• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrasi Pasar dan Respon Penawaran Daging Sapi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Integrasi Pasar dan Respon Penawaran Daging Sapi di Indonesia"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

DAGING SAPI DI INDONESIA

AHMAD ZAINUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Integrasi Pasar dan Respon Penawaran Daging Sapi di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)
(5)

Indonesia. (RATNA WINANDI ASMARANTAKA sebagai Ketua, HARIANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Kebutuhan daging sapi Indonesia dipenuhi dari tiga sumber, yaitu sapi lokal, sapi impor dan daging sapi impor. Hal ini dikarenakan produksi daging lokal pada tahun 2013 sebesar 545.600 ton sedangkan konsumsi daging sapi yang mencapai 757.088 ton. Hal ini menyebabkan adanya kelebihan permintaan. Guna memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri dilakukan impor sapi dan daging sapi. Guna meningkatkan ketersediaan daging sapi di Indonesia masih terdapat beberapa kendala diantaranya adalah permasalahan sentra produksi daging sapi di Indonesia yang masih terkonsentrasi pada beberapa daerah seperti Jawa Timur dan NTB sedangkan daerah sentra konsumsi terdapat di Jabodetabek. Permasalahan kedua adalah adanya liberalisasi pasar daging sapi, dimana bea masuk daging sapi dari luar negeri menjadi lebih rendah dari sebelumnya berimplikasi terhadap harga daging sapi impor menjadi jauh lebih murah dan harga daging sapi lokal yang mengikuti pergerakan harga daging sapi impor juga menjadi lebih murah dari sebelumnya. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga daging sapi di pasar domestik sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar. Selain itu, terdapat permasalahan lain yaitu produksi daging sapi yang masih rendah. Produktivitas peternakan sapi potong yang masih rendah salah satunya disebabkan oleh mayoritas peternak Indonesia didominasi oleh peternakan rakyat yang masih bersifat subsisten sehingga rata-rata peternak di Indonesia kurang respon terhadap perubahan harga daging sapi yang pada saat ini terus mengalami peningkatan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) menganalisis integrasi pasar daging sapi potong di beberapa provinsi sentra dan provinsi lainnya di Indonesia, (2) menganalisis integrasi pasar daging sapi domestik di Indonesia dengan pasar daging sapi dunia, (3) menganalisis respon penawaran peternak terhadap perubahan harga daging sapi di Indonesia. Penelitiaan ini menggunakan model VECM (Vector Error Correction Model) untuk menganalisis integrasi pasar daging sapi dan menggunakan model ECM (Error Correction Model) untuk menganalisis respon penawaran daging sapi. Data yang digunakan adalah data deret waktu (time series) bulanan (Januari 2009 sampai dengan Desember 2013) dan data triwulan (Triwulan I 2001 sampai dengan Triwulan IV 2013). Data diperoleh dari beberapa instansi seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kementerian Perdagangan.

(6)

sebaliknya. Sehingga respon harga dari daerah sentra konsumsi ke daerah sentra produksi daging sapi masih bersifat searah. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu pasar merupakan pasar acuan dan pasar lainnya merupakan pasar pengikut. Sentra konsumsi daging sapi (Provinsi Jakarta) merupakan pasar acuan atau sentra dalam pemasaran daging sapi.

Integrasi pasar daging sapi domestik dengan pasar daging sapi dunia menunjukkan adanya hubungan integrasi dalam jangka panjang (kointegrasi), namun dalam jangka pendek masih terdapat ketidakseimbangan sehingga dibutuhkan penyesuaian untuk mencapai kesimbangan jangka panjangnya. Adapun hubungan antara harga daging sapi domestik dan harga daging sapi dunia bertanda positif yang menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan harga daging sapi di pasar dunia akan direspon oleh pasar domestik dengan meningkatkan harga dan begitupula sebaliknya. Berdasarkan hasil uji kausalitas Granger diperoleh hasil bahwa hanya harga daging sapi dunia yang mempengaruhi harga daging sapi domestik sedangkan harga daging sapi domestik tidak dapat mempengaruhi harga daging sapi dunia. Hal ini disebabkan negara Indonesia merupakan negara kecil dan net importir daging sapi, sehingga perubahan yang terjadi di pasar internasional akan mempengaruhi harga daging sapi domestik, namun sebaliknya perubahan harga daging sapi domestik tidak dapat mempengaruhi harga daging sapi dunia.

Penawaran daging sapi bersifat inelastis terhadap harga daging sapi domestik. Hal ini dapat disebabkan oleh sebagian besar peternak Indonesia adalah peternak rakyat yang masih bersifat subsisten dan skala kecil, sehingga adanya perubahan harga daging sapi tidak mempengaruhi penawaran daging sapi karena sifat peternak sapi Indonesia yang tidak responsif terhadap perubahan harga. Selain itu, diduga terjadi asimetri informasi dimana jika terjadi perubahan harga di tingkat konsumen tidak disalurkan kepada produsen, sehingga menyebabkan penawaran in elastis terhadap perubahan harga daging sapi. Respon penawaran daging sapi yang negatif terhadap pergerakan harga susu juga menunjukkan bahwa sumber penawaran daging sapi bukan hanya berasal dari sapi potong namun juga berasal dari sapi perah. Penawaran daging sapi dipengaruhi oleh harga pakan, peningkatan harga pakan dapat menyebabkan penurunan penawaran daging sapi. Oleh karena itu, pengembangan agribisnis pakan mutlak diperlukan apabila Indonesia bermaksud untuk mencapai swasembada daging sapi. Selain itu, Penawaran daging sapi dipengaruhi oleh jumlah sapi yang dipotong karena jumlah sapi yang dipotong menunjukkan ketersediaan daging sapi.

(7)

Indonesia. (RATNA WINANDI ASMARANTAKA as leader, HARIANTO as a member of the supervising commission).

Indonesia's beef needs are met from three sources, namely local beef, imported cattle and beef imports. This is because local beef production in 2013 amounted to 545 600 tonnes, while beef consumption reached 757 088 tonnes. This leads to the presence of excess demand in order to meet the needs of domestic beef and veal imports carried out beef. In order to increase the availability of beef in Indonesia, there are still some problems which are beef production centers in Indonesia are still concentrated in a few regions such as East Java and NTB, while regional consumption centers are in Greater Jakarta. The second problem is the liberalization of the beef market, where custom duties beef from abroad will be lower than previous implications on the price of imported beef to be much cheaper and the price of local beef that follow the movement of the price of beef imports also become cheaper than ever, this leads to fluctuations in the price of beef in the domestic market to fully follow the market mechanism. In addition, there are other issues that beef production is still low. Beef cattle farm productivity is still low and caused by the majority of livestock breeders in Indonesia that is dominated by people who are still subsistence so that the average farmer in Indonesia responded less to changes in the price of beef at this time continues to increase.

The purposes of this study were to: (1) analyze the integration of the beef market center's cut in some provinces and other provinces in Indonesia, (2) analyze the integration of the domestic beef market in Indonesia with the world's beef market, (3) analyze the response to the breeder supply's changes in the price of beef in Indonesia. This research used the model VECM (Vector Error Correction Model) to analyze the integration of the beef market and used the model ECM (Error Correction Model) to analyze the supply response of beef. The data used were the time series data (time series) in the months (January 2009 to December 2013) and the data quarterly (first quarter 2001 to fourth quarter 2013). Data obtained from several agencies such as the Central Statistics Agency (BPS), Bank of Indonesia, Directorate General of Livestock and Animal Health and the Ministry of Trade.

(8)

and the other market was a market follower. Beef consumption center (Jakarta Province) was a reference market or centers in the marketing of beef.

The integration of the domestic beef market with the world beef market indicated a relationship of integration in the long term (co integration), but in the short term there were still imbalances that required adjustments to achieve long-term balance. The relationship between the price of domestic beef and the beef's price was positive which indicated that an increase in the price of beef in the world market would be responded by the domestic market by increasing prices and vice versa. Based on the results of Granger causality test, it showed that the world's only beef prices were affecting domestic beef prices, while the price of domestic beef could not affect the price of world's beef. This was due to the fact that Indonesia is a small country and a net importer of beef, so the changes occurring in the international market will affect the price of domestic beef, but instead, it changes in the price of domestic beef that wouldn't affect the world price of beef.

The supplying of beef is inelastic to the price of domestic beef. It can be caused by most of Indonesian farmers that are breeders of the people who are still subsistence and in a small scale, so that the change in the price of beef does not affect the supply of beef due to the nature of Indonesian cattle ranchers who are not responsive to price changes. In addition, where the asymmetry information is thought to occur in the event of changes in consumer prices that was not distributed to producers, thus causing the elastic changes in deals of beef prices. Beef supply responses that negatively affect milk price movements also showed that the sources of the supply of beef came not only from cattle but also from dairy cows. Beef offers are affected by feeding prices, the increase in feeding prices may lead to a decrease in the supply of beef. Therefore, the development of agri-food is absolutely necessary if Indonesia intends to achieve self-sufficiency in beef. In addition, the offer is affected by the number of beef cattle slaughtered as a cause to the number of cattle slaughtered that indicated the availability of beef.

