• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Eritrosit Anjing yang Terinfeksi Kronis Babesia sp.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Eritrosit Anjing yang Terinfeksi Kronis Babesia sp."

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

CHANIFATUS SOLIHAH. Profil Eritrosit Anjing yang Terinfeksi Kronis Babesia sp. Dibimbing oleh RETNO WULANSARI dan LENI MAYLINA.

Babesiosis merupakan penyakit penting pada anjing yang disebabkan oleh Babesia sp yang mengakibatkan terjadinya anemia. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran eritrosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. Sebanyak tiga belas anjing dari Unit K-9 Direktorat Polisi Satwa POLRI Kelapa Dua Depok digunakan dalam penelitian. Anjing dipilih tanpa memperhatikan ras, umur, dan jenis kelamin. Pengambilan sampel darah melalui vena Cephalica antibrachii sebanyak 3 ml. Sediaan ulas darah dibuat untuk penghitungan persentase parasitemia. Jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit dianalisis dengan cell counter-blood analyzer Hemavet®. Hasil yang diperoleh dari penelitian menunjukkan rata-rata persentase parasitemia, jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit masing-masing sebesar (0.53±0.35)%, (5.38±0.44)x106/µl, (13.19±1.43)g/dl, dan (36.62±3.45)%. Kesimpulan yang diperoleh menunjukkan persentase parasitemia berada dalam tingkatan ringan dengan rata-rata jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit berada dalam kisaran normal rendah.

Kata kunci: Babesia sp., eritrosit, hematokrit, hemoglobin

ABSTRACT

CHANIFATUS SOLIHAH. Profile of Dogs Erythrocyte which Chronic Infected of Babesia sp. Supervised by RETNO WULANSARI and LENI MAYLINA

Babesiosis is an important disease in dogs caused by Babesia sp, that it was caused anemia. The purpose of this research was to obtain the profile of dogs erythrocyte which chronic infected of Babesia sp. This research used thirteen hound dogs from the K-9 Unit of Direktorat Polisi Satwa, Kelapa Dua, Depok regardless of breed, age, and sex. The blood samples as much as 3 ml were taken through Cephalic vein. Blood smears were made for the parasitemia percentage calculation. The count of erythrocytes, hemoglobin concentration, and percentages of hematocrit were analyzed by cell counter-blood analyzer Hemavet®. The results showed that the percentages of parasitemia, erythrocytes count, hemoglobin concentration, and value of hematocrit were (0.53±0.35)%, (5.38±0.44)x106/µl, (13.19±1.43) g/dl, and (36.62±3.45)% respectively. The conclusions showed that the parasitemia percentages were mild infection (1%). The erythrocytes count, hemoglobin concentration, and the value of hematocrit were in the low normal range.

(2)

PROFIL ERITROSIT ANJING YANG TERINFEKSI KRONIS

Babesia

sp.

CHANIFATUS SOLIHAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)
(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Profil Eritrosit Anjing yang Terinfeksi Kronis Babesia sp. adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(5)

ABSTRAK

CHANIFATUS SOLIHAH. Profil Eritrosit Anjing yang Terinfeksi Kronis Babesia sp. Dibimbing oleh RETNO WULANSARI dan LENI MAYLINA.

Babesiosis merupakan penyakit penting pada anjing yang disebabkan oleh Babesia sp yang mengakibatkan terjadinya anemia. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran eritrosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. Sebanyak tiga belas anjing dari Unit K-9 Direktorat Polisi Satwa POLRI Kelapa Dua Depok digunakan dalam penelitian. Anjing dipilih tanpa memperhatikan ras, umur, dan jenis kelamin. Pengambilan sampel darah melalui vena Cephalica antibrachii sebanyak 3 ml. Sediaan ulas darah dibuat untuk penghitungan persentase parasitemia. Jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit dianalisis dengan cell counter-blood analyzer Hemavet®. Hasil yang diperoleh dari penelitian menunjukkan rata-rata persentase parasitemia, jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit masing-masing sebesar (0.53±0.35)%, (5.38±0.44)x106/µl, (13.19±1.43)g/dl, dan (36.62±3.45)%. Kesimpulan yang diperoleh menunjukkan persentase parasitemia berada dalam tingkatan ringan dengan rata-rata jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit berada dalam kisaran normal rendah.

Kata kunci: Babesia sp., eritrosit, hematokrit, hemoglobin

ABSTRACT

CHANIFATUS SOLIHAH. Profile of Dogs Erythrocyte which Chronic Infected of Babesia sp. Supervised by RETNO WULANSARI and LENI MAYLINA

Babesiosis is an important disease in dogs caused by Babesia sp, that it was caused anemia. The purpose of this research was to obtain the profile of dogs erythrocyte which chronic infected of Babesia sp. This research used thirteen hound dogs from the K-9 Unit of Direktorat Polisi Satwa, Kelapa Dua, Depok regardless of breed, age, and sex. The blood samples as much as 3 ml were taken through Cephalic vein. Blood smears were made for the parasitemia percentage calculation. The count of erythrocytes, hemoglobin concentration, and percentages of hematocrit were analyzed by cell counter-blood analyzer Hemavet®. The results showed that the percentages of parasitemia, erythrocytes count, hemoglobin concentration, and value of hematocrit were (0.53±0.35)%, (5.38±0.44)x106/µl, (13.19±1.43) g/dl, and (36.62±3.45)% respectively. The conclusions showed that the parasitemia percentages were mild infection (1%). The erythrocytes count, hemoglobin concentration, and the value of hematocrit were in the low normal range.

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

PROFIL ERITROSIT ANJING YANG TERINFEKSI KRONIS

Babesia

sp.

CHANIFATUS SOLIHAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Skripsi : Profil Eritrosit Anjing yang Terinfeksi Kronis Babesia sp. Nama : Chanifatus Solihah

NIM : B04080075

Disetujui oleh

Drh. Retno Wulansari, MSi, Ph.D Pembimbing I

Drh. Leni Maylina, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, AP.Vet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan. Judul penelitian adalah Profil Eritrosit Anjing yang Terinfeksi Kronis Babesia sp.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Drh. Retno Wulansari, MSi, Ph.D dan Ibu Drh. Leni Maylina, MSi selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan tugas akhir ini. Terima kasih kepada Ibu Drh. RR. Soesatyoratih, MSi selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan nasehat selama penulis menjalankan studi. Disamping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan beserta tim K-9 Direktorat Polisi Satwa POLRI Kelapa Dua, Depok dan pimpinan beserta staf Laboratorium Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam, Departemen KRP, FKH IPB yang telah membantu penulis dalam penelitian.

Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada ayah dan ibu serta seluruh keluarga atas segala doa, nasehat dan kasih sayang yang telah diberikan. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman penulis di Avenzoar 45, An Nahl, Salimah 33, Van Java, dan Wisma Ayu atas bantuan, saran, dan motivasi selama ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

Hipotesis Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Babesia sp. 2

Komposisi dan Fungsi Darah Anjing 3

Proses Pembentukan dan Penguraian Eritrosit Anjing 3

Pemeriksaan Eritrosit Anjing 4

Anemia 5

METODOLOGI PENELITIAN 5

Waktu dan Tempat 5

Alat dan Bahan 6

Persiapan hewan 6

Pengambilan Sampel Darah 6

Pembuatan Sediaan Ulas Darah 6

Penghitungan Jumlah Eritrosit Berparasit 6

Pemeriksaan Parameter Eritrosit 7

Penghitungan Indeks Eritrosit 7

Analisis Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Persentase Parasitemia 8

Parameter Eritrosit 8

Indeks Eritrosit 12

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 14

(11)

DAFTAR TABEL

1 Nilai acuan eritrosit anjing normal 3

2 Persentase parasitemia anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp. 8 3 Rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit

anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp. 9

4 Nilai MCV dan MCHC pada anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp. 13

DAFTAR GAMBAR

1 Skema lapang pandang mikroskop 7

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anjing merupakan salah satu hewan yang banyak dipelihara karena mempunyai hubungan erat dengan manusia. Beberapa tujuan dari pemeliharaan anjing antara lain sebagai hewan kesayangan, hewan penjaga, juga digunakan sebagai hewan pelacak. Hal ini dikarenakan anjing memiliki tingkat kecerdasan dan pengabdian yang tinggi pada manusia. Anjing juga mempunyai keistimewaan yaitu memiliki daya penciuman yang sangat tajam (Hatmosrojo dan Budiana 2003).

Kemampuan penciuman pada anjing dapat dimanfaatkan untuk melacak keberadaan barang ataupun orang sehingga sangat membantu polisi dalam memecahkan permasalahan kriminal seperti adanya bom, narkoba, maupun pencarian orang. Unit K-9 Direktorat Polisi Satwa merupakan salah satu unit di bawah POLRI yang menangani pelatihan dan pemeliharaan anjing pelacak. Beberapa jenis anjing yang digunakan sebagai anjing pelacak antara lain ras Labrador Retriever, Rotweiller, Doberman Pincher, Belgian Malinois, Beagle, dan German Shepherd (POLRI 1996).

