• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil leukosit kambing peranakan etawah setelah vaksinasi iradiasi streptococcus agalactiae untuk pencegahan mastitis subklinis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil leukosit kambing peranakan etawah setelah vaksinasi iradiasi streptococcus agalactiae untuk pencegahan mastitis subklinis"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

KUKUH SYIROTOL ICHSAN. Profil Leukosit Kambing Peranakan Etawah setelah Vaksinasi Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Mastitis Subklinis. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan BOKY JEANNE TUASIKAL.

Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan kambing yang dipelihara untuk memenuhi kebutuhan susu dan daging. Sebagai ternak penghasil susu, kambing PE juga rentan terhadap mastitis subklinis. Di peternakan sapi perah Pulau Jawa, mastitis subklinis biasanya disebabkan oleh Streptococcus agalactiae. Banyak metode yang dikembangkan untuk mencegah mastitis subklinis antara lain meningkatkan higiene sanitasi, teat dipping, dan vaksinasi. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi keefektifan vaksin untuk mencegah mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae melalui pengamatan profil leukosit. Kambing yang digunakan adalah kambing sehat dengan usia kebuntingan empat sampai lima bulan yang divaksin dua sampai tiga kali dengan interval 2 minggu. Volume vaksin yang digunakan adalah 2 mL yang mengandung 108 cfu/mL S. agalactiae. Sampel darah yang digunakan diambil satu minggu setelah vaksinasi. Sampel darah yang diperoleh dibuat menjadi preparat ulas darah yang diwarnai dengan Giemsa dan diamati profil leukosit (nilai relatif dan jumlah) di bawah mikroskop. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada posvaksinasi I nilai relatif dan jumlah limfosit dari kambing perlakuan lebih tinggi dari kontrol dan berbeda nyata pada (73.67±2.05% dan 5230±87 sel/µL) begitupun pada posvaksinasi III (66.00±4.08% dan 5676±1520 sel/µ L). Hal ini menunjukkan telah terbentuk imun sekunder terhadap S. agalctiae penyebab mastitis subklinis.

Kata kunci: kambing Peranakan Etawah (PE), profil leukosit, Streptococcus agalactiae, vaksin iradiasi.

ABSTRACT

KUKUH SYIROTOL ICHSAN. Leucocytes Profile of Etawah Cross Breed Goat as a Response to Irradiated Vaccine Streptococcus agalactiae to Prevent Subclinical Mastitis Supervised by SRI ESTUNINGSIH and BOKY JEANNE TUASIKAL.

(2)

Giemsa and examined on leucocytes profile (relative value and total value). This study showed that limphocytes from treated etawah cross breed goats were higher than control. Relative and total value of lymphocytes in prevactination were significantly different (P<0.05) (73.67±2.05% and 5230±87 cell/µL) also postvactination 3rd (66.00±4.08% and 5676±1520 cell/µL). The study concluded that the secondary immune response from vaccination program already formed to prevent subclinical mastitis in etawah cross breed goat caused by S. agalactiae.

(3)

PROFIL LEUKOSIT KAMBING PERANAKAN ETAWAH

SETELAH VAKSINASI IRADIASI

Streptococcus agalactiae

UNTUK PENCEGAHAN MASTITIS SUBKLINIS

KUKUH SYIROTOL ICHSAN

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(4)
(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Berjudul Profil Leukosit Kambing Peranakan Etawah setelah Vaksinasi Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Mastitis Subklinis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir karya tulis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Kukuh Syirotol Ichsan

(6)

ABSTRAK

KUKUH SYIROTOL ICHSAN. Profil Leukosit Kambing Peranakan Etawah setelah Vaksinasi Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Mastitis Subklinis. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan BOKY JEANNE TUASIKAL.

Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan kambing yang dipelihara untuk memenuhi kebutuhan susu dan daging. Sebagai ternak penghasil susu, kambing PE juga rentan terhadap mastitis subklinis. Di peternakan sapi perah Pulau Jawa, mastitis subklinis biasanya disebabkan oleh Streptococcus agalactiae. Banyak metode yang dikembangkan untuk mencegah mastitis subklinis antara lain meningkatkan higiene sanitasi, teat dipping, dan vaksinasi. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi keefektifan vaksin untuk mencegah mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae melalui pengamatan profil leukosit. Kambing yang digunakan adalah kambing sehat dengan usia kebuntingan empat sampai lima bulan yang divaksin dua sampai tiga kali dengan interval 2 minggu. Volume vaksin yang digunakan adalah 2 mL yang mengandung 108 cfu/mL S. agalactiae. Sampel darah yang digunakan diambil satu minggu setelah vaksinasi. Sampel darah yang diperoleh dibuat menjadi preparat ulas darah yang diwarnai dengan Giemsa dan diamati profil leukosit (nilai relatif dan jumlah) di bawah mikroskop. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada posvaksinasi I nilai relatif dan jumlah limfosit dari kambing perlakuan lebih tinggi dari kontrol dan berbeda nyata pada (73.67±2.05% dan 5230±87 sel/µL) begitupun pada posvaksinasi III (66.00±4.08% dan 5676±1520 sel/µ L). Hal ini menunjukkan telah terbentuk imun sekunder terhadap S. agalctiae penyebab mastitis subklinis.

Kata kunci: kambing Peranakan Etawah (PE), profil leukosit, Streptococcus agalactiae, vaksin iradiasi.

ABSTRACT

KUKUH SYIROTOL ICHSAN. Leucocytes Profile of Etawah Cross Breed Goat as a Response to Irradiated Vaccine Streptococcus agalactiae to Prevent Subclinical Mastitis Supervised by SRI ESTUNINGSIH and BOKY JEANNE TUASIKAL.

(7)

Giemsa and examined on leucocytes profile (relative value and total value). This study showed that limphocytes from treated etawah cross breed goats were higher than control. Relative and total value of lymphocytes in prevactination were significantly different (P<0.05) (73.67±2.05% and 5230±87 cell/µL) also postvactination 3rd (66.00±4.08% and 5676±1520 cell/µL). The study concluded that the secondary immune response from vaccination program already formed to prevent subclinical mastitis in etawah cross breed goat caused by S. agalactiae.

(8)
(9)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

PROFIL LEUKOSIT KAMBING PERANAKAN ETAWAH

SETELAH VAKSINASI IRADIASI

Streptococcus agalactiae

UNTUK PENCEGAHAN MASTITIS SUBKLINIS

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2015

(10)
(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas segala rahmat-Nya maka karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini ialah Profil Leukosit Kambing Peranakan Etawah setelah Vaksinasi

Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Mastitis Subklinis. Dengan segala syukur dan berbahagia, penulis menyampaikan ucapan terima

kasih kepada Ibu Dr Drh Sri Estuningsih, MSi APVet dan Dr Drh Boky Jeanne Tuasikal, MSi selaku pembimbing yang selalu mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran sehingga tulisan ini dapat terselesaikan. Demikian pula ucapan terima kasih kepada Bapak Drh Candra yang membantu dan membimbing dalam pengambilan sampel di lapang. Orang tua dan keluarga yang selalu memberi dukungan dan nasihat selama penulis melalui jenjang sarjana. Ibu Dr Drh Eva Harlina sebagai dosen pembimbing akademik yang selalu menyediakan waktu untuk berbagi keluh kesah selama jenjang sarjana. Ibu Dr Drh Anita Esfandiari, MSi selaku dosen penilai dalam seminar skripsi. Bapak Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi dan Dr Drh I Ketut Murdite Adyane, MSi, PAVet sebagai dosen penguji skripsi. Sahabat-sahabat terbaik Acromion FKH 47 Mohammad Zaenal Abidin Mursyid, Intan Pandini Restu Mukti, Hidayati, Fitri Aprian Harjo, Novan Eko Kurniawan, Denny Putra Romadhon, Fahmi Khairi, Tri Handoko Lasrianto, Mariska Ramdhianti, Rahmad Arsy, Tri Apriyadi Hidayat, I Nengah Donny Artika, Fredi Praja Himawan, Eling Purwanto, Irene Soteriani Uren, Risti Laily, dan teman-teman lain yang selalu memberikan semangat.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Januari 2015

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Kambing Peranakan Etawah 2

Mastitis 3

Streptococcus agalactiae 4

Vaksin Iradiasi Sinar Gamma 4

Leukosit 5

METODE 7

Waktu dan Tempat Penelitian 7

Bahan dan Alat 8

Prosedur Analisis Data 10

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

SIMPULAN DAN SARAN 16

Simpulan 16

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 16

(15)

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan komposisi susu kambing dan susu sapi 3 2 Jadwal pengambilan darah dan vaksinasi iradiasi S. agalactiae

kambing PE perlakuan dan pengambilan darah kambing kontrol 9 3 Hasil pengamatan jumlah leukosit kambing PE perlakuan

vaksinasi iradiasi S. agalactiae dan kontrol 10 4 Hasil pengamatan neutrofil kambing PE perlakuan vaksinasi

iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol 11 5 Hasil pengamatan monosit kambing PE perlakuan vaksinasi

iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol 12 6 Hasil pengamatan limfosit kambing PE perlakuan vaksinasi

iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol 13 7 Hasil pengamatan eosinofil kambing PE perlakuan vaksinasi

iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol 15

DAFTAR GAMBAR

1 Kambing PE jantan 2

2 Kambing PE betina 3

3 Ambing mastitis pada kambing PE 4

4 Neutrofil 5

5 Eosinofil 6

6 Basofil 6

7 Limfosit 7

8 Monosit 7

9 Pengambilan darah dari Vena jugularis 11

10 Morfologi neutrofil kambing PE perlakuan 12

11 Morfologi monosit kambing PE perlakuan 13

12 Morfologi limfosit kambing PE perlakuan 14

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kambing peranakan etawah (PE) adalah salah satu jenis kambing yang dapat dimanfaatkan daging dan susunya. Kambing PE merupakan persilangan antara kambing kacang dengan Kambing Etawah (Sudono dan Abdulgani 2002). Produksi susu kambing PE berkisar 1.5–3.5 L per ekor per hari. Karakteristiknya berwarna putih, globul lemak kecil, protein lunak, kandungan kalsium, fosfor, vitamin A, E, B kompleks yang tinggi, dan proporsi asam lemak rantai pendek dalam jumlah yang relatif tinggi sehingga mudah dicerna (Ceballos et al. 2009).