(9)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)

INTEGRASI PASAR DAN RESPON PENAWARAN

DAGING SAPI DI INDONESIA

AHMAD ZAINUDDIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si.

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah mengenai perdagangan daging sapi di Indonesia, dengan judul Integrasi Pasar dan Respon Penawaran Daging Sapi di Indonesia.

Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan dengan baik karena bimbingan, arahan, curahan ilmu, masukan, dan dorongan dari komisi pembimbing dan bantuan serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. Ratna Winandi Asmarantaka, M.S., selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir. Harianto, M.S., selaku anggota komisi pembimbing yang selalu meluangkan waktunya untuk memberikan koreksi dan masukan serta sebagai sumber inspirasi bagi penulis dalam penyusunan tesis.

2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si selaku penguji Luar Komisi dan Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc., selaku penguji Wakil Komisi Program Studi atas semua pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan yang diberikan kepada penulis.

3. Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S., selaku ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menempuh pendidikan.

4. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas segala ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan.

5. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas kesempatan dan dukungan beasiswa BPPDN pendidikan Program Magister di IPB.

6. Prof. Dr. Ir. Rudi Wibowo, M.S., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan dukungan serta arahan untuk melanjutkan pendidikan Magister di IPB.

7. Rektor Universitas Jember dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jember serta Ketua Program Studi Agribisnis Universitas Jember atas kesempatan untuk menjadi calon dosen di Universitas Jember.

8. Bapak Johan, Ibu Ina, Bapak Widi, Ibu Kokom, Bapak Erwin, Bapak Khusein, selaku staf administrasi di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, yang telah banyak membantu selama penulis menempuh pendidikan.

9. Seluruh anggota keluarga penulis, khususnya Ibunda tercinta Hj. Jamilah terima kasih atas doa dan dorongan moril serta semangat yang diberikan selama studi. Kakak-kakakku H. Ahmad Alfin Abdul Ghoni, Hj. Farida, Ahmad Jupri, S.E., Yeni Niswatul Insiyah, yang telah memberikan semangat dan dorongan selama kuliah. Dengan iringan doa kepada almarhum ayahanda tercinta Supardi, terima kasih atas semua nasihat dan do’anya semasa hidup. 10. Sahabatku Ahmad Fanani, Nuni Anggraini, Rini Desfaryani, Moh. Ibrahim

(14)

11. Partner diskusi, Doddy Ismunandar Bahari, Angelia Lovita, Lillah Wedelia, Reny Hidayati dan Muhammad Nursan yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi mengenai perkuiahan dan tugas akhir.

12. Teman-teman di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Angkatan 2013 yang telah berbagi ilmu, berdiskusi dan belajar bersama selama mengikuti kuliah.

13. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu terlaksananya penelitian dan penyusuan tesis ini.

Segala kekurangan yang terdapat pada tesis ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Agustus 2015

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 11

Konsep Integrasi Pasar 11

Integrasi Pasar Spasial 13

Integrasi Pasar Vertikal 15

Hukum Persamaan Harga (Law of One Price) 16

Perbandingan Metode Analisis Integrasi Pasar 17

Teori Penawaran 19

Teori Respon Penawaran 21

Model Penyesuaian Parsial Nerlove 22

Elastisitas Penawaran 23

Penelitian Terdahulu 24

Kerangka Konseptual 26

3. METODE PENELITIAN 31

Jenis dan Sumber Data 31

Metode Analisa Data 32

4. GAMBARAN UMUM PETERNAKAN SAPI POTONG

INDONESIA 45

Pola Peternakan 45

Perkembangan Populasi Ternak Sapi Potong 46

Perkembangan Produksi Daging 48

Konsumsi Daging Sapi 49

Perkembangan Harga Daging Sapi Domestik dan Internasional 50 Permasalahan dan Tantangan Pengembangan Peternakan Sapi

Pedaging 51

5. INTEGRASI PASAR DAGING SAPI INDONESIA 53

Integrasi Pasar Daerah Sentra Produksi dengan Pasar Daerah

Sentra Konsumsi Daging Sapi 53

Integrasi Pasar Daging Sapi Domestik dengan Pasar Daging Sapi

(16)

6. RESPON PENAWARAN DAGING SAPI INDONESIA 85 Respon Penawaran Daging Sapi terhadap Perubahan Harga

Daging Sapi 85

7. KESIMPULAN DAN SARAN 91

Kesimpulan 91

Saran 92

Implikasi Kebijakan 92

Saran Penelitian Lanjutan 92

DAFTAR PUSTAKA 94

LAMPIRAN 101

(17)

DAFTAR TABEL

1 Besaran Derajat Elastisitas 24

2 Jenis Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian 32 3 Banyaknya Unit Usaha dan Populasi Ternak Menurut Jenis Usaha

Sapi Potong di Indonesia Tahun 2011 46

4 Perkembangan Propulasi Sapi Potong Per Provinsi di Indonesia

Tahun 2009-2013 (ekor) 47

5 Perkembangan Populasi Sapi Potong dan Sapi Perah di Indonesia

Tahun 2009-2013 (000 ekor) 48

6 Perkembangan Produksi Daging di Indonesia Tahun 2009-2013

(000 ton) 48

7 Perkembangan Produksi, Impor dan Konsumsi Daging Sapi

Indonesia Tahun 1999-2013 49

8 Hasil Pengujian Akar Unit dengan Intersep tanpa Tren 57 9 Hasil Pengujian Akar Unit dengan Intersep dengan Tren 58

10 Kriteria Lag Optimal 58

11 Hasil Pengujian Kointegrasi Johansen 59

12 Hasil Uji Kausalitas dengan Metode Granger 60

13 Kointegrasi Jangka Panjang antar Pasar di Sentra Produksi dan

Konsumsi Daging Sapi dalam Negeri 62

14 Kointegrasi Jangka Pendek antar Pasar di Sentra Produksi dan

Konsumsi Daging Sapi dalam Negeri 64

15 FEVD Harga Daging Sapi di Jawa Timur 70

16 FEVD harga Daging Sapi di NTB 71

17 FEVD Harga Daging Sapi di Jawa Barat 71

18 FEVD Harga Daging Sapi di Jakarta 72

19 Hasil Pengujian Akar Unit dengan Intersep tanpa Tren 75 20 Hasil Pengujian Akar Unit dengan Intersep dengan Tren 75 21 Kriteria Lag Oprimal Harga Daging Sapi Domestik dan Dunia 76

22 Hasil Pengujian Kointegrasi Johansen 77

23 Hasil Pengujian Kausalitas Granger 77

24 Kointegrasi Jangka Panjang antar Pasar Daging Sapi Domestik

dengan Pasar Dunia 78

25 Kointegrasi Jangka Pendek antar Pasar Daging Sapi Domestik dan

Dunia 79

26 FEVD Harga Daging Sapi Domestik 82

27 FEVD Harga Daging Sapi Dunia 83

(18)

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan Harga Bulanan Daging Sapi di Daerah Sentra

Produksi dan Konsumsi di Indonesia Tahun 2013 5

2 Perkembangan Harga Daging Sapi Domestik dan Harga Daging Sapi

Dunia Tahun 2013 6

3 Model Equilibrium Spasial Dua Wilayah 14

4 Kurva Penawaran 19

5 Pergeseran Kurva Penawaran 20

6 Kerangka Pemikiran 28

7 Pergerakan Harga Daging Sapi di Daerah Sentra Produksi dan

Konsumsi Periode 2009-2012 53

8 Respon Harga Daging Sapi Jawa Timur terhadap Guncangan

Variabel Lain 66

9 Respon Harga Daging Sapi NTB terhadap Guncangan Variabel Lain 67 10 Respon Harga Daging Sapi di Jawa Barat terhadap Guncangan

Variabel Lain 68

11 Respon Harga Daging Sapi Jakarta terhadap Guncangan Variabel

Lain 69

12 Pergerakan Harga Daging Sapi Domestik dan Dunia Periode

2010-2012 73

13 Respon Harga Daging Sapi Domestik terhadap Guncangan Variabel

Lain 81

14 Respon Harga Daging Sapi Dunia terhadap Guncangan Variabel

Lain 81

15 Hubungan Harga Daging Ayam dan Daging Sapi di Indonesia Tahun

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Harga Daging Sapi di Daerah Sentra Produksi dan Konsumsi 103 2 Uji Stationeritas pada Kondisi Intersep tanpa Tren 105 3 Uji Stationeritas pada Kondisi Trend and intercept 110

