• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Netralisasi Antibodi Spesifik Avian Influenza H5 Terhadap Beberapa Virus H5N1 Isolat Lapang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kemampuan Netralisasi Antibodi Spesifik Avian Influenza H5 Terhadap Beberapa Virus H5N1 Isolat Lapang"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

VIRUS H5N1 ISOLAT LAPANG

ANDRIJANTO HAUFERSON ANGI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

ANDRIJANTO HAUFERSON ANGI. Neutralization Ability of Specific Antibody

of Avian Influenza H5 to Several Viruses of H5N1 Field Isolates. Under direction of I Wayan Teguh Wibawan and Sri Murtini.

Avian Influenza (AI) is well known as Avian flu, Fowl pest, Fowl plaque, or Flu burung, caused by influenza virus type A. This virus is belonged to Orthomyxoviridae and could infect many kind of species such as bird, pig, horse, cat, as well as human. Vaccination is applied to control the disease using inactivated vaccine, which induced the specific antibody against H5 antigen. Passive immunization using specific antisera against H5 antigen is thought to be usefull in controlling the disease especially in the treatment of infected host. In this experiment the neutralization ability of specific antisera against H5 were studied using various field viral isolates subtype H5N1. Antisera was developed in Cavia porcellus which vaccinated with AI subtype H5N1 in activated vaccine. The titre of antisera obtained is 28 used HI test. Four AI virus subtype H5N1 isolates from 2003 to 2006 agains viral were we as tested virus. The neutralization test showed that the sera were able to neutralizing 10 4 EID50 AI virus H5N1 with neutralization index range between 1,1–

1,3. The result indicated that the specific antisera had the neutralization potency to the field virus.

(3)

Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tampa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, menuliskan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB

(4)

KEMAMPUAN NETRALISASI ANTIBODI SPESIFIK

AVIAN INFLUENZA H5 TERHADAP BEBERAPA

VIRUS H5N1 ISOLAT LAPANG

ANDRIJANTO HAUFERSON ANGI

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Megister Sains pada

Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Isolat Lapang

Nama : Andrijanto Hauferson Angi

NIM : B151060011

Program Studi : Sains Veteriner

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Drh. I Wayan T. Wibawan, MS Dr. Drh. Sri Murtini, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Sains Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana

Drh. Bambang Pontjo P., MS, Ph.D Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 3 September 2008 Tanggal Lulus :

(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan

berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang

berjudul Kemampuan Netralisasi Antibodi Spesifik Avian Influenza H5 Terhadap

Beberapa Virus H5N1 Isolat Lapang.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Dr. I Wayan Teguh Wibawan, MS . selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr.

Drh. Sri Murtini M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas waktu, saran,

nasehat, kesempatan, serta bimbingannya.

2. Drh. Bambang Pontjo P, MS, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Sains

Veteriner.

3. Prof. Dr.Drh. Retno D.Soejoedono, MS, selaku Dosen Penguji Luar

4. Teman-teman Program Studi Sains Veteriner ( Mr. Jack, Pak Adji, Pak Agung,

Bu Ketut, Bu Sovi, Pak Muharam, Pak Nyoman, Pak Mustafa, Kalbe grup)

5. Teknisi Bagian Mikrobiologi Medis Laboratorium Virologi dan Imunologi

FKH IPB (Lukman, Wahyu, Ifan)

6. Orang tua tercinta dan keluarga atas doa serta bantuan dan motivasinya

7. Ai dan Kedua anakku tercinta (Luki dan Putri) atas doa dan kasih sayangnya

Bogor, Agustus 2008

(7)

Penulis dilahirkan di Kupang, 20 April 1972 dari ayah Drs. Ayub Angi dan

ibu Ny. Agusthina Angi-Takain. Penulis merupakan anak kelima dari sembilan

bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan dasar sampai menengah atas di Kota Kupang

Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penulis Menempuh Pendidikan S1 dan Pendidikan

Profesi Dokter Hewan di Fakultas Kodekteran Hewan IPB. Tahun 2000 hingga 2002

penulis bekerja di Jakarta pada PT. Hannachemia Suginra dan PT. Paeco Agung.

Bulan Desember Tahun 2002 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar

di Politeknik Pertanian Negeri Kupang. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan

pendidikan S2 pada Program Studi Sains Veteriner, Sekolah Pascasarjana, Institut

(8)

RINGKASAN

ANDRIJANTO HAUFERSON ANGI. Kemampuan Netralisasi Antibodi Spesifik Avian Influenza H5 Terhadap Beberapa Virus H5N1 Isolat Lapang. Dibimbing oleh

IWAYAN TEGUH WIBAWAN dan SRI MURTINI.

Penyakit Avian Influenza (AI) yang disebut juga Flu burung, Fowl pest, Fowl plaque, atau Avian flu adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Virus ini berasal dari kelompok famili Orthomyxoviridae. Di Indonesia, sejak tahun 2003 hingga tahun 2008 sudah 31 propinsi di Indonesia dari 33 propinsi terserang wabah penyakit ini, 26 di antaranya merupakan daerah endemis.

Tindakan pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap penyakit Avian influenza melalui vaksinasi. Selain memberikan kekebalan pada hewan vaksinasi juga dapat menyebabkan tekanan terhadap virus sehingga mengurangi peluang terjadinya mutasi alami atau reassortment melalui pengurangan jumlah virus yang bersirkulasi.

Vaksinasi merupakan tindakan pengebalan secara aktif terhadap hewan atau manusia. Tindakan pengebalan selain secara aktif dapat juga dilakukan secara pasif. Pengebalan secara pasif adalah pemberian zat kebal (antibodi) secara langsung pada hewan atau inang. Pengebalan pasif dapat bertindak sebagai terapi bagi penderita suatu penyakit seperti pada kasus tetanus.

Berbagai isolat lapang yang diperoleh serta diteliti, memperlihatkan bahwa isolat virus unggas yang dikumpulkan selama wabah Avian influenza yang berlangsung tahun 2003, 2004 dan 2005 dari berbagai daerah tertular di Indonesia masih berada dalam satu cluster yang sama. Hasil pemetaan gen dapat diketahui bahwa virus H5N1 pada unggas di Indonesia selama ini belum menunjukkan indikasi mengalami mutasi yang nyata. Belum adanya perubahan genetik yang drastis (mutasi) dari virus Avian influenza H5N1 yang ada di Indonesia memberi peluang bagi dilakukannya penelitian kemampuan netralisasi antibodi anti virus H5N1 serta kemungkinan penggunaannya sebagai imun terapi bagi penyakit Avian influenza.

Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi antibodi anti H5 (Ab anti H5) dan mengetahui kemampuan netralisasi antibodi tersebut terhadap berbagai isolat lapang. Penelitian dilaksankan dalam 4 tahap yaitu titrasi virus dengan uji Hamaglutinasi dan Uji Egg Infectious Dose50 (EID 50), produksi antibodi terhadap avian influenza H5N1

(Ab anti H5), identifikasi dan titrasi antibodi dengan uji AGP dan uji penghambatan agglutinasi serta uji Netralisasi menggunakan prosedur ß untuk mengetahui kemampuan netralisasi antibodi terhadap virus isolat lapang.

Hasil titrasi menunjukkan bahwa isolat lapang yang dimiliki FKH IPB sejak tahun 2003 –2006 mempunyai titer antara 28 - 29 HAU / 25 ul dan 10 8,3 – 10 11,8 EID

50/ml. Hasil tersebut menunjukkan bahwa virus koleksi FKH IPB memiliki titer dan

viabilitas yang tinggi sehingga layak digunakan dalam pengujian.

(9)

terbentuk cukup tinggi mencapai 29 dengan uji HI.

Hasil uji netralisasi menunjukkan Indeks Netralisasi dari Ab yang diperoleh terhadap virus isolat tahun 2003 – 2006 adalah 1,1 – 1,3. Berdasarkan hasil uji netralisasi terlihat bahwa antibodi anti H5 yang diproduksi memiliki kemampuan menetralisasi virus uji. Isolat tahun 2003 , tahun 2005 dan tahun 2006, antibodi anti H5 dapat menetralisasi 50% virus dengan titer 104 EID50 pada pengenceran 1:20,

sedangkan terhadap virus AI H5N1 isolat tahun 2004, Ab dapat menetralisasi pada pengenceran 1:13. Penelitian ini menunjukkan bahwa antibodi anti H5 (antisera) yang diproduksi dapat menetralisasi virus dengan sempurna pada titer 28 . Kemampuan Ab anti H5 asal cavia ini lebih rendah bila dibandingkan dengan kemampuan netralisasi Ab asal unggas. Laporan Riset Unggulan Insentif 2008, Wibawan et al. (2008) menyatakan bahwa IgY asal kuning telur ayam yang bertiter 24 dapat menetralisasi 100% virus isolat 2005. Perbedaan efikasi ini dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu adanya perbedaan konformasi dan konsentrasi antibodi mamalia (IgG) dengan antibodi unggas (IgY). IgG memiliki jumlah antibodi/minggu 200 mg IgG/darah (dalam 40 ml darah) sedangkan IgY 50-100 mg IgY/ telur. Perbedaan lain IgG memiliki jumlah antibodi spesifik 5%, sedangkan IgY hanya 2-10%. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Ab anti H5 yang diproduksi mampu menetralkan virus H5N1 isolat lapang.

