• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Eksekusi Perdata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hukum Eksekusi Perdata"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata. Makmur dan merata artinya bukan hanya golongan tertentu tetapi makmur yang disertai dengan tumbuhnya keadilan berupa pemerataan dari kemakmuran dengan mensejahterakan rakyat sesuai dengan cita-cita Pancasila yaitu menciptakan bentuk masyarakat yang berkemanusiaann yang adil dan beradab.

Mewujudkan semua yang dicita-citakan sesungguhnya sudah menjadi kewajiban masyarakat sebagai warga negara untuk turut serta mendorong terciptanya keadilan dan kesejahteraan dengan cara bersosialisasi, berinteraksi, serta menjalin hubungan sesama manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Manusia adalah makhluk sosial yakni makhluk yang tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan satu sama lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia pasti berhubungan dengan manusia lainnya yang mana dalam hubungan tersebut terdapat hak dan kewajiban, di mana manusia harus mendapatkan haknya dan melaksanakan kewajibannya.

Hukum perdata Indonesia mengatur seseorang untuk melaksanakan kerjasama antara satu dan yang lainnya dalam hukum perjanjian. Dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya ditulis KUHPerdata) diatur mengenai hukum perjanjian tersebut.

Dalam perkembangan transaksi dan bisnis yang makin maju saat ini, perjanjian tidak hanya dilakukan antara orang yang satu dan yang lainnya, melainkan juga terdapat perjanjian antara badan hukum yang satu dan badan hukum yang lainnya.

(2)

“Apabila seseorang berhutang tidak memenuhi kewajibannya, menurut bahasa hukum ia melakukan “wanprestasi” yang menyebabkan ia dapat digugat didepan hakim.”1

Hukum perjanjian merupakan bagian hukum perdata yang diatur dalam KUHPerdata merupakan hukum materiil yang tidak akan tegak dan berjalan dengan baik tanpa adanya hukum formiil yang dalam hal ini adalah hukum acara perdata yang diatur dalam H.I.R., R.Subekti berpendapat :

“Hukum acara itu mengabdi pada hukum materiil, maka dengan sendirinya setiap perkembangan dalam hukum materiil itu sebaiknya selalulu diikuti dengan penyesuaian hukum acaranya.”2

Seseorang atau badan hukum dapat mengajukan gugatan ke pengadilan tatkala tidak terpenuhinya prestasi oleh salah satu pihak yang diatur dalam hukum acara perdata. Terhadap gugatan tersebut hakim akan menilai dan memutuskan dengan memperhatikan fakta-fakta dipersidangan. Putusan hakim ini memliki kekuatan hukum dan wajib untuk dilaksanakan.

Dalam hukum acara perdata, putusan hakim terdapat beberapa jenis sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Abdul Kadir Muhammad, S.H. yakni :3

1. Putusan Kondemnator (Condemnatoir vonnis, condemnatory verdict). 2. Putusan Deklarator (declartoir vonnis, declaratory verdict).

3. Putusan Konstitutif (Constitutief vonnis, constitutive verdict).

Eksekusi bukan hanya terdapat dalam hukum perdata melainkan juga terdapat dalam hukum pidana, namun penulis hanya akan mengkaji esksekusi yang dimaksud pada penelitian ini adalah eksekusi yang dimaksud dalam hukum perdata.

Untuk melaksanakan putusan pengadilan dalam putusan perdata dikenal istilah eksekusi. Djazuli Bachar, S.H. berpendapat :

“Meminjam kata-kata asing eksekusi yang dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970 disebut sebagai “melaksanakan putusan Pengadilan”, dipergunakan istilah, “gerechtelijke ten uitvoerlegging” atau executive force.”4

1 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2001, hal.123.

2 R.Subekti dalam Moh.Taufik makarao, S.H., M.H., Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka

Cipta, Jakarta, 2004, hal.5.

3 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,

hal. 149.

4 Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata segi hukum dan penegakannya, Akademika

(3)

Eksekusi merupakan akhir dari gugatan perkara perdata dimana putusan hakim yang telah mempunyai putusan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dilaksanakan. Tidak semua jenis putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut dapat dieksekusi. Lilik Mulyadi, S.H. berpendapat :

“Pada asasnya putusan hakim hanya yang bersifat “condemnatoir” dengan amar berisi penghukuman saja yang dapat dieksekusi. Seperti: penghukuman berisi penyerahan sesuatu barang, mengosongkan sebidang tanah, membayar sejumlah uang atau melakukan sesuatu perbuatan tertentu dan lain-lain. Sedangkan terhadap putusan hakim dengan sifat amar “deklaratoir” atau “konstitutif” tidak memerlukan eksekusi oleh karena pada putusan tersebut mengandung sifat dan dan keadaan dinyatakan sah serta keadaan baru telah mulai berlaku/tercipta sejak putusan itu diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum.”5

Pelaksanaan eksekusi memerlukan bantuan dari pihak yang dihukum oleh putusan pengadilan. Pihak yang dihukum tersebut sewajarnya dengan sukarela melaksanakan putusan pengadilan. Hal ini berarti bahwa pihak yang dihukum menjalankan kewajibannya untuk melaksanakan prestasi yang dibebankan oleh pengadilan melalui putusannnya.

Apabila pihak yang dihukum oleh pengadilan tidak mau atau lalai melaksanakan putusan pengadilan, pihak yang berhak atas prestasi pihak yang dihukum dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara, baik secara lisan maupun secara tertulis agar putusan pengadilan dapat dilaksanakan. Untuk itu, ketua Pengadilan Negeri menyuruh memanggil pihak yang dihukum serta memperingatkannya agar dia melaksanakan putusan pengadilan selambat-lambatnya dalam tempo delapan hari, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 196 HIR.

Apabila dalam tempo delapan hari putusan pengadilan tidak dilaksanakan, atau pihak yang dihukum setelah dipanggil dengan patut tidak juga menghadap, maka Pengadilan Negeri karena jabatannya memerintahkan secara tertulis agar melakukan penyitaan atas barang bergerak milik pihak yang dihukum sebanyak

5 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teorit dan Praktk Peradilan di Indonesia,

(4)

harga yang wajib dibayar ditambah biaya pelaksanaan putusan pengadilan. Apabila barang-barang bergerak tidak ada atau tidak mencukupi, maka dilaksanakan penyitaan atas barang tidak bergerak, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 197 ayat (1) HIR.

Eksekusi terhadap putusan pengadilan dalam perkara perdata dalam rangkaian sistem peradilan perdata oleh badan peradilan umum berada di luar proses sengketa. Hukum yang mengatur eksekusi merupakan sebagian dari hukum acara perdata yang terletak di ujung proses yang pada dasarnya tidak ditangani lagi oleh hakim yang memutus perkara yang bersangkutan. Pemimpin dan penanggung jawabnya adalah Ketua Pengadilan Negeri yang dibantu oleh Panitera/Jurusita, sedangkan putusan yang harus dieksekusi adalah putusan-putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung dan putusan-putusan badan lain yang diserahkan ke Pengadilan Negeri..