Kesehatan anjing adalah salah satu poin penting yang harus diperhatikan agar selalu dalam keadaan yang optimal. Beberapa penyakit yang seringkali menyerang anjing antara lain infeksi ektoparasit seperti kutu dan caplak. Jenis caplak yang umum menginfeksi anjing di Indonesia adalah jenis Rhipicephalus sanguineus. Gigitan caplak pada kulit dapat mengganggu kenyamanan anjing karena rasa sakit dan gatal (Sigit et al. 2006).

Investasi caplak mengakibatkan masuknya protozoa, virus, dan riketsia yang dapat menimbulkan penyakit. Salah satu protozoa yang seringkali menginfeksi anjing melalui gigitan caplak adalah Babesia sp. (Sigit et al. 2006). Babesia sp. merupakan parasit intraeritrositik yang akan menyebabkan kerusakan eritrosit. Beberapa gejala yang timbul saat hewan terinfeksi kronis Babesia sp. antara lain anemia, anoreksia, lesu, dan malas bergerak (Subronto 2006), sehingga dapat mempengaruhi kinerja anjing. Oleh karena itu, profil eritrosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. sangat diperlukan untuk mengetahui gambaran darah sehingga dapat menunjang proses terapi yang akan dilakukan kemudian.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran umum eritrosit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp. melalui pemeriksaan eritrosit.

Manfaat Penelitian

(13)

2

Hipotesis Penelitian

Infeksi kronis oleh Babesia sp. berpengaruh pada profil eritrosit anjing.

TINJAUAN PUSTAKA

Babesia sp.

Babesia sp. adalah protozoa penyebab babesiosis pada hewan. Menurut Levine (1994), Babesia sp. diklasifikasikan dalam subfilum Apicomplexa, kelas Piroplasma, dan famili Babesiidae. Penyakit babesiosis pada anjing umumnya disebabkan oleh Babesia canis (B. canis). Selain B. canis, Babesia gibsoni (B. gibsoni) dan Babesia vogeli (B. vogeli) juga dapat menginfeksi anjing. B. vogeli memiliki karakteristik yang sama dengan B. canis tetapi berukuran lebih besar. B. canis mempunyai ukuran tubuh sebesar 4-5 mikron, berbentuk seperti buah pir (pyriform) yang runcing pada ujung satu dan bulat pada ujung yang lain. B. canis akan menginfeksi eritrosit inang. Satu eritrosit dapat mengandung lebih dari 10 B. canis. Hal ini menandakan adanya multiinfeksi dalam eritrosit tersebut (Subronto 2006).

Proses penyebaran B. canis melalui vektor caplak Rhipicephalus sanguineus (R. sanguineus). Infeksi dimulai saat caplak R. sanguineus menghisap darah anjing yang terinfeksi babesiosis. B. canis akan masuk ke dalam tubuh caplak, menjadi motil, menembus dinding sel, masuk ke rongga tubuh dan melalui pembuluh darah menuju ovarium untuk menginfeksi ovum. B. canis memperbanyak diri di dalam ovum dan menjadi sumber penularan transovarium saat ovum caplak menetas menjadi larva (Soulsby 1982). Setelah berkembang di dalam tubuh caplak, B. canis bermigrasi ke kelenjar ludah caplak dan siap menginfeksi anjing saat caplak menghisap darah (Subronto 2006). Bentuk infektif B. canis adalah tropozoit yang menginfeksi eritrosit anjing. Tropozoit berkembang biak dengan pembelahan biner sehingga terbentuk merozoit yang banyak (Soulsby 1982). B. canis kemudian keluar dari eritrosit tersebut dan mengakibatkan rupturnya eritrosit yang terinfeksi untuk menginfeksi eritrosit yang baru (Weiss dan Wardrop 2010).

Babesiosis atau disebut juga piroplasmosis, secara perakut/akut dapat menyebabkan keparahan pada anjing. Infeksi protozoa ini dapat menyebabkan demam yang sangat tinggi dan peningkatan frekuensi nafas. Gejala yang tampak setelah anjing terinfeksi parasit ini antara lain demam, hemoglobinuria, ikterus, dan splenomegali. Gejala infeksi yang kronis ditandai dengan anoreksia, kehilangan berat badan, kelemahan, dan anemia yang bersifat ringan (Sugiarto 2005).

(14)

3 B. canis dapat menginfeksi anjing pada semua umur. Sebuah penelitian dari OVAH (Onderstepoort Veterinary Academic Hospital) mengatakan bahwa 77% infeksi B. canis terjadi pada anjing yang berumur kurang dari tiga tahun (Lobetti 2005).

Komposisi dan Fungsi Darah Anjing

Darah anjing pada umumnya berjumlah kurang lebih 7% dari total volume cairan tubuhnya. Darah terdiri atas 55% plasma darah dan 45% butir darah (Pearce 2006). Plasma darah terdiri atas air (91%), protein (7%), dan zat lain seperti ion, gas, dan sisa metabolisme (2%). Butir darah terdiri atas sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan platelet (trombosit). Satu mm3 darah anjing mengandung 5 500 000-8 500 000 eritrosit, 200 000-500 000 trombosit, dan 6 000-17 000 leukosit (Colville dan Bassert 2002). Menurut Weiss dan Wardrop (2010), nilai acuan eritrosit anjing dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1 Nilai acuan eritrosit anjing normal

Parameter Nilai Normal Satuan

Eritrosit 5.5-8.5 x 106/µl mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi transportasi, fungsi regulasi, dan fungsi pertahanan. Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut oksigen yang terikat oleh hemoglobin ke seluruh jaringan pada tubuh (Guyton dan Hall 1997). Selain itu, eritrosit juga berfungsi untuk membawa nutrisi dari saluran pencernaan menuju jaringan, mengangkut hasil akhir metabolisme ke organ ekskresi, mengatur suhu tubuh, dan menjaga kesetimbangan asam-basa tubuh (Cunningham 2002).

Proses Pembentukan dan Penguraian Eritrosit Anjing

Proses pembentukan eritrosit disebut eritropoesis yang terjadi di dalam sumsum tulang. Salah satu hormon yang mempengaruhi pembentukan eritrosit adalah eritropoietin yang diproduksi oleh ginjal. Hormon ini akan menstimulasi pembentukan eritrosit apabila terdeteksi adanya hipoksia (kurangnya oksigen) dalam darah. Eritrosit pada anjing rata-rata mempunyai umur 110 hari (Colville dan Bassert 2002).

(15)

4

bentuk fero (bentuk yang berfungsi mengangkut oksigen), dan mencegah oksidasi protein dalam eritrosit (Guyton dan Hall 1997).

Sistem metabolik eritrosit akan melemah saat umur eritrosit tua. Hal ini ditandai dengan membran sel yang rapuh. Akibat membran sel yang rapuh, eritrosit akan mudah pecah saat melalui tempat yang sempit dalam sirkulasi, seperti saat melalui trabekula pulpa merah limpa. Hemoglobin akan dilepaskan dari eritrosit saat pecah dan segera difagosit oleh sel-sel makrofag yang ada di seluruh tubuh terutama sel Kupffer yang ada di hati. Selama beberapa jam atau beberapa hari setelahnya, makrofag akan melepaskan besi yang didapat dari hemoglobin, masuk kembali ke dalam peredaran darah dan diangkut oleh transferin menuju sumsum tulang untuk membentuk eritrosit baru atau menuju hati dan jaringan lainnya untuk disimpan dalam bentuk feritin. Bagian porfirin dari molekul hemoglobin diubah oleh makrofag menjadi bilirubin yang dilepaskan ke dalam darah dan akhirnya disekresikan oleh hati masuk ke dalam kantung empedu (Guyton dan Hall 1997).

Pemeriksaan Eritrosit Anjing

Hematokrit

Nilai hematokrit sering disebut sebagai PCV (Packet cell volume). Hematokrit merupakan perbandingan persentase eritrosit di dalam volume darah utuh (whole blood). Nilai hematokrit didapat dengan cara mensentrifugasi sampel darah yang dimasukkan ke dalam pipa mikrohematokrit. Nilai yang didapat dapat menggambarkan jumlah eritrosit sampel darah yang diperiksa (Weiss dan Wardrop 2010).

Hemoglobin

Komponen utama eritrosit adalah hemoglobin (Hb). Sintesis hemoglobin dalam eritrosit berlangsung dari eritoblast sampai stadium perkembangan retikulosit. Fungsi utama hemoglobin adalah transport oksigen dan karbon dioksida. Konsentrasi hemoglobin darah diukur berdasarkan intensitas warnanya dengan menggunakan fotometer dan dinyatakan dalam gram hemoglobin/ seratus milliliter darah (g/100 ml) atau gram/desiliter (g/dl) (Price dan Wilson 2006).

