i
ABSTRAK
REKONSTRUKSI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI (Telaah Ketatanegaraan Terhadap Kedudukan dan
Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi) Oleh:
REISA MALIDA
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah
lembaga baru dengan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial control
dalam kerangka sistem checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan.1 Lembaga tersebut merupakan salah satu lembaga negara yang bergerak di dalam ranah
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia, selain Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya, yaitu lembaga Mahkamah Konstitusi, melalui UUD Tahun
1945 Pasal 24 ayat (2), yang menyatakan:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Dikatakan di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah
Konstitusi2 sebagaimana yang telah dirubah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi,3 bahwa Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang berfungsi
menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.
1
Bandingkan: Maruarar Siahaan,Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 1.
2
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Nomor 4958.
3
Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga merupakan tempat bagi warga masyarakat pencari
keadilan atau justitiabelen (justice seekers) dalam mencari keadilan sesuai dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi yang termaktub di dalam UUD Tahun 1945 yaitu pasal 24C
ayat (1).4Kewenangan tersebut pada perkembangannya ditambah lagi dengan kewenangan untuk memutus perselisihan hasil Pemilukada berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah5Pasal 236C ayat (1).6
Selanjutnya, melalui Undang-Undang Mahkmah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga
diberikan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Hal tersebut berdasar pada Pasal 86 Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut Undang-Undang ini”. Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, maka Mahkamah Kontitusi membentuk aturan-aturan yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya melalui
Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).
4
Empat kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut, yaitu Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terkahir yang putusannya bersifat final untuk :
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3. Memutus pembubaran partai politik;
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5
LNRI Tahun 2008 Nomor 59.
6
Menyatakan bahwa :
Keberadaan PMK ini selanjutnya diakui di dalam hierarki peraturan perundang-undangan yaitu
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.7 Namun, undang-undang ini tidak menyebutkan kedudukan PMK di dalam hierarki peraturan
perundang-undangan. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut telah diatur di
dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kemudian ditambahkan melalui Pasal 8 ayat (1) bahwa Jenis Peraturan Perundang-Undangan
selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang-Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,
Kepala Desa atau yang setingkat.
Namun dari pengaturan-pengaturan yang ada tersebut, tidak ada yang menyebutkan secara jelas
letak kedudukan PMK di dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Tidak hanya itu, PMK
7
juga digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam rangka menjalankan fungsi kekuasaan
kehakiman atau fungsi peradilan (rechtsprekende functie). Mahkamah Konstitusi mengatur mengenai pedoman beracara di Mahkamah Konstitusi yang ditujukan bagi masyarakat umum
sebagai subjek-subjek hukum (legal subjects) yang tengah beracara di Mahkamah Kontitusi melalui PMK.
Pada dasarnya ketentuan mengenai pedoman beracara di Mahkamah Konstitusi telah diatur
dengan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yaitu pada Bab V mengenai Hukum Acara yang
terdiri dari Pasal 28 sampai dengan Pasal 85, yang secara berturut-turut membahas: bagian
pertama tentang hal umum; bagian kedua tentang pengajuan permohonan; bagian ketiga tentang
Pendaftaran Permohonan dan Penjadwalan Sidang; bagian keempat tentang Alat Bukti; bagian
kelima tentang Pemeriksaan Pendahuluan; bagaian keenam tentang Pemeriksaan Persidangan;
bagian ketujuh tentang Putusan; bagian kedelapan tentang Pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar; bagian kesembilan tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
yang Kewenangannya Diberikan oleh Undang-Undang Dasar; bagian kesepuluh tentang
Pembubaran Partai Politik; bagian kesebelas tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum; serta
bagian kedua belas tentang Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Namun dari beberapa literatur dan artikel yang membahas mengenai Mahkamah Konstitusi
terutama mengenai hukum acara, menyatakan bahwa ketentuan di dalam undang-undang tersebut
belum lengkap sehingga diperlukan peraturan di luar undang-undang untuk mengaturnya. Seperti
yang dikutip dari salah satu literatur mengenai Mahkamah Konstitusi, Maruarar Siahaan melalui
pengaturan tersebut, diakui sendiri oleh pembuat undang-undangnya masih sangat sumir. Oleh
karena itu, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi memberikan mandat kepada Mahkamah
Konstitusi untuk menyusun lebih lanjut aturan-aturan hukum acara yang diperlukan untuk
kelancaran penyelenggaraan kewenangannya.8 Dan di salah satu blog yang membahas khusus membahas mengenai hukum: Law Comunity “Wajah Hukum Indonesia”, menyebutkan bahwa
hal yang perlu diperbaiki dalam kaitannya dengan Mahkamah Konstitusi adalah terkait dengan
hukum acara Mahkamah Konstitusi yang belum jelas, sehingga perlu dibuatnya suatu
undang-undang yang mengatur tata cara berperkara di Mahkamah Konstitusi, mengingat selama ini
pengaturannya masih menggunakan pedoman dari Mahkamah Konstitusi.9
Hal ini diperkuat oleh pendapat para ahli Tata Negara Indonesia mengenai materi muatan PMK.
Pendapat pertama dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie,10 bahwa PMK merupakan salah satu bentuk kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan peraturannya sendiri yang
berfungsi mengatur secara internal demi tercapainya tujuan kelancaran pelaksanaan tugas dan
wewenangnya menurut UUD Tahun 1945. Sedangkan Maruarar Siahaan11 menyatakan, PMK merupakan aturan teknis kenegaraan sebagai penyempurna ketentuan-ketentuan beracara di
Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya masih terdapat banyak kekosongan.
