• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Tanah pada Transek Lereng dan Kaitannya dengan Pertumbuhan Tanaman Jati Unggul Nusantara (Tectona Grandis L.F.) di Cibungbulang, Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Klasifikasi Tanah pada Transek Lereng dan Kaitannya dengan Pertumbuhan Tanaman Jati Unggul Nusantara (Tectona Grandis L.F.) di Cibungbulang, Kabupaten Bogor"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

JATI UNGGUL NUSANTARA

(

Tectona grandis

L.F.)

DI CIBUNGBULANG, KABUPATEN BOGOR

AKHMAD MEDIRANTO

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Klasifikasi Tanah pada Transek Lereng dan Kaitannya dengan Pertumbuhan Tanaman Jati Unggul Nusantara (Tectona grandis L.F.) di Cibungbulang, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

(4)

AKHMAD MEDIRANTO. Klasifikasi Tanah pada Transek Lereng

dan Kaitannya dengan Pertumbuhan Tanaman Jati Unggul Nusantara

(

Tectona grandis

L.F.) di Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

Dibimbing oleh WIDIATMAKA dan HERMANU WIDJAJA.

Tanah beragam dari suatu tempat ke tempat lain, dicirikan oleh sifat-sifat tanah yang beragam baik secara vertikal maupun horizontal. Keragaman sifat-sifat tanah tersebut menyebabkan tingkat kesuburan tanah yang berbeda-beda. Setiap tanah yang terbentuk dapat diklasifikasikan dengan suatu sistem klasifikasi tanah. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis sifat morfologi, fisik, kimia, dan mengklasifikasikannya sampai kategori family tanah serta melihat hubungan antara sifat-sifat tanah yang terbentuk dengan pertumbuhan tanaman jati. Penelitian lapang dilakukan di Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Analisis sifat fisik dan kimia tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB. Profil dibuat pada kaki lereng yang ditumbuhi tanaman jati varietas Jati Unggul Nusantara (JUN) kemudian dibagi menjadi lereng atas (P-1), lereng tengah (P-2), dan lereng bawah (P-3). Contoh tanaman diambil sebanyak 50 sampel yang terletak di sekitar lokasi profil dan memiliki pertumbuhan optimal, setiap sampel kemudian diukur sifat morfologi tanaman. Hasil penelitian menunjukkan, tekstur pada ketiga profil didominasi oleh klei dan permeabilitas antara sedang-lambat. pH tanah pada P-1 tergolong netral sedangkan P-2 dan P-3 tergolong masam. KB pada P-1 tergolong sangat tinggi sedangkan P-2 dan P-3 antara rendah-sangat rendah. N-total dan C-organik pada ketiga profil tergolong rendah-sangat rendah. P-tersedia pada ketiga profil tergolong tinggi-sangat tinggi. Keragaman sifat-sifat tanah pada ketiga profil selain dipengaruhi oleh bahan induk juga dipengaruhi oleh posisi dalam lereng. P-1, P-2, dan P-3 berturut-turut diklasifikasikan dalam kategori family Typic Paleudalf, sangat halus, campuran, aktif, isohipertermik; Typic Dystrudept, sangat halus, campuran, aktif, isohipertermik; dan Typic Hapludult, sangat halus, campuran, semiaktif, isohipertermik. Tanah yang terbentuk dari ketiga profil mampu menopang pertumbuhan tanaman jati dimana tanaman paling baik tumbuh pada P-1 kemudian diikuti oleh P-3 dan P-2 namun diameter batang yang dihasilkan saat panen masih termasuk kategori rendah. Tanah dengan bahan induk sedimen kapur yang mempunyai pH dan KB tinggi mampu memberikan pertumbuhan yang lebih baik bagi tanaman jati varietas JUN.

(5)

AKHMAD MEDIRANTO. Soil Classification on a Transects in

Relation to Plant Growth of Jati Unggul Nusantara (

Tectona grandis

L.F.)

in

Cibungbulang,

Bogor

District.

Supervised

by

WIDIATMAKA and HERMANU WIDJAJA.

Soil are characterized by its properties, vertically and horizontally. The soil variability has caused different soil fertility. Each soil could be classified by a soil classification system. This reseach was conducted with the objective to analyze soil morphological, physical, and chemical characteristics and to classify in family category. The other objective is to understand the relationship between soil characteristics and tree growth of Tectona grandis. Field research was done in Cibungbulang, Bogor District. Physical and chemical soil analysis was done in the Laboratory of Soil Science and Land Resources, Bogor Agricultural University. Soil profile was made on a slope planted with Jati Unggul Nusantara (JUN) teak tree. The slope is divided into three parts: upper slope (P-1), middle slope (P-2), and down slope (P-3). Fifty plant samples which has optimal growth were collected around the location of soil profile. The morphological characteristics of each plant are analyzed. The result shows that soil texture on three soil profiles were dominated by clay and it has medium to slow permeability. Soil pH on upper slope (P-1) is classified as neutral whereas soils in middle part (P-2) and down part (P-3) slope are acid. Base saturation on P-1 is classified as very high, while in P-2 and P-3 are classified as low and very low. Total-N and organic-C on three samples are low to very low. Available-P on three profiles are high to very high.

Variability of the three soil profile’s were caused by parent material as well as by potition of slope. P-1, P-2, and P-3 are classified in soil family category as Typic Peleudalf, very fine, compound, active, isohyperthermic; Typic Dystrudept, very fine, compound, active, isohyperthermic; and Typic Hapludult, very fine, compound, semi-active, isohyperthermic. Soils from each profile location could support teak tree growth, the best plant growth is found on P-1, then P-3 and P-2. Trunk diameter of harvesting plant is classified as low category. Soil from limestone sediment which has high pH and base saturation could give better growth for JUN teak tree.

(6)
(7)

JATI UNGGUL NUSANTARA

(

Tectona grandis

L.F.)

DI CIBUNGBULANG, KABUPATEN BOGOR

AKHMAD MEDIRANTO

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

(8)
(9)

Nama : Akhmad Mediranto

NIM : A14080095

Disetujui oleh

Dr Ir Widiatmaka, DAA Ir Hermanu Widjaja, M.Sc

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Baba Barus, M.Sc Ketua Departemen

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini telah berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak November 2012 sampai September 2013 adalah klasifikasi tanah dan pertumbuhan tanaman

dengan judul “Klasifikasi Tanah pada Transek Lereng dan Kaitannya dengan Pertumbuhan Tanaman Jati Unggul Nusantara (Tectona grandis L.F.) di Cibungbulang, Kabupaten Bogor”.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA dan Ir Hermanu Widjaja, MSc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan selama penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. R.A. Dyah Tj. Suryaningtyas, M.Appl.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi.

3. Ibu, ayah, adik, Dini Rosdianingsih, dan seluruh keluarga besar atas doa dan kasih sayangnya.

4. Teman-teman PANJEN, AZIMUTH, dan MSL angkatan 45 atas perjuangan dan kebersamaannya.

5. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis sangat menghargai segala bentuk saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Juli 2014

(11)

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

BAHAN DAN METODE 5

Waktu dan Lokasi Penelitian 5

Bahan 5

Alat 5

Tahapan penelitian 5

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Sifat Morfologi Tanah 10

Sifat Fisik Tanah 11

Sifat Kimia Tanah 16

Klasifikasi Tanah 20

Tanaman jati 22

Hubungan antara Pertumbuhan Jati dan Sifat-sifat Tanah 24

SIMPULAN DAN SARAN 27

Simpulan 27

Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 28

LAMPIRAN 31

(12)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan metode analisis tanah 6

2 Rata-rata suhu udara dan suhu tanah tahun 2004-2008 9 3 Sifat retensi air tanah pada lokasi penelitian 15 4 Pengukuran rata-rata morfologi tanaman dan hasil statistik 22 5 Penilaian sifat kimia tanah pada lapisan atas 25

DAFTAR GAMBAR

1 JUN umur 1 tahun pada lokasi penelitian 4

2 Peta keadaan sekitar lokasi penelitian 7

3 Peta geologi lokasi penelitian 8

4 Skema transek lereng dan perkembangan tanah 10

5 Sebaran klei pada ketiga profil 12

6 Perbandingan bobot isi dan porositas pada lokasi penelitian 13

7 Permeabilitas pada lokasi penelitian 13

8 Kurva pF pada lokasi penelitian, (a) kurva pF P-1; (b) kurva pF P-2; (c) kurva pF P-3

14

9 Sebaran pH pada ketiga profil 17

10 Sebaran Al-dd dan H-dd pada ketiga profil 17

11 Hubungan kadar klei dan KTK 18

12 Sebaran bahan organik pada ketiga profil 19

13 Hubungan kadar BO dan KTK 19

14 Perbandingan (a) tinggi total dan (b) diameter setinggi dada, 5 pohon terbaik pada ketiga profil

24

15 Perbandingan (a) tinggi total dan (b) diameter setinggi dada, 5 pohon terjelek pada ketiga profil

24

16 Hubungan pH terhadap tinggi total, (a) lapisan atas; (b) lapisan bawah 26 17 Hubungan KB terhadap tinggi total, (a) lapisan atas; (b) lapisan bawah 26 18 Hubungan pH terhadap rata-rata tinggi total serta nilai maksimal dan

nilai minimal, (a) lapisan atas; (b) lapisan bawah

26

19 Hubungan KB terhadap rata-rata tinggi total serta nilai maksimal dan nilai minimal, (a) lapisan atas; (b) lapisan bawah

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Deskripsi profil tanah 31

2 Ringkasan sifat fisik tanah 34

3 Ringkasan sifat kimia tanah 35

4 Kriteria penilaian sifat kimia tanah 37

5 Pengukuran morfologi tanaman jati 38

6 Ringkasan sifat morfologi tanaman jati 44

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanah merupakan tubuh alam yang terdapat pada permukaan bumi. Tanah terbentuk dari bahan induk yang mengalami proses pelapukan akibat pengaruh iklim dan organisme pada suatu topografi dalam jangka waktu tertentu. Tanah mempunyai sistem tiga fase yaitu padat, cair, dan gas yang bersifat dinamis dan selalu dalam kondisi seimbang. Jenny (1941) dalam Hardjowigeno (2003) menyatakan faktor pembentuk tanah yang terpenting ada lima yaitu:

T (tanah) = f (i,o,b, t, w)

dimana i = iklim, o = organisme, b = bahan induk , t = topografi, dan w = waktu. Tanah beragam dari suatu tempat ke tempat yang lain. Perbedaan ini dicirikan oleh karakteristik tanah secara vertikal maupun horizontal. Karakteristik tanah dapat dilihat secara vertikal dalam suatu profil tanah atau lebih dikenal sebagai konsep pedon (Soil Survey Staff 2010). Setiap tanah yang terbentuk dapat diklasifikasikan dengan suatu sistem klasifikasi tanah. Klasifikasi ini didasarkan pada data penelitian di lapang dan laboratorium.

