• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Gula di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Gula di Indonesia"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

IMPOR GULA DI INDONESIA

NOVIA TRISNAWULAN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Gula di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

NOVIA TRISNAWULAN. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Gula di Indonesia. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM.

Impor gula yang tinggi dapat menyebabkan ketergantungan impor yang akan merugikan industri gula domestik. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perkembangan kondisi pergulaan di Indonesia, mengukur rasio ketergantungan impor gula beserta faktor-faktor yang memengaruhi impor gula dalam jangka panjang. Metode yang digunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM). Data yang digunakan adalah data time series tahunan periode 1980 hingga 2012. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi gula terus mengalami peningkatan dengan laju 3.82 persen per tahun sementara produksi mengalami pasang surut dengan pertumbuhan sebesar 2.06 persen per tahun dan impor terus berfluktuasi dengan laju 6.86 persen per tahun selama periode 1980-2012. Rasio ketergantungan impor gula Indonesia masih cukup tinggi dengan nilai rata-rata sebesar 26 persen per tahun. Berdasarkan pengujian VECM, variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap impor gula adalah produksi domestik, konsumsi domestik, harga gula domestik, harga gula internasional, nilai tukar dan tarif impor gula. Sementara itu variabel luas areal tanam tebu tidak berpengaruh secara signifikan terhadap impor gula baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Kata kunci: impor gula, rasio ketergantungan impor, VECM

ABSTRACT

NOVIA TRISNAWULAN. Factors Analysis that Affect the Import of Sugar in Indonesia. Supervised by DEDI BUDIMAN HAKIM.

High sugar imports lead to import dependence that affects the domestic sugar industry. The purpose of this study is to analyze the development of the sugar industry conditions in Indonesia, measure the sugar import dependency ratio and factors that affect the import of sugar in the long run. This study uses the Vector Error Correction Model (VECM), and annual time series data from 1980 to 2012. The results of this study shows that sugar consumption increasing 3.82 percent per year while the production growth of ups and downs with 2.06 percent per year and imports continued to fluctuate with 6.86 percent per year during the period 1980-2012. Indonesian sugar import dependency ratio is still quite high with an average value of 26 percent per year. Based on VECM test, variables that significantly affect the sugar import are domestic production, domestic consumption, domestic sugar prices, international sugar prices, exchange rates and import tariffs on sugar. Meanwhile sugarcane planting area variable does not significantly affect the import of sugar in both the short and long term.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

IMPOR GULA PASIR DI INDONESIA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

(6)
(7)

Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Gula di Indonesia Nama : Novia Trisnawulan

NIM : H14100087

Disetujui oleh

Dedi Budiman Hakim, Ph.D. Pembimbing

Diketahui oleh

Dedi Budiman Hakim, Ph.D. Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah perdagangan lebih khususnya mengenai impor, dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Gula di Indonesia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orangtua tercinta, Bapak Asnip Hidayat dan Ibu Idar Darsiti serta kakak dan adik tersayang, Ence Sanjaya, Lilis Nurhayati dan Meliani Fatimah yang senantiasa selalu memberikan doa dan dukungan kepada penulis. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dedi Budiman Hakim, Ph.D. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta waktu yang diluangkan selama proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Sahara, Ph.D. selaku dosen penguji utama yang telah memberikan kritik

dan saran untuk perbaikan skripsi ini.

3. Widyastutik, M.Si. selaku dosen penguji Komisi Pendidikan yang telah memberikan saran mengenai tata cara penulisan yang baik dan benar. 4. Seluruh staf dan pengajar Departemen Ilmu Ekonomi atas kerjasama dan

bantuannya selama penulis menuntut ilmu di IPB.

5. Bagas Wicaksono, yang selalu memberikan doa, semangat dan dukungannya.

6. Sahabat penulis: Dara, Elli, Tiko, Hani, AR, Ria, Dian, Lala, Silvi, Nanda dan Egi.

7. Rekan-rekan sebimbingan: Pradila M, Tri Arifin D, Anisa Karima dan Rizky A.

8. Keluarga besar kosan WH: Sisil, Childa, Rita, Deby, Evi, Siti, Nurul, Lili, Dina, Novi, Atik, Ita, Irsa dan Silmi.

9. Keluarga besar IE 47 yang selama ini telah bersama-sama menuntut ilmu di IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

Hipotesis Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA

Perdagangan Internasional 6

Dampak Positif dan Negatif Impor bagi Negara Importir 7

Hambatan Perdagangan Internasional 8

Dampak Kebijakan Tarif di Negara Importir 9

Penelitian Terdahulu 10

Kerangka Pemikiran 12

METODE

Jenis dan Sumber Data 14

Metode Analisis Data 14

Model Penelitian 19

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Pergulaan di Indonesia 19

Rasio Ketergantungan Impor Gula Indonesia 25

Uji Pra Estimasi 26

Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Gula di Indonesia dalam

Jangka Panjang 29

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 35

Saran 35

DAFTAR PUSTAKA 36

LAMPIRAN 38

(10)

DAFTAR TABEL

1 Produksi, Luas Lahan, Produktivitas dan Rendemen Gula Nasional Tahun

2000-2012 2

2 Analisis Dampak Pemberlakuan Impor bagi Negara Importir 8 3 Provinsi Sentra Produksi Tebu di Indonesia Tahun 2008-2012 21 4 Tarif Bea Masuk Gula Pasir Tahun 1974-2012 25 5 Rasio Ketergantungan Impor Gula Indonesia Tahun 1980-2012 26

6 Hasil Uji Stasioneritas Data 27

7 Hasil Pengujian Lag Optimum 27

8 Hasil Uji Stabilitas VAR 28

9 Hasil Uji Kausalitas Granger Variabel 28

10 Hasil Johansen Cointegration Test 29

11 Hasil Estimasi Model VECM Jangka Pendek 30

12 Hasil Estimasi Model VECM Jangka Panjang 30

DAFTAR GAMBAR

1 Produksi, Konsumsi, dan Impor Gula di Indonesia Tahun 2000-2012 3 2 Analisis Kesetimbangan Parsial atas Harga Kesetimbangan Relatif

suatu Komoditas 7

3 Perdagangan Internasional di Negara Importir 8 4 Dampak Pemberlakuan Tarif di Negara Importir 10

5 Kerangka Pemikiran Penelitian 13

6 Perkembangan Produksi dan Luas Areal Tebu di Indonesia Tahun

1980-2012 20

7 Perkembangan Konsumsi Gula di Indonesia Tahun 1980-2012 22 8 Perkembangan Harga Gula Domestik dan Internasional Tahun 1980-2012 23 9 Perkembangan Impor Gula Indonesia Tahun 1980-2012 24 10 Efek Guncangan HGI dan HGD terhadap Impor Gula 32 11 Efek Guncangan Tarif dan Nilai Tukar terhadap Impor Gula 33 12 Efek Guncangan Konsumsi dan Luas Lahan terhadap Impor Gula 33 13 Efek Guncangan Produksi terhadap Impor Gula 34 14 Persentase Kontribusi LnHGI, LnHGD, TRF, LnEXR, LnKONS, LnARL

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji Stasioneritas Data 38

2 Uji Lag Optimum 43

3 Uji Stabilitas VAR 44

4 Uji Kausalitas Granger 44

5 Uji Kointegrasi 46

6 Hasil Estimasi Model VECM 47

7 Hasil Impulse Response Function (IRF) 50

8 Hasil Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) 51

(12)
(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gula merupakan salah satu komoditas yang cukup strategis dan memegang peranan penting di sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan dalam perekonomian nasional karena disamping sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat juga sebagai bahan pangan sumber kalori yang relatif murah. Selain itu juga sebagai sumber pendapatan dan kehidupan jutaan petani yang terlibat langsung dalam sistem industri gula.

Gula juga merupakan bahan pangan di Indonesia yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah karena gula termasuk dalam lima komoditas pertanian untuk pemantapan ketahanan pangan nasional. Lima komoditas tersebut adalah beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Maka dari itu, sesuai Keppres RI Nomor 57 Tahun 2004, gula ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan.

Sebagai salah satu bahan pangan pokok, konsumsi gula selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Ketergantungan konsumen terhadap konsumsi gula cukup besar karena kecil kecenderungan untuk mensubstitusikannya dengan gula buatan atau pemanis lain. Permintaan gula secara nasional akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan pertumbuhan industri pengolahan makanan dan minuman.

Sejarah indusri gula di Indonesia, khususnya di Jawa penuh dengan pasang surut. Pada dekade 1930-an industri gula di Indonesia mencapai puncaknya dengan produksi gula sebesar 3 juta ton dan ekspor gula pernah mencapai sekitar 2.4 juta ton. Pada masa itu terdapat 179 pabrik gula dengan produktivitas mencapai 14.8 persen (Sudana et al.2000).

Pada periode 1994-2004, industri gula Indonesia menghadapi berbagai masalah yang signifikan. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat, dari 194 ribu ton pada tahun 1986 menjadi 1.348 juta ton pada tahun 2004, atau meningkat dengan laju 11.4 persen per tahun. Pada periode 1994-2004, impor gula meningkat dengan laju 7.8 persen per tahun. Hal ini terjadi karena ketika konsumsi terus meningkat dengan laju 1.2 persen per tahun, produksi gula dalam negeri menurun dengan laju –1.8 persen per tahun (Susila 2006).