Mastitis subklinis pada sapi perah di Pulau Jawa sering disebabkan oleh

Streptococcus agalactiae atau Staphylococcus aureus (Sugiri dan Anri 2010). Seperti halnya sapi perah, kambing PE juga rentan terhadap kejadian mastitis. Mastitis dapat terjadi karena sanitasi kandang yang buruk atau pemerahan yang tidak higienis. Mastitis pada kambing mengakibatkan penurunan produksi susu sekitar 10–25%, kematian anak karena tidak mendapatkan kolostrum, peningkatan biaya pengobatan, meningkatnya jumlah hewan yang harus dikeluarkan, dan susu ditolak di pasaran karena jumlah sel somatik (JSS) lebih tinggi dari normal dan mengandung patogen (Leitner et al. 2004). Hasil penelitian Mc Dougall et al. (2002) menyatakan bahwa kambing penderita mastitis subklinis apabila JSS mencapai jumlah 1x106 sel/mL. Berdasarkan JSS dalam susu, maka kejadian mastitis subklinis pada kambing berkisar 9–50% (Sanchez et al. 2007).

Mastitis dapat dicegah melalui penerapan manajemen pemeliharaan yang baik, pemerahan yang baik dan higienis, melakukan teat dipping, dan penggunaan antibiotik. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan vaksin yang berasal dari bakteri penyebab mastitis tersebut (Lindahl et al. 2005). Saat ini sedang dikembangkan vaksin untuk mencegah mastitis subklinis yakni vaksin iradiasi menggunakan sinar gamma. Radiasi adalah emisi (pancaran) dan perambatan energi melalui materi atau ruang dalam bentuk gelombang elektromagnetik atau partikel. Sedangkan iradiasi merupakan istilah yang digunakan untuk aplikasi radiasi (BATAN 2008). Vaksin iradiasi mampu melemahkan agen patogen tanpa menghilangkan daya imunogeniknya dan mampu meningkatkan kekebalan pada hewan coba (Smith 1992). Sebelumnya pernah dikembangkan vaksin dengan iradisasi yakni Venezuelan equine ensephalitis, Lysteria monocytogenes, dan influenza(Tuasikal et al. 2012).

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, rumusan masalah yang mendasari penelitian ini adalah:

1. Apakah vaksin iradiasi S. agalactiae dapat menjadi solusi untuk mencegah mastitis subklinis pada kambing PE?

(18)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil leukosit (nilai total leukosit diferensiasi jenis leukosit, dan jumlah masing-masing jenis leukosit) kambing PE setelah vaksinasi iradiasi Streptococcus agalactiae untuk pencegahan mastitis subklinis.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan tentang profil leukosit sebagai respon terhadap vaksin iradiasi S. agalctiae pada kambing PE dan mengetahui keefektifan vaksin tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

Kambing Peranakan Etawah

Kambing peranakan etawah (PE) merupakan persilangan kambing kacang dan kambing etawah (Sudono dan Abdulgani 2002). Kambing jantan berbadan besar, tinggi gumba 90–127 cm, bobot dapat mencapai 91 kg sedangkan betina tinggi gumbanya dapat mencapai 92 cm serta memiliki berat tubuh di bawah jantan ±63 kg, dan kambing jantan maupun betina memiliki telinga panjang 18–30 cm. Masa kebuntingan antara 150–154 hari, dewasa kelamin usia empat bulan (Kartinaty dan Gufroni 2010). Kambing PE dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Subfamili : Caprinae Genus : Capra

Spesies : Capra aegagrus

Subspecies : Capra aegagrus hircus

(19)

3

Gambar 2 Kambing PE betina (Sutama 2011)

Produksi susu kambing PE 1.5–3.5 L per ekor/ hari. Globul lemak lebih kecil, protein lebih lunak, kandungan kalsium, fosfor, vitamin A, E, dan B kompleks yang tinggi. Susu kambing perah dapat dikonsumsi oleh orang yang alergi susu sapi (Blakely dan Bade 1991).

Tabel 1 Perbandingan komposisi susu kambing dan susu sapi

Sumber: Blakely dan Bade (1991).

Mastitis

Mastitis merupakan penyakit yang banyak dialami oleh ternak penghasil susu. Mastitis dibedakan menjadi dua yakni mastitis klinis dan subklinis. Gejala dari mastitis klinis adalah ambing menjadi panas, bengkak, mengeras, dan dihasilkan susu yang yang mengandung darah. Penyebab mastitis subklinis pada sapi di pulau Jawa sering disebabkan oleh Streptococcus agalactiae atau Staphylococcus aureus

(Sugiri dan Anri 2010). Kejadian mastitis klinis pada kambing perah sebesar 25.5% terjadi setelah melahirkan atau 40 hari pasca melahirkan (Mc Dougall et al. 2002).

Mastitis pada kambing mengakibatkan penurunan produksi susu sekitar 10– 25%, kematian anak karena tidak mendapatkan kolostrum, peningkatan biaya pengobatan, meningkatnya jumlah hewan yang harus dikeluarkan, dan susu ditolak di pasaran karena jumlah sel somatik (JSS) lebih tinggi dari normal dan mengandung patogen (Leitner et al. 2004). Hasil penelitian Mc Dougall et al. (2002) menyatakan bahwa kambing penderita mastitis subklinis apabila JSS mencapai jumlah 1x106 sel/mL dan tidak menunjukkan gejala klinis. Berdasarkan JSS dalam susu, maka kejadian mastitis subklinis pada kambing berkisar 9–50% (Sanchez et al. 2007).

Pencegahan penyebaran mastitis dapat dilakukan dengan penerapan manajemen pemeliharaan yang baik, pemerahan yang higienis, melakukan teat dipping dengan menggunakan Sodium hipoklorat setelah pemerahan, dan

(20)

4

pemeriksaan jumlah sel somatik pada periode laktasi normal. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan vaksin yang berasal dari bakteri penyebab mastitis tersebut, misalnya S. agalactiae (Lindahl 2005).

Gambar 3 Ambing mastitis pada kambing PE (Suwito dan Indrajulianto 2013)

Streptococcus agalactiae

Menurut Lehmann and Neumann (1896) S. agalactiae diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria Filum : Firmicutes Kelas : Bacilli

Ordo : Lactobacillales Famili : Streptococcaceae Genus : Streptococcus

Spesies : Streptococcus agalactiae

Karakteristik Streptococcus agalactiae adalah diplococcal, gram positif, nonmotil, tidak membentuk spora, memproduksi kapsul polisakarida, dan mampu bertahan pada temperatur tinggi. Bakteri ini dikelompokkan dalam grup B

Streptococcus (GBS), yang merupakan satu dari empat beta-hemolityc streptococci. Faktor virulensi S. agalactiae berasal dari produk ekstraseluler yakni kapsul polisakarida, protein permukaan, dan protein yang disekresikannya. Komponen lainnya adalah hemaglutinin yang berperan sebagai adhesin (Wahyuni et al. 2006). Kemampuan menempel pada permukaan epitel mamae, lebih penting daripada invasi hal ini menyebabkan tidak ada perubahan yang kasat mata (Wibawan et al.

1998).

Vaksin Iradiasi Sinar Gamma

Vaksin adalah suatu suspensi atau substansi mikroorganisme yang digunakan untuk menginduksi terbentuknya sistem imun. Vaksinasi merupakan suatu usaha meningkatkan imunitas orang atau hewan terhadap invasi mikroorganisme patogen atau toksinnya. Jenis vaksin yang tersedia di pasaran yakni live vaccine, killed vaccine, vaksin toksoid, vaksin rekombinan, dan vaksin DNA (Radji 2010).