4 Pengujian Panjang Lag Optimal 115

5 Uji Kointegrasi 116

6 Uji Kausalitas Granger 118

7 Hasil VECM Harga Daging Sapi di Sentra Produksi dan Konsumsi 119

8 Harga Daging Sapi Domestik dan Dunia 121

9 Uji Stationeritas Harga Daging Sapi Domestik dan Dunia 122

10 Penentuan Panjang Lag 129

11 Uji Kointegrasi 130

12 Uji Kausalitas Granger 131

13 Hasil VECM Harga Daging Sapi Domestik dan Dunia 131

14 Varibel Respon Penawaran Daging Sapi Indonesia 133

15 Hasil Estimasi Respon Penawaran Daging Sapi Indonesia (Bukan

Model terbaik) 135

16 Hasil Estimasi ECM Respon Penawaran Daging Sapi Indonesia

(20)
(21)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian yaitu kontribusi produk (product contribution) dalam sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan kontribusi pasar (market contribution). Pertanian juga merupakan sektor yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan (employment contribution) dan mendatangkan devisa bagi negara (export earning contribution). Peran penting lainnya adalah dalam penyediaan kebutuhan pangan dan energi bagi manusia. Semakin meningkatnya jumlah penduduk berarti kebutuhan akan pangan dan energi juga meningkat. Dengan demikian sektor pertanian yang menghasilkan pangan dan bioenergi tentu menjadi semakin penting. Sebagai sektor yang juga memiliki kontribusi yang nyata dalam upaya penyediaan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan, sektor pertanian sangat penting dalam perekonomian nasional (Daryanto, 2009).

Menurut Sutawi (2007), sejak tahun 1997 krisis moneter dan ekonomi yang membuktikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling tangguh menghadapi terpaan krisis moneter. Oleh karena itu, sektor pertanian merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan sebagai sektor andalan dan pilar pertahanan dan ekonomi nasional menuju industrialisasi. Dekade yang terakhir ini, sektor pertanian hanya diperlakukan sebagai sektor pendukung yang mengemban peran konvensionalnya dengan berbagai misi yaitu kaitannya dengan stabilitas ekonomi nasional dengan kurang memperhatikan keberpihakan kepada kepentingan kesejahteraan petani selaku pelaku sentral.

Perjalanan sejarah pertumbuhan negara maju maupun negara berkembang selalu mengalami dilema dalam menentukan prioritas pembangunan sektor industri dan sektor pertanian yang harus diutamakan. Posisi pertanian di Indonesia dan negara berkembang lainnya, selalu menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi nasionalnya menduduki posisi yang sangat penting. Pernyataan ini didukung oleh kenyataan bahwa sebagian besar penduduk masih bermata pencaharian di sektor pertanian, pada umumnya masih menghadapi masalah pangan, sulit bersaing dengan negara maju untuk menghasilkan produk-produk industri di pasar internasional baik karena keterbatasan modal, ketidakmampuan melakukan riset dan pengembangan, maupun karena adanya kebijakan politik proteksionisme negara-negara maju serta adanya ketegaran sektor pertanian dalam menghadapi gejolak perekonomian dunia dan masih besarnya sumbangan sektor pertanian bagi pembangunan sektor industri (Sutawi, 2007).

(22)

peningkatan kecerdasan bangsa. Menurut Daryanto (2007), kebijakan ekonomi di bidang peternakan juga berupaya untuk mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan peningkatan pendapatan peternak serta peningkatan produksi yang diatur dengan undang-undang.

Salah satu bagian dalam usaha bidang peternakan adalah peternakan ruminansia yang meliputi peternakan sapi potong, sapi perah, kambing, unta, kerbau dan lain-lain. Subsektor peternakan saat ini masih dalam proses revitalisasi utamanya untuk memenuhi target pemerintah untuk meningkatkan produksi peternakan domestik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Komoditas peternakan yang saat ini sedang ditingkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang semakin meningkat adalah daging sapi.

Daging sapi merupakan salah satu komoditas pertanian penting dan strategis di Indonesia. Terdapat beberapa alasan yang membuat daging sapi memiliki peran penting dan strategis yaitu (1) pengembangan komoditas daging sapi sebagai bagian dari subsektor peternakan berpotensi menjadi sumber pertumbuhan baru bagi peningkatan PDB sektor pertanian; (2) terdapat 5.74 juta rumahtangga yang terlibat dalam usaha peternakan sapi potong (Ditjen PKH, 2013); (3) sentra produksi daging sapi tersebar di banyak daerah, sedangkan sentra konsumsi terpusat di perkotaan sehingga mampu menggerakkan perekonomian regional; (4) pengembangan produksi komoditas daging sapi mendukung upaya peningkatan ketahanan pangan dan ketersediaan pangan (Ilham, 2006).

Selama ini kebutuhan daging sapi Indonesia dipenuhi dari tiga sumber, yaitu sapi lokal, sapi impor dan daging sapi impor. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian selama periode 1999-2013 produksi daging sapi dalam negeri berfluktuasi, meskipun menunjukkan adanya trend kenaikan. Sedangkan konsumsi dalam negeri cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya dengan laju peningkatan konsumsi daging sapi yang mencapai 4.66%, dibandingkan dengan laju peningkatan produksi sapi potong sebesar 3.2%, sehingga dalam jangka panjang diperkirakan terjadi kekurangan produksi akibat adanya pemotongan ternak sapi yang berlebihan. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan daging sapi dalam negeri selalu lebih besar dibandingkan dengan produksi daging sapi dalam negeri. Untuk menutupi kekurangan penawaran daging sapi dalam negeri dilakukan impor dari berbagai negera, terutama Australia dan Selandia Baru. Selama dasawarsa terakhir konsumsi daging sapi cenderung mengalami peningkatan dimana peningkatan konsumsi daging sapi lebih tinggi dari peningkatan produksi daging sapi. Hal ini sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia yang cenderung meningkat sehingga konsumsi daging juga meningkat. Sedangkan pertumbuhan populasi sapi nasional yang mendukung produksi daging sapi cenderung mengalami peningkatan secara lamban sehingga terjadi kelebihan permintaan (Ditjen PKH, 2014)

(23)

mengkhawatirkan kedaulatan dan ketahanan pangan. Mengatasi perihal tersebut pemerintah mencanangkan peningkatan ketersediaan daging sapi lokal serta mengurangi proporsi daging sapi impor. Pencapaian peningkatan ketersediaan daging sapi lokal tersebut dilakukan dengan meningkatkan produktivitas peternakan rakyat di Indonesia agar impor sapi dan daging sapi hanya sebesar 10% dari total kebutuhan masyarakat (Ilham, 2006).

Guna meningkatkan ketersediaan daging sapi di Indonesia masih terdapat beberapa kendala diantaranya adalah permasalahan pasar daging sapi di Indonesia yang masih terkonsentrasi pada beberapa daerah seperti Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, Kalimantar Barat dan Kepulauan Bangka Belitung (Zainuddin, 2013). Penelitian Zainuddin (2013) mengkategorikan provinsi produsen dan konsumen dengan menghitung selisih antara produksi dan konsumsi daging sapi dimana daerah yang memiliki kelebihan produksi dikatakan sebagai daerah produsen dan sebaliknya. Adanya pasar yang masih terkonsentrasi pada beberapa daerah tersebut menyebabkan pergerakan harga daging sapi di suatu wilayah tidak tertransmisikan ke wilayah yang lain atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa fluktuasi harga daging sapi di provinsi sentra produksi tidak sama dengan provinsi sentra konsumsi. Hal ini menimbulkan permasalahan karena akan menghambat pencapaian program swasembada daging sapi yang dicanangkan oleh pemerintah dengan menyediakan daging sapi dengan harga murah pada setiap wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, menjadi penting untuk melihat integrasi pasar daging sapi antara wilayah sentra produksi dengan daerah sentra konsumsi di Indonesia.

Adanya liberalisasi perdagangan antar negara menyebabkan pasar Indonesia menjadi sasaran produk impor, salah satunya adalah daging sapi impor dan sapi impor. Perdagangan bebas antar negara mengisyaratkan penurunan tarif impor produk ternak 10% menjadi 5% dan menurunkan tarif impor sapi bibit dan sapi bakalan menjadi 0% (Ilham, 2009). Liberalisasi pasar daging sapi, dimana domestik sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar. Harga impor daging sapi Indonesia juga berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun perubahan yang terjadi pada pasar dunia tidak berarti juga perubahan dengan tingkat yang sama pada harga impor daging sapi Indonesia. Perubahan harga daging sapi dunia (impor) akan mempengaruhi terhadap konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia yang cenderung bersifat elastis terhadap harga. Oleh karena itu menjadi penting untuk meneliti mengenai integrasi pasar daging sapi domestik dengan pasar daging sapi dunia.

