• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN HASIL BELAJAR MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS LABORATORIUM PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 PEKALONGAN LAMPUNG TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENINGKATAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN HASIL BELAJAR MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS LABORATORIUM PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 PEKALONGAN LAMPUNG TIMUR"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

INCREASING SCIENCE PROCESS SKILL AND ACHIEVEMENT THROUGH LABORATORY BASED LEARNING AT EIGHT GRADE OF

SMP NEGERI 1 PEKALONGAN EAST LAMPUNG

BY

RIMMA HASIANA NASUTION

The aims of research are to analyze: (1) design laboratory science based learning, (2) implementation of laboratory based learning, (3) evaluation systems, (4) increasing of achievement and science process skill through laboratory based learning.

This research used classroom action research, which is done by SMP Negeri I Pekalongan. This research was done into three cycle, they are cycle I, cycle II and Cycle Iii. The data was collected by observation and test, it was analyzed by quantitative research.

The results of research are: (1) lesson plan syntax was arranged by laboratory based model learning into three activities, they are pre activity, main activity and post activity; (2) implementation of learning score at laboratory based learning at cycle I is about (2,93), at cycle II is (3,39), at cycle III is (3,46); (3) evaluation system used multiple choice and essay test, instrument validity test at cycle I, II, and III is about 0, 64 and reliability is 0, 71 (4) increasing of science process skill activity at student of VIII. 1 is (64%) in cycle I, in cycle II (81%) and in cycle III (87%). Class of VIII.2 has (63%) in cycle I, in cycle II (71%), in cycle III (85%). In cycle I, students’ achievement of class VIII.1 is > 75 (56%), cycle II is 75% and cycle II is 97%. In cycle I, students’ achievement of class VIII. 2 have score > 75 (34%), cycle II is 78% and cycle III is 97%.

(2)

PENINGKATAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN HASIL BELAJAR MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS LABORATORIUM

PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 PEKALONGAN LAMPUNG TIMUR

Oleh

RIMMA HASIANA NASUTION

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis: (1) desain pembelajaran berbasis laboratorium, (2) pelaksanaan pembelajaran berbasis laboratoriun, (3) sistem evaluasi, dan (4) peningkatan hasil belajar dan keterampilan proses sains melalui model pembelajaran berbasis laboratorium.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas, dilaksanakan di SMP Negeri 1 Pekalongan. Penelitian dilaksanakan dengan tiga siklus, siklus I. siklus II dan siklus III. Data dikumpulkan dengan observasi dan tes, serta dianalisis secara deskriptif kuantitatif.

Hasil Penelitian: (1) Sintak RPP disusun dengan model pembelajaran berbasis laboratorium dalam 3 langkah kegiatan, meliputi kegiatan awal, inti dan penutup; (2) Nilai pelaksanaan pembelajaran berbasis laboratorium pada siklus I sebesar (2,93), siklus II (3,39) dan siklus III (3,46); (3) Sistem evaluasi menggunakan tes dalam bentuk soal pilihan ganda dan uraian, validitas instrumen tes sebesar 0,64 dan reliabilitas sebesar 0,71 (4) Aktivitas keterampilan proses sains siswa pada kelas VIII.1 siklus I sebesar (64%), siklus II (81%), dan siklus III (87%). Kelas VIII.2 siklus I (63%), siklus II (71%), dan siklus III (85%). Hasil belajar kelas VIII.1 siklus I siswa dengan nilai ≥ 75 (56%), siklus II 75% dan siklus III 97%. Hasil belajar kelas VIII.2 siklus I dengan nilai ≥ 75 (34%), siklus II 78% dan siklus III sebesar 97%.

(3)

PENINGKATAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN HASIL BELAJAR MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS LABORATORIUM

PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 PEKALONGAN LAMPUNG TIMUR

TESIS

Oleh

RIMMA HASIANA NASUTION NPM: 0923011052

PROGRAM PASCA SARJANA TEKNOLOGI PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

(4)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 2.1 Desain Instruksional Dick and Carey ... 81 3.1 Siklus Penelitian Tindakan Kelas ... 93 4.1 Grafik Perbandingan Pencapaian Indikator Kinerja Guru

pada Siklus I, II dan III ... 150 4.2 Grafik Perbandingan Pencapaian KPS Siswa pada

Siklus I, II dan III siswa kelas VIII.1 dan VIII.2 ... 151 4.3 Grafik Perbandingan Pencapaian KPS Siswa Tiap Aspek

Pengamatan Kelas VIII.1 pada Siklus I, II dan III ... 152 4.4 Grafik Perbandingan Pencapaian KPS Siswa Tiap Aspek

Pengamatan Kelas VIII.2 pada Siklus I, II dan III ... 153 4.5 Grafik Perbandingan Pencapaian Hasil Belajar Siswa Kelas

(5)

vii DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 12

1.3. Pembatasan Masalah ... 13

1.4. Perumusan Masalah ... 13

1.5. Tujuan Penelitian ... 14

1.6. Manfaat Penelitian ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Belajar ... 16

2.1.1. Teori Belajar Behaviotistik ... 17

2.1.2 Teori Belajar Konstruksivisme ... 30

2.1.3 Teori Belajar Kognitif ... 37

2.1.4 Teori Belajar Psikomotor ... 40

2.2. Karakteristik Pembelajaran IPA ... 44

2.2.1 Keterampilan Proses Pembelajaran Sains . ... 44

2.2.2 Materi Pembelajaran IPA SMP ... 49

2.2.3 Fungsi/Peranan Laboratorium Dalam Pembelajaran ... 54

2.2.4 Pembelajararan Berbasis Laboratorium ... 56

2.2.5 Lembar Kerja Siswa (LKS) ... 73

2.3 Teori Desain Pembelajaran ... 76

2.4 Teori Evaluasi ... 85

2.5 Hasil Belajar ... 86

(6)

viii

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 94

3.3. Lama Penelitian dan Indikator Keberhasilan ... 94

3.4. Rancangan Penelitian Tindakan Kelas ... 96

3.4.1. Perencanaan Tindakan ... 96

3.4.2. Pelaksanaan Tindakan .. ... 96

3.4.3. Observasi dan Evaluasi .. ... 98

3.4.4. Analisis dan Refleksi .. ... 98

3.5. Definisi Operasional Variabel ... 99

3.6. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian ... 99

3.6.1 Kisi-Kisi Penilaian Rencana Pembelajaran ... 100

3.6.2 Kisi-Kisi Penilaian Keterampilan Proses Sains ... 101

3.6.3 Sistem Evaluasi ... 102

3.6.4 Kisi-Kisi Instrumen Hasil Belajar ... 103

3.7. Instrumen Penelitian ... 103

3.7.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 103

3.7.2 Proses Pembelajaran ... 103

3.7.3 Sistem Evaluasi ... 104

3.7.4 Penilaian Hasil Belajar ... 104

3.8. Teknik Analisis Data ... 104

3.9. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelititan ... 106

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 110

4.1.1 Hasil Penelititan Silkus I ... 110

4.1.2 Hasil Penelitian Siklus II ... 124

4.1.3 Hasil Penelitian Siklus III ... 137

4.2 Pembahasan ... 155

(7)

ix

5.2 Saran ... 165 DAFTAR PUSTAKA

(8)

x

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1.1 Daftar Nilai Ulangan Harian IPA siswa kelas VIII.1 dan VIII.2