(21)

5

ada yakni radisai partikel bermuatan (alfa, beta, proton, dan elektron), radiasi partikel tidak bermuatan (neutron), dan radiasi gelombang elektromagnetik (sinar X dan sinar gamma) (BATAN 2008). Sinar gamma merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang pendek, dipancarkan oleh isotop radioaktif sebagai inti bentuk tidak stabil, dan meluruh untuk mencapai bentuk stabil. Vaksin iradisai sinar gamma merupakan vaksin yang dibuat dengan memanfaatkan radiasi untuk melemahkan agen patogen tanpa merusak dinding selnya, target utama adalah bagian DNA yang merupakan sumber informasi genetik sel. Perubahan genetik sel akan berakibat pada terganggunya kinerja atau kematian sel, sehingga antigen tetap memiliki daya imunogenik dan mampu meningkatkan kekebalan pada hewan coba (Smith 1992). Keunggulan vaksin jenis ini adalah dapat mengaktifkan seluruh fase sistem imun, meningkatkan respon imun terhadap seluruh antigen, durasi imunisitas lebih panjang, biaya lebih murah, lebih cepat menimbulkan respon imunitas, mudah dibawa ke lapangan, dapat mengurangi wild type (Tatriana dan Sugoro 2007). Saat ini sudah ada beberapa vaksin yang dibuat dengan metode ini yakni vaksin Venezuelan eqiune enchepahalitis, Lysteria monocytogenes, dan vaksin influenza (Tuasikal et al. 2012).

Leukosit

Leukosit terdiri dari lima jenis yakni neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit. Jumlah leukosit normal kambing adalah 4000–13000 sel/µL (Lawhead dan James 2007).

Neutrofil

Neutrofil berfungsi sebagai fagosit dan penghancur mikroorganisme oleh enzim fagosom atau oleh organel peroksisom. Neutrofil dewasa memiliki inti bergelambir 3–5, sitoplasma kelabu pucat dan mengandung butir halus. Masa hidup neutrofil yang tidak aktif pada sistem sirkulasi sekitar 4–10 jam sedangkan yang telah bermigrasi bertahan selama 1–2 hari (Guyton dan Hall 2006). Jumlah neutrofil pada kambing normal adalah 1200–7200 sel/µL (Lawhead dan James 2007), sedangkan nilai relatifnya adalah 30–48% (Latimer et al. 2003).

Gambar 6 Neutrofil (Harvey 2001)

(22)

6

Eosinofil memiliki granul merah dan bergelambir dua. Eosinofil berperan mengatur peradangan, melawan parasit, dan reaksi alergi. Eosinofil membunuh parasit dengan melepaskan enzim hidrolitik dan lisosom, melepaskan oksigen reaktif, serta melepaskan polipeptida bersifat larvasidal. Jumlah eosinofil normal kambing adalah 50–650 sel/µL (Lawhead dan James 2007), sedangkan nilai relatifnya adalah 1–8% (Latimer et al. 2003).

Gambar 7 Eosinofil (Harvey 2001)

Basofil

Basofil bersitoplasma biru gelap, dipenuhi granul dengan inti bersegmen. Basofil jumlahnya tinggi pada keadaan alergi. Basofil melepaskan heparin ke dalam sirkulasi darah seperti halnya sel mast. Hal ini terjadi karena antibodi yang berperan dalam reaksi alergi (IgE) memiliki kemampuan untuk menempel pada sel mast dan basofil, kemudian melepaskan histamin, bradikinin, serotonin, heparin, slow-reacting substance of anaphylaxis, dan enzim lisosomal(Guyton dan Hall 2006). Jumlah basofil normal kambing adalah 0–120 sel/µL (Lawhead dan James 2007), sedangkan nilai relatifnya adalah 0–1% (Latimer et al. 2003).

Gambar 8 Basofil (Harvei 2001)

Limfosit

(23)

7

bertindak sebagai pertahan seluler. Jumlah normal limfosit pada kambing adalah 2000–9000 sel/µL (Lawhead dan James 2007), sedangkan nilai relatifnya adalah 50–70% (Latimer et al. 2003).

Gambar 9 Limfosit (Harvei 2001)

Monosit

Monosit diproduksi oleh sumsum tulang kemudian menuju aliran darah akhirnya menuju ke jaringan menjadi makrofag. Fungsi utama monosit dalam sistem imun yaitu merespon adanya tanda-tanda inflamasi dengan cara bergerak cepat (kira-kira 8–12 jam) ke tempat yang terinfeksi, membentuk protein dari suatu komplemen, dan mengeluarkan substansi yang mempengaruhi proses peradangan kronik (Guyton and Hall 2006). Diameter monosit 15–20 μm, inti berbentuk tapal kuda atau oval. Jumlah normal monosit kambing adalah 0–550 sel/µL (Lawhead dan James 2007), sedangkan nilai relatifnya adalah 0–4% (Latimer et al. 2003).

Gambar 10 Monosit (Harvey 2001)

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

(24)

8

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah 9 ekor kambing PE yang sehat secara klinis usia kurang lebih 2 tahun (5 ekor perlakuan dan 4 ekor kontrol) usia kebuntingan empat sampai lima bulan (pemeriksaan kebuntingan dengan ultrasonografi (USG)), obat cacing, antibiotik, vaksin iradiasi S. agalactiae, pakan kambing, pewarna Giemsa, larutan turk, reagen California Mastitis Test (CMT), IPB 1 Mastitis Test, alkohol 70%, minyak imersi, xylol, metanol, dan vitamin B kompleks. Alat yang digunakan adalah tabung penampung darah dengan heparin, jarum 22 G, syringe 3 mL, USG, distrene plasticiser xylene (DPX) mountant®, counting chamber Neubauer, cover glass, object glass, boks preparat, kapas, tisu, pipet tetes, kamera digital, komputer, mikroskop Olympus®, kamera digital electronic eyepiece MD-130®, dan software SPSS 16.

Persiapan Bahan

Vaksin dibuat oleh BATAN. Bahan dasar vaksin adalah bakteri S. agalactiae

108 cfu/mL yang diiradiasi dengan sinar gamma 112.504 krad/jam. Vaksin yang digunakan sebanyak 2 mL/ekor secara subkutan di regio gumba (Tuasikal et al. 2012). Vaksinasi dilakukan sebanyak tiga kali pada usia kebuntingan 4 sampai 5 bulan.

Persiapan Hewan Percobaan

(25)

9

Tabel 2 Jadwal pengambilan darah dan vaksinasi iradiasi S. agalactiae kambing PE perlakuan dan pengambilan darah kambing kontrol

Nomor Kambing

Kebuntingan 4 Bulan Minggu ke-

Kebuntingan 5 Bulan Minggu ke-

Laktasi Minggu ke-

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9

20 X X

22 X X

35 X X

68 X X X

69 X X X

1 3 6 32

Keterangan : = Pengambilan darah X= Vaksinasi

Kambing no. 20 melahirkan 10 Desember 2012, no. 22 melahirkan 9 Desember 2012, no. 35 melahirkan 18 Desember 2012, no. 68 melahirkan 30 Desember 2012, no.69 melahirkan 25 Desember 2012, Kambing kontrol (1, 3, 6, dan 32) mengalami keguguran.

Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan darah dilakukan dari Vena jugularis 1 minggu setelah vaksinasi. Setelah Vena jugularis ditemukan, bagian yang akan ditusuk disucihamakan dengan alkohol 70%. Darah yang diperoleh ditampung dalam tabung penampung dengan antikoagulan heparin.

Gambar 11 Pengambilan darah dari Vena jugularis

Pembuatan Sediaan Ulas Darah dan Diferensiasi Leukosit

(26)

10

kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa zat warna lalu dikeringkan. Selanjutnya, DPX mountant diteteskan pada preparat ulas darah tersebut, ditutup dengan cover glass dan didiamkan sampai kering. Sediaan ulas darah yang telah diwarnai kemudian diamati di bawah mikroskop perbesaran obyektif 100X dan okuler 10X untuk menghitung diferensiasi leukosit hingga jumlah total yang teramati mencapai jumlah 100. Jumlah masing-masing jenis leukosit ditentukan dengan cara mengalikan persentase tersebut dengan jumlah total leukosit (Eggen et al. 2001). Selama proses diferensiasi leukosit difoto menggunakan kamera digital electronic eyepiece MD-130® yang terhubung secara langsung dengan komputer.

Prosedur Analisis Data

Data yang diperoleh dinyatakan dalam rataan dan simpangan baku masing-masing kelompok diolah dengan Microsoft Excel 2013 dilanjutkan analisis of varriance (ANOVA) one way menggunakan SPSS 16, dan uji post hoc Duncan

untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan pada P<0.05 (Singgih 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Leukosit

Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh jumlah leukosit pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil pengamatan jumlah leukosit kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi

S. agalactiae dan kambing PE kontrol

*Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05).