Usaha pertanian tidak lepas dari tanah sebagai media untuk mendukung pertumbuhan tanaman diatasnya. Tanah merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, untuk itu diperlukan pengetahuan tentang sifat fisik, kimia, dan biologi tanah karena setiap jenis tanah mempunyai tingkat kesuburan yang berbeda-beda. Pengelolaan tanah yang baik ditentukan oleh sifat-sifat tanah dan lingkungannya agar tanah dapat digunakan sesuai dengan tingkat kemampuan dan kesesuaian suatu lahan.

Laju pembangunan semakin cepat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk membuat kebutuhan masyarakat akan produk pertanian semakin meningkat, salah satunya ialah kayu jati yang berasal dari tanaman Jati (Tectona grandis L.F.). Dewasa ini banyak pengembangan varietas jati hasil kultur jaringan agar dapat dipanen lebih cepat daripada jati konvensional. Salah satu varietas yang dikembangkan adalah Jati Unggul Nusantara (JUN). Kayu jati unggul banyak digunakan untuk furniture karena kualitas kayu yang baik dan kuat. Permintaan yang semakin banyak terhadap hasil olahan kayu tersebut membuat upaya peningkatan produksi tanaman jati unggul menjadi hal yang penting.

Oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang hubungan antara tanah dan tanaman khususnya tanaman jati. Tanaman jati biasa ditanam pada tanah-tanah berkapur dengan pH agak masam-netral, memiliki solum yang dalam, berdrainase baik, dan memiliki musim kemarau yang jelas. Dewasa ini tanaman jati sudah mulai dibudidayakan di banyak tempat, termasuk di tanah-tanah masam dengan curah hujan yang tinggi terutama jati varietas unggul.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

(16)

2. Mempelajari hubungan antara sifat-sifat tanah yang terbentuk dengan pertumbuhan tanaman jati varietas JUN.

TINJAUAN PUSTAKA

Proses dan Faktor Pembentuk Tanah

Tanah adalah benda alam yang mempunyai bahan padat (bahan mineral dan bahan organik), air, dan udara yang ditemukan di permukaan bumi. Tanah dicirikan oleh horison-horison atau lapisan tanah sebagai hasil dari proses pembentukan tanah yang berupa penambahan, pengurangan, pemindahan, perubahan bentuk (transformasi) energi dan bahan-bahan serta mempunyai kemampuan menopang pertumbuhan dan perakaran tanaman dalam lingkungan alami (Hardjowigeno 2003). Ilmu yang mempelajari proses-proses pembentukan tanah beserta faktor-faktor pembentukannya, klasifikasi tanah, survei tanah, dan cara-cara pengamatan tanah dilapangan disebut pedology. Sedangkan ilmu yang mempelajari sifat-sifat tanah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman serta usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah bagi pertumbuhan tanaman seperti pemupukan, pengapuran, dan lain-lain disebut edaphology (Harjowigeno 2007).

Proses pembentukan tanah dimulai dari proses pelapukan batuan induk menjadi bahan induk tanah, diikuti oleh proses pencampuran bahan organik dengan bahan mineral di permukaan tanah, pembentukan struktur tanah, pemindahan bahan-bahan tanah dari bagian atas tanah ke bagian bawah, dan berbagai proses lain yang dapat menghasilkan horison-horison tanah (Hardjowigeno 2007). Pembentukan tersebut dipengaruhi oleh lima faktor yaitu iklim, organisme, bahan induk, topografi, dan waktu. Tanah yang terbentuk dari bahan induk batuan sedimen dan batuan volkanik biasanya terdapat horison penimbunan klei dan bisa termasuk ke dalam horison argilik. Makalew (2006) menyatakan karakteristik tanah yang terbentuk dari horison penimbunan klei berbeda-beda dari setiap jenis bahan induk, baik yang berupa batuan sedimen maupun batuan volkanik. Pada bahan induk tersebut dapat terbentuk tanah dengan ordo Alfisol, Inceptisol, dan Ultisol yang merupakan tanah dengan ciri penimbunan klei.

Hubungan Lereng Terhadap Sifat-sifat Tanah

(17)

Klasifikasi Tanah

Klasifikasi tanah dimaksudkan untuk pengkelasan jenis tanah. Tujuan klasifikasi tanah menurut Buol et al. (1980) dalam Rachim dan Arifin (2011) adalah:

1. Menata atau mengorganisasi pengetahuan tentang tanah. 2. Memudahkan mengingat-ingat sifat dan prilaku tanah. 3. Mengetahui hubungan antar individu tanah.

4. Mengelompokkan tanah untuk tujuan yang lebih praktis , antara lain menaksir sifat-sifat dan produktivitasnya, menentukan lahan yang buruk, baik, atau terbaik; menentukan areal untuk penelitian atau kemungkinan ekstrapolasi hasil penelitian di tempat lain, dll.

5. Mempelajari hubungan dan sifat tanah baru.

Salah satu sistem klasifikasi tanah yang telah dikembangkan Amerika Serikat dikenal dengan nama Soil Taxonomy yang berkembang dari tahun 1975-sekarang (Soil Survey Staff 2010). Sistem klasifikasi ini menggunakan enam kategori, yaitu: ordo, subordo, greatgroup, subgroup, family, dan seri. Sistem klasifikasi ini memberikan penamaan tanah berdasarkan sifat utama dari tanah tersebut. Terdapat 12 ordo tanah berdasarkan sistem taksonomi tanah, yaitu: Alfisol, Andisol, Aridisol, Entisol, Gelisol, Histosol, Inceptisol, Mollisol, Oxisol, Spodosol, Ultisol, dan Vertisol.

Tanaman Jati (JUN)

Jati (Tectona grandis L. F.) telah lama dikenal sebagai kayu yang berkualitas dengan kondisi kelas kuat dan kelas awetnya lebih tinggi. Jati banyak dibutuhkan untuk bahan bangunan, bahan furnitur, maupun barang kerajinan. Produk berbahan dasar jati yang tinggi tersebut biasanya mempunyai harga jual yang tinggi. Walaupun harga jualnya yang tinggi, jati tetap banyak dicari. Hal ini dibuktikan dengan kebutuhan jati per tahun terus meningkat. Tanaman jati tumbuh baik pada ketinggian 0-700 mdpl dengan curah hujan antara 1000-1500 mm/tahun, tetapi jati masih tumbuh optimal pada curah hujan <750 mm/tahun atau >3750 mm/tahun. Curah hujan berpengaruh terhadap sifat fisiologis tanaman dan kualitas produksi kayu dimana pada curah hujan yang optimal (memiliki musim basah dan kering yang jelas) tanaman akan menggugurkan daunnya pada musim kemarau dan menghasilkan kayu yang kuat. Sedangkan apabila tumbuh pada kondisi curah hujan yang tinggi maka kualitas kayu akan berkurang (Sumarna 2004). Tanaman jati memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Sub Kelas : Asteridae Subkingdom : Tracheobionta Ordo : Lamiales Super Divisi : Spermatophyta Famili : Lamiaceae Divisi : Magnoliophyta Genus : Tectona

Kelas : Magnoliopsida Spesies : Tectona grandis L. F.

(18)

jati mencapai ketinggian 9-11 m dengan diameter 0,9-1,5 m. Kayu jati terbaik biasanya berasal dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun.

Jati Unggul Nusantara (JUN) adalah salah satu varietas baru dari pohon jati yang dapat dipanen dalam jangka waktu 5 tahun. Sumarni dan Muslich (2008) menyatakan varietas baru ini merupakan hasil penelitian Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Kementerian Kehutanan. JUN adalah hasil kloning dari Jati Plus Perhutani (JPP) yang telah diseleksi selama 70 tahun oleh Perum Perhutani. JUN dibiakkan secara vegetatif dengan stek pucuk dari pohon/klon unggul dari Perum Perhutani yang bersertifikat dengan metode bioteknologi mutakhir.

Gambar 1. JUN umur 1 tahun pada lokasi penelitian (sumber : UBH-KPWN UBH-KPWN (2012) menyatakan berhasil menginduksi perakaran jati menjadi tunggang majemuk sehingga mempunyai beberapa keunggulan yang membuat tanaman akan tumbuh cepat besar, tinggi, lurus, kokoh, dan tidak mudah roboh. Bibit jati ini kemudian dinamakan JUN. JUN umur 2 tahun dapat mencapai tinggi 10 m dan diameter 10 cm sementara umur 5 tahun dapat mencapai tinggi 17,5 m dengan diameter 24 cm. Keunggulan lainnya adalah JUN dapat dipanen pada tahun ke lima dimana kayunya tergolong Kelas Awet III-IV dan Kelas Kuat III. Pemupukan JUN dilakukan dua minggu setelah penanaman dengan pupuk organik dan pupuk kimia yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan. Pemupukan dilakukan secara periodik, minimal 2 kali dalam setahun, sampai tanaman berumur 3 tahun.