(10)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kemampuan Netralisasi Antibodi

Spesifik Avian Influenza H5 Terhadap Beberapa Virus H5N1 Isolat Lapang adalah

karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk

apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Andrijanto Hauferson Angi

(11)
(12)

DAFTAR ISI

...Sifat dan Patogenitas Virus Avian Influenza ……… 6

...Replikasi Virus ………. 7

...Gambaran Klinis ………... 8

...Vaksin dan Vaksinasi Terhadap Penyakit Avian Influenza ... 9

...Antibodi ... 10

...Bentuk Alami Dari Reaksi Antibodi Antigen ... 12

...Imunisasi Pasif ... 13

...Perhitungan Indeks Netralisasi prosedur 21 HASIL DAN PEMBAHASAN ...Titrasi Virus Isolat Uji…... ………. 22

...Produksi Antibodi ... ... 23

...Identifikasi Serum kebal (Antibodi Anti H5)……… 24

...Titrasi Antibodi Anti H5...……… 25

...Uji Netralisasi Virus ...………... 26

(13)
(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perhitungan Endpoint 50% ... ... 19

2 Titer virus Isolat Koleksi dengan Uji HA... 22

3 Titer Virus dengan Uji EID50... 23

4 Waktu Vaksinasi serta Titer Ab anti H5 koleksi... 24

5 Nilai HI test terhadap Isolat Koleksi FKH IPB (Isolat Terpilih)... 25

6 Uji Netralisasi Isolat Tahun 2003 dengan Metode Reed and Muench.... 27

7 Uji Netralisasi Isolat Tahun 2004 dengan Metode Reed and Muench.... 28

8 Uji Netralisasi Isolat Tahun 2005 dengan Metode Reed and Muench.... 29

9 Uji Netralisasi Isolat Tahun 2006 dengan Metode Reed and Muench.... 30

10 Perhitungan titer endpoint 50% isolat 2003... 38

11 Perhitungan titer endpoint 50% isolat 2004... 39

12 Perhitungan titer endpoint 50% isolat 2005... 40

(15)

Halaman

1 Virus Influenza tipe A, B, C ... 4

2 Replikasi Virus Influenza ……….. 8

3 Struktur Antibodi... 11

4 Bentuk alami reaksi antibodi antigen ... 12

5 Reaksi Antibodi – Antigen ... 13

6 Skematik Sistem Imun ... 14

7 AGP ... 25

8 Reaksi aglutinasi hasil uji netralisasi untuk isolat tahun 2003 ... 27

9 Reaksi aglutinasi hasil uji netralisasi untuk isolat tahun 2004 ... 28

10 Reaksi aglutinasi hasil uji netralisasi untuk isolat tahun 2005 ... 29

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Desain Penelitian ……… 37

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit Avian Influenza (AI) yang disebut juga Flu burung, Fowl pest, Fowl

plaque, atau Avian flu adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Virus ini berasal dari kelompok famili Orthomyxoviridae, serta

dapat menginfeksi berbagai macam spesies diantaranya unggas, babi, kuda, serta

manusia (Easterday & Hinshaw 1991). Di Indonesia, sejak tahun 2003 hingga tahun

2008 sudah 31 propinsi di Indonesia dari 33 propinsi, 26 diantaranya adalah endemis.

Tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit Avian Influenza di Indonesia

sesuai dengan rencana dan strategi nasional pengendalian Avian Influenza adalah mencegah penularan dan memutus mata rantai penyebaran virus flu burung sedini

mungkin, melakukan tindakan pengendalian virus pada daerah yang terjangkit, serta

menyediakan dan mengembangkan pembuatan obat antivirus dan vaksin dari benih

virus (seed) Indonesia (Bappenas 2005). Tindakan pencegahan penyakit Avian influenza dapat dilakukan dengan pemberian vaksin. Vaksinasi memberikan peningkatan respon kekebalan aktif. Selain vaksinasi, kekebalan dapat juga diberikan

melalui pemberian zat kebal secara langsung yang dikenal dengan respon kekebalan

pasif. Sebagai contoh pada pemberian serum kebal bagi penderita rabies. Alternatif

pengendalian penyakit yang tertuang dalam rencana strategis pengendalian Avian influenza adalah penelitian pengaruh obat bagi penderita Avian influenza. Pemberian Antibodi langsung dalam bentuk kekebalan pasif dapat dilakukan sebagai alternatif

pencegahan penyakit Avian influenza.

Secara umum, virus influenza dapat mengalami mutasi spontan pada saat

virus memperbanyak diri di dalam sel inang. Beberapa tipe virus influenza dapat

menginfeksi manusia maupun hewan, yaitu virus influenza A, B, dan C. Penggolongan virus influenza didasarkan pada perbedaan Antigenic NP dan M1 dari

masing-masing virus. Tidak seperti virus influenza B dan C, virus influenza A

(18)

2

(pergeseran genetik). Antigenic drift adalah perubahan pada satu titik dari genom virus influenza A, perubahan ini sebagai penyebab wabah flu musiman yang sering

terjadi. Antigenik drift melibatkan perubahan minor antigenik pada HA dan/atau NA,

sedangkan Antigenik shift melibatkan perubahan antigenik mayor pada HA dan/atau NA (Easterday et al. 1997). Antigenic shift adalah perubahan yang lebih besar dari genom virus, meliputi minimal 1 segmen dari 8 segmen virus influenza, perubahan

ini sebagai penyebab terjadinya wabah berkala setiap abad, seperti Pandemi influenza.

Antigenic shift yang dikenal dengan proses reassortasi (reassortment), merupakan

proses terjadinya pemilihan dan pencampuran secara genetis virus dari 2 subtipe virus

berbeda yang berasal dari 2 induk semang berbeda, sehingga terbentuk jenis subtipe

virus baru yang berbeda dengan 2 subtipe induknya (Parent viruses). Subtipe virus

baru ini (reassortant influenza virus) mampu beradaptasi pada jenis makhluk hidup

lain. Antigenic shift dalam hubungannya dengan kemunculan strain virus baru, terjadi

ketika virus membutuhkan gen HA baru (dan NA pada beberapa kasus) mengkode

sebuah protein baru yang memiliki karakteristik antigenik yang baru. Dalam subtipe

viral baru, virus mengalami evolusi di bawah tekanan selektif imunitas inang. Strain

yang mampu tumbuh dan berkembang adalah yang mampu mengakumulasi mutasi

yang cocok pada gen yang mengkode HA. Perubahan asam amino HA berhubungan

dengan perubahan minor sifat antigenik (Both & Sleigh 1981).

Vaksinasi dapat menyebabkan tekanan terhadap virus sehingga mengurangi

peluang terjadinya mutasi alami melalui pengurangan jumlah virus yang bersirkulasi.

Berbagai isolat lapang yang diperoleh serta diteliti, memperlihatkan bahwa isolat

virus unggas yang dikumpulkan selama wabah Avian influenza yang berlangsung tahun 2003, 2004 dan 2005 dari berbagai daerah tertular di Indonesia masih berada

dalam satu cluster yang sama. Studi sekuensing nukleotida menunjukkan bahwa

kebanyakan virus HPAI memiliki ciri-ciri yang sama dalam gen HA pada ayam,

sebagai penanda virulensi (Harder & Werner 2006; Neuman et al. 2003).

Hasil pemetaan gen dapat diketahui bahwa virus H5N1 pada unggas di

Indonesia selama ini belum menunjukkan indikasi mengalami mutasi yang nyata.

(19)

H5N1 yang ada di Indonesia memberi peluang bagi dilakukannya penelitian

kemampuan netralisasi antibodi anti virus H5N1 serta kemungkinan penggunaannya

sebagai imun terapi bagi penyakit Avian influenza.

Tujuan Penelitian

1. Memperoleh Ab anti H5 yang memiliki kemampuan menetralisir isolat virus

AI H5N1 asal lapang

2. Melihat dinamika virus AI H5N1 berdasarkan ekspresi biologis virus

Hipotesis

1. Virus Avian Influenza H5N1 di lapangan di Indonesia belum mengalami perubahan (mutasi) genetik yang drastis berdasarkan perbedaan ekspresi

biologisnya

2. Antibodi terhadap H5N1 yang diperoleh mampu menetralisir virus asal isolat

(20)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Ekologi Avian Influenza

Virus influenza adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau bulat

panjang, merupakan genom RNA rantai tunggal dengan 8 segmen, serta berpolaritas

negatif. Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae dan diklasifikasikan

dalam tipe A, B atau C berdasarkan perbedaan sifat antigenik dari nukleoprotein dan

matrix proteinnya.

Gambar 1. Virus Influenza tipe A, B, C

Berdasarkan sifat antigenisitas glikoprotein, virus influenza dikelompokkan

ke dalam 16 subtipe H (H1-H16) dan 9 subtipe N (N1-N9). Kelompok-kelompok

tersebut ditetapkan berdasarkan analisis filogenetik terhadap nukleotida dan

penetapan sekuen gen-gen HA dan NA melalui cara deduksi asam amino (Fouchier et

al. 2005).