Sudah selayaknya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 196 HIR, setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan eksekusi dari pihak yang berhak atas putusan pengadilan (pihak yang menang), maka Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan untuk melakukan peringatan (aanmaning) dengan cara pemanggilan pihak yang wajib melaksanakan putusan pengadilan (pihak yang kalah) untuk menghadap di pengadilan pada hari, tanggal, dan jam yang ditentukan. Semua peristiwa yang terjadi dalam persidangan pemberian peringatan dicatat dalam berita acara, sebagai bukti autentik sidang peringatan. Bahkan berita acara tersebut sangat penting untuk mendukung dan menjadi sumber landasan keabsahan penetapan perintah eksekusi selanjutnya.

Peringatan (aanmaning) merupakan salah satu syarat pokok eksekusi. Tanpa peringatan terlebih dahulu, eksekusi tidak dapat dilaksanakan. Tahap selanjutnya dalam eksekusi perdata ketika peringatan (aanmaning) telah terlaksana adalah tahap sita eksekusi berdasarkan surat perintah. Dalam tahap ini Pasal 197 HIR memberi kewenangan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memerintahkan sita eksekusi terhadap harta kekayaan tergugat, perintah eksekusi berbentuk surat penetapan, perintah ditujukan kepada panitera atau juru sita.

(5)

dilaksanakan maka akan mencederai penegakan hukum. Djazuli Bachar, S.H. menjelaskan :

“Isi putusan pengadilan/amar putusan adalah hukum sebagai pencerminan norma hukum yang berlaku dalam masyarakat yang pernah dilanggar dan karena itu keseimbangan berlakunya norma itu menjadi terganggu dan menuntut pemulihan. Suatu rangkaian usaha untuk melaksanakan hukum perlu dilakukan dalam kegiatan ini merupakan penegakan hukum setelah diminta oleh yang berkepentingan.”6

Ketika pelaksanaan eksekusi tidak terlaksana maka pemenuhan hak atas prestasi dari pihak yang dihukum oleh putusan pengadilan menjadi tidak pasti. Jika hal ini terus berlanjut maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

BAB II PEMBAHASAN

TINJAUAN UMUM MENGENAI EKSEKUSI

(6)

DALAM PERKARA PERDATA

Tujuan para pihak yang bersengketa khususnya sengketa perdata menyerahkan penyelesaian sengketa mereka adalah untuk menyelesaikan permasalahan sengketa mereka dengan putusan pengadilan. Namun hanya dengan putusan pengadilan saja bukan berarti permasalahan telah tuntas, melainkan jika putusan tersebut dilaksanakan.

Putusan pengadilan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yaitu putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilakukan upaya hukum, seperti verzet, banding, dan kasasi.

Ada dua cara dalam melaksanakan putusan yakni dengan cara sukarela dan dengan cara eksekusi. M. Yahya Harahap, S.H. menjelaskan :

“Pada prinsipnya, eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah (tergugat) tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela. Jika pihak tergugat (pihak yang kalah) bersedia memenuhi putusan secara sukarela, tindakan eksekusi harus disingkirkan. Oleh karena itu, harus dibedakan antara menjalankan putusan secara sukarela dengan menjalankan putusan secara eksekusi.”7

Dalam eksekusi terdapat asas-asas yang perlu diperhatikan, sebagaimana diungkapakan oleh M. Yahya Harahap, S.H. sebagai berikut :8

1. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. 2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela.

3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnatoir.

4. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri.

Ada beberapa bentuk dalam undang-undang mengenai pengecualian dalam hal memperkenankan eksekusi dapat dijalankan diluar asas-asas eksekusi. M.Yahya harahap, S.H. mengungkapkan bentuk-bentuk pengecualian yang diatur dalam undang-undang adalah sebagai berikut :9

1. Pelaksanaan putusan yang dapat dijalankan lebih dulu.

7 . M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan EksekusiBidang Perdata, Sinar Grafika,

Jakarta, 2006, cet.kedua, hal. 11

(7)

2. Pelaksanaan putusan provisi. 3. Akta perdamaian

4. Eksekusi terhadap Grosse Akta.

5. Eksekusi atas Hak Tanggungan (HT) dan Jaminan Fidusia (JF).

Sita eksekusi atau executorial beslag merupakan tahap lanjutan dari peringatan dalam proses eksekusi pembayaran sejumlah uang. Mengenai sita eksekusi ini pengaturannya terdapat dalam pasal 197 HIR.

Sumber hukum eksekusi terdapat dalam HIR, KUHAP, Undang-Undang Hak Tanggungan, Undang-Undang Jaminan Fidusia. Dalam penelitian ini lebih mengkaji pada eksekusi dalam hukum acara perdata.

Dalam eksekusi pembayaran sejumlah uang dikenal lelang eksekusi yang pengaturannya selain berpedoman pada HIR juga berpedoman pada Kep. Menkeu No. 304/KMK 01/2002 tanngal 13 Juni 2002 jo. Kep. Menkeu No. 450/KMK 01/2002 tanggal 28 Oktober 2002 jo. Kep. DJPLN No. 35/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.

Cara-cara menjalankan eksekusi diatur dalam HIR mulai Pasal 195 sampai Pasal 224. Berdasarkan SEMA No. 2 Tahun 1964 tidak semua pasal-pasal tersebut berlaku secara efektif. Ketentuan pasal 209 sampai dengan ketentuan Pasal 225 HIR yang mengatur tentang sandera (gijzeling) tidak lagi diberlakukan. Namun perlu dijelaskan SEMA No. 2 tahun 1964 yang bercorak generalis menghapuskan penerapan penyanderaan debitur, telah direduksi oleh PERMA No. 1 Tahun 2000.10 Menurut PERMA ini, terhadap debitur tertentu, dapat dilakukan

penyanderaan apabila terpenuhi syarat-syarat yang disebut di dalamnya.

Dengan diaturnya mengenai pelaksanaan eksekusi menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia maka segala bentuk putusan pengadilan yang telah memenuhi asas-asas sebagaimana penjelasan di atas maka sudah selayaknya putusan tersebut dilaksanakan.

Ada kalanya eksekusi tidak dapat dijalankan (noneksekutabel), namun terdapat beberapa kategori dan prosedural-prosedural untuk menyatakan bahwa eksekusi tidak dapat dijalankan. Penulis akan membahas hal ini lebih lanjut dalam BAB II.