Indeks Eritrosit

Menurut Weiss dan Wardrop (2010), Indeks eritrosit digunakan untuk mengetahui ukuran dan karakter hemoglobin serta jumlah eritrosit dalam darah. Indeks eritrosit terdiri atas MCV (Mean Corpuscular Volume), MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin), dan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration). Price dan Wilson (2006) menyebutkan bahwa indeks eritrosit dapat digunakan untuk menentukan jenis anemia yang terjadi di dalam tubuh hewan.

Anemia

(16)

5 dibawa oleh darah. Hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya sedikitnya eritrosit yang bersirkulasi, kerusakan eritrosit, penurunan produksi eritrosit, perdarahan, infeksi parasit di dalam eritrosit, dan jumlah hemoglobin yang sedikit pada jumlah eritrosit yang normal (Colville dan Bassert 2002).

Menurut Price dan Wilson (2006) anemia dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu berdasarkan morfologi eritrosit dan berdasarkan etiologi anemia. Berdasarkan morfologi eritrosit, anemia dapat diklasifikasikan menjadi anemia normositik normokromik, anemia normositik hipokromik, anemia makrositik normokromik, anemia makrositik hipokromik, anemia mikrositik normokromik, dan anemia mikrositik hipokromik.

Anemia normositik normokromik ditandai dengan ukuran dan bentuk eritrosit normal serta mengandung jumlah eritrosit dan konsentrasi hemoglobin yang normal (MCV dan MCHC normal atau normal rendah), tetapi hewan menderita anemia. Hal ini disebabkan oleh kehilangan darah yang bersifat akut, hemolisis, maupun karena penyakit infeksi yang kronis. Anemia normositik hipokromik ditandai dengan ukuran eritrosit yang normal tetapi konsentrasi hemoglobin rendah (MCV normal, MCHC rendah). Anemia ini jarang terjadi. Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh defisiensi besi dan sintesis hemoglobin yang belum sempurna (Stockham dan Scott 2008).

Anemia makrositik normokromik ditandai dengan ukuran eritrosit lebih besar, tetapi berwarna normal karena konsentrasi hemoglobin yang normal (MCV meningkat, MCHC normal). Hal ini dapat diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA karena defisiensi unsur-unsur tertentu seperti vitamin B12. Anemia makrositik hipokromik ditandai dengan ukuran

eritrosit lebih besar dari normal, tetapi memiliki konsentrasi hemoglobin yang lebih rendah dari normal (MCV meningkat, MCHC rendah). Hal ini diakibatkan karena perdarahan yang berlebihan sehingga eritrosit muda (retikulosit) dilepaskan ke dalam peredaran darah sebagai respon regeneratif (Stockham dan Scott 2008).

Anemia mikrositik normokromik ditandai dengan ukuran eritrosit lebih kecil dari normal, dengan konsentrasi hemoglobin yang normal (MCV rendah, MCHC normal). Hal ini diakibatkan oleh defisiensi zat besi dan gangguan metabolisme hati. Anemia mikrositik hipokromik ditandai dengan ukuran eritrosit lebih kecil dari normal dengan konsentrasi hemoglobin lebih sedikit dari normal (MCV dan MCHC rendah). Kejadian ini disebabkan oleh insufisiensi sintesis hem (besi) akibat defisiensi zat besi serta defisiensi pyridoxine (Stockham dan Scott 2008).

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat

(17)

6

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain syringe 3 ml, gelas objek, mikroskop, lensa mikrookuler, kertas saring, tabung vacum EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid), alat penghitung (counter), cell counter-blood analyzer Hemavet®, dan pipet tetes. Bahan yang digunakan antara lain sampel darah segar, larutan Giemsa 10%, metanol, alkohol 70%, aquades, minyak emersi, dan xylol.

Persiapan Hewan

Penelitian ini menggunakan 13 ekor anjing (terdiri atas 7 jantan dan 6 betina), berumur antara 3-5 tahun, dengan berbagai ras yang sebelumnya telah diketahui terinfeksi Babesia sp. Anjing yang akan diambil sampel darahnya dilakukan pemeriksaan fisik secara inspeksi meliputi status gizi, temperamen, dan sikap hewan. Selain itu juga dilakukan pengukuran suhu tubuh anjing tersebut (Widodo et al. 2011).

Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan darah dilakukan melalui vena Cephalica antibrachii sebanyak 3 ml dan kemudian dimasukkan ke dalam tabung vakum yang mengandung antikoagulan EDTA untuk kemudian dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Pembuatan Sediaan Ulas Darah

Sediaan ulas darah dibuat secara langsung dari darah utuh (whole blood). Darah diteteskan pada sebuah gelas objek yang bersih dan kering berjarak sekitar 2 cm dari salah satu sisi ujung gelas obyek. Sisi ujung yang lain dipegang menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Sebuah gelas obyek lain dipegang dengan tangan kanan dan salah satu sisi obyek yang dipegang oleh tangan kanan digerakkan mundur sampai menyinggung dan menyebar tetesan darah di sepanjang sudut antara kedua gelas obyek. Segera setelah itu, gelas obyek yang dipegang oleh tangan kanan didorong ke depan sehingga terbentuk sediaan ulas darah yang tipis. Sediaan ulas darah tersebut kemudian dikeringkan di udara. Sediaan ulas darah yang telah kering direndam dalam larutan metanol selama 5 menit agar terfiksasi kemudian dikeringkan kembali. Selanjutnya sediaan ulas darah diwarnai dengan cara direndam dalam larutan Giemsa 10% selama 45-60 menit. Setelah terwarnai, sediaan tersebut diangkat dan dibilas di air mengalir. Setelah itu sediaan dikeringkan di udara.

Penghitungan Jumlah Eritrosit Berparasit

(18)

7

Gambar 1. Skema lapang pandang mikroskop

Menurut Brown (1980), penghitungan jumlah parasit darah dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

% eritrosit yang terinfeksi parasit = j ml h i o i p i

j ml h o l i o i x 100%

Keterangan : Kotak A (kotak besar dalam lapang pandang lensa mikrookuler) Kotak B (kotak kecil dalam lapang pandang lensa mikrookuler) Penghitungan jumlah eritrosit dalam kotak B dihitung hingga mencapai 110-115 eritrosit dari beberapa lapang pandang yang berbeda.

Pemeriksaan Parameter Eritrosit

Pemeriksaan parameter eritrosit berupa penghitungan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit dilakukan dengan menggunakan cell counter-blood analyzer Hemavet®.

Penghitungan Indeks Eritrosit

Penghitungan MCV, MCH, dan MCHC dapat dilakukan dengan menggunakan rumus :

Analisis Data

(19)

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Parasitemia

Menurut Ndungu et al. (2005), tingkat parasitemia diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat ringan (mild reaction), tingkat sedang (severe reaction), dan tingkat berat (very severe reaction). Tingkat ringan terjadi apabila persentase parasitemia kurang dari 1%, tingkat sedang terjadi apabila persentase parasitemia 1-5%, dan tingkat berat apabila persentase parasitemia lebih dari 5%. Persentase parasitemia Babesia sp. pada anjing yang diperiksa disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Persentase parasitemia anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.

No

Anjing Ras Persentase Parasit (%)

1 Labrador Retriever 1.36

2 Rotweiller 0.58

3 Labrador Retriever 1.08

4 Belgian Malinois 0.58

Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata persentase parasitemia anjing yang diperiksa mengalami infeksi sebesar 0.53±0.35%, dengan kisaran nilai antara 0.19-1.36%. Nilai ini menunjukkan anjing yang diperiksa mengalami infeksi Babesia sp. dalam tingkatan ringan (< 1%). Stockham dan Scott (2008) menyatakan bahwa Babesia sp. berada dalam jumlah yang sangat sedikit saat infeksi berlangsung kronis.

Persentase parasitemia yang rendah tidak mengakibatkan munculnya gejala klinis yang nyata seperti jaundice, peningkatan suhu tubuh, anoreksia, lesu, dan kurang aktif (Subronto 2006). Selain persentase parasitemia yang rendah, tidak munculnya gejala klinis juga dipengaruhi oleh lingkungan kandang yang baik, status nutrisi yang terjaga, dan faktor imunitas tubuh yang baik.

Parameter Eritrosit

(20)

9 anjing (Cowell 2004). Penelitian yang telah dilakukan pada anjing pelacak yang terinfeksi Babesia sp. secara kronis menghasilkan gambaran eritrosit yang disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.

Parameter Kisaran nilai (n=13) Rata-rata±SD Nilai normal

Eritrosit (x 106/µl) 4.60-5.90 5.38±0.44 5.50–8.50 Hemoglobin (g/dl) 10.40-14.80 13.19±1.43 12.00–18.00 Hematokrit (%) 30.00–40.00 36.62±3.45 37.00–55.00 Sumber : Weiss dan Wardrop (2010)

Jumlah Eritrosit

Penurunan jumlah eritrosit karena hemolisis dapat terjadi secara fisiologis akibat kematian eritrosit yang sudah tua. Namun, peningkatan jumlah eritrosit yang mengalami hemolisis mengindikasikan adanya kondisi patologis yang terjadi dalam tubuh seperti adanya infeksi parasit dalam eritrosit (Stockham dan Scott 2008).