Bahkan, penegasan mengenai ketidaklengkapan ini juga dapat dilihat dari ketentuan di dalam
Pasal 86 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sebagai dasar dikeluarkannya PMK. Ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini juga dapat berarti bahwa Undang-Undang
8
Maruarar Siahaan,op.cit. hlm. vii.
9
Dikutip dari http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel-2/wajah-hukum-indonesia/ diakses pada tanggal 10 Juli 2012 pukul 19.43 WIB.
10
Bandingkan: Jimly Asshiddiqie,Perihal Undang-Undang, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 18.
11
Mahkamah Konstitusi yang telah ada nyatanya masih belum sempurna dan membutuhkan
penyempurnaan yang lebih lanjut.
Sehingga, berdasarkan pendapat Ahli serta melihat ke dalam Pasal 7 dan 8 Undang-Undang
nomor 12 Tahun 2011 dan ketentuan di dalam Pasal 86 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,
terdapat beberapa ketimpangan yang patut untuk diperhatikan, antara lain:
1. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga negara, khususnya PMK,
walaupun telah diakui keberadaannya namun ternyata tidak diketahui letak
kedudukannya di dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
2. PMK yang secara teori seharusnya hanya bersifat dan berlaku bagi internal
kelembagaan, namun pada kenyataan ternyata materi muatan yang terkandung di dalam
PMK banyak yang bersentuhan langsung dengan subjek-subjek hukum di luar Mahkamah
Konstitusi, yaitu pada pedoman beracara di Mahkamah Konstitusi;
3. Pembentukan PMK yang didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 86 Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi merupakan norma penyempurna dari ketidaklengkapan
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, serta atas dasar pembentukan yang dinilai terburu-buru12. Namun, setelah hampir satu dasawarsa Mahkamah Konstitusi berdiri, berdasarkan kedua
alasan tersebut dapat dijadikan kajian mengenai kelayakan terus dipertahankannya
pedoman beracara yang diatur dengan PMK.
12Ibid
Memang hingga saat ini studi maupun penelitian yang membahas mengenai hierarki Peraturan
Perundang-Undangan juga mengenai Mahkamah Konstitusi memang telah banyak, khususnya
mengenai Mahkamah Konstitusi yang diantaranya berkisar pada hak, kewajiban, dan
kewenangan Mahkamah Konstitusi, serta kewajiban dalam hal impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden, diantaranya Maria Farida Indrati Soeprapto dalam disertasinya yang membahas
mengenai peraturan perundang-undangan, yatiu Kedudukan dan Materi Muatan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, peraturan Pemerintah, Dan Keputusan Presiden Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Di Republik Indonesia,13 serta thesis yang dibuat oleh Iwan Satriawan yang membahas mengenai hak sekaligus kewajiban Mahkamah Konstitusi dalam
hal impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden, yaitu Impeachment in Indonesia and the United States: A Comparative Study.14 Meskipun demikian, nyatanya hingga saat ini belum ada penelitian yang membahas secara spesifik mengenai Kedudukan Peraturan Mahkamah Konstitusi
di dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia serta mengenai materi muatan
Peraturan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan ketimpangan-ketimpangan yang telah diuraikan di atas, juga dengan melihat
banyaknya materi yang seharusnya diatur dalam Undang-Undang justru diatur dengan peraturan
perundang-undangan yang tidak sesuai dengan Ilmu Perundang-Undangan, maka peneliti merasa
perlu melakukan kajian lebih mendalam mengenai kedudukan serta penataan kembali bentuk
peraturan perundang-undangan, khususnya mengenai kedudukan dan pemetaan PMK
berdasarkan teori Hukum Tata Negara dan Teori Perundang-undangan. Berdasarkan hal tersebut,
13
Maria Farida Indrati Soeprapto, Disertasi : Kedudukan dan Materi Muatan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, peraturan Pemerintah, Dan Keputusan Presiden Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Di Republik Indonesia, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002).
14
peneliti kemudian akan menyampaikan analisis peneliti dalam bentuk skripsi yang berjudul,
“Rekonstruksi Peraturan Mahkamah Konstitusi (Telaah Ketatanegaraan Terhadap Kedudukan DanMateri Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi)”
1.2. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup 1.2.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, peneliti merumuskan permasalahan yang akan
dibahas di dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimanakah kedudukan PMK dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan ?
2. Bagaimanakah pemetaan materi muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yang
sesuai dengan ilmu Perundang-Undangan?
1.2.2 Ruang Lingkup
Penelitian ini berada di dalam bidang Hukum Tata Negara pada umumnya, dan lebih
dikhususkan lagi pada lingkup kelembagaan negara yang akan membahas mengenai kedudukan
Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemetaan materi muatan PMK yang sesuai
dengan Ilmu Perundang-Undangan.
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam rangka menambah Ilmu Pengetahuan Ketatanegaraan khususnya
bertujuan untuk mengetahui:
2. Pemetaan materi muatan PMK yang sesuai dengan ilmu perundang-undangan;
1.3.2 Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan
hukum, khususnya di dalam Hukum Tata Negara, dalam rangka memberikan penjelasan
mengenai kedudukan Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam hierarki Peraturan
Perundang-undangan serta pemetaan materi muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi yang sesuai
dengan Ilmu Perundang-Undangan.