(24)

bersifat subsisten sehingga rata-rata peternak di Indonesia kurang respon terhadap perubahan harga daging sapi yang pada saat ini terus mengalami peningkatan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respon penawaran peternak terhadap perubahan harga daging sapi. Dalam penelitian ini akan dikaji bagaimana integrasi pasar antara daerah produsen dan konsumen daging sapi di Indonesia serta bagaimana respon penawaran peternak terhadap adanya perubahan harga daging sapi di tingkat konsumen di Indonesia.

Perumusan Masalah

Salah satu bagian dalam usaha bidang peternakan adalah peternakan ruminansia yang meliputi peternakan sapi potong, sapi perah, kambing, unta, kerbau dan lain-lain. Subsektor peternakan saat ini masih dalam proses untuk memenuhi target pemerintah untuk melakukan produksi peternakan secara lokal untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Komoditas peternakan yang saat ini sedang ditingkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang semakin meningkat adalah daging sapi.

Kebijakan pemerintah dengan adanya swasembada daging tahun 2014 menjadi tantangan dalam sektor pertanian khususnya subsektor peternakan (cattle raising). Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2014 dapat diketahui bahwa jumlah produksi daging sapi dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan konsumsi daging sapi di Indonesia. Jumlah produksi daging sapi dalam negeri terus mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2007 produksi sebesar 339.48 ribu ton, tahun 2008 meningkat menjadi 392.70 ribu ton, tahun 2009 meningkat menjadi 409.30 ribu ton dan tahun 2010 meningkat menjadi 436.45 ribu ton. Sedangkan jumlah konsumsi daging sapi pada tahun 2007 sebesar 378 832 ton, tahun 2008 meningkat menjadi 438 280 ton, tahun 2009 meningkat menjadi 476 700 ton dan tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 527 000 ton. Meskipun jumlah produksi dalam negeri terus mengalami peningkatan, namun jumlah tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi yang juga mengalami peningkatan dengan laju yang lebih tinggi sehingga impor daging sapi merupakan solusi guna memenuhi kebutuhan konsumsi daging di Indonesia.

(25)

Adanya produksi yang masih terkonsentrasi pada beberapa provinsi dan sentra konsumsi yang terpusat di Jabodetabek tersebut menyebabkan perubahan harga daging sapi di suatu wilayah sentra produksi tidak sama dengan pergerakan harga di wilayah lainnya. Hal ini menyebabkan terhambatnya pencapaian swasembada daging sapi yang dicanangkan oleh pemerintah dengan menyediakan daging sapi dengan harga murah pada setiap wilayah di Indonesia. Pergerakan harga yang berbeda antar wilayah terlihat pada grafik harga daging sapi di beberapa provinsi produsen dan konsumen di Indonesia sebagai berikut :

Sumber : BPS, 2014 (diolah)

Gambar 1 Perkembangan Harga Bulanan Daging Sapi di daerah Sentra Produksi dan Konsumsi di Indonesia Tahun 2013

Berdasarkan Gambar 1. di atas dapat diketahui bahwa harga daging sapi di provinsi sentra produksi sapi potong yaitu di Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur menunjukkan adanya fluktuasi harga. Demikian pula dengan daerah sentra konsumsi seperti Jakarta dan Jawa Barat cenderung menunjukkan adanya fluktuasi harga yang seirama. Fluktuasi harga yang sama antara wilayah sentra produksi dengan daerah sentra konsumsi daging sapi mengindikasikan adanya integrasi pasar antara daerah sentra produksi dan sentra konsumsi daging sapi. Integrasi pasar daging sapi ditunjukkan oleh hubungan fluktuasi dan perbedaan harga antar wilayah sentra konsumsi dan sentra produksi daging sapi tersebut. Sehingga penelitian ini akan menganalisis mengenai integrasi pasar daging sapi antara wilayah produsen dengan wilayah konsumen daging sapi. Hal ini dikarenakan adanya integrasi pasar antar wilayah di Indonesia akan mendukung pencapaian program swasembada daging sapi di Indonesia dimana pasar yang terintegrasi menunjukkan pasar yang efisien sehingga mendukung swasembada tersebut.

Adanya liberalisasi perdagangan antar negara menyebabkan komoditas impor bebas keluar masuk pasar dalam negeri. Salah satu komoditas yang banyak didatangkan dari luar negeri adalah daging sapi, dimana adanya liberalisasi

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000

Jawa Timur NTB Jawa Barat Jakarta

Harga (Rp)

(26)

perdagangan disyaratkan dengan penurunan tarif impor serta bea masuk daging sapi dari luar negerimenjadi lebih rendah dari sebelumnya, sehingga harga daging sapi impor menjadi jauh lebih murah dan harga daging sapi lokal menjadi lebih mahal akibat biaya produksi yang tinggi sebagai efek dari biaya pakan yang semakin mahal dan biaya pemeliharaan juga semakin mahal. Tujuan dilakukannya impor daging sapi adalah untuk meredam gejolak fluktuasi harga daging sapi yang terjadi dalam negeri (Sutawi, 2007). Hal ini menyebabkan fluktuasi harga daging sapi di pasar domestik sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar. Harga impor daging sapi juga berfluktuasi, namun perubahan yang terjadi pada pasar dunia tidak berarti juga perubahan dengan tingkat yang sama pada harga impor daging sapi Indonesia. Sumber fluktuasi harga daging sapi domestik juga dapat disebabkan oleh fluktuasi harga di pasar dunia, namun sebaliknya harga daging domestik tidak dapat mempengaruhi harga daging sapi dunia. Perubahan harga daging sapi dunia (impor) akan mempengaruhi terhadap konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia yang cenderung bersifat elastis terhadap harga. Adapun perkembangan harga daging sapi domestik di Indonesia dengan harga daging sapi dunia adalah sebagai berikut:

Sumber : BPS dan Kemendag, 2014 (diolah)

Gambar 2 Perkembangan Harga Daging Sapi Domestik dan Harga Daging Sapi Dunia Tahun 2013

Berdasarkan Gambar 2. di atas dapat terlihat bahwa fluktuasi harga daging sapi yang terjadi di pasar dunia segera direspon ke pasar domestik. Berdasarkan Gambar 2 harga daging sapi dunia dapat mempengaruhi harga daging sapi domestik yang ditunjukkan dengan apabila harga daging sapi dunia mengalami fluktuasi maka harga daging sapi domestik juga berfluktuasi. Hal ini terlihat pada Bulan Januari hingga Mei fluktuasi harga daging sapi domestik memiliki kecenderungan yang sama dengan harga daging sapi dunia. Namun pada Bulan Juni dan Agustus, fluktuasi harga daging sapi domestik cenderung tidak sama dengan fluktuasi harga daging sapi dunia dimana harga daging sapi domestik cenderung meningkat sedangkan harga daging sapi dunia cenderung menurun. Meskipun fluktuasi harga daging sapi domestik seirama dengan fluktuasi harga daging sapi dunia, integrasi pasar daging sapi dunia dengan pasar daging sapi domestik belum tentu terjadi. Jika kedua pasar mengindikasikan adanya integrasi, maka dapat dikatakan pemasaran daging sapi di Indonesia efiisien dan sebaliknya.

(27)

Hal ini karena integrasi pasar merupakan salah satu cara mengukur efisiensi pemasaran utamanya efisiensi harga. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis integrasi pasar daging sapi domestik dengan pasar daging sapi dunia.

Berdasarkan Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa pergerakan harga di daerah sentra produksi dan konsumsi daging sapi memiliki tren yang sama, begitu pula dengan pergerakan harga daging sapi domestik dan dunia. Hal ini mengindikasikan adanya integrasi antar pasar. Meskipun pasar daerah sentra produksi dan konsumsi daging sapi serta pasar daging sapi domestik dan dunia menunjukkan indikasi adanya integrasi, namun perilaku peternak sapi belum tentu merespon terhadap perubahan harga daging sapi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peternak sapi potong Indonesia tidak responsif terhadap perubahan harga daging sapi. Menurut Muladno (2010), lebih dari 90% peternak sapi potong di Indonesia adalah peternak rakyat yang merupakan usaha sambilan dan bukan sebagai usaha pokok sedangkan sisanya hanya 10% yang melakukan usaha peternakan sapi potong dalam skala besar. Dominasi peternakan rakyat yang sedemikian besarnya menyebabkan rendahnya produksi sapi potong Indonesia. Rendahnya produksi tersebut disebabkan oleh sebagian besar peternakan rakyat yang masih bersifat subsisten sehingga rata-rata peternak di Indonesia kurang respon terhadap perubahan harga daging sapi yang pada saat ini terus mengalami peningkatan. Pernyataan ini diperkuat oleh penelitian Zainuddin (2013) yang menyatakan bahwa peternak rakyat umumnya masih bersifat subsisten dimana sebagian besar peternakan rakyat memelihara sapi untuk kepentingan investasi atau fungsi saving (simpanan) sehingga kurang responsif terhadap perubahan harga. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respon penawaran peternak terhadap perubahan harga daging sapi.