Hemaglutinin merupakan protein yang mengalami glikosilasi dan asilasi

(glycosylated and acylated protein) terdiri dari 562-566 asam amino yang terikat

dalam selubung virus. Bagian distal berbentuk bulat yang berkaitan dengan

kemampuannya melekat pada reseptor sel. Hemaglutinin terdiri dari oligosakharida

(21)

(NA), enzim bertugas melakukan aktivitas enzimatik sialolitik (sialolytic ensymatic

activity) selain itu enzim neuraminidase bertugas melepaskan progeni virus yang terjebak di permukaan sel yang terinfeksi sewaktu dilepaskan. Fungsi ini mencegah

bertumpuknya virus serta memudahkan gerakan virus dalam selaput lendir dari

jaringan epitel sasaran (Matrosivich et al. 2004). Menempelnya virus ke target infeksi

membuat neuroamidase merupakan sasaran yang menarik bagi obat antivirus

(Garman & Laver 2004). Kegiatan yang terkoordinasi dari glikoprotein HA dan NA

dari strain virus tertentu merupakan hal yang penting bagi proses pelekatan dan pelepasan virion (Wagner et al. 2002).

Virion masuk dan menyatu ke dalam sebuah ruang endosom setelah berhasil

melekat pada reseptor yang sesuai (Rust et al. 2004). Dalam ruang endosom, virus

mengalami degradasi dengan cara menyatukan membran virus dengan membran

endosom yang dimediasi oleh pemindahan proton melalui terowongan protein dari

matrix-2 (M2) virus pada nilai pH di endosom sekitar 5,0. Selanjutnya akan terjadi

serangkaian penataan ulang protein matrix-1 (M1) dan kompleks glikoprotein

homotrimerik HA. Hasilnya, terbuka (exposed) sebuah bidang (domain) yang sangat

lipofilik dan fusogenik dari setiap monomer HA yang masuk ke dalam membran

endolisomal, sehingga mulai terjadi fusi antara membran virus dengan membran

lisomal (Wagner et al. 2005). Kedelapan segmen RNA genomik dari virus, yang terbungkus dalam lapisan pelindung protein (ribonucleoprotein complex, RNP)

nukleokapsid (N), dilepaskan ke dalam sitoplasma. Di sini mereka disalurkan ke

nukleus untuk melakukan transkripsi mRNA virus dan replikasi RNA genomik

melalui proses rumit yang diatur oleh faktor virus dan faktor sel (Whitaker et al. 1996). Polimerase yang dependen terhadap RNA (RdRp) dibentuk oleh sebuah

kompleks (gabungan) dari PB1, PB2 dan protein PA virus, serta memerlukan RNA

(RNP) yang terbungkus (encapsidated RNA (RNPs)) untuk hal ini. Setelah terjadi

translasi protein virus dan perangkaian nukleokapsid yang membawa RNA genomik

yang sudah ter-replikasi, virion-virion progeni tumbuh dari membran sel yang di

dalamnya sudah dimasukkan glikoprotein virus sebelumnya. Penataan antara

(22)

6

protein matrix-1 virus (M1) yang membentuk struktur serupa cangkang tepat di

bawah pembungkus virus. Reproduksi virus di dalam sel peka bisa berlangsung

sangat cepat (kurang dari sepuluh jam). Proses ini akan efisien, apabila gen optimal

tersedia di sana (Rott et al. 1995).

Akibat aktivitas Polimerase yang dependen terhadap RNA (RdRp), virus

mudah mengalami mutasi dan siklus replikasinya cepat. Jika ada tekanan selektif

seperti antibodi penetral, ikatan reseptor yang tidak optimal, atau obat antiviral yang

bekerja selama proses replikasi virus pada inang, dapat menyebabkan terjadi mutan

dengan keunggulan selektif (mis. reseptor terlepas saat proses netralisasi serta

membentuk unit pengikat reseptor baru) dan kemudian menjadi varian yang dominan

dalam spesies virus di dalam tubuh inang. Determinan antigenik dari glikoprotein HA

dan NA yang dipengaruhi oleh mekanisme yang dipicu oleh sistem kekebalan,

prosesnya disebut sebagai Antigenic drift (Fergusson et al. 2003). Sebaliknya, Antigenic shift menunjukkan adanya perubahan mendadak dalam determinan antigenik, yaitu pertukaran subtipe H dan/atau N, dalam satu siklus tunggal replikasi.

Hal ini terjadi dalam sebuah sel yang secara bersamaan terinfeksi oleh dua atau lebih

virus influenza A dari subtipe yang berbeda. Karena distribusi segmen genomik virus

yang sudah tereplikasi ke dalam progeni yang baru tumbuh berlangsung tanpa

tergantung kepada subtipe asal dari tiap segmen, dan dapat muncul progeni yang

berkemampuan untuk bereplikasi membawa informasi genetik dari virus induk yang

berbeda-beda (disebut sebagai reassortant) (Webster & Hulse 2004, WHO 2005).

Sifat dan Patogenitas Virus Avian Influenza

Sifat virus Avian influenza antara lain mengaglutinasi sel darah merah ayam, mudah mengalami mutasi, virus mudah mati di luar sel tubuh ayam (tidak stabil di

lingkungan). Virus ini juga mudah mati oleh panas, kekeringan, sinar ultraviolet,

serta berbagai desinfektan yang umum di lapangan (deterjen, formalin, yodium,

ammonium, kuarterner, hipoklorit, klorin, serta senyawa fenol). Tingkat keganasan

(23)

bentuk yaitu Low Pathogenic AI (LPAI) dan Highly Pathogenic AI (HPAI). Kejadian

LPAI umumnya tidak menunjukkan gejala yang khas atau asimptomatik, misalnya

berupa gangguan pernapasan ringan atau gangguan reproduksi. Kasus HPAI memiliki

ciri-ciri antara lain bersifat sangat kontagius, dapat menimbulkan penyakit

multisistemik dengan mortalitas tinggi. Bentuk HPAI dapat disebakan oleh virus AI

dari beberapa suptipe H5 atau H7, namun penentuan bentuk HPAI tidak didasarkan

pada subtipe H5 atau H7 tetapi sifat keganasan penyakit. Pada setiap wabah, subtipe

H5 atau H7 mempunyai karekteristik internal gene yang mungkin bervariasi. Virus HPAI dapat berasal dari virus LPAI yang bermutasi pada protein permukaan

hemaglutinin (OIE 2005)

Replikasi Virus

Replikasi virus dimulai dengan adsorbsi virus ke reseptor glikoprotein yang

mengandung asam sialic pada permukaan sel. Virus kemudian memasuki sel dengan jalan endositosis melalui reseptor. Kondisi pH rendah dalam endosom, menghasilkan

perubahan konformasi dalam hemaglutinin, yang memperantarai fusi membran.

Nukleokapsid kemudian memasuki sitoplasma dan bermigrasi ke nukleus. Virus

influenza menggunakan mekanisme yang unik untuk menginisiasi transkripsi, yaitu

menggunakan viral transkriptase. Enam mRNA monosistronik dihasilkan dan

ditranslasi menjadi HA, NA, NP dan tiga polimerase (PB1, PB2, dan PA). Melalui

pembelahan mRNA untuk gen NS dan M masing-masing menjadi dua mRNA, yang

ditranslasi dalam reading frame berbeda dan menghasilkan protein NS1, NS2, M1 dan M2. Hemaglutinin dan neuraminiase diglikosilasi dalam retikulum endoplasma

kasar, dilengkapi di dalam badan golgi, ditransportasikan ke permukaan dan melekat

pada membran sel (Easterday et al. 1997).

Syarat penting protein HA dapat bekerja adalah adanya pembelahan oleh

protease sel inang menjadi HA1 dan HA2 yang dihubungkan dengan ikatan disulfida.

(24)

8

dan pemasangan protein viral dan RNA, virus keluar sel dengan jalan menguncup

dari membran plasma (Easterday et al. 1997).

Gambar 2. Replikasi Virus Influenza (Paul 2003)

Gambaran Klinis

Gambaran klinis penyakit Avian influenza (AI) pada unggas bervariasi serta gejalanya sering tidak spesifik, oleh karena itu tidak mungkin untuk menegakkan

diagnosis hanya berdasarkan gambaran klinis. Virus berkembang selama beberapa

hari, tergantung pada karakteristik isolat, dosis inokulum, spesies, dan usia unggas.

Unggas yang menderita AI dapat mengeluarkan virus dalam jumlah yang besar di

kotorannya. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22 0C dan lebih dari 30 hari dalam suhu 30 0C. Di dalam feses unggas dan dalam tubuh unggas yang sakit, virus dapat bertahan lebih lama, tetapi akan mati pada pemanasan

60 0C selama 30 menit (Soejoedono & Handharyani 2005). Gejala klinis infeksi virus AI berpatogenesis rendah tidak terlalu jelas, seperti bulu-bulu kusut, produksi telur

secara perlahan menurun, penurunan berat badan disertai gangguan pernapasan

(25)

strain H9N2 dari garis Asia virus ini telah beradaptasi sehingga menghasilkan replikasi yang efisien dalam unggas, dan menimbulkan gejala klinis yang nyata serta

mengakibatkan kematian secara signifikan. Infeksi virus AI yang patogenitasnya

tinggi, menimbulkan penyakit yang ditandai dengan serangan mendadak dan gejala

hebat serta kematian mendekati 100% dalam jangka waktu 48 jam (Swayne & Suarez

2000). Penyebaran virus dalam kelompok unggas tergantung bentuk pemeliharaannya.