Berdasarkan laporan Pusdatin Kementerian Pertanian (2013), perkembangan neraca perdagangan gula selama lima tahun terakhir yaitu tahun 2008-2012 menunjukkan posisi defisit, artinya volume dan nilai impor gula lebih besar dibandingkan dengan volume dan nilai ekspornya. Defisit neraca perdagangan gula cenderung semakin naik dari tahun ke tahun terutama pada tahun 2010 dan 2011. Hal ini diduga produksi tahun 2010 dan 2011 lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Defisit neraca perdagangan dari sisi volume naik sebesar 108.73 persen, dimana pertumbuhan volume ekspornya turun sebesar 18.20 persen per tahun sedangkan volume impornya naik sebesar 4.61 persen per tahun.

(14)

2

diantaranya kebijakan stabilisasi (1971-1996), liberalisasi/perdagangan bebas (1997-2001) dan kebijakan pengendalian impor (2002-sekarang) (Susila 2006).

Periode regim stabilisasi (1971-1996) ditandai oleh berbagai kebijakan pemerintah untuk mendorong produksi dalam negeri, stabilitas persediaan dan harga di pasar domestik. Pada periode ini, kebijakan yang diterapkan pemerintah sangat intensif baik pada sisi produksi, distribusi, dan harga. Sebagai langkah awal, pemerintah mengeluarkan Keppres No. 43/1971 yang pada dasarnya memberi wewenang kepada Bulog untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir. SK ini menandai dimulainya peran Bulog sebagai lembaga stabilisator. Pada periode perdagangan bebas/liberalisasi (1997-2002), pemerintah membuka pasar impor Indonesia. Dalam hal ini, pelaku impor dibebaskan, atau tidak dimonopoli oleh Bulog. Era ini merupakan akhir dari peran Bulog sebagai lembaga yang memonopoli impor sekaligus dimulainya era perdagangan bebas untuk gula di pasar Indonesia. Karena tidak ada tarif impor pada periode ini, maka impor gula dilakukan dengan tarif impor 0 persen dan pelaku impor dilakukan oleh perusahaan importir. Akibatnya, impor gula melonjak pesat pada periode ini.

Ketika harga gula domestik terus merosot (tahun 2002) dan industri gula sudah diambang kebangkrutan dan tekanan produsen (PG dan petani) semakin kuat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor dengan membatasi importir hanya menjadi importir produsen dan importir terdaftar. Era ini merupakan era dimulainya regim pengendalian impor. Kebijakan-kebijakan pada periode ini cukup efektif untuk membangkitkan kembali industri gula nasional, walaupun faktor eksternal seperti kenaikan harga gula di pasar internasional juga turut menolong industri gula nasional. Dari sisi luas lahan, dampaknya mulai tampak dan pada tahun 2005 luas lahan mulai meningkat secara signifikan. Perkembangan luas lahan dan produktivitas dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Produksi, luas lahan, produktivitas dan rendemen gula nasional tahun 2000-2012

(15)

3 diatas 2 juta ton. Pada tahun 2008, Indonesia sempat mengalami surplus produksi karena produksinya mencapai angka 2.6 juta ton dan dianggap telah mencukupi konsumsi gula dalam negeri (swasembada gula konsumsi). Namun produktivitas gula nasional masih kurang maksimal, hanya sekitar 6 ton per hektar. Hal ini disebabkan jumlah pabrik gula yang semakin minim dan mesin yang digunakan merupakan mesin tua peninggalan Belanda. Tingkat rendemen gula Indonesia juga masih rendah hanya sekitar 7-9 persen.

Peningkatan produksi ini diharapkan mampu mengurangi jumlah impor gula, namun faktanya jumlah impor gula tetap tinggi bahkan permasalahan yang timbul saat ini adalah semakin banyaknya impor gula ilegal. Gambar 1 menunjukkan bahwa jumlah produksi gula selalu berada di bawah jumlah konsumsi gula. Akibatnya sebagian besar kebutuhan konsumsi yang tidak tercukupi oleh produksi dipenuhi oleh impor. Tahun 2005 dan 2007 terjadi peningkatan produksi namun justru impor yang dilakukan sangat tinggi. Begitu pula pada tahun 2012, impor gula meningkat meskipun terjadi peningkatan produksi.

Kondisi impor yang tetap tinggi akan mengancam ketahanan pangan Indonesia khusunya komoditas gula. Jika impor yang tinggi tetap dibiarkan, hal tersebut dapat menyebabkan ketergantungan yang bertentangan dengan program pemerintah yaitu pencapaian swasembada gula.

Sumber: Pusdatin (2013), diolah

Gambar 1 Produksi, konsumsi, dan impor gula di Indonesia tahun 2000-2012

Perumusan Masalah

Indonesia sebagai negara agraris berpotensi untuk menjadi negara produsen gula, namun kemunduran industri gula menyebabkan Indonesia menjadi importir gula. Impor gula tetap dilakukan oleh pemerintah karena produksi gula dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi gula tersebut. Hal ini karena jumlah penduduk yang semakin meningkat sehingga kebutuhan akan gula juga meningkat baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri makanan dan minuman.

Rata-rata kebutuhan konsumsi gula masyarakat Indonesia adalah sebesar 12 kilogram per kapita per tahun, sementara gula konsumsi yang diproduksi

1000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

000 T

on

Tahun

(16)

4

PTPN hanya 2.1 juta ton per tahun. Jumlah tersebut hanya dapat dinikmati oleh 175 juta penduduk atau hanya memenuhi 70 persen konsumen gula dari sebanyak 250 juta penduduk Indonesia. Ini berarti ada ketidakseimbangan produksi dan konsumsi yang mengharuskan impor untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Adanya gula impor yang masuk ke Indonesia dapat mengurangi daya saing gula lokal dilihat dari segi harga dan kualitas. Dari segi harga, harga gula impor cenderung lebih murah dibandingkan harga gula lokal. Harga gula impor di pasar internasional ditentukan oleh supply dan demand di pasar dunia. Harga gula dunia seringkali mengalami fluktuasi yang tidak menentu akibat kebijakan masing-masing negara produsen maupun pengimpor gula yang umumnya melakukan proteksi terhadap industri gulanya sehingga harga gula terdistorsi. Hal ini berdampak pada harga gula domestik yang ikut berfluktuasi mengikuti dinamika harga internasional. Ketika harga gula internasional rendah, maka peluang impor akan semakin besar. Dari segi kualitas, gula lokal masih kurang bisa bersaing dengan gula impor karena umumnya gula pasir yang dihasilkan petani lokal masih berwarna keruh, sedangkan gula pasir impor berwarna putih bersih.

Meski dalam era perdagangan bebas, pemerintah tetap memberikan proteksi berupa tarif pada komoditas gula karena harganya masih lebih tinggi dibanding harga produk sejenis dari negara lain. Proteksi ini ditujukan untuk melindungi produsen domestik. Kebijakan pemerintah yang tetap memberi tarif terhadap gula nyatanya tidak terlihat dampaknya karena arus impor gula tetap tinggi. Arus impor gula yang tinggi akan menyebabkan ketergantungan yang berdampak buruk pada petani dan industri gula nasional. Hal ini juga bertentangan dengan program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mencapai swasembada gula.

Berdasarkan uraian tersebut maka perumusan masalah yang dapat dikaji dan dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perkembangan produksi, konsumsi, harga gula dan impor di Indonesia periode 1980-2012?

2. Berapa besar rasio ketergantungan impor gula di Indonesia periode 1980-2012?

3. Faktor-faktor apa yang memengaruhi impor gula di Indonesia dalam jangka panjang?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang dijelaskan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis perkembangan produksi, konsumsi, impor dan harga gula di Indonesia periode 1980-2012.

2. Mengukur besar rasio ketergantungan impor gula Indonesia periode 1980-2012.

(17)

5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik bagi penulis maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan. Manfaat yang diharapkan antara lain:

1. Bagi pemerintah atau instansi terkait (regulator) diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan baik dalam perencanaan maupun dalam pengambilan keputusan terkait dengan impor gula Indonesia.

2. Bagi pembaca diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan masukan dalam penelitian-penelitian selanjutnya.

3. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk melatih kemampuan penulis dalam menganalisis masalah dan mengaplikasikan ilmu yang dipelajari selama perkuliahan.

Ruang Lingkup Penelitian

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series tahunan dari tahun 1980 sampai tahun 2012. Data yang digunakan dalam pemodelan ini mencakup luas lahan, produksi gula domestik, konsumsi gula domestik, harga gula domestik, harga gula internasional, nilai tukar rupiah terhadap dolar, dan tarif impor gula. Gula yang dibahas dalam penelitian ini hanya gula kristal putih (GKP) atau gula yang langsung dikonsumsi masyarakat dengan kode HS 1701910000 dan 1701999000.

Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini, hipotesis sementara yang digunakan dalam menentukan faktor-faktor yang memengaruhi impor gula adalah:

1. Luas lahan di Indonesia diduga mempunyai hubungan yang negatif terhadap voume impor gula Indonesia. Semakin tinggi peningkatan luas lahan maka produksi gula domestik akan meningkat dan kebutuhan gula domestik akan terpenuhi sehingga volume impor gula akan berkurang.

