet ikan tanpa coating.

Fillet ikan mengalami penurunan nilai kenampakan seiring dengan waktu penyimpanan. Siska et al. (2012) menyatakan bahwa penurunan nilai tersebut terjadi karena adanya perubahan-perubahan secara fisik, kimiawi dan mikrobiologi. Kenampakan fillet ikan patin skin on yang dilapisi larutan kitosan 2% tidak berbeda dengan fillet pada penyimpanan awal. Berdasarkan uji Kruskal Wallis, fillet yang dilapisi dengan larutan kitosan 2% pada penyimpanan hari ke-2 dan ke-5 berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (p>0,05) (Lampiran 5 dan 6). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi konsentrasi kitosan maka semakin baik pula senyawa antimikroba kitosan dalam menghambat dan melindungi fillet ikan patin. Suptijah et al. (2008) menyatakan bahwa larutan kitosan berfungsi sebagai edible coating yang mampu mempertahankan nilai organoleptik kenampakan daging fillet ikan patin dibandingkan dengan perlakuan tanpa kitosan.

(34)

16

nilai organoleptik tertinggi terdapat pada ikan yang dilapisi dalam larutan kitosan 0,5%. Suptijah et al. (2008) menyatakan bahwa nilai organoleptik kenampakan daging fillet ikan patin tanpa perlakuan kitosan (0%) pada penyimpanan jam ke-18 menunjukkan nilai terendah dibandingkan dengan kenampakan daging fillet ikan dengan perlakuan konsentrasi larutan kitosan 1,5% dan 3%. Kitosan yang melapisi fillet ikan mampu melindungi fillet dari kontaminasi dan meminimalkan interaksi yang terjadi antara fillet dengan lingkungan. Lapisan edible yang terbentuk pada permukaan fillet dapat memperpanjang masa simpan dengan cara

menahan laju respirasi, transmisi, dan pertumbuhan mikroba (Suptijah et al. 2008).

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Gambar 4 Nilai organoleptik kenampakan fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5

Bau

(35)

17

yang segar dan spesifik jenis sedangkan bau fillet ikan yang sudah busuk memiliki bau amoniak yang keras dan berbau busuk (BSN 2006). Hasil pengamatan organoleptik terhadap bau fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling disajikan pada Gambar 5.

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Gambar 5 Nilai organoleptik bau fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5

Bau fillet ikan patin masih sangat segar pada awal penyimpanan. Fillet ikan patin skin on yang dilapisi kitosan 1% dan 2% memiliki nilai organoleptik bau yang berbeda nyata dibandingkan dengan fillet yang dilapisi dengan larutan kitosan 0% (asam asetat) dan kontrol pada penyimpanan hari ke-2 dan ke-5 (p<0,05) (Lampiran 7 dan 8).

(36)

18

tidak diinginkan serta adanya kerusakan asam amino dengan senyawa karbonil hasil oksidasi lemak menyebabkan terbentuknya pigmen coklat dan bau tengik yang mencolok (Rosari et al. 2014). Edible coating kitosan yang diaplikasikan pada fillet ikan dapat memperlambat perubahan biokimia (Dutta et al. 2009) dan menghambat senyawa volatil yang menyebabkan bau busuk yang tidak disukai panelis (Alparis et al. 2015).

Tekstur

Parameter tekstur berkaitan dengan kekompakan daging fillet ikan yang diamati. Fillet ikan yang segar memiliki tekstur yang elastis, padat, dan kompak sedangkan tekstur fillet ikan yang sudah busuk memiliki tekstur yang sangat tidak elastis (BSN 2006). Hasil pengamatan organoleptik terhadap tekstur fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling disajikan pada Gambar 6.

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Gambar 6 Nilai organoleptik tekstur fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5

(37)

19

kitosan 2% memiliki nilai tekstur yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya pada penyimpanan hari ke-2 dan ke-5 (p<0,05) (Lampiran 9 dan 10).

