• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberdayaan Pemilik Usaha Pondok Wisata Pesisir di Lima Kawasan Strategis Pariwisata Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemberdayaan Pemilik Usaha Pondok Wisata Pesisir di Lima Kawasan Strategis Pariwisata Nasional"

Copied!
259
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERDAYAAN PEMILIK USAHA PONDOK WISATA

PESISIR DI LIMA KAWASAN STRATEGIS

PARIWISATA NASIONAL

AYAT TAUFIK AREVIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Pemberdayaan Pemilik Usaha Pondok Wisata Pesisir di Lima Kawasan Strategis Pariwisata Nasional” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari disertasi saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014 Ayat Taufik Arevin NIM I361090071

(3)
(4)

RINGKASAN

AYAT TAUFIK AREVIN. Pemberdayaan Pemilik Usaha Pondok Wisata Pesisir di Lima Kawasan Strategis Pariwisata Nasional. Dibimbing oleh MA’MUN SARMA, PANG S. ASNGARI, dan PUDJI MULJONO.

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai lebih dari 17.500 dan wilayah pesisir sepanjang sekitar 81.000 kilometer. Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Kondisi demikian memberi keuntungan, karena kawasan pesisir menjadi andalan sumber pendapatan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Kawasan pesisir sangat produktif, hasil tangkapan ikan, sumber alamnya, juga keindahan panorama pantai sangat menjual sebagai kawasan pariwisata. Selama ini kawasan pesisir belum mendapat perhatian yang cukup serius baik dari pemerintah, masyarakat maupun pihak ketiga dalam pengelolaannya. Pembangunan wilayah pesisir dan lautan menunjukkan hasil yang kurang optimal dan cenderung tidak berkelanjutan. Prioritas kebijakan pemerintah kita terfokus pada sektor pertanian atau daratan. Nelayan sebagai komunitas dominan di wilayah pesisir seolah terabaikan dari pembangunan. Mereka menggantungkan hidupnya dari hasil laut, menggunakan teknologi tradisional dan sederhana.

Kesederhanaan hidup dan cara tradisional masyarakat pesisir, bila dikemas dengan baik dapat menjadi obyek wisata, sehingga memiliki nilai investasi budaya yang tak ternilai dalam kepariwisataan. Wisatawan dengan minat dan ketertarikan khusus, mencoba menikmati panorama alam pesisir dan keseharian hidup masyarakat nelayan. Untuk mewujudkannya, mereka memilih mondok di rumah penduduk, dengan cara sewa, untuk jangka waktu tidak hanya satu atau dua hari. Usaha pondok wisata (UPW) merupakan usaha mikro kecil (UMK) sejalan dengan konsep Community Based Tourism (CBT), memiliki peran penting dalam pembangunan pedesaan. Beberapa penduduk mencoba membangun UPW, ada juga sudah turun temurun berusaha di bidang bisnis akomodasi harian ini. Namun UPW belum mampu berkembang dan bersaing dengan industri akomodasi lainnya seperti hotel, villa, bungalow, cottage, maupun losmen berskala besar. Tingkat keberhasilan UPW masih rendah disebabkan rendahnya tingkat keberdayaan, keterbatasan kompetensi kerja, dan perilaku kewirausahaan masyarakat pesisir belum mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan para wisatawan.

Beberapa alasan penting yang menjadi masalah dalam penelitian yaitu kompetensi kerja dan perilaku kewirausahaan yang buruk tidak hanya berpengaruh pada keberlangsungan UPW, namun juga merusak citra kepariwisataan setempat, dan akan meluas pada kepariwisataan nasional. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan kondisi umum dan keragaan profil pemilik UPW; (2) menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada keberhasilan pemilik UPW; (3) pembuatan model pemberdayaan dalam meningkatkan keberhasilan pemilik UPW; dan (4) merumuskan strategi pemberdayaan meningkatkan keberhasilan pemilik UPW.

(5)

Kabupaten Pangandaran-Jawa Barat; (2) Parangtritis di Kabupaten Bantul-Yogyakarta; (3) Karangasem di Kabupaten Karangasem Bali; (4) Pulau Untung Jawa di Kabupaten Kepulauan Seribu-DKI Jakarta; dan (5) Tanjung Lesung-Taman Nasional Ujung Kulon di Kabupaten Pandeglang-Banten.

Populasi penelitian berjumlah 241 orang yaitu pemilik UPW yang memiliki kamar berjumlah kurang dari 10 kamar. Penentuan jumlah sampel sebanyak 160 orang pemilik UPW, menggunakan rumus Slovin (Sevilla et al. 1993) dengan standar kesalahan maksimal 6%. Pengambilan sampel dilakukan secara cluster simple random sampling: di Pangandaran 40 orang, Parangtritis 30 orang, Karangasem 37 orang, Pulau Untung Jawa 32 orang, dan Tanjung Lesung-TNUK 21 orang. Pengumpulan data primer dengan pengisian kuesioner, wawancara dan pengamatan langsung. Data sekunder diperoleh dari instansi, organisasi, dan kelompok terkait. Analisis data dilakukan menggunakan analisis statistik deskriptif, uji beda Anova satu arah, uji korelasi Pearson product moment, dan analisis SEM (Structural Equation Modeling) dengan bantuan software SmartPLS 2.0 M3.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilik UPW memiliki kategori sedang: (1) karakteristik individu direfleksikan oleh usia produktif dan tingkat kekosmopolitan; (2) karakteristik lingkungan direfleksikan peran tokoh masyarakat dan sistim nilai budaya; (3) proses penyuluhan direfleksikan negatif oleh peran lembaga dan metode penyuluhan; (4) kompetensi kerja direfleksikan oleh kemampuan kerjasama dengan kolega dan pelanggan, penanganan reservasi, pelayanan resepsionis, dan pelayanan housekeeping; (5) perilaku kewirausahaan direfleksikan oleh disiplin, ketelitian, ketekunan, dan fokus pelanggan; (6) keberdayaan direfleksikan oleh kemampuan akses teknologi, akses informasi pasar, dan akses jaringan bisnis; dan (7) keberhasilan usaha direfleksikan oleh: loyalitas pelanggan dan kemampuan bersaing. Berdasarkan uji beda semua menunjukkan P-value < alpha 5%, artinya terdapat perbedaan nilai setiap peubah antar wilayah. Hasil analisis korelasi Pearson dan SEM saling memperkuat di dalam pembuatan model, menunjukkan bahwa keberhasilan pemilik UPW dipengaruhi langsung secara nyata oleh perilaku kewirausahaan dan keberdayaan. Kompetensi kerja berpengaruh nyata dan langsung terhadap perilaku kewirausahaan dan keberdayaan. Kedua peubah tersebut menjadi mediasi dalam meningkatkan pengaruh keberhasilan usaha. Proses penyuluhan belum nyata berpengaruh terhadap kompetensi kerja dan perilaku kewirausahaan. Maka strategi untuk meningkatkan keberhasilan usaha melalui peningkatan peran lembaga penyuluhan yang akan berpengaruh pada kompetensi kerja, yang selanjutnya memperkuat tingkat keberdayaan dan perilaku kewirausahaan.

Kata kunci: penyuluhan pariwisata, usaha pondok wisata, kompetensi kerja, perilaku kewirausahaan.

(6)

SUMMARY

AYAT TAUFIK AREVIN. Empowerment of Business Owners‟ Coastal Homestay in Five Area of Indonesian National Strategic Tourism. Supervised by MA’MUN SARMA, PANG S.ASNGARI, and PUDJI MULJONO.

Indonesia is an archipelago with more than 17,500 islands and coastal areas along approximately 81,000 kilometers. These conditions provide several advantages, such as coastal areas become the mainstay source of income in Indonesia communities. Highly productive coastal areas, the catch of fish, its natural resources, as well as the panoramic beauty of the beach is selling as tourism. During this coastal region has not received serious attention from government, public and third-party management. Development of coastal and marine areas indicate less than optimal results and were likely not sustainable. Government priorities, focused on the agricultural sector. Fishermen as the dominant community in the coastal areas as excluded from development. They are dependent on the results of the sea, using the traditional technology and simple.

Simplicity of life and how traditional coastal communities, when packaged properly can become a tourist attraction, so has the value of an invaluable cultural investment in tourism. Most of traveler interested to enjoy the natural scenery and the daily life of coastal fishing communities. They chose more stays, for a period of not just one or two days. Homestay business is a small micro-enterprises in line with the concept of Community Based Tourism (CBT), has an important role in rural development. Some people tried to build a homestay, there has also been tried in the field of hereditary property business daily. However the homestay business has not been able to grow and compete with other industries such as hotel, villas, bungalows, cottages, and inn. Homestay busines success rate is still low due to the low level of empowerment, lack of occupational competence, and entrepreneurial behavior coastal communities have not been able to meet the needs and desires of the occupational competence.

Some of the important reasons that become a problem in the study of occupational competence and entrepreneurial behavior are bad not only affect the sustainability of the UPW, but also damage the image of the local tourism, and will extend the national tourism. This study aims to: (1) describe the general conditions and variability profiles UPW owner; (2) analyze the factors that affect the success of related and homestay owner; (3) modeling of empowerment in improving the success of UPW owner; and (4) formulate empowerment strategies improve the success of UPW owner.