Tahun Pelajaran 2012/2013 ... 6

3.1 Instrumen penilaian kinerja guru 1 ... 104

3.2 Intrumen penilaiana Keterampilan proses sains ... 104

3.3 Instrumen Penilaian kinerja Guru 2 ... 105

3.3 Kisi-Kisi Instrumen Hasil Belajar ... 106

3.4. Kriteria Penilaian Hasil Belajar ... 107

3.5. Kriteria Penilaian KPS siswa ... 108

3.6. Kriteria Penilaian Kinerja Guru ... 109

4.1. Keterampilan Proses Sains Tiap Aspek Kelas VIII.1 ... 118

4.2. KPS Siswa Tiap Aspek Kelas VIII.1 Siklus I ... 121

4.3. KPS Siswa Tiap Aspek Kelas VIII.1 Siklus II ... 131

4.4. KPS Siswa Tiap Aspek Kelas VIII.2 Siklus II ... 134

4.5. KPS Siswa Tiap Aspek Kelas VIII.1 Siklus III ... 143

4.6. KPS Siswa Tiap Aspek Kelas VIII.2 Siklus III ... 146

4.7 Pencapaian indikator kinerja guru pada kelas VIII.1 dan VIII.2 siklus I, II, dan III ... 149

4.8 Persentase perolehan nilai ketrampilan proses sains siswa kelas VIII.1 dan VIII.2 siklus I, II, dan III ... 150

4.9 Persentase tiap aspek KPS siswa kelas VIII.1 siklus I, II, dan III ... 151

4.10 Persentase tiap aspek KPS siswa kelas VIII.1 siklus I, II, dan III ... 153

(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan formal merupakan upaya sadar yang dilakukan sekolah dengan berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor peserta didik dengan bimbingan dan arahan guru sebagai langkah persiapan untuk dapat hidup dan berkembang dalam masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari.

Proses pembelajaran di kelas diharapkan dapat mendorong siswa sebagai pembelajar untuk dapat berpartisipasi aktif melalui kegiatan yang menyenangkan dengan menggunakan strategi, model, dan media belajar yang bersifat kontekstual sehingga diharapkan siswa mampu mengkonstruksi sendiri dari hasil pengalaman belajarnya.

Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, di dalam Pasal 19 dijelaskan bahwa proses pembelajaran pada setiap satuan

(10)

Pernyataan pasal tersebut di atas mengharuskan adanya upaya konkrit dari guru dalam mengemas pembelajaran melalui; perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil belajar yang berpusat pada aktivitas siswa, pelibatan keseluruhan aspek fisik dan emosional, multi inderawi, fleksibel, dan adanya kerjasama antar siswa untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditentukan.

Pelajaran IPA di Sekolah Menengah Pertama diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan sekumpulan

pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep ataupun prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan.

Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Sekolah Menengah Pertama menyatakan bahwa

“Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan.

Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.

IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana untuk menjaga dan

(11)

Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SMP/MTs menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah.

Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) IPA di SMP/MTs merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh peserta didik dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guruIlmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis.”

Pembelajaran IPA harus memanfaatkan pengalaman sehari-hari sebagai landasan, oleh sebab itu perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa materi pelajaran IPA tidak jauh dari kehidupan ini. Siswa harus diberi kesempatan melihat dan mengalami sendiri apa yang sedang dipelajarinya, baik melalui demonstrasi, praktikum, film, dan sebagainya. Oleh karena itu, kegiatan praktikum dalam menunjang proses dan hasil belajar menjadi suatu keharusan bagi pembelajaran IPA di SMP.

(12)

untuk membentuk kepribadian luhur siswa. Sebab siswa akan mudah menangkap peristiwa alam atau pesan/ide orang lain baik lisan maupun tertulis dengan benar. Melalui pemahaman yang benar itulah siswa dapat membedakan mana yang baik untuk diterima dan dilakukan serta mana yang salah atau tidak baik untuk

dihindari/dicegah.

Guru sebagai agen pembelajaran diharapkan dapat mengarahkan,

membimbing, dan membantu memecahkan masalah kesulitan belajar siswa melalui rancangan pembelajaran dan pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran yang menyenangkan dan tidak membosankan bagi siswa serta menggunakan sistem evaluasi pembelajaran yang sesuai dengan tujuan

pembelajaran yang ingin dicapai.

Penggunaan media pembelajaran tertentu akan turut mempengaruhi pencapaian hasil belajar siswa. Media yang baik adalah media yang bervariasi dan

menyenangkan, dalam penggunaanya dapat membantu siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran sehingga siswa mampu menyerap informasi dan gagasan yang terdapat pada materi ajar yang disampaikan.

Guru mempunyai kebebasan menggunakan media pembelajaran sesuai tujuan pendidikan dan mampu membantu keberhasilan belajar siswa terutama dalam menggunakan media yang terdapat di lingkungan sekolah, terutama alat-alat laboratorium yang mengajak siswa belajar sambil bermain.

(13)

mengacu pada Standar Isi (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar) sesuai dengan tingkat pendidikan satuan pendidikan.

Sistem evaluasi dan soal uji kompetensi siswa perlu dirancang dan dibuat guru sebagai kelengkapan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaan (RPP) sehingga dapat digunakan guru pada saat evaluasi baik proses maupun pada akhir

pembelajaran.

Pembelajaran hendaknya menyenangkan, interaktif, menantang dan

memotivasi siswa untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran. Sehingga siswa akan memiliki ruang yang cukup untuk berkreasi dan beraktivitas sesuai dengan bakat dan minat mereka.

Mengajarkan bidang studi sains (IPA) berupa produk atau fakta. Konsep dan teori saja belum lengkap, karena baru mengajarkan salah satu komponennya.

Komponen sikap ilmiah yang perlu ditumbuhkan antara lain adalah tanggung jawab, keinginan hendak tahu, jujur, terbuka, obyektif, kreatif, toleransi, kecermatan bekerja, percaya diri sendiri, konsep diri positif, mengenal hubungan antara masyarakat dan sains, perhatian terhadap sesama mahluk hidup, menyadari bahwa kemajuan ilmiah diperoleh dari sudut usaha bersama, dan menginterpretasikan gejala alam dari sudut prinsip-prinsip ilmiah. Dengan kata lain pendidikan sains juga bertujuan

mengembangkan kepribadian siswa.

(14)

komponen yang harus dikuasai apabila orang itu hendak melakukan penelitian dan pengembangan dalam bidangnya. Sainstis mengembangkan teori antara melalui keterampilan proses sains.

Meskipun para siswa telah menyadari akan pentingnya belajar tentang IPA, namun pada kenyataannya, masih banyak dari mereka yang mendapatkan masalah dalam belajar IPA khususnya pada materi Fisika, hal tersebut dapat diketahui pada beberapa hal, yaitu; (1) sebagian siswa terlihat tidak aktif dalam mengikuti

pembelajaran, (2) kurangnya keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat, baik secara lisan maupun tulis, (3) kurangnya partisipasi siswa dalam menyelesaikan pekerjaan kelompok, (4) terbatasnya kemampuan siswa dalam menjawab pertanyaan guru baik lisan maupun tulisan.

