• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Floristik Suku Rutaceae Di Kawasan Madura

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Floristik Suku Rutaceae Di Kawasan Madura"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN FLORISTIK SUKU

RUTACEAE

DI KAWASAN MADURA

ARIFIN SURYA DWIPA IRSYAM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Floristik Suku Rutaceae di Kawasan Madura adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

ARIFIN SURYA DWIPA IRSYAM. Kajian Floristik Suku Rutaceae di Kawasan Madura. Dibimbing oleh TATIK CHIKMAWATI dan MIEN AHMAD RIFAI.

Kawasan Madura memiliki iklim yang kering dan tanah berkapur. Kondisi tersebut menyebabkan jenis tumbuhan di dalamnya khas. Penelitian botani di kawasan ini masih sedikit, sehingga menyebabkan informasi Flora Madura belum lengkap sejak Flora of Java terbit lima puluh tahun yang lalu. Salah satu suku tumbuhan berbunga yang dapat beradaptasi dengan lingkungan Madura adalah Rutaceae. Pada Flora of Java hanya tercatat 11 jenis tumbuhan Rutaceae yang terdapat di kawasan Madura. Oleh sebab suku Rutaceae di kawasan tersebut perlu ditelaah kembali untuk melengkapi informasi Flora Madura. Keanekaragaman jenis Citrus di kawasan Madura perlu ditinjau kembali karena Flora of Java tidak tegas menyebutkan jenis Citrus yang terdapat di Madura. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi suku Rutaceae Madura yang terbaru, baik secara morfologi maupun anatomi, menganalisa kemiripan jenis Rutaceae Madura yang ditemukan, meninjau ulang marga tertentu, serta menjadi bagian dari penulisan Flora Madura.

Kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini meliputi (1) eksplorasi, (2) pengamatan morfologi spesimen Rutaceae Madura di Herbarium Bogoriense, (3) pengamatan anatomi, serta (4) analisis fenetik. Eksplorasi dilakukan di Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep menggunakan metode jelajah. Pengamatan anatomi dilakukan pada beberapa jenis Rutaceae Madura. Pembuatan sayatan paradermal mengikuti metode Sass, sedangkan pembuatan sayatan transversal menggunakan mikrotom beku. Sebanyak 19 ciri morfologi dan anatomi terpilih digunakan dalam analisis fenetik. Analisis fenetik dilakukan dengan program NTSys ver. 2.11a menggunakan indeks kemiripan simple matching dan metode Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Average (UPGMA).

Sebanyak 31 jenis tumbuhan Rutaceae yang termasuk dalam 3 anak suku dan 16 marga telah dikoleksi dari kawasan Madura. Jenis tersebut yaitu Acronychia trifoliata, Aegle marmelos, Citrus amblycarpa, Citrus × aurantiifolia, Citrus × aurantium, Citrus × floridana, Citrus hystrix, Citrus × limon, Citrus lucida, Citrus maxima, Citrus × microcarpa, Citrus reticulata, Euodia hortensis, Clausena excavata, Clausena harmandiana, Glycosmis pentaphylla, Harrisonia brownii, Harrisonia perforata, Limonia acidissima, Lunasia amara, Luvunga monophylla, Melicope bonwickii, Melicope denhamii, Micromelum minutum, Murraya exotica, Murraya koenigii, Murraya paniculata, Severinia disticha, Triphasia trifolia, Zanthoxylum ovalifolium, dan Zanthoxylum rhetsa. Jumlah jenis yang terekam dari kawasan Madura bertambah setelah 50 tahun terbitnya Flora of Java. Tumbuhan Rutaceae yang sudah langka di pulau Jawa, yaitu Aegle marmelos, masih ditemukan di kawasan Madura.

(5)

Secara anatomi, Rutaceae Madura dicirikan dengan adanya rongga kelenjar dan kristal kalsium oksalat. Tipe stomata dan dinding antiklinal yang diamati sangat bervariasi, namun ciri tersebut tidak dapat digunakan sebagai pembeda antar jenis. Beberapa jenis Rutaceae Madura tertentu dapat dibedakan dengan jenis lainnya berdasarkan bentuk dinding antiklinal sel epidermis, keberadaan rongga kelenjar, bentuk kristal kalsium oksalat, keberadaan lapisan hipodermis, dan tipe trikoma.

Analisis fenetik menunjukkan bahwa Rutaceae Madura terbagi menjadi 7 kelompok pada koefisien kemiripan sebesar 67%. Kelompok 1 diwakili oleh Aegle marmelos yang memiliki daun majemuk berpinak daun 3, buah baka dengan perikarp yang mengayu, dan lokul buah yang berisi gom. Kelompok 2 memiliki batang tidak berduri, daun majemuk menyirip gasal dengan rakis yang tidak bersayap dan perikarp menjangat. Kelompok 2 mencakup Micromelum minutum, Murraya exotica, M. koenigii, dan M. paniculata. Kelompok 3 terdiri dari Luvunga monophylla dan Triphasia trifolia. Kelompok tersebut berperawakan perdu berduri yang memiliki bentuk ranting gilig, perhiasan bunga berjumlah 3 helai, dan benang sari berjumlah dua kali dari daun mahkota bunga. Kelompok 4 yang memiliki buah batu dan tidak berbintik kelenjar diwakili oleh Harrisonia brownii A. Juss. Jenis Citrus dengan tipe daun majemuk berpinak daun 1 dan perikarp yang menjangat menyatu dalam kelompok 5. Citrus lucida dan Limonia acidissima menyatu dalam kelompok 6 karena keduanya memiliki daun majemuk menyirip gasal, rakis bersayap, perikarp mengayu, dan adanya lapisan hipodermis. Kelompok 7 yang dicirikan dengan ginesium apokarp diwakili oleh Euodia hortensis.

(6)

SUMMARY

ARIFIN SURYA DWIPA ISRYAM. Floristic Study on Rutaceae of Madura. Supervised by TATIK CHIKMAWATI and MIEN AHMAD RIFAI.

Madura is characterized by dry climate and calciferous soil. These conditions cause only typical plant species grown. There was only few botanical research carried out in that area resulting incomplete information on Flora of Madura since Flora of Java had been published fifty years ago. One kind of flowering plants that capable to adapt in the environment of Madura is Rutaceae. There were only 11 Rutaceae species found in Madura island listed in Flora of Java only. Therefore Rutaceae in Madura needs to be reviewed in oder to complement to the information on Flora of Madura. The diversity of Citrus in Madura island needs to be revisited because Flora of Java does not explicitely mention the Citrus species in Madura island. The aims of this research were to provide update on both anatomical and morphological informations on Rutaceae of Madura, to analyze the similarities among species found in this area, and to review the selected genus, as well as part of Flora of Madura.

The activities carried out in this study include: (1) exploration, (2) observation on Rutaceae of Madura specimens in the Herbarium of Bogoriense, (3) anatomical observation, and (4) phenetic analysis. Sample collections were carried out in Bangkalan, Sampang, Pamekasan, and Sumenep using exploration method. Anatomical observation of leaf paradermal and transversal sections were carried out on some species of Rutaceae. Leaf paradermal section followed Sass method, meanwhile the transversal section was sliced using frozen microtome. As many as 19 morphological and anatomical characters were used for phenetic analysis. The phenetic analysis was executed in NTSys ver. 2.11a using Simple Matching similarity index and Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Average (UPGMA) method.

There were 31 species of Rutaceae grouped into 3 subfamilies and 16 genera collected from Madura. The species are Acronychia trifoliata, Aegle marmelos, Citrus amblycarpa, Citrus × aurantiifolia, Citrus × aurantium, Citrus × floridana, Citrus hystrix, Citrus × limon, Citrus lucida, Citrus maxima, Citrus × microcarpa, Citrus reticulata, Euodia hortensis, Clausena excavata, Clausena harmandiana, Glycosmis pentaphylla, Harrisonia brownii, Harrisonia perforata, Limonia acidissima, Lunasia amara, Luvunga monophylla, Melicope bonwickii, Melicope denhamii, Micromelum minutum, Murraya exotica, Murraya koenigii, Murraya paniculata, Severinia disticha, Triphasia trifolia, Zanthoxylum ovalifolium, and Zanthoxylum rhetsa. The recorded species in Madura increase after Flora of Java published 50 years ago. Aegle marmelos is a rare species in Java island but it still could be found in Madura.

Now, there are 10 species of Citrus found in Madura. One of them, Citrus × floridana., is a new record species for flora of Java. Jherruk carongong or jherruk budhun (Citrus × aurantium (Tangor Group)) that was thought to be extinct, was rediscovered in Panaguan Village, Larangan, Pamekasan District.

(7)

of epidermal cell walls observed, but these characters can not be used to distinguish among species. Some species are distinguishable from others by the shape of epidermal cell walls, the presence of glands cavities, the crystalline form of calcium oxalate, the presence of hypodermal layers, and types of trichomes.