The study was designed as a causality study; the change of a variable will result in changes in another variable, using a survey approach. The experiment was conducted from May 2013 to February 2014 in five coastal areas in KSPN, namely: (1) the district of Pangandaran in West Java; (2) Parangtritis in Bantul-Yogyakarta; (3) Karangasem in Bali; (4) Pulau Untung Jawa in Kepulauan Seribu-Jakarta; and (5) Tanjung Lesung-Ujung Kulon National Park in Banten Pandeglang.

(7)

Parangtritis-Yogayakarta, Karangasem-Bali, Untung Jawa Island-Jakarta, and Tanjung Lesung and Ujung Kulon National Park-Banten. The research was conducted between June 2013 and February 2014. Primary data collected by questionnaires, interviews and observation. Secondary data were obtained from agencies, organizations, and groups related. Data analysis was performed using descriptive statistical analysis, one-way ANOVA test of difference, Pearson Product moment correlation test, and analysis of SEM (Structural Equation Modeling) by SmartPLS 2.0 M3 software.

Descriptive research results show that the owner UPW has moderate categories: (1) individual characteristics reflected by the productive age and level cosmopolitan; (2) the environmental characteristics of the reflected role of community leaders and cultural value systems; (3) the negative reflected by the role of extension institutions and methods; (4) occupational competence is reflected by the ability to work with colleagues and customers, handling reservations, receptionist, and housekeeping services; (5) entrepreneurial behavior reflected by discipline, precision, perseverance, and customer focus; (6) empowerment reflected by the ability of technology access, access to market information, and access to business networks; and (7) is reflected by the success of the business: customer loyalty and the ability to compete. The results of the different test showed P-value < alpha 5%, meaning that there is a difference between the value of each variable region. The results of Pearson correlation analysis and SEM are mutually reinforcing in the model, suggesting that the success of UPW owner directly and significantly influenced by the behavior of entrepreneurship and empowerment. Competences are significantly and directly influenced by entrepreneurial behavior and empowerment. Both of variables are into the effect of the successful of the business. Extension process has not yet significantly influenced working competence and entrepreneurial behavior. The strategy to improve business success by increasing the extension agency which will affect the working competence, which further strengthen level of empowerment and entrepreneurial behavior.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk ujian terbuka program Doktor pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

PEMBERDAYAAN PEMILIK USAHA PONDOK WISATA

PESISIR DI LIMA KAWASAN STRATEGIS

PARIWISATA NASIONAL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. I Gusti P Purnaba, DEA. Dr. Drs. Yohanes Sulistyadi, MPd

(11)

Judul Disertasi: Pemberdayaan Pemilik Usaha Pondok Wisata Pesisir di Lima Kawasan Strategis Pariwisata Nasional

Nama : Ayat Taufik Arevin NIM : I361090071

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS. MEc Ketua

Prof. Dr. Pang S Asngari Anggota

Dr. Ir. Pudji Muljono, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Prof. Dr. Ir Sumardjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‟ala atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini ialah pemberdayaan, dengan judul Pemberdayaan Pemilik Usaha Pondok Wisata Pesisir di Lima Kawasan Strategis Pariwisata Nasional.

Struktur isi draft disertasi terdiri dari 4 bagian yaitu: (1) Rancangan umum penelitian yang dibahas pada Bab I, Bab II, Bab III, dan Bab IV; (2) Hasil temuan baik sekunder dan primer pada Bab V dan Bab VI; (3) Pola artikel jurnal pada Bab VII dan Bab VIII; dan (4) Bab IX dan Bab X sebagai penutup.

Pada kesempatan ini ucapan terima kasih penulis haturkan kepada: (1) Ketua Komisi Pembimbing Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS., MEc, dan Anggota Komisi Pembimbing Prof. Dr. H. Pang S. Asngari, dan Dr. Pudji Muljono, MSi. yang sangat telaten dalam bimbingan dan banyak memberi saran dan motivasi kepada penulis; (2) Para Pejabat Pemerintah Daerah: (a) Drs. Suheryana sebagai Kepala Dinas Pariwisata, Perindakop Kabupaten Pangandaran, (b) Drs. Bambang Legowo, MSi. sebagai Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bantul, (c) I Wayan Purna, SSos, MSi sebagai Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Karangasem, (d) Badri, SPd, MM dari Kelurahan Pulau Untung Jawa-Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, dan (e) Mohamad Hasan, SH sebagai Kepala Bidang Objek dan Atraksi Wisata-Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pandeglang; (3) Seluruh responden di lima KSPN yang telah menyediakan waktu untuk mengisi kuesioner dan memberikan informasi yang penulis butuhkan; (4) Penguji pada Ujian Tertutup yaitu: Dr. Ir. I Gusti P Purnaba, DEA. dan Dr. Drs. Yohanes Sulistyadi, MPd; dan penguji pada Ujian Terbuka yaitu: Prof (Ris). Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, dan Dr. Wisnu Bawa Tarunajaya, SE, MM.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Hajjah Nani Patonah (ibu), Haji Juhanudin (ayah), Hajjah Nani Rosnani (ibu mertua), Dra. Rizka Handiani (isteri) dan anak-anak tercinta yaitu Aditya Rafid Arevin, Rufina Fitri Anjani, dan Aulya Rahman Arevin, serta seluruh keluarga besar, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terimakasih juga kepada teman-teman setia seangkatan di program studi PPN 09 yaitu Uda Faizal, Wan Agus, Uni Vera, dan Bu Nelva, serta Teh Desi di Kesekretariatan Administrasi PPN yang selalu siap memberikan pelayanan dengan setia.

Semoga disertasi ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

I PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 5

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

II TINJAUAN PUSTAKA 9

Orientasi Pelayanan di Industri Kepariwisataan 9

Usaha Pondok Wisata 12

Karakteristik Individu 17

Karakteristik Lingkungan 22

Penyuluhan 26

Kompetensi Kerja 28

Perilaku Kewirausahaan 33

Keberdayaan 39

Keberhasilan Usaha 42

III KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 44

Kerangka Berpikir 44

Hipotesis Penelitian 49

IV METODE PENELITIAN 52

Rancangan Penelitian 52

Definisi Operasional, dan Pengukuran Peubah 52

Populasi dan Sampel 54

Waktu dan Lokasi Penelitian 54

Data dan Instrumentasi 55

Validitas dan Reliabilitas Instrumen 55

Analisis Data 57

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 60

Kabupaten Pangandaran 60

Kabupaten Bantul 66

Kabupaten Karangasem 70

Kabupaten Kepualauan Seribu 79

Kabupaten Pandeglang 84

VI KERAGAAN PROFIL PEMILIK USAHA PONDOK WISATA

PESISIR DI LIMA KSPN 90

Pendahuluan 91

Metode Penelitian 93

Hasil dan Pembahasan 96

(14)

VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT

KEBERHASILAN PEMILIK USAHA PEMILIK PONDOK WISATA PESISIR DI LIMA KSPN

123

Pendahuluan 124

Kerangka Berpikir 126

Hipotesis Penelitian 130

Metode Penelitian 131

Hasil dan Pembahasan 135

Simpulan 147

VIII MODEL PEMBERDAYAAN UNTUK KEBERHASILAN USAHA

PEMILIK PONDOK WISATA 148

Pendahuluan 149

Kerangka Berpikir 152

Hipotesis Penelitian 155

Metode Penelitian 156

Hasil dan Pembahasan 158

Simpulan 170

IX PEMBAHASAN UMUM 171

Temuan Penelitian 171

Kontribusi Hasil Penelitian Pada Strategi Pemberdayaan Pemilik UPW

Pesisir 186

Strategi Penyuluhan Kepariwisataan dalam Upaya Memberdaya-kan

Pemilik UPW Pesisir 191

X SIMPULAN DAN SARAN 195

Simpulan 195

Saran 196

DAFTAR PUSTAKA 198

LAMPIRAN 206

(15)

DAFTAR TABEL

1 Skala orientasi pelayanan 13

2 Kriteria aset dan omzet UMKM 14

3 Beberapa Ciri dan Watak Kewirausahaan 38

4 Program pengembangan kepariwisataan di Indonesia 41 5 Aspek-aspek karakteristik individu pemilik UPW 44 6 Aspek-aspek karakteristik lingkungan pemilik UPW 45

7 Aspek-aspek proses penyuluhan pemilik UPW 46

8 Aspek-aspek kompetensi kerja pemilik UPW 47

9 Aspek-aspek perilaku kewirausahaan pemilik UPW 48

10 Aspek-aspek keberdayaan pemilik UPW 48

11 Aspek-aspek keberhasilan pemilik UPW 49

12 Populasi dan sampel pemilik UPW di lima KSPN 54

13 Nilai rataan karakteristik individu pemilik UPW 97 14 Hasil uji beda peubah karateristik individu pemilik UPW 98 15 Nilai rataan karateristik lingkungan pemilik UPW 102 16 Hasil uji beda peubah karateristik lingkungan pemilik UPW 104

17. Nilai rataan proses penyuluhan pemilik UPW 106

18. Hasil uji beda peubah proses penyuluhan pemilik UPW 107

19. Nilai rataan kompetensi kerja pemilik UPW 108

20. Hasil uji beda peubah kompetensi kerja pemilik UPW 109 21. Nilai rataan perilaku kewirausahaan pemilik UPW 112 22. Hasil uji beda peubah kewirausahaan pemilik UPW 114