Rendahnya jumlah eritrosit pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. terjadi karena adanya hemolisis (Stockham dan Scott 2008). Hemolisis yang disebabkan oleh Babesia sp. dapat berupa hemolisis intravaskular, hemolisis ekstravaskular, dan hemolisis yang diperantarai oleh kekebalan (immune mediated hemolytic anemia). Hemolisis intravaskular terjadi karena eritrosit anjing mengalami kerusakan (lisis) di dalam sistem sirkulasi. Kerusakan terjadi saat Babesia sp. keluar dari dalam eritrosit setelah melakukan pembelahan, yaitu dalam bentuk merozoit. Hemolisis ekstravaskular terjadi karena eritrosit yang terinfeksi Babesia sp. keluar dari sistem sirkulasi akibat kebocoran pembuluh darah yang disebabkan oleh turunnya jumlah trombosit. Hemolisis yang diperantarai oleh kekebalan terjadi karena eritrosit yang mengandung Babesia sp. difagosit oleh makrofag (Weiss dan Wardrop 2010).

Tabel 3 menunjukkan jumlah eritrosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. mempunyai rataan sebesar 5.38±0.44x106/µl. Nilai ini berada di bawah nilai normal menurut Weiss dan Wardrop (2010), yaitu sebesar 5.50–8.50x106/µl. Jumlah eritrosit yang relatif lebih rendah dibandingkan nilai normal menunjukkan anjing mengalami anemia yang bersifat ringan (mild anemia). Menurut Stockham dan Scott (2008), anemia yang ringan terjadi karena infeksi Babesia sp. yang bersifat kronis.

(21)

10

Gambar 2. Grafik jumlah eritrosit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp. (Daerah diantara tanda menunjukkan rentang jumlah eritrosit normal)

Gambar 2 menunjukkan semua anjing memiliki kisaran jumlah eritrosit yang rendah. Anjing nomor 7 dan nomor 10 memiliki jumlah eritrosit terendah, yaitu sebesar 4.6x106/µl, dengan persentase parasitemia masing-masing sebesar 0.60% dan 0.19% (Tabel 2). Anjing nomor 1 mempunyai jumlah eritrosit tertinggi diantara anjing yang lain yaitu sebesar 5.9x106/µl, sedangkan persentase parasitemia anjing nomor 1 sebesar 1.36% (Tabel 2). Menurut Soulsby (1982), saat infeksi berlangsung kronis tidak ada hubungan langsung antara persentase parasitemia dengan derajat anemia dan gejala klinis yang muncul. Penurunan jumlah eritrosit saat terjadi infeksi Babesia sp. yang berlangsung kronis disebabkan oleh makrofag yang memfagosit eritrosit, baik eritrosit yang berparasit maupun tidak.

Konsentrasi Hemoglobin

Faktor lain yang mempengaruhi derajat anemia anjing selain jumlah eritrosit adalah konsentrasi hemoglobin yang ada dalam darah anjing tersebut. Hemoglobin merupakan komponen utama penyusun eritrosit yang berfungsi mengangkut oksigen dan karbon dioksida (Price dan Wilson 2006). Menurut Weiss dan Wardrop (2010), konsentrasi hemoglobin normal anjing adalah 12.00-18.00 g/dl. Anjing yang diperiksa mempunyai konsentrasi hemoglobin rata-rata sebesar 13.19±1.43 g/dl (Tabel 3). Konsentrasi hemoglobin ini berada dalam rentang yang normal. Besarnya konsentrasi hemoglobin dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya nutrisi, ras, umur, waktu pengambilan sampel, dan antikoagulan yang dipakai dalam pengambilan sampel (Mbassa dan Poulsen

(22)

11 1993). Konsentrasi hemoglobin masing-masing anjing yang terinfeksi Babesia sp. dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik nilai hemoglobin anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp. (Daerah diantara tanda menunjukkan rentang nilai hemoglobin normal)

Gambar 3 menunjukkan sebagian besar anjing mempunyai konsentrasi hemoglobin yang normal rendah. Akan tetapi, ada tiga anjing yang mempunyai konsentrasi hemoglobin di bawah normal, yaitu anjing nomor 2, nomor 7, dan nomor 10, dengan konsentrasi hemoglobin masing-masing sebesar 11.60 g/dl, 10.40 g/dl, dan 10.80 g/dl. Nilai hemoglobin yang rendah ini berkorelasi positif dengan jumlah eritrosit anjing tersebut yang berada di bawah jumlah normal, yaitu sebesar 4.80x106 g/µl, 4.60x106 g/µl, dan 4.60x106 g/µl (Gambar 2). Rendahnya jumlah hemoglobin diakibatkan oleh jumlah eritrosit yang rendah, karena hemoglobin merupakan komponen utama pengisi eritrosit (Guyton dan Hall 1997).

Nilai Hematokrit

Nilai hematokrit menggambarkan perbandingan persentase eritrosit dengan komponen darah lain dalam volume tertentu darah utuh (whole blood). Nilai hematokrit merupakan salah satu unsur yang dapat digunakan untuk menentukan derajat anemia selain jumlah eritrosit dan konsentrasi hemoglobin. Jumlah eritrosit yang rendah dan ukuran eritrosit yang kecil akan menyebabkan nilai hematokrit menjadi rendah. Sebaliknya, nilai hematokrit yang tinggi dapat mengindikasikan terjadinya dehidrasi. Pada anjing yang mengalami dehidrasi, total plasma darah akan berkurang sehingga persentase nilai hematokrit terlihat meningkat (Colville dan Bassert 2002).

Nilai hematokrit normal anjing menurut Weiss dan Wardrop (2010) berada pada kisaran 37.00-55.00%. Apabila nilai hematokrit berada di bawah 37.00% maka anjing mengalami anemia. Sebaliknya, apabila nilai hematokrit melebihi

(23)

12

55.00%, maka anjing mengalami polisitemia. Nilai hematokrit masing-masing anjing yang terinfeksi Babesia sp. dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik Nilai hematokrit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp. (Daerah diantara tanda menunjukkan rentang nilai hematokrit normal)

Gambar 4 menunjukkan anjing yang diperiksa mempunyai kisaran nilai hematokrit antara 30.00-40.00%. Lima anjing yang diperiksa mempunyai nilai hematokrit di bawah normal, yaitu anjing nomor 2 (33%), nomor 4 (36%), nomor 7 (31%), nomor 10 (30%), dan nomor 11 (35%). Perbandingan antara nilai hematokrit anjing yang berada di bawah normal dengan jumlah eritrosit yang ditampilkan pada Gambar 2 menunjukkan adanya korelasi positif antara keduanya, yaitu semakin rendah jumlah eritrosit maka nilai hematokrit juga semakin rendah.

Menurut Swenson (1984), perubahan volume eritrosit dan plasma darah yang tidak seimbang dalam sirkulasi darah akan mengubah nilai hematokrit. Jumlah eritrosit yang terlalu tinggi (polisitemia) akan menyebabkan kenaikan nilai hematokrit, sehingga viskositas darah meningkat (Cunningham 2002).

Indeks Eritrosit

Indeks eritrosit terdiri atas MCV, MCH, dan MCHC. Indeks eritrosit dapat digunakan untuk mengetahui jenis anemia yang terjadi pada hewan berdasarkan morfologi eritrosit (Price dan Wilson 2006). Kenaikan nilai MCV mengindikasikan eritrosit berukuran lebih besar dari normal (makrositik), sebaliknya penurunan nilai MCV mengindikasikan eritrosit berukuran lebih kecil dari normal (mikrositik), dan penurunan nilai MCHC mengindikasikan

(24)

13 konsentrasi hemoglobin yang rendah (hipokromik). Indeks eritrosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai MCV dan MCHC pada anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.

No Anjing

Sumber : Weiss dan Wardrop (2010)

Tabel 4 menunjukkan nilai MCV anjing yang terinfeksi Babesia sp. berada dalam kisaran 65.22-71.43 fl dengan nilai rata-rata sebesar 68.05±2.07 fl. Nilai MCHC berada pada kisaran 33.55-37.84% dengan nilai rata-rata sebesar 36.00±1.22%. Nilai MCV dan MCHC ini berada dalam kisaran normal menurut Weiss dan Wardrop (2010). Beberapa anjing mempunyai nilai MCHC yang lebih tinggi dari batas atas nilai normal. Hal ini diduga karena kondisi hemoglobinemia yang menyebabkan hemoglobin dalam plasma darah akan ikut terhitung saat pengukuran konsentrasi hemoglobin sehingga menyebabkan nilai MCHC cenderung lebih tinggi dari normal (Stockham dan Scott 2008).