Jumlah leukosit prevaksinasi kambing perlakuan adalah 8966±946 sel/µL lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yakni 8633±879 sel/µL. Hal yang berbeda ditunjukkan pada posvaksinasi I, jumlah leukosit kambing perlakuan mengalami penurunan dan lebih rendah dari nilai kontrol. Penurunan jumlah leukosit kambing perlakuan terjadi karena limfosit dimobilisasi ke jaringan limfoid untuk pembentukkan antibodi yang memerlukan waktu 3–14 hari selain itu neutrofil dimobilisasi ke jaringan tempat penyuntikan vaksin (Lawhead dan James 2007). Peningkatan jumlah leukosit kambing perlakuan terjadi secara berturut-turut dari posvaksinasi II, III, dan dua minggu posvaksinasi III. Hal ini terjadi karena

Pengambilan darah

Jumlah Leukosit (sel/µL)

Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol

Prevaksinasi 8966±946a 8633±879a

Posvaksinasi I 7100±244a 7366±339a

Posvaksinasi II 7666±736a 8466±899a

Posvaksinasi III 8600±1557a 8266±2015a

Dua minggu

posvaksinasi III 9066±262

a 9333±618a

(27)

11

telah dilakukan booster, sehingga terbentuk imun sekunder terhadap antigen (Radji 2010). Selain itu pengambilan darah posvaksinasi III merupakan akhir kebuntingan, yang menyebabkan terjadinya stres. Stres mengakibatkan meningkatnya kadar kortisol sehingga jumlah neutrofil meningkat yang menyebabkan jumlah leukosit meningkat pula. Keadaan ini disebut sebagai leukositosis kortikosteroid (Stocham dan Scott 2008).

Neutrofil

Penyuntikan vaksin akan memicu sel-sel pertahanan tubuh yakni neutrofil dan makrofag untuk memfagosit agen. Neutrofil merupakan leukosit yang pertama berperan dalam melawan infeksi (Radji 2010). Hasil pengamatan tertera pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil pengamatan neutrofil kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol

Pengambilan Darah

Nilai Relatif (%) Jumlah Neutrofil (sel/µL) Kelompok Prevaksinasi 26.67±0.57b 36.33±18.23b 2331±350b 3136±948b Posvaksinasi I 18.67±2.08b 42.00±17.69c 1325±190b 3094±949c Posvaksinasi II 19.00±1.15a 32.33±7.09a 1456±228a 2737±607a Posvaksinasi

38.33±12.74c 34.00±12.49c 3475±1012c 3173±1033 c

Nilai normal 30–48%

(Latimer et al. 2003)

1200–7200 sel/µL (Lawhead dan James 2007) *Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05)

(28)

12

utamanya neutrofil meningkat melalui pelepasan neutrofil dari sumsum tulang masuk ke dalam aliran darah dan menghambat migrasi neutrofil dari sirkulasi darah menuju jaringan (Colville dan Bassert 2008). Nilai relatif neutrofil kambing perlakuan kembali meningkat pada dua minggu posvaksinasi III yakni 38.33±12.74% namun masih normal.

Gambar 12 Morfologi neutrofil kambing PE perlakuan, bar= 5 µm

Monosit

Selain neutrofil, leukosit yang mampu memfagosit adalah makrofag. Makrofag adalah monosit yang telah bermigarasi ke jaringan (Guyton dan Hall 2006). Hasil pengamatan tertera pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil pengamatan monosit kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol

Pengambilan Darah

Nilai Relatif Monosit (%) Jumlah Monosit (sel/µL) Kelompok Prevaksinasi 8.00±3.46a 4.33±1.15a 717±418 a 373±118a Posvaksinasi I 6.67±4.51a 5.67±3.05a 473±36 a 417±199a Posvaksinasi II 6.00±1.73a 3.33±1.15a 460±173a 281±94a Posvaksinasi

( Lawhead dan James 2007) *Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05)

(29)

13

terkonsentari di jaringan menyebabkan jumlah monosit yang ada di sirkulasi berkurang (Radji 2010).

Mekanisme terbentuknya antibodi pada vaksinasi diawali dengan antigen yang disuntikkan ke jaringan. Makrofag berubah menjadi antigen presenting cell

(APC) setelah memfagosit antigen. Nilai relatif monosit kembali mengalami kenaikan saat posvaksinasi III yakni 7.00±0.00%. Hal ini menunjukkan telah terbentuk imun sekunder. Makrofag merupakan salah satu bentuk dari respon imun selular, dimana aktivitas makrofag sangat dipengaruhi oleh interferon dan interleukin yang dihasilkan oleh sel T. Umumnya antingen mikroba maupun antigen yang terlarut disajikan oleh makrofag kepada sel T-helper, sehingga, monosit diproduksi dalam jumlah banyak dan cepat untuk dimobilisasi ke jaringan menjadi makrofag (Radji 2010). Nilai relatif monosit kembali mengalami penurunan pada dua minggu posvaksinasi III yakni 3.67±3.05%, namun masih normal 0–4% (Latimer et al. 2003).

Gambar 13 Morfologi monosit kambing PE perlakuan, bar= 5 µm Limfosit

Limfosit merupakan leukosit yang berperan dalam pembentukan antibodi (Radji 2010). Hasil pengamatan tertera pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil pengamatan limfosit kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol

Pengambilan Darah

Nilai Relatif Limfosit (%) Jumlah Limfosit (sel/µL) Kelompok Prevaksinasi 64.00±2.16b 58.00±15.76b 5738±411b 5007±757b Posvaksinasi I 73.67±2.05c 49.00±12.32b 5230±87c 3609±451a Posvaksinasi

57.67±8.73a 58.33±7.84a 5228±924a 5444±1268a

Nilai normal 50–70%

(Latimer et al. 2003)

(30)

14

Nilai relatif limfosit pada prevaksinasi 64.00±2.16% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol 58.00±15.76%. Nilai relatif limfosit meningkat pada posvaksinasi I yakni 73.67±2.05% dan berbeda nyata dengan kontrol (p<0.05), peningkatan nilai tersebut tidak diikuti oleh peningkatan jumlah. Jumlah limfosit justru mengalami penurunan dari 5738±411 sel/µL menjadi 5230±87 sel/µL, namun lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Penurunan tersebut terjadi karena jumlah leukosit posvaksinasi I menurun dan tubuh masih dalam proses merespon pembentukan antibodi setelah paparan antigen yang pertama, normalnya tubuh memerlukan waktu 3–14 hari untuk mencapai puncak terbentuknya antibodi dimana pembentukan antibodi terjadi di dalam organ-organ limfoid sekunder (Lawhead dan James 2007).

Nilai relatif limfosit posvaksinasi II mengalami peningkatan menjadi 76.00±2.16% lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukan telah terbentuk imun sekunder. Respon imun sekunder berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan imun primer karena adanya sel B dan sel T memori yang telah mengenali antigen pada paparan pertama (Radji 2010). Selanjutnya, nilai relatif limfosit menurun pada posvaksinasi III yakni 66.00±4.08%, namun lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan berebeda nyata (p<0.05), karena saat itu merupakan akhir kebuntingan yang memicu terjadinya stres. Stres menyebabkan peningkatan sekresi ACTH yang mengakibatkan peningkatan kortisol di dalam darah. Efek kortisol terhadap limfosit adalah limfolisis dan limfosit diasingkan ke dalam jaringan limfoid (Colville dan Bassert 2008). Dua minggu pos vaksinasi III, nilai relatif limfosit menurun menjadi 57.67±8.73% namun masih normal.

Gambar 14 Morfologi limfosit kambing PE perlakuan, bar= 5 µm

Eosinofil

(31)

15

Tabel 7 Hasil pengamatan eosinofil kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol

*Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05). Nilai relatif eosinofil dan jumlah eosinofil secara keseluruhan menunjukkan pola yang fluktuatif dalam kisaran normal dan tidak ada perbedaan nyata antara perlakuan dengan kontrol. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa vaksin tidak memicu reaksi alergi. Eosinofil akan meningkat melebihi nilai normal pada keadaan hipersensitif (alergi), infeksi parasit (endoparasit atau ektoparasit),

hypoadenokortism, dan eosinofilik leukimia. Eosinofil menurun pada keadaan stres, toksimia, dan peradangan akut (Stocham dan Scott 2008).

Gambar 15 Morfologi Eosinofil kambing PE perlakuan, bar= 5 µm

Basofil

Selain eosinofil, basofil merupakan indikator reaksi alergi. Jumlah normal basofil kambing adalah 0–120 sel/µL (Lawhead dan James 2007) sedangkan nilai relatifnya 0–1% (Latimer et al. 2003). Pengamatan kali ini tidak ditemukan basofil pada kambing perlakuan dan kontrol.