23. Nilai rataan keberdayaan pemilik UPW 116

24. Hasil uji beda peubah keberdayaan pemilik UPW 117

25. Nilai rataan keberhasilan usaha pemilik UPW 119

26. Hasil uji beda peubah keberhasilan usaha pemilik UPW 120 27. Nilai korelasi antar peubah pada keberhasilan usaha 136

28. Nilai Keterwakilan Antar Peubah Pemilik UPW 139

29. Nilai faktor yang mempengaruhi proses penyuluhan 142 30. Nilai faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi kerja 143 31. Nilai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan 144 32. Nilai faktor-faktor yang mempengaruhi keberdayaan 145 33. Nilai faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha 146

34. Nilai koefisien korelasi antar faktor peubah yang berpengaruh pada

keberhasilan usaha 161

35. Nilai validitas, reliabilitas, dan reflektif tiap peubah 163

36. Nilai koefisien peubah yang berpengaruh pada keberhasilan usaha hasil

bootstrapping 166

(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Sebaran wilayah pengembangan 222 KPPN, 88 KSPN dan 50 DPN 2 2 Kerangka hubungan antar variabel pemberdayaan pemilik usaha pondok

wisata 51

3 Peta KSPN Pangandaran 60

4 Peta Pariwisata Pangandaran 63

5 Peta KSPN Parangtritis 67

6 Peta Pariwisata Parangtritis 68

7 Peta KSPN Karangasem 70

8 Peta Pariwisata Karangasem 74

9 Peta KSPN Kepulauan Seribu 80

10 Peta Pariwisata Kepulauan Seribu 82

11 Peta KSPN Tanjung Lesung-TNUK 85

12 Peta Pariwisata Pandeglang 87

13 Kerangka Hubungan Antar Peubah yang Mempengaruhi Keberhasilan

Usaha 131

14 Hubungan Antar Peubah Independen Keberhasilan

Usaha Pemilik Pondok Wisata 137

15 Faktor-faktor yang Berhubungan dan Mempengaruhi Keberhasilan

Pemilik UPW 155

16 Indikator-indikator yang Mempengaruhi Keberhasilan Pemilik UPW

Berdasarkan Nilai Faktor Loading 164

17 Model Pemberdayaan Pemilik UPW (Output Bootstrapping) 168 18 Strategi Pemberdayaan untuk Keberhasilan Usaha Pemilik Pondok Wisata 188 19 Peningkatan kemampuan pemilik UPW mengakses informasi dari agen

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perbedaan Karakteristik Usaha Pondok Wisata dengan Usaha Akomodasi Lain

207

2 Parameter dan Kriteria Pengukuran Indikator Peubah 209

3 Hasil Uji Validitas Instrument Penelitian 218

4 Daftar Usaha Pondok Wisata di Pangandaran 221

5 Daftar Usaha Pondok Wisata di Parangtritis 223

6 Daftar Usaha Pondok Wisata di Karangasem 226

7 Daftar Usaha Pondok Wisata di Pulau Untung Jawa 228 8 Daftar Usaha Pondok Wisata di Tanjung Lesung-TNUK 229 9 Hasil Tabulasi Data Skala Likert Karakteristik Individu (X1) 230 10 Hasil Tabulasi Data Skala Likert Karakteristik Lingkungan (X2) 231 11 Hasil Tabulasi Data Skala Likert Proses Penyuluhan (X3) 231 12 Hasil Tabulasi Data Skala Likert Kompetensi Kerja (Y1) 232 13 Hasil Tabulasi Data Skala Likert Perilaku Kewirausahaan (Y2) 233 14 Hasil Tabulasi Data Skala Likert Keberdayaan (Y3) 234 15 Hasil Tabulasi Data Skala Likert Keberhasilan Usaha (Y4) 235 16 Diagram Alir Proses Layanan Reservasi, Kedatangan

dan Kepulangan Tamu

236

17 Diagram Alir Proses Layanan Penyiapan Kamar 237 18 Diagram Alir Proses Layanan Makan dan Minum Tamu 238

19 Diagram Alir Proses Layanan Keluhan Tamu 239

(18)

I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan kepariwisataan berbasis masyarakat (community based tourism) mensyaratkan tiga paradigma dalam pembangunan kepariwisataan, yaitu menjamin kelangsungan ekonomi, dapat diterima secara sosial, dan mampu menjaga keseimbangan lingkungan; Menjamin kelangsungan ekonomi yaitu harus mampu meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat; Diterima secara sosial yaitu harus mampu mewujudkan keadilan sosial, melestarikan serta memperkokoh jatidiri, kemandirian bangsa, memperkaya kepribadian, mempertahankan nilai-nilai agama, serta berfungsi sebagai media menciptakan ketertiban dan kedamaian dunia. Objek wisata yang potensial, jika dikelola dengan baik akan menarik minat wisatawan manca negara untuk berkunjung, berkumpul, saling mengenal dan menjalin persahabatan antar sesame; dan menjaga keseimbangan lingkungan yaitu memperhatikan kelestarian lingkungan yang berkesinambungan.

Inti dari pembangunan pariwisata merupakan usaha menggerakkan partisipasi masyarakat untuk peduli terhadap dunia pariwisata. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata adalah sebagai berikut: (1) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat dilibatkan dalam perencanaan pengembangan pariwisata bertujuan untuk menggali permasalahan dan potensi pariwisata yang ada di masyarakat, tantangan serta peluang yang dihadapi; dan (2) Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan. Keterlibatan dalam pengelolaan ini maksudnya adalah agar masyarakat tidak hanya menjadi objek tapi juga berperan selaku objek sehingga dapat menikmati keuntungan yang optimal dari pengelolaan pariwisata, dapat menambah sumber pendapatan masyarakat dari biasanya, sedangkan sumber pendapatan utama masyarakat tetap seperti semula, misalnya pertanian, perkebunan atau nelayan. Berkembangnya usaha pariwisata berbasis masyarakat akan berdampak positif, masyarakat akan memperoleh pendapatan tambahan sehingga ketergantungan terhadap sumber daya alam akan berkurang.

Dalam rangka mendukung arah pembangunan kepariwisataan, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) Tahun 2010–2025, menetapkan perwilayahan pembangunan kepariwisataan terdiri dari 50 Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) yang menyebar menjadi 222 Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN), dan 88 di antaranya telah menjadi Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Penyebaran wilayah DPN, KPPN, dan KSPN dari ujung utara hingga ujung timur Indonesia secara merata (Gambar 1), sehingga diharapkan mampu menggali seluruh potensi yang ada di wilayah masing-masing.

KSPN adalah kawasan yang memiliki fungsi utama atau berpotensi untuk pengembangan pariwisata nasional yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek. Aspek-aspek tersebut seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Penetapan pengembangan wilayah KSPN diharapkan akan mempermudah perencanaan pembangunan kepariwisataan, penegakan regulasi pembangunan, dan pengendalian implementasi pembangunan.

(19)

Berdasarkan kondisi geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan, dengan kekayaan wilayah pesisir sepanjang garis pantai mencapai 81.000 km, terbentang di lebih dari 17.500 pulau. Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lebih bijak agar kelestarian alamnya terjaga. Wilayah pesisir memiliki prospek strategis dalam sektor industri pariwisata berbasis alam, yang berpotensi sebagai sumber kesejahteraan masyarakat. Kebijakan dalam pengembangan wisata pesisir akan membantu penyelamatan wilayah pesisir dari kerusakan alam. Dalam penetapan 222 kawasan pengembangan pariwisata, sebagian besar berada di wilayah pesisir, dengan demikian wilayah pesisir akan terhindar dari kerusakan akibat ulah masyarakat atau penduduk yang berada di wilayah tersebut.

Fakta menunjukkan bahwa tidak kurang dari 60% penduduk Indonesia bermukim di kawasan pesisir (Dahuri, 2002). Dalam melakukan berbagai aktivitas untuk meningkatkan taraf hidupnya, masyarakat baik secara sengaja maupun tidak, melakukan perubahan-perubahan terhadap ekosistem dan sumberdaya alam. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan di wilayah pesisir khususnya garis pantai. Peningkatan jumlah penduduk yang hidup di wilayah pesisir memberikan dampak tekanan terhadap sumberdaya alam pesisir seperti degradasi pesisir, pembuangan limbah ke laut, erosi pantai (abrasi), akresi pantai (penambahan pantai) dan sebagainya.

Hingga saat ini pembangunan wilayah pesisir dan lautan menunjukkan hasil yang kurang optimal dan cenderung menuju kearah yang tidak berkelanjutan. Masyarakat nelayan sebagai komunitas yang menghuni wilayah pesisir, sering kali tersisih dari pembangunan, akibat prioritas kebijakan pemerintah lebih terfokus kepada sektor pertanian atau agraris. Masyarakat pesisir adalah masyarakat nelayan, secara turun temurun masih berlangsung, bahwa profesi sebagai nelayan kecil hanya mampu memanfaatkan kawasannya sebagai sumber mata pencaharian dengan mencari ikan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari maupun untuk sekedar diperdagangkan. Di saat sedang tidak musim melaut, karena cuaca yang tidak memungkinkan, seakan mereka kehilangan mata pencaharian dan menjadi sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Gambar 1. Sebaran Wilayah Pengembangan 222 KPPN, 88 KSPN dan 50 DPN

(20)

Kehidupan nelayan yang masih menggantungkan nasib kepada hasil laut, masih dalam taraf sederhana dengan pola mata pencaharian menggunakan teknologi tradisional. Di samping alat tangkap mereka sudah jauh tertinggal, mereka melaut juga pada area penangkapan di wilayah pesisir juga terbatas.