Hubungan Tanah Terhadap Tanaman Jati

Tanaman jati tumbuh baik pada tanah dengan tekstur klei, lempung, lempung berpasir, dan klei berpasir, pH tanah 5,5-7.0, memiliki solum yang dalam, dan berdrainase baik (Sumarna 2004). Selanjutnya Mahfudz et al. (2004) menyatakan tanaman jati tidak terlalu terikat pada jenis tanah tertentu, namun idealnya pada tanah alluvial yang banyak mengandung Ca dan P.

(19)

tinggi. Sementara itu menurut PT. Setyamitra Bhaktipersada (2008) JUN dapat tumbuh dengan baik pada lahan yang memiliki ketinggian sampai 400 mdpl, berdrainase baik, pH tanah 6.0-7.5 dan bukan merupakan lahan tergenang. Penggunaan teknologi induksi perakaran menghasilkan akar tunjang majemuk dan akar serabut sehingga JUN menyerap banyak unsur hara dari tanah.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di lapang dan laboratorium. Penelitian lapang dilakukan di Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Analisis sifat fisik dan kimiatanah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari November 2012 sampai September 2013.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: peta rupa bumi daerah penelitian skala 1 : 25.000, peta geologi, data iklim, dan bahan-bahan kimia untuk analisis tanah.

Alat

Alat-alat yang digunakan di lapangan meliputi: cangkul, garpu, pisau lapang, meteran, plastik, label, tali rafia, kartu deskripsi, Munsell Soil Colour Chart, clinometers, kompas, Global Positioning System (GPS), ring sampler, cutter, pita ukur, haga hypsometer, dan lain-lain. Sedangkan alat-alat yang digunakan di laboratorium meliputi: pH meter, Internasional Centrifuge, alat destilasi, buret, spectrophotometer, Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), Preassure Plate Apparatus (pF 1-2,54), Preassure Membran Appratus (pF 4,2), timbangan digital, timbangan, dan lain-lain.

Tahapan Penelitian

Survei Lapangan

(20)

Pengamatan Profil dan Pengambilan Contoh Tanah

Profil tanah dibuat dengan cara menggali tanah dengan dimensi 1,5 m x 1 m dan kedalaman 1 m atau sampai bertemu batuan induk, selanjutnya dilakukan pengeboran dengan bor belgi sampai kedalaman control section tercapai. Pengamatan profil meliputi identifikasi batas-batas horison, kedalaman solum, kedalaman efektif, ada tidaknya epipedon dan horison penciri. Penentuan karakteristik tanah pada setiap horison meliputi warna, tekstur, struktur, konsistensi, kondisi perakaran dan sifat-sifat lain yang terdapat dalam setiap horison.

Pengambilan contoh tanah dilakukan pada setiap profil. Tanah diambil ±1 kg pada setiap horison dan diberi label kemudian dimasukan ke dalam plastik. Selain itu diambil juga contoh tanah utuh menggunakan ring sampler pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm..

Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah

Contoh tanah profil yang sudah diambil kemudian ditumbuk sampai halus sehingga dapat lolos pada ayakan 2 mm dan 0,05 mm. Contoh tanah utuh digunakan untuk analisis sifat fisik tanah sedangkan contoh tanah profil digunakan untuk analisis sifat kimia tanah. Jenis analisis dan metodenya disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Jenis dan metode analisis tanah

Jenis Analisis Metode

Sifat Fisik Tanah*

Bobot Isi Silinder

Tekstur (Pasir, Debu, dan Klei) Pipet

Kadar air (KA) Gravimetri

Permeabilitas Permeabilitas Dalam Keadaan Jenuh

pF Preassure Plate Apparatus Membran Appratus dan Preassure

Sifat Kimia Tanah**

pH H2O, pH KCl pH Meter

C-Organik Walkley and Black

N-total Kjedahl

P-tersedia Bray-1

Kemasaman dapat dipertukarkan (Al-dd dan

H-dd) Titrasi HCl 0.05N, NaOH 0.05N

Kapasitas Tukar Kation (KTK) Ekstrasi N NH4OAc pH 7

Basa-basa dapat dipertukarkan (Basa-dd) K, Na, Ca, dan Mg

Ekstrasi N NH4OAc pH 7 (Spektofotometer dan

AAS)

Kejenuhan Basa (KB) ∑

(21)

Analisis Tanaman

Tanaman jati yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah tanaman jati varietas Jati Unggul Nusantara (JUN). Contoh tanaman diambil sebanyak 50 sampel dari sekitar lokasi profil yang memiliki pertumbuhan optimal. Setelah itu diambil data morfologi tanaman dengan dimensi yang diamati adalah tinggi total (ttot), tinggi bebas cabang (tbc), diameter setinggi mata kaki (Dmk), diameter setinggi dada (Dd), dan proyeksi/lebar tajuk pohon.

Interpretasi Data

Data analisis lapang dan laboratorium digunakan sebagai dasar untuk membuat klasifikasi tanah. Sistem klasifikasi ini yang digunakan adalah taksonomi tanah dengan buku acuan Keys to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff 2010), klasifikasi dibuat sampai kategori family. Penilaian sifat-sifat tanah mengacu kepada kriteria Pusat Penelitian Tanah (PPT 1983). Data hasil analisis tanah kemudian dihubungkan dengan data analisis tanaman untuk melihat kemampuan tumbuh tanaman dengan kondisi tanah disekitarnya.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Daerah di sekitar lokasi penelitian merupakan perbukitan kapur atau lebih dikenal dengan topografi karst yang meliputi kawasan Gunung Kapur Cibadak (GKC). Peta keadaan sekitar lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.

(22)

Hadi et al. (2008) menyatakan secara geografis GKC terletak pada

106°32’0” BB - 106°35’46” BT dan 63°6’0” BB - 65°5’46” BT dengan luas ±42 ha. Batas kawasan sebelah utara: Desa Ciaruten Hilir dan Desa Ciampea; sebelah selatan: Jalur jalan Dramaga-Ciampea-Jasinga, desa Leuwiliang Kolot dan Bojong-Rangkas; sebelah timur: Jalur jalan Bantar Kambing-Ciampea-Jasinga, dan Desa Ciampea; dan sebelah barat: Sungai Ciaruten. Berdasarkan gambaran di atas transek lereng pada ketiga profil merupakan kaki lereng dari perbukitan kapur yang telah ditanami jati. Penggunaan lahan yang teridentifikasi selain tanaman jati yaitu lahan sawah dan hutan.

Topografi

Topografi di sekitar lokasi penelitian teridentifikasi antara landai sampai berbukit dengan kemiringan lereng bervariasi tergantung tempatnya. Pada bagian puncak lereng kemiringan dapat melebihi 45 %. Sedangkan pada bagian kaki lereng kemiringan berkisar antara 8-15 %. Pembuatan profil dilakukan pada bagian kaki lereng yang kemudian dibagi menjadi lereng atas, tengah, dan bawah.

Geologi

Berdasarkan peta geologi lembar Bogor, Jawa Barat (Effendi 1986) daerah penelitian termasuk formasi batu gamping Bojongmanik (Tmbl) dengan umur tersier miosen tengah. Peta geologi lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Peta geologi lokasi penelitian

(23)

Gunung Sundamanik (Qva) yang bersusunan andesit-honblende-piroksen dan porifiritik. Batuan induk yang teridentifikasi yaitu batu kapur atau gamping (limestone) yang tersebar di sekitar lokasi penelitian. Batu gamping memiliki komposisi kaya akan kapur atau kalsium karbonat (CaCO3) yang seringkali tercampur dengan magnesium karbonat (MgCO3). Batu gamping umumnya berasal dari sedimen kapur di dasar lautan yang tersusun oleh berbagai cangkang binatang laut dalam kurun waktu jutaan tahun. Sedimen kapur tersebut terangkat ke permukaan melalui proses tektonik kemudian mengalami proses pelapukan oleh air hujan dan CO2. Walaupun sama-sama berada pada formasi Bojongmanik, bahan induk tanah di lokasi penelitian tidak hanya berasal dari sedimen kapur. Berdasarkan hasil pengamatan terdapat beberapa bahan induk tanah, antara lain sedimen klei yang merupakan bahan endapan tua yang telah diendapkan berjuta-juta tahun. Selain itu terdapat sedimen napal yang merupakan campuran antara batu kapur dan batu klei serta tuff volkan yang berasal dari abu letusan gunung Salak. Keragaman bahan induk tanah mengakibatkan perbedaan tanah yang terbentuk, baik dalam sifat morfologi, fisik, maupun kimia.