Pengambilan Darah

Nilai Relatif Eosinofil (%) Jumlah Eosinofil (sel/µL) Kelompok

Perlakuan

Kelompok Kontrol

Kelompok Perlakuan

Kelompok Kontrol Prevaksinasi 1.33±1.15a 1.33±2.31a 119 ±96a 114±0a Posvaksinasi I 1.00±1.00a 3.33±0.57a 71±71a 245±12a Posvaksinasi II 0.67±0.58a 2.67±3.05a 51±47a 226±274a Posvaksinasi III 1.33±1.15a 6.67±9.86a 114±112a 551±59a Dua minggu

posvaksinasi III 0.33±0.58

a 1.66±0.57a 29±53a 154±43a

Nilai normal 1–8%

(Latimer et al. 2003)

(32)

16

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Vaksin iradiasi S. agalactiae dapat dikatakan efektif untuk membentuk sistem imun sekunder melalui pengamatan profil leukosit. Hal ini dapat dilihat dari nilai relatif dan jumlah limfosit yang lebih tinggi dan berbeda nyata antara perlakuan dan kontrol pada pengambilan darah posvaksinasi I dan posvaksinasi III. Selain itu, vaksin iradiasi S. agalactiae tidak memicu reaksi alergi, dilihat dari rendahnya eosinofil dan tidak ditemukan basofil pada kambing perlakuan.

Saran

Perlu dilakukan pengkajian tentang dosis optimum vaksin iradiasi S. agalactiae, titer antibodi terhadap S. agalactiae, dan kadar kortisol darah.

DAFTAR PUSTAKA

[BATAN] Badan Tenaga Nuklir Nasional. 2008. Dasar–dasar Fisika Radiasi. Jakarta (ID): Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Tenaga Nuklir Nasional. Blakely J, Bade D. 1991. The Science of Animal Husbandary.New Jersey (US):

Prantice-Hall. Manual for Veterinary Technicians. St. Louis (US): Elsevier.

Eggen DW, Schrijver JG, Bins M. 2001. WBC content of platelet concentrates prepared by the buffy coat method using different processing procedures and storage solutions. Tranfusion. 41(11): 1378–1383.

Guyton A, Hall E. 2006. Text Book of Medical Physiology 11th edition. Philadhelpia (US): Elsevier Saunder.

Harvey, John W. 2001. Atlas of Veterinary Hematology: Blood and Bonemarrow of Domestic Animals. Philadhelpia (US): Elsevier Saunder.

Kartinaty T, Gufroni LM. 2010. Budidaya Kambing Peranakan Etawah.

Kalimantan Barat (ID): Balai Pengkajian Tekhnologi Pertanian Kalimantan Barat.

Kuby Thomas JK, Richard AG, Barbara AO. 2007. Immunology 6th Edition. New York (US): W.H. Freeman.

Latimer KS, Mahaffey EA, Prasse KW. 2003. Duncan and Prasse's Veterinary Laboratory Medicine: Clinical Pathology ed–4. Lowa state (US) Wiley-Blackwell.

(33)

17

Leitner G, Merin U, Silanikove N. 2004. Changes in milk composition as affected by subclinical mastitis in goats. J Dairy Sci. 87:1719–1726.

Lindahl GM, Stalhammar C, T Areschoug. 2005. Surface protein of Streptococcus agalactiae and related protein in other bacterial pathogen. Clinical microbiologi reviews. [Internet]. [diunduh 15 Februari 2014]. Tersedia pada:

http://www.microbewiki.kenyon.edu.

Mc Dougall S, Pankey W, Delaney C, Barlow J, Patricia AM, Scruton D. 2002. Prevalence and incidence of subclinical mastitis in goats and dairy ewes in Vermont USA. Small Ruminant Res. 46(2):115–121.

Nwiyi TN, Egbe, Nwaosu SC, Salami. 2000. Hematological values of apparently healthy sheep and goats as influenced by age and sex in arid zone of Nigeria.

Afr JBiomed Res. 3(2): 109–115.

Radji M. 2010. Imunologi dan Virologi. Jakarta (ID): Isfi Penerbitan.

Sanchez J, Montes P, Jimenez A, Andres S. 2007. Prevention of clinical mastitis with barium selenate in dairy goats from a selenium deficient area. J Dairy Sci. 90: 2350–2354.

Singgih S. 2008. Panduan Lengkap Menguasai SPSS 16. Jakarta (ID): Alex Media Komputinda.

Smith NC. 1992. Concepts and strategies for antiparasite immunoprophylaxis and therapy. Int J Parasitol. 22: 1047–1082.

Sudono A, Abdulgani I K. 2002. Budidaya Aneka Ternak Perah. Diktat Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sugiri YD, Anri A. 2010. Prevalensi Patogen Penyebab Mastitis Subklinis (Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae) dan Patogen Penyebab Mastitis Subklinis lainnya pada Peternak Skala Kecil dan Menengah di Beberapa Sentra Peternakan Sapi Perah di Pulau Jawa. Bandung (ID): Balai Pengujian dan Penyidikan Penyakit Hewan dan Kesmavet (BP3HK).

Stocham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology 2nd edition. Lowa State (US): Blacwell.

Sutama KI. 2011. Kambing Peranakan Etawah Sumberdaya Ternak Penuh Berkah. Bogor (ID): Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor.

Suwito W, Indarjulianto S. 2013. Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis pada Kambing Peranakan Etawah: Epidemiologi, Sifat Klinis, Patogenesis, Diagnosis Dan Pengendalian.Wartazoa. 23(1): 1-7.

Tetriana D, Sugoro I. 2007. Aplikasi teknik nuklir dalam bidang vaksin. Buletin Alara. 9(1): 1–4. [Internet]. [diunduh 13 Januari 2015]. Tersedia pada:

http://www.scribd.com/doc/237374931/DT-BAlara-Vol-9-1-2Des07#scribd

Tuasikal BJ, Estuningsih S, Pasaribu FH, Wibawan I W T 2012. Orientasi dosis iradiasi Streptococcus agalactiae untuk bahan vaksin mastitis subklinis pada sapi perah. SciJ App Isot Radiat 8(2): 83–88

Wahyuni AETH, Wibawan IWT, Pasaribu FH, Priosoeryanto BP. 2006. Distribusi serotipe Streptococcus agalactiae penyebab mastitis subklinis pada sapi perah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. J Vet. 7(1): 1–8

(34)
(35)

19

RIWAYAT HIDUP

Penulis dengan nama Kukuh Syirotol Ichsan ini lahir di Rembang, 2 Juni 1992. Penulis menempuh pendidikan di SMA Negeri 1 Rembang dilanjutkan di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2010. Penulis aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan di dalam kampus maupun luar kampus di antaranya menjabat sebagai ketua Organisasi Mahasiswa Daerah Rembang di Bogor angkatan 47 (2010), anggota divisi pendidikan Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia FKH-IPB (2012-2013), Pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Taekwondo IPB (2011-2012), Wakil ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Taekwondo IPB (2013), Instruktur Taekwondo di SD Insan Cendekia (2014) dan Asisten Pelatih Taekwondo Candradimuka Club (2014). Penulis juga pernah ikut serta sebagai panitia kegiatan yang berbentuk event organizer antara lain Wakil Ketua IPB Goes to Field dengan tema “Peran Mahasiswa Kedokteran

Hewan IPB dalam Membantu Mewujudkan Swasembada Daging 2014” di

Bondowoso (2013), Wakil Ketua IPB Goes to Field di Kabupaten Bogor dengan

tema “Manajemen Penanganan Zoonosis: Rabies di Kabupaten Bogor” (2014).

(36)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kambing peranakan etawah (PE) adalah salah satu jenis kambing yang dapat dimanfaatkan daging dan susunya. Kambing PE merupakan persilangan antara kambing kacang dengan Kambing Etawah (Sudono dan Abdulgani 2002). Produksi susu kambing PE berkisar 1.5–3.5 L per ekor per hari. Karakteristiknya berwarna putih, globul lemak kecil, protein lunak, kandungan kalsium, fosfor, vitamin A, E, B kompleks yang tinggi, dan proporsi asam lemak rantai pendek dalam jumlah yang relatif tinggi sehingga mudah dicerna (Ceballos et al. 2009).

Mastitis subklinis pada sapi perah di Pulau Jawa sering disebabkan oleh

Streptococcus agalactiae atau Staphylococcus aureus (Sugiri dan Anri 2010). Seperti halnya sapi perah, kambing PE juga rentan terhadap kejadian mastitis. Mastitis dapat terjadi karena sanitasi kandang yang buruk atau pemerahan yang tidak higienis. Mastitis pada kambing mengakibatkan penurunan produksi susu sekitar 10–25%, kematian anak karena tidak mendapatkan kolostrum, peningkatan biaya pengobatan, meningkatnya jumlah hewan yang harus dikeluarkan, dan susu ditolak di pasaran karena jumlah sel somatik (JSS) lebih tinggi dari normal dan mengandung patogen (Leitner et al. 2004). Hasil penelitian Mc Dougall et al. (2002) menyatakan bahwa kambing penderita mastitis subklinis apabila JSS mencapai jumlah 1x106 sel/mL. Berdasarkan JSS dalam susu, maka kejadian mastitis subklinis pada kambing berkisar 9–50% (Sanchez et al. 2007).