(8)

Terdapat dua jenis eksekusi perdata, yakni eksekusi riil dan eksekusi pembayaran. M. Yahya Harahap, S.H. menjelaskan :

“Pada dasarnya ada dua bentuk eksekusi ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan. Adakalanya sasaran hubungan hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar atau dictum putusan, yaitu melakukan suatu “tindakan nyata” atau “tindakan riil”, sehingga eksekusi semacam ini disebut “eksekusi riil”. Adakalanya hubungan hukum yang mesti dipenuhi sesuai dengan amar putusan, melakukan “pembayran sejumlah uang”. Eksekusi yang seperti ini disebut “pembayaran uang”.”11

A. Putusan Pengadilan/Putusan Hakim 1. Pengertian Putusan Pengadilan

Setelah melalui mekanisme pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik pengggugat, duplik tergugat, pembuktian dan kesimpulan yang diajukan oleh penggugat dan oleh tergugat selesai dilaksanakan maka pihak-pihak yang berperkara telah melaksanakan hak dan kewajibannya dalam beracara di pengadilan dalam hukum perdata, maka hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut.

Putusan pengadilan biasanya sesuatu yang sangat diharapakan dan dinantikan oleh pihak-pihak yang berperkara dengan harapan bahwa putusan pengadilan tersebut dapat menyelesaikan sengketa pihak yang berperkara dengan sebaik-baiknya. Dengan putusan pengadilan tersebut pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.

Supaya putusan pengadilan benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, maka hakim sebagai aparatur penegak hukum yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang diterapkan.

(9)

Jika kita mengacu pada HIR maka pengertian atau batasan terhadap putusan hakim tidak dapat kita temui. Ketentuan-ketentuan yang ada pada dasarnya hanya menentukan hal-hal yang harus ada dan dimuat oleh putusan hakim.

Marilah kita melihat beberapa pandangan para pakar hukum mengenai putusan pengadilan/putusan hakim sebagai berikut:

Menurut Lilik Mulyadi, S.H. memberikan pengertian mengenai putusan hakim/putusan pengadilan itu adalah:

“Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara perdata yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara perdata pada umumnya dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara.”12

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. memberikan pengertian mengenai putusan hakim/pengadilan adalah sebagai berikut:

“Suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan.”13

Menurut Rubini, S.H. dan Chaidir Ali, S.H., merumuskan bahwa putusan hakim/pengadilan adalah sebagai berikut:

“Keputusan Hakim itu merupakan suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut vonnis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat pula akibat-akibatnya.”14

12 Lilik Mulyadi, S.H., Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktek Peradilan Indonesia,

Djambatan, Jakarta, 1997, hal. 204.

13 Sudikno Mertokusumo dalam Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata,

Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 124.

(10)

2. Sifat Putusan Pengadilan

Dalam Hukum Acara Perdata, putusan pengadilan menurut sifatnya dibagi ke dalam tiga jenis :15

a. Putusan Kondemnator (condemnatoir vonnis, condemnatory verdict) Putusan Kondemnator adalah putusan yang bersifat menghukum. Hukuman dalam perkara perdata berbeda dengan hukuman dalam perkara pidana. Dalam perkara perdata, hukuman artinya kewajiban untuk memenuhi prestasi yang dibebankan oleh hakim. Menghukum artinya membebani kewajiban untuk berprestasi terhadap lawannya. Prestasi itu dapat berwujud memberi sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Dalam putusan ini ada pengakuan atau pembenaran hak penggugat atas suatu prestasi yang dituntutnya, atau sebaliknya tidak ada pengakuan atau tidak ada pembenaran atas sutu prestasi yang dituntutnya. Hak atas sutu prestasi yang telah ditetapkan oleh hakim dalam putusan ini dapat dilaksanakan dengan paksaan . b. Putusan Deklarator (declaratoir vonnis, declaratory verdict)

Putusan deklarator adalah putusan yang bersifat menyatakan hukum atau menegaskan suatu keadan hukum semata-mata. Dalam putusan ini dinyatakan bahwa keadaan hukum tertentu yang dimohonkan itu ada atau tidak ada. Putusan ini tidak ada pengakuan sesuatu hak atas prestasi tertentu. Umumnya putusan ini terjadi dalam lapangan hukum badan pribadi, misalnya mengenai pengangkatan anak, kelahiran, penegasan hak atas suatu benda. Putusan ini bersifat penetapan saja tentang keadaan hukum, tidak bersifat mengadili karena tidak ada sengketa.

c. Putusan konstitutif (consitutief vonnis, constitutive verdict)

Putusan konstitutif adalah putusan yang bersifat menghentikan keadaan hukum lama menjadi keadaan hukum yang baru. Dalam putusan ini suatu keadaan hukum tertentu dihentikan, atau ditimbulkan suatu keadaan hukum baru, misalnya putusan pembatalan perkawinan, pembatalan perjanjian. Putusan ini tidak diperlukan pelaksanaan dengan paksaan karena dengan dijatuhkannya putusan tersebut sekaligus keadaan hukum lama berhenti dan timbul keadaan hukum baru.

B. Pengertian Eksekusi dan asas eksekusi

15 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,

(11)

HIR tidak secara tegas memberikan pengertian mengenai eksekusi. Bertitik tolak dari ketentuan Bab kesepuluh bagian kelima HIR, eksekusi diistilahkan sama dengan tindakan “menjalankan putusan”. Retno Wulan Sutantio16 menggunakan istilah “pelaksanaan putusan”. Begitu pula dengan Prof.

Subekti17 menggunakan istilah “pelaksanaan putusan”.

M. Yahya Harahap, S.H. memberikan definisi mengenai eksekusi adalah: “Eksekusi atau pelaksanaan putusan ialah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah perdata.”18

Eksekusi terhadap putusan perdata menjadi penting dan merupakan akhir dari perkara perdata. Dalam praktik tidak sedikit dijumpai bagi pihak yang harus menjalankan putusan hakim tersebut tidak mau menjalankan putusan hakim tersebut secara sukarela. Pada asasnya terdapat empat asas dalam melaksanakan eksekusi yakni sebagai berikut:19

1. Eksekusi (pelaksanaan putusan) dijalankan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Asas ini harus diperhatikan pada saat hendak melaksanakan eksekusi. Pada prinsipnya hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkrackht van gewijsde) yang dapat dijalankan. Apabila terhadap putusan masih ada pihak yang mengajukan upaya hukum berupa banding atau kasasi, putusan yang bersangkutan belum bisa dikatakan berkekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 1917 KUHPerdata. Maka ditinjau dari segi yuridis, asas ini mengandung makna bahwa eksekusi menurut hukum acara perdata adalah menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

2. Eksekusi dijalankan terhadap putusan yang tidak dijalankan secara sukarela. Pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela. Jika pihak yang kalah bersedia menaati dan memenuhi putusan secara sukarela, tindakan eksekusi harus disingkirkan. Oleh karena itu harus

16 Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan

Praktik, Alumni, bandung, 1977, hal. 111.

17 Subekti, Hukum Acara Perdata, BPHN, Jakarta, 1977, hlm. 128.

18 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika,

Jakarta, 2006, cet. Kedua, hal. 6.

(12)

dibedakan antara menjalankan putusan secara sukarela dengan menjalankan putusan secara eksekusi.