Iklim

Menurut Ginandjar (2013) daerah di sekitar lokasi penelitian termasuk beriklim basah dengan curah hujan rata-rata >3000 mm/tahun. Rata-rata suhu udara dan suhu tanah tahun 2004-2008 dijasikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata suhu udara dan suhu tanah tahun 2004-2008*

Bulan Suhu Udara(°C)

a

Suhu Tanah(°C)b Maksimal Minimal Rata-rata

Januari 30,6 22,5 25,5 28,0

Februari 29,9 22,7 25,1 27,6

Maret 31,1 22,8 25,7 28,2

April 31,8 22,9 25,9 28,4

Mei 31,8 22,8 26,1 28,6

Juni 31,5 22,2 25,6 28,1

Juli 31,7 21,7 25,6 28,1

Agustus 31,9 21,5 25,5 28,0

September 32,8 21,7 25,9 28,4

Oktober 32,8 22,3 26,1 28,6

November 32,0 22,7 26,0 28,5

Desember 30,6 22,8 25,6 28,1

Rata-rata Suhu Tahunan

31,5 22,4 25,7 28,2

*sumber: Syakur (2010) Keterangan:

a. Dihitung dari hasil pengamatan stasiun klimatologi Dramaga, Bogor. b. Didapat dari hasil perhitungan metode Van Wembeke (1983) dalam

(24)

Perbedaan suhu rata-rata musim panas dan musim dingin (TS(d-c)) dapat diketahui dengan rumus: (TS(d-c)) = 0,33 x (TAd – TAc), dimana TAd suhu rata-rata musim terpanas dan TAc adalah suhu rata-rata-rata-rata musim terdingin. Berdasarkan hasil pengamatan suhu tanah rata-rata tahunan adalah 28,2 °C. Perbedaan suhu tanah rata-rata musim panas dan musim dingin adalah 3 °C atau kurang dari 5 °C.

Vegetasi

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, daerah di sekitar lokasi penelitian merupakan kebun tanaman jati dengan varietas Jati Unggul Nusantara (JUN). Selain perkebunan jati, di sekitar lokasi penelitian terdapat lahan sawah dan pertambangan kapur Efansyah et al. (2012) menyatakan penanaman JUN di daerah Kabupaten Bogor adalah sebuah model bisnis yang dikembangkan oleh Koperasi Perumahan Wanabhakti Nusantara (UBH-KPWN). Penanaman ini melibatkan investor, pemilik lahan, masyarakat (petani), dan aparat desa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Morfologi Tanah

Sifat morfologi tanah merupakan sifat yang langsung dipelajari di lapangan. Lokasi profil didasarkan pada kondisi tanah, penggunaan lahan, dan topografi.Sifat morfologi diwakili oleh tiga profil yaitu profil ke-1 (P-1) yang terletak di lereng atas, profil ke-2 (P-2) yang terletak di lereng tengah, dan profil ke-3 (P-3) yang terletak di lereng bawah. Perbedaan ketinggian dari P-1 ke P-2 adalah 0,08 m sedangkan antara P-2 ke P-3 adalah 0,09 m. Parameter yang diamati pada setiap profil meliputi batas horison, warna, tekstur lapang, struktur, konsistensi, karat, konkresi, dan kondisi perakaran. Skema transek lereng dan perkembangan tanah disajikan pada Gambar 4, sedangkan deskripsi lengkap setiap profil disajikan pada Lampiran 1.

(25)

Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, ketiga profil mempunyai perbedaan warna yang cukup mencolok terutama di horison A dan B. Horison A pada P-1 memiliki warna yang lebih hitam dan memiliki rekahan-rekahan yang cukup lebar dibandingkan dengan P-2 dan P-3. Sedangkan horison B pada P-1 berwarna coklat kekuningan, P-2 berwarna merah kekuningan, dan P-3 berwarna coklat kemerahan. Warna hitam dan rekahan tersebut mengindikasikan tanah didominasi oleh mineral klei montmorillonit. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mulyanto et al. (2011) warna hitam dan rekahan-rekahan terbentuk terjadi karena tanah didominasi oleh mineral klei montmorillonit sedangkan tanah yang lebih merah didominasi oleh kaolinit.

Tekstur pada ketiga profil didominasi oleh klei. Ketiga profil termasuk dalam tanah dewasa sampai tua karena memiliki solum yang cukup dalam. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya horison eluviasi dan iluviasi terutama penimbunan klei pada horison B. Menurut Hardjowigeno (2007) tanah-tanah tersebut memiliki tingkat perkembangan lanjut dan disebut tanah dewasa sampai tua karena memiliki horison B atau horison penimbunan klei.

Struktur pada ketiga profil pada lapisan atas didominasi oleh granular karena pengaruh pengolahan tanah dan bahan organik. Sedangkan pada lapisan bawah didominasi oleh gumpal bersudut. Konsistensi tanah pada P-1 lapisan atas yaitu agak lekat, agak plastis, dan gembur. Semakin dalam lapisan konsistensi meningkat menjadi lekat, plastis, dan teguh bahkan sangat lekat, sangat plastis, dan sangat teguh. Pada P-2 konsistensi dari lapisan atas ke lapisan bawah meningkat dari lekat, plastis, dan teguh menjadi sangat lekat, sangat plastis, dan sangat teguh. Pada P-3 konsistensi lapisan atas yaitu agak lekat, agak plastis, dan sangat gembur. Pada lapisan ke-3 konsistensi meningkat menjadi sangat lekat, sangat plastis, dan sangat teguh kemudian menurun sampai lapisan ke-7 menjadi lekat, plastis, dan teguh. Pada lapisan ke-8 konsistensi menurun dari lapisan ke-7 menjadi agak lekat, agak plastis, dan agak teguh karena pengaruh bahan induk.

Karat Fe yang berwarna merah terdapat pada P-2. Karat Fe ini terjadi karena tanah berdrainase baik dan selalu lembab pada lapisan bawah sehingga Fe banyak terdapat dalam keadaan oksidatif. Konkresi Mn berwarna hitam dan konkresi Fe berwarna merah terdapat pada P-3 sedangkan pada P-1 dan P-2 tidak teridentifikasi adanya konkresi. Kondisi perakaran efektif pada ketiga profil cukup baik karena akar dapat menembus lapisan olah dan tanaman jati yang tumbuh di sekitar ketiga profil mempunyai tegakan yang baik.

Berdasarkan hasil pengamatan pada P-2 dan P-3 lapisan terakhir sudah teridentifikasi adanya bahan induk. Bahan induk pada P-2 mengandung bahan plintit. Rachim dan Arifin (2011) menyatakan plintit adalah bahan yang kaya besi, miskin humus, bercampur dengan klei, kuarsa, dan mineral lain. Plintit bersifat lunak jika dipotong dengan skop. Setelah pengerasan ireversibel, plintit tidak disebut lagi sebagai plintit tetapi disebut sebagai batu besi (petroferik).

Sifat Fisik Tanah

Tekstur Tanah

(26)

profil didominasi oleh klei. Horison argilik teridentifikasi pada P-1 dan P-3 yang

nilai kleinya meningkat pada horison iluviasi dari horison eluviasi dengan nilai ≥8

%. Rachim dan Arifin (2011) menyatakan horison argilik yaitu horison eluviasi

didalam jarak vertikal ≤30 cm, jika mengandung klei ≥40 % maka horison argilik/iluviasi mengandung klei ≥8 % lebih banyak daripada horison eluviasi.

Selanjutnya menurut Liubana (2008) proses pembentukan horison argilik ini terjadi karena pencucian klei yang diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi dan proses terbentuknya horisonargilik dikenal dengan proses argilasi. Sebaran kadar klei pada ketiga profil disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Sebaran klei pada ketiga profil

Berdasarkan hasil pengamatan, pada P-1 kadar klei meningkat setelah horison argilik dan tidak terjadi penurunan sedangkan pada P-3 kadar klei menurun setelah kadar klei maksimum pada horison argilik. Kadar klei pada P-2 terjadi peningkatan pada lapisan ke-2 dari lapisan ke-1 tetapi belum memenuhi syarat horison argilik. Bahan induk terlihat pada P-3 lapisan ke-8 dengan kadar klei yang rendah sedangkan pada P-2 memiliki kadar klei yang tinggi.

Tekstur dapat menjadi indikator tingkat pelapukan tanah dan mineral. Hardjowigeno (2007) menyatakan mineral-mineral primer umumnya terdapat pada fraksi pasir dan debu sedangkan mineral sekunder terdapat pada fraksi klei. Tingginya klei dan rendahnya pasir serta debu dalam horison B pada ketiga profil mengindikasikan bahwa tanah-tanah di sekitar lokasi penelitian sudah terlapuk lanjut.

Bobot Isi dan Porositas

Bobot isi menunjukan kepadatan tanah yang berarti kemampuan tanah untuk ditembus oleh akar tanaman. Semakin tinggi bobot isi tanah maka semakin sulit akar menembus tanah tersebut. Porositas berbanding terbalik dengan bobot isi tanah. Menurut Brady dan Weil (2008) dalam Siahaan (2011) nilai bobot isi dapat memprediksikan porositas total. Semakin rendah bobot isi maka semakin

70,33 89,94 81,29 81,96 90,79 94,25 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

0 20 40 60 80 100

Ke d al a m an (c m ) Klei (%)

P-1

85,06 92,79 87,71 93,11 90,34 87,92 0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 20 40 60 80 100

Ke d al a m an (c m ) Klei (%)

P-2

72,86 78,90 85,66 83,23 64,11 51,06 67,55 19,8 0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 20 40 60 80 100

(27)

tinggi porositas. Perbandingan bobot isi dan porositas pada lokasi penelitian disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Perbandingan bobot isi dan porositas pada lokasi penelitian Berdasarkan hasil pengamatan, nilai bobot isi lebih rendah pada lapisan 0-20 cm daripada lapisan 0-20-40 cm sehingga tidak teridentifikasi adanya pemadatan tanah. Menurut Hanafiah (2005) bobot isi pada ketiga jenis tanah yang diamati termasuk kedalam kategori ringan. Porositas atau total ruang pori tanah tidak berbeda jauh karena tekstur pada ketiga profil didominasi oleh klei..