Pada kelompok unggas yang dilepas di tempat kotor dan terjadi hubungan langsung

serta percampuran dengan hewan lain, penyebaran infeksi berlangsung lebih cepat

daripada yang dipelihara dalam kandang. Namun masih diperlukan beberapa hari

untuk terjadinya penularan yang sempurna (Capua et al. 2000). Infeksi virus pada peternakan unggas skala besar, terjadinya penurunan konsumsi air dan makanan yang

drastis dalam waktu singkat. Hal ini dapat menjadi tanda akan adanya penyakit

sistemik. Pada ayam petelur, terhentinya produksi telur sangat nyata. Secara

individual, ayam yang terkena HPAI sering hanya menunjukkan apatis dan imobilitas.

Pembengkakan nampak pada daerah kepala yang tidak ditumbuhi bulu, terjadi

sianosis pada jengger, gelambir dan kaki, diare dengan kotoran berwarna kehijauan,

dan susah bernafas, dapat dijumpai meskipun tidak selalu (inkonsisten). Pada ayam

petelur, awalnya telur yang dihasilkan berkulit lembek, tetapi kemudian produksi

telur berhenti secara cepat sejalan dengan perkembangan penyakit (Elbers et al. 2005).

Gejala sistem saraf termasuk tremaor, tortikolis, dan ataxia mendominasi gambaran

klinis pada spesies yang tidak begitu rentan seperti bebek, angsa, serta burung onta.

Vaksin dan Vaksinasi Terhadap Penyakit Avian Influenza

Vaksinasi bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap timbulnya

penyakit secara klinis. Perlindungan terhadap serangan virus yang virulen, merupakan

perlindungan terhadap ekskresi virus. Vaksinasi yang digunakan saat ini belum ada

yang secara eksperimental memenuhi persyaratan di atas (Lee & Suarez 2005).

Teknologi produksi vaksin untuk penyakit AI saat ini diarahkan ke tiga tipe

(26)

10

vaksin rekombinan homolog. Vaksin konvensional homolog H5N1, memiliki

homologi yang mirip virus lapang sehingga tidak terbentuk mutant akibat tekanan imunologis (Antigenic drift). Namun vaksinasi ini memiliki kelemahan antara lain

hingga saat ini bentuk virus H5N1 bersifat ganas sehingga pada proses produksinya

secara konvensional membahayakan. Vaksin konvensional heterolog H5N2, H5N9,

H5N1, dipakai pada vaksin konvensional karena sifatnya Low Pathogenic sehingga tidak berbahaya pada proses produksi vaksin dan dapat menghasilkan titer virus

tinggi. Namun vaksin konvensional heterolog memiliki kelemahan antara lain

antigenisitas tidak kompatibel (homologi yang mirip) sepenuhnya terhadap virus

lapang sehingga besar kemungkinan terbentuk mutant akibat tekanan imunologis (Antigenic drift). Vaksin rekombinan homolog memiliki kelebihan dapat

menginduksi imunitas seluler dan humoral, tidak menimbulkan reaksi sakit akibat

vaksinasi, tidak memerlukan adjuvan, lebih effektif dan efisien, dapat diberikan pada

anak ayam umur muda. Pembedaan antara hewan terinfeksi atau divaksinasi lebih

nyata secara klinis. Namun vaksin rekombinan homolog juga memiliki kelemahan

antara lain kemampuan bereplikasi yang rendah dan menginduksi kekebalan parsial

pada unggas, pemberian vaksin rekombinan juga berarti memaparkan vaksin atau

virus vektornya. Efek antibodi asal juga dapat mempengaruhi efikasi vaksin, sampai

saat ini efikasi vaksin perlu diteliti terlebih dahulu, serta penggunaan vaksin tersebut

harus dibatasi untuk spesies tertentu.

Antibodi

Hewan yang terpapar oleh suatu antigen, akan membentuk respon kekebalan

pada tubuh hewan tersebut. Respon humoral tubuh yang terinfeksi menghasilkan

antibodi. Antibodi merupakan molekul protein yang diproduksi oleh sel B dan saling

berhubungan secara spesifik dengan molekul asing (antigen).

Molekul antibodi merupakan globulin, sehingga umumnya dikenal sebagai

immunoglobulin (Ig). Dikenal 5 kelas utama imunoglobulin dalam serum, IgG, IgA,

(27)

yang identik dan 2 rantai ringan (L-chain) yang juga identik. Setiap rantai ringan

terikat pada rantai berat melalui ikatan disulfida (S – S). Fragmen Fab dengan antigen

binding site, berfungsi mengikat antigen, karena itu susunan asam amino dibagian ini berbeda antara molekul imunoglobulin satu dengan yang lain dan bervariasi sesuai

dengan variabilitas antigen yang merangsang pembentukannya. Sebaliknya fragmen

Fc merupakan fragmen yang konstan. Fragmen ini tidak mempunyai kemampuan

mengikat antigen tetapi dapat bersifat sebagai antigen (Determinan antigen).

Fragmen ini merupakan efektor sekunder dan menjadi tempat untuk melekat pada sel,

fiksasi komplemen, Ig menembus plasenta.

Gambar 3 . Struktur Antibodi (Jacquelyn 2005)

Fungsi antibodi sebagian besar ditentukan oleh spesifitas antigen binding site

dan isotype H-chain. Subkelas yang berbeda menunjukkan perbedaan pula dalam hal

kemampuan berikatan dengan reseptor Fc, komplemen dan reseptor lain . IgG, IgA

dan IgE mempunyai afinitas terhadap antigen yang lebih tinggi dibanding IgM,

walaupun hal ini juga bergantung pada pematangan (maturasi) afinitas yang

bersaingan dengan Class switching pada sel B dan tidak ada hubungannya dengan domain terminal – C. Dalam tubuh terdapat 2 bentuk imunoglobulin yang berbeda,

yaitu sebagai reseptor permukaan untuk antigen dan sebagai antibodi yang

disekresikan kedalam cairan ekstraselular. Antibodi yang disekresikan dapat

(28)

12

binding-sitenya yang spesifik. Agar terjadi proses netralisasi, antigen harus dikenal oleh antibodi. Bagian antibodi yang dikenal atau bereaksi dengan antibodi disebut

epitop, sedangkan bagian antibodi yang dapat mengenal antigen disebut paratop.

Bentuk Alami Dari Reaksi Antibodi Antigen

Studi X-ray crystallography dari interaksi antibodi antigen menunjukkan

adanya sebuah bentuk celah lewat tempat gabungan antibodi pada jaring determinan

antigen. Selanjutnya konsep reaksi antibodi antigen merupakan sebuah kunci (yaitu

antigen) yang cocok masuk dalam sebuah gembok (yaitu antibodi) (Li et al. 2000).

Ikatan antibodi antigen mempengaruhi antigen pada lokasi kombinasi semua

antibodi non-kovalen dalam bentuk alaminya, diantaraya termasuk ikatan hidrogen,

ikatan elektrostatik, kekuatan Van der waals serta ikatan hidrofobik. Banyaknya ikatan diantara antigen dan antibodi yang terjadi menyebabkan antigen menjadi

berbentuk seperti papan bagi antibodi. Sejak terjadi reaksi antibodi antigen melalui

ikatan non kovalen, maka dikatakan sebagai bentuk reversibel alami.

Gambar 4. Bentuk alami reaksi antibodi antigen (Li et al. 2000)

Bentuk antibodi (digambarkan dengan struktur Y) berbeda jenisnya untuk

(29)

populasi antibodi dengan antigen asing hanya terjadi, jika terdapat homologi dengan

antigen asing. Setiap antibodi mempunyai dua tempat penanda ikatan untuk

determinan antigen.

Gambar 5. Reaksi antibodi - antigen (Peter 2007)

Imunisasi Pasif

Pertahanan tubuh dibagi dua, yaitu pertahanan tubuh non spesifik dan

pertahanan tubuh spesifik. Sistem pertahanan tubuh non spesifik merupakan sistem

pertahanan tubuh yang melindungi dari berbagai ancaman penyakit secara umum.

Sistem pertahanan non spesifik berupa kulit, mukosa, mukus dan silia pada saluran

pernapasan. Selain itu pertahanan non spesifik juga berupa fagositosis, sistem

komplemen dan sel pembunuh. Sistem pertahanan tubuh spesifik, berkaitan dengan

adanya respon kekebalan tubuh berperantara seluler maupun humoral.

Respon kekebalan tubuh humoral dapat bersifat aktif maupun pasif. Sistem ini

mampu mengenali antigen sebagai benda asing, mempunyai spesifitas tertentu serta

memori terhadap antigen. Respon kekebalan tubuh yang bersifat aktif dapat diperoleh

sebagai hasil vaksinasi, dan paparan materi yang berkaitan dengan respon kekebalan

humoral aktif seperti antigen. Kekebalan aktif timbul karena adanya vaksinasi oleh

karena tubuh secara aktif membentuk setelah diberikan rangsangan oleh vaksin

(30)

14

vaksinasi disebut sebagai kekebalan aktif buatan. Sementara antibodi yang terbentuk

setelah menderita suatu penyakit infeksi disebut kekebalan aktif alami

Respon kekebalan tubuh yang bersifat pasif merupakan hasil transfer atau

perolehan kekebalan asal induk. Perolehan kekebalan pasif yang didapatkan anak

ayam dari induknya biasanya tidak seragam. Kekebalan yang diperolehnya

tergantung dari titer antibodi induk dan akan habis dalam waktu relatif singkat.