Rutaceae of Madura are divided into 7 groups at the similarity coefficient of 67%. Group 1 consists of one species, Aegle Marmelos, which has trifoliolate leaves, baccate fruit, woody pericarp, and locule contained gum. Group 2 is characterized by spineless stem, imparipinnate leaves, wingless rachis, and coriaceous pericarp characters which consists of Micromelum minutum, Murraya exotica, M. koenigii, and M. paniculata. Group 3 consists of Luvunga monophylla and Triphasia trifolia united by 4 characters i.e. spiny shurb, terete branches, 3-numbered of perianth, and stamens are twice as corolla. Drupe fruit with no pellucid dots are the characteristics of Harrisonia brownii placed in group 4. Citrus species with unifoliolate leaves and coriaceous pericarp are clustered in group 5. Citrus lucida and Limonia acidissima are clustered in group 6. Both of them has imparipinnate leaves, winged rachis, and woody pericarp. Euodia hortensis is placed in group 7. The later has apocarpous gynoecium.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

KAJIAN FLORISTIK SUKU

RUTACEAE

DI KAWASAN MADURA

ARIFIN SURYA DWIPA IRSYAM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)
(13)

Judul Tesis : Kajian Floristik Suku Rutaceae di Kawasan Madura Nama : Arifin Surya Dwipa Irsyam

NIM : G353130271

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Tatik Chikmawati, MSi Ketua

Prof Mien Ahmad Rifai, PhD Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan

Dr Ir Miftahudin, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penulis telah mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman berharga selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah berjudul “Kajian Floristik Suku Rutaceae di Kawasan Madura”. Bagian karya ilmiah ini telah dipublikasikan dengan judul “Updated Note on Rutaceae for Flora of Madura” pada International Conference on Biosciences 2015, “Citrus of Madura” pada 5th International Conference of Plant Diversity, dan “Peninjauan Ulang Marga Citrus (Rutaceae) di Kawasan Madura” dipublikasikan pada jurnal Floribunda.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Tatik Chikmawati, M.Si dan Prof. Mien Ahmad Rifai Ph.D selaku pembimbing atas kesabaran dan kebaikannya dalam memberikan saran, dorongan semangat, dan waktu untuk berdiskusi. Kepada DIKTI melalui program BPPDN Calon Dosen 2013 terima kasih atas kepercayaannya untuk memberikan beasiswa selama menempuh pendidikan pascasarjana di IPB. Kepada Dr. Rugayah, M.Sc yang telah meminjamkan sampel Rutaceae dari pulau Gili Iyang dan menguji sidang tesis. Kepada Herbarium Bogoriense (BO) atas perizinannya untuk pengamatan spesimen koleksi Rutaceae Madura.

Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Inneke Alice Andria, Prof. Dr. Ir. Masyhur Irsyam, M.SE, Tante Nusaerni M. Irsyam, Astiti Maghfirasari Irsyam, Astari Fadhilawati Irsyam, dan seluruh keluarga atas segala doa serta kasih sayangnya selama ini. Kepada Dr. Eko Setiawan (UTM) beserta keluarga di Bangkalan, Bhuk Juharrah beserta keluarga di Sampang, Bhuk Ernawati beserta keluarga di Pamekasan, Sandy, Taufik, dan mbak Nurul beserta keluarga, atas bantuannya selama pengumpulan data. Kepada seluruh sahabat, terima kasih untuk bantuan dan dorongan semangat.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Distribusi dan Habitat Suku Rutaceae 3

Ciri Morfologi Suku Rutaceae 3

Sistem Klasifikasi Tingkat Anak Suku 5

Pemanfaatan Suku Rutaceae di Indonesia 7

Kondisi Lingkungan di Kawasan Madura 8

3 METODE 10

Waktu dan Tempat Penelitian 10

Pengumpulan Sampel 10

Pengamatan Ciri Morfologi 11

Pengamatan Sayatan Anatomi Daun 12

Analisis Data 12

Pembuatan Deskripsi, Kunci Determinasi dan Penulisan Flora 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Informasi Terbaru Suku Rutaceae di Kawasan Madura 13

Anatomi Daun Rutaceae Madura 19

Pengelompokan Beberapa Jenis Rutaceae Madura 31

Peninjauan Khusus Marga Citrus di Kawasan Madura 33

TaksonomiRutaceae 366

5 SIMPULAN DAN SARAN 88

Simpulan 88

Saran 89

DAFTAR PUSTAKA 90

LAMPIRAN 99

(16)

DAFTAR TABEL

1 Tumbuhan Rutaceae di kawasan Madura 14

(17)

DAFTAR GAMBAR

1 Peta distribusi suku Rutaceae. Daerah distribusi suku ini ditandai oleh

warna hijau (Sumber: Briggs 2014) 3

2 Ciri morfologi suku Rutaceae. A. duri pada cabang (panah); B. bintik-bintik kelenjar (panah); C. daun majemuk berpinak daun 1; D. daun majemuk berpinak daun 3; E. daun majemuk menyirip gasal; F. daun tunggal; G. bunga dengan ginesium apokarp (panah); H. bunga dengan ginesium sinkarp (panah); I. bakal buah menumpang; J. buah baka dengan perikarp menjangat; K. buah baka dengan perikarp mengayu. bb= bakal buah; bi= biji; cb= cakram bunga; h= helaian daun; ha= helaian anak daun; k= daun kelopak bunga; kp= kepala putik; l= lokul buah; m= daun mahkota bunga; p= perikarp; r= rakis; st= sayap tangkai daun; ta= tangkai anak daun; t= tangkai daun; tp= tangkai putik 4 3 Variasi tipe buah kering pada suku Rutaceae. A. buah bumbung pada

Myrtopsis sp.; B.buah bumbung Melicope glaberrima Guillaumin yang telah membengang; C. buah batu sinkarp pada Halfordia kendack Guillaumin, dengan setiap bagian buah berasal dari karpel yang saling berlekatan; D. buah batu apokarp pada Comptonella microcarpa (Perkins) T.G. Hartley, dimana setiap buah batu berasal dari karpel yang berlepasan sehingga satu bunga menghasilkan beberapa buah batu; E. buah batu sinkarp pada Acronychia laevis J.R. Forst. dan G. Forst.; F. buah kotak pada Flindersia australis R. Br. dengan bagian biji yang bersayap; G. buah samara pada Pentaceras australis (F,

Muell.) Benth. (Sumber: Bayly et al. 2013) 5

4 Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel. Bangkalan (1. Kamal, 2. Gili Timur, 3. Gili, 4. Gili Indah, 5. Jukong, 6. Telang, 7. Jaddih, 8. Bilaporah, 9. Kramat, 10. Bangkalan, 11. Galis, 12. Patrongan); Sampang (13. Sampang, 14. Gua Lebar, 15. Hutan Kera Nipah, 16. Camplong); Pamekasan (17. Pamekasan, 18. Berruh, 19. Larangan, 20. Larangan Dalam); Sumenep (21. Sumenep, 22. Kalianget, 23. Asta Tinggi, 24. Dasuk, 25. Batuputih, 26. Gili Iyang) 10 5 Koridor savana beriklim monsun di daratan Sunda saat epoh Plestosen

(ditunjukkan oleh garis arsir ke kanan) (Sumber: Heaney 1991) 17 6 Tipe habitat Rutaceae di kawasan Madura. A. hutan dataran rendah; B.

perbukitan kapur; C. hutan jati; D. padang rumput di sekitar bukit kapur; E. goa kapur; F. tepi jalan; G. pekarangan rumah; H. perbukitan kapur di Batuputih yang telah mengalami kerusakan; I. perbukitan kapur di Bangkalan yang dijadikan lokasi penambangan kapur 18 7 Variasi tipe stomata pada Rutaceae Madura. A. anisositik (Melicope

denhamii); B. anomositik (Melicope denhamii; C. anomositik (Murraya exotica); D. siklositik dengan sel tetangga lebih dari 4 (Micromelum minutum) (panah); E. siklositik dengan 4 sel tetangga (Euodia hortensis); F. siklositik dengan sel tetangga yang sempit (Citrus spp.); G. parasitik (Citrus × floridana); H. tetrasitik (Euodia hortensis); I. staurositik (Euodia hortensis). sp= sel penutup; st= sel tetangga.

(18)

8 Bentuk dinding sel epidermis Rutaceae Madura. A. tipe 1; B. tipe 2; C. tipe 3; D. tipe 5; E. tipe 6; F. tipe 8. Perbesaran 400×. Panah menunjuk

pada masing-masing tipe 23

9 Variasi bentuk kristal oksalat pada Rutaceae Madura. A. kristal drus; B-C. kristal prisma. Perbesaran 1000×. Panah menunjuk pada

masing-masing tipe 24

10 Bentuk OLC dan rongga kelenjar pada Rutaceae Madura. A-B. OLC (panah); C. rongga kelenjar fase perkembangan yang ditandai dengan adanya sel sekretori tengah; D. rongga kelenjar fase dewasa yang dicirikan dengan keberadaan sel perifer. sst= sel sekretori tengah; spr=

sel perifer. Perbesaran 400× 25

11 Tipe trikoma pada suku Rutaceae. A. trikoma membintang dalam perbesaran 100×; B-C. trikoma tunggal dalam perbesaran 400×; D. trikoma kelenjar multiseluler dalam perbesaran 400× 26 12 Variasi lapisan palisade dan hipodermis pada Rutaceae Madura. A.

daun dorsiventral dengan selapis palisade (Harrisonia brownii); B. daun dorsiventral dengan 2 lapis palisade (Citrus × aurantiifolia); C. daun dorsiventral dengan 2–3 lapis palisade (Citrus lucida); D-F. daun isobilateral dengan lapisan palisade pada dua sisi daun (Limonia acidissima). bk= bunga karang; ea= epidermis atas; eb= epidermis bawah; h= hipodermis; i= sel idioblas yang mengandung kristal kalsium oksalat; k= kutikula; p= palisade. Gambar A-C dan E-F perbesaran