Menurut Stockham dan Scott (2008), infeksi akut terjadi selama 3-4 hari setelah Babesia sp. masuk ke dalam tubuh dan mengakibatkan terjadinya hemolisis intravaskular. Kondisi ini menyebabkan penurunan jumlah eritrosit yang beredar dalam pembuluh darah. Penurunan jumlah eritrosit yang beredar dalam pembuluh darah mengakibatkan kondisi anemia normositik normokromik karena diperlukan waktu bagi sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit muda (retikulosit). Setelah terjadi anemia normositik normokromik, sumsum tulang akan melepaskan retikulosit ke dalam pembuluh darah. Retikulosit mulai muncul dalam peredaran darah pada hari ke-4 setelah infeksi. Munculnya retikulosit dalam pembuluh darah mengakibatkan perubahan anemia menjadi makrositik hipokromik. Hal ini disebabkan karena ukuran retikulosit lebih besar dari eritrosit normal dengan konsentrasi hemoglobin yang ada di dalamnya belum optimal.

(25)

14

anjing mampu bertahan hidup. Babesia sp. akan terus berada dalam eritrosit dengan bentuk tidak aktif. Hal ini mengakibatkan infeksi berlangsung kronis. Infeksi yang berlangsung kronis menyebabkan sumsum tulang melakukan penyesuaian fisiologis dengan tidak menstimulasi pengeluaran retikulosit ke dalam peredaran darah. Hal ini menyebabkan tubuh tetap berada dalam kondisi anemia karena eritrosit yang telah dikeluarkan tidak dapat bekerja secara optimal akibat infestasi Babesia sp. di dalamnya. Kondisi ini terjadi akibat adanya depresi eritrogenesis (Schalm et al. 1975).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa anjing yang terinfeksi Babesia sp. secara kronis cenderung mengalami anemia normositik normokromik karena terjadi depresi eritrogenesis.

Saran

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian lanjut pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan ras anjing yang lebih beragam.

DAFTAR PUSTAKA

Brown BA. 1980. Essentials of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea & Febiger

Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians. Missouri: Mosby.

Cowell RL. 2004. Veterinary Clinical Pathology Secrets. St.Louis: Elsevier Mosby.

Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology. Ed ke-3. Philadelphia: Saunders Company

Guyton AC, Hall JE. 1997. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia: Saunders Company.

Hatmosrojo R, Budiana NS. 2003. Melatih Anjing Penjaga. Depok: Penebar Swadaya.

Levine ND. 1994. Buku Pelajaran Parasitology Veteriner. Terjemahan G. Ashadi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Lobetti, RG. 2005. The pathophysiology of renal and cardiac changes in canine babesiosis. [tesis]. Faculty of Veterinary Science University of Pretoria. Mbassa GK, Poulsen JSD. 1993. Reference Ranges for Hematological Value in

(26)

15 Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of susceptibility between Bos indicus and Bos Taurus cattle types to Theileria parva infection. Onderstepoort J Vet Res (72) : 13-22

Pearce, EC. 2006. Anatomis dan Fisiologis untuk Paramedis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

[POLRI] Kepolisian Republik Indonesia. 1996. Hut Satwa Polri ke 37. Jakarta: Direktorat Samapta Polri Sub Direktorat Satwa.

Price SA, Wilson LM. 2006. Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes. Ed ke-4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Schalm OW, Jain NC, Carroll EJ. 1975. Veterinary Hematology. Ed ke-3. Philadelphia: Lea & Febiger.

Sigit SH, Koesharto FX, Hadi UK, Gunandini DJ, Soviana S, Wirawan IA, Chalidaputra M, Rivai M, Priyambodo S, Yusuf S, et al. 2006. Hama Permukiman Indonesia. Bogor: UKPHP FKH IPB.

Soulsby, EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. Ed ke-7. London: Bailliere Tindall.

Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology. Ed ke-2. State Avenue: Blackwell Publishing.

Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sugiarto. 2005. Potensi caplak anjing Rhipicephalus sanguineus sebagai vektor penyakit. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Swenson. 1984. Duke’s Phisiology of Domestic Animals. Ed ke-10. London: Cornel University Press.

Weiss DJ, Wardrop KJ. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. State Avenue: Blackwell Publishing.

Widodo S, Sajuthi D, Choliq C, Wijaya A, Wulansari R, Lelana RPA. 2011. Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor: IPB Press.

(27)

16

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 8 November 1990. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan Bapak Syukur Syarifudin dan Ibu Sarilah.

Penulis menempuh pendidikan dasar di I ’ if K li hingg l l pada tahun 2002. Setelah itu penulis melanju k n p ndidik n di T ’ if 2 Selomerto dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan selanjutnya penulis tempuh di SMA Negeri 2 Wonosobo dan lulus pada tahun 2008. Tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI).

(28)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anjing merupakan salah satu hewan yang banyak dipelihara karena mempunyai hubungan erat dengan manusia. Beberapa tujuan dari pemeliharaan anjing antara lain sebagai hewan kesayangan, hewan penjaga, juga digunakan sebagai hewan pelacak. Hal ini dikarenakan anjing memiliki tingkat kecerdasan dan pengabdian yang tinggi pada manusia. Anjing juga mempunyai keistimewaan yaitu memiliki daya penciuman yang sangat tajam (Hatmosrojo dan Budiana 2003).

Kemampuan penciuman pada anjing dapat dimanfaatkan untuk melacak keberadaan barang ataupun orang sehingga sangat membantu polisi dalam memecahkan permasalahan kriminal seperti adanya bom, narkoba, maupun pencarian orang. Unit K-9 Direktorat Polisi Satwa merupakan salah satu unit di bawah POLRI yang menangani pelatihan dan pemeliharaan anjing pelacak. Beberapa jenis anjing yang digunakan sebagai anjing pelacak antara lain ras Labrador Retriever, Rotweiller, Doberman Pincher, Belgian Malinois, Beagle, dan German Shepherd (POLRI 1996).

Kesehatan anjing adalah salah satu poin penting yang harus diperhatikan agar selalu dalam keadaan yang optimal. Beberapa penyakit yang seringkali menyerang anjing antara lain infeksi ektoparasit seperti kutu dan caplak. Jenis caplak yang umum menginfeksi anjing di Indonesia adalah jenis Rhipicephalus sanguineus. Gigitan caplak pada kulit dapat mengganggu kenyamanan anjing karena rasa sakit dan gatal (Sigit et al. 2006).

Investasi caplak mengakibatkan masuknya protozoa, virus, dan riketsia yang dapat menimbulkan penyakit. Salah satu protozoa yang seringkali menginfeksi anjing melalui gigitan caplak adalah Babesia sp. (Sigit et al. 2006). Babesia sp. merupakan parasit intraeritrositik yang akan menyebabkan kerusakan eritrosit. Beberapa gejala yang timbul saat hewan terinfeksi kronis Babesia sp. antara lain anemia, anoreksia, lesu, dan malas bergerak (Subronto 2006), sehingga dapat mempengaruhi kinerja anjing. Oleh karena itu, profil eritrosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. sangat diperlukan untuk mengetahui gambaran darah sehingga dapat menunjang proses terapi yang akan dilakukan kemudian.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran umum eritrosit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp. melalui pemeriksaan eritrosit.

Manfaat Penelitian

(29)

2

Hipotesis Penelitian

Infeksi kronis oleh Babesia sp. berpengaruh pada profil eritrosit anjing.

TINJAUAN PUSTAKA

Babesia sp.

Babesia sp. adalah protozoa penyebab babesiosis pada hewan. Menurut Levine (1994), Babesia sp. diklasifikasikan dalam subfilum Apicomplexa, kelas Piroplasma, dan famili Babesiidae. Penyakit babesiosis pada anjing umumnya disebabkan oleh Babesia canis (B. canis). Selain B. canis, Babesia gibsoni (B. gibsoni) dan Babesia vogeli (B. vogeli) juga dapat menginfeksi anjing. B. vogeli memiliki karakteristik yang sama dengan B. canis tetapi berukuran lebih besar. B. canis mempunyai ukuran tubuh sebesar 4-5 mikron, berbentuk seperti buah pir (pyriform) yang runcing pada ujung satu dan bulat pada ujung yang lain. B. canis akan menginfeksi eritrosit inang. Satu eritrosit dapat mengandung lebih dari 10 B. canis. Hal ini menandakan adanya multiinfeksi dalam eritrosit tersebut (Subronto 2006).

Proses penyebaran B. canis melalui vektor caplak Rhipicephalus sanguineus (R. sanguineus). Infeksi dimulai saat caplak R. sanguineus menghisap darah anjing yang terinfeksi babesiosis. B. canis akan masuk ke dalam tubuh caplak, menjadi motil, menembus dinding sel, masuk ke rongga tubuh dan melalui pembuluh darah menuju ovarium untuk menginfeksi ovum. B. canis memperbanyak diri di dalam ovum dan menjadi sumber penularan transovarium saat ovum caplak menetas menjadi larva (Soulsby 1982). Setelah berkembang di dalam tubuh caplak, B. canis bermigrasi ke kelenjar ludah caplak dan siap menginfeksi anjing saat caplak menghisap darah (Subronto 2006). Bentuk infektif B. canis adalah tropozoit yang menginfeksi eritrosit anjing. Tropozoit berkembang biak dengan pembelahan biner sehingga terbentuk merozoit yang banyak (Soulsby 1982). B. canis kemudian keluar dari eritrosit tersebut dan mengakibatkan rupturnya eritrosit yang terinfeksi untuk menginfeksi eritrosit yang baru (Weiss dan Wardrop 2010).