Permeabilitas Tanah

Permeabilitas tanah merupakan kemampuan tanah melewatkan atau meneruskan air pada media berpori dalam keadaan jenuh. Permeabilitas dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu tekstur, struktur, porositas, dan bobot isi. Permeabilitas pada lokasi penelitian disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Permeabilitas pada lokasi penelitian

Berdasarkan hasil penelitian nilai permeabilitas tertinggi (4,86 cm/jam) terdapat pada P3 kedalaman 0-20 cm sedangkan nilai terkecil (0 cm/jam atau tidak terukur) terdapat pada P1 20-40, P2 0-20 dan 20-40. Menurut Uhland dan O’neil (1951) dalam BBSDLP (2006) permeabilitas pada lokasi penelitian berkisar

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0,50 0,65 0,80 0,95 1,10 1,25 1,40 1,55 1,70 1,85 2,00

0-20 20-40 0-20 20-40 0-20 20-40

P-1 P-2 P-3

B ob ot Is i (g /c m 3) Bobot Isi Porositas Po ro sita s(% ) 3,55 0,00 4,86

0,00 0,00 0,25

P-1 P-2 P-3

(28)

antara sangat lambat (<0,125 cm/jam) sampai sedang (2,00-6,25 cm/jam). Selanjutnya BBSDLP (2006) menyatakan permeabilitas mungkin mendekati nol apabila tanah didominasi oleh klei.

Nilai permeabilitas pada P-1 dan P-3 lebih tinggi pada lapisan atas daripada lapisan bawah. Hal ini disebabkan karena struktur gembur pada lapisan atas sedangkan pada lapisan bawah kadar klei sangat tinggi dan struktur gumpal/mantap sehingga air yang keluar tidak terukur. Menurut penelitian yang

dilakukan oleh Maro’ah (2011) adanya horison penimbunan klei pada tanah yang

mempunyai horison argilik menyebabkan permeabilitas tanah pada laipsan bawah lebih rendah daripada lapisan atas. Selain itu porositas dari lapisan atas ke lapisan bawah semakin rendah dan tanah dilapisan bawah didominasi oleh pori mikro yang memiliki permeabilitas rendah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Arabia et al. (2012) permeabilitas berbanding terbalik dengan bobot isi sedangkan permeabilitas berbanding lurus dengan porositas.

Kadar Air dan Sifat Retensi Air Tanah

Sifat retensi air tanah adalah kemampuan tanah menahan atau melepaskan air di dalam tanah dari pori-pori tanah. Kondisi ini dipengaruhi oleh tekstur, struktur, dan pori-pori tanah yang meliputi pori mikro (pemegang air) dan pori makro (drainase). Sifat retensi air tanah dapat dinyatakan dalam kurva pF yang merupakan kurva yang menggambarkan hubungan kadar air tanah terhadap nilai tegangan tertentu yang dinyatakan dalam pF atau log tinggi kolom air. Kurva pF pada lokasi penelitian disajikan pada Gambar 8.

(a)

(b)

0 1 2 3 4 5

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

pF

KA (%V)

P1 0-20 P1 20-40

0 1 2 3 4 5

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

pF

KA (%V)

(29)

(c)

Gambar 8. Kurva pF pada lokasi penelitian, (a) kurva pF P-1; (b) kurva pF P-2; (c) kurva pF P-3

Berdasarkan hasil pengamatan kadar air pada pF 1; 2; 2,54; dan 4,2 semakin meningkat dengan bertambahnya bobot isi/kepadatan tanah. Menurut Mualim (2009) dalam Haridjaja et al. (2010) pada kondisi tanah yang lebih padat pergerakan air dalam tanah semakin terhambat sehingga kadar air yang terukur menjadi lebih tinggi. Sifat retensi air tanah seperti distribusi ruang pori, kapasitas lapang, layu permanen, dan air tersedia dapat diukur dengan perhitungan berdasarkan nilai kadar air pada pada pF 1; 2; 2,54; dan 4,2.

Nilai pori drainase sangat cepat (PDSC) adalah selisih dari porositas total (PT) dengan kadar air pF 1, nilai pori drainase cepat (PDC) adalah selisih kadar air pF 1 dengan pF 2, dan nilai pori drainase lambat (PDL) adalah selisih dari pF 2,54 dengan pF 2. Kadar air kapasitas lapang (KAKL) menunjukkan kadar air maksimum yang dapat dipegang oleh tanah pada kondisi tidak terjadi lagi drainase internal di dalam tanah. KAKL dianggap setara dengan nilai tekanan 1/3 atm atau pF 2,54. Kadar air titik layu permanen (KATLP) adalah kandungan air tanah yang paling rendah. Titik layu permanen dianggap sebagai kandungan air tanah yang ditahan oleh tanah dengan kekuatan 15 atm atau pF 4,2. Secara umum pF 4,2 merupakan kekuatan tertinggi akar tanaman untuk dapat menghisap air (Sarief 1989). Sifat retensi air pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Sifat retensi air tanah pada lokasi penelitian

Profil Kedalaman (cm)

PT (%)

Distribusi Ruang Pori

Pori Drainase (%V) Kapasitas Lapang (KAKL) (%V) Layu Permanen (KATLP) (%V) Air Ter-sedia (%V) PDSC (%V) PDC (%V) PDL (%V)

P-1 0-20 64,75 12,54 7,38 6,49 26,41 38,34 28,1 10,24 20-40 62,64 4,29 5,21 7,73 17,23 45,4 28,56 16,84 P-2 0-20 62,84 4,01 5,72 7,32 17,05 45,79 34,38 11,41 20-40 59,59 1,52 2,85 6,99 11,36 48,22 32,64 15,58 P-3 0-20 62,76 15,25 6,5 4,55 26,3 36,45 28,58 7,87

20-40 61,14 7,94 7,72 7,91 23,57 37,56 29,79 7,77

Keterangan: PT = Porositas Total, PDSC = Pori Drainase Sangat Cepat, PDC = Pori Drainase Cepat, PDL = Pori Drainase Lambat

0 1 2 3 4 5

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

pF

KA (%V)

(30)

Berdasarkan hasil perhitungan nilai PDSC tertinggi (12,54 %V) terdapat pada P-1 0-20 cm sedangkan yang terendah (1,52 %V) terdapat pada P2 20-40 cm. Nilai PDSC berbanding lurus dengan nilai permeabilitas tanah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Siahaan (2011) apabila nilai permeabilitas meningkat maka nilai PDSC akan meningkat. Nilai PDC tertinggi (7,72 %V) terdapat pada P-3 20-40 cm sedangkan yang terendah (2,85 %V) terdapat pada P2 20-40 cm. Nilai PDL tertinggi (7,91 %V) terdapat pada P-3 20-40 cm sedangkan yang terendah (4,55 %V) terdapat pada P3 0-20 cm. Menurut LPT (1980) dalam BBSDLP (2006) nilai pori drainase total pada ketiga jenis tanah tergolong kategori tinggi (>15 %V).

Berdasarkan hasil perhitungan ketiga jenis tanah memiliki nilai KAKL yang berkisar antara (35-50 %V). Hal ini berkaitan dengan pengaruh tekstur terhadap proporsi bahan koloidal, ruang pori, dan luas permukaan adsorptive

dimana tanah yang lebih halus (klei) akan lebih banyak kapasitas menyimpan airnya. Nilai KATLP Pada ketiga jenis tanah berkisar antara (25-35 %V). Jika pada kondisi optimum kadar air tanah dibawah KATLP maka akar tidak mampu menghisapnya sehingga tanaman mulai layu dan kemudian mati. Untuk itu diperlukan pengelolaan tanaman agar tetap pada kapasitas lapang terutama saat musim kemarau. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan air tersedia yaitu kadar air yang tersedia bagi tanaman.

Air tersedia merupakan selisih dari pF 2,54 dan pF 4,2. Menurut PPT (1983) pada P-1 dan P-2 nilai air tersedia tergolong kategori sedang-tinggi (10-20 %V) sedangkan pada P-3 tergolong kategori rendah (5-10 %V). Selanjutnya BBSDLP (2006) menyatakan nilai air dipengaruhi oleh tekstur tanah dimana nilainya lebih tinggi pada tanah yang didominasi oleh klei. Nilai air tersedia paling rendah terdapat pada P-3, hal ini dapat dilihat dari garis yang agak tegak antara pF 2,54 dan 4,2. Menurut Nurmi et al. (2009) bentuk kurva seperti garis lurus/linear menunjukkan bahwa air tersedia pada tanah tersebut adalah rendah.

Sifat Kimia Tanah

Reaksi Tanah (pH)

(31)
[image:31.595.104.511.55.842.2]

Gambar 9. Sebaran pH pada ketiga profil

Bahan induk pada lokasi penelitian sangat mempengaruhi nilai pH tanah. Berdasarkan hasil pengamatan, P-1 dengan bahan induk sedimen kapur memiliki nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan P-2 dan P-3 dengan bahan induk sedimen klei. Sementara itu bahan organik pada lapisan atas mempengaruhi nilai pH sehingga nilai pH meningkat. Kondisi ilkim dengan curah hujan yang tinggi mengakibatkan pencucian unsur hara dari lapisan atas ke lapisan bawah semakin intensif sehingga pada lapisan bawah terjadi peningkatan kadar pH.