Prestasi belajar siswa belum menunjukkan hasil belajar yang diharapkan yaitu belum banyak siswa yang memperoleh nilai di atas Kriteria Ketuntasan Minimal 75. Berikut disajikan dari hasil tes ulangan harian siswa kelas VIII.1 dan VIII.2.

Tabel 1.1. Daftar perolehan nilai Ulangan Harian IPA siswa kelas VIII.1 dan VIII.2 Tahun Pelajaran 2012/2013

No. Rentang Nilai Jumlah Siswa Persentase

VIII.1 VIII.2 VIII.1 VIII.2

1. ≤ 65 16 14 50% 44%

2. 65 – 70 8 5 25% 16%

3. 71 – 75 5 7 16% 22%

4. 76 – 80 3 6 9% 18%

5. 81 – 85 6. 86 – 90 7. 91 – 95 8. 96 – 100

Jumlah 32 32 100% 100%

(15)

Tabel di atas menunjukan bahwa nilai tes siswa kelas VIII.1 yang memperoleh nilai ≥75 sebanyak 8 siswa (25%), dan kelas VIII.2 yang memperoleh nilai ≥75

sebanyak 13 siswa (41%). Selebihnya nilai siswa masih berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditentukan dalam KTSP sekolah yaitu 75. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa kemampuan siswa dalam menguasai konsep pelajaran IPA masih rendah.

Perolehan nilai yang rendah tersebut di atas menunjukkan bahwa pembelajaran IPA mengalami beberapa masalah, yaitu; (1) siswa kurang memahami konsep dasar IPA yang diajarkan guru, (2) pengetahuan siswa tentang keterampilan proses sains yang masih kurang, hal tersebut yang menyebabkan rendahnya aktivitas belajar siswa dalam proses pembelajaran di kelas.

Selain masalah tersebut di atas adalah kurangnya kemampuan guru dalam merancang perangkat pembelajaran. Guru masih menggunakan perangkat pembelajaran hasil Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang belum disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi siswa di sekolah. Hal ini berdampak pada pelaksanaan pembelajaran, guru melaksanakan pembelajaran di kelas tanpa berpatokan pada perencanaan pembelajaran yang ada. Guru hanya berpatokan pada buku sumber belajar yang disampaikan kepada siswa apa adanya tanpa

(16)

Metode dan teknik pembelajaran yang tidak variatif menyebabkan ketidak ketertarikan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Kegiatan pembelajaran masih berpusat pada guru, dan belum mengacu pada prinsip pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan. Faktor lain yang menyebabkan lemahnya kemampuan siswa memahami konsep-konsep IPA terutama materi fisika adalah kurangnya kemampuan guru dalam menggunakan media pembelajaran yang kreatif dan inovatif secara optimal. Peran media pembelajaran sangat penting dalam proses pembelajaran karena media adalah perantara informasi, yang dapat membantu siswa mempercepat memahami materi pelajaran, menarik perhatian siswa dan dapat menyampaikan pesan yang ingin disampaikan dalam suasana yang menyenangkan.

Kondisi tersebut di atas merupakan masalah yang harus segera diatasi. Untuk mengatasi masalah pembelajaran di atas, penulis berusaha mencari solusi yang sesuai dengan era Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Guru dituntut untuk kreatif dan inovatif, mencari suatu teknik pembelajaran dan media yang sesuai dengan situasi, karakteristik dan perkembangan siswa. Prinsip PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) harus

dilaksanakan. Guru bukanlah sosok yang ditakuti dan bukan pula sosok otoriter, tetapi harus menjadi seorang fasilitator dan motor yang mampu memfasilitasi dan menggerakkan siswanya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang mereka butuhkan.

(17)

proses sains siswa melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penulis beranggapan bahwa siswa kelas VIII perlu dibekali dengan pengetahuan dasar keterampilan proses sains yang baik dan cukup. Dengan demikian, diharapkan nantinya siswa tidak mengalami kesulitan dalam memahami konsep-konsep materi fisika secara utuh.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan laboratorium dalam pembelajaran IPA khususnya materi Fisika. Laboratorium adalah suatu tempat dimana percobaan dan penyelidikan dilakukan. Dalam pengertian sempit laboratorium sering diartikan sebagai tempat yang berupa gedung yang dibatasi oleh dinding dan atap yang didalamnya terdapat sejumlah alat dan bahan praktikum.Dalam tulisan ini

laboratorium hanya dibatasi pada laboratorium berupa ruang tertutup yang ada di sekolah menengah ke atas. Dalam pendidikan Sains kegiatan laboratorium merupakan bagian integral dari kegiatan belajar mengajar, khususnya pada materi fisika. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan kegiatan laboratorium untuk mencapai tujuan pendidikan sains.

Woolnough & Allsop (Rustaman, 2005:102), mengemukakan empat alasan mengenai pentingnya praktikum sains. Pertama, praktikum membangkitkan motivasi. Kedua, praktikum mengembangkan keterampilan dasar melakukan eksperimen. Ketiga, praktikum menjadi wahana belajar pendekatan ilmiah. Keempat, praktikum menunjang materi pelajaran.

(18)

meningkatkan keterampilan proses sains siswa, kreativitas siswa berkembang melalui dinamika kelompok serta dapat menciptakan suasana yang menyenangkan dalam proses pembelajaran.

Pembelajaran berbasis laboratorium dipilih dengan harapan keterampilan proses sains siswa meningkat, karena siswa terlibat langsung dalam proses pembelajaran (student centered), kreativitas siswa berkembang melalui dinamika kelompok, siswa mampu mengemukakan pendapat atau ide dalam kegiatan

pembelajaran baik secara lisan maupun tulis, dan pada akhirnya hasil belajar siswa pun mengalami peningkatan.

Dapat dikatakan bahwa kemampuan dasar pada diri siswa yang diperoleh melalui proses pembelajaran yang difasilitasi dengan praktikum akan membuat siswa akrab dengan lingkungan, mencegah terjadinya verbalisme, serta suasana

pembelajaran menyenangkan, siswa aktif dan kreatif melakukan pembelajaran, mengamati setiap peristiwa yang terjadi lalu menuliskan data hasil pengamatan kemudian menganalisa data yang terkumpul. Tidak kalah pentingnya siswa telah belajar mencari dan menemukan masalahnya sendiri, menginterpretasikan data yang terkumpul serta berupaya mencari solusi pemecahan masalah tersebut secara mandiri, tidak harus bergantung pada orang lain.

(19)

yaitu: (1) sikap ilmiah; (2) proses ilmiah; dan (3) produk ilmiah. Jadi proses atau keterampilan proses atau metode ilmiah merupakan bagian studi sains, termasuk materi bidang studi yang harus dipelajari siswa.

Mengajarkan bidang studi sains (IPA) berupa produk atau fakta, konsep dan teori saja belum lengkap, karena baru mengajarkan salah satu komponennya.

Komponen sikap ilmiah yang perlu ditumbuhkan antara lain adalah tanggung jawab, keinginan hendak tahu, jujur, terbuka, obyektif, kreatif, toleransi, kecermatan bekerja, percaya diri sendiri, konsep diri positif, mengenal hubungan antara masyarakat dan sains, perhatian terhadap sesama mahluk hidup, menyadari bahwa kemajuan ilmiah diperoleh dari sudut usaha bersama, dan menginterpretasikan gejala alam dari sudut prinsip-prinsip ilmiah. Dengan kata lain pendidikan sains juga bertujuan

mengembangkan kepribadian siswa.