2. Produksi gula di Indonesia diduga mempunyai hubungan yang negatif terhadap volume impor gula Indonesia. Semakin tinggi produksi gula domestik maka kebutuhan gula domestik akan terpenuhi sehingga volume impor gula akan berkurang.

3. Konsumsi gula di Indonesia diduga mempunyai hubungan yang positif terhadap volume impor gula Indonesia. Tingginya pertumbuhan penduduk dan pendapatan masyarakat akan semakin meningkatkan konsumsi gula sehingga untuk memenuhi permintaan tersebut volume impor gula akan meningkat.

(18)

6

5. Harga gula internasional diduga mempunyai hubungan yang negatif terhadap volume impor gula. Kenaikan harga gula di pasar internasional akan menyebabkan penurunan volume impor gula.

6. Nilai tukar rupiah terhadap dolar diduga mempunyai hubungan yang negatif terhadap volume impor gula Indonesia. Depresiasi rupiah terhadap nilai mata uang negara asal impor menyebabkan harga gula di negara asal impor menjadi mahal sehingga dengan melemahnya nilai rupiah maka volume impor gula akan menurun.

7. Tarif impor gula diduga mempunyai hubungan yang negatif terhadap volume impor gula Indonesia. Adanya tarif impor akan menyebabkan penurunan volume impor gula.

TINJAUAN PUSTAKA

Perdagangan Internasional

Perdagangan Internasional merupakan kegiatan pertukaran barang dan jasa yang dilakukan suatu negara dengan negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Perdagangan Internasional didorong oleh adanya perbedaan kebutuhan antar negara. Suatu negara dapat memeroleh keuntungan dari perdagangan internasional dengan mengekspor komoditas yang dapat diproduksi di dalam negeri dengan biaya yang lebih rendah dan adanya sumberdaya yang melimpah, serta mengimpor komoditas yang produksinya mengeluarkan biaya lebih besar dan sumberdaya yang langka di negara tersebut (Krugman dan Obstfeld 2004).

(19)

7

Sumber: Salvatore (1997)

Gambar 2 Analisis kesetimbangan parsial atas harga kesetimbangan relatif suatu komoditas

Gambar 2 menunjukkan terjadinya keseimbangan harga relatif di pasar dunia karena adanya perdagangan. Sumbu vertikal menunjukkan harga komoditas (P) sedangkan sumbu horizontal menggambarkan jumlah atau kuantitas komoditas yang diminta maupun ditawarkan (Q). Ketika tidak terjadi perdagangan (autarki), keseimbangan negara A dicapai pada PA = QA sedangkan keseimbangan negara B dicapai pada saat PB = QB. Pada saat harga relatif negara A sebesar PA, harga tersebut berada di bawah harga pasar dunia (Pw) sehingga negara A mengalami kelebihan penawaran. Kelebihan penawaran ditunjukkan oleh kurva ES di pasar dunia. Sementara di negara B, harga relatifnya berada di atas harga pasar dunia sehingga terjadi kelebihan permintaan yang ditunjukkan oleh kurva ED di pasar dunia.

Ketika kedua negara melakukan perdagangan, negara A akan mengekspor kelebihan penawarannya dan negara B akan mengimpor untuk mencukupi permintaan di negaranya. Maka keseimbangan harga yang terjadi di pasar dunia adalah sebesar Pw dan jumlah yang diekspor akan sama dengan jumlah yang diimpor (Qe) dengan asumsi yang melakukan perdagangan hanya dua negara.

Dampak Positif dan Negatif Impor bagi Negara Importir

Di negara importir, adanya kelebihan permintaan suatu komoditas menyebabkan kelangkaan pada komoditas tersebut. Kelangkaan tersebut membuat harga komoditas menjadi lebih mahal jika dibandingkan harga di pasar dunia. Pada saat melakukan perdagangan, harga domestik di negara importir akan bergerak menyesuaikan diri dengan harga dunia yang berlaku sehingga harga domestik akan turun sesuai harga di pasar dunia.

Gambar 3 menunjukkan kondisi di negara importir (Indonesia) dengan menggunakan kurva penawaran (S) dan permintaan (D). Kurva penawaran

Harga (Rp)

Volume Impor (ton)

Negara A (Eksportir)

Pasar Dunia Negara B (Importir)

(20)

8

menggambarkan produksi gula domestik sedangkan kurva permintaan menggambarkan konsumsi gula domestik. Impor yang dilakukan adalah sebesar Qd - Qs.

Sumber: Salvatore (1997)

Gambar 3 Perdagangan internasional di negara importir

Garis vertikal (P) menunjukkan harga gula sedangkan garis horizontal menunjukkan jumlah atau kuantitas gula. Harga gula di tingkat dunia ditunjukkan oleh garis Pw. Sebelum terjadi perdagangan (autarki), surplus produsen adalah sebesar B+C dan surplus konsumen sebesar A. Namun setelah terjadi perdagangan, dimana harga menjadi lebih rendah, surplus produsen kini hanya sebesar C sedangkan surplus konsumen bertambah menjadi A+B+E. Total surplus setelah terjadinya perdagangan adalah sebesar A+B+C+E. Hal ini menunjukkan bahwa pemberlakuan impor gula akan merugikan produsen gula karena harga yang diperoleh lebih rendah dan para produsen kehilangan surplusnya sebesar B. Sebaliknya, dengan adanya impor gula, konsumen merasa diuntungkan karena konsumen dapat membeli dengan harga yang lebih murah sehingga surplus konsumennya bertambah sebesar B+E. Meskipun produsen dirugikan, namun surplus total tetap meningkat karena keuntungan yang diterima konsumen lebih besar dari kerugian yang dialami produsen.

Tabel 2 Analisis dampak pemberlakuan impor bagi negara importir Sebelum

Dalam teori perdagangan internasional, negara yang melakukan perdagangan akan mendapatkan manfaat yaitu dapat meningkatkan kesejahteraan (gains from trade). Namun, dalam pelaksanaannya banyak negara yang menerapkan hambatan dalam perdagangan yang dilakukannya. Menurut Tweetens

(21)

9 (1992), alasan dilakukan hambatan perdagangan adalah untuk kepentingan perekonomian nasional, seperti untuk melindungi dan meningkatkan keamanan nasional, melindungi industri yang baru berdiri (infant industry), meningkatkan pendapatan pemerintah (negara) melalui pengenaan pajak ekspor dan tarif impor, serta menjaga keseimbangan neraca pembayaran (keluar masuk devisa): penghematan devisa.

Hambatan Tarif

Hambatan tarif (tariff barrier) adalah suatu kebijakan proteksionis terhadap barang-barang produksi dalam negeri dari ancaman membanjirnya barang-barang sejenis yang diimpor dari luar negeri. Tarif adalah hambatan perdagangan yang berupa penetapan pajak atas barang impor atau barang-barang dagangan yang melintasi daerah pabean (custom area). Sementara itu, barang-barang yang masuk ke wilayah negara dikenakan bea masuk. Efek kebijakan ini terlihat langsung pada kenaikan harga barang. Dengan pengenaan bea masuk yang besar, pendapatan negara akan meningkat sekaligus membatasi permintaan konsumen terhadap produk impor dan mendorong konsumen menggunakan produk domestik. Ditinjau dari aspek asal komoditi, ada dua macam tarif yaitu:

a. Tarif impor (import tariff), yaitu tarif yang dikenakan terhadap komoditi-komoditi yang masuk ke dalam negeri atau diimpor dari negara lain. Tujuannya untuk melindungi produk dalam negeri. Dengan adanya tarif impor, arus barang-banrang impor akan terkendali.

b. Tarif ekspor (export tariff), yaitu pajak yang dikenakan terhadap komoditi yang akan diekspor ke luar negeri. Tujuannya untuk membatasi ekspor yang berlebihan. Dengan adanya tarif/pajak ekspor, produsen tidak seenaknya mengekspor barang ke luar negeri tapi diusakan untuk mencukupi kebutuhan domestik terlebih dahulu dan sisa kelebihannya dapat diekspor.

Ditinjau dari mekanisme perhitungannya, ada beberapa jenis tarif, yaitu: a. Tarif Ad valorem yaitu bea yang nilainya dinyatakan dalam persentase dari

harga yang dikenakan bea tersebut (% x harga barang). Misalnya, suatu negara memungut tarif 25 persen atas nilai atau harga dari setiap barang yang diimpor. b. Tarif spesifik yaitu bea yang nilainya dinyatakan tiap ukuran fisik dari barang

(Rp/unit). Misalnya, pungutan tiga dolar untuk setiap barel minyak.

c. Tarif spesifik ad valorem, yaitu gabungan antara tarif spesifik dan ad valorem. Misalnya suatu barang tertentu dikenakan 10% tarif ad valorem ditambah Rp 20,00 untuk setiap unit.

Dampak Kebijakan Tarif di Negara Importir

(22)

10

Sumber: Tweetens (1992)

Gambar 4 Dampak pemberlakuan tarif di negara importir

Jika tanpa kebijakan tarif, harga yang berlaku di pasar domestik akan sama dengan harga di pasar dunia (Pw). Pada kondisi ini, jumlah penawaran sebesar Qs1 sedangkan jumlah permintaan sebesar Qd1 sehingga impor yang dilakukan sebesar (Qd1-Qs1). Surplus produsen hanya sebesar F dan surplus konsumen sebesar A+B+C+E+G+H.