Nilai organoleptik fillet ikan kontrol berbeda nyata dengan fillet ikan yang dicelupkan dalam larutan kitosan 1 menit dan 3 menit (p<0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa fillet tanpa perendaman dalam larutan kitosan mengalami kemunduran mutu yang lebih cepat dibandingkan fillet yang dilapisi dengan larutan kitosan. Hal ini sesuai dengan penelitian Gustini et al. (2014) bahwa tekstur ikan kembung yang dilapisi dengan larutan kitosan 1% mengalami penurunan nilai organoleptik tekstur terendah dan kenaikan tertinggi pada ikan kembung yang dicelupkan dalam akuades. Suptijah et al. (2008) menyatakan bahwa nilai organoleptik yang lebih rendah pada fillet ikan patin tanpa perlakuan kitosan menunjukkan bahwa fillet tersebut mengalami proses kemunduran mutu yang lebih cepat dibandingkan fillet dengan perlakuan kitosan (1,5% dan 3%).

Nilai organoleptik fillet ikan patin skin on cenderung mengalami penurunan pada masa simpan. Penurunan nilai organoleptik yang cepat menunjukkan ikan telah mengalami pembusukan yang menyebabkan tekstur ikan tidak kompak, daging ikan menjadi lembut dan lunak. Hal ini disebabkan adanya proses autolisis yang menimbulkan perubahan pada daging ikan (Waryani et al. 2014).

Pengamatan organoleptik pada fillet ikan patin skin on meliputi parameter kenampakan, bau, dan tekstur. Fillet ikan disimpan pada suhu chilling (4oC). Perubahan sensori dari fillet ikan sangat berkaitan dengan tingkat kesegaran ikan (Viji et al. 2014). Deskripsi hasil organoleptik kemunduran mutu fillet ikan patin skin on dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Deskripsi hasil organoleptik kemunduran mutu fillet ikan patin skin on

Kenampakan Bau Tekstur

Pre Rigor Daging berwarna putih, cemerlang, bersih, rapi, menarik dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis berwarna merah cerah dan tidak terbelah

Bau sangat segar, spesifik jenis

Elastis, padat dan kompak

Rigor Mortis Daging berwarna putih, kurang cemerlang, bersih,

(38)

20

larutan kitosan 2%. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian larutan kitosan data menambah umur simpan ikan selama tiga hingga lima hari.

Derajat Keasaman (pH) Fillet Ikan Patin Skin On pada Penyimpanan Suhu Chilling Hari ke 0, 2, dan 5

Nilai derajat keasaman (pH) merupakan salah satu indikator yang diukur untuk menentukan tingkat kesegaran hasil perikanan secara kimiawi. Perubahan nilai pH pada fillet ikan patin skin on pada fase kemunduran mutu dapat disebabkan karena adanya produksi asam laktat dari penguraian glikogen serta adanya penurunan jumlah ATP sehingga pH daging ikan akan menurun dan jaringan otot tidak mampu untuk mempertahankan fleksibilitasnya (kekenyalan). Pengujian pH dilakukan untuk mengetahui kenaikan atau penurunan pH pada penyimpanan suhu chilling. Pengaruh konsentrasi kitosan dan waktu pencelupan terhadap nilai pH fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5 disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Pengaruh konsentrasi kitosan dan waktu perendaman terhadap nilai pH fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5

Perlakuan Nilai pH pada penyimpanan hari ke-

0 2 5 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan

nilai yang berbeda nyata

Fillet ikan patin skin on mengalami perubahan nilai pH pada penyimpanan hari ke 0, 2, dan 5. Nilai pH fillet ikan pada kolom yang berbeda mengalami penurunan pada penyimpanan hari ke-2 dan mengalami peningkatan pada hari ke-5. Peningkatan nilai pH disebabkan karena kerja enzim proteolitik dan aktivitas bakteri yang cepat pada fillet ikan patin serta kandungan glikogen dalam fillet ikan karena proses kematian. Peningkatan tersebut diduga terjadi karena adanya peningkatan aktivitas bakteri pengurai senyawa nitrogen non protein yang menghasilkan basa volatil (Wibowo et al. 2014) sehingga ikan menjadi bersifat lebih basa (Ritanto et al. 2014). Peningkatan pH merupakan indikasi terjadinya penurunan kualitas karena semakin tinggi pH maka kesempatan mikrob untuk merusak akan semakin besar (Silvia et al. 2014).