Proses dapat didefenisikan sebagai perangkat keterampilan kompleks yang digunakan ilmuwan dalam melakukan penyelidikan ilmiah. Proses atau metode ilmiah itu merupakan konsep besar yang dapat dirinci menjadi sejumlah komponen yang harus dikuasai apabila orang itu hendak melakukan penelitian dan

pengembangan dalam bidangnya. Sainstis mengembangkan teori antara melalui keterampilan proses.

(20)

1.2 Identifikasi Masalah

Sesuai dengan kemampuan penulis dalam tesis ini, agar Sekolah Menengah Pertama dapat memanfaatkan peran dan fungsi laboratorium IPA di sekolah dan gurupun dapat menjelaskan konsep-konsep materi fisika dengan lebih mudah karena berada berdekatan dengan sumber belajar yaitu alat dan bahan yang tersedia di laboratorium tersebut. Setelah kegiatan berlangsung keaktifan anak dan prestasi belajar siswa diharapkan dapat meningkat.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diindentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:

1.2.1 Belum semua guru kelas VIII SMPN 1 Pekalongan terampil menyusun lembar kegiatan dan menggunakan alat dan bahan yang tepat untuk melaksanakan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di kelas yang menjadi tanggung jawabnya.

1.2.2 Sebagian guru Sains-Fisika belum memiliki persiapan mengajar seperti RPP yang memadai, atau pada pelaksanaan tidak sesuai dengan perencanaan. 1.2.3 Pembelajaran masih berpusat pada guru bukan pada siswa.

1.2.4 Kurangnya kemampuan guru dalam memilih dan menggunakan alat dan bahan percobaan, menyebabkan tidak optimalnya proses pembelajaran dan berakibat rendahnya prestasi belajar siswa khususnya dalam pembelajaran Ilmu pengetahuan Alam Fisika.

(21)

1.2.6 Belum optimalnya fungsi dan peran laboratorium IPA sebagai sarana dan Pusat Sumber Belajar bagi siswa dan guru.

1.2.7 Hasil belajar Sains-Fisika di kelas VIII SMP Negeri 1 Pekalongan Lampung Timur masih rendah.

1.3 Pembatasan Masalah

Masalah prestasi belajar Sains-Fisika sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Karena banyaknya masalah yang muncul sebagaimana yang diuraikan di atas dan masing-masing masalah memerlukan penelitian tersendiri untuk memecahkannya, maka dalam penelitian ini dibatasi pada:

1.3.1 Perencanaan pembelajaran belum sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. 1.3.2 Hasil belajar siswa masih rendah.

1.3.3 Sistem evaluasi pembelajaran yang dilaksanakan belum sesuai dengan tujuan pembelajaran.

1.4 Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1.4.1 Seperti apa desain pembelajaran berbasis laboratorium?

1.4.2 Bagaimana pelaksanaan pembelajaran berbasis laboratorium sehingga dapat meningkatkan keterampilan proses dan hasil belajar fisika siswa kelas VIII SMPN 1 Pekalongan Lampung Timur?

(22)

1.4.4 Bagaimana peningkatan keterampilan proses dan prestasi belajar melalui pembelajaran berbasis laboratorium?

1.5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan:

1.5.1 Desain pembelajaran berbasis laboratorium

1.5.2 Pelaksanaan pembelajaran berbasis laboratorium sehingga dapat meningkatkan keterampilan proses dan hasil belajar fisika siswa.

1.5.3 Sistem evaluasi keterampilan proses dan prestasi belajar pada pembelajaran berbasis laboratorium.

1.5.4 Peningkatan keterampilan proses dan prestasi belajar melalui pembelajaran berbasis laboratorium.

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi dunia pendidikan, baik secara teoritis maupun praktis, sebagai berikut:

1.6.1 Manfaat Teoritis

(23)

1.6.2 Manfaat Praktis

a. Bagi siswa, akan memperoleh pengalaman belajar yang lebih menarik dan menyenangkan yang akhirnya akan mampu meningkatkan kemampuan akademis mereka.

b. Bagi guru, untuk meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun rancangan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang lebih inovatif, kreatif dan mengevaluasi proses pembelajaran agar memperoleh hasil yang diharapkan.

c. Bagi penyelenggara pendidikan/praktisi pendidikan, temuan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian.

(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Belajar

Bloom dalam Uno (2008: 15) menegaskan bahwa belajar mencakup dalam tiga kawasan, yaitu; kognitif, psikomotor dan afektif. Dari pendapat tersebut bahwa belajar merupakan proses mengembangan diri dalam aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik tentang suatu kompetensi tertentu. Proses menciptakan lingkungan belajar disebut dengan pembelajaran. Belajar mungkin saja terjadi tanpa pembelajaran, namun pengaruh suatu pembelajaran dalam belajar hasilnya lebih menguntungkan dan mudah diamati dan dievaluasi. Proses belajar pada hakekatnya merupakan kegiatan mental yang tidak dapat dilihat. Artinya, proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang belajar tidak dapat kita saksikan. Kita hanya mungkin dapat menyaksikan dari adanya gejala-gejala perubahan perilaku yang tampak. Misalnya, ketika seorang guru menjelaskan suatu materi pelajaran, walaupun sepertinya seorang siswa memerhatikan dengan seksama sambil mengangguk-anggukkan kepala, maka belum tentu yang bersangkutan belajar. Mungkin mengangguk-anggukkan kepala itu bukan karena ia memperhatikan materi pelajaran dan paham apa yang

dikatakan guru, akan tetapi karena ia sangat mengagumi cara guru berbicara, atau mengagumi penampilan guru, sehingga ketika ia ditanya apa yang telah

(25)

Belajar merupakan komponen ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit

(tersembunyi). Untuk menangkap isi dan pesan belajar, maka dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan pada ranah-ranah:

a. Kognitif, yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan, penalaran atau pikiran terdiri dari kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi.

b. Afektif, yaitu kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari kategori penerimaan, partisipasi, penilaian sikap, organisasi dan pembentukan pola hidup.

c. Psikomotorik, yaitu kemampuan yang mengutamakan keterampilan jasmani terdiri dari persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan dan kreativitas.

Dari pendapat di atas, pembelajaran merupakan proses yang disengaja, bukan proses yang berjalan tanpa disadari dan timbul dengan sendirinya.

Beberapa teori belajar dan pembelajaran yang berkembang saat ini, seperti teori belajar behavioristik, kognitif, konstruktivistik, humanistik, sibernetik, revolusi-sosio-kultural dan kecerdasan ganda, memiliki kelemahan dan kelebihan sendiri-sendiri.

2.1.1 Teori Behavioristik

(26)

kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Randy Hardland dalam situs Ranhard.wordpress.com menyebutkan faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement;(3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses .

2.1.1.1 Teori Belajar Thorndike

(27)

yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme.

Ada tiga hukum belajar yang utama, yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan. Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.

2.1.1.2 Teori Belajar Menurut Watson

Lebih lanjut Hardland menyatakan bahwa Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang

behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

2.1.1.3 Teori Belajar Menurut Clark Hull

(28)

evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis demikian yang dituliskan Hardland.

2.1.1.4 Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie

Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama . Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi.

Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman

(29)

Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, dalam Hardlan).