Babesiosis atau disebut juga piroplasmosis, secara perakut/akut dapat menyebabkan keparahan pada anjing. Infeksi protozoa ini dapat menyebabkan demam yang sangat tinggi dan peningkatan frekuensi nafas. Gejala yang tampak setelah anjing terinfeksi parasit ini antara lain demam, hemoglobinuria, ikterus, dan splenomegali. Gejala infeksi yang kronis ditandai dengan anoreksia, kehilangan berat badan, kelemahan, dan anemia yang bersifat ringan (Sugiarto 2005).

(30)

3 B. canis dapat menginfeksi anjing pada semua umur. Sebuah penelitian dari OVAH (Onderstepoort Veterinary Academic Hospital) mengatakan bahwa 77% infeksi B. canis terjadi pada anjing yang berumur kurang dari tiga tahun (Lobetti 2005).

Komposisi dan Fungsi Darah Anjing

Darah anjing pada umumnya berjumlah kurang lebih 7% dari total volume cairan tubuhnya. Darah terdiri atas 55% plasma darah dan 45% butir darah (Pearce 2006). Plasma darah terdiri atas air (91%), protein (7%), dan zat lain seperti ion, gas, dan sisa metabolisme (2%). Butir darah terdiri atas sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan platelet (trombosit). Satu mm3 darah anjing mengandung 5 500 000-8 500 000 eritrosit, 200 000-500 000 trombosit, dan 6 000-17 000 leukosit (Colville dan Bassert 2002). Menurut Weiss dan Wardrop (2010), nilai acuan eritrosit anjing dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1 Nilai acuan eritrosit anjing normal

Parameter Nilai Normal Satuan

Eritrosit 5.5-8.5 x 106/µl mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi transportasi, fungsi regulasi, dan fungsi pertahanan. Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut oksigen yang terikat oleh hemoglobin ke seluruh jaringan pada tubuh (Guyton dan Hall 1997). Selain itu, eritrosit juga berfungsi untuk membawa nutrisi dari saluran pencernaan menuju jaringan, mengangkut hasil akhir metabolisme ke organ ekskresi, mengatur suhu tubuh, dan menjaga kesetimbangan asam-basa tubuh (Cunningham 2002).

Proses Pembentukan dan Penguraian Eritrosit Anjing

Proses pembentukan eritrosit disebut eritropoesis yang terjadi di dalam sumsum tulang. Salah satu hormon yang mempengaruhi pembentukan eritrosit adalah eritropoietin yang diproduksi oleh ginjal. Hormon ini akan menstimulasi pembentukan eritrosit apabila terdeteksi adanya hipoksia (kurangnya oksigen) dalam darah. Eritrosit pada anjing rata-rata mempunyai umur 110 hari (Colville dan Bassert 2002).

(31)

4

bentuk fero (bentuk yang berfungsi mengangkut oksigen), dan mencegah oksidasi protein dalam eritrosit (Guyton dan Hall 1997).

Sistem metabolik eritrosit akan melemah saat umur eritrosit tua. Hal ini ditandai dengan membran sel yang rapuh. Akibat membran sel yang rapuh, eritrosit akan mudah pecah saat melalui tempat yang sempit dalam sirkulasi, seperti saat melalui trabekula pulpa merah limpa. Hemoglobin akan dilepaskan dari eritrosit saat pecah dan segera difagosit oleh sel-sel makrofag yang ada di seluruh tubuh terutama sel Kupffer yang ada di hati. Selama beberapa jam atau beberapa hari setelahnya, makrofag akan melepaskan besi yang didapat dari hemoglobin, masuk kembali ke dalam peredaran darah dan diangkut oleh transferin menuju sumsum tulang untuk membentuk eritrosit baru atau menuju hati dan jaringan lainnya untuk disimpan dalam bentuk feritin. Bagian porfirin dari molekul hemoglobin diubah oleh makrofag menjadi bilirubin yang dilepaskan ke dalam darah dan akhirnya disekresikan oleh hati masuk ke dalam kantung empedu (Guyton dan Hall 1997).

Pemeriksaan Eritrosit Anjing

Hematokrit

Nilai hematokrit sering disebut sebagai PCV (Packet cell volume). Hematokrit merupakan perbandingan persentase eritrosit di dalam volume darah utuh (whole blood). Nilai hematokrit didapat dengan cara mensentrifugasi sampel darah yang dimasukkan ke dalam pipa mikrohematokrit. Nilai yang didapat dapat menggambarkan jumlah eritrosit sampel darah yang diperiksa (Weiss dan Wardrop 2010).

Hemoglobin

Komponen utama eritrosit adalah hemoglobin (Hb). Sintesis hemoglobin dalam eritrosit berlangsung dari eritoblast sampai stadium perkembangan retikulosit. Fungsi utama hemoglobin adalah transport oksigen dan karbon dioksida. Konsentrasi hemoglobin darah diukur berdasarkan intensitas warnanya dengan menggunakan fotometer dan dinyatakan dalam gram hemoglobin/ seratus milliliter darah (g/100 ml) atau gram/desiliter (g/dl) (Price dan Wilson 2006).

Indeks Eritrosit

Menurut Weiss dan Wardrop (2010), Indeks eritrosit digunakan untuk mengetahui ukuran dan karakter hemoglobin serta jumlah eritrosit dalam darah. Indeks eritrosit terdiri atas MCV (Mean Corpuscular Volume), MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin), dan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration). Price dan Wilson (2006) menyebutkan bahwa indeks eritrosit dapat digunakan untuk menentukan jenis anemia yang terjadi di dalam tubuh hewan.

Anemia

(32)

5 dibawa oleh darah. Hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya sedikitnya eritrosit yang bersirkulasi, kerusakan eritrosit, penurunan produksi eritrosit, perdarahan, infeksi parasit di dalam eritrosit, dan jumlah hemoglobin yang sedikit pada jumlah eritrosit yang normal (Colville dan Bassert 2002).

Menurut Price dan Wilson (2006) anemia dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu berdasarkan morfologi eritrosit dan berdasarkan etiologi anemia. Berdasarkan morfologi eritrosit, anemia dapat diklasifikasikan menjadi anemia normositik normokromik, anemia normositik hipokromik, anemia makrositik normokromik, anemia makrositik hipokromik, anemia mikrositik normokromik, dan anemia mikrositik hipokromik.

Anemia normositik normokromik ditandai dengan ukuran dan bentuk eritrosit normal serta mengandung jumlah eritrosit dan konsentrasi hemoglobin yang normal (MCV dan MCHC normal atau normal rendah), tetapi hewan menderita anemia. Hal ini disebabkan oleh kehilangan darah yang bersifat akut, hemolisis, maupun karena penyakit infeksi yang kronis. Anemia normositik hipokromik ditandai dengan ukuran eritrosit yang normal tetapi konsentrasi hemoglobin rendah (MCV normal, MCHC rendah). Anemia ini jarang terjadi. Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh defisiensi besi dan sintesis hemoglobin yang belum sempurna (Stockham dan Scott 2008).

Anemia makrositik normokromik ditandai dengan ukuran eritrosit lebih besar, tetapi berwarna normal karena konsentrasi hemoglobin yang normal (MCV meningkat, MCHC normal). Hal ini dapat diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA karena defisiensi unsur-unsur tertentu seperti vitamin B12. Anemia makrositik hipokromik ditandai dengan ukuran

eritrosit lebih besar dari normal, tetapi memiliki konsentrasi hemoglobin yang lebih rendah dari normal (MCV meningkat, MCHC rendah). Hal ini diakibatkan karena perdarahan yang berlebihan sehingga eritrosit muda (retikulosit) dilepaskan ke dalam peredaran darah sebagai respon regeneratif (Stockham dan Scott 2008).

Anemia mikrositik normokromik ditandai dengan ukuran eritrosit lebih kecil dari normal, dengan konsentrasi hemoglobin yang normal (MCV rendah, MCHC normal). Hal ini diakibatkan oleh defisiensi zat besi dan gangguan metabolisme hati. Anemia mikrositik hipokromik ditandai dengan ukuran eritrosit lebih kecil dari normal dengan konsentrasi hemoglobin lebih sedikit dari normal (MCV dan MCHC rendah). Kejadian ini disebabkan oleh insufisiensi sintesis hem (besi) akibat defisiensi zat besi serta defisiensi pyridoxine (Stockham dan Scott 2008).