Imunisasi pasif terjadi apabila tubuh diberikan zat kekebalan yang sudah jadi dari luar

berupa suntikan serum (Nadasul 2003). Pada kasus infeksi Avian influenza penting diberikan zat kekebalan yang sudah jadi untuk kasus infeksi pada ayam broiler yang

masa produksinya pendek (rata-rata umur panen 35 hari). Kasus lain penggunaan

kekebalan pasif contohnya pada penggunaan serum kuda anti rabies (SAR) yang

mengandung imunoglobulin spesifik anti rabies. Di Selandia Baru saat ini

dikembangkan penggunaan kekebalan pasif sebagai imunoterapi pasif dengan

memproduksi antibodi anti HIV, dimana antibodi terhadap HIV tersebut diambil dari

serum kambing (Daniel 2007).

(31)

Uji Netralisasi Virus

Uji netralisasi virus dapat digunakan untuk mengukur titer antibodi secara

kuantitatif. Selain itu uji netralisasi dilakukan juga dalam idetifikasi virus yang tidak

diketahui dengan menggunakan antisera yang sudah diketahui. Uji netralisasi terdiri

dari dua tahap. Tahap pertama adalah virus dengan titer tertentu direaksikan dengan

serum pada beberapa titer tertentu didalam sebuah tabung uji. Campuran virus dan

serum diinkubasi bersama pada temperatur standar untuk jangka waktu tertentu.

Tahap kedua, dilakukan pembiakan virus-virus yang tidak ternetralisasi ke sistem

indikator (media biakan). Setelah diinkubasikan dilakukan pengamatan terhadap

hasil pembiakan.

Serum yang akan diuji netralisasi harus disterilkan dahulu, bebas bahan kimia

dalam penyimpanannya (phenol, formalin dan lainnya), serta telah diinaktivasi.

Inaktivasi dilakukan dengan pemanasannya 56 0C selama 30 menit, pemanasan tersebut akan merusak substansi nonspesifik penghambatnya yang menghambat

reaksi Ab dengan virus.

Strain virus yang digunakan untuk uji netralisasi harus mempunyai titer yang

tinggi, tidak serumpun dengan virus uji, serta adaptasinya sangat baik dengan metode

yang digunakan. Virus yang digunakan juga harus murni dan bebas dari bakteri, fungi,

atau mikoplasma. Sebagai pelarut dapat digunakan media kultur sel.

Prosedur uji netralisasi yang digunakan atau dikenal saat ini yaitu prosedur uji

netralisasi- dan prosedur uji netralisasi-α (Swayne et al. 1998). Pada uji netralisasi

- , serum yang diuji diencerkan secara seri atau desimal dan virus standarnya bertiter

tetap. Uji ini memiliki keuntungan yaitu volume serum uji yang digunakan sedikit.

Pada uji netralisasi-α virus diencerkan secara serial serta diencerkan dengan serum

tetap pada titer tertentu (tampa pengencer). Campuran virus dan serum diinkubasi

dan dihitung untuk residual virus yang terkandung didalamnya yang dinyatakan

(32)

16

Titrasi Virus

Titrasi virus diperlukan untuk kepentingan diagnosis, diantaranya untuk

menghitung jumlah infektif virus dalam suatu material sampel. Ada beberapa metode

yang digunakan untuk menghitung perkiraan jumlah (kuantitatif) virus antara lain

nilai akhir pengenceran (dilution end-point), menghitung jumlah plak (Plaque counts),

atau jumlah pock (Pock plaque). Nilai akhir pengenceran (dilution end-point)

merupakan metode yang banyak digunakan. Perhitungan ini melibatkan dosis virus

yang dibutuhkan untuk menginfeksi 50% populasi inang (hewan, telur, kultur

jaringan) (Swayne et al. 1998). Titer dihitung ditandai dengan ID50 atau LD50 untuk

tingkat infeksi atau kematian melalui pengenceran serial dari virus. Pengenceran

serial ini kemudian diinokulasi pada sebuah Telur Ayam Berembrio (TAB) serta

dilakukan pengamatan jumlah respon positif dan negatif. Dari hasil uji,

dimungkinkan untuk menghitung 50% end-point dengan metode Reed and Muench.

Respon atau nilai akhir (end-point) yang digunakan akan bervariasi dengan virus

yang diuji. Namun diperlukan juga melihat kehadiran infeksi virus oleh faktor lain

misalnya adanya lesi, munculnya virus akibat pewarnaan, hemagglutinasi atau

lainnya.

Titrasi virus pada biakan jaringan biasanya dibuat dengan pengenceran virus

atau efek cytophatogenic (kematian sel-sel tampa formasi plak). Metode plak sangat penting digunakan karena satu infeksi virus memberikan satu plak, jumlah plak pada

pengenceran tertentu akan menghasilkan jumlah total partikel. Penghitungan jumlah

(33)

METODELOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu

Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, kandang hewan

percobaan FKH IPB. Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2007 sampai dengan

bulan Juli 2008.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksankan dalam beberapa tahap yaitu :

Tahap Satu : Titrasi Virus dengan Uji Haemaglutinasi (HA) mikrotitrasi dan Uji Egg Infectious Dose 50 (EID50)

Sebelum digunakan sebagai antigen penguji virus AI H5N1 isolat tahun 2003

- tahun 2006 dititrasi terlebih dahulu untuk mengetahui titer virusnya. Uji titrasi

dilakukan dengan uji HA mikrotitrasi dan EID50

Uji HA mikrotitrasi

Pada sumur pertama hingga duabelas plat mikrotiter ditambahkan 0,025 ml

PBS. Pada sumur pertama ditambahkan larutan virus yang akan diuji sebanyak 0,025

ml dan diaduk dengan mikrotiter pipet dengan menghisap dan menekannya secara

perlahan-lahan (sebanyak lima kali). Selanjutnya dari sumur pertama dipindahkan

0,025 ml ke sumur kedua dan diaduk seperti diatas dan dipindahkan ke sumur ketiga,

demikian seterusnya sampai sumur terakhir. Dengan demikian didapatkan

pengenceran seri virus kelipatan 2 (log 2). Pada setiap sumur pengenceran

ditambahkan 0,025 ml PBS, sehingga volume setiap sumur sama yaitu 0,050 ml.

(34)

18

(sdm) 0,5 %, kemudian plat digoyang secara manual digoyang dengan tangan selama

1 menit, lalu didiamkan. Hasil dibaca bila kontrol negatif (sumur tampa virus) sdm

nya telah mengendap dan kontrol positif (sumur yang berisi suspensi virus AI H5N1

yang diketahui) telah menunjukkan aktivitas hemaglutinasi sempurna sekitar dalam

waktu 30 - 45 menit. Titer HA adalah pengenceran tertinggi yang masih terjadi

hemaglutinasi sempurna.

Uji Egg Infectious Dose 50 (EID50)

Uji Egg Infectious Dose 50 (EID50) dilakukan dengan menggunakan telur

berembrio, PBS, tabung pengenceran, pipet 1 ml, isolat AI H5N1 koleksi FKH IPB

terpilih (tahun 2003-2006). Sebelum melakukan inokulasi di Telur Ayam Berembrio

(TAB) dibuat pengenceran virus secara desimal (dimulai dari 10-5 sampai 10 -12 ). Dengan teknik yang steril suspensi virus pada pengenceran 10 -5 sampai dengan 10 -12, diinokulasikan ke telur sebanyak 0,1 ml per butir dan tiap pengenceran

diinokulasikan ke 3 butir telur. Setelah inokulasi, telur diinkubasi pada suhu 37 0C selama 4 hari. Telur di candling (diamati) setiap hari dan telur yang mati setelah inkubasi dapat dilakukan pengujian terhadap cairan alantoisnya. Setelah empat hari

dilakukan uji cepat (Rapid test) pada semua telur untuk dihitung dosis infeksinya

terhadap 50% jumlah telur yang digunakan.

Perhitungan Nilai EID50

Nilai EID50 dihitung menggunakan metode Reed and Muench (Mohd et al.

2008). Tabel 1. tersaji prosedur perhitungan endpoint 50% untuk mengetahui nilai

(35)

Tabel 1. Perhitungan Endpoint 50%

I = jarak perbandingan h = faktor pengenceran

Tahap Kedua : Produksi Antibodi terhadap Avian Influenza H5N1 (Ab anti H5)

Produksi antibodi anti H5 menggunakan hewan coba marmut (Cavia

porcellus) lokal 8 ekor dengan berat kisaran 0,2 – 0,4 kg, dalam kondisi sehat. Vaksin yang digunakan produksi PT. Vaksindo berupa vaksin AI inaktif komersial H5N1

(Batch : 21666 PTP, ex. Date 2008). Produksi antibodi AI (antibodi anti H5)

dilakukan dengan menyuntik 0,3 ml suspensi vaksin secara intramuskuler dan diulang

(booster) dua minggu setelah penyuntikan pertama. Vaksinasi dilakukan sebanyak

tiga kali. Serum dikoleksi (panen) satu minggu setelah vaksinasi kedua.