Mastitis dapat dicegah melalui penerapan manajemen pemeliharaan yang baik, pemerahan yang baik dan higienis, melakukan teat dipping, dan penggunaan antibiotik. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan vaksin yang berasal dari bakteri penyebab mastitis tersebut (Lindahl et al. 2005). Saat ini sedang dikembangkan vaksin untuk mencegah mastitis subklinis yakni vaksin iradiasi menggunakan sinar gamma. Radiasi adalah emisi (pancaran) dan perambatan energi melalui materi atau ruang dalam bentuk gelombang elektromagnetik atau partikel. Sedangkan iradiasi merupakan istilah yang digunakan untuk aplikasi radiasi (BATAN 2008). Vaksin iradiasi mampu melemahkan agen patogen tanpa menghilangkan daya imunogeniknya dan mampu meningkatkan kekebalan pada hewan coba (Smith 1992). Sebelumnya pernah dikembangkan vaksin dengan iradisasi yakni Venezuelan equine ensephalitis, Lysteria monocytogenes, dan influenza(Tuasikal et al. 2012).

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, rumusan masalah yang mendasari penelitian ini adalah:

1. Apakah vaksin iradiasi S. agalactiae dapat menjadi solusi untuk mencegah mastitis subklinis pada kambing PE?

(37)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil leukosit (nilai total leukosit diferensiasi jenis leukosit, dan jumlah masing-masing jenis leukosit) kambing PE setelah vaksinasi iradiasi Streptococcus agalactiae untuk pencegahan mastitis subklinis.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan tentang profil leukosit sebagai respon terhadap vaksin iradiasi S. agalctiae pada kambing PE dan mengetahui keefektifan vaksin tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

Kambing Peranakan Etawah

Kambing peranakan etawah (PE) merupakan persilangan kambing kacang dan kambing etawah (Sudono dan Abdulgani 2002). Kambing jantan berbadan besar, tinggi gumba 90–127 cm, bobot dapat mencapai 91 kg sedangkan betina tinggi gumbanya dapat mencapai 92 cm serta memiliki berat tubuh di bawah jantan ±63 kg, dan kambing jantan maupun betina memiliki telinga panjang 18–30 cm. Masa kebuntingan antara 150–154 hari, dewasa kelamin usia empat bulan (Kartinaty dan Gufroni 2010). Kambing PE dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Subfamili : Caprinae Genus : Capra

Spesies : Capra aegagrus

Subspecies : Capra aegagrus hircus

(38)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil leukosit (nilai total leukosit diferensiasi jenis leukosit, dan jumlah masing-masing jenis leukosit) kambing PE setelah vaksinasi iradiasi Streptococcus agalactiae untuk pencegahan mastitis subklinis.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan tentang profil leukosit sebagai respon terhadap vaksin iradiasi S. agalctiae pada kambing PE dan mengetahui keefektifan vaksin tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

Kambing Peranakan Etawah

Kambing peranakan etawah (PE) merupakan persilangan kambing kacang dan kambing etawah (Sudono dan Abdulgani 2002). Kambing jantan berbadan besar, tinggi gumba 90–127 cm, bobot dapat mencapai 91 kg sedangkan betina tinggi gumbanya dapat mencapai 92 cm serta memiliki berat tubuh di bawah jantan ±63 kg, dan kambing jantan maupun betina memiliki telinga panjang 18–30 cm. Masa kebuntingan antara 150–154 hari, dewasa kelamin usia empat bulan (Kartinaty dan Gufroni 2010). Kambing PE dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Subfamili : Caprinae Genus : Capra

Spesies : Capra aegagrus

Subspecies : Capra aegagrus hircus

(39)

3

Gambar 2 Kambing PE betina (Sutama 2011)

Produksi susu kambing PE 1.5–3.5 L per ekor/ hari. Globul lemak lebih kecil, protein lebih lunak, kandungan kalsium, fosfor, vitamin A, E, dan B kompleks yang tinggi. Susu kambing perah dapat dikonsumsi oleh orang yang alergi susu sapi (Blakely dan Bade 1991).

Tabel 1 Perbandingan komposisi susu kambing dan susu sapi

Sumber: Blakely dan Bade (1991).

Mastitis

Mastitis merupakan penyakit yang banyak dialami oleh ternak penghasil susu. Mastitis dibedakan menjadi dua yakni mastitis klinis dan subklinis. Gejala dari mastitis klinis adalah ambing menjadi panas, bengkak, mengeras, dan dihasilkan susu yang yang mengandung darah. Penyebab mastitis subklinis pada sapi di pulau Jawa sering disebabkan oleh Streptococcus agalactiae atau Staphylococcus aureus

(Sugiri dan Anri 2010). Kejadian mastitis klinis pada kambing perah sebesar 25.5% terjadi setelah melahirkan atau 40 hari pasca melahirkan (Mc Dougall et al. 2002).

Mastitis pada kambing mengakibatkan penurunan produksi susu sekitar 10– 25%, kematian anak karena tidak mendapatkan kolostrum, peningkatan biaya pengobatan, meningkatnya jumlah hewan yang harus dikeluarkan, dan susu ditolak di pasaran karena jumlah sel somatik (JSS) lebih tinggi dari normal dan mengandung patogen (Leitner et al. 2004). Hasil penelitian Mc Dougall et al. (2002) menyatakan bahwa kambing penderita mastitis subklinis apabila JSS mencapai jumlah 1x106 sel/mL dan tidak menunjukkan gejala klinis. Berdasarkan JSS dalam susu, maka kejadian mastitis subklinis pada kambing berkisar 9–50% (Sanchez et al. 2007).

Pencegahan penyebaran mastitis dapat dilakukan dengan penerapan manajemen pemeliharaan yang baik, pemerahan yang higienis, melakukan teat dipping dengan menggunakan Sodium hipoklorat setelah pemerahan, dan

(40)

4

pemeriksaan jumlah sel somatik pada periode laktasi normal. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan vaksin yang berasal dari bakteri penyebab mastitis tersebut, misalnya S. agalactiae (Lindahl 2005).

Gambar 3 Ambing mastitis pada kambing PE (Suwito dan Indrajulianto 2013)

Streptococcus agalactiae

Menurut Lehmann and Neumann (1896) S. agalactiae diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria Filum : Firmicutes Kelas : Bacilli

Ordo : Lactobacillales Famili : Streptococcaceae Genus : Streptococcus

Spesies : Streptococcus agalactiae

Karakteristik Streptococcus agalactiae adalah diplococcal, gram positif, nonmotil, tidak membentuk spora, memproduksi kapsul polisakarida, dan mampu bertahan pada temperatur tinggi. Bakteri ini dikelompokkan dalam grup B

Streptococcus (GBS), yang merupakan satu dari empat beta-hemolityc streptococci. Faktor virulensi S. agalactiae berasal dari produk ekstraseluler yakni kapsul polisakarida, protein permukaan, dan protein yang disekresikannya. Komponen lainnya adalah hemaglutinin yang berperan sebagai adhesin (Wahyuni et al. 2006). Kemampuan menempel pada permukaan epitel mamae, lebih penting daripada invasi hal ini menyebabkan tidak ada perubahan yang kasat mata (Wibawan et al.

1998).

Vaksin Iradiasi Sinar Gamma

Vaksin adalah suatu suspensi atau substansi mikroorganisme yang digunakan untuk menginduksi terbentuknya sistem imun. Vaksinasi merupakan suatu usaha meningkatkan imunitas orang atau hewan terhadap invasi mikroorganisme patogen atau toksinnya. Jenis vaksin yang tersedia di pasaran yakni live vaccine, killed vaccine, vaksin toksoid, vaksin rekombinan, dan vaksin DNA (Radji 2010).

(41)

5

ada yakni radisai partikel bermuatan (alfa, beta, proton, dan elektron), radiasi partikel tidak bermuatan (neutron), dan radiasi gelombang elektromagnetik (sinar X dan sinar gamma) (BATAN 2008). Sinar gamma merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang pendek, dipancarkan oleh isotop radioaktif sebagai inti bentuk tidak stabil, dan meluruh untuk mencapai bentuk stabil. Vaksin iradisai sinar gamma merupakan vaksin yang dibuat dengan memanfaatkan radiasi untuk melemahkan agen patogen tanpa merusak dinding selnya, target utama adalah bagian DNA yang merupakan sumber informasi genetik sel. Perubahan genetik sel akan berakibat pada terganggunya kinerja atau kematian sel, sehingga antigen tetap memiliki daya imunogenik dan mampu meningkatkan kekebalan pada hewan coba (Smith 1992). Keunggulan vaksin jenis ini adalah dapat mengaktifkan seluruh fase sistem imun, meningkatkan respon imun terhadap seluruh antigen, durasi imunisitas lebih panjang, biaya lebih murah, lebih cepat menimbulkan respon imunitas, mudah dibawa ke lapangan, dapat mengurangi wild type (Tatriana dan Sugoro 2007). Saat ini sudah ada beberapa vaksin yang dibuat dengan metode ini yakni vaksin Venezuelan eqiune enchepahalitis, Lysteria monocytogenes, dan vaksin influenza (Tuasikal et al. 2012).

Leukosit

Leukosit terdiri dari lima jenis yakni neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit. Jumlah leukosit normal kambing adalah 4000–13000 sel/µL (Lawhead dan James 2007).