2.1.1.5 Tori Belajar Menurut Skinner

(30)

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu

keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek.

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinner adalah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program

pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan

penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

(31)

Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut. Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh yang

mempengaruhi proses belajar. Jadi teori belajar tidak sesederhana yang dilukiskan teori behavioristik.

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk berpikir dan berimajinasi.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:

a. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.

b. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama. c. Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain

(32)

lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.

d. Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman.

Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Istilah-istilah seperti hubungan stimulus respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai hasil yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini hingga

(33)

kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behvioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge)ke orang yang belajar atau siswa. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh

karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh siswa (Degeng, dalam Sudrajat).

(34)

yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi,

bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.

Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah

terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat.

Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga

pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai

kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan

dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa (Degeng dalam Sudrajat).

(35)

untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.

Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai

dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual, demikian diungkapkan Randy Hardlan dalam situs

http//Randhard.wordpress.com

(36)

Pembelajaran terprogram berusaha memajukan belajar dengan: a. Memerinci bahan pelajaran menjadi unit-unit kecil.

b. Memaksa siswa mereaksi unit-unit kecil itu. c. Memberitahukan hasil belajar secara langsung. d. Memberi kesempatan untuk bekerja sendiri.

Ada bermacam-macarn pembelajaran terprogram, antara lain:

a. Program linear: program ini dikembangkan oleh Skinner. Penyusun Program menentukan urut-urutan kegiatan siswa untuk menyelesaikan program. Tiap bagian program berisi perincian kecil pengetahuan.

b. Program intrinsik atau branching program: Program ini dikembangkan oleh Croder. Dalam program ini respon-respon siswa menentukan rute atau arah kegiatan paras siswa menentukan rute atau arah kegiatan siswa itu. Rute-rute alternatif disebut branches yang merupakan prediktor-prediktor permasalahan yang akan memperbaiki respon siswa, Crowder menggunakan peryataan-pernyataan pilihan ganda.

Dalam pembelajaran terprogram ada tiga kelakuan pokok siswa dalam belajar, yaitu review, under-lining, dan note taking. Beberapa kriteria terhadap metode pembelajaran terprogram, antara lain: kurang mengembangkan kreatifitas, kurang memberi pengalaman humanisasi, kurang memberi kesempatan untuk merespon dengan berbagai aktivitas.

(37)

a. Program for learning in Accordance With Needs (PLAN), pada Westinghouse Corporation.

b. Individually Guide Education (IGE), pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Belajar Kognitif Universitas Pittsburgh.

Program pembelajaran individual disusun dalam bentuk unit-unit pembelajaran dengan rumusan tujuan, bahan pelajaran, dan cara-cara untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Tiap-tiap unit belajar mengajar dimulai dengan tujuan belajar yang akan dicapai oleh siswa, baru kemudian aktivitas belajarnya. Aktivitas belajar terdiri atas bahan-bahan pelajaran, pertanyaan tes, dan pertanyaan-pertanyaan diskusi. Jika siswa dapat menyelesaikan tes-tes dengan baik, ia melanjutkan belajar pada unit-unit berikutnya. Jika ia gagal, ia hendaknya berkonsultasi dengan guru.

Bagi sekolah, sistem ini dipakai untuk memantau kemajuan dan performa siswa dengan selalu didampingi oleh guru terutama bagi kelas rendah. Dengan

menentukan Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, serta Indikator siswa diarahkan dalam kegiatan belajar atau les baik privat maupun non privat. Dalam hal ini, bisa dicontohkan homeschooling seperti marak diminati oleh masyarakat saat ini.

Komponen-komponen pembelajaran yang penting menurut pandangan behaviorisme adalah kebutuhan akan:

a. Perumusan tugas atau tujuan belajar secara behavioral. b. Membagi task menjadi subtasks

c. Menentukan hubungan dan aturan logis antara subtasks.

(38)

e. Memberi feedback pada setiap penyelesaian subtasks atau tujuan-tujuan tiap kompetensi dasar.

Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa salah satu tugas guru yang

terpenting setelah ia menentukan tujuan ialah menganalisis tugas. Analisis tugas akan membantu guru dalam membimbing belajar siswa. Bagi penyusun program, analisis tugas membantu menentukan susunan bahan pelajaran dalam

pembelajaran. Perencanaan kurikulum dapat mengatur urutan unit-unit belajar.

2.1.2 Teori Konstruktivisme

Menurut pandangan teori Konstruktivistik, belajar merupakan usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya yang memungkinkan mengarah kepada tujuan tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran diusahakan agar dapat menciptakan kondisi terjadinya proses pembentukkan tersebut secara optimal pada diri siswa.

(39)

Salah satu konsep dasar pendekatan konstruktivisme dalam belajar adalah adanya interaksi sosial individu dengan lingkungannya.

Elliott (2000: 20) mengatakan bahwa:

“Learning is the outcome of an interaction between a teacher and a student, two or more students, a student and computer a student and a parent, and so on-and is often a social and active enterprise given the learning as an interactive enterprice and often take place in classrooms it is desirable to create environments where routines are smooth and efficient, instruction facilitates personal connections betwen what is though and a person 's prior knowladge,

students attentions is maintained and they are frequently asked to act and use information, and material is periodically reviewed and rethought because students learn at different rates and in defferent ways.”

Pendapat Elliott di atas mengemukakan bahwa belajar adalah hasil dari interaksi-interaksi antara; guru dengan siswa, dua orang atau lebih siswa, siswa dengan aplikasi komputer, siswa dengan orang tua, dan siswa dengan lingkungan masyarakat.

Karakteristik pembelajaran yang dilakukan dalam belajar konstruktivistik adalah: a. Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas

yang sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya tersebut, serta membuat

kesimpulan-kesimpulan.

b. Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.

(40)

d. Guru mengakui bahwa proses belajar dan penilaiannya merupakan suatu usaha yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah dikelola.

Teori belajar konstruktivistik yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran akan memberikan sumbangan besar dalam membentuk siswa menjadi kreatif,

produktif, dan mandiri. Konstruktivisme berpendapat belajar merupakan suatu proses mengkonstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik dan mental siswa secara aktif. Dalam kontek ini siswa harus mampu merekonstruksi pengetahuan dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Belajar merupakan proses mengkonstruksi sendiri dari bahan-bahan pelajaran yang bisa berupa teks, dialog, membuktikan rumus dan sebagainya. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide, bahwa siswa harus menemukan dan

mentranformasikan suatu informasi itu menjadi milik mereka sendiri.

Pembelajaran konstruktivisme mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut:

a. Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.

b. Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.

(41)

d. Pengetahuan tidak dapat di pisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proporsi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang diterapkan.

e. Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru. f. Belajar berarti membentuk makna, makna diciptakan oleh siswa dari apa yang

mereka lihat, dengar dan rasakan serta bersifat alami. Untuk mengkonstruksi hal tersebut akan dipengaruhi oleh pengertian yang telah dimiliki.

g. Konstruksi adalah suatu proses yang terus menerus setiap kali berhadapan dengan persoalan baru.

h. Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang.

i. Belajar berarti memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.