(39)

21

berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (p<0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa fillet ikan yang dilapisi edible coating kitosan 2% dengan waktu perendaman 3 menit menunjukkan perubahan pH yang lebih lambat dibandingkan dengan fillet ikan lainnya. Indrasti et al. (2012) menyatakan bahwa kitosan adalah bahan alami yang aman digunakan untuk memperpanjang kesegaran ikan dan memiliki kemampuan sebagai antimikroba. Goy et al. (2009) menyatakan bahwa kitosan memiliki polikation yang dapat berikatan dengan muatan negatif dari membran sel bakteri melalui interaksi elektrostatik, sehingga mempengaruhi permeabilitas membran sel dan mengakibatkan terjadinya kebocoran bahan-bahan intraseluler yakni enzim, protein, materi genetik, dan lain-lain.

Hasil penelitian ini sesuai dengan Suptijah et al. (2008) bahwa nilai pH fillet ikan patin yang dilapisi dalam larutan kitosan 0% menunjukkan nilai tertinggi dan terendah pada fillet ikan perendaman larutan kitosan 3%. Soares et al. (2013) menyatakan bahwa fillet beku ikan salmon yang dilapisi dengan kitosan memiliki nilai pH yang lebih rendah dibandingkan dengan sampel yang dilapisi dengan air dan kontrol sehingga fillet salmon dengan penambahan kitosan mengalami kemunduran mutu yang lebih lama dibandingkan perlakuan lainnya.

Total Volatile Base (TVB) Fillet Ikan Patin Skin On pada Penyimpanan Suhu Chilling Hari ke 0, 2, dan 5

Uji total volatile base merupakan salah satu metode pengukuran untuk menentukan kesegaran ikan. Prinsip pengujian TVB yaitu untuk menguapkan senyawa-senyawa basa seperti amoniak, trimetilamin, dan senyawa volatil lainnya yang menguapdan terbentuk karena adanya penguraian protein dan asam-asam amino yang terdapat pada daging ikan. Angka TVB menunjukkan miligrams N tiap 100 g fillet (Utami et al. 2013). Hasil pengujian nilai TVB fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5 disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Pengaruh konsentrasi kitosan dan waktu perendaman terhadap nilai TVB fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5

Nilai TVB pada penyimpanan hari ke-

Perlakuan 0 2 5 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan

nilai yang berbeda nyata

(40)

22

nyata dengan perlakuan lainnya (p<0,05) (Lampiran 17). Hal ini diduga karena adanya penguraian senyawa makromolekul kompleks menjadi senyawa lebih sederhana yang mudah menguap. Kadar TVB akan meningkat seiring dengan pertumbuhan mikroba. Aktivitas mikroba akan memecah protein dan senyawa yang mengandung nitrogen untuk pertumbuhannya. Yasni et al. (2004) menyatakan jumlah mikroba yang semakin meningkat mengakibatkan semakin banyak senyawa volatil bernitrogen yang terbentuk dan terukur sebagai volatil base.

Nilai TVB 30 mgN/100g merupakan batas aman produk ikan segar (BSN 2006) sehingga fillet ikan patin skin on dapat diterima oleh konsumen hingga penyimpanan hari ke-5. Fillet ikan patin skin on yang dilapisi larutan kitosan 2% selama 3 menit memiliki kadar TVB yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya (p<0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa edible coating kitosan dapat memperlambat terjadinya proses kemunduran mutu pada fillet ikan patin skin on. Hal ini sesuai dengan penelitian Soares et al. (2008) bahwa fillet beku salmon yang dilapisi dalam larutan kitosan 0,75% pada penyimpanan minggu ke-14 memiliki nilai TVB terendah sebesar 5,31 mg N/100g dan tertinggi pada kontrol 8,80 mg N/100g sehingga dapat disimpulkan bahwa larutan kitosan dapat menghambat proses kemunduran mutu pada fillet ikan.