3. Putusan yang dapat dieksekusi adalah putsan yang bersifat Condemnatoir.

Putusan yang bersifat kondemnator mengandung arti putusan yang bersifat menghukum. Putusan-putusan yang memiliki sifat deklarator atau konstitutif tidak perlu dieksekusi, karena begitu putusan-putusan yang demikian itu begitu diputuskan oleh hakim, maka keadaan dinyatakan sah oleh putusan dan mulai berlaku pada saat itu juga. Putusan kondemnator bisa berupa putusan untuk:

a. Menyerahkan suatu barang. b. Mengosongkan sebidang tanah. c. Melakukan suatu perbuatan tertentu. d. Menghentikan suatu perbuatan/keadaan. e. Membayar sejumlah uang.

Dari kelima bentuk putusan kondemnator, dari a sampai dengan e adalah penghukuman untuk bentuk eksekusi riil, sedangkan pada point e adalah eksekusi pembayaran uang.

4. Eksekusi atas Perintah dan di bawah Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Asas ini diatur dalam Pasal 195 ayat (1) HIR. Jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu Pengadilan Negeri, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

C. Perbedaan Eksekusi riil dengan Eksekusi Pembayaran

Pada dasarnya ada dua bentuk eksekusi dilihat dari sasaran eksekusi yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang terdapat dalam putusan pengadilan. Adakalanya sasaran hubungan hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar atau diktum putusan, yakni dengan melakukan eksekusi riil sasaran yang ingin dicapai adalah tindakan nyata sedangkan melakukan eksekusi pembayaran uang tidak lain sasaran yang ingin dicapai adalah untuk melakukan pembayaran sejumlah uang sesuai dengan amar putusan.

Terlepas dari klasifikasi eksekusi riil dengan eksekusi pembayaran di atas, Prof. Sudikno membagi jenis eksekusi ke dalam tiga kelompok :20

1. Membayar sejumlah uang. 2. Melaksanakan suatu perbuatan.

(13)

3. Eksekusi riil.

Pada dasarnya hampir tidak ada perbedaan antara menjalankan eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan dengan menjalankan eksekusi riil.21 Untuk

memahami lebih jelasnya mengenai perbedaan eksekusi riil dengan eksekusi pembayaran sejumlah uang, ada baiknya kembali diperhatikan asas eksekusi yang berkenaan dengan dengan prinsip kondemnator. Mengenai ciri putusan kondemnator telah dijelaskan sebelumnya, yakni dalam amar putusan terdapat pernyataan penghukuman terhadap tergugat untuk melakukan suatu perbuatan :

1. Menyerahkan suatu barang. 2. Mengosongkan sebidang tanah. 3. Melakukan suatu perbuatan tertentu. 4. Menghentikan suatu perbuatan/keadaan. 5. Membayar sejumlah uang.

Dari kelima acuan rincian kondemnator tersebut, angka 1, 2, 3, dan 4 adalah penghukuman yang berbentuk eksekusi riil. Sedankan angka 5 adalah eksekusi pembayaran.

Acuan untuk menyerahkan suatu barang (angka 1) eksekusinya adalah berbentuk nyata karenanya dikatakan eksekusi riil, yakni menghukum untuk menyerahkan barang yang diperkarakan. Apabila terhukum tidak mau menyerahkan barang objek sengketa secara sukarela maka penyerahan objek sengketa tersebut dapat dimohonkan eksekusi ke pangadilan. Disebut penghukuman menyerahkan suatu barang eksekusi riil disebabkan karena adanya penyerahan objek sengketa dari tergugat kepada penggugat secara langsung tanpa merubah bentuk dan sesuatu apapun terhadap objek sengketa.

Penghukuman pengosongan sebidang tanah (angka 2) merupakan bentuk eksekusi riil. Secara nyata dan langsung tanah itu harus dikosongkan dan ditinggalkan oleh terhukum.

Penghukuman untuk melakukan suatu perbuatan (angka 3) pada hakikatnya adalah penghukuman untuk melakukan perbuatan dalam bentuk nyata dan langsung dari terhukum untuk melaksanakn perbuatan itu. Hanya saja dalam penghukuman melaksankan suatu perbutan adakalnya dapat dinilai dengan uang tunai sebagaimana dikmaksud dalam Pasal 225 HIR.

Demikian pula mengenai penghukuman untuk menghentikan suatu perbuatan, merupakan ekskeusi riil berupa tindakan nyata menghentikan perbuatan yang dihukumkan kepada terhukum. Penghentian perbuatan yang

(14)

dihukum mesti dihentikan langsung dan nyata oleh terhukum. Misalnya terhukum dihukum untuk menghentikan proyek pekerjaan di tanah sengketa artinya terhukum secara nyata dan langsung harus berhenti untuk melakukan proyek pekerjaan di tanah sengketa tersebut.

Ada tiga hal yang membedakan antara eksekusi riil dengan eksekusi pembayaran. M. Yahya Harahap S.H. menyebutkan yang membedakaan itu adalah sebagai berikut:22

1. Eksekusi riil mudah dan sederhana, sedangkan eksekusi pembayaran uang memerlukan tahap sita eksekusi dan penjualan eksekusi.

Jika diperhatikan dengan seksama, menjalankan eksekusi riil sangat mudah dan sederhana. Ambil contoh penghukuman pengosongan tanah. Cara eksekusinya sederhana. Prosesnya pun sangat mudah dengan jalan memaksa tergugat keluar meninggalkan tanah tersebut. Begitu pula pada bentuk eskekusi riil yang lain. Pada dasarnya secara teoritis sangat mudah dan sederhana. Lain halnya mengenai eksekusi pembayaran sejumlah uang. Adakalanya terhukum sama sekali tidak mempunyai uang tunai. Yang ada hanya harta benda. Diperlukan syarat dan tata tertib yang terinci. Secara garis besarnya tahapannya adalah melalui proses sita jaminan (esxecutorial beslag) dan kemudian dilanjutkan dengan penjualan lelang yang melibatkan jawatan lelang.

Penahapan proses itu tidak perlu dalam menjalankan eskesusi riil. Pada eksekusi riil, Ketua Pengadilan Negeri cukup mengeluarkan surat penetapan yang memerintahkan eksekusi. Berdasarkan penetapan itu, panitera atau juru sita pergi ke lapangan melaksanakan penyerahan atau pembongkaran secara nyata. Dengan penyerahan atau pembongkaran, eksekusi sudah dianggap terlaksana. Berbeda halnya dengan ekskusi pembayaran sejumlah uang. Untuk mendapatkan uang itu, harta tergugat harus lebih dahulu dilelang dan untuk sampai pada tahap lelang terdapat tata cara tersendiri.

2. Eksekusi riil terbatas putusan pengadilan, sedang eksekusi pembayaran uang meliputi akta yang disamakan dengan putusan pengadilan .

Eksekusi riil hanya terjadi dan mungkin diterapakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memunyai kekuatan hukum tetap, bersifat dijalankan lebih dahulu, berbentuk provisi dan berbentuk akta perdamaian di sidang pengdilan. Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan

(15)

atas putusan pengadilan, tetapi juga didasarkan atas bentuk akta tertentu yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap yang terdiri dari grosse akta pengakuan utang, grosse akta hipotek, crediet verband, hak tanggungan, jaminan fidusia.