Secara umum permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana integrasi pasar daging dan respon penawaran daging sapi di Indonesia. Secara spesifik permasalahan tersebut dapat dirinci sebagai berikut :

1. Bagaimana integrasi pasar daging sapi potong di provinsi sentra produksi dan provinsi sentra konsumsi di Indonesia?

2. Bagaimana integrasi pasar daging sapi domestik di Indonesia dengan pasar daging sapi dunia?

3. Bagaimana respon penawaran peternak terhadap perubahan harga daging sapi di Indonesia?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum ingin menganalisis integrasi pasar dan respon penawaran peternak di Indonesia. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis integrasi pasar daging sapi potong di beberapa provinsi sentra

dan provinsi lainnya di Indonesia.

2. Menganalisis integrasi pasar daging sapi domestik di Indonesia dengan pasar daging sapi dunia.

(28)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan pertimbangan bagi pihak yang berkepentingan, antara lain:

1. Bagi penulis diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan serta memberikan pemahaman tentang integrasi pasar dan respon penawaran.

2. Bagi peternak atau produsen sapi potong, untuk membantu dalam perencanaan produksi dan pemasaran daging sapi.

3. Bagi peneliti lain diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya secara lebih mendalam.

4. Bagi pembaca diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan dalam memperluas wawasan, sekaligus sebagai bahan informasi dan literatur untuk penelitian selanjutnya.

5. Bagi pemerintah diharapkan penelitian ini dapat menjadi informasi dalam penyusunan kebijakan di subsektor peternakan.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji integrasi pasar daging sapi di provinsi sentra produksi daging sapi (Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat) dan sentra konsumsi daging sapi (Jawa barat dan Jakarta) di Indonesia dan mengkaji integrasi spasial antara pasar daging sapi domestik dan pasar daging sapi dunia. Analisis integrasi menggunakan data time series bulanan dari Bulan Januari tahun 2009 sampai Bulan Desember tahun 2012. Metode yang digunakan untuk menganalisis integrasi adalah analisis VAR (Vector Agtoregressive)/ VECM (Vector Error Correction Model). Selain itu, penelitian ini difokuskan untuk mengkaji respon penawaran peternak terhadap harga daging sapi yaitu mengkaji seberapa besar nilai elastisitas penawaran daging sapi terhadap harga daging sapi domestik baik jangka pendek maupun jangka panjang. Analisis ini menggunakan model nerlove dengan model ECM (Error Correction Model).

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu:

1. Harga daging sapi merupakan agrerasi harga konsumen secara keseluruhan tanpa dibedakan menurut kelompok konsumen.

2. Harga daging sapi di sentra produksi merupakan harga produsen sapi potong (Rp/ekor) yang ditelah dihitung ulang menjadi harga produsen daging sapi (Rp/kg) yang diperoleh dari statistik harga produsen pertanian subsektor peternakan dan perikanan Indonesia.

3. Harga daging sapi di sentra konsumsi merupakan harga daging sapi di tingkat konsumen (Rp/kg) yang berasal dari statistik harga perdesaan kelompok bahan makanan Indonesia.

4. Harga daging sapi domestik merupakan rata-rata harga daging sapi tingkat konsumen di seluruh Indonesia.

5. Harga daging sapi dunia yang digunakan merupakan proxy dari harga daging sapi impor Indonesia yang tidak dibedakan berdasarkan jenis atau kualitas. 6. Penelitian ini tidak mengkaji pasar input dan produk turunan dari komoditas

sapi.

(29)

ternak yang berasal peternakan rakyat, feedloter dan sapi yang berasal peternakan sapi perah.

8. Data harga daging sapi dunia merupakan proxy harga daging sapi impor dari Australia yang telah dikalikan dengan kurs rupiah terhadap dollar.

(30)
(31)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pada landasan teori akan dibahas mengenai konsep integrasi pasar, integrasi pasar spasial, integrasi pasar vertikal, hukum persamaan harga, teori penawaran, teori respon penawaran, elastisitas penawaran dan model penyesuaian nerlove. Pada bagian akhir akan disajikan kerangka konseptual yang merupakan dasar pemikiran dari penelitian serta akan disajikan hipotesis penelitian.

Konsep Integrasi Pasar

Integrasi atau keterpaduan pasar merupakan salah satu indikator dari efisiensi pemasaran, khususnya efisiensi harga. Asmarantaka (2009) menyatakan bahwa integrasi pasar merupakan suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar perubahan harga yang terjadi di pasar acuan (pasar pada tingkat yang lebih tinggi seperti pedagang eceran) akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pasar pengikutnya (misalnya pasar di tingkat petani). Dengan demikian analisis integrasi pasar sangat erat kaitannya dengan analisis struktur pasar. Dua tingkatan pasar dikatakan terpadu atau terintegrasi jika perubahan harga pada salah satu tingkat pasar disalurkan atau ditransfer ke pasar lain. Dalam struktur pasar persaingan sempurna, perubahan harga pada pasar acuan akan ditransfer secara sempurna (100%) ke pasar pengikut, yakni di tingkat petani. Integrasi pasar akan tercapai jika terdapat informasi pasar yang memadai dan disalurkan dengan cepat ke pasar lain sehingga partisipan yang terlibat di kedua tingkat pasar (pasar acuan dan pasar pengikut) memiliki informasi yang sama.

Analisis terhadap keterpaduan (integrasi) pasar sangat penting karena (1) pengetahuan tentang integrasi pasar akan mempermudah pengawasan terhadap

perubahan harga (2) digunakan untuk memperbaiki rencana kebijakan pemerintah sehingga tidak ada duplikasi intervensi (3) digunakan untuk memprediksi

harga-harga di semua negara (tidak hanya pasar lokal tapi juga pasar dunia) dan (4) digunakan sebagai dasar untuk merumuskan jenis infrastruktur pemasaran

yang lebih relevan untuk pengembangan pasar pertanian.

Goletti, et al., 1995 menyatakan bahwa pasar-pasar dapat terintegrasi atau tidak akan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: (1) infrastruktur pasar, meliputi: transportasi, komunikasi, kredit dan fasilitas penyimpanan yang ada di pasar, (2) kebijakan pemerintah yang mempengaruhi sistem pemasaran, misalnya: pengetatan perdagangan, regulasi-regulasi kredit dan regulasi-regulasi transportasi, (3) ketidakseimbangan produksi antar daerah sehingga terdapat pasar surplus (hanya mengekspor ke pasar lain) dan pasar defisit (hanya mengimpor dari pasar lain) dan (4) supply shock seperti banjir, kekeringan, penyakit akan mempengaruhi kelangkaan produksi yang terlokalisasi sedangkan hal-hal tak terduga lain seperti aksi mogok akan mempersulit transfer komoditi.

(32)

wilayah yang mengimpor komoditi sama dengan harga di wilayah yang mengekspor komoditi ditambah dengan biaya transportasi yang timbul karena perpindahan diantara keduanya maka dapat dikatakan keduanya terjadi integrasi spasial (Ravallion, 1986). Sedangkan integrasi vertikal merupakan integrasi yang dipahami terjadi dalam suatu industri (sistem agribisnis) merupakan keterkaitan lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam satu rantai pemasaran (misal dari lembaga di tingkat petani dengan lembaga di pabrik atau di tingkat konsumen) (Asmarantaka, 2012).

Pengukuran terhadap tingkat integrasi pasar dilakukan dengan beberapa cara yaitu: korelasi harga, analisis regresi, koefisien kointegrasi, analisis penyesuaian dinamis (dynamic adjustments) dan Multiplier dinamis serta koefisien Timmer’s index of market connection.

1. Korelasi Harga

Metode ini digunakan untuk menghitung keeratan hubungan harga antara dua pasar. Metode korelasi harga membutukan data time series harga dari dua pasar yang berbeda sehingga dapat diketahui bagaimana pergerakan harga dari waktu ke waktu. Tingkat integrasi pasar dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai koefisien korelasi menunjukkan makin tingginya tingkat integrasi kedua pasar.

Kelemahan metode ini adalah terlalu kasar untuk melihat hubungan harga di kedua pasar karena bisa saja terjadi nilai koefisien korelasi harganya tinggi meskipun sebenarnya tidak ada aliran barang di kedua pasar tersebut.