Neutrofil

Neutrofil berfungsi sebagai fagosit dan penghancur mikroorganisme oleh enzim fagosom atau oleh organel peroksisom. Neutrofil dewasa memiliki inti bergelambir 3–5, sitoplasma kelabu pucat dan mengandung butir halus. Masa hidup neutrofil yang tidak aktif pada sistem sirkulasi sekitar 4–10 jam sedangkan yang telah bermigrasi bertahan selama 1–2 hari (Guyton dan Hall 2006). Jumlah neutrofil pada kambing normal adalah 1200–7200 sel/µL (Lawhead dan James 2007), sedangkan nilai relatifnya adalah 30–48% (Latimer et al. 2003).

Gambar 6 Neutrofil (Harvey 2001)

(42)

6

Eosinofil memiliki granul merah dan bergelambir dua. Eosinofil berperan mengatur peradangan, melawan parasit, dan reaksi alergi. Eosinofil membunuh parasit dengan melepaskan enzim hidrolitik dan lisosom, melepaskan oksigen reaktif, serta melepaskan polipeptida bersifat larvasidal. Jumlah eosinofil normal kambing adalah 50–650 sel/µL (Lawhead dan James 2007), sedangkan nilai relatifnya adalah 1–8% (Latimer et al. 2003).

Gambar 7 Eosinofil (Harvey 2001)

Basofil

Basofil bersitoplasma biru gelap, dipenuhi granul dengan inti bersegmen. Basofil jumlahnya tinggi pada keadaan alergi. Basofil melepaskan heparin ke dalam sirkulasi darah seperti halnya sel mast. Hal ini terjadi karena antibodi yang berperan dalam reaksi alergi (IgE) memiliki kemampuan untuk menempel pada sel mast dan basofil, kemudian melepaskan histamin, bradikinin, serotonin, heparin, slow-reacting substance of anaphylaxis, dan enzim lisosomal(Guyton dan Hall 2006). Jumlah basofil normal kambing adalah 0–120 sel/µL (Lawhead dan James 2007), sedangkan nilai relatifnya adalah 0–1% (Latimer et al. 2003).

Gambar 8 Basofil (Harvei 2001)

Limfosit

(43)

7

bertindak sebagai pertahan seluler. Jumlah normal limfosit pada kambing adalah 2000–9000 sel/µL (Lawhead dan James 2007), sedangkan nilai relatifnya adalah 50–70% (Latimer et al. 2003).

Gambar 9 Limfosit (Harvei 2001)

Monosit

Monosit diproduksi oleh sumsum tulang kemudian menuju aliran darah akhirnya menuju ke jaringan menjadi makrofag. Fungsi utama monosit dalam sistem imun yaitu merespon adanya tanda-tanda inflamasi dengan cara bergerak cepat (kira-kira 8–12 jam) ke tempat yang terinfeksi, membentuk protein dari suatu komplemen, dan mengeluarkan substansi yang mempengaruhi proses peradangan kronik (Guyton and Hall 2006). Diameter monosit 15–20 μm, inti berbentuk tapal kuda atau oval. Jumlah normal monosit kambing adalah 0–550 sel/µL (Lawhead dan James 2007), sedangkan nilai relatifnya adalah 0–4% (Latimer et al. 2003).

Gambar 10 Monosit (Harvey 2001)

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

(44)

7

bertindak sebagai pertahan seluler. Jumlah normal limfosit pada kambing adalah 2000–9000 sel/µL (Lawhead dan James 2007), sedangkan nilai relatifnya adalah 50–70% (Latimer et al. 2003).

Gambar 9 Limfosit (Harvei 2001)

Monosit

Monosit diproduksi oleh sumsum tulang kemudian menuju aliran darah akhirnya menuju ke jaringan menjadi makrofag. Fungsi utama monosit dalam sistem imun yaitu merespon adanya tanda-tanda inflamasi dengan cara bergerak cepat (kira-kira 8–12 jam) ke tempat yang terinfeksi, membentuk protein dari suatu komplemen, dan mengeluarkan substansi yang mempengaruhi proses peradangan kronik (Guyton and Hall 2006). Diameter monosit 15–20 μm, inti berbentuk tapal kuda atau oval. Jumlah normal monosit kambing adalah 0–550 sel/µL (Lawhead dan James 2007), sedangkan nilai relatifnya adalah 0–4% (Latimer et al. 2003).

Gambar 10 Monosit (Harvey 2001)

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

(45)

8

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah 9 ekor kambing PE yang sehat secara klinis usia kurang lebih 2 tahun (5 ekor perlakuan dan 4 ekor kontrol) usia kebuntingan empat sampai lima bulan (pemeriksaan kebuntingan dengan ultrasonografi (USG)), obat cacing, antibiotik, vaksin iradiasi S. agalactiae, pakan kambing, pewarna Giemsa, larutan turk, reagen California Mastitis Test (CMT), IPB 1 Mastitis Test, alkohol 70%, minyak imersi, xylol, metanol, dan vitamin B kompleks. Alat yang digunakan adalah tabung penampung darah dengan heparin, jarum 22 G, syringe 3 mL, USG, distrene plasticiser xylene (DPX) mountant®, counting chamber Neubauer, cover glass, object glass, boks preparat, kapas, tisu, pipet tetes, kamera digital, komputer, mikroskop Olympus®, kamera digital electronic eyepiece MD-130®, dan software SPSS 16.

Persiapan Bahan

Vaksin dibuat oleh BATAN. Bahan dasar vaksin adalah bakteri S. agalactiae

108 cfu/mL yang diiradiasi dengan sinar gamma 112.504 krad/jam. Vaksin yang digunakan sebanyak 2 mL/ekor secara subkutan di regio gumba (Tuasikal et al. 2012). Vaksinasi dilakukan sebanyak tiga kali pada usia kebuntingan 4 sampai 5 bulan.

Persiapan Hewan Percobaan

(46)

9

Tabel 2 Jadwal pengambilan darah dan vaksinasi iradiasi S. agalactiae kambing PE perlakuan dan pengambilan darah kambing kontrol

Nomor Kambing

Kebuntingan 4 Bulan Minggu ke-

Kebuntingan 5 Bulan Minggu ke-

Laktasi Minggu ke-

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9

20 X X

22 X X

35 X X

68 X X X

69 X X X

1 3 6 32

Keterangan : = Pengambilan darah X= Vaksinasi

Kambing no. 20 melahirkan 10 Desember 2012, no. 22 melahirkan 9 Desember 2012, no. 35 melahirkan 18 Desember 2012, no. 68 melahirkan 30 Desember 2012, no.69 melahirkan 25 Desember 2012, Kambing kontrol (1, 3, 6, dan 32) mengalami keguguran.

Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan darah dilakukan dari Vena jugularis 1 minggu setelah vaksinasi. Setelah Vena jugularis ditemukan, bagian yang akan ditusuk disucihamakan dengan alkohol 70%. Darah yang diperoleh ditampung dalam tabung penampung dengan antikoagulan heparin.

Gambar 11 Pengambilan darah dari Vena jugularis

Pembuatan Sediaan Ulas Darah dan Diferensiasi Leukosit

(47)

10

kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa zat warna lalu dikeringkan. Selanjutnya, DPX mountant diteteskan pada preparat ulas darah tersebut, ditutup dengan cover glass dan didiamkan sampai kering. Sediaan ulas darah yang telah diwarnai kemudian diamati di bawah mikroskop perbesaran obyektif 100X dan okuler 10X untuk menghitung diferensiasi leukosit hingga jumlah total yang teramati mencapai jumlah 100. Jumlah masing-masing jenis leukosit ditentukan dengan cara mengalikan persentase tersebut dengan jumlah total leukosit (Eggen et al. 2001). Selama proses diferensiasi leukosit difoto menggunakan kamera digital electronic eyepiece MD-130® yang terhubung secara langsung dengan komputer.

Prosedur Analisis Data

Data yang diperoleh dinyatakan dalam rataan dan simpangan baku masing-masing kelompok diolah dengan Microsoft Excel 2013 dilanjutkan analisis of varriance (ANOVA) one way menggunakan SPSS 16, dan uji post hoc Duncan

untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan pada P<0.05 (Singgih 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Leukosit

Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh jumlah leukosit pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil pengamatan jumlah leukosit kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi

S. agalactiae dan kambing PE kontrol

*Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05).