Eksekusi riil tidak mungkin dijalankan terhadap grosse akta. Sebab grosse akta pengakuan utang, hipotek, hak tanggungan, dan jaminan fidusia adalah ikatan hubungan hukum utang piutang yang harus diselesaikan dengan jalan pembayaran sejumlah uang. Jadi, bentuk kelahiran terjadinya grosse akta itu sendiri sudah menggolongkannya kepada eksekusi pembayaran sejumlah uang.

3. Sumber hubungan hukum yang disengketakan.

Eksekusi riil merupakan upaya hukum yang mengikuti persengketaan hak milik atau persengketaan hubungan hukum yang didasarkan atas perjanjian jual beli, sewa-menyewa atau perjanjian melaksanakan suatu perbuatan. Adapun eksekusi pembyaran sejumlah uang, dasar hubungan hukumnya hanya didasarkan atas persengketaan perjanjian utang-piutang dan ganti rugi berdsarkan wanprestasi, dan hanya dapat diperluas berdasarkan ketentuan Pasal 225 HIR dengan nilai sejumlah uang apabila tergugat enggan menjalankan perbuatan yang dihukumkan pada waktu tertentu.

D. Pengaturan Hukum Eksekusi

Eksekusi sebagai tindak lanjut putusan oleh pengadilan kepada pihak yang dihukum merupakan tindakan berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR. Setiap orang yang ingin mengetahui pedoman aturan eksekusi harus merujuk ke dalam aturan perundang-undangan dalam HIR.

(16)

dengan aturan sandera dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran (SEMA) No. 2/1964 tanggal 22 Januari 1964.23 Isi surat edaran ini ditujukan

kepada seluruh pengadilan di lingkungan peradilan umum. Namu demikian, Pada tanggal 30 Juni 2000 Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2000. Menurut PERMA ini, terhadap debitur tertentu, dapat dilakukan paksa badan apabila terpenuhi syarat-syarat yang disebut di dalamnya. Mengenai gijzeling akan dijelaskan dalam penjelasan tersendiri.

Berdasarkan hal yang telah dijelaskan maka dapat dipahami bahwa Cara-cara menjalankan eksekusi diatur dalam HIR mulai Pasal 195 sampai Pasal 224. Berdasarkan SEMA No. 2 Tahun 1964 tidak semua pasal-pasal tersebut berlaku secara efektif. Ketentuan pasal 209 sampai dengan ketentuan Pasal 225 HIR yang mengatur tentang sandera (gijzeling) tidak lagi diberlakukan. Namun SEMA No. 2 tahun 1964 yang bercorak generalis menghapuskan penerapan penyanderaan debitur, telah direduksi oleh PERMA No. 1 Tahun 2000. Menurut PERMA ini, terhadap debitur tertentu, dapat dilakukan paksa badan apabila terpenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam PERMA No. 1 Tahun 2000.

E. Prosedur Pelaksanaan Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang

Terdapat tata cara dan prosedur untuk menjalankan eksekusi pembayaran sejumlah uang. Pada dasarnya eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah untuk melaksanakan putusan pegadilan berupa pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan oleh putusan pengadilan. Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan putusan berupa pembayaran sejumlah uang sebagaimana yang dihukumkan kepadanya, maka pengadilan berwenang untuk melaksanakan eksekusi pembayaran sejumlah uang dengan cara penjualan lelang harta kekayaan tergugat di depan umum. Dari hasil penjualan lelang, dibayarkanlah kepada pihak yang yang berhak atas pihak yang dihukum sesuai dengan jumlah yang disebutkan dalam amar putusan.

Tidak serta merta penjualan lelang secara nyata dapat langsung dilakukan dan hasilnya langsung diperoleh oleh penerima hak dari pihak yang dihukum.

(17)

Terdapat tahapan-tahapan yang harus ditempuh. Bisa dikatakan, bahwa lelang dan penyerahan hasil lelang kepada penerima hak atas pihak yang dihukum adalah tahapan terakhir dalam eksekusi. Tahapan-tahapan itu adalah sebagai berikut :

1. Peringatan (aanmaning).

Peringatan (aanmaning) merupakan tahap awal proses eksekusi. Proses peringatan merupakan prasyarat yang bersifat formil pada segala bentuk eksekusi, baik pada eksekusi riil maupun eksekusi pembayaran sejumlah uang.

Peringatan (aanmaning) baru dapat dilakukan setelah diterimanya pengajuan permohonan eksekusi dari pihak pemohon eksekusi. Bentuk pengajuan eksekusi dapat dilakukan baik secara lisan maupun secara tulisan. Selama belum ada permohonan eksekusi, proses peringatan tidak dapat dilakukan. Namun demikian, ketika sudah diajukan permohonan eksekusi maka Ketua Pengadilan Negeri wajib melakukan peringatan (aanmaning). Batas waktu masa peringatan “aanmaning” ditentukan oleh ketua Pengadilan Negeri maksimal adalah 8 (delapan) hari. Hal ini sesuai dengan Pasal 196 HIR.

Setelah dilakukan peringatan (aanmaning), apabila pihak tergugat tidak hadir memenuhi panggilan peringatan tanpa alasan yang sah, atau setelah masa peringatan dilampaui tetap tidak mau memenuhi pembayran yang dihukumkan kepadanya, sejak saat itu Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk melakukan sita eksekusi (executoriale beslag).

2. Sita Eksekusi (executorial beslag)

Sita eksekusi atau (executorial beslag) merupakan tahap lanjutan dari peringatan dalam proses eksekusi pembayaran sejumlah uang. Tata cara sita eksekusi bertitik tolak dari ketentuan Pasal 197 HIR, Pasal 198 HIR, dan Pasal 199 HIR.

Mengenai sita eksekusi (executorial beslag) ada beberapa hal yang perlu dijelaskan oleh penulis adalah sebagai berikut :

(18)

eksekusi harus disusul dengan penahapan surat perintah penjualan lelang. Setelah penahapan proses perintah penjualan lelang baru kemudian dilakukan proses penahapan penjualan lelang oleh jawatan lelang.24

Mengenai penahapan penjualan lelang akan dibahas lebih lanjut dalam pemabahasan tersendiri.

b. Sita Eksekusi dilaksanakan Panitera atau Juru Sita. Jadi, surat perintah eksekusi berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk menyita sejumlah atau seluruh harta kekayaan tergugat yang jumlahnya disesuaikan dengan patokan batas yang ditentukan pasal 197 ayat (1) HIR. c. Panitera atau juru sita yang diperintahkan menjalankan sita eksekusi

dibantu dan disaksikan oleh dua orang saksi. Ketentuan ini adalah syarat formil yang ditentukan Pasal 197 ayat (6) HIR. Sita eksekusi yang tidak dibantu dan disaksikan dua orang saksi menurut hukum dianggap tidak memenuhi syarat. Akibatnya sita eksekusi dianggap tidak sah.