Tahap Ketiga : Identifikasi dan Titrasi Antibodi

Antibodi anti H5 (antisera) yang diperoleh dari marmut diuji dan dititrasi

(36)

20

Uji Agar Gel Presipitasi (Uji AGP)

Agar gel dibuat dengan mencampur 0,4 gr Agarose, 1,2 gr Poly Ethylene

Glycol (PEG) 6000, 20 ml PBS (pH 7,6), serta 20 ml Aquades. Campuran atau

larutan ini dipanaskan dalam penangas air sampai larut dan warna larutan menjadi

bening. Kemudian larutan dipipet dengan pipet Mohr sebanyak 3,75 ml, dan

dituangkan diatas kaca objek. Agar didiamkan sampai beku. Selanjutnya agar

dilubangi dengan pelubang agar. Pada sumur tengah dimasukkan 25 ul antigen virus

AI H5N1 dan pada tepi disekelilingnya diteteskan masing-masing serum hasil

produksi pada cavia. Kaca objek ditempatkan di bak lembab yang dialasi dengan kertas buram yang lembab dan diinkubasi pada suhu ruang selama 24 – 48 jam.

Reaksi positip ditunjukkan dengan adanya garis presipitasi diantara sumur antigen

dan antibodi.

Uji HI (Haemagglutination Inhibition)

Uji HI dilakukan untuk mengetahui titer antibodi yang diperoleh dari marmut

menggunakan virus standart dari BBalitvet dan juga menggunakan virus isolat lapang

tahun 2003-2006 untuk melihat adanya perbedaan ekspresi antigen HA dari

masing-masing isolat virus yang diuji.

Pada tiap sumur plat mikrotiter dimasukkan 0,025 ml PBS. Selanjutnya 0,025

ml antibodi hasil produksi dimasukkan kedalam sumur pertama dan dihomogenkan

lalu dipindahkan 0,025 ml ke sumur kedua dan seterusnya hingga sumur ke 12. Pada

sumur terakhir diambil 0,025 ml dan dibuang. Virus atau antigen standart

ditambahkan isolat lapang sebanyak Empat HAU / 0,025 ml tiap sumur sebanyak

0,025 ml dan dibiarkan selama 30 menit pada temperatur kamar (20oC) atau 60 menit pada suhu 4oC. Selanjutnya kedalam tiap sumur ditambahkan 0,025 ml suspensi sel darah merah 0,5 %, kemudian dikocok perlahan agar homogen dan biarkan sekitar 40

(37)

lengkap 4 HAU antigen (OIE 2004). Aglutinasi dibaca dengan cara memiringkan plat.

Hanya sumur-sumur dengan kecepatan aliran sel darah merah yang sama dengan

sumur kontrol (mengandung 0,025 ml sel darah merah dan 0,025 ml PBS) yang

menunjukkan inhibisi.

Tahap Keempat : Uji SNT Prosedur -Netralisasi

Antisera (Ab anti H5) yang bertiter 29 diencerkan menjadi 28 ,27, 26, 25, 24 . Hasil dari masing-masing pengenceran diambil 1 ml kemudian ditambahkan 1 ml

titer 104 EID50 isolat lapang untuk uji netralisasi. Campuran virus dengan antibodi

anti H5 didiamkan dalam suhu kamar selama 30 menit kemudian diambil 0,2 ml

untuk diinokulasi ke TAB umur 9-11 hari (15 butir untuk masing-masing isolat uji

terpilih koleksi FKH IPB). Hari keempat dilakukan panen cairan alontoik hasil uji

netraliasi, kemudian dilakukan rapid test untuk dihitung endpoint netralisasi dan nilai

indeks netralisasi.

Interpretasi hasil; Tingkat infeksi virus dinyatakan dengan terjadi agglutinasi

dari cairan alantoik yang dipanen setelah dicampur dengan volume tertentu yang

sama dengan suspensi sel darah merah 5 %. Selanjutnya dilihat timbulnya reaksi

agglutinasi.

Perhitungan Indeks Netralisasi

Prosedur-Endpoint 50% dari netralisasi dihitung dengan metode Reed and Muench,

saat banyaknya residual virus diuji dengan banyaknya suatu respon. Indeks netralisasi

merupakan perhitungan dari nilai endpoint ini (Swayne et al. 1998). Untuk

masing-masing respon endpoint adalah pengenceran dari antibodi terhadap AI H5N1 ketika

(38)

22

HASIL DAN PEMBAHASAN

Titrasi Virus Isolat Uji

Berdasarkan hasil titrasi virus dengan uji Hemaglutinasi (HA) tampak bahwa

virus AI koleksi FKH IPB tahun 2003 – 2006 memiliki titer yang cukup tinggi (Tabel

2). Uji HA merupakan suatu uji untuk mengetahui keberadaan antigen virus yang

dapat mengaglutinasi sel darah merah (sdm) (WHO 2002). Reaksi aglutinasi ini dapat

dihalangi atau dihambat dengan antibodi spesifik terhadap antigen sehingga reaksi ini

digunakan sebagai dasar pada isolasi virus serta diferensiasi pada strain varian yang

sering muncul (Klasse & Sattentau 2002). Virus influenza mengandung dua antigen

glikoprotein pada permukaannya yaitu HA dan NA. HA secara spesifik mengandung

reseptor sialic acid pada permukaan selnya dan sebagai tempat untuk proses infeksi.

Reseptor ini hampir sama dengan reseptor permukaan yang ada pada membran

plasma sel darah merah, sehingga bilsa sel darah merah dicampur dengan virus

influenza dengan rasio sama akan dihasilkan jembatan antara sel darah merah dengan

virus sehingga terbentuk aglutinasi. Aglutinasi sempurna pada pengenceran tertinggi

dinyatakan sebagai endpoint dan memiliki titer 1 HAU (Hamaglutinasi Unit). 1 HAU

setara dengan 107 partikel virus.

Tabel 2. Titer virus Isolat Koleksi dengan Uji HA

Asal Isolat Terpilih Tahun Koleksi Titer Hasil HA Test

Bogor 2003 29

Bogor 2004 28

Tasik 2005 29

Cikole 2006 29

Uji HA menghitung jumlah virus baik yang telah mati (tidak infektif) maupun

virus yang masih hidup (infektif). Titrasi virus yang infektif dapat diukur

(39)

mampu menginfeksi 50% populasi embrio. Titer virus H5N1 dari isolat asal lapang

terpilih (Koleksi FKH IPB) dengan uji EID50 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Titer Virus dengan Uji EID50

Asal Isolat Terpilih Tahun Koleksi Log10 ID50

Bogor 2003 10 8,3 ID50/ml

Bogor 2004 10 10,8 ID50/ml

Tasik 2005 10 10,8 ID50/ml

Cikole 2006 10 11,8 ID50/ml

Uji EID50 merupakan uji titrasi virus yang dapat mengukur titer virus yang

hidup dalam suatu suspensi virus. Prinsip uji EID50 adalah menghitung dosis virus

yang dibutuhkan untuk menginfeksi 50% inang (hewan, telur, kultur jaringan)

(Swayne et al. 1998). Dosis ini ditandai dengan Infektious Dose 50 (ID50) atau Lethal

Dose 50 (LD50) untuk tingkat infeksi atau kematian, yang terjadi melalui pengenceran

virus dan diinokulasi pada telur ayam berembrio. Pengamatan atau hasil inokulasi

dilihat dengan jumlah respon positif dan negatif hasil uji cepat (Rapid test). Hasil uji

EID50 menunjukkan bahwa suspensi virus isolat terpilih FKH IPB masih hidup serta

memiliki titer yang cukup tinggi serta layak digunakan sebagai virus uji.

Produksi Antibodi

Marmut (Cavia porcellus) yang divaksinasi sudah mampu memproduksi

antibodi terhadap Avian influenza H5N1 satu minggu setelah vaksinasi kedua. Antisera anti H5 yang dikoleksi memiliki titer 29. Koleksi Antibodi terhadap H5 (antibodi anti H5) dilakukan dua kali. Koleksi kedua dilakukan seminggu setelah

re-vaksinasi ketiga. Vaksinasi kedua dilakukan setelah seminggu koleksi antibodi anti

H5. Waktu vaksinasi dan koleksi Ab anti H5 serta titer Ab anti H5 dengan uji HI

menggunakan antigen standar dari BBalitvet dari hasil produksi disajikan pada Tabel

(40)

24

Tabel 4. Waktu Vaksinasi serta Respon Titer Ab anti H5 Koleksi pada Kelompok

…………Marmut

Waktu (vaksinasi) Titer Ab (log 2) Keterangan

Sebelum 0 Koleksi Ab dilakukan

seminggu setelah post vaksinasi kedua dan seminggu setelah post vaksinasi ketiga

1 minggu post vaksinasi kedua 9

1 minggu post vaksinasi ketiga 8

Identifikasi Serum Kebal (Antibodi Anti H5)

Hasil koleksi serum kesatu marmut (Cavia porcellus) mampu menghasilkan

antibodi anti H5 (antisera anti H5) dengan titer yang tinggi yaitu 29 dengan menggunakan antigen standar H5N1 dari BBalitvet. Marmut dipilih sebagai hewan

percobaan berdasarkan referensi data dari National Institute of Health Primate

Research Centers tahun 1978, bahwa syarat utama dalam pemilihan hewan percobaan

yang sesuai dan dapat dipakai sebagai model adalah adanya kemiripin proses yang

terjadi antara manusia dengan hewan percobaan (Sulaksono 1992). Disamping itu

marmut merupakan hewan percobaan yang mudah didapat, dikembang-biakkan dan

relatif murah harganya. Hewan percobaan banyak digunakan untuk penelitian

biomedis. Percobaan biomedis dapat berupa Bio assay dari produk biologi (vaksin, sera, hormon, vitamin dan sebagainya) yang meliputi dosis efektif, efek samping

(safety test), pemeriksaan keracunan (toxicity test).

