TORU BAGIAN BARAT TAPANULI UTARA
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi dan memenuhi syarat mencapai Gelar
Sarjana Sains
RAHMAD ZUBEIR HARAHAP
090805034
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul : Perilaku Makan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Bagian Barat Tapanuli Utara
Kategori : Skripsi
Nama : Rahmad Zubeir Harahap
Nomor Induk Mahasiswa : 090805034
Program Studi : Sarjana (S1) Biologi Departemen : Biologi
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
Disetujui di
Medan, Desember 2013
Komisi Pembimbing :
Pembimbing 2 Pembimbing1
Panut Hadisiswoyo, M.Sc Drs. Arlen Hanel John, M.Si Founding Director YOSL-OIC NIP. 19581018 199003 1 001
Disetujui Oleh
Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,
PERILAKU MAKAN ORANGUTAN SUMATERA (
Pongo abelii
Lesson, 1827) DI STASIUN PENELITIAN HUTAN BATANG
TORU BAGIAN BARAT TAPANULI UTARA
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Desember 2013
Rahmad Zubeir Harahap 090805034
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas kehendak-Nya pula setelah melalui berbagai rintangan akhirnya skripsi ini dapat selesai. Skripsi
dengan judul “PERILAKU MAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongoo
abelii Lesson, 1827) DI STASIUN PENELITIAN HUTAN BATANG TORU
BAGIAN BARAT TAPANULI UTARA” didedikasikan untuk Ayah dan Ibu tercinta yang selalu mendukung dan berkorban demi pendidikan dan masa depan penulis. Skripsi ini mungkin tidak bisa menggantikan pengorbanan yang sudah Ayah dan Ibu lakukan, namun dengan skripsi ini penulis ingin menunjukkan betapa pengorbanan Ayah dan Ibu sangat berarti.
Penyusunan skripsi ini tentunya melibatkan dari bantuan banyak pihak, dan untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ayah dan Ibu Tercinta serta keluarga yang selalu mendukung dan memberikan bantuan selama penyusunan skripsi ini.
2. Abangda Sanusi dan Nurmila yang telah membiayai perkuliahan penulis sampai selesai.
3. Dekan FMIPA USU Dr. Sutarman, M.Sc yang selalu menyemangati dan memberi arahan yang baik agar terciptanya suasana kampus yang kondusif serta selalu mendengarkan suara mahasiswa.
4. Drs. Arlen Hanel John, M.Si dan Panut Hadisiswoyo, M.Sc sebagai pembimbing skripsi, yang senantiasa memberikan bimbingan dan arahan sejak penulis memulai proposal penelitian sampai dengan skripsi ini selesai.
5. Dr. Erni Jumilawaty, M.Si dan Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS sebagai penguji I dan Penguji II, yang telah memberikan banyak saran dan masukan serta keluangan waktu untuk mengkoreksi skripsi ini sehingga lebih baik lagi.
6. Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Center (YOSL-OIC) yang telah memberikan beasiswa kepada penulis sehingga penulis memiliki kesempatan untuk meneliti orangutan Sumatera.
7. Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) terutama YEL Pandan di Tapanuli Tengah sebagai salah satu sponsor penelitian ini, yang telah memberikan materi dan dukungan yang luar biasa. Ibu Gabriela Frederickson yang telah memberikan begitu banyak bantuan baik materi dan moril selama penulis berada di lapangan. Kepada Mathew Nowak terimakasih atas keluangan waktu yang diberikan untuk berdiskusi.
9. Staf YEL Pandan Tapanuli Tengah kak Rita, Lina, Friska dan bang Eben juga kepada Bapak Siti yang luar biasa pengorbanannya mengantarkan bahan makanan setiap minggu ke hutan. Kedatanganmu bapak sangat kami harapkan di setiap hari Jum’at.
10. Spesial thank’s to: Arfah Nasution dan Siska Handayani sebagai partner penelitian. Terimakasih telah memberikan semangat dan menjadi keluarga sekaligus sahabat selama penulis berada di Kawasan Hutan Batang Toru.
11. Nurasiah Harahap, Ummi Saudah Harahap dan juga ponakanku yang lucu-lucu dan imut-imut (Ririn, Afgan, Rizka dan Dahyar) senyuman, tawa dan tangisan kalian sungguh enak didengar.
12. Rekan-rekan mahasiswa Biologi FMIPA USU (Zulfan, Afni, Nurul, Fauziah, Fivin, Fika, Wulan, Icip, Putri, Rita, Esy dkk). Rekan-rekan dari ALKAMIL MEDAN, UKMI AL FALAK, Inkubator Sains USU, Biopalas, PEMA, IPKB, Paguyuban KSE USU yang telah memberikan warna bagi kehidupan penulis selama di Kampus USU.