d. Tata cara pelaksanaan sita eksekusi menentukan persyaratan tentang keharusan pelaksanaan sita eksekusi dilakukan di tempat terletaknya barang yang hendak disita. Syarat ini disimpulkan dari ketentuan Pasal 197 ayat (5) dan ayat (9) HIR. Maksudnya adalah panitera atau juru sita datang ke tempat di mana barang yang hendak disita terletak untuk melihat sendiri jenis barang maupun ukuran dan letak barang yang hendak disita eksekusi bersama-sama dengan kedua orang saksi yang ditunjuk.

e. Sita eksekusi wajib untuk dibuatkan berita acara sita eksekusi. Autentikasi sita eksekusi sebagai tindakan hukum dituangkan dalam berita acara. Berita acara merupakan bukti autentik kebenaran sita eksekusi. Tanpa berita acara sita eksekusi dianggap tidak pernah terjadi. Hal inilah yang disinggung Pasal 197 ayat (5) dan (6) HIR. Menurut Pasal tersebut, fungsi sita eksekusi yang dilakukan panitera atau juru sita mesti dilengkapi dengan pembuatan berita acara.

f. Pasal 197 ayat (5) HIR menentukan berita Acara eksekusi diberikan kepada tersita eksekusi jika tersita hadir pada waktu pelaksanaan eksekusi.

(19)

Walaupun undang-undang menentukan demikian, namun berita acara eksekusi tetap diberikan kepada tereksekusi walapun dia tidak hadir.25

g. Sita eksekusi dapat dijalankan pelaksanaannya di luar hadirnya pihak tersita. Pelaksanaan sita eksekusi tidak digantungkan atas hadirnya pihak tersita. Hadir atau tidak hadir, sita dapat dijalankan pelaksanaannya.26

h. Penjagaan barang yang disita mesti tetap berada di tangan pihak tersita. Penjagaan dan penguasaan barang yang disita tidak boleh diserahkan kepada pemohon eksekusi. Sita eksekusi tidak dapat diartikan pelepasan hak milik tereksekusi atas barang yang disita. Selama barang yang disita eksekusi belum dijual lelang, hak milik tersita masih tatap melekat pada barang yang disita. Hal ini berdasarkan dengan hak penjagaan dan penguasaan barang yang disita eksekusi sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (9) HIR.

3. Lelang Eksekusi (executoriale verkoop).

Kelanjutan Sita Eksekusi adalah penjualan lelang (executorial verkoop). Hal ini ditegaskan Pasal 200 ayat (1) HIR yang berbunyi :

“penjualan barang yang disita dilakukan dengan bantuan kantor lelang, atau menurut keadaan yang akan dipertimbangkan Ketua, oleh orang yang melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, yang ditunjuk oleh Ketua untuk itu dan berdiam di tempat di mana penjualan itu harus dilakukan atau di dekat tempat itu.”

Setelah sita eksekusi dilaksanakan, undang-undang memerintahkan penjualan barang sitaan. Cara penjualannya dengan perantaraan Kantor Lelang. Penjualannya disebut penjualan lelang (executorial verkoop).

Pelaksanaan Lelang berpedoman pada Kep. Menkeu No. 450/KMK 01/2002 jo. Kep. Menkeu No. 450/KMK 01/2002 jo. Kep. DJPLN No. 35/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang. Akan penulis jelaskan mengenai tahapan-tahapan penjualan lelang sebagai berikut :

25 Lihat Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum dan Penegakan Hukum,

Akademika Pressindo, Jakarta, 1987, hal. 84.

(20)

a. Penjual mengajukan permohonan lelang. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Kep. Menkeu No. 304/KMK 01/2002 jo. No. 450/KMK 01/2002. Apabila Ketua Pengadilan Negeri hendak melaksankan lelang eksekusi berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) atau berdsarkan dokumen atau produk yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum, berarti Pengadilan Negeri berkedudukan sebagai penjual. Oleh karena itu, untuk pelaksanaan penjualan lelang itu, Ketua Pengadilan Negeri mengajukan permohonan kepada Kantor Lelang.

b. Dokumen persyaratan lelang harus dipenuhi oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam mengajukan permohonan lelang. Persyaratan dokumen yang harus dipenuhi tersebut diatur pada Pasal 2 dan pasal 3 angka 4 Kep. DJPLN No. 35/PL/2002. Dokumen yang harus diserahkan tersebut adalah :

(1) Salinan/fotokopi Surat Keputusan penunjukan penjual. (2) Syarat lelang dari penjual (apabila ada).

(3) Daftar barang yang akan dijual.

(4) Salinan/fotokopi putusan atau penetapan pengadilan.

(5) Salinan/fotokopi pentapan peringatan (aanmaning) atau teguran dari Pengadilan Negeri.

(6) Salinan/fotokopi penetapan sita oleh Ketua Pengadilan Negeri. (7) Salinan/fotokopi Berita Acara Sita.

(8) Salinan/fotokopi perincian utang/jumlah yang harus dipenuhi. (9) Salinan/fotokopi pemberitahuan lelang kepada termohon eksekusi. (10) Bukti kepemilikan atas barang yang akan dilelang. Dalam hal bukti

kepemilikan tidak dikuasai, harus ada pernyataan tertulis dari penjual bahwa barang-barang tersebut tidak disertai bukti kepemilikan dengan disertai alasannya.

(21)

pelaksanaan lelang, didasarkan tempat barang berada atau terletak. Dengan demikian, permohonan lelang diajukan kepada Kepala Kantor Lelang tempat di mana barang yang hendak dilelang berada. Akan tetapi, berdasarkan perubahan atas Pasal 5 Kep. Menkeu, dihubungkan dengan Pasal 4 ayat (2) Kep. DJPLN No. 35/PL/2002, lelang dapat juga dilaksanakan di luar wilayah kerja Kantor Lelang tempat di mana barang berada, dengan syarat mendapat persetujuan dari DJPLN untuk barang-barang yang berada dalam wilayah antar Kanwil DJPLN ; Kepala Kanwil DJPLN setempat untuk barang-barang yang berada di wilayah Kantor Wilayah DJPLN setempat.

d. Pengumuman lelang adalah tahapan berikutnya yang wajib dilaksanakan. Hal ini diatur Pasal 13 sampai dengan Pasal 22 Kep. Menkeu No. 304/KMK 01/2002 jo. No. 450/KMK 01/2002. Pengumuman Lelang dilakukan oleh penjual, dalam hal Penjualan lelang eksekusi perdata hal ini dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pengumuman lelang bukan dilakukan oleh Kantor Lelang.

e. Setelah pengumuman lelang dilaksanakan maka barulah dapat dikerjakan pelaksanaan lelang. mengenai Pelaksanaan Lelang ini diatur pada BAb III Kep. Menkeu No. 304/KMK 01/2002 jo. No. 450/KMK 01/2002 Pasal 23 sampai dengan pasal 42, dan BAB II Kep. DJPLN No. 35/PL/2002 (pasal 15-28).

f. Risalah Lelang wajib dibuat setelah pelaksanaan lelang. Pengaturan risalah lelang ini terdapat dalam BAB IV Pasal 43-51 Kep. Menkeu No. 304/KMK 01/2002 jo. No. 450/KMK 01/ 2002 dan BAB III Pasal 29-36 Kep. DJPLN No. 35/PL/2002.

g. BAB V Pasal 52-53 Kep. Menkeu No. 304/KMK 01/2002 jo. No. 450/KMK 01/ 2002 jo. BAB IV Pasal 37-38 Kep. DJPLN No. 35/PL/2002 menegaskan Kantor Lelang menyelenggarakan Pembukuan dan Laporan yang berkaitan dengan pelaksanaan lelang.