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi rekan-rekan
mahasiswa selama mengikuti program perkuliahan Hukum Tata Negara pada Fakultas
Hukum Universitas Lampung mengenai kedudukan Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam
hierarki peraturan perundang-undangan serta pemetaan materi muatan Peraturan Mahkamah
Konstitusi yang sesuai dengan Ilmu Perundang-Undangan. Penelitian ini juga diharapkan
dapat menjadi bahan kajian bagi pemerintah khususnya bagi lembaga penyelenggara negara
dalam mengkaji kedudukan Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam hierarki peraturan
perundang-undangan serta sebagai kajian untuk mengharmoniskan bentuk peraturan dengan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Kelembagaan Negara
1.1.1 Teori Tentang Lembaga Negara
Istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga
swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi Nonpemerintahan
yang dalam bahasa Inggris disebut Non-Government Organization atau Non-Governmental
Organization (NGO’s). Lembaga Negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif,
yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.1
Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut dengan
organ negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , kata “lembaga” diartikan sebagai : (i) asal
mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa, wujud); (iii) acuan, ikatan;
(iv) badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan
suatu usaha; dan (v) pola perilaku yang mapan yang terdiri atas interaksi sosial yang berstruktur.2
1
Jimly Asshiddiqie,Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 27.
2
Dalam kamus Hukum Belanda-Indonesia3, kata staatsorgaan itu diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dalam Kamus hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh
Adiwinata dkk, kata organ juga diartikan sebagai perlengkapan. Menurut Natabaya,4penyusunan UUD 1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten menggunakan istilah badan negara, bukan
lembaga negara atau organ negara. Sedangkan UUD Tahun 1945 setelah perubahan keempat
(tahun 2002), melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa reformasi dengan tidak konsisten
menggunakan peristilahan lembaga negara, organ negara, dan badan negara.
Bentuk-bentuk lembaga negara dan pemerintahan baik pada tingkat pusat maupun daerah, pada
perkembangan dewasa ini berkembang sangat pesat, sehingga doktrin trias politica yang biasa dinisbatkan dengan tokoh Montesquieu yang mengandaikan bahwa tiga fungsi kekuasaan negara
selalu harus tercermin di dalam tiga jenis lembaga negara, sering terlihat tidak relevan lagi untuk
dijadikan rujukan.
Sebelum Montesquieu di Perancis pada abad XVI, yang pada umumnya diketahui sebagai
fungsi-fungsi kekuasaan negara itu ada lima. Kelimanya adalah (i) fungsi diplomacie; (ii) fungsi
defencie; (iii) fungsi nancie; (iv) fungsi justicie; dan (v) fungsi policie. Oleh John Locke dikemudian hari, konsepsi mengenai kekuasaan negara itu dibagi menjadi empat, yaitu (i) fungsi
legislatif; (ii) eksekutif; (iii) fungsi federatif. Bagi John Locke, fungsi peradilan tercakup dalam
fungsi eksekutif atau pemerintahan. Akan tetapi, oleh Montesquieu itu dipisahkan sendiri,
sedangkan fungsi federatif dianggapnya sebagai bagian dari fungsi eksekutif. Karena itu, dalam
3
Marjanne Termorshuizen,Kamus Hukum Belanda-Indonesia cet-2, (Jakarta: Djambatan, 2002), hlm. 390.
4
trias politicaMontesquieu, ketiga fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas (i) fungsi legislatif; (ii) fungsi eksekutif; dan (iii) fungsi yudisial.5
Menurut Montesquieu, disetiap negara selalu terdapat tiga cabang kekuasaan yang
diorganisasikan ke dalam struktur pemerintahan yaitu kekuasaan legislatif, dan kekuasaan
eksekutif yang berhubungan dengan pembentukan hukum atau undang-undang negara dan
cabang kekuasaan eksekutif yang berhubungan dengan penerapan hukum sipil.6
Karena warisan lama, harus diakui bahwa di tengah masyarakat kita masih berkembang
pemahaman yang luas bahwa pengertian lembaga negara dikaitkan dengan cabang-cabang
kekuasaan tradisional legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lembaga negara dikaitkan dengan
pengertian lembaga yang berada di ranah kekuasaan legislatif, yang berada di ranah kekuasaan
eksekutif disebut lembaga pemerintah, dan yang berada di ranah judikatif disebut sebagai
lembaga pengadilan.7
Konsepsitrias politica yang diidealkan oleh Montesquieu ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya
berurusan secaara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan
dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling
bersentuhan dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain
sesuai dengan prinsipcheck and balances.8
5Ibid,
, hlm. 29.
6Ibid
.
7
Ibid, hlm. 37
8Ibid
Lembaga negara yang terkadang juga disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga
pemerintahan nondepartemen, atau lembaga negara saja, ada yang dibentuk berdasarkan atau
karena diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan
kekuasaannya dari Undang-Undang, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden.9
Menurut Jilmy Asshidiqie,10selain lembaga-lembaga negara yang secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, ada pula lembaga-lembaga negara yang memliki constitutional importance yang sama dengan lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945, meskipun keberadaannya
hanya diatur dengan atau dalam Undang-Undang. Baik yang diatur dalam UUD maupun yang
hanya diatur dengan atau dalam Undang-Undang asalkan sama-sama memiliki constitusional importance dapat dikategorikan sebagai lembaga negara yang memiliki derajat konstitusional yang serupa, tetapi tidak dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara.11 Hierarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.12
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh Undang-Undang Dasar merupakan organ
konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang merupakan organ
Undang-Undang, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi
tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula
jika lembaga yang dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu
lebih rendah lagi tingkatannya. Kedudukan lembaga yang berbeda-beda tingkatannya inilah yang
ikut mempengaruhi kedudukan peraturan yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga
tersebut.13
Termasuk dalam hal ini lahirnya lembaga negara baru oleh Undang-Undang Dasar yaitu
Mahkamah Konstitusi (Mahkamah Konstitusi). Keberadaan Mahkamah Konstitusi yang juga
merupakan lembaga tinggi negara yang memiliki peran tersendiri selain sebagai pengawal
Undang-Undang Dasar, juga berperan sebagai The Sole Interpreter of the Constitution, dan dalam rangka kewenangannya untuk memutus perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi
juga dapat disebut sebagai pengawal proses demokratisasi. Mahkamah Konstitusi juga
merupakan pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).14
1.1.2 Lembaga-Lembaga Negara
Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur pokok yang saling
berkaitan, yaitu organdan functie. Dalam UUD Tahun 1945, lembaga-lembaga yang dimaksud, ada yang namanya disebut secara eksplisit dan ada pula hanya fungsinya yang disebutkan
eksplisit. Menurut Jimly Asshiddiqie,15lembaga-lembaga tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu segi fungsi dan segi hierarkinya. Untuk itu ada dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu (i)
kriteria hierarki bentuk sumber normatif ysng menetukan kewenangannya, dan (ii) kualitas
fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara.