Menurut Saffat (2009: 9) bahwa proses belajar mengandung karakteristik sebagai berikut:

a. Hakekat belajar adalah behavioural change.

b. Belajar tidak hanya menghafal, tetapi juga mengkonstruksi pengetahuan di dalam benak.

c. Seseorang belajar dari pengalaman.

d. Pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman tentang suatu persoalan tersebut.

e. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah-pisah, melainkan satu kesatuan yang utuh. f. Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi

baru.

g. Peserta didik perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. h. Proses belajar dapat mengubah struktur otak.

(42)

j. Keterampilan dan pengetahuan peserta didik diperoleh dari konteks yang terbatas, kemudian sedikit demi sedikit bertambah pada konteks yang luas.

k. Penting bagi peserta didik tahu untuk apa ia belajar, dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan dalam kehidupan nyata.

Implikasi pandangan konstruktivisme di sekolah adalah guru tidak lagi mentransfer pengertahuan secara utuh dan lengkap pada siswa, namun

pengetahuan itu secara aktif dibangun oleh siswa sendiri melalui pembelajaran yang berkualitas.

Hakikat Pembelajaran menurut teori belajar kontruktivisme bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa, siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimiliki. Dengan kata lain siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Menurut teori konstruktivis, satu prinsip yang paling penting dalam pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar (Herpratiwi, 2009: 72).

(43)

fungsi guru sebagai mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa wujud tugas sebagai berikut; menyediakan pengalaman belajar yang

memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses dan penelitian, memberikan kegiatan yang merangsang keingin-tahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasan serta ide-ide ilmiahnya, dan memonitor, mengevaluasi dan menunjukan apakah pemikiran-pemikiran siswa dapat didorong secara aktif.

Menurut Sanjaya (2008: 135-136) ada beberapa asumsi perlunya pembelajaran berorientasi pada aktivitas siswa, yaitu:

a. Asumsi filosofis tentang pendidikan.

Pendidikan merupakan usaha sadar mengembangkan manusia menuju kedewasaan baik kedewasaan intelektual, sosial, maupun kedewasaan moral.

b. Asumsi tentang siswa sebagai subjek pendidikan, yaitu: 1) siswa

bukanlah manusia dalam ukuran mini, tetapi manusia yang sedang dalam tahap perkembangan, 2) setiap manusia mempunyai kemampuan yang berbeda, 3) siswa pada dasarnya adalah insan yang aktif, kreatif dan dinamis dalam menghadapi lingkungannya, dan 4) siswa memiliki motivasi untuk memenuhi kebutuhannya.

c. Asumsi tentang guru adalah: 1) guru bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar peserta didik, 2) guru memliki kemampuan professional dalam mengajar, 3) guru mempunyai kode etik keguruan, dan 4) Guru memiliki peran sebagai sumber belajar.

d. Asumsi yang berkaitan dengan proses pembelajaran adalah bahwa; 1) bahwa proses pembelajaran direncanakan dan dilaksanakan sebagai suatu sistem, 2) peristiwa belajar akan terjadi manakala peserta didik

berinteraksi dengan lingkungan yang diatur oleh guru, 3) proses

pembelajaran akan lebih aktif apabila menggunakan metode dan teknik yang tepat dan berdaya guna, 4) pembelajaran memberi tekanan kepada proses dan prosuk secara seimbang, 5) inti proses pembelajaran adalah adanya kegiatan belajar siswa secara optimal.

(44)

mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya jika tidak sesuai. Siswa agar dapat memahami dan menerapkan pengetahuan, mereka harus belajar memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan ide-idenya. Prinsip yang penting dalam psikologi pendidikan adalah guru tidak sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa, siswa harus membangun sendiri pengetahuannya. Guru dapat memberikan kemudahan dan kesempatan bagi siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, serta melatih siswa menjadi sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.

Herpratiwi (2009: 85-86) mengemukakan aplikasi teori belajar konstruktivisme dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:

a. Belajar menjadi proses aktif.

Menjaga siswa agar tetap aktif melakukan aktivitas yang bermakna menghasilkan proses tingkat tinggi, yang memfasilitasi penciptaan makna personal.

b. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri bukan hanya menerima apa yang diberi oleh instruktur.

c. Bekerja dengan siswa lain member siswa pengalaman kehidupan nyata, melalui kerja kelompok, dan memungkinkan mereka menggunakan keterampilan meta-kognitif mereka.

d. Siswa harus diberi kontrol proses belajar.

e. Siswa harus diberi waktu dan kesempatan untuk refleksi. f. Belajar harus dibuat bermakna bagi siswa.

Materi belajar harus memasukan contoh-contoh yang berhubungan dengan siswa sehingga mereka dapat menerima informasi yang diberikan.

g. Belajar harus interaktif dan mengangkat belajar tingkat yang lebih tinggi dan kehadiran sosial, dan membantu mengembangkan makna personal.

(45)

bukan hanya sebagai tempat penampungan pengalaman dan informasi, tetapi siswa dilatih untuk menggunakan pola pikirannya secara rasional.

2.1.3 Teori Kognitif

(46)

Model psikologi kognitif berpusat pada pikiran dan cara kerjanya pikiran. Piaget memandang perkembangan pada peserta didik dapat terjadi melalui 2 cara, Asimilasi dan Akomodasi. Cameron mendeskripsikan 2 cara perkembangan tersebut yaitu:

Asimilation happens when action takes place without any change to the child; accomodation involve the child adjusting to features of invironment in some ways (Cameron, 2002: 8).

Cameron juga mendukung pandangan Peaget yaitu:

a child’s thinking develops as gradual growth of knowladge and intelectual skills towards a final stage of formal, logical thinking (Cameron, 2002: 8).

Tujuan teori psikologi untuk membentuk hubungan yang baik antara tingkah laku seseorang pada ruang kehidupannya secara spesifik sesuai dengan situasi

psikologinya. Untuk memahami dan memperkirakan perilaku seseorang kita dapat memperhatikan perilaku orang tersebut dengan lingkungan psikologinya sebagai pola dari fakta dan fungsi yang saling berkaitan. Menurut Piaget dalam Uno (2008: 11), perkembangan kognitif (kecerdasan) anak dibagi menjadi empat tahap, yaitu:

a. Tahap sensori motor.

Pada tahap ini terjadi pada usia 0-2 tahun. Pada tahap ini anak mengatur ssensori indranya dan tindakan-tindakannya.

b. Pra-operasional.

Tahap ini terjadi pada usia 2-7 tahun dalam tahap ini seorang anak telah mempunyai kesadaran tentang keberadaan suatu benda dan mengenalinya baik benda tersebut bersifat abstrak atau nampak.

c. Konkret operasional.

Tahap ini terjadi pada usia 7-11 tahun. Dalam tahap ini anak telah dapat berpikir secara logis dan rasional.

d. Formal operasional.

(47)

berbeda-beda dan juga lingkungan dan pengalaman yang membentuk mental perkembangan anak yang berbeda pula, sudah barang tentu hal tersebut akan membedakan setiap individu.

Teori kognitif ini dikembangkan terutama untuk membantu pendidik memahami peserta didiknya. Hal ini juga dapat membantu pendidik memahami dirinya sendiri dengan lebih tepat. Menurut teori kognitif, belajar merupakan suatu proses interaksional seseorang dalam memperoleh pengetahuan baru atau struktur

kognitif dan mengubah hal-hal yang lama. Agar belajar menjadi efektif seorang pendidik lebih memperhatikan dirinya dan psikologi peserta didik.