Jika pemerintah melakukan kebijakan tarif, maka harga domestik menjadi lebih tinggi (Pd’) dibanding harga pasar dunia (Pw). Pada kondisi ini, jumlah penawaran sebesar Qs2 dan jumlah permintaan sebesar Qd2. Penerimaan pemerintah dari adanya tarif impor ini sebesar C, surplus produsen meningkat menjadi sebesar A+F sedangkan surplus konsumen menurun menjadi sebesar G+H. Dengan adanya kebijakan tarif tersebut, surplus konsumen menjadi lebih kecil jika dibandingkan sebelum kebijakan tarif. Surplus total sebesar A+F+G+H karena ada penerimaan yang hilang (DWL) sebesar B dan E.

Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian mengenai gula telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu seperti peneliti-penelitian tentang permintaan impor gula Indonesia tahun 1980-2003 oleh Dachliani (2006). Penelitian ini melihat variabel yang berpengaruh signifikan terhadap impor gula dari sisi permintaan, sisi penawaran dan sisi harga menggunakan metode analisis Ordinary Least Square (OLS) serta melihat seberapa besar nilai elastisitas setiap variabel. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap impor gula Indonesia adalah variabel produksi dan stok gula dalam negeri (sisi penawaran) serta variabel pendapatan perkapita satu tahun sebelumnya dan

F G

H

S

D P

Pw Pd

Qs1 Qs2 Qd2 Qd1

0

A B C E

Harga (Rp)

(23)

11 variabel konsumsi dalam negeri (sisi permintaan) dengan nilai elastisitas masing-masing secara berurutan sebesar -1.307, -0.500, 1.703 dan 1.665.

Nungsri (2007) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang memengaruhi volume impor gula Indonesia periode 1983-2006. Analisis terhadap faktor-faktor yang memengaruhi volume impor gula dilakukan dengan metode Ordinary Least Square (OLS) menggunakan software Eviews 4-1 serta menggunakan uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi dalam model persamaan yang diuji yaitu produksi gula domestik, populasi, harga gula domestik, nilai tukar, dan dummy tarif impor. Berdasarkan analisisnya diketahui bahwa variabel-variabel tersebut berpengaruh signifikan terhadap impor gula Indonesia. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa populasi dan harga gula domestik memiliki pengaruh positif terhadap impor gula dengan nilai elastisitas masing-masing sebesar 0.349 dan 1.286. Sedangkan variabel produksi gula domestik dan nilai tukar mempunyai pengaruh negatif terhadap impor gula dengan nilai elastisitas sebesar -2.592 dan -1.375, begitu pula dummy tarif berpengaruh negatif pada taraf nyata lima persen.

Aulia et al. (2010) menganalisis permintaan gula pasir di Indonesia periode 1990-2009 dengan menggunakan metode persamaan regresi linear berganda, estimasi Ordinary Least Square (OLS), software Eviews 3.0. Hasil penelitian menyatakan bahwa harga gula domestik berpengaruh negatif terhadap permintaan gula sebesar -0.25 sementara pertumbuhan penduduk dan produk domestik bruto (PDB) berpengaruh positif terhadap permintaan gula masing-masing sebesar 25.99 dan 0.39 dengan taraf nyata lima persen.

Hernanda (2011) melakukan penelitian tentang analisis peramalan tingkat produksi dan konsumsi gula Indonesia dalam mencapai swasembada gula nasional. Data yang digunakan adalah data time series dari tahun 1980 sampai 2010. Pengolahan data menggunakan minitab 14 dengan metode ARIMA untuk meramalkan data produksi dan konsumsi gula nasional, serta software Eviews 6 untuk analisis regresi yang akan menggambarkan hubungan antara variabel dependen (produksi gula) dengan variabel independen (luas areal, produktivitas, rendemen). Hasil peramalan menyatakan bahwa tahun 2011 hingga 2014, Indonesia masih defisit neraca gula sehingga program swasembada gula yang dicanangkan pemerintah tahun 2014 belum bisa tercapai. Dalam penelitian ini juga dilakukan dua skenario kebijakan dalam upaya pencapaian swasembada gula, yaitu: a). Kombinasi peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen tanpa kebijakan penambahan pabrik gula. Hasilnya, luas areal yang harus dicapai adalah 259,577 ha, produktivitas 89.4 ton/ha, rendemen 9.1 persen, b). Kombinasi peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen dengan penambahan pabrik gula baru. Hasilnya, luas areal yang harus dicapai adalah 267,612 ha, produktivitas 89.4 ton/ha, rendemen 8.6 persen.

(24)

12

liberalisasi perdagangan, PDB, populasi, rasio produksi terhadap konsumsi dan nilai tukar.

Kerangka Pemikiran

Indonesia sebagai negara agraris seharusnya mampu untuk mencukupi kebutuhan bahan pokok terutama yang bersumber dari pertanian. Namun, faktanya kebutuhan domestik tidak dapat tercukupi oleh produksi domestiknya. Padahal sebagai salah satu komoditas strategis, gula sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai sumber kalori bagi tubuh dan diperlukan untuk industri makanan dan minuman. Maka dari itu, ketersediaan gula menjadi sangat penting. Faktor yang sangat memengaruhi hasil produksi gula diantaranya adalah luas areal, produktivitas dan rendemen. Luas areal tanam tebu berkurang karena banyak terjadi konversi lahan tebu menjadi perumahan. Tebu yang ditanam masih menggunakan varietas lama sehingga produktivitasnya masih dibawah standar. Sebagian besar tebu yang digunakan adalah tebu keprasan sehingga rendemen tebu rendah. Berkurangnya luas areal serta rendahnya tingkat produktivitas dan rendemen membuat produksi gula juga mengalami penurunan sementara konsumsi terus mengalami peningkatan.

Adanya ketidakseimbangan permintaan dengan produksi menyebabkan pemerintah melakukan kebijakan impor gula. Pemberlakuan impor terasa bertentangan dengan program pemerintah untuk mencapai kemandirian pangan dan kesejahteraan petani melalui swasembada gula. Derasnya arus impor semakin memperlihatkan ketergantungan Indonesia terhadap impor gula. Ketergantungan yang semakin besar menunjukkan daya saing yang rendah terhadap gula domestik. Hal ini akan berpengaruh pada harga gula domestik dan pendapatan petani.

(25)

13

Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian

Indonesia sebagai negara agraris, berpotensi dalam menghasilkan

gula. Produksi gula mengalami peningkatan namun tetap menjadi

importir gula.

Peningkatan IMPOR GULA dapat menyebabkan tidak tercapainya kemandirian pangan (swasembada

gula)

Ketergantungan Impor Gula Faktor-faktor yang Memengaruhi

Impor Gula Indonesia dalam jangka panjang

-Konsumsi gula -Produksi gula -Luas lahan tebu

-Harga eceran gula domestik -Harga eceran gula internasional -Nilai tukar

-Tarif impor gula

Analisis data time series dengan VECM

Rekomendasi strategi kebijakan

(26)

14

METODE

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk deret waktu (time series) dengan periode waktu tahunan, mulai dari tahun 1980 sampai tahun 2012. Data yang diperlukan untuk menunjang penelitian ini mencakup luas areal perkebunan tebu, produksi gula, konsumsi gula, impor gula, harga gula domestik, harga gula internasional, nilai tukar rupiah terhadap dolar, dan tarif impor gula.

Data-data tersebut diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS), Dewan Gula Indonesia (DGI), World Bank, Federal Reserve Economic Data (FRED), literatur dari berbagai jurnal dan internet, serta dari penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian-penelitian yang saat ini dilakukan.

Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan metode kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menjelaskan gambaran perkembangan produksi, konsumsi, impor, dan harga gula di Indonesia. Analisis kualitatif juga digunakan untuk menganalisis ketergantungan impor gula Indonesia. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi impor gula di Indonesia dalam jangka panjang dengan menggunakan model analisis ekonometrika. Model analisis ekonometrika yang dipilih adalah Vector Error Correction Model (VECM).

Jika menggunakan model VAR, semua variabel harus memenuhi syarat stasioner. Apabila syarat itu terpenuhi, model tersebut hanya dapat melihat isu jangka pendek. Untuk memperoleh isu jangka panjang dan jangka pendek, pendekatan alternatifnya adalah model VECM. Dengan kata lain, pendekatan VAR harus dikombinasikan dengan VECM.

(27)

15 Rasio Ketergantungan Impor

Rasio ketergantungan impor atau Import Dependency Ratio (IDR) adalah alat yang digunakan untuk melihat tingkat ketergantungan impor suatu negara terhadap komoditas tertentu. Dengan menganalisis IDR dapat diketahui seberapa besar ketergantungan impor suatu negara terhadap suatu komoditas. Secara matematis, rasio ketergantungan impor dapat dirumuskan sebagai berikut.

���

=

�����

��������+�����−������ x 100 (1)

Semakin besar nilai IDR maka ketergantungan impor negara tersebut terhadap suatu komoditas juga semakin tinggi dan sebaliknya semakin kecil nilai IDR maka ketergantungan impor suatu negara juga semakin rendah.