13Ibid
.
14
Ibid., hlm. 132.
15Ibid.
Sedangkan dari hierarki kelembagaannya Jimly Asshiddiqie mengaitkannya dengan teorinya
sendiri yaitu teori tentang norma sumber legitimasi.16 Berdasarkan teori tersebut, lembaga-lembaga negara dapat dibedakan ke dalam 3 lapis lembaga-lembaga negara, yaitu lembaga-lembaga lapis pertama
yang disebut dengan “lembaga tinggi negara” yaitu lembaga-lembaga negara yang bersifat utama
(primer) yang pembentukannya mendapatkan kewenangan dari Undang-Undang Dasar; lembaga
lapis kedua yang disebut dengan “lembaga negara” ada yang mendapat kewenangannya secara
eksplisit dari Undang Dasar namun ada pula yang mendapat kewenangan dari
Undang-Undang; dan lembaga lapis ketiga yang disebut “lembaga daerah”.17
Selain lembaga-lembaga negara tersebut, ada pula beberapa lembaga negara lain yang dibentuk
berdasarkan amanat undang-undang atau peraturan yang lebih rendah, seperti peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, atau Keputusan Presiden,18 seperti komisi-komisi independen. Keberadaan badan atau komisi-komisi ini sudah ditentukan dalam undang-undang, akan tetapi
pembentukannya biasanya diserahkan sepenuhnya kepasa presiden atau kepada menteri atau
pejabat yang bertanggung jawab mengenai hal itu.19
Bahkan banyak pula badan-badan, dewan, atau komisi yang sama sekali belum diatur di dalam
undang-undang, tetapi dibentuk berdasarkan peraturan yang lebih rendah tingkatannya. Kadang,
lembaga-lembaga negara yang dimaksud dibentuk berdasarkan atas peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang atau bahkan hanya didasarkan atas beleid presiden
16Ibid.
, hlm. 43.
17Ibid
., hlm. 43-45.
18
Ibid., hlm. 216.
19Ibid
(Presidential Policy) saja. Lembaga-lembaga tersebut, misalnya Komisi Hukum Nasional (KHN) yang dibentuk melalui Keppres No. 15 Tahun 2000 tentang Komisi Hukum Nasional.20
1.2 Mahkamah Konstitusi
Pada mulanya, sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan diadopsinya ide
Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil
perubahan ketiga yang disahkan pada 9 November 2001.21
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum
dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga
UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR
menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk
sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan
Keempat, yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.”
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah
Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara
bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus
20Ibid
.
21
2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden
melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 melantik hakim konstitusi untuk pertama
kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana
Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.22
Lembaran perjalanan Mahkamah Konstitusi selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke
Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya
kegiatan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut
ketentuan UUD 1945.23
Berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, disebutkan bahwa
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam UUD Tahun 1945. Kemudian di dalam Pasal 2 Undang-Undang yang sama dijelaskan
pula bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.24
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
22Ibid. 23
Ibid.
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Lebih jelas, Jimly Asshiddiqie, menguraikan mengenai Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:25 “Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Ditengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.”
Dilihat dari sistem ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi, agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi juga didaulat menjadi penafsir akhir konstitusi.26
Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban dalam hal memberikan putusan atas pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.27
Kedudukan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi ini adalah sebagai badan peradilan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung (MA) dan jajaran peradilan
yang berada di bawahnya. Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan memutus perkara
konstitusi oleh karenanya tunduk juga kepada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.28
Sama dengan badan peradilan lainnya, Mahkamah Konstitusi juga harus tunduk pada asas-asas
peradilan yang baik dalam Undang-Undang Hukum Acara, Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman dan asas-asas yang juga telah diakui secara universal,29antara lain yaitu :
1. Persidangan terbuka untuk umum;
2. Independen dan imparsial;
3. Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan murah;
4. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et Alteram Partem); 5. Hakim aktif dan juga pasif dalam proses persidangan; dan
6. Ius Curia Novit.
Pengaturan mengenai Mahkamah Konstitusi diatur didalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003. Undang-undang ini terdiri dari 88 Pasal, yang terbagi menjadi 7 bab, yang diantaranya
mengatur tentang Ketentuan Umum; Kedudukan dan Susunan; Kekuasaan Mahkamah
Konstitusi; Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Konstitusi; Hukum Acara; Ketentuan Lain;
dan Ketentuan Peralihan.
Berselang 8 Tahun Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengalami perubahan. Tepatnya
pada tahun 2011 diberlakukan undang-undang untuk menggantikan undang-undang Mahkamah
Konstitusi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
28
Ibid.