Total Plate Count (TPC) pada Fillet Ikan Patin Skin On pada Penyimpanan Suhu Chilling Hari ke 0, 2, dan 5

Perubahan biokimia dan proses kemunduran mutu pada fillet ikan terjadi karena adanya kegiatan autolisis, kimiawi, dan bakterial. Jumlah mikroba yang terdapat pada fillet ikan patin selama proses kemunduran mutu dapat dilakukan sebagai penentu mutu kesegaran fillet. Jumlah total mikroba pada tiap fase kemunduran mutu fillet ikan patin dapat dilakukan dengan perhitungan total plate count. Nilai log TPC pada fillet ikan patin skin on dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Pengaruh konsentrasi kitosan dan waktu perendaman terhadap nilai log

TPC fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling hari ke 0, 2, dan 5

Nilai log TPC pada penyimpanan hari ke-

Perlakuan 0 2 5 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan

nilai yang berbeda nyata

(41)

23

mutu untuk ikan segar adalah sebesar 5,0x105 unit koloni/gram atau 5,7 log CFU/gram (BSN 2006) sehingga fillet ikan patin skin on masih layak untuk dikonsumsi hingga penyimpanan hari ke-2.

Konsentrasi larutan kitosan, waktu perendaman, dan interaksi antara keduanya berpengaruh pada nilai log TPC fillet ikan patin skin on pada penyimpanan hari ke-0 dan hari ke-5. Konsentrasi kitosan pada fillet ikan yang dilapisi larutan kitosan 2% berbeda nyata dengan perlakuan lainnya pada penyimpanan hari ke-0 (p<0,05) (Lampiran 20). Fillet ikan yang dilapisi kitosan 2% selama 3 menit pada hari ke-5 tidak berbeda dengan fillet yang dilapisi kitosan 1% selama 3 menit (p>0,05) (Lampiran 23).

Kong et al. (2010) menyatakan bahwa gugus amino kationik (NH3+) yang

dimiliki kitosan mampu berkorelasi erat dengan karakteristik permukaan sel mikroba yang bermuatan negatif, sehingga mengakibatkan depolarisasi membran seluler mikroba sebagai akibat terganggunya integritas dinding sel dari hubungan kedua molekul yang menyebabkan kematian bagi mikroba. Aider (2010) menyatakan bahwa kitosan adalah polisakarida kationik yang unik di alam yang memiliki kekhususan untuk mengikat dinding sel bakteri melalui interaksi elektrostatikdan dapat menyebabkan kerusakan oleh adanya gangguan zat terlarut atau transportasi nutrisi ke sel.

Penambahan kitosan dan penggunaan asam asetat mampu menghambat pertumbuhan mikroba pada fillet ikan patin skin on dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Suptijah et al. (2008) menyatakan bahwa fillet ikan patin yang dilapisi larutan kitosan 3% memiliki jumlah total bakteri paling sedikit yaitu sebesar 8,23x106 unit koloni/g pada penyimpanan jam ke-18 sedangkan total bakteri paling banyak adalah pada fillet ikan patin tanpa larutan kitosan sebesar 7,15x107 unit koloni/g sampel. Murtini dan Kusmarwati (2006) menyatakan bahwa konsentrasi kitosan 0,50% dan 0,75% mampu menurunkan jumlah bakteri pada cumi-cumi.

Penggunaan asam asetat pada perendaman fillet ikan patin skin on juga dapat menekan pertumbuhan mikroba. Elena dan Barbara (2014) menyatakan bahwa penambahan zat preservatif asam asetat pada bahan dapat memperpanjang masa simpan dan mencegah kerusakan pada bahan pangan. Kondisi derajat asam yang rendah serta banyaknya persentase molekul asam organik yang tidak terdisosiasi akan meningkatkan kemampuan sebagai antimikroba. Antimikroba dari asam organik dapat mengganggu metabolisme sel mikroba atau dapat menurunkan aktivitas biologi dari mikroba karena adanya perubahan pH dalam sel.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

(42)

24

memenuhi persyaratan SNI 01-2696-2006 untuk dikonsumsi hingga penyimpanan hari kedua.

Saran

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menganalisis setiap fase kemunduran mutu fillet ikan patin skin on dengan menggunakan analisis histologi.

DAFTAR PUSTAKA

Agusnar H. 2010. Penggunaan kitosan dari tulang rawan cumi-cumi (Loligo pealli) untuk menurunkan kadar ion logam. Jurnal Sains Kimia 11(1):15-20. Aider M. 2010. Chitosan application for active bio-base films production and potential in the food industry: Review. Food Science and Technology 43:837-842.