Secara umum, koefisien korelasi harga dapat dihitung dengan rumus berikut:

= � − ( )

� 2( )2

(� 2−( )2) ... (2.1)

dimana:

r : Koefisien korelasi harga N : Jumlah pengamatan/data Px : Harga di pasar X

Py : Harga di pasar Y t : waktu

2. Analisis Regresi

Keterpaduan pasar juga dapat diukur dengan menggunakan analisis regresi, dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Pfit= α0+ α1Prjt + Ut ... (2.2)

Dimana :

Pfit : Harga di tingkat penjual/produsen ke-i pada waktu ke-t

Prjt : Harga di tingkat konsumen ke-j pada waktu ke-t α0 : Konstanta

α1 : Parameter

Ut : Error term

Integrasi pasar secara vertikal akan terjadi dengan kuat apabila α1=1 atau

0,5< α1< 1, dimana harga di tingkat pasar produsen terintegrasi dengan harga di

(33)

3. Koefisien Timmer’s Index of εarket Connection

Indeks ini dikembangkan oleh Timmer (1986) untuk mengukur integrasi pasar jangka pendek dan jangka panjang. Metode ini menyimpulkan bahwa struktur pasar terdiri dari satu pasar utama dan beberapa pasar sekunder. Pasar utama mengendalikan pembentukan harga sedangkan pasar sekunder merespon pada kondisi di pasar utama. Untuk menghitung koefisien Timmer’s index of

market connection (IMC) digunakan persamaan:

Pft = a + (1+b)Pft-1 + c (Prt-Prt-1) + (d-b)Prt-1 + eXt-1 + ut ... (2.3)

Dimana:

Pft : Harga pada pasar sekunder (farmer)

Prt : Logaritma harga pada pasar primer (acuan=tingkat konsumen)

X : Faktor musim atau faktor lain t : waktu

untuk memudahkan pendugaan koefisien parameter, maka persamaan di atas ditransformasi menjadi:

Pft= 0+ 1Pft-1 + 2 (Prt-Prt-1) + 3Prt-1 + 4Xt-1 + ut ... (2.4)

Dimana:

1 : (1 + b) 2: c 3: (d - b) 4: e

Index of market connection (IMC) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

IεC = 1/ 3

Index of market connection merupakan merupakan indeks yang dibatasi sebagai nisbah koefisien pasar sekunder periode sebelumnya (t-1) terhadap pasar primer (acuan) periode sebelumnya (Timmer, 1986). Suatu pasar disebut terintegrasi dalam jangka pendek, jika b=-1 dan IMC= 0. Jika pasar tidak terintegrasi pada jangka pendek nilai IεC=∞ (nilai d dan b sama). Apabila IMC<1 maka dapat disimpulkan pasar acuan ada hubungan yang kuat, sebaliknya apabila IMC>1 maka, pasar acuan tidak ada. Integrasi jangka panjang ditunjukkan oleh koefisien c ( 2), yakni jika nilai c ( 2) sama dengan 1 maka terjadi integrasi

dalam jangka panjang (harga dari pasar acuan ditransmisikan secara proporsional kepada pasar sekunder).

Integrasi Pasar Spasial

(34)

memungkinkan untuk melakukan pendugaan harga yang terbentuk pada masing-masing pasar dan jumlah komoditi yang akan diperdagangkan. Pada model keseimbangan spasial, pasar dibagi menjadi pasar potensial surplus (potential surplus market), yaitu pasar yang memiliki kelebihan cadangan konsumsi dan pasar potensial defisit (potential deficit market), yaitu pasar yang memiliki kekurangan cadangan konsumsi. Prinsip ini yang dapat digunakan untuk mengembangkan model perdagangan antar daerah yang digambarkan dengan bantuan diagram yang menunjukkan fungsi supply dan demand dari masingmasingpasar dan ditunjukkan pada Gambar 3.

Sumber : Tomek and Robinson, 1990

Gambar 3 Model Equilibrium Spasial Dua Wilayah

P

ric

e

Quantity Quantity

QDA QSA QDB QSB

PA

PB

PE

SA

DA

SB

DB

Quantity

P

ric

e

ESA1

0 Q1

x

T

EDB1

y Q2

PB1-PA1

PA1

PEA1

PEB1

PB1

(35)

Pada Gambar 3. pasar A sebagai pasar potensial surplus dan pasar B sebagai pasar potensial defisit. Jika tidak terjadi perdagangan maka harga yang terjadi adalah PA1 di pasar A dan PB1 di pasar B, di mana PA1<PB1. Pada harga di

atas PA1, pasar A akan mengalami excess supply, sehingga beberapa produk akan

tersedia untuk dijual ke pasar lain. Sedangkan impor akan dilakukan untuk memenuhi excess demand di pasar B jika harga di bawah PB1.

Excess supply adalah selisih jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin tinggi dengan semakin meningkatnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan di pasar A (PA1). Kurva excess supply didasarkan pada garis horizontal, yaitu selisih antara

kurva supply dan demand di pasar A pada harga di atas titik keseimbangan (selisih antara titik b dan titik a, yang ditunjukkan pada Gambar 3.A. sebelah kiri).

Excess demand adalah selisih jumlah yang diminta dengan jumlah yang ditawarkan pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin meningkat dengan semakin rendahnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar B (PB1). Kurva excess demand didasarkan pada garis horisontal, yaitu selisih

antara kurva demand dan supply di pasar B pada harga di bawah titik keseimbangan (selisih antara titik d dan titik c, yang ditunjukkan pada Gambar 3.A. sebelah kanan).

Jika tidak ada biaya transfer antara daerah A dan B maka total unit komoditi yang akan ditransfer dari A ke B sebesar 0Q2 dengan tingkat harga yang

sama dari keduanya yaitu sebesar 0PE. Volume perdagangan akan semakin

menurun antara kedua daerah dengan adanya biaya transfer. Jika biaya transfer lebih besar dari PB1-PA1, maka tidak ada perdagangan antara keduanya. Efek

perubahan biaya transfer yang terjadi antara dua daerah dapat diilustrasikan dengan membangun garis volume perdagangan xy. Pada garis ini dapat dilihat tidak ada perdagangan jika biaya transfer terjadi sebesar PB1-PA1. Tetapi

perdagangan akan maksimum (0Q2) jika biaya transfer sebesar nol. Jika biaya

transfer terjadi sebesar 0T maka jumlah komoditi yang diperdagangkan sebesar 0Q1. Harga komoditi yang terjadi di daerah B akan naik menjadi 0PB2 dan di

daerah A akan turun jadi 0PA2.

Integrasi Pasar Vertikal

Salah satu bentuk integrasi pasar selain integrasi pasar spasial adalah integrasi pasar vertikal. Integrasi pasar vertikal adalah tingkat keeratan hubungan antara pasar produsen dan pasar ritel (pedagang). Pasar produsen adalah pasar di mana kekuatan penawaran dari produsen berinteraksi dengan kekuatan permintaan dari pedagang tertentu. Sedangkan pasar ritel adalah pasar yang didalamnya bekerja kekuatan permintaan dari konsumen akhir dengan penawaran dari pedagang. Pasar dapat dikatakan terintegrasi secara vertikal dengan baik jika harga pada suatu lembaga pemasaran ditransformasikan kepada lembaga pemasaran lainnya dalam satu rantai pemasaran.

(36)

lembaga pemasaran yang lebih tinggi. Hal ini terjadi jika arus informasi berjalan dengan lancar dan seimbang. Dengan begitu, tingkat lembaga pemasaran yang lebih rendah mengetahui informasi yang dihadapi oleh lembaga pemasaran di atasnya, sehingga dapat menentukan posisis tawarnya dalam pembentukan harga.

Hukum Persamaan Harga (Law of One Price)

Konsep persamaan harga adalah sebuah teori yang mengacu kepada keterkaitan harga komoditas tertentu yang diperdagangkan pada dua pasar atau lebih. Pada pasar yang efisien, seharusnya hanya ada satu harga dari suatu komoditas tertentu dan tidak dipengaruhi oleh lokasi berlangsungnya transaksi perdagangan. Menurut Kohls dan Uhl (2002), hukum persamaan harga muncul dari perilaku profit-seeking dalam pemasaran dan perdagangan komoditas. Ketika terjadi kenaikan harga suatu komoditas di pasar tujuan (konsumen), maka perbedaan antara kedua pasar menjadi lebih besar dari biaya transfer. Hal ini dilihat oleh trader sebagai peluang untuk menaikkan profit sehingga pelaku perdagangan akan meningkatkan volume perdagangan dari pasar produsen. Sebagai respon dari adanya insentif profit, trader akan membeli komoditas di wilayah asal (produsen) dengan harga yang lebih tinggi dan mengurangi harga pada pasar. Misalkan harga suatu komoditas pada dua padar yang terpisah secara spasial adalah P1t dan P2t dan biaya transfer dari pasar 1 ke pasar 2 adalah sebesar

c, maka hubungan antara kedua harga tersebut adalah:

P1t = P2t + c ... (2.5) Jika hubungan dua harga berlangsung menurut persamaan 2.5 di atas, maka kedua pasar tersebut terintegrasi sehingga dalam jangka panjang terdapat keseimbangan antara kedua harga. Meskipun demikian, dalam jangka pendek beberapa hal dapat terjadi yang menyebabkanhubungan antara kedua harga tersebut menyimpang darikondisi di atas. Jika persamaan 2.5 menggambarkan hubungan harga yang memenuhi law of one price secara penuh, maka untuk hubungan antara dua harga yang berada dalam kondisi yang tidak sepenuhnya memenuhi law of one price adalah sebagai berikut:

P1t –Pβt = λ c ... (2.6)

Dimana λ adalah konstanta yang besarnya antara 0 sampai 1. Kondisi 3.6

merupakan kondisi arbitrase spasial yang dapat menggambarkan hubungan yang lemah dalam law of one price (hubungan yang kuat digambarkan pada persamaan 2.5. Harga mungkin mengalami penyimpangan dari kondisi law of one price, namun adanya arbitrase spasial akan menyebabkan perbedaan harga antara kedua harga akan bergerak mendekati biaya transfer.