[image:31.595.113.509.83.323.2]

Sumber kemasaman tanah yang utama adalah Aluminium (Al) dan Hidrogen (H). Sebaran Al-dd dan H-dd pada ketiga profil disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Sebaran Al-dd dan H-dd pada ketiga profil

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Ke d al a m an (c m ) pH

P-1

pH H2O pH KCl 0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Ke d al a m an (c m ) pH

P-2

pH H2O pH KCl 0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 1 2 3 4 5 6

Ke d al a m an (c m ) pH

P-3

pH H2O pH KCl 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

0 1 2 3 4 5 6

Ke d al a m an (c m )

Al dan H (me/100g)

P-1

Al-dd H-dd 0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 4 8 12 16 20

Ke d al a m an (c m )

Al dan H (me/100g)

P-2

Al-dd H-dd 0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ke d al a m an (c m )

Al dan H (me/100g)

P-3

(32)

Proporsi Al dalam tanah dari KTK efektif dapat dikatakan sebagai kejenuhan Al3+. Berdasarkan hasil pengamatan nilai rata-rata kejenuhan Al 1, P-2, dan P-3 pada lapisan atas berturut-turut adalah 13,75 %; 49,04 %; dan 47,50 %. Menurut PPT (1983) nilai kejenuhan Al pada P-2 dan P-3 termasuk kedalam kategori sangat tinggi (>40 %) sehingga perlu pengapuran untuk menetralkan Al agar tidak menjadi racun bagi tanaman dan meningkatkan ketersediaan unsur hara seperti P agar lebih mudah diserap oleh tanaman. Sedangkan nilai kejenuhan Al pada P-1 termasuk kedalam kategori sedang (10-20 %) sehingga perlu sedikit pengapuran.

Kapasitas Tukar Kation (KTK)

KTK adalah banyaknya kation (K+, Na+, Ca2+, Mg2+, Al3+, H+, dll) yang dijerap oleh tanah per satuan berat. Berdasarkan hasil pengamatan, nilai rata-rata KTK pada P-1>P-2>P-3. Nilai KTK pada P-1 dan P-2 tidak terlalu berbeda tetapi nilainya lebih tinggi pada P-1, hal tersebut terjadi karena P-1 didominasi oleh mineral klei monmorillonit. Menurut penelitian yang dilakukan Mulyanto et al. (2011) tingginya nilai KTK disebabkan oleh jenis mineral klei monmorillonit. Sementara itu, tekstur yang didominasi oleh klei mampu menaikan nilai KTK. Pada Umumnya semakin tinggi klei maka semakin tinggi nilai KTK. Hal tersebut terlihat pada P-3 dimana kadar klei 19,83 % memiliki nilai KTK 8,72 me/100g sedangkan kadar klei 83,23 % memiliki nilai KTK 24,71 me/100g. Hubungan antara kadar klei dengan KTK disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Hubungan kadar klei dan KTK

Bahan Organik

Bahan organik dalam tanah terdiri dari bahan organik kasar dan bahan organik halus atau biasa disebut humus. Humus terdiri dari bahan organik halus yang berasal dari hancuran bahan organik kasar serta senyawa-senyawa baru yang terbentuk dari hancuran bahan organik tersebut melalui kegiatan mikroorganisme dalam tanah. Humus merupakan senyawa resisten yang mempunyai daya menahan air dan unsur hara yang tinggi. Sebaran bahan organik pada ketiga profil disajikan pada Gambar 12.

0 10 20 30 40 50 60

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

KT

K

(m

e

/100

g)

Klei (%)

P-1 P-2 P-3

(33)
[image:33.595.115.508.85.317.2]

Gambar 12. Sebaran bahan organik pada ketiga profil

Berdasarkan hasil pengamatan dari ketiga profil bahan organik dari lapisan atas ke lapisan bawah cenderung menurun. Sementara itu, bahan organik pada P-1 dari lapisan ke-1 ke lapisan ke-2 mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena pada lapisan tersebut memiliki sifat vertik sehingga terjadi retakan tanah pada lapisan atas. Buckman dan Brady (1983) menyatakan sifat vertik adalah kondisi saat tanah pada musim kering membentuk retakan yang dalam dan lebar, sehingga sejumlah bahan yang ada di lapisan atas tanah dapat runtuh masuk ke dalam retakan. Proses tersebut menyebabkan kandungan bahan organik pada lapisan bawah lebih besar dari lapisan atas. Lapisan terbawah pada P-2 dan P-3 memiliki kadar bahan organik yang sangat rendah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa lapisan tersebut merupakan lapisan bahan induk yang mulai melapuk.

[image:33.595.112.510.523.761.2]

Bahan organik memberikan pengaruh kepada nilai KTK. Hal tersebut karena KTK memiliki muatan negatif pada permukaannya. Hubungan kadar bahan organik dan KTK disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13. Hubungan kadar BO dan KTK

Berdasarkan gambar diatas pengaruh KTK terlihat pada P-3 dimana kadar bahan organik berbanding lurus dengan nilai KTK. Bahan organik pada lapisan

2,54 3,07 1,09 0,29 0,86 0,94 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

0 1 2 3 4 5

Ke d al a m an (c m ) BO (%)

P-1

0,98 0,44 0,17 0,29 0,16 0,12 0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 1 2 3 4 5

Ke d al a m an (c m ) BO (%)

P-2

1,96 1,45 0,72 0,52 0,37 0,32 0,33 0,16 0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 1 2 3 4 5

Ke d al a m an (c m ) BO (%)

P-3

0 10 20 30 40 50 60

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5

(34)

ke-1 sebesar 1,96 % dan nilai KTK 23,14 me/100g, sedangkan pada lapisan ke-8 memiiliki kadar bahan organik 0,16 % dan nilai KTK 8,72 me/100g. Sedangkan pada P-1 dan P-2 pengaruh bahan organik dengan KTK tidak terlalu terlihat. Menurut Sudarmo (1997) hal ini karena pengaruh bahan organik dengan KTK akan berbeda-beda tergantung jenis mineral klei pada tanah tersebut. Tanah yang memiliki mineral klei campuran, bahan organik kurang memberikan pengaruh terhadap nilai KTK.

C/N Rasio

Kadar bahan organik biasanya terkonsentrasi di lapisan atas. Hal ini sejalan dengan C/N rasio yang tinggi pada lapisan atas daripada lapisan bawah pada ketiga profil. C/N rasio yang tinggi menunjukan tanah relatif belum terlapuk sedangkan C/N rasio yang rendah menunjukan tanah relatif telah melapuk. Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata C/N rasio pada P-1, P-2, dan P-3 berturut-turut adalah 7,60; 3,48; dan 5,66. Menurut PPT (1983) P-2 memiliki C/N rasio yang sangat rendah (<5) sedangkan P-1 dan P-3 memiliki C/N rasio yang rendah (5-10). C/N rasio yang rendah mengindikasikan bahwa tanah yang terbentuk pada lokasi penelitian relatif terlapuk lanjut.

P-tersedia (Fosfor)

P-tersedia adalah P yang bisa diambil oleh tanaman. Faktor utama yang mempengaruhi ketersediaan P dalam tanah adalah pH dan Al sementara ketersediaan P untuk tanaman sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Menurut PPT (1983) Kadar P-tersedia pada ketiga profil tergolong tinggi (11-15 ppm) sampai sangat tinggi (>15 ppm). Berdasarkan hasil pengamatan nilai P-tersedia pada P-1 sangat tinggi. Hal ini karena P-1 memiliki pH netral dan Al-dd yang rendah bahkan ada yang tidak terukur. Sedangkan P-2 dan P-3 memiliki nilai P-tersedia lebih rendah dari P-1 karena pH lebih masam dan Al-dd lebih tinggi.

P-tersedia yang tinggi pada ketiga profil disebabkan oleh bentuk-bentuk P dalam tanah. Rosmarkam dan Yuwono (2002) menyatakan P tersedia pada tanah dalam bentuk anion H2PO4- dan H2PO42-, pada pH 5 hampir tidak ditemukan H2PO42-, dan pada pH 9 tidak terdapat H2PO4-. Selanjutnya Hardjowigeno (2007) menambahkan bahwa P paling mudah diserap tanaman pada pH sekitar netral atau pH 6-7, semakin masam reaksi tanah maka P akan diikat oleh Al dan Fe sehingga tidak bisa digunakan oleh tanaman. Pengikatan/fiksasi P dengan Al disebut varisit Al(OH)2.H2PO4 sedangkan oleh Fe disebut stringit Fe(OH)2.H2PO4.

Klasifikasi Tanah

(35)

pada suatu profil tanah yang diklasifikasikan. Dalam penelitian ini, sifat-sifat pembeda yang dilihat adalah kelas ukuran butir, kelas mineralogi, kelas aktivitas pertukaran kation, dan kelas suhu tanah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pujiati (2000) kelas mineralogi dapat ditentukan dengan nilai KTK klei. Berikut adalah penjabaran klasifikasi tanah berdasarkan sistem taksonomi tanah (Soil Survei Staf 2010).

Epipedon, Horison Penciri, dan Kategori Ordo

Epipedon pada ketiga profil adalah okrik karena terlalu tipis dan tidak dapat dimasukan kedalam salah satu epipedon yang lain. Epipedon okrik ditandai dengan value atau chroma ≥4. Horison penciri bawah pada P-1 dan P-3 adalah argilik. Nilai KB pada control section 125 cm dibawah batas atas horison argilik P-1 >35 % sedangkan P-3 <35 %. Maka dengan demikian tanah pada P-1 tergolong dalam ordo Alfisol sedangkan tanah pada P-3 tergolong dalam ordo Ultisol. Horison penciri pada P-2 adalah kambik yaitu horison B penimbunan klei tetapi belum memenuhi syarat sebagai horison argilik. Maka dengan demikian tanah pada P-2 tergolong dalam ordo Inceptisol.

Kategori Subordo, Greatgroup, dan Subgroup

P-1 tergolong dalam subordo Udalf karena mempunyai rejim kelembaban udik. Pada kategori greatgroup tergolong dalam Paleudalf karena tidak mempunyai kontak densik, litik, atau paralitik di dalam 50 cm permukaan tanah hingga kedalaman 150 cm; dengan bertambahnya kedalaman tidak mempunyai penurunan klei >20 % dari kandungan klei maksimum; dan memiliki horison argilik dengan sifat pada ≥50 % sub horison memiliki hue 7,5 YR atau lebih merah dan kroma 5 atau lebih. Pada kategori subgroup tergolong dalam Typic Paleudalf karena tidak terdapat penyimpangan karakteristik dari Paleudalfs.