13. Sahabat-sahabat terbaik penulis Andrean, Ansor, Ambosa, Sufyan, Parwis, Marwan, Hakim, Nagan, Mamat, Hasry, Nurul, Anwar, Amrun, Ontang, Fery, Alfian, Syarif, Daud, Malik, Isnan, Yasman, Saddam, Ricky, Faisal, Abduh, Mustofa, Taqwa. Sahabatku, semoga kita tetap bisa berkumpul lagi walau sesaat untuk bercerita tentang mimpi-mimpi konyol yang pernah ada sewaktu
di Asrama Nurul „Ilmi. Penghuni setia wisma Ar-Rijal Sufyan, Ramlan,
Parwis, Iskandar, Abdurrahman Pebe, Fenda, Martua, Marwan besi dan bang Marwan. Terimakasih atas canda tawa dan presser-presser yang luar biasa. Semangat.
Tentunya masih banyak pihak yang membantu penyusunan skripsi ini dan mohon maaf apabila penulis tidak dapat menyebutkan satu-persatu. Penulis juga menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada Yayasan Ekositem Lestari-Pandan apabila ada kesalahan selama penulis berada di Lapangan. Dengan selesainya skripsi ini, penulis berharap pembaca akan lebih memperhatikan kelestarian satwa liar Indonesia. Semoga apa yang disajikan dalam skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan kelestarian orangutan di Indonesia.
Medan, November 2013
Rahmad Zubeir Harahap lahir di Kota Padangsidimpuan 28 April 1991 tepatnya di Desa Ujunggurap. Menempuh pendidikan Sekolah Dasar 200305 Padangsidimpuan, SMPN 10 Padangsidempuan, SMA Swasta Nurul „Ilmi Padangsidimpuan dan pendidikan S1 di Departemen Biologi Univesitas Sumatera Utara pada tahun 2009 melalui Jalur UMB dan lulus pada tahun 2013.
ABSTRAK
Penelitian dengan judul “Perilaku Makan Orangutan Sumatera (Pongo abelii
Lesson, 1827) di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Blok Barat-Tapanuli Utara” telah dilakukan. Pengumpulan data mulai dari bulan Februari hingga April 2013. Pengamatan perilaku makan dengan menggunakan metode Focal Animal Sampling-Instantaneous-Ad Libitum Sampling. Obeservasi dilakukan selama 339,31 jam. Persentase jenis makanan orangutan jantan remaja yaitu: buah 69,8%, daun 16,2%, umbut 10,1%, bunga 2,4% dan serangga 1,5%. Persentase jenis makanan orangutan betina dewasa yaitu: buah 65,5%, daun 15,51%, umbut 8,6%, kulit kayu 6,6%, bunga 2,1% dan serangga 2,1%. Persentase jenis makanan orangutan betina remaja yaitu: buah 57,3%, daun 15,53%, umbut 13%, bunga 12,3%, kulit kayu 1,2% dan serangga 0,9%. Perilaku makan orangutan Batang Toru adalah menggunakan buah sebagai makanan utama dan selanjutnya berupa makanan alternatif yaitu daun, umbut, bunga, kulit kayu dan serangga. Makanan yang diperoleh terdiri dari 63 spesies tumbuhan dan dua spesies serangga. Penggunaan alat tidak ditemukan pada orangutan Batang Toru dalam memproses makanan. Penggunaan kanopi pohon pada saat makan oleh orangutan betina dewasa yaitu: kanopi bawah 10,19%, kanopi tengah 63,82% dan kanopi atas 25,97%. Orangutan betina remaja yaitu: kanopi bawah 3,81%, kanopi tengah 62,45% dan kanopi atas 33,72%. Orangutan jantan remaja yaitu: kanopi bawah 5,61%, kanopi tengah 78,06% dan kanopi atas 16,31%.