Vector Autoregressive (VAR)

Vector Autoregressive (VAR) biasanya digunakan untuk memproyeksikan sistem variabel-variabel runtut waktu dan untuk menganalisis dampak dinamis dari faktor gangguan yang terdapat dalam sistem variabel tersebut. Pada dasarnya analisis VAR bisa dipadankan dengan suatu model persamaan simultan, oleh karena analisis VAR mempertimbangkan beberapa variabel endogen secara bersama-sama dalam suatu model. Perbedaannya dengan model persamaan simultan biasa adalah bahwa dalam analisis VAR masing-masing variabel selain diterangkan oleh nilainya di masa lampau, juga dipengaruhi oleh nilai masa lalu dari semua variabel endogen lainnya dalam model yang diamati. Di samping itu, dalam analisis VAR biasanya tidak ada variabel eksogen dalam model tersebut.

Keunggulan dari analisis VAR antara lain (Gujarati 2007):

1. Metode ini sederhana, kita tidak perlu khawatir untuk membedakan mana variabel endogen, mana variabel eksogen;

2. Estimasinya sederhana, dimana metode OLS biasa dapat diaplikasikan pada tiap-tiap persamaan secara terpisah;

3. Hasil perkiraan (forecast) yang diperoleh dengan menggunakan metode ini dalam banyak kasus lebih bagus dibandingkan dengan hasil yang didapat dengan menggunakan model persamaan simultan yang kompleks sekalipun. Selain itu, analisis VAR juga merupakan alat analisis yang sangat berguna, baik di dalam memahami adanya hubungan timbal balik (interrelationship) antara variabel-variabel ekonomi, maupun di dalam pembentukan model ekonomi berstruktur;

4. Karena bekerja berdasarkan data, analisis VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul, termasuk gejala perbedaan palsu (spurious variable) di dalam model ekonometrika konvensional terutama pada persamaan simultan, sehingga menghindari penafsiran yang salah.

Analisis/metode VAR juga memiliki kelemahan, diantaranya:

1. Model VAR lebih menitikberatkan pada peramalan, maka model VAR dianggap kurang cocok untuk analisis kebijakan.

(28)

16

3. Pemilihan banyaknya lag yang diinginkan dalam persamaan dapat menimbulkan permasalahan.

4. Interpretasi koefisien yang didapat berdasarkan model VAR tidak mudah.

Secara garis besar terdapat empat hal yang ingin diperoleh dari pembentukan sebuah sistem persamaan yaitu deskripsi data, peramalan, inferensi struktural dan analisis kebijakan. VAR menyediakan alat analisa bagi keempat hal tersebut melalui empat macam penggunaannya, yaitu:

1. Forecasting, ekstrapolasi nilai saat ini dan masa depan seluruh variabel dengan memanfaatkan seluruh informasi masa lalu variabel.

2. Impulse Response Function (IRF), melacak respon saat ini dan masa depan setiap variabel akibat perubahan atau shock suatu variabel tertentu.

3. Forecast Error Decomposition of Variance (FEDV), prediksi kontribusi persentase varians setiap variabel terhadap perubahan suatu variabel tertentu. 4. Granger Causality Test, mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel.

VAR dapat digunakan apabila data sudah stasioner pada level. Apabila data tidak stasioner pada levelnya, maka data harus ditransformasi (first difference) untuk mendapatkan data yang stasioner. Hubungan jangka panjang hilang dalam transformasi. Untuk tetap mendapatkan hubungan jangka panjang, model VAR akan dimodifikasi menjadi model koreksi kesalahan Vector Error Correction Model (VECM) jika terdapat kointegrasi dalam model.

Vector Error Correction Model (VECM)

Syarat utama dalam analisis time series adalah data harus stasioner. Namun, umumnya data time series bersifat stokastik atau tren yang tidak stasioner, terutama pada level. Maka dilakukan pengujian pada first difference untuk mendapatkan data yang stasioner. Data yang stasioner pada first difference biasanya akan menghilangkan informasi jangka panjang. Oleh karena itu, untuk mengantisipasinya digunakan metode VECM yang terkointegrasi. Jadi, analisis VECM dapat memecahkan persoalan pada data time series yang tidak stasioner yang mengakibatkan terjadinya regresi palsu (spurious regression).

Adapun spesifikasi model VECM secara umum (Firdaus 2011) adalah sebagai berikut:

Yt = vektor yang berisi variabel yang dianalisis dalam penelitian μ0x = vektor intersep

μ1x = vektor koefisien regresi t = time trend

Пx = αx β’ dimana b’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang Yt-1 = variabel in-level

(29)

17 Vektor kointegrasi (β’) menunjukkan hubungan jangka panjang terhadap variabel yang akan dianalisis. Vektor kointegrasi ini dapat ditunjukkan dalam bentuk matriks kointegrasi berdasarkan banyaknya persamaan jangka panjang yang dihasilkan pada pengujian kointegrasi.

Untuk sampai pada analisis VECM terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan. Tahapan-tahapan model VECM adalah sebagai berikut.

1. Uji Stasioneritas Data

Data yang stasioner adalah data yang memiliki kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya (Gujarati 2007). Pengujian stasioneritas data ini menjadi penting bagi analisis time series untuk menghindari hasil regresi yang semu atau meragukan (spurious regression). Namun sebelum dilakukan pengolahan lebih lanjut, variabel dalam bentuk nominal harus dijadikan bentuk riil atau logaritma natural sehingga variabel tidak memiliki satuan. Dengan kata lain, satuannya menjadi seragam dalam bentuk persen.

Metode yang dapat digunakan untuk menguji kestasioneran data dalam penelitian ini adalah metode Augmented Dickey Fuller (ADF). Persamaan umum pengujian akar unit Dickey Fuller (DF) adalah sebagai berikut:

�� = ���−�+�� (3)

Dimana ρ adalah parameter yang akan diestimasi dan ɛt adalah white noise. Jika ρ = 1, maka dikatakan bahwa variabel Yt memiliki akar unit atau data tersebut tidak stasioner.

Hipotesis untuk pengujian ini dapat ditulis dalam bentuk: H0 : ρ = 1, data mengandung akar unit (tidak stasioner) H1 : ρ ≠ 1, data tidak mengandung akar unit (stasioner)

Persamaan (3) dapat dinyatakan dalam bentuk turunan pertama (first difference) dengan mengurangi kedua sisi persamaan dengan Yt-1, yaitu:

�� − ��−� = ���−� − ��−� +�� (4)

∆�� = (� − �)��−�+ �� (5)

∆�� = ���−�+ �� (6)

Hipotesis yang dapat dibentuk dari persamaan diatas adalah: H0 : δ = 1, data mengandung akar unit (tidak stasioner) H1 : δ ≠ 1, data tidak mengandung akar unit (stasioner)

(30)

18

2. Uji Lag Optimum

Uji lag optimum penting dilakukan dalam analisis time series karena uji lanjutan pada VECM sangat sensitif terhadap panjang lag. Panjang lag harus cukup sehingga mampu menangkap dinamika sistem yang akan dimodelkan. Lag yang terlalu panjang akan memperbanyak jumlah parameter yang harus diduga dan akan mengurangi derajat bebas (degree of freedom) yang ada. Penentuan panjang lag optimum dapat diperoleh dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia, yaitu Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SIC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Dalam penelitian ini digunakan Schwarz Information Criterion (SC) untuk menentukan panjang lag optimum. Nilai lag yang optimum adalah nilai kriteria terkecil.

3. Uji Kointegrasi

Kointegrasi dapat diartikan sebagai hubungan linier antar variabel yang tidak stasioner (pada level) namun akan membentuk variabel baru yang stasioner. Uji kointegrasi bertujuan untuk memastikan apakah variabel yang digunakan dalam sistem persamaan mempunyai hubungan jangka panjang. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk melakukan uji kointegrasi adalah Johansen Cointegration Test, Engle-Granger Cointegration Test, dan Cointegration Regression Durbin-Watson Test. Penelitian ini menggunakan uji kointegrasi Johansen dengan membandingkan trace statistic dengan critical value. Jika trace statictic > critical value, maka persamaan tersebut terkointegrasi. Jika terbukti memiliki kointegrasi, maka model VECM dapat digunakan.

4. Uji Stabilitas VAR

Uji stabilitas VAR perlu dilakukan untuk memastikan kevalidan Impulse Response Funtion dan Variance Decomposition. Uji ini dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial (roots of characteristic polynomial). Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada dalam unit circle atau nilai absolutnya kurang dari 1, maka model VAR stabil sehingga IRF beserta FEVD yang dihasilkan dianggap valid.

5. Impulse Response Function (IRF)

Secara umum, koefisien di dalam model VECM sulit untuk diinterpretasikan. Oleh karena itu para ahli menggunakan analisis IRF. Analisis respon impuls digunakan untuk melihat efek gejolak (shock) suatu variabel inovasi terhadap nilai sekarang dan nilai yang akan datang dari variabel-variabel endogen yang terdapat dalam model yang diamati serta melihat seberapa lama gejolak tersebut terjadi.

6. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

(31)

19 Model Penelitian

Model VAR dan VECM yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Model dalam bentuk matriks:

HGIt : Rata-rata harga eceran gula di pasar internasional pada periode ke t (Rp/kg)

HGDt : Rata-rata harga eceran gula di pasar domestik pada periode ke t (Rp/kg)

αij : koefisien lag peubah ke-j untuk persamaan ke-i eit : error term (sisaan)

Penelitian ini akan melihat faktor-faktor yang memengaruhi impor gula Indonesia dalam jangka panjang, sehingga model persamaannya adalah sebagai berikut :

�������� = �0+ ∑�−=11�������−�+ ∑�−�=11��������−�+ ∑�−�=11��������−�+ ∑�−�=11��������−�+ ∑�−�=11���������−�+ ∑��−=11��������−�+∑�−�=11���������−� + ��

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Pergulaan di Indonesia

Produksi Gula di Indonesia

(32)

20

Indonesia menjadi negara pengimpor gula karena produksi mengalami pasang surut dan tidak mampu memenuhi kebutuhan gula dalam negeri.

Sumber : Pusdatin (2013), diolah

Gambar 6 Perkembangan produksi dan luas areal tebu di Indonesia tahun 1980- 2012, ─□─ produksi, ─◊─ luas areal tanam tebu.

Gambar 6 menunjukkan fluktuasi produksi gula di dalam negeri. Pertumbuhan produksi gula selama periode 1980-2012 hanya sebesar 2.06 persen per tahun. Pada tahun 1980-an produksi gula cenderung meningkat secara perlahan dan mencapai produksi tertinggi pada tahun 1987 sebesar 2.17 juta ton. Tahun 1990 sampai 1994, produksi gula dalam negeri juga mengalami peningkatan dan stabil di angka 2 juta ton dengan puncaknya terjadi pada tahun 1994 dengan produksi sebesar 2.45 juta ton. Namun produksi gula turun 30 persen pada tahun 1995 sampai 2003. Krisis gula nasional terjadi tahun 1997/1998 dipicu kebijakan liberalisasi impor gula. Produksi turun drastis dari tahun 1997 sebesar 2.19 juta ton ke angka terendah tahun 1998 yang hanya mencapai 1.48 juta ton. Penyebab utamanya adalah penutupan sejumlah pabrik gula yang dinilai tidak efisien. Selain itu, penurunan produksi juga disebabkan oleh penurunan luas areal tanam tebu, produktivitas dan rendemen (Hernanda 2011).

Luas areal tertinggi dicapai tahun 1996 dengan luasan 446 ribu ha kemudian menurun drastis menjadi 335 ribu ha pada tahun 2003. Hal ini karena banyaknya lahan tebu yang dikonversi menjadi perumahan atau dialihkan untuk menanam komoditas lain. Seiring dengan program pemerintah untuk mencapai swasembada gula tahun 2008, pemerintah berusaha untuk meningkatkan luas areal tebu. Pada tahun 2004, luas areal kembali meningkat dan produksi gula terus mengalami kenaikan hingga mencapai puncaknya pada tahun 2008 sebesar 2.66 juta ton dan mampu mencapai swasembada gula konsumsi. Pada tahun 2010 dan 2011, produksi sempat mengalami penurunan menjadi 2.2 juta ton karena cuaca yang kurang baik. Hujan yang hampir terjadi sepanjang tahun 2010 juga mengakibatkan turunnya rendemen tebu. Dibandingkan dengan negara lain, tingkat rendemen tebu Indonesia sangat rendah, hanya sekitar 8 persen selama 1980-2012 sementara tingkat rendemen negara Brazil, Australia dan Thailand sudah mencapai 13-14 persen (Ginanjar et al. 2012). Hal ini menunjukkan bahwa pabrik gula Indonesia belum efisien.

(33)

21 Produktivitas gula Indonesia juga masih sangat rendah, rata-rata hanya mencapai 6 ton per ha. Rendahnya produktivitas ini selain karena penggunaan varietas bibit tebu yang kurang bagus juga disebabkan karena areal yang digunakan untuk lahan tebu bergeser dari lahan sawah basah ke lahan kering padahal produktivitas gula pasir di lahan sawah lebih tinggi dibandingkan dengan lahan tegalan (Hafsah 2003).

Pemerintah terus melakukan upaya untuk mencapai target swasembada gula tahun 2014. Salah satunya adalah melalui peningkatan produksi di beberapa daerah sentra produksi gula. Produksi tebu/gula hablur nasional hanya diproduksi di 9 (sembilan) provinsi di Indonesia yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Kesembilan provinsi ini memberikan kontribusi sebesar 100 persen terhadap total produksi tebu Indonesia.

Berdasarkan data rata-rata produksi tebu di Indonesia lima tahun terakhir (2008-2012), Jawa Timur merupakan provinsi dengan kontribusi terbesar terhadap total produksi tebu Indonesia yakni sebesar 45.82 persen. Provinsi Lampung merupakan sentra produksi di wilayah Sumatera dengan kontribusi terhadap produksi tebu nasional sebesar 31.46 persen menempati posisi kedua nasional. Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-masing menempati urutan ketiga dan keempat dengan kontribusi masing-masing sebesar 10.84 persen dan 3.90 persen. Kemudian diikuti oleh Sumatera Selatan dengan kontribusi sebesar 3.26 persen, Sumatera Utara sebesar 1.68 persen, Gorontalo sebesar 1.28 persen dan Sulawesi Selatan 1.05 persen. D.I. Yogyakarta merupakan provinsi dengan kontribusi terkecil yang memberikan kontribusinya bagi produksi nasional di Indonesia hanya sebesar 0.71 persen.

Tabel 3 Provinsi sentra produksi tebu di Indonesia tahun 2008-2012

No. Provinsi Produksi (ton) Share

Jumlah 2,668,428 2,517,374 2,290,116 2,267,887 2,438,198 100

Sumber : Pusdatin (2013) Keterangan : *angka sementara

Konsumsi Gula di Indonesia

(34)

22

Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)

Gambar 7 Perkembangan konsumsi gula di Indonesia tahun 1980-2012

Berdasarkan Gambar 7 terlihat bahwa konsumsi gula memiliki tren yang meningkat. Pada tahun 1980, konsumsi gula domestik baru mencapai 1.62 juta ton. Pada tahun 1997, konsumsi melonjak menjadi 3.37 juta ton. Namun, krisis yang melanda Indonesia tahun 1997-1998 menyebabkan konsumsi gula menurun pada tahun 1998 menjadi sebesar 2.73 juta ton. Krisis tersebut membuat harga-harga meningkat sehingga permintaan terhadap gula menurun. Kondisi perekonomian Indonesia mulai pulih dan tahun 2006 konsumsi gula kembali meningkat mencapai 3.76 juta ton, hingga tahun 2009 konsumsi gula domestik mencapai angka 4.85 juta ton. Selama periode 1980-2012, konsumsi gula meningkat dengan laju 3.82 persen per tahun.

Harga Gula di Indonesia

Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, pasar gula Indonesia akan terintegrasi dengan pasar internasional sehingga harga gula dalam negeri akan terpengaruh oleh harga gula dunia. Seperti yang terlihat pada Gambar 8 dibawah ini dimana fluktuasi harga gula domestik mengikuti fluktuasi harga gula dunia. Harga gula dunia yang lebih rendah dibandingkan harga gula domestik mengindikasikan adanya perdagangan yang tidak adil (unfair trade) yang akan memukul industri gula dan petani tebu di Indonesia. Perdagangan yang tidak adil tersebut dilakukan oleh beberapa negara produsen gula sebagai upaya perlindungan terhadap industri gula domestiknya. Bentuk proteksi yang dilakukan negara produsen gula adalah berupa pemberian subsidi untuk sarana produksi dan peralatan pertanian, subsidi ekspor, pemberlakuan tarif impor yang tinggi, dan sebagainya.

Saat krisis tahun 1997, biaya produksi menjadi lebih mahal sehingga harga gula eceran mengalami kenaikan. Tahun 1999, krisis ekonomi mulai mereda, namun harga gula domestik mengalami penurunan yang signifikan disebabkan oleh harga gula dunia yang terus menurun, nilai tukar rupiah menguat, serta tidak ada tarif. Akibatnya harga gula domestik mengalami tekanan yang berdampak pada kerugian petani. Sejak tahun 2001, harga gula kembali meningkat. Lonjakan harga dunia yang tinggi terjadi pada tahun 2009 yang mencapai Rp 4143 per kilogram dari tahun sebelumnya sebesar Rp 2753 per kilogram. Hal ini

(35)

23 berdampak pada peningkatan harga gula domestik di tahun yang sama yaitu Rp 6191 per kilogram pada tahun 2008 menjadi Rp 8205 per kilogram di tahun 2009.

Tingginya harga gula di pasar internasional tahun 2009 disebabkan menurunnya produksi gula dunia. Dalam Jupriansyah (2010) disebutkan bahwa harga gula dunia yang tinggi dipicu oleh kegagalan panen tebu di negara-negara produsen gula. India dilanda kekeringan yang mengakibatkan hilangnya 3 juta ton produksi gula dari target 16-17 juta ton. Selain itu, subsidi di India dikurangi sehingga tadinya negara eksportir berubah menjadi importir. Sementara itu, sepanjang tahun 2009 Brazil dilanda hujan terus-menerus sehingga produksinya menurun. Sebagian tebu di Brazil juga dialihkan menjadi etanol karena mahalnya minyak mentah dunia. Thailand yang juga negara produsen gula, mengurangi subsidi ekspornya sehingga ekspor gula ke dunia mengalami penurunan. Kondisi yang dialami ketiga negara produsen gula tersebut menyebabkan berkurangnya persediaan gula dunia yang akhirnya mengakibatkan harga gula dunia menjadi tinggi dan mendorong harga gula domestik ke tingkat yang tinggi juga.