Masyarakat nelayan merupakan kelompok masyarakat yang relatif tertinggal secara ekonomi, sosial (khususnya dalam hal akses pendidikan dan layanan kesehatan), dan kultural dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Kondisi masyarakat pesisir atau masyarakat nelayan diberbagai kawasan pada umumnya ditandai oleh adanya beberapa ciri, seperti kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya, rendahnya sumber daya manusia (SDM) karena sebagian besar penduduknya hanya lulus sekolah dasar atau belum tamat sekolah dasar, dan lemahnya fungsi dari keberadaan Kelompok Usaha (Kusnadi, 2003)

Masyarakat di wilayah pesisir perlu diingatkan bahwa kondisi alam yang terpelihara kelestariannya, dilengkapi dengan adat istiadat dan budaya kesehariannya, memiliki potensi sebagai objek dan daerah tujuan wisata. Kesadaran berbisnis masyarakat di wilayah pesisir perlu dibangun, agar mampu memanfaatkan potensi alamnya sebagai kawasan industri pariwisata yang berbasis masyarakat. Motivasi wisatawan untuk berkunjung ke suatu wilayah adalah karena ada sesuatu yang membuatnya menarik untuk dilihat, bahkan beberapa dari mereka tinggal cukup lama selain untuk menikmati panorama pemandangan juga mempelajari seni, budaya dan kehidupan masyarakatnya yang unik. Sifat kesederhanaan, ketradisionalan, dan masih bertahan dan mempertahankan adat istiadat dan ciri khas budaya setempat menjadi daya tarik terutama bagi wisatawan mancanegara. Tidak peduli bahwa itu daerah tertinggal bahkan berbahaya, asalkan memiliki keindahan alam dan kebudayaan yang unik, membuat mereka ingin menetap dalam beberapa waktu dan melebur di antara masyarakat lokal.

Infrastruktur penunjang pariwisata yang cocok dibangun untuk kondisi tersebut, bukanlah akomodasi berkelas seperti hotel berbintang atau penginapan mewah lainnya, melainkan homestay (seperti yang sudah diterapkan di sejumlah kawasaan wisata, utamanya Bali dan Lombok). Melalui konsep homestay, sektor pariwisata di daerah tersebut diharapkan bisa dikembangkan dengan coba meyakinkan penduduk setempat untuk bisa menerima kehadiran turis yang mau tinggal dengan dan seperti mereka (di kampung) selama 2-3 hari.

Homestay memiliki karakteristik sama dengan pondok wisata di Indonesia. Menurut Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No: PM.86/HK.501/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Akomodasi, Pondok Wisata adalah “penyediaan akomodasi berupa bangunan rumah tinggal yang dihuni oleh pemiliknya dan dimanfaatkan sebagian untuk disewakan dengan memberi kesempatan kepada wisatawan untuk berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari

pemiliknya.” Pondok wisata merupakan usaha milik perorangan yang

(21)

usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal.” Pondok wisata (homestay) dicadangkan untuk Usaha Mikro Kecil Menengah dan Koperasi (UMKMK). Menurut Peraturan Presiden ini adalah orang perorangan atau badan usaha yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 dan Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Hal ini berarti pondok wisata merupakan kelompok industri yang dikelola oleh rakyat, yang permodalannya harus dibantu oleh koperasi.

Negara maju di Eropa, dan Negara berkembang di Asia, seperti India, Malaysia, Thailand, Philipina dan Brunai, telah lebih dahulu mendorong pengembangan pondok wisata sebagai industri pariwisata kerakyatan. UPW mampu diandalkan karena memainkan peran penting dalam pembangunan pedesaan. UPW dapat diintegrasikan dengan segala komponen utama desa wisata seperti: wisata budaya dan wisata sejarah, wisata agro, wisata kesehatan, wisata olahraga, wisata aneka kerajinan, wisata kuliner, wisata hiburan dan rekreasi, wisata petualangan, wisata lingkungan berbasis alam dan sejenisnya. Integrasi semua komponen pariwisata sebagai cara untuk mengembangkan industri pariwisata adalah konsep yang relatif baru dan relatif ampuh untuk pengembangan pariwisata pedesaan.

Pengembangan UPW selain ramah lingkungan, juga berbasis pada kebutuhan masyarakat yaitu merangsang komponen mikro-ekonomi pedesaan di bagian pedalaman, penyediaan lapangan kerja dan meningkatkan nilai ekonomi pedesaan; keberlanjutan ekologis seperti menggunakan sumber daya alam dan manusia daerah pedesaan untuk pengembangan pedesaan; mendedahkan budaya dan alam pedesaan ke dunia luar; mengurangi degradasi lingkungan, mendesentralisasikan pendapatan nasional dan memusatkan sumber daya lokal dalam perekonomian nasional; mempromosikan dan meningkatkan industri pertanian dan lokal lainnya.

Beberapa penduduk telah mencoba membangun usaha pondok wisata di kawasan pesisir yang menjadi obyek wisata, seperti pantai Pangandaran di Jawa Barat, Parangtritis di Yogyakarta, Labuan Amuk di Bali, Pulau Untung Jawa di Kepulauan Seribu Jakarta, juga Tanjung Lesung dan Ujungkulon di Pandeglang Banten. Ada yang sudah turun temurun berusaha di bidang bisnis akomodasi ini, namun kenyataan belum mampu bersaing dengan hotel, villa, bungalow, cottage, maupun losmen. Tingkat keberhasilan usaha mereka masih rendah disebabkan kurangnya tingkat keberdayaan, kompetensi kerja yang terbatas, dan perilaku kewirausahaan masyarakat pesisir belum memenuhi kebutuhan para wisatawan yang berkunjung dan memanfaatkan jasa penginapan yang disediakan.

(22)

Karakter individu masyarakat dan karakter lingkungan tentu akan berpengaruh pada kompetensi kerja dan perilaku kewirausahaan para Pemilik UPW. Rendahnya nilai sosial yang dimiliki masyarakat pesisir yang memengaruhi kepuasan tamu atas pelayanan pondok wisata yang diterimanya. Seperti kata-kata umpatan kasar yang meluncur khas dari masyarakat pesisir lokal Pemilik UPW di Jawa Barat, yang pasrah dengan situasi dan kondisi usahanya yang memiki banyak keterbatasan, dengan mengatakan sebagai berikut: “arek heug, moal jung” (bahasa Sunda yang artinya: kalau mau silakan, tidak-pun tak masalah). Perilaku tidak acuh ini jelas salah, jika optimis dalam berusaha, pasti akan mempertahankan tamunya agar tidak pergi. Kekecewaan tamu terjadi sebagai akibat tidak terpenuhinya kebutuhan akan keramahtamahan, yang menjadi ciri khas adat dan budaya masyarakat Indonesia. Jika tamu kecewa maka tidak akan tergoda untuk lebih banyak membelanjakan uangnya, dan hal ini akan berpengaruh pada tingkat pendapatan. Hal tersebut akan memberi dampak negatif, yang pengaruhnya meluas ke bidang usaha lain. Bukti lain bahwa keterbatasan pengetahuan budaya lokal, berdampak pada ketidakmampuan mengakomodasi kebutuhan tamunya akan pengetahuan dan informasi pariwisata lokalitas. Penelitian ini menjadi perlu untuk mengetahui karakterisik individu dan lingkungan lainnya yang diduga sebagai faktor-faktor yang memengaruhi kompetensi kerja dan perilaku kewirausahaan.

Penelitian ini berupaya mengungkap faktor-faktor karakteristik individu dan karakteristik lingkungan yang mempengaruhi proses penyuluhan, kompetensi kerja dan perilaku kewirausahaan pemilik UPW. Kemudian juga meneliti adakah hubungan antara kompetensi dengan perilaku kewirausahaan pemilik UPW? Kompetensi kerja pemilik UPW yaitu: kompetensi dalam kerjasama dengan kolega dan pelanggan, penanganan reservasi dan pelayanan resepsionis, penyediaan jasa kerumahtanggaan (housekeeping), penyediaan layanan kebutuhan makan dan minum (room service), hingga pengembangan jejaring. Perilaku kewirausahaan meliputi: integritas, akuntabilitas, transparansi, disiplin, ketelitian, kecepatan kerja, ketekunan, dan fokus pelanggan.