Produksi antibodi pada hewan yang divaksinasi dipengaruhi oleh beberapa

faktor, di antaranya adalah umur hewan, ukuran molekul antigen, kerumitan struktur

kimiawi antigen, konstitusi genetik, metode pemasukan antigen dan dosis yang tepat

dapat menginduksi terbentuknya antibodi yang lebih baik (Liddell & Weeks 1995).

Pengikat antara antigen dan antibodi memerlukan struktur yang cocok antara

keduanya (Kennedy 1985). Identifikasi serum kebal (antibodi anti H5) dengan uji

imunodifusi Agar Gel Presipitation (AGP) menunjukkan reaksi positif dengan Ag AI

standar, hal ini menunjukkan adanya homologi antara Ag dengan Ab yang

(41)

yang berdifusi ke agar memiliki kecocokan atau homolog dengan Ag akan berikatan

dengan Ag yang berdifusi dalam agar sehingga terlihat berupa garis presipitasi.

Gambar 7. Garis presipitasi pada uji AGPT menunjukkan adanya reaksi

………....homolog antara Ab anti H5 dengan Ag referensi BBalitvet

………Ket. 1 = Ag referensi BBalitvet, 2 = serum (Ab anti H5)

Titrasi Antibodi Anti H5

Antisera anti H5 yang diperoleh dititrasi menggunakan virus Avian influenza

H5N1 asal lapang terpilih koleksi FKH IPB tahun 2003-2006. Berdasarkan hasil

titrasi dengan uji HI tampak adanya variasi titer antibodi terhadap virus uji. Adanya

variasi titer menunjukkan bahwa terdapat perubahan struktur antigenik dari antigen

hemaglutinin masing-masing isolat. Uji HI memiliki sensitivitas tinggi karena pada

uji ini antibodi spesifik terhadap hemaglutinin virus AI tertutup oleh paratop dari

antibodi sehingga menghambat adanya aglutinasi. Nilai HI terhadap isolat koleksi

tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai HI test terhadap Isolat Koleksi FKH IPB (Isolat Terpilih)

Asal Isolat Terpilih Tahun Koleksi Titer Hasil HI Test

Bogor 2003 28

Bogor 2004 29

Tasik 2005 26

Cikole 2006 25

2

2 2

2 1

2 2

(42)

26

Protein hemaglutinin (HA) dan neuramidase (NA) yang terdapat pada amplop

virus menjadi tumpuan dasar yang berperan pada uji HI dalam melaksanakan

diagnosa virus AI H5N1. Kedua protein ini menjadi target awal dalam pembentukan

antibodi inang. Pada awal infeksi, protein ini akan berikatan dengan reseptor sel

inang dan melepaskan ribonukleoprotein (RNP). Akibat dari aktivasi prekursor HA

(HA0) oleh protease inang atau inang, protein akan terbelah menjadi HA1 dan HA2.

Protein HA1 akan berikatan dengan reseptor dan merupakan target utama untuk

timbulnya respon imun, sedangkan protein HA2 akan memfasilitasi fusi antara

amplop virus dengan membran endosomal inang (Suzuki & Nei 2002). Perbedaan

kepekaan protein HA virus AI terhadap protease inang akan berhubungan dengan

tingkat virulensi virus. Virus yang termasuk dalam kelompok HPAI mempunyai

hemaglutinin yang sangat peka terhadap protease endogen atau seluler inang

(Alexander 2000). Protein hemaglutinin dan neuraminidase juga dapat berubah

secara periodik akibat Antigenic drift dan Antigenic shift. Perubahan antigen permukaan ini merupakan mekanisme virus dalam menghindari respon imun inang

(Munch et al. 2001).

Uji Netralisasi Virus

Antisera meskipun memiliki titer Ab yang tinggi menjadi tidak bermanfaat

bila tidak mampu menetralisasi antigen (virus). Uji netralisasi merupakan uji untuk

identifikasi Antigen / Antibodi dan merupakan uji yang mampu melihat kemampuan

netralisasi Ab terhadap Ag. Hasil uji netralisasi antisera anti H5 terhadap berbagai

(43)

Tabel 6. Uji Netralisasi Isolat Tahun 2003 dengan Metode Reed and Muench

Pengenceran serum Tingkat

infeksi Respon Nilai akumulasi

%

Ket. a adalah jumlah terinfeksi diatas jumlah diinokulasi (jumlah percobaan)

PD = 50 – 33 = 17 = 0,25

100- 33 67

Penguraian dari 50% endpoint netralisasi = 0,25 X (-1,5 – (-1,2) – (-1,2)

= - 0,25 X 0,3 – 1,2 = - 1,275 = - 1,3

Endpoint 50% netralisasi adalah 10 -1,3 atau 1: 20. Netralisasi indeks (NI) adalah 1,3

28 27 26 25 24

Gambar 8. Reaksi agglutinasi hasil uji netralisasi untuk isolat tahun 2003

(44)

28

Tabel 7. Uji Netralisasi untuk Isolat Tahun 2004 dengan Metode Reed and Muench

Pengenceran serum Tingkat

infeksi Respon Nilai akumulasi

%

Ket. a adalah jumlah terinfeksi diatas jumlah diinokulasi (jumlah percobaan)

PD = 50 - 0 = 50 = 0,75

67 - 0 67

Penguraian dari 50% endpoint netralisasi = 0,75 X (-1,2 – (-0,9) – (-0,9)

= - 0,75 X 0,3 – 0,9 = - 1,125 = - 1,1

Endpoint 50% netralisasi adalah 10 -1,1 atau 1: 13. Netralisasi indeks (NI) adalah 1,1

28 27 26 25 24

Gambar 9. Reaksi agglutinasi hasil uji netralisasi untuk isolat tahun 2004

(45)

Tabel 8. Uji Netralisasi untuk Isolat Tahun 2005 dengan Metode Reed and Muench

Pengenceran serum Tingkat

infeksi Respon Nilai akumulasi

%

Ket. a adalah jumlah terinfeksi diatas jumlah diinokulasi (jumlah percobaan)

PD = 50 – 33 = 17 = 0,25

100- 33 67

Penguraian dari 50% endpoint netralisasi = 0,25 X (-1,5 – (-1,2) – (-1,2)

= - 0,25 X 0,3 – 1,2 = - 1,275 = - 1,3

Endpoint 50% netralisasi adalah 10 -1,3 atau 1: 20. Netralisasi indeks (NI) adalah 1,3

28 27 26 25 24

Gambar 10. Reaksi agglutinasi hasil uji netralisasi untuk isolat tahun 2005

(46)

30

Tabel 9. Uji Netralisasi untuk Isolat Tahun 2006 dengan Metode Reed and Muench

Pengenceran serum Tingkat

infeksi Respon Nilai akumulasi

%

Ket. a adalah jumlah terinfeksi diatas jumlah diinokulasi (jumlah percobaan)

PD = 50 – 33 = 17 = 0,25

100- 33 67

Penguraian dari 50% endpoint netralisasi = 0,25 X (-1,5 – (-1,2) – (-1,2)

= - 0,25 X 0,3 – 1,2 = - 1,275 = - 1,3

Endpoint 50% netralisasi adalah 10 -1,3 atau 1: 20. Netralisasi indeks (NI) adalah 1,3

28 27 26 25 24

Gambar 11. Reaksi agglutinasi hasil uji netralisasi untuk isolat tahun 2006

Netralisasi pada virus merupakan gagalnya infeksi virus secara in vitro

akibat adanya antibodi yang mengikat antigen sehingga antigen target tidak mampu

menempel pada reseptor sel. (Dimmock 1984). Pengumpulan virion oleh antigen

binding site dari Ab dapat mempengaruhi tingkat infektif, hal ini ditunjukkan dengan adanya CPE pada kultur sel sebagai media uji (Mandel 1978).

(47)

Antibodi mengikat bagian permukaan virus dan netralisasi uji atau

menghambat interaksi dengan sel inang. Antibodi menghalangi infeksi virus saat

virus menempel pada permukaan inang, penetrasi virus dalam sel serta pada saat virus

melepaskan selubung pembungkus di dalam sel inang.