(37)

Perbandingan Metode Analisis Integrasi Pasar

1) Model Korelasi dan Regresi Statis

Penelitian sebelumnya menganalisis transmisi harga spasial atau integrasi pasar mengandalkan Bivariate Correlation Model (BCM) antar harga pasar di berbagai daerah (Stigler dan Sherwin, 1985). BCM mengukur tingkat integrasi pasar dengan memeriksa co-movement dari data harga dengan asumsi biaya transfer tetap. Misalnya, jika Pit dan Pjt dua seri harga kontemporer di pasar i dan j

dihubungkan dengan perdagangan untuk komoditas yang homogen, integrasi pasar ditunjukkan oleh koefisien korelasi (r), yang berkisar antara -1 dan +1. Dengan pendekatan ini, r signifikan positif menunjukkan pasar terintegrasi dengan baik yang dapat diartikan bahwa harga pasar terpadu dan bergerak searah. Karena kesederhanaannya, analisis korelasi merupakan pendekatan yang paling umum untuk mengukur integrasi pasar (Golettie et al., 1995). Namun, berdasarkan kesederhanaan belaka, pendekatan ini memiliki keterbatasan. Keterbatasan utama dari pendekatan ini adalah koefisien yang signifikan secara statistik mungkin karena kecenderungan umum dari pasangan harga yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti pertumbuhan penduduk, inflasi atau pola iklim, dan tidak disebabkan oleh integrasi harga itu sendiri (Abdulai, 2007). Selain itu, korelasi harga mengasumsikan penyesuaian harga seketika dan mengabaikan penyesuaian secara dinamis (Ravallion, 1986). Selain itu, korelasi harga menganalisis pasar bukan sebagai suatu sistem.

2) Model Ravallion

Pendekatan lain untuk menganalisis integrasi pasar adalah menggunakan sistem integrasi pasar radial yang dikembangkan oleh Ravallion (1986). Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan prosedur korelasi bivariat statis. Menurut Ravallion (1986), dalam rangka meningkatkan model bivariat statis harus diperluas menjadi model dinamis pada harga spasial. Data harga akan memiliki struktur yang dinamis dengan menggabungkan pasar lokal dengan pasar lain. Untuk mencapaihal tersebut, Ravallion (1986) mengasumsikan struktur pasar spasial yang radial antara kelompok pasar lokal dan sebuah pasar sentral yaitu dengan membuat salah satu pasar menjadi variabel eksogen dari pasar lain. Jika ada bperdagangan di antara beberapa pasar lokal, itu adalah perdagangan dengan pasar sentral yang menentukan pembentukan harga lokal (Ravallion, 1986 dan Negassa et al., 2003). Harga pasar sentral juga dapat dipengaruhi oleh harga lokal, tergantung pada ukuran dan jumlah pelaku usaha dalam pasar. Untuk instrumen harga di pasar sentral, harga pasar lokal merupakan lag variable. Dengan mengadopsi asumsi di atas, hubungan implisit dapat diperoleh antara masing-masing pasar lokal dan pasar sentral.

(38)

Seperti model sebelumnya, hubungan linear diasumsikan untuk variabel harga dan model ravallion ini tidak termasuk biaya transfer antar pasar dari model sehingga pada hasil analisis sering terjadi kesalahan dalam memberikan kesimpulan mengenai integrasi pasar dalam hipotesisnya (Fackler dan Goodwin 1996). Selain itu, model Ravallion dikritik karena tidak mengatasi masalah biaya transaksi dan non stasioneritas pada data harga, yang dapat menyebabkan masalah dalam kesimpulan dan hasil estimasi parameter (Palaskas dan Harriss-White, 1993). Hasil estimasi bisa berupa spurius regression karena model tersebut tidak memperhitungkan implikasi lain dari data yang tidak stasioner.

3) Analisis Kointegrasi dan Error Correction Model (ECM)

Analisis Kointegrasi merupakan prosedur alternatif untuk mengevaluasi hubungan pasar spasial dengan menganalisis tren stokastik dalam data harga ke dalam model. Ini dikembangkan dan diterapkan dalam penelitian sebelumnya oleh Engle dan Granger (1987). Engle dan Granger telah menemukan bahwa banyak data yang berupa data time series tidak dalam keadaan stasioner, berarti varians konstan dari waktu ke waktu, tetapi tidak stasioner (Engle dan Granger, 1987). Analisis Kointegrasi memastikan bahwa penyimpangan dari kondisi keseimbangan antara dua variabel ekonomi yang secara individual non-stasioner dalam jangka pendek harus stasioner dalam jangka panjang (Goodwin dan Schroeder, 1991). Oleh karena itu, jika harga pasar terkointegrasi, dengan demikian, pasar bersangkutan terintegrasi (Negassa et al., 2003). Dengan kata lain, integrasi pasar merupakan indikasi saling ketergantungan.

Kointegrasi sepasang pasar berarti bahwa dinamika hubungan harga di pasar dalam jangka panjang berada dalam hukum satu harga (LOP). Jika dua seri harga, Pit dan Pjt, di dua pasar yang terpisah secara spasial mengandung tren

stokastik dan terintegrasi dari urutan yang sama, mengatakan I (d), pasar dikatakan terkointegrasi jika ada hubungan linear Pit + Pjt ~ I (0), antara seri

harga. Tidak seperti model Ravallion, analisis kointegrasi menetapkan ekuilibrium jangka panjang antar seri data tanpa memerlukan memerlukan asumsi, atau pembatasan pada struktur pasar seperti struktur pasar radial.

Koefisien korelasi, kausalitas granger, model Ravallion dan model kointegrasi tidak mempertimbangkan adanya biaya transaksi dan mengambil pergerakan harga sebagai sinyal untuk analisis integrasi pasar. Mengingat kritik terhadap masing-masing model, model kointegrasi lebih cocok untuk analisis integrasi pasar. Penelitian ini juga akan mengadopsi analisis kointegrasi dan model Error Correction Model (ECM) karena kurangnya data mengenai biaya transaksi. Adapun model Vektor Error Correction Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

∆ = 0 + 1 +∏ 1+ =1−1Γ ∆ 1+� ... (2.7) Dimana:

yt = vektor yang berisi variabel yang dianalisis dalam penelitian (harga daging

sapi di sentra produksi (Rp/kg), harga daging sapi di sentra konsumsi (Rp/kg), harga daging sapi dunia (Rp/kg) dan harga daging sapi domestik (Rp/kg)).

µ0x = vektor intercept

µ1x = vektor koefisien regresi

t = time trend

(39)

yt-1= variabel in-level

Γ = matriks koefisien regresi yang menunjukkan adanya integrasi jangka pendek k-1 = ordo VECM dari VAR dan � = error term

Teori Penawaran

Penawaran menggambarkan serangkaian kombinasi antara harga komoditas dengan jumlah yang ditawarkan oleh penjual atas komoditas tersebut. Kini kita bahas keadaan suatu barang yang diperjual belikan di pasar. Teori mengenai hukum penawaran yang berlaku pada para produsen sebagai pelaku ekonomi pasar menyatakan bahwa jika harga barang perunit mengalami peningkatan akan berpengaruh terhadap jumlah barang yang ditawarkan atau disediakan lebih banyak. Sebaliknya jika harga jual barang per unit turun dari semula produsen berpengaruh untuk mengurangi jumlah barang yang ditawarkan atau disediakan (Sarnowo dan Sunyoto, 2011). Sedangkan menurut Mankiw (2002) jumlah barang yang ditawarkan merupakan sejumlah barang dimana penjual bersedia untuk menjual. Menurut Lipsey (1995), jumlah yang akan dijual oleh perusahaan disebut kuantitas yang ditawarkan untuk komoditi itu. Kuantitas atau jumlah yang ditawarkan merupakan arus, yaitu banyaknya per satuan waktu. Satu hipotesis ekonomi yang mendasar adalah bahwa untuk kebanyakan komoditi, harga komoditi dan kuantitas atau jumlah yang akan ditawarkan berhubungan secara positif, dengan faktor yang lain tetap sama. Dengan kata lain, makin tinggi harga suatu komoditi, makin besar jumlah komoditi yang akan ditawarkan, semakin rendah harga, semakin kecil jumlah komoditi yang ditawarkan. Sukirno (2011) menyatakan bahwa keinginan para penjual dalam menawarkan barangnya pada berbagai tingkat harga ditentukan oleh beberapa faktor yang terpenting antara lain:

a. Harga barang itu sendiri; b. Harga barang-barang lain; c. Biaya produksi;

d. Tujuan-tujuan operasi perusahaan tersebut; e. Tingkat teknologi yang digunakan.