Faktor-faktor tersebut di atas merupakan potensi dan kapasitas yang perlu diketahui, dipahami dan dikuasai oleh pemilik UPW agar berpengaruh pada keberdayaan dan keberhasilan pemilik UPW baik dari sisi aspek sosial maupun aspek ekonomi. Keberdayaan pemilik UPW melalui pengukuran yang meliputi tingkat partisipasi, keberanian menghadapi risiko, kemampuan perencanaan usaha, dan kemampuan berinovasi dalam menjalankan usahanya. Dari sisi aspek ekonomi, keberhasilan pemilik UPW diukur dari tingkat pendapatan, jumlah pelanggan, tingkat loyalitas pelanggan, perluasan pangsa pasar, dan kemampuan bersaing. Keberhasilan pemilik UPW itu akan bermuara pada kesejahteraan keluarga pemilik UPW dan pencitraan bagi industri kepariwisataan nasional, sehingga dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan model aksi pemberdayaan pemilik UPW melalui pola kemitraan.

Masalah Penelitian

(23)

penyuluhan sadar wisata melalui slogan “Sapta Pesona. Slogan ini bertujuan baik yaitu mengingatkan dan menyadarkan seluruh masyarakat terkait tentang unsur-unsur kebersihan, kesehatan, kerapihan, kenyamanan, keindahan, dan keamanan. Namun kenyataannya, kampanye sadar wisata ini baru menyentuh pelaku usaha kalangan atas, pemodal besar, dan tergolong sebagai pelaku industri kepariwisataan dan belum membumi bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah.

Keterbatasan dalam akses informasi dan jaringan bisnis menyebabkan minimnya kemampuan pemilik UPW dalam berinteraksi dengan tamunya. Dalam benak wisatawan mancanegara (wisman) telah tertanam tentang perilaku penduduk asli Indonesia yang ramahtamah dalam bergaul. Wisatawan menjadi merasa cepat bosan, tidak betah serta tidak berkeinginan memperpanjang masa tinggalnya. Hal demikian lambat laun berpengaruh pada tingkat pendapatan dan keberlangsungan usaha pondok wisata. Pada akhirnya tidak mampu menjamin peningkatan kesejahteraan pekerja dan pemilik usaha. Dampak lebih luas akan turut dirasakan dan dialami oleh rakyat di sekitar pondok wisata. Mereka yang berdagang aneka kerajinan tangan, berusaha warung makan, menjual jasa pertunjukan seni budaya lokal, jasa pramuwisata, dan objek wisata lokal menjadi kurang diminati karena kurang dikenal. Maka cita-cita untuk meningkatkan nilai ekonomi dan keberlanjutan ekologis sumber daya pedesaan tidak mampu dicapai. Rakyat pedesaan tidak mampu mendedahkan kekayaan sosial, budaya dan alam pedesaan yang dimiliki kepada wisatawan yang berkunjung. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka pada akhirnya mempengaruhi citra kepariwisataan nasional.

Untuk berdaya, pemilik UPW perlu disadarkan atas seluruh permasalahan tersebut di atas, agar mereka mau berubah melalui upaya sendiri ataupun bantuan pihak lain. Masalah penelitian yang ingin dijawab dalam rangka mengetahui keberdayaan dan keberhasilan pemilik UPW dalam penelitian ini beberapa peubah akan dilihat pengaruhnya, yaitu:

(1) Bagaimana karakteristik individu pemilik UPW? Di antara faktor-faktor berikut: usia, pendidikan formal, pengalaman pelatihan, pengalaman kerja, motivasi berusaha, dan tingkat kekosmopolitan; faktor-faktor manakah yang paling dominan mempengaruhi keberhasilan pemilik UPW?

(2) Bagaimana karakteristik lingkungan pemilik UPW? Di antara faktor-faktor berikut: dukungan keluarga, peran tokoh masyarakat, sistem nilai budaya, dan peluang pasar; faktor-faktor manakah yang paling dominan mempengaruhi keberhasilan pemilik UPW?

(3) Bagaimana proses penyuluhan terhadap pemilik UPW? Di antara faktor-faktor berikut: lembaga penyuluh dan prinsip penyuluhan; faktor-faktor-faktor-faktor manakah yang paling dominan mempengaruhi keberhasilan pemilik UPW? (4) Bagaimana tingkat kompetensi kerja pemilik UPW? Di antara faktor-faktor

berikut: kemampuan kerjasama dengan kolega dan pelanggan, penanganan reservasi, pelayanan resepsionis, penyediaan layanan housekeeping dan penyediaan roomservice; faktor-faktor manakah yang paling dominan mempengaruhi keberhasilan pemilik UPW?

(24)

(6) Bagaimana tingkat keberdayaan pemilik UPW? Di antara faktor-faktor berikut: kemampuan akses teknologi, akses permodalan, akses informasi pasar, dan aspek jaringan bisnis; faktor-faktor manakah yang paling dominan mempengaruhi keberhasilan pemilik UPW?

(7) Bagaimana tingkat keberhasilan usaha pemilik UPW? Di antara faktor-faktor berikut: tingkat pendapatan, jumlah pelanggan, loyalitas pelanggan, dan kemampuan memperluas pangsa pasar; faktor-faktor manakah yang paling dominan dimiliki pemilik UPW?

(8) Bagaimana Model pemberdayaan pemilik UPW? (9) Bagaimana strategi pemberdayaan pemilik UPW?

Diketahuinya faktor-faktor yang paling dominan berpengaruh pada keberhasilan pemilik UPW, mampu menjadi acuan dalam pembuatan model dan perumusan strategi dalam proses penyuluhan, peningkatan kompetensi kerja, perbaikan perilaku kewirausahaan dan meningkatkan keberdayaan pemilik UPW.

Berdasarkan pertimbangkan aspek-aspek metodologis dan kelayakan di lapangan, ruang lingkup penelitian dibatasi hanya mengkaji pengaruh karakteristik individu, karakteristik lingkungan, pada proses penyuluhan, kompetensi kerja, perilaku kewirausahaan pemilik UPW pada tingkat keberdayaan, serta hubungannya dengan keberhasilan pemilik UPW.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah memperoleh gambaran secara rinci dan akurat tentang faktor-faktor karakteristik individu, karakteristik lingkungan, dan proses penyuluhan yang mempengaruhi kompetensi kerja dan perilaku kewirausahaan, serta hubungan antara proses penyuluhan, kompetensi kerja, dan perilaku kewirausahaan terhadap keberdayaan dan keberhasilan pemilik UPW di beberapa KSPN. Berdasarkan tujuan umum tersebut, secara lebih terinci penelitian ini bertujuan untuk:

(1) Mengidentifikasi karakteristik individu, karakteristik lingkungan, proses penyuluhan, kompetensi kerja, perilaku kewirausahaan, keberdayaan dan keberhasilan pemilik UPW.

(2) Menganalisis pengaruh faktor karakteristik individu, karakteristik lingkungan, dan proses penyuluhan terhadap kompetensi kerja dan perilaku kewirausahaan pemilik UPW.

(3) Menganalisis hubungan antara kompetensi kerja, dan perilaku kewirausahaan dengan keberdayaan dan keberhasilan pemilik UPW.

(4) Merumuskan model dan strategi pemberdayaan bagi pemilik usaha pondok wisata dalam upaya pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi masyarakat pesisir di KSPN.

Manfaat Penelitian

(25)

pengembangan kompetensi dan perbaikan perilaku kewirausahaan untuk lebih berdaya dan berhasil. Berdasarkan penelusuran, di Indonesia belum banyak literatur ilmiah yang membahas secara spesifik tentang sektor jasa akomodasi kepariwisataan khususnya pengelolaan UPW. Kenyataan memang deskripsi sektor pondok wisata belum populer dan belum diakui di negeri ini, meski keberadaannya di masyarakat telah berdiri dan berkembang sebelum bisnis akomodasi lain seperti hotel berbintang, hotel melati, losmen, dan usaha penyewaan villa.

Penelitian ini menjadi demikian penting untuk dilaksanakan, secara lebih praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat:

(1) Untuk mendorong pemerintah pusat (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia-Kemenparekraf) dan pemerintah daerah (Dinas Pariwisata Daerah-Diparda) mengambil kebijakan untuk lebih mendinamiskan kegiatan penyuluhan, melalui peningkatan kompetensi agen penyuluh dan kualitas materi penyuluhan, seperti halnya penyuluhan di sektor pertanian, kehutanan, keluarga berencana, dan lainnya.

(2) Bagi organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan komunitas masyarakat yang berkonsentrasi di pariwisata, khususnya bidang jasa akomodasi non bintang seperti pondok wisata (homestay), losmen, villa, cottage, guest house, dan hotel melati; penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbang saran tentang dinamika usaha melalui proses penyuluhan guna peningkatan kompetensi kerja, perbaikan perilaku kewirausahaan sehingga lebih berdaya dan berhasil usaha dalam pengelolaan operasional harian hingga pengembangan pasar dan jaringan bisnis.

(3) Khususnya kegiatan penyuluhan, hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan tentang perlunya peningkatan kompetensi para agen penyuluh; lebih mengerti, memahami dan menguasai persoalan dan pengelolaan UPW; penyusunan materi penyuluhan lebih mengarah pada kebutuhan informasi dan pelatihan kelayannya.

(4) Bagi masyarakat pemilik dan pengelola UPW, sebagai bahan masukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan guna memenuhi harapan pelanggan (wisatawan) melalui pelayanan prima; sehingga bisnis yang dijalani dapat berkelanjutan.