Harga gula dunia tahun 2012 mengalami penurunan karena terjadi surplus produksi atau surplus gula dunia. Sementara itu harga gula di Indonesia masih bertahan pada level yang tinggi mencapai Rp 11494 per kilogram karena harga tersebut merupakan penyesuaian dari HPP yang ditetapkan pemerintah, harga gula impor dan biaya distribusi.

Sumber: BPS, Kemendag, World Bank (2013), diolah

Gambar 8 Perkembangan harga gula domestik dan internasional tahun 1980-2012

Impor Gula Indonesia

Produksi domestik yang tidak mampu memenuhi konsumsi domestik menjadikan impor sebagai jalan keluar dalam pemenuhan permintaan gula pasir. Impor gula telah dilakukan sejak tahun 1967, dimana sebelum tahun ini Indonesia tidak pernah mengimpor gula karena produksinya mencukupi konsumsi domestik. Bahkan pada masa itu Indonesia merupakan salah satu produsen gula terbesar di dunia. Kini Indonesia menjadi net importir gula dan impor gula meningkat 6.86 persen per tahun selama periode 1980-2012.

0

(36)

24

Sumber: Pusdatin (2013), diolah

Gambar 9 Perkembangan impor gula Indonesia tahun 1980-2012

Tahun 1984, Indonesia disebut pernah mengalami swasembada gula karena semua kebutuhan gula terpenuhi dari produksi domestik. Pada tahun ini juga impor gula berada pada level terendah yaitu hanya sebesar 2,848 ton. Tahun-tahun berikutnya, impor cenderung fluktuatif. Meski ada peningkatan jumlah impor, namun peningkatannya tidak signifikan karena impor yang dilakukan adalah selisih antara konsumsi dengan produksi. Hal ini karena ada peran bulog sebagai lembaga stabilisator yang mengelola impor sehingga jumlah impor masih dalam batas yang wajar.

Sejak diberlakukan perdagangan bebas/liberalisasi tahun 1997, impor gula semakin deras masuk ke Indonesia, terlebih dengan adanya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan no. 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi wewenang monopoli pada Bulog untuk mengimpor komoditas strategis termasuk gula. Selain itu, Indonesia mendapat tekanan dari IMF melalui Letter of Intent (LoI) untuk menyerahkan tataniaga impor gula pada mekanisme pasar. Akibatnya tidak ada tarif impor sehingga impor gula melonjak pesat dan industri gula domestik mengalami kemunduran karena banyaknya gula impor yang lebih murah. Lonjakan impor terlihat dari tahun 1997 sebesar 578 ribu ton naik menjadi 1.53 juta ton pada tahun 2000.

Akan tetapi, impor gula menunjukkan tren yang menurun setelah tahun 2001. Hal ini tidak lepas dari peran pemerintah yang mulai memberlakukan tarif impor gula di Indonesia untuk menekan volume impor gula. Pada awal tahun 2000 pemerintah memberlakukan tarif impor advalorem sebesar 25 persen untuk gula pasir. Namun karena dinilai terlalu rendah dan kurang efektif, tahun 2002 sampai 2004 ditingkatkan menjadi Rp 700 per kilogram (tarif spesifik). Tarif kembali dinaikkan menjadi Rp 790 per kilogram pada tahun 2005 dan tetap berlaku hingga tahun 2008. Secara teori, jika tarif dinaikkan maka impor akan menurun. Namun fakta yang terjadi adalah pada periode tersebut justru terjadi peningkatan volume impor gula. Volume impor tahun 2005, 2006, dan 2007 secara berurutan adalah sebesar 1.9 juta ton, 1.4 juta ton, dan 2.9 juta ton. Tahun 2008 terjadi penurunan impor menjadi sebesar 983 ribu ton karena produksi domestik mengalami peningkatan.

Pada periode 1 Oktober 2009 sampai dengan 30 April 2010, pemerintah menurunkan tarif impor gula pasir menjadi Rp 400 per kilogram untuk memenuhi

(37)

25 kebutuhan persediaan gula akhir tahun dan untuk menstabilkan harga gula domestik. Akhirnya, impor gula kembali meningkat di tahun 2009 dan 2010. Tanggal 1 Mei 2010, pemerintah kembali menaikkan tarif impor gula menjadi Rp 790 per kilogram dan tetap berlaku hingga tahun 2012. Namun, impor justru semakin meningkat, mencapai 2.3 juta ton pada tahun 2012. Peningkatan impor gula di Indonesia sangat dikhawatirkan karena akan muncul ketergantungan terhadap impor. Ketergantungan impor akan semakin menekan posisi pabrik gula domestik yang kurang efisien. Dengan keadaan seperti itu para pelaku pasar akan lebih tertarik untuk memperdagangkan gula impor, sehingga gula domestik semakin terpuruk.

Tabel 4 Tarif bea masuk gula pasir tahun 1974-2012

Tahun Tarif

Oktober 2009 - April 2010 Rp 400/kg

Mei 2010 – 2012 Rp 790/kg

Sumber: Kementerian Keuangan (2013)

Rasio Ketergantungan Impor

Ketergantungan Indonesia terhadap impor gula pada tahun 1980 sampai dengan 2012 ditunjukkan dari nilai Import Dependency Ratio (IDR) atau rasio ketergantungan impor gula yang berkisar antara 0.15 persen hingga 53.13 persen atau rata-rata 26 persen per tahun. Nilai IDR terkecil sebesar 0.15 persen terjadi pada tahun 1984. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan gula dalam negeri yang dipenuhi oleh impor hanya sebesar 0.15 persen. Angka tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa tahun 1984 Indonesia mampu mencukupi kebutuhan domestik dari produksi dalam negeri (swasembada).

Pada tahun-tahun berikutnya, rasio ketergantungan impor cenderung meningkat namun mengalami fluktuasi. Tahun 1994 nilai IDR sebesar 0.62 persen namun tahun 1995 nilai IDR meningkat cukup drastis menjadi sebesar 21.04 persen. Tahun 1996 nilai IDR tetap meningkat kemudian menurun di tahun 1997 dan meningkat kembali pada tahun 1998 dan tahun 2009 nilai IDR mencapai 48.64 persen. Artinya pada tahun 1999, kebutuhan gula domestik dipenuhi oleh gula impor sebesar 48.64 persen sisanya sebesar 51.36 persen dipenuhi oleh produksi domestik. Peningkatan rasio ketergantungan impor tersebut disebabkan karena menurunnya produksi gula domestik sehingga tidak mampu mencukupi permintaan gula. Pada periode ini juga diberlakukan liberalisasi perdagangan sehingga impor yang masuk ke Indonesia semakin tinggi.

(38)

26

sebagian besar kebutuhan gula dalam negeri dipenuhi oleh gula impor. Tahun 2008 nilai IDR menurun menjadi sebesar 26.95 persen. Hal ini terjadi karena produksi gula domestik di tahun 2008 mengalami peningkatan sehingga impor yang dilakukan menurun. Tahun-tahun berikutnya nilai IDR kembali meningkat dengan nilai rata-rata mencapai 45 persen per tahun. Artinya ketergantungan Indonesia terhadap impor gula tetap terjadi dan produksi gula dalam negeri belum mencukupi kebutuhan gula dalam negeri.

Tabel 5 Rasio ketergantungan impor gula Indonesia tahun 1980-2012

Tahun Nilai IDR (%) Tahun Nilai IDR (%) Tahun Nilai IDR (%)

1980 24.14 1991 3.18 2002 35.62

1981 36.95 1992 11.31 2003 37.93

1982 29.70 1993 6.73 2004 35.31

1983 9.40 1994 0.62 2005 46.92

1984 0.16 1995 21.04 2006 40.68

1985 0.23 1996 34.43 2007 53.13

1986 3.81 1997 20.91 2008 26.95

1987 5.63 1998 36.30 2009 35.31

1988 6.10 1999 48.64 2010 50.11

1989 13.37 2000 47.73 2011 47.60

1990 11.70 2001 42.75 2012 47.56

Sumber : Pusdatin (2013), diolah

Uji Pra Estimasi

Hasil Uji Stasioneritas Data

Kestasioneran data merupakan syarat penting untuk mengaplikasikan model deret waktu. Maka langkah pertama dalam mengestimasi model VECM adalah uji stasioneritas data dengan metode Augmented Dickey Fuller (ADF) test. Apabila nilai ADF-statistik lebih kecil dari nilai kritisnya, maka data tersebut stasioner atau tidak memiliki akar unit. Nilai kritis yang dipakai pada penelitian ini adalah 5 persen. Hasil pengujian ini dapat pula dilihat dari probabilitasnya. Data dikatakan stasioner apabila nilai probabilitasnya kurang dari taraf nyata 5 persen.