400×. Gambar D perbesaran 100× 28

13 Dendrogram 19 jenis Rutaceae Madura berdasarkan ciri morfologi dan

anatomi dengan metode UPGMA 31

14 Aegle marmelos (L.) Corrêa. A. habitus; B. daun sisi adaksial; C. daun sisi abaksial; D. duri berpasangan (panah); E. duri tunggal; F. karangan bunga yang menunjukkan kuncup bunga; G. ranting berbuah; H. potongan membujur buah; I. bagian dalam buah masak; J. penampang melintang buah yang memperlihatkan lokul buah berisi gom (panah); K

biji 40

15 Citrus amblycarpa (Hassk.) Ochse. A. ranting; B. daun sisi adaksial; C. daun sisi abaksial; D. karangan bunga yang memperlihatkan bunga mekar; E. kuncup bunga; F. penampang membujur buah; G. buah muda tampak bawah (kiri) dan buah masak tampak atas (kanan); H.

penampang melintang buah; I. biji 43

16 Citrus × aurantiifolia (Christm.) Swingle. A. ranting; B. daun sisi adaksial; C. daun sisi abaksial; D. karangan bunga yang memperlihatkan kuncup; E. karangan bunga yang memperlihatkan bunga mekar; F. buah tampak samping; G. buah tampak atas; H. buah tampak bawah; I. penampang membujur buah; J. penampang melintang

buah; K. biji 45

(19)

18 Citrus × aurantium L. (Tangor Group). A. ranting berbuah; B. daun sisi adaksial; C. daun sisi abaksial; D.buah tampak samping; E. buah tampak atas; F. buah tampak bawah; G. penampang membujur buah; H.

penampang melintang buah; I. biji 47

19 Citrus × floridana (J. Ingram & H. Moore) Mabb. A. ranting; B. daun sisi adaksial; C. daun sisi abaksial; D. karangan bunga yang memperlihatkan kuncup bunga; E. buah tampak samping; F. buah tampak atas; G. buah tampak bawah; H. penampang membujur buah; I.

penampang melintang buah; J. biji 49

20 Citrus hystrix DC. A. ranting; B. daun sisi adaksial (jherruk porot); C. daun sisi abaksial (jherruk porot); D. daun sisi adaksial (jherruk labai); E. bunga mekar; F. kuncup bunga; G. daun mahkota bunga bunga yang memperlihatkan warna keunguan pada bagian ujung (panah); H. buah tampak samping; I. buah tampak atas; J. buah tampak bawah; K. penampang membujur buah; L. penampang melintang buah; M. biji 51 21 Citrus × limon (L.) Osbeck. A. ranting; B. daun sisi adaksial; C. daun

sisi abaksial; D. karangan bunga yang memperlihatkan bunga mekar dan kuncup bunga; E. buah tampak samping; F. buah tampak atas; G. buah tampak bawah; H. potongan membujur buah; I. potongan

melintang buah 53

22 Citrus lucida (Scheff.) Mabb. A-B. ranting; C. daun sisi adaksial; D. daun sisi abaksial; E. karangan bunga; F. buah tampak luar; G. buah

tampak dalam 54

23 Citrus maxima (Burm.) Merr. A. ranting; B. daun sisi adaksial; C. daun sisi abaksial; D. buah tampak samping; E. buah tampak atas; F. buah tampak bawah; G. ranting berbuah; H. potongan membujur buah; I.

potongan melintang buah; J. biji 56

24 Citrus × microcarpa Bunge. A. bunga mekar; B. daun sisi adaksial; C. daun sisi abaksial; D. penampang membujur buah; E. penampang melintang buah; F. buah tampak samping; G. buah tampak atas; H. buah

tampak bawah 57

25 Citrus reticulata Blanco. A. ranting; B. daun sisi adaksial; C. daun sisi abaksial; D. buah tampak samping; E. buah tampak atas; F. buah tampak bawah; G. potongan membujur buah; H. potongan melintang

buah; I. biji 59

26 Clausena spp. dan Glycosmis pentaphylla (Retz.) DC. di kawasan Madura. A. ranting Clausena excavata Burm. f.; B. ranting Clausena harmandiana (Pierre) Guillaumin; G. pentaphylla: C. ranting; D.

karangan bunga 62

27 Limonia acidissima L. A. habitus; B. daun sisi adaksial; C. daun sisi abaksial; D. ranting berbuah; E. buah tampak samping; F. bagian dalam buah muda dengan pulpa berwarna putih; G. biji yang tertanam kuat

dalam pulpa (panah) 64

28 Luvunga monophylla (DC.) Mabb. A. habitus; B. ranting vegetatif; C. daun sisi adaksial; D. daun sisi abaksial; E. ranting berbunga; F.

(20)

29 Micromelum minutum (G.Forst.) Wight & Arn. A. habitus; B. daun sisi adaksial; C. daun sisi abaksial; D-E. karangan bunga; F-G. buah tampak

samping; H. penampang melintang buah 67

30 Anggota marga Murraya di kawasan Madura. Murraya exotica L.: A. ranting; B. daun sisi adaksial; C. daun sisi abaksial; D. bunga (panah); E. buah; F. biji; G. kotiledon; Murraya paniculata (L.) Jack: H. ranting; I. daun sisi abaksial; J. buah masak; K. kotiledon; Murraya koenigii (L.) Spreng.: L. habitus; M. daun sisi abaksial; N. daun sisi adaksial; O.

karangan bunga; P. buah 70

31 Severinia disticha (Blanco) Swingle. A. ranting; B. daun; C. karangan

bunga 73

32 Triphasia trifolia (Burm. f) P.Wilson. A. ranting; B. daun sisi adaksial; C. daun sisi abaksial; D-E. bunga; F. buah; G. penampang melintang

buah; H. penampang membujur buah; I. biji 75

33 Euodia hortensis J.R.Forst & G. Forst dan Melicope denhamii (Seem.) T.G. Hartley di kawasan Madura. Euodia hortensis: A. ranting berbunga; B. daun sisi adaksial; C. daun sisi abaksial; karangan bunga; E. buah bumbung yang belum membengang; F. endokarp ventral; G. Biji; H. kedudukan daun berhadapan bersilangan; Melicope denhamii: I. habitus; J. daun sisi adaksial; K. daun sisi abaksial 79 34 Lunasia amara Blanco dan Acronychia trifoliata Zoll. & Moritzi di

kawasan Madura. Lunasia amara: A. ranting; B. karangan bunga; C. buah bumbung tampak bawah; D. buah bumbung tampak atas; E. daun;

F. ranting A. trifoliata 81

35 Anggota marga Zanthoxylum di kawasan Madura. Zanthoxylum ovalifolium Wight: A. ranting vegetatif; B. buah bumbung; C. ranting berbuah; D. onak pada tulang tengah; E. ranting Zanthoxylum rhetsa

(Roxb.) DC. 84

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Spesimen yang diamati 99

2 Penampang abaksial daun pada anak suku Aurantioideae. A. Aegle marmelos; B. Citrus amblycarpa; C. Citrus × aurantiifolia; D. Citrus × aurantium; E. Citrus × floridana; F. Citrus hystrix; G. Citrus × limon; H. Citrus lucida; I. Citrus maxima.; J. Citrus × microcarpa. se= sel epidermis; sp= sel penutup; st= sel tetangga. Perbesaran 400× 101 3 Penampang abaksial daun pada anak suku Aurantioideae. A. Citrus

reticulata; B. Glycosmis pentaphylla; C. Limonia acidissima; D. Luvunga monophylla; E. Micromelum minutum; F. Murraya exotica; G. Murraya koenigii; H. Murraya paniculata; I. Triphasia trifolia. se= sel epidermis; sp= sel penutup; st= sel tetangga. Perbesaran 400× 102 4 Penampang abaksial daun pada anak suku Amyridoideae. A. Euodia

hortensis; B. Lunasia amara; C. Melicope denhamii; D. Zanthoxylum ovalifolium; E. Zanthoxylum rhetsa. se= sel epidermis; sp= sel penutup;

st= sel tetangga. Perbesaran 400× 103

5 Penampang abaksial daun anak suku Cneoroideae. A. Harrisonia brownii; B. Harrisonia perforata. se= sel epidermis; sp= sel penutup;

st= sel tetangga. Perbesaran 400× 103

6 Penampang adaksial daun pada anak suku Aurantioideae. A. Aegle marmelos; B. Citrus amblycarpa; C. Citrus × aurantiifolia; D. Citrus × aurantium; E. Citrus × floridana; F. Citrus hystrix; G. Citrus × limon; H. Citrus lucida; I. Citrus maxima; J. Citrus × microcarpa. ko= kristal kalsium oksalat; se= sel epidermis; sp= sel penutup; st= sel tetangga.

Perbesaran 400× 104

7 Penampang adaksial daun pada anak suku Aurantioideae. A. Citrus reticulata; B. Glycosmis pentaphylla; C. Limonia acidissima; D. Luvunga monophylla; E. Micromelum minutum; F. Murraya exotica; G. Murraya koenigii; H. Murraya paniculata; I. Triphasia trifolia. se= sel epidermis; sp= sel penutup; st= sel tetangga. Perbesaran 400× 105 8 Penampang adaksial daun pada anak suku Amyridoideae. A. Euodia

hortensis; B. Lunasia amara; C. Melicope denhamii; D. Zanthoxylum ovalifolium; E. Zanthoxylum rhetsa. se= sel epidermis; sp= sel penutup;

st= sel tetangga. Perbesaran 400× 106

9 Penampang adaksial daun anak suku Cneoroideae. A. Harrisonia brownii; B. Harrisonia perforata. Perbesaran 400× 106 10 Susunan overlying cells pada anak suku Aurantioideae (panah). A.