(26)
(27)

II TINJAUAN PUSTAKA

Orientasi Pelayanan di Industri Kepariwisataan

Industri pariwisata tergolong sebagai hospitality industry, yaitu industri jasa yang mengutamakan keramahtamahan dalam pelayanan untuk mewujudkan kepuasan pelanggan. Pelanggan adalah “raja”, mereka harus didahulukan dan dilayani sebaik-baiknya, dan dijaga loyalitasnya, karena mati hidupnya perusahaan bergantung kepada kepercayaan pelanggan. Pentingnya menjaga hubungan pelanggan bagi perusahaan, SDM harus memiliki kompetensi dengan orientasi pelanggan. Kompetensi orientasi pelayanan kepada pelanggan mencakup kemampuan individu untuk membantu dan melayani kebutuhan pelanggan, kemampuan memahami keinginan pelanggan, kemampuan berempati, dan kemampuan mencari informasi secara proaktif untuk membangun kepuasan pelanggan. Menjadi keharusan bagi perusahaan untuk selalu berusaha menjaga agar pelanggan merasa puas dengan pelayanan dan produk yang diberikan. Sumber daya manusia yang berkompetensi orientasi pelayanan kepada pelanggan merupakan kualifikasi yang wajib bagi perusahaan yang memiliki perhatian besar terhadap kebutuhan pelanggan.

Pada prinsipnya bagi setiap organisasi orientasi pelayanan kepada pelanggan, warga, atau pengguna layanan merupakan faktor kunci untuk menuju keberhasilan. Ketidakmampuan perusahaan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan akan berakibat fatal terhadap keberlangsungan perusahaan. Orientasi pelayanan kepada pelanggan merupakan salah satu kompetensi yang sangat vital bagi setiap perusahaan.

Parasuraman et al. (1985) menyebutkan ada tiga karakteristik pelayanan, yaitu: intangibility, heterogeneity dan inseparability. Tjiptono (1996) menyampaikan empat karakteristik jasa atau pelayanan, yaitu: intangibility, inseparability, variability, dan perishability. Pendapat lain mengemukakan ada enam karakteristik jasa atau pelayanan yang membedakan dengan produk manufaktur, yang kiranya dapat dipertimbangkan dalam pengukuran dan pengembangan kualitas pelayanan, yaitu:

(1) Intangible: produk jasa tidak dapat dipegang atau diraba, melainkan hanya dapat dirasakan.

(2) Perishable: sekali digunakan, maka jasa itu selesai, hanya kesan dan pengalaman yang dapat dibawa pulang oleh pengguna jasa.

(3) Immediate: bila suatu jasa dibutuhkan, maka tidak dapat ditangguhkan terlalu lama.

(4) Complex: proses pelayanan suatu jasa sering kali melibatkan lebih dari satu unit atau instansi.

(5) Amorphous: penilaian mutu suatu jasa sangat bervariasi, sangat tergantung kepada individu yang menilai. Di lain pihak, mutu suatu jasa juga bervariasi, tergantung individu penyaji dan pengguna jasa.

(6) Inseparable: antara produksi dan konsumsi jasa merupakan hal yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Demikian juga, tempat produksi jasa dilakukan juga merupakan tempat pengguna jasa berada.

(28)

Salah satu cara untuk dapat memenuhi kebutuhan pelanggan secara memuaskan adalah dengan melakukan survei kebutuhan atau kepuasan pelanggan. Survei ini pada hakekatnya untuk menjaring informasi atas para pengguna layanan, sejauh mana kebutuhan dan keinginan. Parasuraman, et al. (1985) mengemukakan ukuran kualitas pelayanan dalam dimensi sebagai berikut:

(1) Kehandalan (reliability), yakni mencakup konsistensi kinerja dan kehandalan dalam pelayanan: akurat, benar, dan tepat.

(2) Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan dan kesiapan para pegawai dalam menyediakan pelayanan dengan tepat waktu.

(3) Kompeten (competence), yaitu keahlian dan pengetahuan dalam memberikan pelayanan.

(4) Akses (access), yaitu sejauh mana pelayanan mudah diakses oleh pengguna layanan.

(5) Kesopanan (courtesy), yaitu mencakup kesopansantunan, rasa hormat, perhatian, dan bersahabat dengan pengguna layanan.

(6) Komunikasi (communication), yaitu kemampuan menjelaskan dan menginformasikan pelayanan kepada pengguna layanan dengan baik dan dapat dipahami dengan mudah.

(7) Kejujuran (credibility), yaitu mencakup; kejujuran dan dapat dipercaya dalam memberikan layanan kepada pelanggan.

(8) Keamanan (secure), yaitu mencakup bebas dari bahaya, keamanan secara fisik, risiko, aman secara finansial.

(9) Pengetahuan terhadap pelanggan (knowing the customer) yaitu berusaha mengetahui kebutuhan pelanggan, belajar dari persyaratan-persyaratan khusus pelanggan.

(10)Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, penampilan pegawai, peralatan, dan perlengkapan/fasilitas pelayanan.

Pada umumnya pelanggan menginginkan produk yang memiliki karakteristik lebih cepat, lebih murah, dan lebih baik. Dalam hal ini, terdapat tiga dimensi yang perlu diperhatikan, yaitu: dimensi waktu, dimensi biaya, dan dimensi kualitas. Karakteristik lebih cepat biasanya berkaitan dengan dimensi waktu yang menggambarkan kecepatan dan kemudahan atau kenyamanan untuk memperoleh produk itu. Karakteristik lebih murah biasanya berkaitan dengan dimensi biaya yang menggambarkan harga atau ongkos dari suatu produk yang harus dibayarkan pelanggan. Karakteristik lebih baik (better) berkaitan dengan dimensi kualitas produk yang, dalam hal ini, paling sulit untuk digambarkan secara tepat. Namun, beberapa pendekatan berikut akan berguna untuk memahami harapan pelanggan yang berkaitan dengan kualitas produk barang dan/atau jasa (Gaspersz, 2003).

Terkait kepuasan pelanggan dalam pelayanan, menurut Sudarmanto (2009) perlu diperhatikan hal-hal berikut:

(1) Kepuasan pelanggan dapat didefinisikan secara sederhana sebagai suatu keadaan ketika kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggan dapat terpenuhi melalui produk atau pelayanan yang dikonsumsi atau digunakan.

(29)

(3) Jika pelanggan merasakan bahwa kualitas dari produk lebih rendah dari kebutuhan, keinginan, dan harapan mereka, maka kepuasan pelanggan akan menjadi lebih rendah atau bernilai lebih kecil dari satu.

(4) Oleh karena, kepuasan pelanggan tergantung dari persepsi dan harapan (ekspektasi) mereka, perlu diketahui hal-hal yang memengaruhi persepsi dan ekspektasi:

(a) Kebutuhan dan keinginan yang berkaitan dengan hal-hal yang dirasakan pelanggan ketika ia sedang mencoba melakukan transaksi dengan perusahaan/pemasok. Jika kebutuhannya besar, maka harapannya tinggi dan sebaliknya.

(b) Pengalaman masa lalu ketika mengonsumsi produk dari perusahaan maupun pesaing-pesaingnya.

(c) Pengalaman dari teman-teman, yang menceritakan kualitas produk yang akan dibeli pelanggan. Hal ini jelas memengaruhi persepsi pelanggan terutama pada produk-produk yang dirasakan berisiko tinggi.

(d) Komunikasi melalui iklan dan pemasaran juga memengaruhi persepsi pelanggan.

Sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang orientasi pelayanan kepada pelanggan, akan selalu mencari cara terbaik dalam memberikan pelayanan yang memuaskan pengguna layanan. Ia tidak hanya berpikir tentang kondisi pelayanan saat ini yang telah diberikan, tetapi juga selalu melakukan penelitian atau mencari informasi kebutuhan pelanggan. Tabel 1 merupakan gambaran tingkat kompetensi orientasi terhadap pelayanan kepada pelanggan.

Uraian penjelasan mengenai deskripsi perilaku di atas dapat menjadi pedoman bagi suatu usaha untuk bisa fokus kepada kebutuhan pelanggan. Usaha untuk memenuhi kepuasan pelanggan baru mulai terfokus pada level 2A yaitu memonitor kepuasan pelanggan dengan cara berbagi informasi yang bermanfaat bagi pelanggan dan memberikan pelayanan yang ramah serta menyenangkan. Namun terlihat di level 6A telah mengabaikan kepentingan perusahaan.

Usaha Pondok Wisata

Pondok wisata dapat diidentikkan dengan usaha akomodasi homestay. Di Australia istilah ini berkaitan dengan akomodasi farmhouse (rumah pertanian), sedangkan dalam terminologi Inggris, istilah itu digunakan untuk merujuk kepada berbagai jenis akomodasi yang pengunjungnya atau tamu membayar langsung atau tidak langsung untuk tinggal di private homes (rumah pribadi). Hal ini mencakup berbagai jenis pelayanan termasuk akomodasi farmstay, host families (induk semang), hotel kecil, dan tempat tidur dan kegiatan sarapan (Lynch, 1999).