(22)

dengan jumlah yang harus dipenuhi oleh tereksekusi ditambah dengan biaya eksekusi maka kelebihan barang harus dikembalikan kepada tereksekusi. Hal ini diatur dalan HIR Pasal 198 ayat (5).

F. Eksekusi Yang Tidak Dapat Dijalankan (Noneksekutabel)

Pada bagian ini akan dijelaskan alasan-alasan dan hambatan yang dapat dijadikan dasar untuk menyatakan eksekusi tidak dapat dijalankan atau noneksekutabel. Alasan-alasan dan hambatan itu adalah sebagai berikut :27

1. Harta Kekayaan Terkesekusi tidak ada.

Jika secara nyata tidak dijumpai harta tereksekusi dalam eksekusi pembayaran sejumlah uang, sudah barang tentu eksekusi tidak dapat dijalankan. Kalau barang yang hendak dieksekusi tidak ada lagi, baik dalam keadaan hancur atau berpindah secara sah dengan alas hak yang sah, tidak mungkin eksekusi riil dapat dijalankan.

2. Putusan bersifat deklarator.

Sebagaimana dijelaskan dalam asas-asas eksekusi, salah satu asas eksekusi ialah putusan yang dijatuhkan bersifat kondemnator, yakni amar yang berisi penghukuman kepada pihak terhukum. Misalnya, amar putusan hanya menyatakan penggugat sebagai pemilik tanah terperkara, tetapi tidak dibarengi dengan amar yang menghukum tergugat untuk mengosongkan terperkara kepada penggugat. Amar yang demikian bersifat deklarator. Oleh karena itu, putusan tersebut tidak dapat dieksekusi (noneksekutabel).

3. Barang objek eksekusi di tangan pihak ketiga.

Prinsipnya eksekusi harus dinyatakan tidak dapat dijalankan apabila barang objek eksekusi sudah berpindah kepada pihak ketiga, sedangkan pihak ketiga tidak ikut digugat. Namun prinsip ini tidak terlepas dari keabsahan alas hak yang diperoleh pihak ketiga atas barang yang bersangkutan dan adanya amar yang mencantumkan penghukuman siapa saja yang mendapatkan hak dari tergugat.

(23)

4. Eksekusi terhadap penyewa.

Eksekusi terhadap penyewa yang tidak ikut digugat sama halnya dengan eksekusi terhadap pihak ketiga yang menguasai barang objek eksekusi berdasarkan alas hak yang sah dan sekaligus berkaitan dengan asas yang diatur dalam 1576 KUPerdata yang menentukan “jual beli tidak memutus sewa-menyewa”.

5. Barang yang hendak dieksekusi dijaminkan kepada pihak ketiga.

Agar lebih memudahkan untuk memahami hal ini, maka penulis akan memberikan contoh. Misalnya, A meminjam uang dari B. oleh karena A dan B memiliki hubungan dekat, perjanjian pinjaman tidak secara tegas menyebutkan barang jaminannya. Pada saat A hendak mengeksekusi harta B guna memenuhi pembayaran pinjaman, ternyata B telah mengagunkan hartanya kepada Bank. Dalam kasus seperti ini, ekskeusi tidak dapat dijalankan dengan alasan semua harta tereksekusi sudah diagunkan utang kepada Bank.

6. Tanah yang hendak dieksekusi tidak jelas batasnya.

Menganai penerapan alasan nonkesekutabel karena tanah yang dieksekusi tidak jelas batasnya haruslah dilakukan secara hati-hati dan tidak tergesa-gesa. Untuk mengetahui secara pasti apakah jelas atau tidak batas tanah, Pengadilan melakukan upaya terlebih dahulu untuk mendapatkan kejelasan tersebut. Kejelasan batas tanah penting sifatnya agar tidak mengganggu hak-hak pihak lain akibat ekskusi dan menimbulkan masalah baru. Jika batas tanah yang hendak dieksekusi tidak jelas, maka dapat merugikan hak-hak pihak lain. Oleh karena itu, ketidakjelasan batas tanah yang hendak dieksekusi dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa eksekusi tidak dapat dijalankan (noneksekutabel).

7. Perubahan status tanah menjadi tanah negara.

(24)

dieksekusi, HGB sudah habis atau perpanjangan HGB ditolak, dan tanah terperkara ditetapkan menjadi tanah yang dikuasai Negara.

8. Barang objek eksekusi berada di luar negeri.

Pada prinsipnya, eksekusi terhadap barang yang berada di luar negeri dinyatakan noneksekutabel. Hal ini sesuai dengan asas “nasionalitas” dan “ekstrateritorial” yang terkandung dalam hukum acara perdata. Setiap Negara mempunyai kedaulatan penuh dalam negaranya, sehingga badan kekuasaan negara lain tidak dibenarkan bertindak dalam wilayah Negara lainnya.

9. Dua putusan saling berbeda.

Apabila terdapat dua putusan yang telah sama-sama memperoleh kekuatan hukum tetap, yang amar putusannya saling berbeda. Padahal baik mengenai subjek dan objeknya persis sama. Pihak yang berperkara adalah orang yang sama. Objek yang diperkarakan juga sama. Hal ini dapat menyebabkan bahwa eksekusi dinyatakan noneksekutabel.

10. Eksekusi terhadap harta kekayaan bersama.

Hal ini terkait dengan masalah jatuhya harta kekayaan bersama menjadi hak istri atau suami. Akan dijelaskan mengenai hal yang dapat dieksekusi dan tidak dapat dieksekusi terkait eksekusi terhadap harta kekayaan bersama sebagai berikut :

a. Eksekusi dapat dijalankan terhdapa harta bersama yang masih utuh sebagai pembayar kepentingan rumah tangga. Kalau harta kekayaan perkawinan masih utuh dan belum dilakukan pembagian antara suami istri, eksekusi dapat dijalankan terhadapnya, apabila peristiwa hukum yang melibatkan harta kekayaan bersama dibuat untuk kepentingan keluarga.

b. Eksekusi dapat dijalankan bila disetujui pihak yang lain. Dalam keadaan harta perkawinan masih utuh, suami atu istri mengadakan tindakan hukum, dan tindakan tersbut disetujui atau sekurang-kurangnya diketahui oleh pihak yang lain.