Aegle marmelos; B. Citrus amblycarpa; C. Citrus × aurantiifolia; D. Citrus × aurantium; E. Citrus × floridana; F. Citrus hystrix; G. Citrus × limon; H. Citrus lucida; I. Citrus maxima; J. Citrus × microcarpa; K. Citrus reticulata; L. Glycosmis pentaphylla; M. Limonia acidissima; N. Luvunga monophylla; O. Micromelum minutum. Perbesaran 400× 107 11 Susunan overlying cells pada anak suku Aurantioideae (panah). A.

Murraya exotica; B. Murraya koenigii; C. Murraya paniculata; D.

(22)

12 Susunan overlying cells pada anak suku Amyridoideae (panah). A. Euodia hortensis; B. Lunasia amara; C. Melicope denhamii; D.

Zanthoxylum ovalifolium. Perbesaran 400× 108

13 Rongga kelenjar pada anak suku Aurantioideae. A. Aegle marmelos; B. Citrus amblycarpa; C. Citrus × aurantiifolia; D. Citrus × floridana; E. Citrus × aurantium; F. Citrus hystrix; G. Citrus × limon; H. Citrus lucida; I. Citrus maxima. Perbesaran 400× 109 14 Rongga kelenjar pada anak suku Aurantioideae. A. Citrus microcarpa;

B. Citrus reticulata; C. Glycosmis pentaphylla; D. Limonia acidissima; E. Luvunga monophylla; F. Micromelum minutum; G. Murraya exotica; H. Murraya koenigii; I. Murraya paniculata; J. Triphasia trifolia.

Perbesaran 400× 110

15 Rongga kelenjar pada anak suku Amyridoideae. A. Euodia hortensis; B.

Melicope denhamii. Perbesaran 400× 110

16 Penampang sayatan transversal pada anak suku Aurantioideae. A. Aegle marmelos; B. Citrus amblycarpa; C. Citrus × aurantiifolia; D. Citrus × aurantium; E. Citrus × floridana; F. Citrus hystrix; G. Citrus × limon; H. Citrus lucida; I. Citrus maxima; J. Citrus × microcarpa. bk= bunga karang; ea= epidermis atas; eb= epidermis bawah; h= hipodermis; k= kutikula; ko= kristal kalsium oksalat; p= palisade; rk= rongga kelenjar. Gambar A perbesaran 400×. Gambar B-J perbesaran

100× 111

17 Penampang sayatan transversal pada anak suku Aurantioideae. A. Citrus reticulata; B. Glycosmis pentaphylla; C. Limonia acidissima; D. Luvunga monophylla; E. Micromelum minutum; F. Murraya exotica; G. Murraya koenigii; H. Murraya paniculata; I. Triphasia trifolia. bk= bunga karang; ea= epidermis atas; eb= epidermis bawah; h= hipodermis; k= kutikula; p= palisade; rk= rongga kelenjar. Gambar D dan G perbesaran 100×. Gambar A, B, C, E, F, dan H perbesaran 400× 112 18 Penampang sayatan transversal pada anak suku Amyridoideae. A.

Euodia hortensis; B. Melicope denhamii. Perbesaran 400× 113 19 Penampang sayatan transversal pada anak suku Cneoroideae. A.

Harrisonia brownii; B. Harrisonia perforata. bk= bunga karang; ea= epidermis atas; eb= epidermis bawah; k= kutikula; p= palisade.

Perbesaran 400× 113

20 Ciri morfologi dan anatomi yang dipilih untuk analisis fenetik 114

(23)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Madura merupakan suatu kawasan yang terpisah dari pulau Jawa, terdiri dari pulau Madura, tujuh puluhan pulau-pulau kecil di sekelilingnya, serta Kepulauan Kangean. Tanah kawasan ini bertipe kompleks mediteranian merah dan litosol dengan tanah aluvial berkapur yang kurang subur (Rifai 2007). Alih fungsi lahan hutan secara besar-besaran yang terjadi di pulau Madura antara tahun 1855 dan 1905, mengakibatkan terjadinya degradasi vegetasi alami hingga 90%, sehingga vegetasi alami hanya tersisa di cagar alam di Nipah, Kepulauan Kangean, tegakan sepanjang aliran sungai dan tempat yang dikeramatkan ataupun daerah-daerah tidak bertuan (Rifai 2007; Rifai 2013c). Penelitian botani di Nipah telah disarankan oleh Vordeman pada tahun 1900, namun hingga saat ini belum dilakukan (Vordeman 1900; Rifai 2013b). Kurangnya penelitian botani di kawasan Madura menyebabkan kandungan floranya belum lengkap sejak disusun oleh Backer dan Bakhuizen van den Brink pada tahun 1960-an.

Kondisi beriklim kering akibat pengaruh angin monsun dan tanah berkapur mengakibatkan vegetasi Madura khas, dan salah satu suku tumbuhan berbunga yang dapat tumbuh pada kondisi lingkungan tersebut adalah Rutaceae. Suku ini dicirikan dengan adanya bintik-bintik kelenjar minyak terutama pada bagian daun dan buah, berdaun tunggal atau majemuk, memiliki bakal buah yang menumpang serta berbuah baka, bumbung, kapsul atau buah batu. Suku Rutaceae selain memiliki adaptasi yang baik terhadap iklim kering, juga bernilai ekonomi tinggi sehingga merupakan salah satu suku tumbuhan berbunga yang penting.

(24)

2

mengenali keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan Madura, walaupun tidak lengkap. Setelah 50 tahun terbitnya Flora of Java hingga sekarang belum dilakukan peninjauan ulang jenis Rutaceae Madura, akibatnya keanekaragamannya belum banyak diketahui.

Informasi anatomi suku Rutaceae di Indonesia belum banyak diketahui dan pengamatan ciri anatomi pada Rutaceae Madura belum pernah dilakukan. Pendekatan anatomi penting dilakukan karena dapat memecahkan permasalahan taksonomi apabila bukti morfologi masih meragukan (Sulistiarini 1989). Selain itu, ciri anatomi juga dapat mendukung pengelompokan secara morfologi ataupun molekuler (Sulistiarini 1989; Tihurua et al. 2012). Pendekatan anatomi telah membantu pengelompokan pada marga Freycinetia (Santika & Tihurua 2014), Pandanus (Rahayu et al. 2012), Pinanga (Made & Widjaja 1989), dan Polygala (Neliyati & Sunarti 1988). Penelitian terdahulu melaporkan bahwa beberapa karakter anatomi daun yang bagus secara taksonomi adalah bentuk sel epidermis, bentuk dinding antiklinal, tipe stomata, keberadaan dan tipe trikoma, keberadaan organ sekretori, keberadaan papila, bentuk kristal kalsium oksalat, dan bentuk sklereid (Metcalfe 1979; Rao & Bhattacharya 1980; Fontenelle & Costa 1994; Araujo et al. 2010; Muntoreanu et al. 2011; Tihurua et al. 2012; Rahayu et al. 2013; Santika & Tihurua 2014).

Saat ini sistem klasifikasi Rutaceae telah mengalami perubahan (Bayer et al. 2009; Mabberley 2010; Kubitzki et al. 2011; Morton & Telmer 2014) dan informasi terkini suku Rutaceae di Indonesia belum tersedia. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk menyediakan informasi terkini mengenai Rutaceae Madura dan menjadi bagian dari penulisan Flora Madura.

Tujuan Penelitian

(25)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Distribusi dan Habitat Suku Rutaceae

Suku Rutaceae merupakan tumbuhan Eudikot yang sebarannya bersifat kosmopolitan, terutama di kawasan tropis dan subtropis. Suku ini terdiri dari 2.100 jenis yang termasuk dalam 154 marga yang tersebar di seluruh dunia. Secara umum, distribusi suku Rutaceae banyak terpusat di kawasan Australasia (Kubitzki et al. 2011; Briggs 2014). Kawasan Malesia memiliki 39 marga endemik dan 7 marga yang telah dibudidayakan (Steenis 1987; Balgooy 1998; Balgooy 2010). Pulau Jawa memiliki 23 marga dan sebanyak 14 marga terdapat di pulau Bali (Backer & Bakhuizen van den Brink 1965; Girmansyah et al. 2013).

Gambar 1 Peta distribusi suku Rutaceae. Daerah distribusi suku ini ditandai oleh warna hijau (Sumber: Briggs 2014)

Tumbuhan Rutaceae memiliki rentang habitat yang luas, mulai dari daerah yang sangat kering hingga pegunungan (Balgooy 1998). Suku Rutaceae yang tumbuh di dataran rendah dapat ditemukan di hutan bakau (Merope), pantai berpasir (Atalantia), pinggiran sungai atau rawa (Limnocitrus), daerah berkapur (Clausena, Micromelum, dan Harrisonia), dan hutan monsun (Harrisonia dan Lunasia) (Swingle 1915; Backer & Bakhuizen van den Brink 1965; Steenis & Veldkamp 1987; Jones 1995; Appelhans et al. 2012a). Marga tertentu seperti Aegle, Clausena, dan Lunasia memiliki kemampuan adaptasi yang baik untuk tumbuh di lahan yang kering dengan kategori kekeringan III-VI (Backer & Bakhuizen van den Brink 1965). Selain itu, beberapa marga juga dapat ditemukan di kawasan pegunungan pada ketinggian 1000–3000 m dpl (Steenis 2006). Marga tersebut di antaranya Acronychia, Boenninghausenia, Luvunga, Maclurodendron, Toddalia, dan Zanthoxylum (Stone 1994b; Steenis 2006; Takeuchi 2007).