(30)

Pondok wisata merupakan jenis akomodasi yang unik, seperti dikemukakan oleh Lynch dan MacWhannell (2000): “akomodasi homestay adalah istilah yang diasosiasikan rumah pribadi dengan budaya tertentu, seperti adanya interaksi dengan tuan rumah (host) atau keluarga, setiap ruang yang ada menjadi area publik. Dalam akomodasi homestay, batas-batas rumah pribadi dibuka untuk ruang publik, hal inilah yang membedakan dari akomodasi lain. Adanya hubungan kekeluargaan yang terjadi di rumah pribadi, interaksi dengan tuan rumah dan keluarganya, dan penggunaan berbagi ruang secara bersamaan (umum). Konsep inilah yang membedakan karakteristik usaha pondok wisata dengan bentuk usaha lain seperti losmen, guest house/boarding house, cottage, bungalow, villa, dan hotel, dimana tuan rumahnya yang seorang manajer ataupun stafnya tidak berada (tinggal) di tempat yang sama, dan adanya batasan antara ruang umum dan ruang khusus yang tidak dapat dimasuki oleh tamunya. Selanjutnya tentang perbedaan karakteristik usaha pondok wisata dengan usaha akomodasi lain dapat dilihat pada Lampiran 1 di halaman 207.

Tabel 1 Skala orientasi pelayanan

Level Deskripsi Perilaku

A Fokus pada Kebutuhan Pelanggan

-2A

Menunjukkan harapan negatif terhadap pelanggan.

Membuat komentar negatif kepada pelanggan, menyalahkan pelanggan dalam pelayanan.

-1A

Memfokuskan pada kemampuan sendiri.

Berfokus pada kemampuan sendiri atau organisasi dibandingkan pada kebutuhan pelanggan.

1A

Memberikan pelayanan yang dipersyaratkan secara minimal.

Merespons pertanyaan pelanggan seperlunya tanpa ada persiapan dan tanpa melakukan peninjauan mendalam terhadap kebutuhan atau masalah yang mendasar.

2A

Memelihara komunikasi yang jelas dengan pelanggan dalam rangka kerja sama yang saling menguntungkan.

Memonitor kepuasan pelanggan dengan cara berbagi informasi yang bermanfaat bagi pelanggan dan memberikan pelayanan yang ramah serta menyenangkan.

3A

Mengambil tanggung jawab pribadi.

Memperbaiki permasalahan pelayanan pelanggan secara tepat dan tidak bersifat defensif.

4A

Membuat dirinya selalu siap melayani pelanggan.

Berusaha membantu kebutuhan pelanggan dan bersedia meluangkan waktu untuk berkunjung ke pelanggan untuk membangun keeratan.

5A

Bertindak untuk membuat segala sesuatu menjadi lebih baik.

Membuat usaha-usaha nyata untuk memberi nilai tambah pada pelanggan, membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik bagi pelanggan.

6A

Menggunakan perspektif jangka-panjang.

Bekerja dengan menggunakan perspektif jangka panjang dalam menangani permasalahan pelanggan. Kadang kala mengorbankan biaya jangka pendek untuk menjalin hubungan jangka panjang.

7A

Bertindak sebagai pendukung pelanggan.

(31)

Selain biaya penginapan di pondok wisata jauh lebih rendah daripada di hotel dan tergantung dari lengkap-tidaknya jasa yang disediakan. Salah satu daya tarik pondok wisata yaitu wisatawan dapat menghayati kehidupan setempat dan lebih dapat memahami obyek wisata di daerah itu menurut nilainya dalam kebudayaan setempat, suatu hal yang sulit dinikmati oleh wisatawan yang tinggal di hotel, yang terpisah dari kegiatan kehidupan setempat dan yang mengikuti kebiasaan dalam gaya budaya wisata.

Cole (2007) mengungkap bahwa banyak wisatawan meyakini bahwa dengan menginap di homestay, mereka berpartisipasi dalam mewakili hidup unik dalam budaya baru. Selain itu wisatawan mencari pengalaman otentik dan arsitektur dari budaya tuan rumah. Homestay bisa memberikan pengalaman budaya dan rasa berada di rumah. Hal ini memungkinkan mereka untuk berperilaku lebih bebas dan merasa nyaman dan santai dalam budaya asing. Jadi menginap di pondok wisata dapat digolongkan kedalam salah satu bentuk wisata sejarah dan budaya, karena itu masyarakat masih mempertahankan ketradisionalan sejarah dan budaya mereka.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tertulis pengertian Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang. Pada Tabel 2 terlihat kriteria usaha mikro yaitu: (a) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (b) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00. Hal ini dapat dibandingkan dengan aset dan omzet dari kelompok usaha kecil dan usaha menengah.

Terkait dengan undang-undang tersebut di atas pada Pasal 7 ayat 1 berbunyi: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menumbuhkan Iklim Usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan, perizinan usaha, kesempatan berusaha, promosi dagang, dan dukungan kelembagaan. Selanjutnya diharapkan dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif membantu menumbuhkan iklim usaha.”

Pemerintah pusat memberikan kebijakan tentang pendanaan yaitu:

(1) memperluas sumber pendanaan dan memfasilitasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk dapat mengakses kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank;

Tabel 2. Kriteria aset dan omzet UMKM

No URAIAN KRITERIA

ASET OMZET

1 Usaha Mikro Max 50 jt Max 300 jt 2 Usaha Kecil > 50 jt – 500 jt > 300 jt – 2,5 M 3 Usaha Menengah > 500 jt – 10 M > 2,5 – 50 M

(32)

(2) memperbanyak lembaga pembiayaan dan memperluas jaringannya sehingga dapat diakses oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

(3) memberikan kemudahan dalam memperoleh pendanaan secara cepat, tepat, murah, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

(4) membantu para pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil untuk mendapatkan pembiayaan dan jasa/produk keuangan lainnya yang disediakan oleh perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, baik yang menggunakan sistem konvensional maupun sistem syariah dengan jaminan yang disediakan oleh Pemerintah.

Pemerintah juga menjanjikan dari sisi aspek sarana dan prasarana: (a) mengadakan prasarana umum yang dapat mendorong dan mengembangkan pertumbuhan Usaha Mikro dan Kecil; dan (b) memberikan keringanan tarif prasarana tertentu bagi Usaha Mikro dan Kecil. Dari sisi aspek perizinan usaha diinstruksikan untuk: (a) menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan usaha dengan sistem pelayanan terpadu satu pintu; dan (b) membebaskan biaya perizinan bagi Usaha Mikro dan memberikan keringanan biaya perizinan bagi Usaha Kecil. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha dapat memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil. Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana dan prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil.

Jadi pondok wisata merupakan bidang usaha rakyat dan tergolong pada jenis usaha mikro (Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2010 tentang Penanaman Modal, lampiran II bidang Kebudayaan dan Pariwisata), dengan karateristik berikut: (1) modal usaha kurang dari 50 juta; (2) dikelola tradisional yaitu tidak ada pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi; dan pemilik berfungsi sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya.

Dalam penelitiannya, Mulyanto (Riyanti, 2003) menjelaskan ciri-ciri yang secara umum dimiliki oleh Usaha Kecil Menengah (UKM), yaitu: (1) Kepemilikan orang pribumi; (2) Jenis usaha yang digeluti bersifat tradisional; (3) Segmentasi produknya ditujukan untuk melayani masyarakat berpenghasilan rendah dan berorientasi pada pasar domestik; (4) Usahanya bersifat padat karya di lingkungannya; (5) Teknologinya tradisional atau sederhana; (6) Modal awal umumnya berasal dari rumah tangga yang jumlahnya sangat terbatas sehingga berdampak pada kelambanan akumulasi modal; (7) Usaha yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri; dan (8) Dalam mengelola usahanya kurang profesional dan kurang inovatif, dengan demikian keuntungan investasi menjadi sulit dihitung dan kemampuan perencanaan ke depan hanya bersifat jangka pendek.

(33)

pemilik rumah, dalam kenyamanan dan keamanan sebuah rumah keluarga. Pondok wisata yang merupakan rumah kedua bagi penyewanya. Selanjutnya, para tamu akan tinggal di rumah keluarga tersebut untuk jangka waktu tertentu, bisa harian, mingguan, bulanan atau kadang-kadang bahkan bertahun-tahun. Banyak orang meyakini bahwa menyewakan sebagian dari tempat tinggal mereka adalah sebagai hal ilegal. Namun secara hukum, hal itu tidaklah bermasalah untuk berbagi tempat tinggal dengan sejumlah orang yang menyewa meski tak dikenal, asalkan si pemilik memberikan laporan/perijinan kepada RT/RW setempat, sehingga para aparat memahami kondisi yang ada. Selain itu pemilik pondok wisata juga sudah mengisi formulir dan mengajukan permohonan ijin berusaha. Ruang yang disewakan untuk tamu adalah salah satu bagian yang paling penting dalam menjalankan bisnis pondok wisata, karena tamu akan menghabiskan banyak waktu di dalam kamar. Maka semua kamar harus terang dan bersih, dilengkapi dengan jendela aktif. Ruangan harus cukup besar untuk menampung sebuah tempat tidur dan meja rias, lemari dan meja dengan beberapa ruang tersisa untuk ruang bersantai.