Alparis A, Edison, Sumarto. 2015. Kajian kemunduran mutu ikan jelawat (Leptobarbus hoevenii) segar dengan perendaman dalam larutan kitosan. Jurnal Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau 1(1):1-12.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. SNI 01-2891-1992. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. Cara Uji Viskositas Larutan. SNI 06-4558-1988. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. Uji Organoleptik Ikan Segar. Standar Nasional Indonesia 01-2345-2006. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Cara Uji Kimia Bagian 3: Penentuan Kadar Total Volatil Base Nitrogen (TVB-N) dan Trimetil Amin Nitrogen (TMA-N) pada Produk Perikanan. SNI 2354.8:2009. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2013. Kitosan-Syarat Mutu dan Pengolahan SNI 7949:2013. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.

Bourtoom T. 2008. Edible films and coatings characteristics and properties. International Food Research Journal 15(3): 237-248.

Butler BL, Vergano PJ, Testin RF, Bunn JM, Wiles JL. 1996. Mechanical and barrier properties of edible chitosan films as affected by composition and storage. Journal of Food Science 61(5):953–955.

[CAC] Codex Alimentarius Comitte. 2012. Code of Practice for Fish and Fishery Products Second Edition. Rome (IT): FAO.

(43)

25

Domszy JG, Roberts GAF. 1985. Evaluation of infrared spectroscopic techniques for analyzing chitosan. Macromolecul Chemistry 186:1671-1677.

Dutta PK, Shipra T, Mehrotra, Joydeep D. 2009. Perspectives for chitosan based antimicrobial films in food applications. Food Chemistry 114:1173-1182. Effendi I. 1997. Biologi Perikanan. Jakarta (ID): Yayasan Pustaka Nusatama. Elena GF, Barbara H. 2014. Efficacy of acetic acid against Listeria

monocytogenes attached to poultry skin during refrigerated storage. Foods 3:528-540.

Farihin FM, Irawan WW, Sri S. 2015. Studi penurunan COD, TSS, dan turbidity dengan menggunakan kitosan dari limbah kerang hijau (Perna viridis) sebagai biokoagulan dalam pengolahan limbah cair PT. Sido Muncul Tbk, Semarang. Jurnal Teknik Lingkungan 4(1):1-9.

Fitriah H, Mahatmanti FW, Wahyuni S. 2012. Pengaruh konsentrasi pada pembuatan membran kitosan terhadap selektivitas ion Zn (II) dan Fe (II). Indonesian Journal of Chemical Science 1(2): 104-109.

Goy RC, Douglas B, Odilio BGA. 2009. A review of the antimicrobial activity of chitosan. Journal of Polymer 19:1-7.

Gustini, Siti K, Ari HY. 2014. Kualitas ikan kembung (Rastrelliger kanagurta) setelah perendaman dalam kitosan ditinjau dari aspek mikrobiologi dan organoleptik. Protobiont 3(2): 100-105.

Hargono, Abdullah, Indro S. 2008. Pembuatan kitosan dari limbah cangkang udang serta aplikasinya dalam mereduksi kolesterol lemak kambing. Reaktor 12(1):53-57.

Hastuti S. 2010. Analisis kualitatif dan kuantitatif formaldehid pada ikan asin di Madura. Agrointek 4(2):132-137.

Hutagalung SP. 2009. Menggali potensi produk perikanan Indonesia. Food Review 4(8): 10-13.

Hwang JK, Shin HH. 2000. Rheological properties of chitosan solutions. Korea- Australia Rheology Journal 12: 175–179.

Indrasti NS, Suprihatin, Wahyu KS. 2012. Kombinasi kitosan-ekstrak pala sebagai bahan antibakteri dan pengawet alami pada fillet kakap merah (Lutjanus sp.). Jurnal Teknologi Industri Pertanian 22(2):122-130.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2014 (Marine and Fisheries In Figures 2014). Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Kong M, Chen XG, Xing K, Park H. 2010. Antimicrobial properties of chitosan and mode of action: A state of the art review. International Journal of Food Microbiology 144(1): 51-63.