Teori belajar kognitif dibentuk dengan tujuan mengkonstruksi prinsip belajar secara ilmiah hasilnya berupa langkah-langkah yang dapat diaplikasikan pada pembelajaran di kelas untuk mendapatkan hasil yang optimal. Teori belajar kognitif menjelaskan cara seseorang mencapai pemahaman atas dirinya dan lingkungannya kemudian menginterhasilkan diri dan lingkungan psikologisnya merupakan satu kesatuan. Teori ini dikembangkan berdasarkan tujuan yang melatarbelakangi perilaku, cita-cita, cara-cara, dan cara seseorang memahami diri dan lingkungannya sebagai upaya untuk mencapai tujuan.

Menurut Herpratiwi (2009: 33-34) pada dasarnya kelebihan teori belajar kognitif, yaitu:

a. Siswa sebagai subjek belajar menjadi faktor paling utama. Siswa dituntut belajar dengan mandiri secara aktif.

b. Mengutamakan pembelajaran dengan interaksi sosial untuk menambah khasanah perkembangan kognitif siswa dan menghindari kognitif yang bersifat egosentris.

c. Menerapkan apa yang dimiliki siswa, agar siswa mempunyai pengalaman dalam mengeksplorasi kognitifnya lebih dalam.

(48)

e. Materi yang diberikan akan sangat bermakna jika saling berkaitan karena dengan begitu seseorang akan lebih terlatih untuk mengeksplorasi

kemampuan kognitifnya.

f. Pembelajaran dilakukan dari pengenalan dari umum ke khusus; 7) Pembelajaran tidak akan berhenti sampai ditemukan unsur-unsur baru lagi untuk dipelajari dengan orientasi ketuntasan.

g. Adanya kesamaan konsep atau istilah dalam dalam suatu konsep bisa sangat mengganggu dalam pembelajaran karena itulah penyesuaian integratif dibutuhkan.

Dengan demikian teori belajar kognitif membantu peserta didik memperoleh pemahamannya secara sistematis sesuai dengan tingkat kematangan psikologisnya dan juga mempermudah guru dalam menganalisis karakteristik dari peserta

didiknya dan membantunya dalam menentukan materi yang sesuai didasarkan pada need assesment.

Dari berbagai pendapat di atas tentang teori belajar bahwa belajar dengan bermain chain card game dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengkonstruksi, memanipulasi, mempraktekan, mengintegrasikan dengan lingkungan dan mendapatkan berbagai konsep serta pengertian yang diharapkan.

2.1.4 Teori Psikomotor

Meier (2005: 90) mengemukakan bahwa belajar berarti bergerak secara fisik dengan memanfaatkan indera sebanyak mungkin, dan membuat seluruh tubuh/pikiran terlibat di dalamnya.

Lebih lanjut Meier (2005: 91) mengemukakan terdapat 4 unsur belajar yang dikenal dengan istilah belajar SAVI, yaitu:

(49)

c. Visual: Belajar dengan mengamati dan menggambarkan.

d. Intelektual: Belajar dengan memecahkan masalah dan merenung.

Reigeluth (1999: 470) menyatakan bahwa:

Psychomotor theory mainly focuses on multipart physical and cognitive skills acquired in coordination with each other. As a result it consists of physical, emotional, cognitive and social aspects of learning. The major goal of this theory is to promote the development of psycho-motor skills for all circumstances.

The five phases of the process of learning come out to be very fundamental and very useful: 1) Obtain knowledge of what should be completed, why, in what order, and how; 2) Accomplish the actions, in order, for each part of the procedure; 3) Transfer power from the eyes to the kinesthetic or other senses; 4) Automate the skill and talent (through repetition); 5) Generalize the skill to wider application and purpose.

Dengan demikian jelas bahwa teori psikomotor terutama berfokus pada

keterampilan fisik dan kognitif yang diperoleh dengan mengkombinasikan antara yang satu dengan yang lain. Akibatnya terdiri dari aspek fisik, emosi, kognitif dan sosial dari pembelajaran. Tujuan utama dari teori ini adalah untuk

mengembangkan keterampilan psikomotor untuk semua keadaan.

(50)

Menurut Djohar (kehidupanbesar.blogspot.com/2010/11) teknik pembelajaran untuk membentuk kemampuan psikomotorik peserta didik dapat dipertimbangan melalui beberapa teknik pemberian latihan dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: a)latihan akan efisien apabila disediakan lingkungan yang sesuai dimana mereka kelak akan bekerja; b)latihan yang efektif hanya dapat diberikan jika tugas-tugas yang diberikan memiliki kesamaan operasional, dengan peralatan yang sama dan dengan mesin-mesin yang sama dengan yang akan dipergunakan di dalam kerjanya kelak; c) latihan sudah dibiasakan dengan perilaku yang akan ditunjukkan dalam pekerjaannya kelak; d) latihan hanya dapat diberikan kepada kelompok peserta yang memang memerlukan, menginginkan dan sanggup memanfaatkannya; e) latihan akan efektif apabila pemberian latihan berupa pengalaman khusus terwujud dalam kebiasaan-kebiasaan yang benar; f) latihan diarahkan pada pencapaian kompetensi (persyaratan minimal) yang harus dimiliki individu dapat melakukan/melaksanakan suatu jabatan/pekerjaan.

Ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Ranah

psikomotor adalah ranah yang berhubungan aktivitas fisik, misalnya; menulis, memukul, melompat dan lain sebagainya.

Ada beberapa ahli yang menjelaskan cara menilai hasil belajar psikomotor.

(51)

keterampilan, dan sikap; (c) beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya.

Sementara itu Leighbody berpendapat bahwa penilaian hasil belajar psikomotor mencakup: (1) kemampuan menggunakan alat dan sikap kerja; (2) kemampuan menganalisis suatu pekerjaan dan menyusun urut-urutan pengerjaan; (3)

kecepatan mengerjakan tugas; (4) kemampuan membaca gambar dan atau simbol, (5) keserasian bentuk dengan yang diharapkan dan atau ukuran yang telah

ditentukan. (Yusri Arryza: http://may-alfa.blogspot.com)

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa dalam penilaian hasil belajar psikomotor atau keterampilan harus mencakup persiapan, proses, dan produk. Penilaian dapat dilakukan pada saat proses berlangsung yaitu pada waktu peserta didik melakukan praktik, atau sesudah proses berlangsung dengan cara mengetes siswa.

Penilaian psikomotorik dapat dilakukan dengan menggunakan observasi atau pengamatan. Observasi sebagai alat penilaian banyak digunakan untuk mengukur tingkah laku individu ataupun proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat

(52)

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa belajar adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan siswa dalam mengikuti pembelajaran sehingga

menimbulkan perubahan perilaku belajar dalam diri siswa baik bersifat kognitif, afektif maupun psikomotor. Berkaitan dengan pembelajaran IPA, siswa harus mampu melakukan kegiatan eksperimen, memformulasikan hasil temuannya serta mengkomunikasikan hasil temuannya secara tertulis dan lisan.