Penjelasan hubungan harga satuan dan jumlah barang yang ditawarkan di pasar dapat dijelaskan melalui gambar 5.

Sumber : Hammond dan Dahl, 1977

Gambar 4 Kurva Penawaran

Jumlah (Q) Supply (S)

0 Q1 Q2

P2

P1

(40)

Fungsi penawaran (Supply Function) adalah Fungsi yang memperlihatkan jumlah yang ditawarkan (Q) sebagai fungsi dari harga produk (Pq) dan harga faktor produksi (r, w) dan teknologi (T). Formulasi fungsinya :

Y = f(Pq, r, w, T) ... (2.8) Menurut Hariyati (2007), beberapa faktor penyebab pergeseran penawaran diantaranya: teknologi, harga faktor produksi. Misalkan dengan adanya perbaikan teknologi dalam proses produksi, sehingga dengan jumlah faktor produksi yang sama dapat dihasilkan barang (Q) dalam jumlah yang lebih banyak. Hal ini mengakibatkan pergeseran kurva penawaran ke kanan (Gambar 6.a). Biaya satuan dari suatu barang yang dihasilkan dengan perbaikan teknologi dapat ditekan lebih murah, atau dengan biaya yang sama dapat dihasilkan barang dengan kuantitas lebih banyak. Sebaliknya kegagalan panen (proses produksi) mengakibatkan pergeseran kurva ke kiri, (Gambar 6.b) karena dengan sejumlah faktor produksi yang sama dihasilkan barang dalam jumlah yang lebih kecil. Kenaikan harga faktor produksi (price of inputs), sedangkan faktor lain tetap (ceteris paribus), maka semakin kecil keuntungan yang akan diperoleh dari produksi suatu komoditi.

Produsen yang rasional akan mengurangi produksinya apabila keuntungan yang diperoleh semakin kecil. Oleh karenanya kenaikan harga faktor produksi menggeser kurva penawaran ke kiri menunjukkan bahwa sedikit jumlah yang ditawarkan pada tingkat harga, turunnya harga faktor produksi menggeser kurva penawaran ke kanan. Perlu dipahami antara perpindahan sepanjang kurva dan pergeseran kurva penawaran. Pergeseran kurva menunjukkan adanya pergeseran keseluruhan kurva penawaran. Ini mengandung arti adanya perubahan dalam jumlah yang ditawarkan pada tiap tingkat harga produk. Perpindahan sepanjang kurva menunjukkan adanya perubahan jumlah yang ditawarkan sebagai respon atas terjadinya perubahan harga produk. Hal ini dapat terlihat seperti Gambar 5:

Sumber : Hammond dan Dahl, 1977

Gambar 5 Pergeseran Kurva Penawaran

Pergerakan kurva penawaran dari kiri bawah ke kanan atas dalam satu kurva (misalkan S0) menunjukkan bahwa jika harga komoditi sendiri tinggi maka

penjual atau produsen akan menjual dalam jumlah yang lebih banyak. Sedangkan kurva penawaran akan bergeser dari S0 ke S1 apabila faktor selain harga komoditi

sendiri seperti harga komoditi pesaing mengalami peningkatan. Jika harga komoditi pesaing meningkat dan dengan asumsi bahwa petani akan menanam

Jumlah (Q)

0 0 Jumlah (Q)

S’

Supply (S)

(a) Harga (Pq)

Supply (S)

S’

Harga (Pq)

(41)

komoditi yang lebih menguntungkan, maka petani akan mengurangi jumlah penawaran komoditi sendiri dan meningkatkan jumlah penawaran terhadap komoditi pesaing begitu juga sebaliknya.

Teori Respon Penawaran

Dalam teori ekonomi yang standar, penawaran (supply) didefinisikan sebagai hubungan fungsional yang menunjukkan berapa banyak suatu komoditas akan ditawarkan (untuk dijual) pada suatu tempat dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga, faktor lain tidak berubah (Tomek and Robinson, 1981). Kurva penawaran menunjukkan hubungan yang positif antara jumlah komoditas yang akan dijual dengan tingkat harga dari komoditas tersebut (Lantican, 1990). Kurva penawaran tersebut di atas didasarkan pada asumsi bahwa produsen bertindak rasional, yaitu selalu berupaya untuk memaksimumkan keuntungan. Berdasarkan asumsi tersebut, secara teoritis tingkat produksi akan diupayakan sampai pada kondisi optimal yaitu pada kondisi dimana nilai produk marjinal sama dengan harga satuan masukan.

Keputusan produksi yang diambil pada waktu t yang didasarkan pada harga saat itu (Pt) tidak akan terealisasi pada waktu t, melainkan pada waktu t+1. Oleh karena itu, fungsi penawaran melibatkan peubah tenggang waktu (lagged variable) sebagai peubah penjelas (explanatory variable). Akan tetapi besar kemungkinan terjadinya kolinieritas ganda antar peubah tenggang waktu tersebut (Adnyana, 2000). Di sisi lain, respon penawaran produksi total terhadap perubahan harganya dicerminkan oleh nilai elastisitas penawaran produk tersebut. Tiga pendekatan yang umum digunakan dalam penghitungan elastisitas penawaran yaitu: (1) langsung dari fungsi penawaran, (2) tidak langsung, melalui penurunan elastisitas permintaan masukan dan elastisitas produksi, dan (3) melalui elastisitas komponen-komponen produksi (Tweeten, 1992). Pada analisis respon penawaran pada komoditas daging akan digunakan pendekatan langsung dari fungsi penawaran.

Jika kurva supply menggambarkan hubungan antara harga dan kuantitas dengan asumsi cateris paribus atau menganggap semua faktor lain konstan, maka respon penawaran menggambarkan respon output terhadap perubahan harga dengan tidak menahan faktor lain konstan. Di dalam ilmu ekonomi respon penawaran berarti variasi dari output pertanian dan luas areal dalam kaitannya dengan perubahan harga (Ghatak dan Ingersent, 1984). Adapun model respon penawaran yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

St = f (PD, PW, PSusu, Payam, Q, PPakan) ... (2.9)

Gambar

Gambar 1 Perkembangan Harga Bulanan Daging Sapi di daerah Sentra Produksi
Gambar 3 Model Equilibrium Spasial Dua Wilayah
Gambar 6 Kerangka Pemikiran
Tabel 2  Jenis Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam bagian ini, di mana merupakan bagian awal dari cerita, telah memberikan pengertian bahwa yang menjadi pencerita dalam film tersebut adalah pihak Amerika yang pada

merupakan salah satu jenis ikan kakap yang banyak dicari oleh konsumen. sebagai bahan konsumsi masyarakat yaitu sebagai lauk-pauk harian

Pada hari ini Jumat tanggal Dua Puluh Satu bulan Oktober tahun 2016, yang bertanda tangan dibawah ini Pokja ULP Barang/Jasa Pembuatan Talud dan Perataan Halaman RKB

Penelitian peranan kehadiran pejantan dan penyuntikan inhibitor aromatase (IA) terhadap proses ovulasi ikan mas koki, menunjukkan bahwa perlakuan tadi telah mampu merangsang

Berdasarkan cerita dari Sony dan Yani Afri kepada Pius di tempat penyekapan, mereka mengatakan bahwa mereka memang sempat dilepaskan dari Kodim, tetapi kemudian

Selain itu, perhitungan harga pokok produksinya pun masih belum tepat karena biaya bahan baku langsung belum dihitung berdasarkan standar yang spesifik dan

Seterusnya kita akan mendapat kebahagian kerana mengikut jalan yang lurus, iaitu jalan yang diredhai oleh Allah .(1m - penegasan huraian) Kesimpulannya,

25 tahun 1992, pengawas dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam RAT karena itu pengawas bertanggung jawab kepada RAT dan pengawas berfungsi melakukan pengawasan