Dalam hal Hukum Acara, sumber utama untuk mencari hukum acara adalah Undang-Undang
Hukum Acara yang secara khusus dibuat untuk itu. Namun, peraturan yang mengatur mengenai
hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang karena
keterbatasan waktu yang tersedia untuk menyusun Undang-Undang Mahkamah Konstitusi telah
menyebabkan aturan mengenai hukum acara tidak lengkap. Hal ini diakui pembuat
undang-undang dan karenanya memberi kewenangan pada Mahkamah Konstitusi untuk mengatur lebih
lanjut hal yang dipandang perlu bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya dengan
menyusun sendiri peraturannya melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).30
Sejak awal berdiri sampai saat ini, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan sebanyak 17 PMK.
Ke-17 PMK ini, tidak hanya yang bersifat mengatur ke dalam lembaga Mahkamah Konstitusi
tetapi juga mengatur mengenai Pedoman Beracara yang berlaku juga untuk masyarakat umum
yang akan beracara di Mahkamah Konstitusi.
Menurut Maria Farida,31 Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat umum; namun
demikian Mahkamah Konstitusi tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat ke dalam
(interne regeling).
2.3 Hierarki Peraturan Perundang-Undangan 2.3.1 Teori-Teori Mengenai Hierarki Hukum
30
Maruarar Siahaan,loc.cit., hlm. vii.
31
Indonesia merupakan negara yang menerapkan Hirearki Norma Hukum (Stufenbau Theory) yang dicetuskan oleh Hans Kelsen dan dikembangkan oleh Hans Nawiasky.32 Hans Kelsen mengembangkan sebuah Teori Hukum Murni (General Theory of Law and State). Aliran Teori Hukum Murni merupakan suatu pengembangan dari teori mazhab positivisme, yang
menitikberatkan pada inti ajarannya mengenai hukum dapat dibuat dari undang-undang. Menurut
W. Friedman,33inti ajaran Teori Hukum Murni adalah:
1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan adalah untuk mengurangi kekacauan dan
kemajemukan menjadi kesatuan;
2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengai hukum
yang seharusnya;
3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam;
4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja
norma-norma hukum;
5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang
khusus;
6. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang kas dari hukum positif ialah hubungan apa
yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Selain ajaran Hukum Murni, Hans Kelsen mengemukakan teori Hirearki Norma Hukum
(Stufenbau Theory-Stufenbau des Recht). Hans Kelsen dalam teori hirarki norma (stufenbau theory) berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang dalam suatu tata susunan hirarki. Suatu norma yang lebih rendah berlaku dan bersumber atas dasar norma yang lebih tinggi dan
norma yang lebih tinggi itu berlaku dan bersumber kepada norma yang lebih tinggi lagi.
32
Zainuddin Ali,Filsafat Hukum,(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 57-58.
33Ibid
Demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri, yang bersifat
hipotetis dan fiktif yaitu yang dikenal dengan istilahgrundnorm(norma dasar).34
Hans Nawiansky menyempurnakan Stufenbau Theory yang dikembangkan oleh gurunya, Hans Kelsen. Hans Nawinsky mengembangkan teori tersebut dan membuat Tata Susunan Norma
Hukum Negara (die Stufenordnung der Rechtsnormen) dalam empat tingkatan. Keempat tingkat tersebut, yaitu:35
1. Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) atau Grundnorm (menurut teori Kelsen);
2. Staatsgrundgezets(Aturan Dasar/Pokok Negara); 3. Formell Gezets(Undang-Undang Formal); dan
4. Verordnung & Autonome Satzung(Aturan Pelaksana dan Aturan Otonomi).
Menurut teori Kelsen-Nawiansky, grundnorm atau staatsfundamentalnorm adalah sesuatu yang abstrak, diasumsikan (presupposed), tidak tertulis, ia tidak ditetapkan (gesetz), tetapi diasumsikan, tidak termasuk tatanan hukum positif, berada di luar namun menjadi dasar
keberlakuan tertinggi bagi tatanan hukum positif, dan bersifat meta-juristic.36
2.3.2 Hierarki Peraturan Menurut Undang-Undang
Bentuk peraturan perundang-undangan yang dikenal dalam UUD 1945 adalah Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah. Dalam
Penjelasan juga disebutkan bahwa UUD adalah bentuk konstitusi yang tertulis. Disebut sebagai
34
Taufiqurohman Syahuri,Konstitusionalitas Regulasi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,(Jakarta, 12-13-2010, diunduh dalam :http://www.djpp.depkumham.go.idpada 10 Oktober 2012).
35
Maria Farida,Imu Perundang...,Loc.Cit. hlm. 39.
36Ibid
konstitusi tertulis, karena selain itu masih ada pengertian konstitusi yang tidak tertulis yang
hidup dalam kesadaran hukum masyarakat.37
Dalam Konstitusi RIS yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949, pengertian konstitusi
diidentikan dengan pengertian UUD. Bentuk-bentuk peraturan yang tegas disebut di dalamnya,
yaitu38:
1. Undang-Undang Federal;
2. Undang-Undang Darurat; dan
3. Peraturan Pemerintah.
Adapun dalam UUDS39 (Undang-Undang Dasar Sementara) yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950, penyebutannya berubah lagi menjadi:
1. Undang-Undang;
2. Undang-Undang Darurat; dan
3. Peraturan pemerintah.
Dengan kata lain dalam ketiga konstitusi ini, kita mengenal adanya Undang-Undang Dasar,
Undang atau Undang Federal, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) atau Undang-Undang-Undang-Undang Darurat40, dan Peraturan Pemerintah.41
Setelah periode kembali ke UUD 1945, berdasarkan Surat Presiden No. 2262/HK/1959
tertanggal 20 Agustus 1959 yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong,
37
Jimly Asshiddiqie,Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 249.
38
Ibid.