2.2 Karakteristik Pembelajaran IPA 2.2.1 Keterampilan Proses Sains

Para ahli pendidikan sains memandang sains tidak hanya terdiri dari fakta, konsep, dan teori yang dapat dihafalkan, tetapi juga terdiri atas kegiatan atau proses aktif menggunakan pikiran dan sikap ilmiah dalam mempelajari gejala alam yang belum diterangkan. Secara garis besar sains dapat didefenisikan atas tiga komponen, yaitu (1) sikap ilmiah, (2) proses ilmiah, dan (3) produk ilmiah. Jadi proses atau keterampilan proses atau metode ilmiah merupakan bagian studi sains, termasuk materi bidang studi yang harus dipelajari siswa.

Membelajarkan bidang studi sains (IPA) berupa produk atau fakta, Konsep dan teori saja belum lengkap, karena baru mengajarkan salah satu komponennya. Komponen sikap ilmiah yang perlu ditumbuhkan antara lain adalah tanggung jawab, keinginan hendak tahu, jujur, terbuka, obyektif, kreatif, toleransi,

(53)

menginterpretasikan gejala alam dari sudut prinsip-prinsip ilmiah. Dengan kata lain pendidikan sains juga bertujuan mengembangkan kepribadian siswa.

Keterampilan proses perlu dikembangkan untuk menanamkan sikap ilmiah pada siswa. Tarmizi (2005:15) berpendapat bahwa terdapat empat alasan mengapa pendekatan keterampilan proses sains diterapkan dalam proses pembelajaran sehari-hari, yaitu :

a. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlangsung semakin cepat sehingga tidak mungkin lagi guru mengajarkan semua konsep dan fakta pada siswa.

b. Adanya kecenderungan bahwa siswa lebih memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh yang konkret c. Penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak

bersifat mutlak 100 %, tapi bersifat relative

d. Dalam proses belajar mengajar, pengembangan konsep tidak terlepas dari pengembangan sikap dan nilai dalam diri siswa.

Proses dapat didefenisikan sebagai perangkat keterampilan kompleks yang digunakan ilmuwan dalam melakukan penyelidikan ilmiah. Proses atau metode ilmiah itu merupakan konsep besar yang dapat dirinci menjadi sejumlah

komponen yang harus dikuasai apabila orang itu hendak melakukan penelitian dan pengembangan dalam bidangnya. Sainstis mengembangkan teori antara melalui keterampilan proses (srihendrawati).

(54)

Keterampilan-keterampilan proses sains dikembangkan bersama-sama dengan fakta-fakta, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip sains.

Menurut Nur dalam srihendrawati.blogspot.com/2012/02 keterampilan proses tersebut adalah pengamatan, pengklasifikasian, penginferensian, peramalan, pengkomunikasian, pengukuran, penggunaan bilangan, penginterpretasian data, melakukan eksperimen, pengontrolan variabel, perumusan hipotesis, dan pendefinisian secara operasional.

Menurut Herlen (Indrawati, 1999:3) keterampilan proses (prosess-skill) sebagai proses kognitif termasuk didalamnya juga interaksi dengan isinya (content). Lebih lanjut Indrawati (1999:3) mengemukakan bahwa:

"Keterampilan Proses merupakan keseluruhan keterampilan ilmiah yang terarah (baik kognitif maupun psikomotor)yang dapat digunakan untuk menemukan suatu konsep atau prinsip atau teori, untuk mengembangkan konsep yang telah ada sebelumnya, ataupun untuk melakukan penyangkalan terhadap suatu penemuan (falsifikasi)".

Jadi Keterampilan Proses Sains (KPS) adalah kemampuan siswa untuk

menerapkan metode ilmiah dalam memahami, mengembangkan dan menemukan ilmu pengetahuan. KPS sangat penting bagi setiap siswa sebagai bekal untuk menggunakan metode ilmiah dalam mengembangkan sains serta diharapkan memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki (Dahar, 1985:11).

(55)

wordpress.com/2010/04/10/komponen-penilaian-keterampilan-proses-sains), terdapat enam langkah-langkah metode ilmiah, yaitu:

a. Mengajukan pertanyaan atau merumuskan masalah

b. Membuat latar belakang penelitian atau melakukan observasi c. Menyusun hipotesis

d. Menguji hipotesis melalui percobaan e. Menganalisa data dan membuat kesimpulan f. Mengkomunikasikan hasil

Dalam pembelajaran sains, keenam langkah-langkah metode ilmiah tersebut dikembangkan dan dijabarkan menjadi sebuah keterampilan proses sains yang dapat diajarkan dan dilatihkan kepada siswa. (Menurut Wetzel dalam

Mahmuddin.wordpress.com/2010/04/10/komponen-penilaian-keterampilan-proses-sains) keterampilan proses sains merupakan dasar dari pemecahan masalah dalam sains dan metode ilmiah. Keterampilan proses sains dikelompokkan menjadi keterampilan proses dasar dan keterampilan proses terpadu.

2.2.1.1 Keterampilan proses dasar

Menurut Rezba dan Wetzel (dalam Mahmuddin), keterampilan proses dasar terdiri atas enam komponen tanpa urutan tertentu, yaitu:

a. Observasi atau mengamati, menggunakan lima indera untuk mencari tahu informasi tentang obyek seperti karakteristik obyek, sifat, persamaan, dan fitur identifikasi lain.

b. Klasifikasi, proses pengelompokan dan penataan objek

c. Mengukur, membandingkan kuantitas yang tidak diketahui dengan jumlah yang diketahui, seperti: standar dan non-standar satuan pengukuran.

d. Komunikasi, menggunakan multimedia, tulisan, grafik, gambar, atau cara lain untuk berbagi temuan.

e. Menyimpulkan, membentuk ide-ide untuk menjelaskan pengamatan. f. Prediksi, mengembangkan sebuah asumsi tentang hasil yang diharapkan.

Gambar

Gambar 2.1 Desain Instruksional Dick and Carey Sumber: Desain Instruksional (Dick and Carey, 2005:5)
Gambar 3.1 Siklus Penelitian Tindakan Kelas (Arikunto, 2006: 105)
Tabel 3.3   Kisi-Kisi Instrumen  Hasil Belajar
Tabel 3.4. Kriteria Penilaian Hasil Belajar
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pengambilan data pada penelitian ini melalui lembar observasi keterampilan proses sains dengan delapan aspek keterampilan proses sains, tes keterampilan proses

peningkatan setiap indikator keterampilan proses sains lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol terbukti dengan skor N-gain tiap indikator kelas eksperimen lebih

peningkatan setiap indikator keterampilan proses sains lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol terbukti dengan skor N-gain tiap indikator kelas eksperimen lebih

Keterampilan Proses Sains tediri atas sejumlah keterampilan yaitu mengamati ( Observasi ), menafsirkan pengamatan ( Interprestasi ), mengelompokkan ( Klasifikasi ),

Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) keterampilan proses sains siswa dan guru SD pada umumnya rendah (4,08% dan 65,79%), (2) di SD keterampilan proses sains

Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) keterampilan proses sains siswa dan guru SD pada umumnya rendah (4,08% dan 65,79%), (2) di SD keterampilan proses sains umumnya

Tahap pembelajaran yang dimiliki model pembelajaran inkuiri identik dengan aspek keterampilan proses sains meliputi observasi, klasifikasi, bertanya, berhipotesis,

Pada tahap ini dilkasanakan proses observasi terhadap pelaksanaan tindakan dengan menggunakan lembar observasi. 1) Selama proses pembelajaran, akan diadakan pengamatan tentang:.. -