Hal yang perlu diperhatikan, cukup banyak waktu tamu yang dihabiskan di kamar, sehingga ukuran untuk ruang gerak menjadi sangat penting. Panas ruang dan ventilasi yang tepat diperlukan. Juga, semua kamar tidur harus memiliki sebuah jendela terbuka, hal ini penting untuk jalan keluar api. Masalah privacy para tamu perlu juga menjadi prioritas yang perlu dihormati keluarga pemilik rumah, seperti atas barang-arang yang dimiliki, maupun hal yang bersifat pribadi. Perlu meyakinkan tamu bahwa ruang terjaga kebersihan, kenyamanan, dan keamanannya dengan melakukan kegiatan seperti pembersihan debu, mengganti linen atau melakukan perbaikan.

Pemilik pondok bertanggung jawab untuk memperkenalkan seisi rumah kepada tamu barunya. Sangat disarankan untuk memperkenalkan tamu kepada semua anggota rumah tangga secepat-cepatnya. Hal penting juga untuk memastikan bahwa tamu tahu cara menggunakan semua fasilitas rumah. Lakukan kegiatan orientasi untuk menunjukkan kepada mereka hal-hal yang harus dilakukan tentang kondisi dan isi rumah berikut fasilitas yang tersedia. Pemilik atau tuan rumah pondok wisata bisa berasal dari berbagai lapisan masyarakat, dan tidak selalu keluarga inti secara tradisional. Bisa saja hidup sendiri, pasangan suami isteri tanpa anak, atau beberapa anggota keluarga, anak yang sudah dewasa atau remaja, keluarga dengan saudara atau kerabat, mereka yang memiliki atau tanpa hewan peliharaan, mereka yang berbeda ras, bangsa dan agama. Setiap keluarga pemilik adalah unik, beberapa bergaya santai sedangkan yang lain sedikit kaku (formal). Namun ada satu kesamaan bahwa mereka senang bertemu dengan orang-orang baru yang dianggap menarik dan mereka sangat antusias menyambut. Tuan rumah pondok wisata merasa bahwa mereka dan keluarganya akan mendapatkan keuntungan dari menyewakan kamarnya, dan merasa bahwa keluarga mereka akan mendapatkan keuntungan dari pengalaman pertukaran lintas budaya.

(34)

tamu bisa menawarkan untuk membantu pekerjaan rumah tangga, menjaga kamar rapi, tidak akan berani keluar tanpa memberitahu pemilik rumah kemana tamu pergi, dan waktu kembali. Dengan menjadi tamu yang sopan dan sempurna, maka tamu tersebut akan mendapatkan suatu petualangan wisata yang hebat.

Pemilihan dan penyediaan pondok wisata dilakukan tanpa diskriminasi. sehingga tidak ada prasangka buruk apapun terhadap agama, ras, jenis kelamin atau warna, pada jenis usaha ini. Jika memiliki keyakinan agama yang kuat, keluarga tuan rumah harus menghormati kekurangan agama atau kepercayaan tamunya. Pemilik perlu memiliki sediaan anggaran untuk merawat pondok wisata dan memfasilitasi tamu mereka. Tidak boleh bergantung pada uang sewa sebagai satu-satunya sumber penghasilan, setidaknya sampai usaha ini mapan. Perlu diingat agar tetap menjaga reputasi pondok wisata, sehingga keuntungan diperoleh berkelanjutan.

Dari beberapa informasi, harga kamar sangat tergantung pada berbagai faktor seperti lokasi, ukuran kamar tersedia, jenis dan gaya pondokan yang ditawarkan. Pertimbangan dasar tarif kamar tergantung pada harga pasaran sekitar lokasi, jenis pondok wisata yang ditawarkan, fasilitas kamar dan lainnya, termasuk makanan atau tidak, pertimbangan lain seperti kemudahan transportasi, kedekatan menuju dan dari tempat wisata. Berikut adalah beberapa saran yang perlu diingat terkait dengan biaya: (a) Selalu bicara bisnis seperti saat menangani sewa sehingga tidak ada kesalahpahaman dari tamu dan maupun tuan rumah; (b) Terkadang pembayaran di muka, dapat juga di akhir pemakaian; (c) Kenakan uang deposit kamar kepada tamu, untuk jaminan terhadap kerusakan fasilitas, selanjutnya uang deposit akan dikembalikan di akhir masa sewa; dan (d) Periksa apakah ada pengenaan biaya-biaya lainnya.

Karakteristik Individu

Karakteristik individu yaitu segala sesuatu yang melekat pada diri seseorang yang sifatnya khas untuk setiap orang. Karakteristik individu muncul karena terjadinya proses alam seperti: usia, persepsi terhadap sesuatu, motivasi, maupun proses yang sengaja diciptakan untuk meningkatkan kualitas diri, seperti: tingkat pendidikan, intensitas komunikasi, frekuensi mencari informasi. Karakteristik individu mempengaruhi seseorang dalam memberikan respon terhadap stimuli yang diterimanya, dan akan mengubah perilakunya. Lionberger (1960) menyatakan bahwa faktor-faktor internal yang mempengaruhi cepat lambatnya adopsi adalah usia, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan dan kekosmopolitan, keberanian mengambil resiko, sikap terhadap perubahan, motivasi berkarya, aspirasi, sifat fatalisme dan diagnosisme (sistem kepercayaan yang tertutup).

(35)

karena status dan peranannya, akan memunculkan kekuatan atau dorongan untuk bertindak terutama yang menguntungkan dirinya.

Umur mempengaruhi kecepatan perubahan perilaku, karena umur akan mempengaruhi kemampuan fisik dan kemampuan pikir. Orang yang lebih tua cenderung kurang responsif terhadap ide-ide baru. Padmowihardjo (1978) menyatakan bahwa kemampuan seseorang untuk belajar berkembang secara gradual, sejalan dengan meningkatnya umur, akan tetapi setelah mencapai umur tertentu akan berkurang secara gradual pula, dan sangat nyata pada umur 55-60 tahun. Vener dan Davidson (Lunandi, 1986) menyatakan bahwa dengan bertambahnya umur secara fisiologis terdapat perubahan daya penglihatan dan pendengaran yang dapat menurunkan tingkat efektivitas belajar orang dewasa. Klausmeijer et. al. (1966) mengemukakan bahwa ada pengaruh umur terhadap minat seseorang terhadap macam pekerjaan tertentu sehingga umur seseorang juga akan berpengaruh terhadap motivasinya untuk belajar.

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Padmowihardjo (1994) bahwa umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi sesuatu yang diakibatkan faktor fisiologis. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan umur. Faktor pertama adalah mekanisme belajar dan kematangan otak, organ-organ sensual dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar lainnya.

Seseorang yang muda usia mungkin memiliki pengalaman dan pendidikan kurang, tetapi memiliki energi atau semangat untuk mencoba usahanya; sedangkan orang yang sudah berusia memiliki pengalaman dan pendidikan lebih tinggi sehingga menentukan keberhasilan dalam usahanya (Bird, 1989). Hurlock (1991) berpendapat bahwa perkembangan karier berjalan seiring dengan perkembangan manusia. Setiap kelompok manusia memiliki ciri-ciri khas bila dikaitkan dengan perkembangan karier. Ciri khas perkembangan karier menurut Hurlock (Hutagalung, et. al. 2008.) adalah sebagai berikut:

(1) Usia dewasa awal (18 tahun sampai 40 tahun), terkait dengan tugas perkembangan dalam hal membentuk keluarga dan pekerjaan. Banyak orang dewasa muda bingung dengan pilihan kariernya, situasi seperti ini terjadi dalam wirausaha. Di masa d

Gambar

Tabel 4  Program pengembangan kepariwisataan di Indonesia
Tabel 5. Aspek-aspek karakteristik individu pemilik UPW
Tabel  6.  Aspek-aspek karakteristik lingkungan pemilik UPW
Tabel 7.  Aspek-aspek proses penyuluhan pemilik UPW
+7

Referensi

Dokumen terkait

ini akan memperhatikan peserta didik untuk dapat berkonsentrasi saat membaca dan dengan kelompok ahli yang akan bekerja. Lembar ini berisi lima topik yang inti

perencanaan lesson study, pelaksanaan lesson study dan evaluasi lesson study serta peningkatan kompetensi pedagogik guru kimia di SMA Negeri 2 Metro berdasarkan

Masih banyak dari ibu-ibu yang belum mengetahui waktu yang tepat untuk memijatkan bayinya.Kurangnya informasi dan tidak diperolehnya pengalaman secara langsung oleh

Media jaringan komputer bisa tanpa kabel dan bisa melalui kabel, hal ini memungkinkan pengguna jaringan komputer dapat saling bertukar informasi, misalnya data

Berdasarkan analisa tersebut, tema sharing economy paling banyak dipilih sebagai subjek kajian di di benua Eropah iaitu sebanyak 34.5% (69 artikel), tempat kedua di negara

Agar sistem operasional dan prosedurnya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam penyerahan barang di PT Pegadaian (Persero) Cabang Padang bulan Medan yaitu

Titrasi substitusi dapat digunakan untuk ion logam yang tidak bereaksi (bereaksi dengan tak memuaskan) dengan indikator logam, atau untuk ion logam yang membentuk kompleks EDTA

Gridhi, Ketut Wirta, 1990, “Sikap Masyarakat Bali Terhadap Kemungkinan Terwujudnya Sistem Hukum Waris Bilatral Individual”, Laporan Penelitian, Facultas Hukum Universitas