Ciri Morfologi Suku Rutaceae

Suku Rutaceae dicirikan dengan adanya bintik-bintik kelenjar minyak pada organ vegetatif dan generatifnya. Suku ini juga memiliki bentuk habitus yang beragam, mulai dari terna (Boenninghausenia), perdu (Citrus), pohon (Zanthoxylum) hingga liana (Toddalia). Pada umumnya, duri ditemukan pada bagian cabang dan ranting (Gambar 2 A). Meskipun demikian, beberapa marga

Garis Balik Utara

(26)

4

seperti Lunasia, Euodia, Melicope, Murraya dan Micromelum, tidak memiliki duri pada bagian batang dan rantingnya. Tumbuhan Rutaceae memiliki daun tunggal atau daun majemuk. Daun majemuknya berupa majemuk menyirip gasal, majemuk berpinak daun 1 atau berpinak daun 3 (Gambar 2 C-F).

Gambar 2 Ciri morfologi suku Rutaceae. A. duri pada cabang (panah); B. bintik-bintik kelenjar (panah); C. daun majemuk berpinak daun 1; D. daun majemuk berpinak daun 3; E. daun majemuk menyirip gasal; F. daun tunggal; G. bunga dengan ginesium apokarp (panah); H. bunga dengan ginesium sinkarp dalam bakal buah (panah); I. bakal buah menumpang; J. buah baka dengan perikarp menjangat; K. buah baka dengan perikarp mengayu. bb= bakal buah; bi= biji; bs= benang sari; cb= cakram bunga; h= helaian daun; ha= helaian anak daun; k= daun kelopak bunga; kp= kepala putik; l= lokul buah; m= daun mahkota bunga; p= perikarp; r= rakis; st= sayap tangkai daun; ta= tangkai anak daun; t= tangkai daun; tp= tangkai putik

Suku Rutaceae memiliki bunga tunggal atau bunga majemuk yang tersusun dalam perbungaan malai, tandan, tirsus, bulir, bonggol, payung, dan majemuk berbatas (Kubitzki et al. 2011). Semua anggota suku Rutaceae memiliki bakal buah tipe menumpang dan bagian cakram bunganya dapat menghasilkan nektar. Suku ini memiliki dua macam tipe daun buah berdasarkan perlekatannya, yaitu daun buah sinkarp dan apokarp (Gambar 2 G-I). Buahnya berupa buah baka yang basah (Gambar 2 J-K) atau buah kering dengan tipe kotak, kendaga, samara, buah batu, dan bumbung (Gambar 3).

(27)

5

Gambar 3 Variasi tipe buah kering pada suku Rutaceae. A. buah bumbung pada

Myrtopsis sp.; B.buah bumbung Melicope glaberrima Guillaumin yang telah

membengang; C. buah batu sinkarp pada Halfordia kendack Guillaumin,

dengan setiap bagian buah berasal dari karpel yang saling berlekatan; D.

buah batu apokarp pada Comptonella microcarpa (Perkins) T.G. Hartley,

dimana setiap buah batu berasal dari daun buah yang berlepasan sehingga satu bunga menghasilkan beberapa buah batu; E. buah batu sinkarp pada

Acronychia laevis J.R. Forst. & G. Forst.; F. buah kotak pada Flindersia australis R. Br. dengan bagian biji yang bersayap; G. buah samara pada

Pentaceras australis (F.Muell.) Benth. (Sumber: Bayly et al. 2013)

Sistem Klasifikasi Tingkat Anak Suku

(28)

6

Saat ini terdapat sistem klasifikasi berbasis molekuler untuk tingkat anak suku, yang diusulkan oleh Kubitzki et al. (2011) dan Morton serta Telmer (2014). Sistem klasifikasi Kubitzki et al. (2011) membagi Rutaceae menjadi dua kelompok, yaitu Rutaceae inti yang terdiri dari anak suku Aurantioideae dan Rutoideae, serta Rutaceae sensu lato yang mencakup anak suku Cneoroideae (Spathelioideae). Anak suku Aurantioideae dan Rutoideae dikelompokkan dalam Rutaceae inti karena keduanya memiliki bintik-bintik kelenjar minyak skizogen pada bagian daun, bakal buah dan perikarpnya serta mengandung senyawa alkaloid turunan antranilat. Anak suku Cneoroideae tidak berbintik-bintik kelenjar minyak skizogen dan tidak mengandung senyawa chromone. Ciri tersebut lebih menyerupai suku Simaroubaceae, walaupun secara molekuler masih menunjukkan kesamaan dengan Rutaceae inti, sehingga semuanya dikelompokkan sebagai Rutaceae sensu lato (Kubitzki et al. 2011).

Sistem klasifikasi yang terbaru untuk tingkat anak suku diusulkan oleh Morton dan Telmer pada tahun 2014. Sistem klasifikasi tersebut disusun berdasarkan analisis filogenetik yang menggunakan tiga marka kloroplas dari daerah noncoding (intron gen rps16, trnL–trnF intergenic spacer, atpB–rbcL spacer), dua marka kloroplas dari daerah coding (rbcL, atpB) dan marka Xdh dari gen inti sel (Morton & Telmer 2014). Pada sistem klasifikasi terbaru ini, Rutaceae dibagi menjadi empat anak suku, yaitu Amyridoideae, Aurantioideae, Cneoroideae dan Rutoideae. Sebagian besar anggota anak suku Rutoideae dalam sistem Kubitzki et al. (2011), kecuali marga Ruta dan Chloroxylon, dipisahkan menjadi anak suku Amyridoideae. Pada pohon filogeni, Ruta dan Chloroxylon mengelompok terpisah dari anak suku Amyridoideae, sehingga kedua marga ini tetap berada dalam kelompok Rutoideae (Morton & Telmer 2014).

Anak suku Amyridoideae merupakan anak suku terbesar di kawasan Australasia karena mencakup sebanyak 460 marga (Bayly et al. 2013; Morton & Telmer 2014). Beberapa di antaranya terdapat di kawasan Malesia, yaitu Acronychia, Boenninghausenia, Euodia, Lunasia, Melicope, Toddalia, dan Zanthoxylum (Backer & Bakhuizen van den Brink 1965; Steenis 1987). Anak suku ini memiliki buah kering bertipe buah batu, kapsul, samara, kotak atau bumbung yang tidak mengandung pulpa. Bagian bijinya dengan atau tanpa albumin dan berisi satu buah embrio di dalamnya (Kubitzki et al. 2011).

Anak suku Aurantioideae memiliki daerah distribusi mulai dari Afrika, Asia Selatan, daratan Asia Tenggara hingga Malesia, dan Australasia (Mou & Zhang 2012). Anggota anak suku Aurantioidae yang terdapat di kawasan Malesia antara lain Aegle, Citrus, Clausena, Glycosmis, Limonia, Luvunga, Micromelum, Murraya, Paramignya, Pleiospermium, dan Triphasia. Secara morfologi, anak suku ini memiliki buah bertipe baka dengan perikarp yang menjangat atau mengayu, mengandung pulpa (kecuali pada Micromelum), testa yang dilindungi oleh lapisan lendir dan biji tanpa albumin dengan embrio berjumlah satu atau lebih (Swingle 1943; Kubitzki et al. 2011).

(29)

7 besar anggota Cneoroideae sebelumnya dikelompokkan pada suku yang terpisah (Appelhans 2011). Berdasarkan analisis filogenetik dan pengamatan ciri anatomi batang, kelompok ini dimasukkan ke dalam suku Rutaceae meskipun cirinya berbeda dengan Rutaceae inti (Appelhans 2011; Appelhans et al. 2011; Appelhans et al. 2012b; Morton & Telmer 2014). Namun demikian, posisinya dalam suku Rutaceae masih menjadi perdebatan.

Anak suku Rutoideae hanya terdiri dari 2 marga, yaitu Chloroxylon dan Ruta. Marga Chloroxylon terdistribusi di Madagaskar, India serta Srilanka, sedangkan marga Ruta terdistribusi di kawasan Mediterania dan Macaronesia. Jenis yang terdapat di pulau Jawa antara lain, Ruta angustifolia Pers. dan Chloroxylon swietenia DC. (Backer & Bakhuizen van den Brink 1965). Secara morfologi, ciri buah pada anak suku Rutoideae memiliki persamaan dengan Amyridoideae. Buahnya berupa buah kering dengan tipe kapsul. Secara sitologi, anak suku ini memiliki jumlah kromosom dasar x= 10 (Morton & Telmer 2014).

Pemanfaatan Suku Rutaceae di Indonesia

Suku Rutaceae memiliki nilai ekonomi yang tinggi, terutama untuk marga dari anak suku Aurantioideae (Jones 1995). Beberapa marga dari kelompok Aurantioideae seperti Aegle, Citrus, dan Limonia telah dibudidayakan sebagai tanaman buah (Fachrurozi 1982; Stone 1994b; Balgooy 1998). Marga Murraya dan Triphasia banyak ditanam sebagai penghias pekarangan rumah di Indonesia, karena memiliki bentuk daun dan warna buah yang menarik. Beberapa jenis Citrus dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai obat batuk dan penyedap makanan (Heyne 1950; Fachrurozi 1982). Selanjutnya masih banyak jenis liar yang belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Sebagai contoh adalah jeruk jepara (Limnocitrus littoralis (Miq.) Swingle) yang hidup di daerah rawa. Jenis tersebut sempat dinyatakan punah oleh ahli botani Indonesia pada tahun 1969, hingga ditemukan kembali pada tahun 1979 di pantai Lasem, Rembang (Sarwono 1991). Limnocitrus littoralis kurang termanfaatkan oleh masyarakat sekitar karena memiliki buah yang tidak dapat dikonsumsi. Namun, jenis ini memiliki daya adaptasi yang baik terhadap cekaman garam, boron, dan penyakit CVPD, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai batang bawah tanaman jeruk (Swingle 1940; Fachrurozi 1982; Sarwono 1991).