(44)

26

disimpan pada suhu dingin [skripsi]. Surakarta (ID): Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.

Maharani DK, Sari EC, Amaria, Rusmini. 2012. Preparasi dan karakterisasi nano komposit kitosan-silika dan kitosan-silika titania. Jurnal Manusia dan Lingkungan 19(1):52-55.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor (ID): IPB Press.

Mohan CO, Ravishankar CN, Lalitha KV, Srinivas G. 2012. Effect of chitosan edible coating on the quality of double filleted Indian oil sardine (Sardinella longiceps) during chilled storage. Food Hydrocolloids 26: 167-174.

Modaso R, Edi S, Trina T, Inneke FMR. 2013. The yield, nitrogen content, and

dye’s binding capacity of chitin and chitosan of rotifer Brachionus

rotundiformis.Aquatic Science and Management 1(1):99-106.

Montgomery DC. 1997. Design and Analysis of Experiment Fifth Edition. New York (US): John Wiley and Sons.

Murtini TJ, Kusmawarti A. 2006. Pengaruh perendaman cumi-cumi segar dalam larutan kitosan terhadap daya awetnya selama penyimpanan pada suhu kamar. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 1(2): 160-161.

Naiu AS. 2011. Perkembangan terkini perubahan selama penurunan mutu ikan basah. Saintek 6(2):1-12.

Ningsih SG. 2011. Analisis asam lemak dan pengamatan jaringan daging fillet ikan patin (Pangasius hypophthalmus) akibat penggorengan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Pitriani P. 2010. Sintesis dan aplikasi kitin dari cangkang rajungan (Portunus

pelagicus) sebagai penyerap ion besi (Fe) dan mangan (Mn) untuk pemurnian natrium silikat [skripsi]. Jakarta (ID): Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Putri AGS, Tri WA, Laras R. 2014. The effect of aloe vera extract to prevent lipid oxidation of milkfish (Chanos chanos Forsk) during cold storage. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan 3(2): 11-16.

Quintavalla S, Vicini L. 2002. Antimicrobial food packaging in meat industry. Meat Science 62: 373–380.

Rakhmawati E. 2007. Pemanfaatan kitosan deasetilasi kitin cangkang bekicot sebagai adsorben warna remazol yellow [skripsi] Surakarta (ID): Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret.

Ramasamy P, Annaian S. 2014. Characterization and wound healing property of collagen-chitosan film from Sepia kobiensis. Journal of Biological Macromoleculs 4:1-10.

Gambar

Gambar 1  Diagram alir penelitian daya hambat edible coating kitosan terhadap kualitas fillet ikan patin skin on pada penyimpanan suhu chilling
Tabel 1 Karakteristik kitosan bahan penelitian dan standar
Gambar 2 Spektra FTIR kitosan
Tabel 3 Nilai viskositas kitosan berdasar perbedaan konsentrasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karena pendidikan kecakapan hidup dalam kurikulum lokal Bandung Masagi bukan mata pelajaran sehingga dalam pelaksanaannya tidak perlu merubah kurikulum nasional untuk menciptakan

Misalnya hujan rencana dengan periode ulang 5 tahun (Xs):10 mm, tidak berarti hujan sebesar 10 mm akan terjadi secara periodik 1 kali setiap 5 tahun, melainkan setiap

Berdasarkan hasil dari uji morfologi yang dilanjutkan uji biokimia dan identifikasi maka didapatkan tiga genus bakteri yang toleran terhadap fungisida mankozeb

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengembangan worksheet berorientasi guided inquiry valid dan efektif untuk melatih dan membentuk habits of mind

Hasil penelitian di perairan Muara Sungai Rokan Kecamatan Bangko dan Kecamatan Batu Hampar Kabupaten Rokan Hilir dapat menunjukkan tidak ada perbedaan yang

Kaupan toimipaikat olivat selvästi teollisuustoimi- paikkoja alttiimpia rikoksille sekä rikosmäärillä mitattu- na että sen perusteella, kuinka moni toimipaikoista oli vuoden

Namun, hasil penelitian di- luar negeri telah menunjukkan bahwa enzim GST ter- libat dalam mekanisme resistensi terhadap insektisida piretroid pada populasi WBC yang