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat

(33)

5 dibawa oleh darah. Hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya sedikitnya eritrosit yang bersirkulasi, kerusakan eritrosit, penurunan produksi eritrosit, perdarahan, infeksi parasit di dalam eritrosit, dan jumlah hemoglobin yang sedikit pada jumlah eritrosit yang normal (Colville dan Bassert 2002).

Menurut Price dan Wilson (2006) anemia dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu berdasarkan morfologi eritrosit dan berdasarkan etiologi anemia. Berdasarkan morfologi eritrosit, anemia dapat diklasifikasikan menjadi anemia normositik normokromik, anemia normositik hipokromik, anemia makrositik normokromik, anemia makrositik hipokromik, anemia mikrositik normokromik, dan anemia mikrositik hipokromik.

Anemia normositik normokromik ditandai dengan ukuran dan bentuk eritrosit normal serta mengandung jumlah eritrosit dan konsentrasi hemoglobin yang normal (MCV dan MCHC normal atau normal rendah), tetapi hewan menderita anemia. Hal ini disebabkan oleh kehilangan darah yang bersifat akut, hemolisis, maupun karena penyakit infeksi yang kronis. Anemia normositik hipokromik ditandai dengan ukuran eritrosit yang normal tetapi konsentrasi hemoglobin rendah (MCV normal, MCHC rendah). Anemia ini jarang terjadi. Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh defisiensi besi dan sintesis hemoglobin yang belum sempurna (Stockham dan Scott 2008).

Anemia makrositik normokromik ditandai dengan ukuran eritrosit lebih besar, tetapi berwarna normal karena konsentrasi hemoglobin yang normal (MCV meningkat, MCHC normal). Hal ini dapat diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA karena defisiensi unsur-unsur tertentu seperti vitamin B12. Anemia makrositik hipokromik ditandai dengan ukuran

eritrosit lebih besar dari normal, tetapi memiliki konsentrasi hemoglobin yang lebih rendah dari normal (MCV meningkat, MCHC rendah). Hal ini diakibatkan karena perdarahan yang berlebihan sehingga eritrosit muda (retikulosit) dilepaskan ke dalam peredaran darah sebagai respon regeneratif (Stockham dan Scott 2008).

Anemia mikrositik normokromik ditandai dengan ukuran eritrosit lebih kecil dari normal, dengan konsentrasi hemoglobin yang normal (MCV rendah, MCHC normal). Hal ini diakibatkan oleh defisiensi zat besi dan gangguan metabolisme hati. Anemia mikrositik hipokromik ditandai dengan ukuran eritrosit lebih kecil dari normal dengan konsentrasi hemoglobin lebih sedikit dari normal (MCV dan MCHC rendah). Kejadian ini disebabkan oleh insufisiensi sintesis hem (besi) akibat defisiensi zat besi serta defisiensi pyridoxine (Stockham dan Scott 2008).

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat

(34)

6

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain syringe 3 ml, gelas objek, mikroskop, lensa mikrookuler, kertas saring, tabung vacum EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid), alat penghitung (counter), cell counter-blood analyzer Hemavet®, dan pipet tetes. Bahan yang digunakan antara lain sampel darah segar, larutan Giemsa 10%, metanol, alkohol 70%, aquades, minyak emersi, dan xylol.

Persiapan Hewan

Penelitian ini menggunakan 13 ekor anjing (terdiri atas 7 jantan dan 6 betina), berumur antara 3-5 tahun, dengan berbagai ras yang sebelumnya telah diketahui terinfeksi Babesia sp. Anjing yang akan diambil sampel darahnya dilakukan pemeriksaan fisik secara inspeksi meliputi status gizi, temperamen, dan sikap hewan. Selain itu juga dilakukan pengukuran suhu tubuh anjing tersebut (Widodo et al. 2011).

Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan darah dilakukan melalui vena Cephalica antibrachii sebanyak 3 ml dan kemudian dimasukkan ke dalam tabung vakum yang mengandung antikoagulan EDTA untuk kemudian dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Pembuatan Sediaan Ulas Darah

Sediaan ulas darah dibuat secara langsung dari darah utuh (whole blood). Darah diteteskan pada sebuah gelas objek yang bersih dan kering berjarak sekitar 2 cm dari salah satu sisi ujung gelas obyek. Sisi ujung yang lain dipegang menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Sebuah gelas obyek lain dipegang dengan tangan kanan dan salah satu sisi obyek yang dipegang oleh tangan kanan digerakkan mundur sampai menyinggung dan menyebar tetesan darah di sepanjang sudut antara kedua gelas obyek. Segera setelah itu, gelas obyek yang dipegang oleh tangan kanan didorong ke depan sehingga terbentuk sediaan ulas darah yang tipis. Sediaan ulas darah tersebut kemudian dikeringkan di udara. Sediaan ulas darah yang telah kering direndam dalam larutan metanol selama 5 menit agar terfiksasi kemudian dikeringkan kembali. Selanjutnya sediaan ulas darah diwarnai dengan cara direndam dalam larutan Giemsa 10% selama 45-60 menit. Setelah terwarnai, sediaan tersebut diangkat dan dibilas di air mengalir. Setelah itu sediaan dikeringkan di udara.

Penghitungan Jumlah Eritrosit Berparasit

(35)

7

Gambar 1. Skema lapang pandang mikroskop

Menurut Brown (1980), penghitungan jumlah parasit darah dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

% eritrosit yang terinfeksi parasit = j ml h i o i p i

j ml h o l i o i x 100%

Keterangan : Kotak A (kotak besar dalam lapang pandang lensa mikrookuler) Kotak B (kotak kecil dalam lapang pandang lensa mikrookuler) Penghitungan jumlah eritrosit dalam kotak B dihitung hingga mencapai 110-115 eritrosit dari beberapa lapang pandang yang berbeda.

Pemeriksaan Parameter Eritrosit

Pemeriksaan parameter eritrosit berupa penghitungan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit dilakukan dengan menggunakan cell counter-blood analyzer Hemavet®.

Penghitungan Indeks Eritrosit

Penghitungan MCV, MCH, dan MCHC dapat dilakukan dengan menggunakan rumus :

Analisis Data

(36)

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Parasitemia

Menurut Ndungu et al. (2005), tingkat parasitemia diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat ringan (mild reaction), tingkat sedang (severe reaction), dan tingkat berat (very severe reaction). Tingkat ringan terjadi apabila persentase parasitemia kurang dari 1%, tingkat sedang terjadi apabila persentase parasitemia 1-5%, dan tingkat berat apabila persentase parasitemia lebih dari 5%. Persentase parasitemia Babesia sp. pada anjing yang diperiksa disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Persentase parasitemia anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.

No

Anjing Ras Persentase Parasit (%)

1 Labrador Retriever 1.36

2 Rotweiller 0.58

3 Labrador Retriever 1.08

4 Belgian Malinois 0.58

Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata persentase parasitemia anjing yang diperiksa mengalami infeksi sebesar 0.53±0.35%, dengan kisaran nilai antara 0.19-1.36%. Nilai ini menunjukkan anjing yang diperiksa mengalami infeksi Babesia sp. dalam tingkatan ringan (< 1%). Stockham dan Scott (2008) menyatakan bahwa Babesia sp. berada dalam jumlah yang sangat sedikit saat infeksi berlangsung kronis.

Persentase parasitemia yang rendah tidak mengakibatkan munculnya gejala klinis yang nyata seperti jaundice, peningkatan suhu tubuh, anoreksia, lesu, dan kurang aktif (Subronto 2006). Selain persentase parasitemia yang rendah, tidak munculnya gejala klinis juga dipengaruhi oleh lingkungan kandang yang baik, status nutrisi yang terjaga, dan faktor imunitas tubuh yang baik.

Parameter Eritrosit

(37)

9 anjing (Cowell 2004). Penelitian yang telah dilakukan pada anjing pelacak yang terinfeksi Babesia sp. secara kronis menghasilkan gambaran eritrosit yang disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.

Parameter Kisaran nilai (n=13) Rata-rata±SD Nilai normal

Eritrosit (x 106/µl) 4.60-5.90 5.38±0.44 5.50–8.50 Hemoglobin (g/dl) 10.40-14.80 13.19±1.43 12.00–18.00 Hematokrit (%) 30.00–40.00 36.62±3.45 37.00–55.00 Sumber : Weiss dan Wardrop (2010)

Jumlah Eritrosit

Penurunan jumlah eritrosit karena hemolisis dapat terjadi secara fisiologis akibat kematian eritrosit yang sudah tua. Namun, peningkatan jumlah eritrosit yang mengalami hemolisis mengindikasikan adanya kondisi patologis yang terjadi dalam tubuh seperti adanya infeksi parasit dalam eritrosit (Stockham dan Scott 2008).