Sebagian besar anak suku Amyridoideae memiliki buah yang tidak dapat dimakan, sehingga tidak dibudidayakan sebagai tanaman buah di Indonesia. Namun demikian, jenis tertentu dari anak suku ini telah dimanfaatkan sebagai tanaman bumbu, obat, dan penghasil kayu (Jones 1995; Hartley 2013). Bagian buah dari beberapa jenis Zanthoxylum, seperti Z. acanthopodium DC., Z. armatum DC., Z. bungeanum Maxim., Z. myriacanthum Wall. ex Hook.f., Z. piperitum DC., dan Z. rhetsa (Roxb.) DC., dipakai sebagai bumbu masakan oleh masyarakat di Asia Tenggara, Cina, Jepang, dan India karena memiliki rasa yang pedas

(Austin & Felger 2008; Suksathan et al. 2009; Hartley 2013). Salah satu di antaranya, yaitu Z. acanthopodium atau andaliman, merupakan bumbu masakan

(30)

8

mengobati demam. Contoh jenis yang bagian kayunya dipakai untuk furnitur dan bahan bangunan adalah Flindersia amboinensis Poir. dan Zanthoxylum nitidum (Roxb.) DC. (Heyne 1950; Balgooy 1998).

Jenis dari kelompok Rutoideae yang terdapat di pulau Jawa adalah Ruta angustifolia dan Chloroxylon swietenia (Backer & Bakhuizen van den Brink 1965). Kedua jenis tersebut memiliki nilai manfaat yang cukup tinggi. Anggota marga Ruta sering ditanam sebagai tanaman pot dan tumbuhan obat (Heyne 1950; Stone 1994b). Masyarakat di Indonesia menggunakan air seduhan daun Ruta angustifolia untuk mengobati demam dan peluruh keringat, sedangkan bagian kayu dari Chloroxylon swietenia diambil untuk bahan furnitur dan bangunan (Heyne 1950).

Berbeda dengan anak suku lainnya, pemanfaatan anak suku Cneoroideae di Indonesia belum banyak diketahui. Namun, salah satu jenisnya, yaitu Harrisonia perforata (Merr.) Blanco, dicatat sebagai salah satu tumbuhan obat di Asia Tenggara (Appelhans 2011). Secara tradisional, air rebusan tunas daunnya diminum oleh masyrakat di Indonesia dan Malaysia untuk mengobati diare. Selain itu, air rebusan daun juga digunakan oleh masyarakat Papua untuk mengobati malaria, batuk, dan asma (Heyne 1950; Appelhans 2011).

Kondisi Lingkungan di Kawasan Madura

Kawasan Madura terletak di sebelah Timur Laut pulau Jawa yang terdiri dari pulau Madura, sekitar tujuh puluh pulau kecil di sekitarnya, dan Kepulauan Kangean. Secara geologi, kawasan ini merupakan kelanjutan sistem pegunungan kapur utara yang terpapar di daratan utara Jawa Timur (Rifai 2007). Bahan induk tanahnya terdiri dari batu kapur, batu pasir, dan batuan endapan yang menyebabkan tanahnya bersifat kurang subur. Kawasan Madura juga memiliki iklim yang kering karena pengaruh angin monsun. Kondisi tersebut membentuk tipe vegetasi di Madura menjadi khas, karena hanya terisi tetumbuhan yang beradaptasi dengan daerah beriklim kering (Rifai 2007). Tipe vegetasi di kawasan Madura berupa hutan monsun dataran rendah (Backer dan Bahkuizen van den Brink 1965).

(31)

9 tetumbuhan di kawasan Madura khas, kawasan ini telah kehilangan sebagian besar lahan hutannya (Rifai 2007; Rifai 2013b).

Permasalahan utama yang terjadi di Madura adalah alih fungsi lahan hutan secara besar-besaran. Pada pertengahan abad 20 terjadi peningkatan jumlah penduduk Madura sebanyak tiga kali lipat. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penggundulan hutan untuk membudidayakan tanaman pangan dan industri, akibatnya sebagian besar hutan di kawasan Madura hampir hilang (Rifai 2013b). Hutan walikukun, kepuh, dan pepohonan asli lainnya telah habis akibat pembukaan lahan. Saat ini sisa vegetasi alami hanya dapat ditemukan di Hutan Kera Nipah, Kepulauan Kangean, daerah aliran sungai, tempat keramat, dan daerah yang tidak bertuan (Rifai 2007; Rifai 2013c). Sejalan dengan itu, penelitian botani di kawasan ini masih terbatas. Vordeman mencatat perlunya suatu penelitian botani terhadap hutan kecil di Nipah yang kondisinya masih relatif baik. Namun penelitian di lokasi tersebut belum dilakukan hingga saat ini (Vordeman 1900; Rifai 2013c). Penelitian botani yang masih sedikit menyebabkan informasi flora di kawasan Madura belum terdata secara lengkap.

(32)

10

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 sampai April 2015. Pengambilan sampel dilakukan di 26 lokasi di Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep (Gambar 4). Penelitian dilanjutkan dengan pengamatan spesimen herbarium yang dikoleksi di Herbarium Bogoriense (BO), LIPI, dan Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Departemen Biologi Fakultas MIPA, IPB.

Gambar 4 Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel. Bangkalan (1. Kamal, 2. Gili Timur, 3. Gili, 4. Gili Indah, 5. Jukong, 6. Telang, 7. Jaddih, 8. Bilaporah, 9. Kramat, 10. Bangkalan, 11. Galis, 12. Patrongan); Sampang (13. Sampang, 14. Gua Lebar, 15. Hutan Kera Nipah, 16. Camplong); Pamekasan (17. Pamekasan, 18. Berruh, 19. Larangan, 20. Larangan Dalam); Sumenep (21. Sumenep, 22. Kalianget, 23. Asta Tinggi, 24. Dasuk, 25. Batuputih, 26. Gili Iyang)

Pengumpulan Sampel

(33)

11 Pembuatan spesimen herbarium dilakukan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Departemen Biologi Fakultas MIPA, IPB. Spesimen dari lapangan dipindahkan ke dalam helaian kertas koran baru, kemudian disusun dan dipres dalam sasag untuk selanjutnya dikeringkan dalam oven selama 2–3 hari pada suhu 50–60oC. Sasag dicek setiap hari, spesimen yang telah kering diambil sedangkan

spesimen yang masih lembap dikeringkan kembali. Spesimen yang telah kering diatur di atas kertas plak herbarium bebas asam berukuran 43 × 30 cm dan selanjutnya dilakukan pengeplakan spesimen atau mounting. Pengeplakan spesimen mengikuti metode Djarwaningsih (2002), yaitu menjahit bagian batang/buah dan menggunakan selotip 3M. Selanjutnya, label herbarium kemudian ditempel di bagian kanan bawah kertas plak dengan jarak 0.5 cm dari tepi.

Spesimen diidentifikasi menggunakan pustaka sebagai berikut, The botany of Citrus and its wild relatives of the orange subfamily (Family Rutaceae, subfamily Aurantioideae) (Swingle 1943), Flora of Java vol. 2 (Backer & Bakhuizen van den Brink 1965), A revision of the Malesian species of Zanthoxylum (Rutaceae) (Hartley 1966), A revision of the genus Lunasia (Rutaceae) (Hartley 1967), A revision of the genus Achronychia (Rutaceae) (Hartley 1974), A Revised Handbook to the Flora of Ceylon vol. 5 (Stone 1985), Citrus fruits of Assam (Stone 1994a), Tree Flora of Sabah and Sarawak vol. 1 (Jones 1995), On the taxonomy and biogeography of Euodia and Melicope (Rutaceae) (Hartley 2001), dan Flora of Australia vol. 26 (Mabberley 2013). Nama ilmiah yang didapat kemudian ditelusuri kebenarannya melalui www.ipni.org atau www.plantlist.org.

Pengamatan Ciri Morfologi

Sampel yang digunakan untuk pengamatan ciri morfologi dalam penelitian ini terdiri dari 71 sampel hasil eksplorasi dan 43 lembar spesimen herbarium yang disimpan di BO. Sampel yang diamati disajikan pada Lampiran 1.

(34)

12

Pengamatan Sayatan Anatomi Daun

Pengamatan sayatan anatomi daun meliputi sayatan paradermal dan sayatan transversal. Pengamatan pada sayatan paradermal bertujuan untuk mengamati stomata, sel epidermis, overlying cells, dan trikoma. Pembuatan preparat sayatan paradermal mengikuti Sass (1951). Sampel daun diambil pada posisi ketiga dari pucuk kemudian dibersihkan. Sampel daun direndam dalam larutan asam nitrat 50% selama 1 menit hingga daun lunak, lalu dibilas dengan akuades. Lapisan epidermis diambil dengan cara dikerik, selanjutnya direndam dalam larutan natrium hipoklorit hingga bersih. Hasil sayatan diwarnai dengan safranin 2% selama 1 menit. Lapisan epidermis diletakkan di atas kaca objek kemudian diberi gliserin 30% dan ditutup dengan kaca penutup.