(25)

oleh suami. Pada saat pembagian harta, suami tidak menyinggung pinjaman tersebut. Eksekusi tida dapat ditujukan kepada bagian istri. Lain halnya kalau pada saat peminjman dilakukan dan harta kekayaan bersama dijadikan jaminan pinjaman, istri menyetujui. Tak lama terjadi perceraian, sekaligus harta kekayaan bersama dibagi menjadi dua tanpa memperhitungkan pinjaman suami yang telah disetujui istri. Kemudian sebagian harta yang jatuh menjadi bagian istri termasuk barang yang dijadikan sebagai jaminan pinjaman. Dalam kasus ini eksekusi dapat diterapkan dengan mendahulukan eksekusi seluruh harta suami, kekurangannya baru diambil dari harta istri.

Berdasarkan alasan-alasan dan hambatan sebagaimana diungkapkan di atas, maka eksekusi tidak dapat dijalankan menurut hukum. Dengan demikian eksekusi haruslah dinyatakan tidak dapat dijalankan (noneksekutabel).

G. Penyanderaan (Gijzeling)

Berdasarkan SEMA No. 2 Tahun 1964 istilah penyanderaan (Gijzeling) yang terdapat dalam HIR dihapuskan. Namun demikian, Pada tanggal 30 Juni 2000 Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2000. PERMA tersebut mereduksi istilah penyanderaan (gijzeling). Menurut PERMA ini, terhadap debitur tertentu, dapat dilakukan paksa badan apabila terpenuhi syarat-syarat yang disebut di dalamnya.

Akibat adanya PERMA No. 1 Tahun 2000 terdapat reduksi mengenai istilah “gijzeling” itu sendiri. Hal-hal yang tereduksi itu adalah sebagai berikut :28

1. “Gijzeling” yang diterjemahkan dengan kata sandera dalam SEMA No. 2 Tahun 1964 dianggap tidak tepat karena pengertian hanya ditujukan kepada debitur yang tidak ada atau tidak mencukupi harta kekayaannya memenuhi pembayaran yang diperintahkan putusan pengadilan, tetapi tidak mencakup pengertian terhadap debitur yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajiban membayar utang. Dengan demikian penerjemahan “gijzeling” disempurnakan menjadi istilah “paksa badan”, sebagaimana terkandung dalam pengertian “imprisonment for civil debts”.

2. Yang dapat dikenakan paksa badan terbatas debitur yang beritikad tidak baik.

(26)

3. Debitur yang berusia 75 tahun tidak dapat dikenakan paksa badan. 4. Paksa badan dapat dikenakan terhadap penanggung atau penjamin. 5. Paksa badan dapat dikenakan terhadap ahli waris debitur

6. Paksa badan hanya dapat dikenakan terhadap debitur yang mempunyai utang minimal Rp 1 Miliar.

7. Lamanya paksa badan adalah minimal selama 6 bulan dan maksimal selama tiga tahun.

H. Administrasi Penerimaan Perkara, Eksekusi dan Pembayaran Perkara Mahkamah Agung memberikan standarisasi administrasi dalam penerimaan perkara, eksekusi dan pembayaran perkara yang tertuang dalam buku Pedoman Mahkmakah Agung tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II sebagai berikut :29

1. Meja Pertama

a. Menerima permohonan, gugatan, permohonan banding, permohonan kasasi, permohonan peninjauan kembali, permohonan eksekusi dan permohonan somasi.

b. Permohonan perlawanan yang merupalan verzet terhadap putusan verstek, tidak didaftar sebagai perkara baru.

c. Permohonan perlawanan pihak ke II (derden verzet) didaftarkan sebagai perkara baru dalam gugatan.

d. Menentukan besarnya panjar biaya perkara yang dituangkan dalam SKUM rangkap tiga.

Dalam menentukan besarnya panjar biaya perkara, mempertimbangkan jarak dan kondisi daerah tempat tinggal para pihak, agar proses persidangan yang berhubungan dengan panggilan dan pemberitahuan dapat terselenggara dengan lancara.

Dalam memperhitungkan panjar biaya perkara, bagi pengadilan tingkat Pertama, agar mempertimbangkan pula biaya administrasi yang dipertanggungjawabkan dalam putusan sebagai biaya administrasi. e. Menyerahkan surat permohonan, gugatan, permohonan banding,

permohonan kasasi, permohonan peninjauan kembali, permohonan eksekusi, dan permohonan somasi yang dilengkapi dengan SKUM kepada yang bersangkutan, agar membayar uang panjar perkara yang tercantum dalam SKUM, kepada Pemegang Kas Pengadilan Negeri.

(27)

DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata segi hukum dan penegakannya, Akademika Pressindo, Jakarta, 1987.

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1997.

Moh.Taufik Makarao, S.H., M.H., Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 2004.

M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan EksekusiBidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.

O. Setiawan Djuharie, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi, Yrama Widya, Bandung, 2001.

Ropaun Ranbe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.

Soerjono Soekanto, Pengantar Peneltian Hukum, UniversitasUI-Press, 2005.

(28)

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2001.

Peraturan Perundang-Undangan

Herziene Indonesich Reglement (HIR)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Ketentuan SEMA No. 2 tahun 1964

Ketentuan PERMA No. 1 Tahun 2000.

Kep. Menkeu No. 304/KMK 01/2002 tanngal 13 Juni 2002 jo. Kep. Menkeu No. 450/KMK 01/2002 tanggal 28 Oktober 2002 jo. Kep. DJPLN No. 35/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.

Internet

http://www.bppk.depkeu.go.id.

http://pa-ambarawa.ptasemarang.net.

http://www.pt-makassar.go.id

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk meramalkan hasil produksi padi ladang menggunakan metode dekomposisi multiplikatif rata-rata bergerak, dan menentukan ukuran akurasi peramalan

Rusman, Model-Model Pembelajaran, (Depok, PT Raja Grafindo Persada.. pertanyaan dan kartu jawaban yang telah disediakan sesuai dengan soal. Sedangkan Soeparno berpendapat

Mindmáig azzal vi­ gasztalom a hallgatókat, amikor például angol szakon szerzett traumáikat pana­ szolják (aminek nálunk hagyománya van), hogy engem már

Radiasi elektromagnetik dihasilkan oleh muatan titik yang bergerak. Pada kenyataannya inti atom merupakan distribusi muatan yang lebih luas. Aliran arus listrik

Beberapa hasil laporan penelitian para pakar mengenai manfaat pijat bayi diantaranya; penelitian yang dilakukan oleh Field & Scafidi (1986 & 1990) menunjukkan bahwa pada

Jika pada pembelajaran konvensional tidak muncul, maka dengan pembelajaran menggunakan metode demonstrasi dapat muncul meningkatkan persentase aktivitas belajar

Penelitian ini menggunakan Penelitian Eksperimen yang bertujuan untuk: 1) Mengetahui Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif tipe Bamboo Dancing terhadap sikap