Rendahnya jumlah eritrosit pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. terjadi karena adanya hemolisis (Stockham dan Scott 2008). Hemolisis yang disebabkan oleh Babesia sp. dapat berupa hemolisis intravaskular, hemolisis ekstravaskular, dan hemolisis yang diperantarai oleh kekebalan (immune mediated hemolytic anemia). Hemolisis intravaskular terjadi karena eritrosit anjing mengalami kerusakan (lisis) di dalam sistem sirkulasi. Kerusakan terjadi saat Babesia sp. keluar dari dalam eritrosit setelah melakukan pembelahan, yaitu dalam bentuk merozoit. Hemolisis ekstravaskular terjadi karena eritrosit yang terinfeksi Babesia sp. keluar dari sistem sirkulasi akibat kebocoran pembuluh darah yang disebabkan oleh turunnya jumlah trombosit. Hemolisis yang diperantarai oleh kekebalan terjadi karena eritrosit yang mengandung Babesia sp. difagosit oleh makrofag (Weiss dan Wardrop 2010).

Tabel 3 menunjukkan jumlah eritrosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. mempunyai rataan sebesar 5.38±0.44x106/µl. Nilai ini berada di bawah nilai normal menurut Weiss dan Wardrop (2010), yaitu sebesar 5.50–8.50x106/µl. Jumlah eritrosit yang relatif lebih rendah dibandingkan nilai normal menunjukkan anjing mengalami anemia yang bersifat ringan (mild anemia). Menurut Stockham dan Scott (2008), anemia yang ringan terjadi karena infeksi Babesia sp. yang bersifat kronis.

(38)

10

Gambar 2. Grafik jumlah eritrosit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp. (Daerah diantara tanda menunjukkan rentang jumlah eritrosit normal)

Gambar 2 menunjukkan semua anjing memiliki kisaran jumlah eritrosit yang rendah. Anjing nomor 7 dan nomor 10 memiliki jumlah eritrosit terendah, yaitu sebesar 4.6x106/µl, dengan persentase parasitemia masing-masing sebesar 0.60% dan 0.19% (Tabel 2). Anjing nomor 1 mempunyai jumlah eritrosit tertinggi diantara anjing yang lain yaitu sebesar 5.9x106/µl, sedangkan persentase parasitemia anjing nomor 1 sebesar 1.36% (Tabel 2). Menurut Soulsby (1982), saat infeksi berlangsung kronis tidak ada hubungan langsung antara persentase parasitemia dengan derajat anemia dan gejala klinis yang muncul. Penurunan jumlah eritrosit saat terjadi infeksi Babesia sp. yang berlangsung kronis disebabkan oleh makrofag yang memfagosit eritrosit, baik eritrosit yang berparasit maupun tidak.

Konsentrasi Hemoglobin

Faktor lain yang mempengaruhi derajat anemia anjing selain jumlah eritrosit adalah konsentrasi hemoglobin yang ada dalam darah anjing tersebut. Hemoglobin merupakan komponen utama penyusun eritrosit yang berfungsi mengangkut oksigen dan karbon dioksida (Price dan Wilson 2006). Menurut Weiss dan Wardrop (2010), konsentrasi hemoglobin normal anjing adalah 12.00-18.00 g/dl. Anjing yang diperiksa mempunyai konsentrasi hemoglobin rata-rata sebesar 13.19±1.43 g/dl (Tabel 3). Konsentrasi hemoglobin ini berada dalam rentang yang normal. Besarnya konsentrasi hemoglobin dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya nutrisi, ras, umur, waktu pengambilan sampel, dan antikoagulan yang dipakai dalam pengambilan sampel (Mbassa dan Poulsen

(39)

11 1993). Konsentrasi hemoglobin masing-masing anjing yang terinfeksi Babesia sp. dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik nilai hemoglobin anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp. (Daerah diantara tanda menunjukkan rentang nilai hemoglobin normal)

Gambar 3 menunjukkan sebagian besar anjing mempunyai konsentrasi hemoglobin yang normal rendah. Akan tetapi, ada tiga anjing yang mempunyai konsentrasi hemoglobin di bawah normal, yaitu anjing nomor 2, nomor 7, dan nomor 10, dengan konsentrasi hemoglobin masing-masing sebesar 11.60 g/dl, 10.40 g/dl, dan 10.80 g/dl. Nilai hemoglobin yang rendah ini berkorelasi positif dengan jumlah eritrosit anjing tersebut yang berada di bawah jumlah normal, yaitu sebesar 4.80x106 g/µl, 4.60x106 g/µl, dan 4.60x106 g/µl (Gambar 2). Rendahnya jumlah hemoglobin diakibatkan oleh jumlah eritrosit yang rendah, karena hemoglobin merupakan komponen utama pengisi eritrosit (Guyton dan Hall 1997).

Nilai Hematokrit

Nilai hematokrit menggambarkan perbandingan persentase eritrosit dengan komponen darah lain dalam volume tertentu darah utuh (whole blood). Nilai hematokrit merupakan salah satu unsur yang dapat digunakan untuk menentukan derajat anemia selain jumlah eritrosit dan konsentrasi hemoglobin. Jumlah eritrosit yang rendah dan ukuran eritrosit yang kecil akan menyebabkan nilai hematokrit menjadi rendah. Sebaliknya, nilai hematokrit yang tinggi dapat mengindikasikan terjadinya dehidrasi. Pada anjing yang mengalami dehidrasi, total plasma darah akan berkurang sehingga persentase nilai hematokrit terlihat meningkat (Colville dan Bassert 2002).

Nilai hematokrit normal anjing menurut Weiss dan Wardrop (2010) berada pada kisaran 37.00-55.00%. Apabila nilai hematokrit berada di bawah 37.00% maka anjing mengalami anemia. Sebaliknya, apabila nilai hematokrit melebihi

(40)

12

55.00%, maka anjing mengalami polisitemia. Nilai hematokrit masing-masing anjing yang terinfeksi Babesia sp. dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik Nilai hematokrit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp. (Daerah diantara tanda menunjukkan rentang nilai hematokrit normal)

Gambar 4 menunjukkan anjing yang diperiksa mempunyai kisaran nilai hematokrit antara 30.00-40.00%. Lima anjing yang diperiksa mempunyai nilai hematokrit di bawah normal, yaitu anjing nomor 2 (33%), nomor 4 (36%), nomor 7 (31%), nomor 10 (30%), dan nomor 11 (35%). Perbandingan antara nilai hematokrit anjing yang berada di bawah normal dengan jumlah eritrosit yang ditampilkan pada Gambar 2 menunjukkan adanya korelasi positif antara keduanya, yaitu semakin rendah jumlah eritrosit maka nilai hematokrit juga semakin rendah.

Menurut Swenson (1984), perubahan volume eritrosit dan plasma darah yang tidak seimbang dalam sirkulasi darah akan mengubah nilai hematokrit. Jumlah eritrosit yang terlalu tinggi (polisitemia) akan menyebabkan kenaikan nilai hematokrit, sehingga viskositas darah meningkat (Cunningham 2002).

Indeks Eritrosit

Indeks eritrosit terdiri atas MCV, MCH, dan MCHC. Indeks eritrosit dapat digunakan untuk mengetahui jenis anemia yang terjadi pada hewan berdasarkan morfologi eritrosit (Price dan Wilson 2006). Kenaikan nilai MCV mengindikasikan eritrosit berukuran lebih besar dari normal (makrositik), sebaliknya penurunan nilai MCV mengindikasikan eritrosit berukuran lebih kecil dari normal (mikrositik), dan penurunan nilai MCHC mengindikasikan

Gambar

Gambar 1. Skema lapang pandang mikroskop
Tabel 2. Persentase parasitemia anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.
Tabel 3. Rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp
Gambar 2. Grafik jumlah eritrosit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan sarana pelayanan rawat inap rumah sakit memerlukan dana yang cukup besar, hal ini akan memberatkan beban anggaran pemerintah kabupaten yang memiliki kemampuan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan pengeluaran perkapita dan status gizi buruk terhadap kemiskinan sehingga dapat terlihat kantong kemiskinan dan masalah

Kajian ini mengarah pada potensi konflik yang terjadi dari proses komunikasi dan interaksi yang terjadi antara perempuan Indonesia dan laki-laki bule dalam sebuah

Menurut Mubyarto (2000), analisis pemasaran dianggap efisien apabiladianggap mampu menyampaikan hasil-hasil dari produsen kepada konsumen dengan biaya wajar serta

1) TITLE BAR; menampilkan judul file/ nama dokumen. 2) OFFICE BUTTON; tombol yang memuat perintah-perintah umum seperti membuka, menyimpan, menutup, dll. 3) QUICK

4.1 Hasil Wawancara Peneliti Terhadap Konselor Kelas VIII H Pra Penelitian Layanan Bimbingan Kelompok dengan Teknik Sosiodrama 106 4.2 Hasil Observasi Peneliti Terhadap

21/1 @ 2009 Hak Cipta IPNT SULIT [Lihat sebelah.. 4) Maklumat berikut berkait dengan Bendahara Tun Abdul Jalil?. · Pada taboo 1699, telah dilantik menjadi sultan Johor dengan