Dari hasil uji netralisasi terhadap isolat tahun 2003, 2004, 2005 dan 2006

diketahui bahwa Ab yang diproduksi mampu menetralisasi namun indeks

netralisasinya rendah yaitu pada titer 28 dapat menetralisasi 100% virus dengan titer 104 EID50 , indeksnetralisasi antisera terhadap virus isolat tahun 2003, 2005 dan tahun

2006 adalah1,3, sedangkan terhadap isolat tahun 2004 indeks netralisasinya adalah

1,1. Hasil ini berbeda dengan temuan Wibawan et. al (2008) yang menyatakan bahwa Ab anti H5 dari unggas (IgY) dapat menetralisir virus dengan titer 104 EID50

secara sempurna pada titer 24. Berdasarkan rekomendasi OIE (2004) menyatakan bahwa pada unggas titer antibodi terhadap AI dikatakan protektif bila memiliki titer

lebih dari 23. Dari hasil penelitian juga menunjukkan titer antibodi mamalia (marmut) memiliki kemampuan efikasi lebih rendah dibanding antibodi asal unggas. Hal ini

mungkin disebabkan adanya perbedaan konformasi antibodi mamalia (IgG) dengan

antibodi unggas (IgY). Perbedaan utama IgG dan IgY diantaranya, IgG memiliki

jumlah antibodi/minggu 200 mg IgG/darah (dalam 40 ml darah) sedangkan IgY

50-100 mg IgY/ telur. Perbedaan lain IgG memiliki jumlah antibodi spesifik 5%,

sedangkan IgY hanya 2-10% (Wibawan et al. 2003). Perbedaan konsentrasi ini yang

(48)

32

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Serum koleksi yang diproduksi dari marmut (Cavia porcellus) lokal sebagai

antibodi anti H5 (antisera anti H5) memiliki kemampuan menetralisasi virus asal

isolat lapang dengan angka Indeks Netralisasi antara 1,1 – 1,3

Terdapat perbedaan ekspresi biologis antigen hemaglutinin (H5) virus AI

H5N1 diantara isolat lapang dari tahun 2003 sampai 2006.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan kemampuan biologis IgG yang diperoleh

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Alexander DJ. 2000. A review of Avian Influenza in Different Bird Species. Vet Microbiol 74 : 3-13.

[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2005. Strategi Nasional Kesiagan Menghadapi Pandemi Influenza. Rencana Strategis 2006-2008. Bappenas. Hal 9-22.

Both GW, Sleigh M.J. 1981. Conservation and Variation in the Hemagglutinin of the Hong Kong Subtype Influenza Virus During Antigenic Drift. Journal of Virology. Hal. 663-672. Vol. 39 No.3.

Capua I, Mutinelli F, Marangon S, Alexander DJ. 2000. H7N1 avian influenza in Italy (1999- 2000) in intensively reared chicken and turkeys. Av Pathol. 2000; 29: 537-43.

Capua I, Mutinelli F. 2001. Low pathogenicity (LPAI) and highly pathogenic (HPAI) avian influenza in turkeys and chicken. In: Capua I, Mutinelli F. (eds.), A Colour Atlas and Text on Avian Influenza, Papi Editore, Bologna, 2001. Hal. 13-20.

Dimmock NJ. (1984). Mechanisms of neutralization of animal viruses. Journal of General Virology 65, 1015–1022.

Daniel SB. 2007. Immune-Based Treatments Against HIV.

http://tpan.com/publications/pa/07_03/buzz.shtml. [28-4-.2008].

Elbers AR, Koch G, Bouma A. 2005. Performance of clinical signs in poultry for the detection of outbreaks during the avian influenza A (H7N7) epidemic in The Netherlands in 2003. Avian Pathol 2005; 34: 181-7.

Easterday, BC , Hinshaw VS. 1991. Avian Influenza. In: Diseases of Poultry 9th ed. . Iowa State University Press Ames, Iowa. USA. Hal. 532-551.

Easterday, BC, Hinshaw VS, Halvorson, DA. 1997. Influenza. Disease of Poultry. 10th ed. Iowa State University Press Ames, Iowa. USA. Hal. 532-551.

Ferguson NM, Galvani AP, Bush RM. 2003. Ecological and Immunological determinants of influenza evolution. Nature. ; 422: 428-33.

(50)

34

influenza A virus hemagglutinin subtype (H16) obtained from black-headed gulls. J Virol. 79(5):2814-22.

Garman E, Laver G. 2004. Controlling influenza by inhibiting the virus's

neuraminidase. Curr Drug Targets.5: 119-36. Abstract:

http://amedeo.com/lit.php?id=15011946. [24-3-2008].

Harder TC, Werner O. 2006. Avian Influenza. Influenza Report. In : Influenza Report. Eds : Bernd, SK, Hoffmann C, and Preiser. Flying Publiser. Paris, Cagliari, Wuppertal, Sevilla. [28-4-.2008].

Jacquelyn GB. 2005. Microbiology: Principles and Explorations. Sixth Edition. Chapter 17: Immunology I: Basic Principles of Adaptive Immunity and Immunization. Fig.17-7. Hal 6/e.

Kennedy RC. 1985. Idiotypic Networks in Hepatitis B Virus Infections. Microbiology and Immunology. Vol. 119. Spinger-Verlag Berlin. Heidelberg. Hal. 811-816.

Klasse PJ and Sattentau QJ. 2002. Occupancy and Mechanism in Antibody-mediated Neutralization of Animal Viruses. Journal of General Virology . 83: 2091– 2108.

Lee CW, Suarez DL. 2005. Avian Influenza Virus: prospects for prevention and control by vaccination. Anim Health Res Rev; 6: 1-15.

Li Y, Li H, Smith-Gill, SJ, Mariuzza RA. 2000. Ag-Ab Reactions. Biochemistry 39, 6296, 2000.

Liddell E, Weeks I. 1995. Antibody Technology. JM. Graham dan D. Billington (Ed.). BIOS Scientific Publisher Ltd, Oxford, UK.

Mandel B. 1978. Neutralization of animal viruses. Advances in Virus Research 23, 205–268.

Matrosovich MN, Matrosovich TY, Gray T, Roberts NA, Klenk HD. 2004. Neuraminidase is important for the initiation of influenza virus infection in

human airway epithelium. J Virol. 78: 12665-7. Abstract:

http://amedeo.com/lit.php?id=15070767. [28-4-.2008].

Mohd AL, Isa AK, Osman RE. 2008. Laboratory Manual. Diagnostic Virology. Http:/www.vet.upm.edu.my/~virolab/. 2008. [24-3-2008].

(51)

Nadesul H. 2003. Lawan Virus dengan Kekebalan Tubuh. http://www.freshwell.com

–. [20-3-2008].

Neuman G, Hatta M, Kawaoka Y. 2003. Reverse Genetics for the Control of Avian Influenza. Avian Diseases 47:882–887.

[OIE] Office International des Epizooties. 2004. Manual of Standards for Diagnostic Tests and Vaccines. Hal. 212- 219.

[OIE] Office International des Epizooties. 2005. Highly pathogenic avian influenza in Mongolia: in migratory birds. http://www.oie.int/eng/info/hebdo/ais_55.htm. [ 24-3-2008].

Paul H. 2003. Swine Influenza : a zoonosis [editorial]. Publised by Igitur. 2003. [24-3-2008].

Peter VS. 2007. Antigen-Antibody Reaction. Http;//www. Botani Online. [20-3-2008].

Rott R, Klenk HD, Nagai Y, Tashiro M. 1995. Influenza viruses, cell enzymes, and pathogenicity. Am J Respir Crit Care Med. 152: S16-9. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=7551406. [28-4-.2008].

Rust MJ, Lakadamyali M, Zhang F, Zhuang X. 2004. Assembly of endocytic machinery round individual influenza viruses during viral entry. Nat Struct Mol Biol 2004; 11: 567-73. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=15122347. [20-2-2005].

Soejoedono RD, Handharyani E. 2005. Flu Burung . Jakarta. Penebar Swadaya. Hal. 31.

Sulaksono E. 1992. Peranan, Pengelolaan dan Pengembangbiakan Hewan Percobaan. Pusat Penelitian Penyalit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 53.

Suzuki Y, Nei. 2002. Origin and Evolution of Influenza Virus Haemagglutinin Genes. Mol Bio Evol 19: 501-509.

Swayne DE, John CR, Jackwood WM, Reed MW. 1998. Isolation and Identification of Avian Pathogens. Fourth Edition. 255-265.

Gambar

Gambar 1. Virus Influenza tipe A, B, C
Gambar 2.  Replikasi Virus Influenza (Paul 2003)
Gambar 3 . Struktur Antibodi (Jacquelyn 2005)
Gambar 4.  Bentuk alami reaksi antibodi antigen (Li et al.  2000)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi antibodi anti-idiotipe virus Avian Influenza (H5N1) dari serum dan telur ayam serta mempelajari prospek penggunaan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Distribusi Virus Avian Influenza (H5N1) pada Jaringan Tubuh Itik dengan Metode Imunohistokimia adalah karya saya dengan arahan dari

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi dengan Judul “Potensi Ekstrak Sambiloto ( Andrographis paniculata Nees) untuk Menanggulangi Virus Avian Influenza H5N1

Kajian seroprevalensi virus Avian influenza H5N1 telah dibuktikan oleh Kurniawan dan Dwiyanto (2008) bahwa 33,33% kucing dari beberapa pasar di wilayah Semarang

Bukti lain yang menunjukan peningkatan patogenitas virus avian influenza yang memiliki mutasi pada posisi 627 adalah terjadinya penurunan sifat patogenitas pada mamalia

Bukti lain yang menunjukan peningkatan patogenitas virus avian influenza yang memiliki mutasi pada posisi 627 adalah terjadinya penurunan sifat patogenitas pada mamalia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis burung milik beberapa penggemar burung dan di sebuah penangkaran burung di Jakarta telah terinfeksi virus avian influenza..

Polimorfisme Asam Amino pada Amino Terminus Gen PB2 dari isolat Virus Avian Influenza H5N1 Asal Berbagai Spesies Hewan yang Diperoleh Langsung dari Penelitian ini dan Data