P-2 tergolong dalan subordo Udept karena Inceptisol ini mempunyai rejim kelembaban udik (tidak pernah kering kumulatif 90 hari setiap tahun). Pada kategori greatgroup tergolong dalam Dystrudept karena mempunyai kejenuhan basa pada kedalaman 25-100 cm <50 %. Pada kategori subgroup tergolong dalam Typic Dystrudept.

P-3 tergolong dalam Subordo Udult karena Ultisol ini mempunyai rejim kelembaban udik (tidak pernah kering kumulatif 90 hari setiap tahun). Pada kategori greatgroup tergolong dalam Hapludult sedangkan pada kategori subgroup tergolong dalam Typic Hapludult.

Kategori Family

Kelas ukuran butir pada ketiga profil yaitu sangat halus karena

(36)

dengan perbandingan antara %klei terhadap nilai KTK. Secara berturut-turut P-1, P-2, dan P-3 memiliki nilai rata-rata aktivitas pertukaran kation pada horison B sebesar 0,52; 0,49; dan 0,31. Berdasarkan nilai tersebut kelas aktivitas pertukaran kation ketiga profil berturut-turut adalah aktif, aktif dan semiaktif. Kelas suhu tanah pada ketiga profil adalah isohiperterrmik karena mempunyai rata-rata suhu tanah tahunan >22 °C dan perbedaan suhu tanah rata-rata musim hujan dan kemarau <5 °C. Maka dengan demikian P-1, P-2, dan P-3 berturut-turut diklasifikasikan dalam family Typic Paleudalf, sangat halus, campuran, aktif, isohipertermik; Typic Dystrudept, sangat halus, campuran, aktif, isohipertermik; dan Typic Hapludult, sangat halus, campuran, semiaktif, isohipertermik.

Klasifikasi tanah pada ketiga profil yang diamati memiliki ordo yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut selain dipengaruhi oleh bahan induk juga dipengaruhi oleh posisi dalam lereng. Keragaman tanah bisa saja terjadi pada jarak transek yang dekat bahkan dalam bentuk lahan yang sama. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Priyanto (2009) pada jarak pengamatan yang rapat (15-70 m) terdapat variasi sifat-sifat tanah yang sangat tinggi, hal tersebut berpengaruh pada pengklasifikian tanah pada tingkat family. Selanjutnya Wibisono (2011) menyatakan dalam suatu bentuk lahan yang homogen masih dapat dijumpai keragaman karakteristik tanah. Keragaman karakteristik tanah tersebut tercermin dalam perbedaan klasifikasi tanah yang dijumpai. Karakteristik penciri tanah yang sulit diduga dalam bentuk lahan karst yaitu kedalaman solum, sifat vertik, dan tekstur. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dapat dilihat pada P-1, walaupun mempunyai sifat vertik tetapi belum masuk ke dalam syarat ordo vertisol.

Tanaman Jati

Morfologi Tanaman

[image:36.595.87.487.631.726.2]

Pengukuran dilakukan pada tanaman jati varietas JUN yang tumbuh optimal yaitu tanaman yang tumbuh dengan baik dan tidak ada faktor pembatas seperti hama. Masing-masing tanaman yang diukur diasumsikan sama pengelolaannya seperti pemberian pupuk, pestisida, dll. Umur tanaman saat dilakukan pengukuran yaitu ±3 tahun dengan jarak tanam 3 m x 3 m. Pengukuran tanaman dilakukan pada radius ±100 m di sekitar profil agar sifat tanah tidak berbeda saat pengukuran tanaman. Pengukuran rata-rata morfologi tanaman dan hasil statistik disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengukuran rata-rata morfologi tanaman dan hasil statistik

Morfologi Tanaman

Profil

t-hitung Standar Deviasi

P-1 P-2 P-3

Dmk (cm) 13,0204 8,8529 9,4516 0,6953 9,3763

Dd (cm) 9,4719 6,5388 7,2414 0,5857 6,9897

Ttot (m) 11,8527 7,1624 8,5346 0,7848 8,4172

Tbc (m) 5,2875 4,3850 5,1142 0,3569 4,3874

(37)

Berdasarkan hasil pengujian dengan tingkat kepercayaan 95 % untuk diameter setinggi mata kaki (Dmk) berbeda nyata antara P-1 dan P-2 serta antara P-1 dan P-3 tetapi tidak berbeda nyata antara P-2 dan P-3. Untuk diameter setinggi dada (Dd) berbeda nyata antara P-1, P-2, dan P-3. Untuk tinggi total (ttot) berbeda nyata antara P-1, P-2, dan P-3. Untuk tinggi bebas cabang (tbc) berbeda nyata antara P-1 dan P-2 serta P-2 dan P-3 tetapi tidak berbeda nyata antara P-1 dan P-3. Untuk lebar tajuk berbeda nyata antara P-1 dan P-2 serta P-1 dan P-3 tetapi tidak berbeda nyata antara P-2 dan P-3. Proyeksi/lebar tajuk tanaman berbanding lurus dengan laju pertumbuhan. Semakin tinggi laju pertumbuhan maka semakin lebar tajuknya. Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata lebar tajuk paling besar terdapat pada jati di sekitar P-1 dan yang paling kecil ada di P-2. Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa jati yang tumbuh di sekitar P-1 memiliki laju pertumbuhan (dilihat dari tinggi dan diameter) yang paling baik sedangkan laju pertumbuhan paling jelek terdapat pada P-2.

Perbedaan morfologi tanaman jati yang tumbuh di ketiga profil tersebut bisa saja terjadi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Muhran (2013) hasil pengukuran yang dilakukan terhadap tanaman JUN yang berumur 5 tahun dengan jarak tanam 3 m x 3 m menunjukkan bahwa besarnya diameter batang dan tinggi total pohon bervariasi dengan diameter 6,69-26,43 cm dengan rata-rata 14,45 cm dan tinggi 6,5-13,0 m dengan rata-rata 9,36 m. Hal tersebut mengindikasikan adanya perbedaan lingkungan pada lokasi tumbuh salah satunya adalah perbedaan sifat-sifat tanah.

JUN dapat dipanen setelah umur 5 tahun dan diameter yang dicapai memang tidak sebesar jati konvensional yang ditanam 25-30 tahun. Kartiman (2013) menyatakan harga kayu jati paling utama dihitung berdasarkan bentuk kayu bulat (bagian batang yang terbentuk bundar memanjang dari pohon jati) yang ditentukan oleh diameter dan mutu kayu. Besarnya diameter sortimen kayu bundar kecil (KBK-A1) adalah 4-19 cm. Berdasarkan hasil Pengamatan dengan rata-rata pertumbuhan diameter 2,58 cm per tahun maka JUN pada saat umur 5 tahun dapat dipanen dengan kualitas KBK-A1 dengan rata-rata diameter setinggi dada antara 12,40-14,63 cm.

Muhran (2013) menyatakan tanaman JUN umur 5 tahun termasuk kedalam kayu Kelas Kuat IV (PKKI-N15 1961) dengan rata-rata berat jenis (BJ) kayu sebesar 0,36. Sementara kayu yang dihasilkan belum mencapai fase kayu dewasa atau masih fase kayu juvenil dengan peningkatan nilai panjang serat secara signifikan dari 896.00 μm ke 1228.16 μm dan cenderung berkurangnya nilai kerapatan kayu dari 0.94 g/cm3 ke 0.82 g/cm3. Selanjutnya Anisah dan Siswamartana (2005) dalam Muhran (2013) menyatakan kayu yang masih dalam fase juvenil akan menjadi getas sehingga penggunaannya tidak bisa sebagai bahan konstruksi bangunan.

(38)
[image:38.595.64.483.70.760.2]

(a) (b)

Gambar 14. Perbandingan (a) tinggi total dan (b) diameter setinggi dada, 5 pohon terbaik pada ketiga profil

(a) (b)

Gambar 15. Perbandingan (a) tinggi total dan (b) diameter setinggi dada, 5 pohon terjelek pada ketiga profil

Berdasarkan hasil pengamatan tanaman baik yang terbaik maupun yang terjelek, pohon jati pada P-1 mempunyai nilai tinggi total dan diameter setinggi dada yang paling tinggi lalu diikuti P-3 dan P-2. Pertumbuhan yang paling baik umumnya terletak di lereng bawah karena mendapat limpasan dari lereng di atasnya. Namun dalam penelitian ini, P-1 yang terletak di lereng atas memiliki pertumbuhan yang paling baik. Hal ini mengindikasikan posisi lereng tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Dengan faktor pembatas pertumbuhan seperti iklim, varietas, pupuk, pestisida, dll yang sama maka perbedaan pertumbuhan disebabkan oleh sifat-sifat tanah yang terbentuk. Sifat-sifat tanah baik Sifat-sifat fisik maupun kimia merupakan faktor yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman dan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Hubungan antara Pertumbuhan Jati dan Sifat-sifat Tanah

Berdasarkan hasil pengamatan sifat fisik tanah seperti solum, bobot isi, porositas, tekstur, permeabilitas, dan sifat retensi air pada ketiga profil sudah

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

1 2 3 4 5

T in ggi T o ta l (m ) Pohon Ke- P-1 P-2 P-3 0 2 4 6 8 10 12 14

1 2 3 4 5

Di ame ter Se ti n ggi Dad a (c m ) Pohon Ke- P-1 P-2 P-3 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