ABSTRACT
The study of "Feeding Behaviour Sumatran Orangutan (Pongo abelii Lesson, 1827) at Batang Toru Forest Research Station West Block-North Tapanuli" was conducted from February to April 2013. Observation of feeding behaviour was performed using Focal Animal Sampling - Instantaneous - Ad Libitum method. The observation was done for 339,31 hours in total. Percentage of food consumed by adolescent male orangutan was comprised of 69,8% fruits, 16,2% leaves, 10,1% pith, 2,4% flowers, and 1,5% insects. Percentage of food consumed by adult female orangutan was comprised of 65,5% fruits, 15,51% leaves, 8,6% pith, 6,6% bark, 2,1% flowers, and 2,1% insects. Percentage of food consumed by juvenile female orangutan was comprised of 57,3% fruits, 15,53% leaves, 13% pith, 12,3% flowers, 1,2% bark and 0,9% insects. It was observed that Batang Toru orangutans in the study area mainly feed on fruits as the main food and alternative foods include leaves, pith, flowers, bark and insects. Foods consumed by the orangutans in the study area consists of 63 species of plant and two species of insect. The use of tool was not found in Batang Toru orangutan for extracting food. The use of tree’s canopy for feeding by adult female orangutan is 10,19% in lower canopy, 63,82% in middle canopy and 25,97% at the top of canopy. For juvenile female orangutan, 3,81% spend in lower canopy for feeding, 62,45% in middle canopy and 33.72% in the top canopy. While adolescent male orangutan spend 5,61% in lower canopy for feeding, 78,06 % in middle canopy and 16,31% in top canopy
Halaman
2.3 Perilaku Makan Orangutan 6
2.4 Daya Dukung Habitat 10
2.5 Kondisi dan Penurunan Habitat 12
2.6 Fragmentasi habitat 13
BAB 3 Bahan dan Metode 16
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 16
4.1 Persentase Jenis Makanan Orangutan 23
4.2 Perilaku Makan Orangutan 29
4.3 Penggunaan kanopi Oleh Orangutan Pada Saat Makan 37
4.4 Perilaku Harian Orangutan Sumatera 41
BAB 5 Kesimpulan dan Saran 48
5.1 Kesimpulan 48
5.2 Saran 49
Nomor Gambar Judul Halaman
2.1 Foto Orangutan 6
2.2 Lokasi Penemuan Sarang Orangutan dan Individu di DAS Batang Toru
12
2.3 Kondisi Perubahan Peningkatan Kerusakan Habitat Alamiah Orangutan Sumatera di Kawasan Hutan Batang Toru Barat Tahun 2001 Dibandingkan Pada Tahun 2003
14
2.4 Kerusakan Habitat Alamiah Berupa Penebangan Kayu Liar Adalah Ancaman Bagi Habitat dan Populasi Orangutan di DAS Batang Toru
15
3.1 Peta Lokasi Penelitian di Hutan Batang Toru Bagian Barat
16
4.1 Persentase Jenis Makanan Orangutan Sumatera di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Blok Barat Melakukan Aktifitas Makan Daun Muda Gironera sp.
4.6 Penggunaan Kanopi Pohon Untuk Aktifitas Makan Oleh Sasaran di Stasiun Penelitian Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Blok Barat
42
4.9 Rata-Rata Perilaku Harian di Stasiun Penelitian Orangutan Sumatera Kawasan Hutan Batang Toru
44
4.10 Aktifitas Harian Orangutan Sumatera dan Kalimantan
Nomor Lampiran Judul Halaman
1 Peta Jalur Penelitian di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Blok Barat
56
2 Tabulasi Data Penelitian 57
3 Foto-Foto Orangutan di Stasiun Penelitian Batang Toru Blok Barat
59
4 Foto Pakan Orangutan 61
5 Daftar Pakan Orangutan 62
6 Uji Statistik 64
Nomor Tabel Judul Halaman
3.1 Biodata Singkat Orangutan Target di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat
19
4.1 Pakan Orangutan di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Bagian Barat
23
4.2 Analisis Statistik Perilaku Makan Orangutan Batang Toru
35
4.3 Analisis Statistik Penggunaan Kanopi Pohon Pada Saat Makan Oleh Orangutan Batang Toru
40
4.4 Analisis Statistik Perilaku Harian Orangutan Batang Toru
ABSTRAK
Penelitian dengan judul “Perilaku Makan Orangutan Sumatera (Pongo abelii
Lesson, 1827) di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Blok Barat-Tapanuli Utara” telah dilakukan. Pengumpulan data mulai dari bulan Februari hingga April 2013. Pengamatan perilaku makan dengan menggunakan metode Focal Animal Sampling-Instantaneous-Ad Libitum Sampling. Obeservasi dilakukan selama 339,31 jam. Persentase jenis makanan orangutan jantan remaja yaitu: buah 69,8%, daun 16,2%, umbut 10,1%, bunga 2,4% dan serangga 1,5%. Persentase jenis makanan orangutan betina dewasa yaitu: buah 65,5%, daun 15,51%, umbut 8,6%, kulit kayu 6,6%, bunga 2,1% dan serangga 2,1%. Persentase jenis makanan orangutan betina remaja yaitu: buah 57,3%, daun 15,53%, umbut 13%, bunga 12,3%, kulit kayu 1,2% dan serangga 0,9%. Perilaku makan orangutan Batang Toru adalah menggunakan buah sebagai makanan utama dan selanjutnya berupa makanan alternatif yaitu daun, umbut, bunga, kulit kayu dan serangga. Makanan yang diperoleh terdiri dari 63 spesies tumbuhan dan dua spesies serangga. Penggunaan alat tidak ditemukan pada orangutan Batang Toru dalam memproses makanan. Penggunaan kanopi pohon pada saat makan oleh orangutan betina dewasa yaitu: kanopi bawah 10,19%, kanopi tengah 63,82% dan kanopi atas 25,97%. Orangutan betina remaja yaitu: kanopi bawah 3,81%, kanopi tengah 62,45% dan kanopi atas 33,72%. Orangutan jantan remaja yaitu: kanopi bawah 5,61%, kanopi tengah 78,06% dan kanopi atas 16,31%.