Pengamatan pada sayatan transversal bertujuan untuk mengamati jaringan mesofil dan rongga kelenjar. Pemotongan sampel daun untuk pembuatan preparat sayatan transversal dilakukan menggunakan metode mikrotom beku. Mikrotom yang digunakan adalah Yamato RV-240. Sampel daun dipotong dengan ketebalan 20 μm dan 25 μm. Potongan transversal daun kemudian direndam dalam larutan natrium hipoklorit hingga bersih dan dibilas dengan akuades. Selanjutnya potongan transversal daun diwarnai dengan safranin 2% selama 1 menit dan diletakkan di atas kaca objek serta diberi gliserin secukupnya. Preparat sayatan paradermal dan transversal diamati di bawah mikroskop cahaya Nikon Eclips E100 dengan perbesaran 10×10 serta 10×40. Preparat anatomi difoto dengan menggunakan OptiLab Viewer 2.2.

Analisis Data

Data pengamatan morfologi dan anatomi dianalisis secara deskriptif yang selanjutnya dibuat kunci identifikasi dan deskripsi. Data floristik dibandingkan dengan catatan Backer dan Bakhuizen van den Brink dalam Flora of Java (1965).

Ciri morfologi dan anatomi terpilih disusun dalam bentuk matriks dan selanjutnya data tersebut digunakan untuk analisis fenetik. Analisis fenetik dilakukan dengan bantuan program NTSys ver. 2.11a dan metode yang digunakan adalah Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Average (UPGMA) dengan koefisien kemiripan simple matching (SM). Hasil analisis fenetik disajikan dalam bentuk dendrogram.

Pembuatan Deskripsi, Kunci Determinasi dan Penulisan Flora

(35)

13

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Informasi Terbaru Suku Rutaceae di Kawasan Madura

Tumbuhan Rutaceae yang terekam dari kawasan Madura

Berdasarkan hasil eksplorasi lapangan, pengamatan koleksi spesimen herbarium dan rekaman dalam Flora of Java, tumbuhan Rutaceae yang terdapat di kawasan Madura terdiri dari 31 jenis yang termasuk dalam 16 marga (Tabel 1). Semua jenis tersebut tercakup ke dalam 3 anak suku, yaitu Aurantioideae (22 jenis), Amyridoideae (7 jenis) dan Cneoroideae (2 jenis).

Anak suku Aurantioideae di kawasan Madura terdiri dari 10 marga. Sebagian anggotanya merupakan tanaman budi daya yang ditanam sebagai penghasil buah atau penghias pekarangan rumah, sehingga anak suku ini memiliki jumlah marga terbesar. Marga yang termasuk ke dalam anak suku Aurantioideae yaitu Aegle (1 jenis), Citrus (10 jenis), Clausena (2 jenis), Glycosmis (1 jenis), Limonia (1 jenis), Luvunga (1 jenis), Micromelum (1 jenis), Murraya (3 jenis), Severinia (1 jenis), dan Triphasia (1 jenis). Anggota anak suku Amyridoideae terdiri dari marga Acronychia (1 jenis), Euodia (1 jenis), Lunasia (1 jenis), Melicope (2 jenis), dan Zanthoxylum (2 jenis). Anak suku Cneoroideae di kawasan Madura hanya diwakili oleh 1 marga, yaitu Harrisonia (2 jenis). Secara umum, Citrus adalah marga terbesar di kawasan Madura karena mencakup 10 jenis, kemudian diikuti oleh marga Murraya yang terdiri dari 3 jenis (Tabel 1).

Pada pengamatan sampel hasil ekplorasi dan spesimen koleksi BO, didapatkan 18 jenis tumbuhan Rutaceae yang belum tercatat ada di Madura dalam Flora of Java jilid 2 (Tabel 1). Kedelapanbelas jenis tersebut yaitu Acronychia trifoliata Zoll. & Moritzi, Citrus amblycarpa (Hassk.) Ochse, Citrus ×

aurantiifolia (Christm.) Swingle, Citrus × aurantium L., Citrus × floridana (J. Ingram & H. Moore) Mabb., Citrus hystrix DC., Citrus × limon (L.) Osbeck,

Citrus maxima (Burm.) Merr., Citrus × microcarpa Bunge, Citrus reticulata Blanco, Euodia hortensis J.R. Forst. & G. Forst., Limonia acidissima L., Melicope denhamii (Seem.) T.G.Hartley, Murraya exotica L., Murraya koenigii (L.) Spreng., Murraya paniculata (L.) Jack, Severinia disticha (Blanco) Swingle, dan Zanthoxylum ovalifolium Wight. Sebanyak 3 jenis di antaranya merupakan rekaman baru untuk kawasan Madura (Tabel 1). Selain itu, Citrus × floridana juga merupakan rekaman baru untuk informasi flora Jawa. Jenis Acronychia trifoliolata, Limonia acidissima, Murraya spp., Severinia disticha, dan Zanthoxylum ovalifolium tidak termasuk rekaman baru, karena telah dilaporkan sebelumnya bahwa jenis tersebut terdapat di kawasan Madura (Hartley 1966; Bimantoro 1974; Hartley 1974; Jones 1995; Astuti et al. 2011).

(36)

14

Tabel 1 Tumbuhan Rutaceae di kawasan Madura

Anak suku Jenis FJ E BO B Sa P Su K rekaman baru; √*= bukan rekaman baru, namun tidak tercatat dalam Flora of Java; ? = lokasi tidak diketahui

Rutaceae Madura dalam Flora of Java

Tumbuhan Rutaceae Madura yang dicatat oleh Backer dalam Flora of Java jilid 2 hanya sebanyak 11 jenis (Tabel 1). Pada buku tersebut marga Harrisonia masih dikelompokkan sebagai anggota dari suku Simaroubaceae, karena Backer mengikuti sistem klasifikasi Engler dan Prantl (1931).

(37)

15 geografis yang tercakup dalam Flora of Java hanya meliputi pulau Jawa, Madura, Bawean dan Kepulauan Karimunjawa, sedangkan Kepulauan Kangean dan Krakatau tidak termasuk di dalamnya (Backer & Bakhuizen van den Brink 1963). Oleh sebab itu, beberapa spesimen yang hanya didapatkan Backer dari Kangean, seperti Acronychia trifoliata (CA Backer 28007), Citrus hystrix (CA Backer 264), Citrus maxima (CA Backer 27038), Murraya paniculata (CA Backer 21773, 27876), Severinia disticha (CA Backer 28006, 28119, 29432), dan Zanthoxylum ovalifolium (CA Backer 27921, 27968, 28122, 27892, 27590, 27465), tidak tercatat ada di Madura dalam Flora of Java (Tabel 1).

Selain Backer, Dommers juga telah mengumpulkan spesimen Rutaceae dari Kepulauan Kangean pada tahun 1919 dan 1920. Spesimen Citrus × aurantiifolia (Dommers 211), Citrus hystrix (Dommers 230), Citrus maxima (Dommers 106, 173), dan Murraya exotica (Dommers 204) yang dikoleksi oleh Dommers juga tidak dicatat dalam Flora of Java.

Sesuai dengan perkembangan ilmu, beberapa jenis Rutaceae dalam Flora of Java telah mengalami perubahan nama dan konsep takson. Atalantia trimera Oliv. telah direvisi menjadi Luvunga monophylla (DC.) Mabb. karena memiliki ciri morfologi yang berbeda dengan anggota Atalantia lainnya. Jenis ini memiliki daun mahkota bunga yang berjumlah 3–5 helai, benang sari berjumlah 6–10, dan bakal buah berlokul 2–4 (Mabberley 1998).

Sebagian besar jenis Euodia yang tercatat dalam Flora of Java telah dimasukkan ke dalam marga Melicope karena adanya perbedaan ciri pada trikoma, tipe perbungaan dan jumlah benang sari (Hartley 2001). Marga Melicope memiliki trikoma sederhana, tipe perbungaan malai yang tumbuh di bagian aksilar, infrafoliar atau di batang, dan benang sari yang berjumlah 4–8 (Hartley 2001). Berdasarkan ciri tersebut, maka Euodia speciosa Rchb.f. & Zoll. ex T. & B. telah direvisi menjadi Melicope bonwickii (F. Muell.) T.G. Hartley, sedangkan Euodia incisifolia Bakh.f. dan Euodia suaveolens Scheff. var. ridelyi (Hochr.) Bakh.f. dijadikan sinonim untuk Melicope denhamii (Seem.) T.G. Hartley (Hartley 2001).

Peneliti terdahulu membedakan marga Fagara dan Zanthoxylum berdasarkan ciri perhiasan bunga. Marga Fagara memiliki perhiasan bunga beruntun tunggal, sedangkan perhiasan bunga dwiseri dimiliki oleh Zanthoxylum (Hartley 1966; Beurton 1994). Oleh sebab itu, jenis dengan perhiasan bunga beruntun tunggal yang ada di pulau Jawa dikelompokkan oleh Backer sebagai anggota dari Fagara (Backer & Bakhuizen van den Brink 1965). Pada tahun 1966, marga Fagara dimasukkan ke dalam Zanthoxylum oleh Hartley (1966), dengan demikian nama Fagara rhetsa Roxb. dijadikan sebagai sinonim dari Zanthoxylum rhetsa (Roxb.) DC., dan Fagara ovalifolia (Wight) Engl. menjadi sinonim dari Zanthoxylum ovalifolium Wight (Hartley 1966; Hartley 2013).