Jumlah leukosit prevaksinasi kambing perlakuan adalah 8966±946 sel/µL lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yakni 8633±879 sel/µL. Hal yang berbeda ditunjukkan pada posvaksinasi I, jumlah leukosit kambing perlakuan mengalami penurunan dan lebih rendah dari nilai kontrol. Penurunan jumlah leukosit kambing perlakuan terjadi karena limfosit dimobilisasi ke jaringan limfoid untuk pembentukkan antibodi yang memerlukan waktu 3–14 hari selain itu neutrofil dimobilisasi ke jaringan tempat penyuntikan vaksin (Lawhead dan James 2007). Peningkatan jumlah leukosit kambing perlakuan terjadi secara berturut-turut dari posvaksinasi II, III, dan dua minggu posvaksinasi III. Hal ini terjadi karena

Pengambilan darah

Jumlah Leukosit (sel/µL)

Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol

Prevaksinasi 8966±946a 8633±879a

Posvaksinasi I 7100±244a 7366±339a

Posvaksinasi II 7666±736a 8466±899a

Posvaksinasi III 8600±1557a 8266±2015a

Dua minggu

posvaksinasi III 9066±262

a 9333±618a

(48)

10

kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa zat warna lalu dikeringkan. Selanjutnya, DPX mountant diteteskan pada preparat ulas darah tersebut, ditutup dengan cover glass dan didiamkan sampai kering. Sediaan ulas darah yang telah diwarnai kemudian diamati di bawah mikroskop perbesaran obyektif 100X dan okuler 10X untuk menghitung diferensiasi leukosit hingga jumlah total yang teramati mencapai jumlah 100. Jumlah masing-masing jenis leukosit ditentukan dengan cara mengalikan persentase tersebut dengan jumlah total leukosit (Eggen et al. 2001). Selama proses diferensiasi leukosit difoto menggunakan kamera digital electronic eyepiece MD-130® yang terhubung secara langsung dengan komputer.

Prosedur Analisis Data

Data yang diperoleh dinyatakan dalam rataan dan simpangan baku masing-masing kelompok diolah dengan Microsoft Excel 2013 dilanjutkan analisis of varriance (ANOVA) one way menggunakan SPSS 16, dan uji post hoc Duncan

untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan pada P<0.05 (Singgih 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Leukosit

Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh jumlah leukosit pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil pengamatan jumlah leukosit kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi

S. agalactiae dan kambing PE kontrol

*Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05).

Jumlah leukosit prevaksinasi kambing perlakuan adalah 8966±946 sel/µL lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yakni 8633±879 sel/µL. Hal yang berbeda ditunjukkan pada posvaksinasi I, jumlah leukosit kambing perlakuan mengalami penurunan dan lebih rendah dari nilai kontrol. Penurunan jumlah leukosit kambing perlakuan terjadi karena limfosit dimobilisasi ke jaringan limfoid untuk pembentukkan antibodi yang memerlukan waktu 3–14 hari selain itu neutrofil dimobilisasi ke jaringan tempat penyuntikan vaksin (Lawhead dan James 2007). Peningkatan jumlah leukosit kambing perlakuan terjadi secara berturut-turut dari posvaksinasi II, III, dan dua minggu posvaksinasi III. Hal ini terjadi karena

Pengambilan darah

Jumlah Leukosit (sel/µL)

Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol

Prevaksinasi 8966±946a 8633±879a

Posvaksinasi I 7100±244a 7366±339a

Posvaksinasi II 7666±736a 8466±899a

Posvaksinasi III 8600±1557a 8266±2015a

Dua minggu

posvaksinasi III 9066±262

a 9333±618a

(49)

11

telah dilakukan booster, sehingga terbentuk imun sekunder terhadap antigen (Radji 2010). Selain itu pengambilan darah posvaksinasi III merupakan akhir kebuntingan, yang menyebabkan terjadinya stres. Stres mengakibatkan meningkatnya kadar kortisol sehingga jumlah neutrofil meningkat yang menyebabkan jumlah leukosit meningkat pula. Keadaan ini disebut sebagai leukositosis kortikosteroid (Stocham dan Scott 2008).

Neutrofil

Penyuntikan vaksin akan memicu sel-sel pertahanan tubuh yakni neutrofil dan makrofag untuk memfagosit agen. Neutrofil merupakan leukosit yang pertama berperan dalam melawan infeksi (Radji 2010). Hasil pengamatan tertera pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil pengamatan neutrofil kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol

Pengambilan Darah

Nilai Relatif (%) Jumlah Neutrofil (sel/µL) Kelompok Prevaksinasi 26.67±0.57b 36.33±18.23b 2331±350b 3136±948b Posvaksinasi I 18.67±2.08b 42.00±17.69c 1325±190b 3094±949c Posvaksinasi II 19.00±1.15a 32.33±7.09a 1456±228a 2737±607a Posvaksinasi

38.33±12.74c 34.00±12.49c 3475±1012c 3173±1033 c

Nilai normal 30–48%

(Latimer et al. 2003)

1200–7200 sel/µL (Lawhead dan James 2007) *Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05)

(50)

12

utamanya neutrofil meningkat melalui pelepasan neutrofil dari sumsum tulang masuk ke dalam aliran darah dan menghambat migrasi neutrofil dari sirkulasi darah menuju jaringan (Colville dan Bassert 2008). Nilai relatif neutrofil kambing perlakuan kembali meningkat pada dua minggu posvaksinasi III yakni 38.33±12.74% namun masih normal.

Gambar 12 Morfologi neutrofil kambing PE perlakuan, bar= 5 µm

Monosit

Selain neutrofil, leukosit yang mampu memfagosit adalah makrofag. Makrofag adalah monosit yang telah bermigarasi ke jaringan (Guyton dan Hall 2006). Hasil pengamatan tertera pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil pengamatan monosit kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol

Pengambilan Darah

Nilai Relatif Monosit (%) Jumlah Monosit (sel/µL) Kelompok Prevaksinasi 8.00±3.46a 4.33±1.15a 717±418 a 373±118a Posvaksinasi I 6.67±4.51a 5.67±3.05a 473±36 a 417±199a Posvaksinasi II 6.00±1.73a 3.33±1.15a 460±173a 281±94a Posvaksinasi

( Lawhead dan James 2007) *Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05)

(51)

13

terkonsentari di jaringan menyebabkan jumlah monosit yang ada di sirkulasi berkurang (Radji 2010).

Mekanisme terbentuknya antibodi pada vaksinasi diawali dengan antigen yang disuntikkan ke jaringan. Makrofag berubah menjadi antigen presenting cell

(APC) setelah memfagosit antigen. Nilai relatif monosit kembali mengalami kenaikan saat posvaksinasi III yakni 7.00±0.00%. Hal ini menunjukkan telah terbentuk imun sekunder. Makrofag merupakan salah satu bentuk dari respon imun selular, dimana aktivitas makrofag sangat dipengaruhi oleh interferon dan interleukin yang dihasilkan oleh sel T. Umumnya antingen mikroba maupun antigen yang terlarut disajikan oleh makrofag kepada sel T-helper, sehingga, monosit diproduksi dalam jumlah banyak dan cepat untuk dimobilisasi ke jaringan menjadi makrofag (Radji 2010). Nilai relatif monosit kembali mengalami penurunan pada dua minggu posvaksinasi III yakni 3.67±3.05%, namun masih normal 0–4% (Latimer et al. 2003).

Gambar 13 Morfologi monosit kambing PE perlakuan, bar= 5 µm Limfosit

Limfosit merupakan leukosit yang berperan dalam pembentukan antibodi (Radji 2010). Hasil pengamatan tertera pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil pengamatan limfosit kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol

Pengambilan Darah

Nilai Relatif Limfosit (%) Jumlah Limfosit (sel/µL) Kelompok Prevaksinasi 64.00±2.16b 58.00±15.76b 5738±411b 5007±757b Posvaksinasi I 73.67±2.05c 49.00±12.32b 5230±87c 3609±451a Posvaksinasi

57.67±8.73a 58.33±7.84a 5228±924a 5444±1268a

Nilai normal 50–70%

(Latimer et al. 2003)

Gambar

Gambar 2  Kambing PE betina (Sutama 2011)
Gambar 3  Ambing mastitis pada kambing PE (Suwito dan Indrajulianto 2013)
Gambar 11  Pengambilan darah dari Vena  jugularis
Tabel 4  Hasil pengamatan neutrofil kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi S.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai hasilnya, untuk panjang gate secara phisik yang sama, divais GCMOSFET dapat menghasilkan arus drive yang lebih tinggi dan puncak transkonduktansi yang lebih

penulis akan menciptakan sebuah karya seni yang bersifat fungsional berupa Softcase Drumset dengan berbahan dasar kulit nabati yang nantinya akan diproses

Koreksi penuh pada peta laut dilakukan secara periodik dan akan menghasilkan peta edisi baru/ diperbarui yang dimutakhirkan oleh kumpulan informasi dalam Berita Pelaut (Notices

Perbedaan prinsip yang nyata pada pelaksanaan pembuatan kapal kayu secara tradisional dengan secara teknik terletak pada konstruksi pemasangan geladak dan pada pemasangan papan

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ada beberapa implikasi terhadap pihak yang berkompeten demi peningkatan kinerja guru yaitu pimpinan sekolah hendaknya memberikan

Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Reward to Performed Teacher in Madrasah Aliyah Asy-Syafi’iyah Margasari Kebupaten Tegal, Kusnoto, Tesis Program Pascasarjana Institut

Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) penyusunan perencanaan sekolah disusun setiap tahun ajaran baru dengan melibatkan kepala sekolah, guru, staf, dan

Berdasarkan hasil post test, yang diperoleh dari penilaian terhadap kemampuan guru- guru selama praktik berlangsung, yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah pelatihan yang