39Ibid. 40
Menurut Pendapat Jimly, meskipun berbeda sebutan tetapi pengertian Undang-Undang Darurat dalam Konstitusi RIS 1949 dan Undang-UndangDS 1950 dapat diidentikan dengan pengertian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undnag menurut Undang-Undang Dasar 1945.
dinyatakan bahwa di samping bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan di atas, dipandang
perlu dikeluarkan bentuk-bentuk peraturan yang lain, yaitu sebagai berikut:42
1. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan
Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang Kembali Kepada UUD 1945,
2. Peraturan Presiden, yaitu peraturan yang dikeluarkan untuk melaksanakan penetapan
Presiden, ataupun peraturan yang dikeluarkan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945,
3. Peraturan Pemerintah, yaitu untuk melaksanakan Peraturan Presiden, sehingga berbeda
pengertiannya dengan Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD
1945,
4. Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan atau meresmikan
pengangkatan-pengangkatan,
5. Peraturan Menteri dan Keputusan menteri yang dibuat oleh kementerian-kementerian
negara atau Departemen-Departemen pemerintahan, masing-masing mengatur sesuatu hal
dan untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan.
Dalam susunan diatas jelas terdapat kekacauan antara satu bentuk dengan bentuk peraturan yang
lain. Sering banyak materi yang seharusnya diatur dalam Undang-Undang justru diatur dengan
Penetapan Presiden ataupun Peraturan Presiden. Untuk itulah perlu dilakukan penataan kembali
bentuk peraturan perundang-undangan juga dengan maksud mengadakan pemurnian terhadap
pelaksanaan UUD 1945, sehingga dikeluarkanlah Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966
tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945.43
42
Ibid.
43Ibid,
Sebagai kelanjutan dari Ketetapan MPRS tersebut, ditetapkanlah sumber tertib hukum dan tata
urut Peraturan Perundangan Republik Indonesia dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966,44 dengan ketentuan bentuk peraturan dengan tata urut sebagai berikut:45
1. Undang-Undang Dasar;
2. Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang/Perpu;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Keputusan Presiden;
6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri,
dan lain-lain.
Kemudian pada tahun 2000, setelah terjadi gejolak reformasi yang begitu kuat dan
diamandemennya UUD 1945, maka untuk menata kembali struktur dan hierarki peraturan
perundang-undangan tersebut, berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 disusun suatu
struktur baru peraturan perundang-undangan dengan urutan sebagai berikut:46 1. Undang-Undang Dasar dan Perubahan UUD;
2. Ketetapan MPR/S;
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
4. Peraturan Pemerintah (PP);
5. Keputusan presiden (Keppres); dan
6. Peraturan Daerah.
44
Judul lengkap Ketetapan MPRS ini adalah Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengenai Sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urut Perundangan Republik Indonesia.
45
Jimly Asshiddiqie,op.cit., hlm. 251.
Tidak berselang lama, dikeluarkan lagi tata urut peraturan perundangan melalui Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
didalamnya berisi hierarki peraturan perundang-undangan, dengan urutannya sebagai berikut:47 1. Undang-Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945);
2. Undang-undang/Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden; dan
5. Peraturan Daerah:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi
bersama dengan gubenur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau
nama lainnya bersama.
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 sebenarnya telah menjadi upaya
penyempuranaan dalam rangka penataan kembali sumber tertib hukum dan bentuk-bentuk serta
tata urut peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.48 Namun berselang 7 tahun, pada tahun 2011 dikeluarkan lagi tata urut peraturan perundang-undangan yang baru dengan
dimasukkannya lagi Ketetapan MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan melalui
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
47
Ibid.hlm. 252.
48Ibid
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selain itu Undang-Undang ini juga mengakui jenis peraturan perundang-undangan selain yang
disebutkan diatas, mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah
atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
2.4 Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan
2.4.1 Teori-Teori Tentang Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan
Materi muatan sendiri adalah isi dari setiap jenis peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia. Materi muatan ini penting untuk diperhatikan agar tidak menjadi tumpang tindih
pengaturan maupun penyalahgunaan wewenang. Materi muatan undang-undang misalnya, jelas
undang-undang mempunyai karakteristik tersendiri sebagai suatu peraturan perundang-undang-undang-undangan
tertinggi dibawah konstitusi yang dibuat bersama oleh eksekutif dan legislatif.49
Pada Mulanya istilah “materi muatan” pertama kali dipergunakan oleh A. Hamid S. Attamimi,
yang diperkenalkan kepada masyarakat sejak tahun 1979 sebagaimana dimuat dalam Majalah
Hukum dan Pembangunan No. 3 Tahun 1979. Menurut A. Hamid S. Attamimi istilah “materi
muatan” sebagai pengganti atau alih bahasa dari istilah (kata) Belanda “het onderwerp”dalam
ungkapanThorbecke“het eigenaardig onderwerp der wet,”yang diterjemahkan dengan “materi muatan yang khas dari undang-undang”. Adapun yang dimaksud dengan “materi muatan”
menurut A Hamid S Attamimi adalah:50 “isi kandungan atau subtansi yang dimuat dalam
undang-undang khususnya dan peraturan perundang-undangan pada umumnya”.
Sementara itu, “materi muatan” menurut Bagir Manan51 adalah “muatan yang sesuai dengan
bentuk peraturan perundang-undangan tertentu”. Menurut Bagir Manan materi muatan undang-undang ditentukan berdasarkan tolok ukur sebagai berikut:52
1. Ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar;
2. Ditetapkan dalam undang-undang terdahulu;
3. Ditetapkan dalam rangka mencabut, menambah, atau mengganti undang-undang yang lama;
4. Materi muatan menyangkut hak dasar atau hak asasi; dan
5. Materi muatan menyangkut kepentingan atau kewajiban rakyat banyak.
49
Ismail Hasani & A. Gani Abdullah,Pengantar Ilmu Perundang-Undangan(Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), hlm.35.