(38)

16

Distribusi Rutaceae Madura

Berdasarkan pembagian provinsi biogeografi di Malesia oleh Steenis (1950), kawasan Madura dan pulau Jawa merupakan bagian dari provinsi Malesia Selatan karena kesamaan komposisi flora di dalamnya. Sebanyak 57 jenis tumbuhan Rutaceae terekam di pulau Jawa (Backer & Bakhuizen van den Brink 1965) dan sekitar 50% terdapat di kawasan Madura. Iklim kering menyebabkan tingkat keanekaragamannya lebih rendah dibandingkan dengan pulau Jawa (Rifai 2007).

Kepulauan Kangean memiliki jenis Rutaceae yang berbeda dengan pulau Madura. Beberapa jenis seperti Acronychia trifoliata, Severinia disticha, dan Zanthoxylum ovalifolium tercatat hanya dikoleksi dari Kepulauan Kangean (Tabel 1). Hal tersebut diduga karena keadaan vegetasi di Kepulauan Kangean relatif lebih baik dibandingkan dengan pulau Madura. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Pouget (2013) bahwa Kepulauan Kangean masih memiliki areal hutan, hutan rawa, dan semak belukar yang masing-masing seluas 947, 10561, serta 18310 hektar. Ketersediaan habitat menyebabkan jenis Rutaceae khas hutan dataran rendah atau semak belukar hanya tumbuh dan tersisa di Kepulauan Kangean.

Kepulauan Kangean terletak di antara pulau Jawa dan Sulawesi (Hoogerwerf 1964), sehingga menyebabkan kandungan flora dan faunanya menarik. Salah satu contohnya adalah bentuk liar dari Citrus hystrix yang sebelumnya dianggap sebagai jenis terpisah, yaitu Citrus macroptera Montrouz. Jenis ini terdistribusi mulai dari kawasan Melanesia ke Kalimantan, Sulawesi, Filipina, Sumbawa, Kei, Nugini, Kaledonia Baru, Fiji hingga Samoa (Tanaka 1931) dan diduga dibawa ke Kepulauan Kangean oleh pelaut dari Sulawesi. Jenis lainnya adalah Severinia disticha yang dikoleksi dari Kepulauan Kangean pada tahun 1919 dan 1920 oleh CA. Backer. Severinia disticha sebelumnya dilaporkan hanya terdistribusi di Filipina dan Sabah (Swingle 1943), kemudian Jones (1995) melaporkan bahwa jenis ini juga terdistribusi di Jawa Timur (Kangean), Maluku, Flores, dan Irian Jaya. Severinia disticha diduga menyebar ke arah selatan hingga Kepulauan Kangean melalui Kalimantan.

(39)

17 Jenis Rutaceae yang terdistribusi secara luas di kawasan Madura adalah Aegle marmelos, Citrus amblycarpa, Citrus × aurantiifolia, Citrus hystrix, Citrus maxima, Harrisonia brownii , dan Murraya exotica (Tabel 1). Hampir semua jenis tersebut merupakan tanaman budi daya, kecuali Harrisonia brownii. Jenis yang sebarannya terbatas yaitu Acronychia trifoliata, Citrus lucida, Limonia acidissima, Murraya koenigii, dan Zanthoxylum ovalifolium (Tabel 1).

Beberapa jenis Rutaceae Madura juga dapat ditemukan di Australia sebelah Utara. Jenis tersebut yaitu Luvunga monophylla, Lunasia amara, Micromelum minutum, Harrisonia brownii, Melicope bonwickii, Zanthoxylum ovalifolium, dan Zanthoxylum rhetsa (Hartley 2013; Mabberley 2013).

Pada saat epoh Plestosen berlangsung, terjadi proses tektonik yang menyebabkan pengangkatan daratan secara global, termasuk di daratan Sunda, Sahul dan Kepulauan Sunda Kecil. Pengangkatan daratan ini juga terjadi bersamaan dengan penurunan muka air laut hingga 75–100 m. Oleh sebab itu daratan Sunda terpapar dan menjadi lebih luas (Backer & Bakhuizen van den Brink 1965; Bellwood 1987; Voris 2000). Selama periode glasial, bagian selatan daratan Sunda, termasuk pulau Jawa dan Madura saat ini, memiliki iklim yang kering (Welzen et al. 2005). Hal ini disebabkan oleh terbentuknya sebuah koridor savana beriklim monsun yang melewati bagian tengah daratan Sunda, mulai dari Thailand sebelah selatan, Semenanjung Malaya, Borneo sebelah tenggara, Jawa sebelah timur hingga Kepulauan Sunda Kecil (Gambar 5) (Heaney 1991). Kelompok tumbuhan yang tahan terhadap kekeringan memiliki kesempatan untuk menyebar dan koridor tersebut menjembatani pertukaran flora antara Asia dan Australia (Backer & Bakhuizen van den Brink 1965; Welzen et al. 2005). Pulau Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil membentuk bagian penting dari koridor savana ini, di mana Kepulauan Sunda Kecil berperan sebagai jembatan penghubung antara daratan Sunda sebelah selatan dengan daratan Sahul (Backer & Bakhuizen van den Brink 1965).

Penyebaran melalui Kepulauan Sunda Kecil diduga menjadi salah satu faktor penyebab kesamaan jenis Rutaceae antara kawasan Madura dengan Australia sebelah Utara. Pendapat ini diperkuat dengan keberadaan Luvunga monophylla, Lunasia amara, Melicope bonwickii, Micromelum minutum, Harrisonia brownii, Zanthoxylum ovalifolium, dan Zanthoxylum rhetsa di Kepulauan Sunda Kecil (Hartley 1966; Hartley 1967; Hartley 2001; Uji 2005; Hartley 2013; Mabberley 2013; Wiriadinata et al. 2013).

(40)

18

Habitat dan Ekologi Rutaceae Madura

Suku Rutaceae tumbuh pada ketinggian 0.25–220 m dpl di kawasan Madura dengan rentang habitat yang bervariasi. Jenis Rutaceae liar pada umumnya ditemukan di perbukitan kapur, padang rumput bertanah kapur, hutan dataran rendah, dan hutan jati (Gambar 6 A-E). Pada eksplorasi lapangan, jenis Luvunga monophylla, Micromelum minutum, Harrisonia brownii, dan Harrisonia perforata dikoleksi dari kawasan berkapur. Selain itu, jenis liar yang tumbuh di hutan dataran rendah di kawasan Madura adalah Acronychia trifoliata, Clausena excavata, Clausena harmandiana, Glycosmis pentaphylla, Harrisonia perforata, Lunasia amara, Melicope bonwickii, Micromelum minutum, Zanthoxylum ovalifolium, dan Zanthoxylum rhetsa (Backer & Bakhuizen van den Brink 1965). Jenis Rutaceae budi daya, seperti Aegle marmelos, Citrus spp., Euodia hortensis, Limonia acidissima, Melicope denhamii, Murraya spp., dan Triphasia trifolia, pada umumnya ditanam di sekitar kawasan permukiman, tepi jalan, kebun, dan pekarangan rumah (Gambar 6 F-G). Namun, beberapa di antaranya juga dapat tumbuh secara liar di habitat alami. Jenis budi daya yang dapat hidup meliar adalah Aegle marmelos, Murraya koenigii, dan Triphasia trifolia.

Gambar 6 Tipe habitat Rutaceae di kawasan Madura. A. hutan dataran rendah; B. perbukitan kapur; C. hutan jati; D. padang rumput di sekitar bukit kapur; E. goa kapur; F. tepi jalan; G. pekarangan rumah; H. perbukitan kapur di Batuputih yang telah mengalami kerusakan; I. perbukitan kapur di Bangkalan yang dijadikan lokasi penambangan kapur

F E

D

C B

A

Gambar

Tabel 1 Tumbuhan Rutaceae di kawasan Madura
Gambar 6 Tipe habitat Rutaceae di kawasan Madura. A. hutan dataran rendah; B. perbukitan kapur; C
Gambar 7  Variasi tipe stomata pada Rutaceae Madura. A. anisositik (Melicope
Tabel 2  Perbandingan ciri anatomi pada sayatan paradermal daun
+7

Referensi

Dokumen terkait

a creative, potential utilization of social capital so instrumental in the progress of. the village, cultural potential and also potential lokal.Segala potential

Mangara M Tambunan, M.SC., selaku Koordinator Tugas Sarjana di Departemen Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Sumatera yang merangkap sebagai Dosen Pembimbing I Penulis

As most of Pig Latin data types are the same as the Java data types, Pig can resolve the output data type if it is not specified in a user-defined function. Table 12-1 contains

1096 Tahun 2011 tentang hygiene sanitasi jasa boga mengenai perawatan peralatan, merupakan hal penting untuk dilakukan agar peralatan tersebut dapat terus digunakan

Hasil prosentase tersebut dapat disimpulkan bahwa yang sering terjadi pada pemain sepakbola usia 12 tahun pada pertandingan piala rektor yaitu pergelangan kaki dan cedera lutut,

Pada saat lomba peserta tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan sesame peserta lomba , pembimbing ataupun pengunjung lainnya, kecuali dengan panitia.. Peserta dan juri

 Fasilitas sanitasi pada kantin tertutup maupun kantin di ruang terbuka mempunyai persyaratan yang sama yaitu: tersedia bak cuci piring dan peralatan dengan air mengalir serta

Jika regresi dilakukan hanya pada sampel perusahaan dimana antara loans book value dan loans fair value mempunyai perbedaan nilai, hasil regresi ini menunjukkan