(39)

27 Tabel 6 Hasil uji stasioneritas data

Variabel LnIMPOR -3.48258 -3.55776 0.0585 -5.7951 -3.56838 0.0003

LnHGI -4.73130 -3.55775 0.0033 -5.3836 -3.56837 0.0007 LnHGD -4.13709 -3.55775 0.0138 -7.3489 -3.56288 0.0000

TRF 0.06801 -1.95168 0.6973 -5.5588 -1.95206 0.0000 LnEXR -1.65880 -3.55776 0.7460 -5.9018 -3.56288 0.0002

LnKONS -4.05792 -3.55775 0.0166 -10.586 -3.56288 0.0000 LnARL -1.61929 -2.95711 0.4614 -4.7652 -2.96041 0.0006

LnPROD -2.45905 -3.55776 0.3447 -6.1189 -3.56288 0.0001 Sumber: Lampiran 1

Keterangan: bercetak tebal menunjukkan variabel stasioner pada taraf nyata 5 persen

Hasil Uji Lag Optimum

Penentuan lag optimum dilihat dari model dengan nilai yang paling kecil, karena panjang lag yang terlalu banyak akan mengurangi derajat bebas. Besarnya lag yang dipilih dalam penelitian ini akan dicari dengan menggunakan Schwarz Information Criterion (SC). Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa nilai SC terkecil terdapat pada lag satu sebesar 1.250460. Dengan demikian, lag yang akan digunakan dalam model sebagai lag optimum adalah lag satu.

Tabel 7 Hasil pengujian lag optimum

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -75.58304 NA 3.04e-08 5.392454 5.762516 5.513085 1 104.2414 255.2347* 1.98e-11 -2.080091 1.250460* -0.994414 2 185.2237 73.14526 1.70e-11* -3.175719* 3.115321 -1.124997* Sumber: Lampiran 2

Keterangan: *lag optimum

Hasil Uji Stabilitas VAR

(40)

28

Tabel 8 Hasil uji stabilitas VAR

Root Modulus

0.981841 0.981841

0.767156 - 0.211705i 0.795832

0.767156 + 0.211705i 0.795832

0.456306 - 0.297893i 0.544936

0.456306 + 0.297893i 0.544936

0.132672 - 0.338849i 0.363896

0.132672 + 0.338849i 0.363896

-0.148131 0.148131

Sumber: Lampiran 3

Hasil Uji Kausalitas Granger

Uji kausalitas granger dilakukan untuk melihat pengaruh yang terjadi antar variabel. Berdasarkan hasil pengujian didapatkan bahwa terjadi kausalitas satu arah dan dua arah. Hubungan satu arah terjadi pada variabel LnHGI dengan LnIMPOR, LnHGD dengan LnIMPOR, LnEXR dengan LnIMPOR, LnKONS dengan LnIMPOR, LnHGD dengan LnHGI, LnEXR dengan LnHGI, LnPROD dengan LnHGI, LnHGD dengan TRF, LnHGI dengan TRF, LnEXR dengan TRF. Hubungan dua arah atau sebab akibat terjadi antara variabel LnHGD dengan LnKONS, dan LnHGI dengan LnKONS.

Tabel 9 Hasil uji kausalitas granger variabel

Hipotesis Probability Kesimpulan

LnHGI does not Granger Cause LnIMPOR 0.0028 LnHGI  LnIMPOR LnHGD does not Granger Cause LnIMPOR 0.0136 LnHGD  LnIMPOR LnEXR does not Granger Cause LnIMPOR 0.0176 LnEXR  LnIMPOR LnKONS does not Granger Cause LnIMPOR 0.0188 LnKONSLnIMPOR LnHGD does not Granger Cause LnHGI 0.0019 LnHGD  LnHGI LnEXR does not Granger Cause LnHGI 0.0272 LnEXR  LnHGI LnPROD does not Granger Cause LnHGI 0.0010 LnPROD  LnHGI LnHGI does not Granger Cause TRF 0.0039 LnHGI  TRF LnHGD does not Granger Cause TRF 0.0160 LnHGD  TRF LnEXR does not Granger Cause TRF 3.E-05 LnEXR  TRF LnKONS does not Granger Cause LnHGI 0.0015 LnKONS  LnHGI LnHGI does not Granger Cause LnKONS 0.0431 LnHGI  LnKONS LnKONS does not Granger Cause LnHGD 0.0316 LnKONS  LnHGD LnHGD does not Granger Cause LnKONS 0.0015 LnHGD  LnKONS Sumber: Lampiran 4

Hasil Uji Kointegrasi

(41)

29 Jika nilai trace statistic lebih besar dibandingkan nilai kritisnya, maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut.

Tabel 10 Hasil Johansen Cointegration Test Hypothesized

No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic

0.05 Critical

Value Prob.**

None * 0.894297 218.8439 159.5297 0.0000

At most 1 * 0.714615 146.9360 125.6154 0.0013 At most 2 * 0.647953 106.8106 95.75366 0.0070 At most 3 * 0.619436 73.40294 69.81889 0.0251 At most 4 0.498277 42.48774 47.85613 0.1455 At most 5 0.345380 20.41710 29.79707 0.3950 Sumber: Lampiran 5

Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini memiliki empat persamaan kointegrasi. Persamaan kointegrasi ini menunjukkan bahwa diantara variabel-variabel yang diuji memiliki hubungan kombinasi linear yang bersifat stasioner (kointegrasi) dalam jangka panjang. Dengan demikian, penelitian ini dapat menggunakan model VECM karena semua data stasioner pada first difference dan terdapat kointegrasi antarvariabel.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Gula Indonesia dalam Jangka Panjang

Hasil Estimasi Model VECM

(42)

30

Tabel 11 Hasil estimasi model VECM jangka pendek Jangka Pendek

Variabel Koefisien t-statistik

CointEq1 -0.00494 [-0.09816]

D(LNIMPOR(-1)) -0.03272 [-0.14222]

D(LNHGI(-1)) 0.34202 [ 0.30208]

D(LNHGD(-1)) -0.68901 [-0.23053]

D(TRF(-1)) -0.05047 [-0.54454]

D(LNEXR(-1)) -1.48504 [-0.81935]

D(LNKONS(-1)) -0.69186 [-0.19094]

D(LNARL(-1)) -6.63793 [-1.13471]

D(LNPROD(-1)) -2.11178 [-0.59692]

Sumber: Lampiran 6

Sementara pada jangka panjang variabel yang signifikan memengaruhi impor gula Indonesia (LnIMPOR) adalah harga gula internasional (LnHGI), harga gula domestik (LnHGD), tarif impor gula (TRF), nilai tukar (LnEXR), konsumsi gula domestik (LnKONS) dan produksi gula domestik (LnPROD) sedangkan variabel yang tidak berpengaruh signifikan terhadap impor gula dalam jangka panjang adalah luas areal tanam tebu (LnARL) (Tabel 12).

Tabel 12 Hasil estimasi model VECM jangka panjang Jangka Panjang

Variabel Koefisien t-statistik

LNIMPOR(-1) 1

LNHGI(-1) 0.12604 [-9.51334]

LNHGD(-1) 0.10333 [-3.77336]

TRF(-1) -0.00776 [ 5.71944]

LNEXR(-1) -0.04512 [ 2.44878]

LNKONS(-1) -0.43229 [ 6.13340]

LNARL(-1) -0.11491 [ 1.53436]

LNPROD(-1) -0.07531 [ 2.17290]

Sumber: Lampiran 6

Keterangan: cetak tebal menunjukkan variabel siginifikan pada taraf nyata 5%.

Hubungan jangka panjang diatas dapat ditulis dalam persamaan linier berikut :

LnIMPOR = 0.12604 LnHGI + 0.10333 LnHGD - 0.00776 TRF - 0.04512 LnEXR - 0.43229 LnKONS - 0.11491 LnARL - 0.07531 LnPROD

Gambar

Tabel 1 Produksi, luas lahan, produktivitas dan rendemen gula nasional tahun
Gambar 2 Analisis kesetimbangan parsial atas harga kesetimbangan relatif
Tabel 2 Analisis dampak pemberlakuan impor bagi negara importir
Gambar 4 Dampak pemberlakuan tarif di negara importir
+7

Referensi

Dokumen terkait

(2) Kemampuan Guru dalam melaksanakan pembelajaran Bahasa Indonesia menggunakan media teks dialog sudah sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang

Hasil penelitian yang telah disebutkan serta dijabarkan diatas, dapat disimpulkan sesuai dengan gelaja atau bentuk perilaku hopelessness yang dikemukakan oleh

Siswa mengerjakan tugas latihan soal-soal tentang bilangan berpangkat tak sebenarnya, yang terdapat pada buku sumber (karangan M.. Dengan bimbingan guru, siswa diminta

Sebagai pembanding tingkat akurasi teleskop Vixen Sphinx, parameter yang digunakan untuk menilai akurasi optik teodolit Nikon NE-202 antara lain lubang lensa

Jika pada April 2015 sebagian larva yang berukuran 0,5 inci tertangkap di lokasi sekitar P.Teluk Pau dan pada saat sebelumnya (November 2014) pola arus laut dari barat daya ke

Menetapkan langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam rangka memaksimalkan penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri dan penyedia barang/jasa nasional dalam

Dari hasil buku dan beberapa skripsi di atas, dapat diketahui yang menjadi perbandingan dengan penelitian saya adalah perkembangan fisik Kota dari tahun 1993-2018,