50
Rosjidi Ranggawidjaja,Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,(Bandung:Mandar Maju,1998), hlm. 53
51
Bagir Manan dan Kuntana Magnar,Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,(Bandung: PT. Alumni, 1997), hlm. 145.
52
Menurut pendapat A. Hamid S. Attamimi, terdapat 9 (sembilan) butir materi muatan
undang-undang,53yaitu hal-hal:
1. yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan Ketetapan MPR;
2. yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD;
3. yang mengatur hak-hak (asasi) manusia;
4. yang mengatur hak dan kewajiban warga negara;
5. yang mengatur pembagian kekuasaan negara;
6. yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara;
7. yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara;
8. yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan;
9. yang dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang.
Rincian butir-butir materi muatan tersebut di atas merupakan suatu pedoman untuk menguji
apakah suatu materi muatan peraturan perundang-undangan termasuk ke dalam materi muatan
undang-undang atau tidak.54
Sedangkan mengenai peraturan perundang-undangan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI),55 kata perundang-undangan diartikan sebagai “yang bertalian dengan undang-undang atau seluk beluk undang-undang.” Adapun kata “undang-undang” diartikan
“ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (menteri, badan
eksekutif, dsb) disahkan oleh parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat, badan legislatif, dsb)
53
Maria Farida,Ilmu Perundang..,.Loc. Cithlm. 129-130.
54
Ibid.
55
ditandatangani oleh Kepala Negara (Presiden, Kepala Pemerintahan, Raja) dan mempunyai
kekuatan yang mengikat.”
Sebagai istilah hukum, peraturan perundang-undangan sering disebutkan sebagai terjemahan
wettelijke regelingen. Adapula yang menyebutkan bahwa istilah ini merupakan terjemahan dari
algemene verordeningen. Menurut A. Hamid S Atamimi, apabila peraturan perundang-undangan diambil dari terjemahan wettelijke regelingen maka peraturan perundang-undangan mempunyai cakupan yang sempit karena di dalamnya tidak termasuk wetten (undang- undang), AMvB [tindakan umum pemerintah yang ditetapkan denganKoninjljk Besluit (KB)], dan AMvB diterjemahkan dengan “peraturan pemerintah” yang dibuat di Belanda dan Ordonansi yang
dibuat di Hindia Belanda. Apabila “peraturan perundang-undangan” merupakan terjemahan dari
algemene verordeningen, ia mempunyai cakupan lebih luas karena termasuk didalamnya undang-undang (wet), peraturan pemerintah (AMvB), dan Ordonansi.56
Peraturan perundang-undangan mulai dikenal dan tumbuh sejak saat berkembangnya organisasi
yang memiliki kekuasaan dan wewenang tertinggi untuk menguasai dan mengatur kehidupan
masyarakat, yaitu negara. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa peraturan perundang-undangan
tidak lain dari perwujudan kekuasaan dan kehendak yang berkuasa dalam bentuk hukum. Bagir
Manan dan Kuntana Magnar,57 menyatakan bahwa: “Peraturan perundang-undangan di sini diartikan setiap keputusan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan mengikat umum (mencakup undang-undang dalam arti formal maupun material).”
56
Maria Farida, Imu Perundang.., loc.cit.
57
Peraturan perundang-undangan adalah perwujudan kehendak dari pemegang kekuasaan tertinggi
yang berdaulat, maka peraturan perundang-undangan merupakan hukum tertinggi dan adalah
satu-satunya sumber hukum.58
Di lain pihak Maria Farida,59 mendefinisikan peraturan perundang-undangan ke dalam 2 (dua) pengertian, yaitu “Pertama,sebagai proses pembentukan (proses membentuk)
peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah, dan Kedua,sebagai segala
peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat,
maupun di tingkat daerah.”
Sementara itu, Bagir Manan60mempersamakan definisi peraturan perundang-undangan dengan pengertian Undang-Undang dalam arti meteriil, yaitu setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan
pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara
umum.
Menurut Jimly Asshiddiqie,61 di dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang disebut dengan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan
tertulis yang dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara
umum. Sedangkan yang dimaksud dengan jenis adalah macam (peraturan perundang- undangan).
58
Ibid.
59
Maria Farida,op.cit.
60
Bagir Manan,Dasar-Dasar ...,hlm. 3.
Bagir Manan menyamakan istilah peraturan perundang-undangan dengan istilah undang-undang dalam arti materiil.
Pengertian Hierarki itu sendiri adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan
yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi62.
Pengertian peraturan perundang-undangan di atas sesuai dengan definisi atau ruang lingkup yang
terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan perundang-undangan, yang menyatakan bahwa, “Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan
mengikat secara umum.”
Adapun ciri-ciri dari suatu peraturan perundang-undangan menurut Satjipto Rahardjo,63adalah: 1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari
sifat-sifat khusus dan terbatas;
2. Bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa yang akan datang yang belum
jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi
peristiwa-peristiwa tertentu saja.
3. Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Dalam setiap
peraturan, lazimnya mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya
peninjauan kembali.
2.4.2 Materi Muatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
62
Ibid.
63
Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan undangan, yang dimaksud dengan Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-Perundang-undangan sesuai dengan jenis,
fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Selanjutnya Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undarg diatur di dalam Pasal 8.
Materi muatan yang diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang:
a. mengatar lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang meliputi:
1. hak-hak asasi manusia;
2. hak dan kewajiban warga negara;
3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
4. wilayah negara dan pembagian daerah;
5. kewarganegaraan dan kependudukan; dan
6. keuangan negara,
b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untak diatur dengan Undang-Undang.
Sedangkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan diatur didalam Pasal 7 yang
menyebutkan, bahwa :
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama
dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama
lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang
setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan;
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Mengenai jenis Peraturan Perundang-undangan selain yang dimaksud di dalam pasal 7 ayat (4)
diatas, dijelaskan secara lebih rinci di dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tersebut. Penjelasan Pasal 7 ayat (4) berbunyi:
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
Pengakuan keberadaan peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu PMK
memang diakui. Namun, penjelasannya selanjutnya dalam Penjelasan ayat (5) sendiri, hanya
menyebutkan bahwa dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan
setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
2.4.3 Materi Muatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Pasal 1 angka 13, Materi Muatan Peraturan Perundang-Perundang-undangan adalah materi yang
dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan.
Kemudian di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Penjelasan lebih lanjut mengenai hal tersebut terdapat pada Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan :
“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”
Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) mengatur mengenai Materi muatan yang harus diatur dengan
Undang-Undang harus berisi:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Penjelasan lebih rinci mengenai materi peraturan perundang-undangan disampaikan melalui
Pasal 11 sampai Pasal 14 Undang-Undang yang sama. Dijelaskan di dalam Pasal 11 bahwa
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan
Undang-Undang.
Selanjutnya berturut-turut dikatakan bahwa, Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Mengenai materi muatan Peraturan
Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan
pemerintahan. Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Di luar peraturan yang diatur dalam Pasal 7 yang telah dijelaskan di atas, pada Pasal 8 ayat (1) di
tentukan jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Dengan kata lain peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tersebut diakui
keberadaannya, termasuk dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif (normative legal reserch) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian perundang-undangan yang berlaku
dan diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu.1
3.2 Pendekatan Masalah
Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doctrinal yaitu objek penelitiannya adalah dokumen perundang-undangan dan bahan pustaka.2 Hal yang paling mendasar dalam penelitian ilmu hukum normatif, adalah bagaimana seorang peneliti menyusun dan merumuskan
masalah penelitiannya secara tepat dan tajam, serta bagaimana seorang peneliti memilih metode
untuk menentukan langkah-langkahnya dan bagaimana melakukan perumusan dalam
membangun teorinya.3
Pendekatan masalah menggunakan pendekatan dogmatik analitis dengan mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi sumber hukum yang menjadi dasar rumusan masalah;
b. Mengidentifikasi pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang bersumber dari rumusan
masalah;
1
Soejono dan H. Abdurrahman,Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 56.
2
Ibid., hlm. 57.
3
c. Mengidentifikasi dan menginventarisasi sumber data, ketentuan-ketentuan bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder berdasarkan rincian sub pokok bahasan;
d. mengkaji secara komprehensif analitis sumber data primer, bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier guna menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan;
e. hasil kajian sebagai jawaban permasalahan dideskripsikan secara lengkap, rinci, jelas,
dan sistematis dalam bentuk laporan hasil penelitian atau karya tulis ilmiah.
3.3 Sumber Data
Data merupakan hal yang paling penting dalam suatu penelitian, karena dalam penelitian hukum
normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.4Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder yang berasal
dari sumber kepustakaan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum
mengikat,5adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958); jo Undang-Undang Nomor 8
4
Ibid.
5
tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5226);
c. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 Jo. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
e. Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
f. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum
Republik Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik
Indonesia;
g. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan;
h. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PMK/2003 tentang Tata Cara Pemilihan
i. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan
Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi;
j. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 03/PMK/2003 tentang Tata Tertib
Persidangan Pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia;
k. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara
Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum;
l. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PMK/2004 tentang Prosedur Pengajuan
Keberatan Atas Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Tahun 2004;
m. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang pedoman Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang;
n. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 07/PMK/2005 Tentang Pemberlakuan
Deklarasi Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi;
o. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 Tentang Pedoman Beracara
Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara;
p. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PMK/2006 Tentang Pedoman
Administrasi Yustisial Mahkamah Konstitusi;
q. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PMK/2008 tentang Pedoman Beracara
dalam Pembubaran Partai Politik;
r. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PMK/2008 tentang Pedoman Beracara
dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilaran Rakyat,
s. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PMK/2008 Tentang Pedoman Beracara
dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah;
t. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PMK/2009 Tentang Pedoman Beracara
dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilaran Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
u. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PMK/2009 Tentang Pedoman Beracara
Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
v. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PMK/2009 Tentang Pedoman Pengajuan
Permohonan Elektronik (Electronic Filing) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh
(Video Conference);
w. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PMK/2009 tentang Tata Tertib
Persidangan;
x. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara
dalam Memutus Pendapat dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,6 antara lain buku-buku literatur ilmu hukum, karya ilmiah dari kalangan hukum, jurnal hukum, makalah dan artikel,
serta bahan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, diantaranya
yaitu :
6Ibid
a. Jenedri Muhammad Gaffar, Makalah Kedudukan, Peran, dan Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2009.
b. Maria Farida, Disertasi : Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan presiden Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negara di Republik Indonesia, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI, 2002.
c. Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada pembukaan seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN), yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di
jakarta, 21 November 2005.
d. Saldi Isra,Pergeseran Fungsi Legislasi.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder,7misalnya:
a. Kamus Hukum Belanda-Indonesia;
b. Kamus Besar Bahasa Indonesia;
c. Kamus Kantong Indonesia-Belanda-Indonesia.
3.4 Teknik Pengumpulan Data & Metode Pengolahan Data dan Bahan Hukum 3.4.1 Teknik Pengumpulan Data dan Bahan Hukum