1 2 3 4 5

T inggi T ot al (m ) Pohon Ke- P-1 P-2 P-3 0 2 4 6 8 10 12 14

1 2 3 4 5

(39)

sesuai untuk pertumbuhan tanaman dalam hal memberikan aerasi dan air tersedia yang cukup. Hal ini dapat dilihat dari tanaman jati yang tumbuh baik dan tidak roboh. Sedangkan untuk sifat kimia tanah, penilaian sifat kimia tanah pada lapisan atas disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Penilaian sifat kimia tanah pada lapisan atas (0-30 cm)*

Profil pH Kejenuhan

Al N P K

C-organik KB

P-1

5,5-7.0 Sedang Rendah Tinggi Rendah Rendah Tinggi

P-2 5,2-5,3

Sangat tinggi

Sangat

Rendah Sedang Rendah

Sangat

Rendah Rendah

P-3 5,4-5,5

Sangat

tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah *sumber : PPT (1983)

Berdasarkan penilaian sifat-sifat tersebut, P-1 mempunyai tingkat kesuburan tanah yang lebih tinggi dibandingkan P-2 dan P-3. Purwowidodo (1991) menyatakan unsur hara makro yang penting dalam mendukung pertumbuhan tanaman jati adalah N, P, Ca, dan Mg. Berdasarkan hasil pengamatan pada lapisan atas di ketiga profil, N dan P paling tinggi terdapat pada 1 lalu diikuti 3 dan 2. KB tertinggi terdapat pada 1 lalu diikuti 2 dan P-3. Menurut PT. Setyamitra Bhaktipersada (2008) akar tunggang majemuk JUN menyebabkan tanaman menyerap banyak unsur hara. Oleh karena itu diperlukan pemupukan yang tepat agar tanaman tidak kekurangan unsur hara.

N berfungsi sebagai unsur utama untuk pertumbuhan vegetatif tanaman. Hal ini sangat penting untuk tanaman jati karena apabila kekurangan N maka pertumbuhannya akan terhambat terutama di bagian batang. P berperan dalam proses pembelahan sel, pembentukan bunga, buah, biji, memperkuat batang agar tidak roboh, perkembangan akar, membentuk RNA dan DNA serta menyimpan dan memindahkan energi dalam bentuk ATP dan ADP. Fosfor sangat berpengaruh dalam memaksimalkan pertumbuhan diameter pohon. Ca berperan sebagai komponen dinding sel dalam pembentukan struktur dan permeabilitas membran sel. Kekurangan Ca dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman terhenti akibat terganggunya pembentukan pucuk tanaman dan ujung-ujung akar. Sedangkan Mg berperan sebagai penyusun klorofil, tanpa klorofil proses fotosintesis tidak akan berlangsung serta berperan dalam aktivator enzim. Kekurangan Mg dapat menyebabkan daun menguning kemudian rontok karena pembentukan klorofil pada daun terganggu (Hardjowigeno 2007).

(40)
[image:40.595.42.487.54.724.2]

(a) (b)

Gambar 16. Hubungan pH terhadap tinggi total, (a) lapisan atas; (b) lapisan bawah

(a) (b)

Gambar 17. Hubungan KB terhadap tinggi total, (a) lapisan atas; (b) lapisan bawah

(a) (b)

Gambar 18. Hubungan pH terhadap rata-rata tinggi total serta nilai maksimal dan nilai minimal, (a) lapisan atas; (b) lapisan bawah

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 T in ggi T o ta l (m )

pH Lapisan Atas (0-30 cm) P-1 P-2 P-3 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 T in ggi T o ta l (m )

pH Lapisan Bawah (30-60 cm) P-1 P-2 P-3 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 T inggi T ot al (m )

KB Lapisan Atas (0-30 cm) P-1 P-2 P-3 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 T in ggi T o ta l (m )

KB Lapisan Bawah (30-60 cm) P-1 P-2 P-3

0 20 40 60 80 100

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

5 5,5 6 6,5

Rat a -ra ta Ti n ggi T o ta l (m )

pH Lapisan Atas (0-30 cm) P-1 P-2 P-3 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

5 5,2 5,4 5,6

Rat a -ra ta Ti n ggi to ta l (m )

pH Lapisan Bawah (30-60 cm) P-1 P-2 P-3 5 5,5 6 6,5 5 5,2 5,4 5,6

(41)
[image:41.595.114.510.76.496.2]

(a) (b)

Gambar 19. Hubungan KB terhadap rata-rata tinggi total serta nilai maksimal dan nilai minimal, (a) lapisan atas; (b) lapisan bawah

Berdasarkan hasil pengamatan, nilai pH dan KB pada lapisan atas lebih berpengaruh daripada lapisan bawah. Hal ini karena akar tanaman lebih terkonsentrasi pada lapisan 0-30 cm.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Siswamartana et al.(2012) dalam Muhran (2012) JUN baik ditanam pada tanah aluvial yang banyak mengandung kapur, dengan pH antara 4.5-7.0. Selanjutnya Efansyah et al. (2012) menyatakan pada tanah dengan bahan induk sedimen klei menyatakan rata-rata tinggi bebas cabang JUN umur 3 tahun sebesar 4,74 m. Nilai tersebut setara dengan tinggi bebas cabang pada P-2 dan P-3. Dengan demikian tanah dengan bahan induk sedimen kapur yang mempunyai pH dan KB tinggi mampu memberikan pertumbuhan yang lebih baik bagi tanaman jati varietas JUN.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Tekstur pada ketiga profil didominasi oleh klei. Permeabilitas antara sedang-lambat sehingga ketiga tanah dapat menyimpan air dengan baik. 2. pH tanah P-1 tergolong netral sedangkan P-2 dan P-3 tergolong masam.

KB pada P-1 tergolong sangat tinggi sedangkan P-2 dan P-3 antara sangat rendah. N-total dan C-organik pada ketiga profil tergolong rendah-sangat rendah. P-tersedia pada ketiga profil tergolong tinggi-rendah-sangat tinggi. 3. Keragaman sifat-sifat tanah pada ketiga profil selain dipengaruhi oleh

bahan induk juga dipengaruhi oleh posisi dalam lereng. P-1, P-2, dan P-3 berturut-turut diklasifikasikan dalam family Typic Paleudalf, sangat halus, campuran, aktif, isohipertermik; Typic Dystrudept, sangat halus, campuran, aktif, isohipertermik; dan Typic Hapludult, sangat halus, campuran, semiaktif, isohipertermik.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Rat a -ra ta Ti n ggi T o ta l (m )

KB Lapisan Atas (0-30 cm) P-1 P-2 P-3 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 20 40 60 80 100 120

Ra ta -ra ta Ti n ggi Tot a l (m)

(42)

4. Tanah yang terbentuk dari ketiga profil mampu menopang pertumbuhan jati varietas JUN. Tanaman paling baik tumbuh pada P-1 kemudian diikuti oleh P-3 dan P-2 namun diameter batang yang dihasilkan saat panen masih termasuk kategori rendah. Tanah dengan bahan induk sedimen kapur yang mempunyai pH dan KB tinggi mampu memberikan pertumbuhan yang lebih baik bagi tanaman jati varietas JUN.

Saran

1. Perlu penelitian lanjutan tentang pemetaan tanah dan kesesuaian lahan pada tanaman jati khususnya varietas JUN.

2. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dosis pupuk yang tepat bagi tanaman jati varietas JUN terutama unsur hara seperti N, P, Ca, dan Mg.

DAFTAR PUSTAKA

Arabia T, Zainabun, Royani I. 2012. Karakteristik Tanah Salin Krueng Raya Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Aceh (ID): Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 1, hal 32-42.

[BBSDLP] Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. 2006. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Bogor (ID): Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian.

[BPT] Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis, Analisis Kimia, Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah.

Buckman HO dan Brady NC. 1983. Ilmu Tanah. Terjemahan Prof. Dr. Soegiman. Jakarta (ID): Bhratara Karya Aksara.

Efansyah MN, Bintoro MH, Limbong WH. 2012. Prospek Usaha Bagi Hasil Penanaman Jati Unggul Nusantara. Bogor (ID): Jurnal Manajemen IKM Vol. 7 No. 1, hal 64-73.

Effendi AC. 1986. Peta Geologi Lembar Bogor, Jawa Barat, Skala 1 : 100.000. Bandung (ID): Direktorat Geologi, Departemen Pertambangan.

Ginandjar G. 2013. Aplikasi Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan Jati Unggul Nusantara (JUN) UBH-KPWN di Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Hadi AA, Makalew ADN, Vera DM. 2008. Rencana Penataan Lanskap Gunung Kapur Cibadak untuk Ekowisata di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Jakarta (ID): Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 13 No. 3, hal 182-193.

Gambar

Gambar 1. JUN umur 1 tahun pada lokasi penelitian (sumber : UBH-KPWN
Tabel 1. Jenis dan metode analisis tanah
Gambar 2. Peta keadaan sekitar lokasi penelitian
Gambar 3. Peta geologi lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan dan pembahasannya mengenai pengaruh kepemimpinan kepala sekolah, motivasi kerja dan disiplin kerja terhadap kinerja

169 Berdasarkan konsep tersebut, memang gaya kepemimpinan otoriter tidak bisa dilakukan terutama pada lembaga pendidikan seperti sekolah atau madrasah, karena

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran TBM Rumah Uplik dalam pemberdayaan masyarakat di Desa Pledokan, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang meliputi:

This research will look into the potential of balcony and screen device, in form of jalousie, to introduce daylight into the interior underneath in high- rise buildings

Dengan kata lain, jika dibandingkan dengan iklan pada media cetak audien tidak dapat melihat kembali siaran iklan untuk mengetahui atau mencek kembali informasi yang terdapat

muR Ma;tf cjtpahsh; Njh;T vd;gJ

Perlindungan tangan : Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian

Bahaya penghirupan Berdasarkan data yang tersedia, kriteria klasifikasi tidak terpenuhi. Informasi lebih lanjut Complete toxicity data are not available for this