ABSTRACT
The study of "Feeding Behaviour Sumatran Orangutan (Pongo abelii Lesson, 1827) at Batang Toru Forest Research Station West Block-North Tapanuli" was conducted from February to April 2013. Observation of feeding behaviour was performed using Focal Animal Sampling - Instantaneous - Ad Libitum method. The observation was done for 339,31 hours in total. Percentage of food consumed by adolescent male orangutan was comprised of 69,8% fruits, 16,2% leaves, 10,1% pith, 2,4% flowers, and 1,5% insects. Percentage of food consumed by adult female orangutan was comprised of 65,5% fruits, 15,51% leaves, 8,6% pith, 6,6% bark, 2,1% flowers, and 2,1% insects. Percentage of food consumed by juvenile female orangutan was comprised of 57,3% fruits, 15,53% leaves, 13% pith, 12,3% flowers, 1,2% bark and 0,9% insects. It was observed that Batang Toru orangutans in the study area mainly feed on fruits as the main food and alternative foods include leaves, pith, flowers, bark and insects. Foods consumed by the orangutans in the study area consists of 63 species of plant and two species of insect. The use of tool was not found in Batang Toru orangutan for extracting food. The use of tree’s canopy for feeding by adult female orangutan is 10,19% in lower canopy, 63,82% in middle canopy and 25,97% at the top of canopy. For juvenile female orangutan, 3,81% spend in lower canopy for feeding, 62,45% in middle canopy and 33.72% in the top canopy. While adolescent male orangutan spend 5,61% in lower canopy for feeding, 78,06 % in middle canopy and 16,31% in top canopy
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kawasan hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru merupakan salah
satu daerah yang mempunyai karakter ekologi yang khas di pulau Sumatera,
karena diperkirakan merupakan kawasan transisi biogeografis antara kawasan
biogeografis Danau Toba bagian Utara dan Danau Toba bagian Selatan. Kawasan
ini memiliki beberapa tipe ekosistem mulai dataran rendah, perbukitan hingga
pegunungan yang menjadi habitat bagi orangutan Sumatera (Pongo abelii) (Perbatakusuma et al. 2007).
Terjadinya kawasan transisi biogeografis ini kemungkinan disebabkan
kekuatan tektonik dan letusan Gunung Berapi Toba sekitar ± 75.000 tahun yang
lalu (Rijksen et al. 1999). Pada kurun waktu itu, Sungai Batang Toru dan Sungai Batang Gadis menjadi satu dan kemudian kedua sungai besar tersebut terpisah,
sehingga menjadi faktor penghalang ekologi yang efektif bagi penyebaran satwa
dan tumbuhan liar. Bukan hanya sungai, di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang
Toru telah terbentuk penghalang karakter ekologis lainnya (ecological barrier), seperti pegunungan yang tinggi, perbukitan, habitat yang spesifik (rawa dan
danau) serta tingkat perbedaan intensitas matahari pada wilayah basah dan kering
(Siringoringo et al. 2007).
Perbatakusuma et al. (2006) menyatakan bahwa kondisi transisi ini mengakibatkan kawasan memiliki keunikan dan keanekaragaman hayati yang
tinggi. Hal ini terlihat dari fenomena pada kawasan yang dapat dijumpai fauna
dari kawasan biogeografis Danau Toba bagian Utara, seperti tapir Sumatera
(Tapirus indicus) dan kambing hutan Sumatera (Capricornis sumatraensis), sedangkan di Danau Toba bagian Selatan terdapat orangutan Sumatera (Pongo abelii).
Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat ini semakin penting, karena
population), apabila habitatnya aman dari berbagai ancaman. Orangutan Sumatera
telah didaftar dalam IUCN Red List of Threatened Species (IUCN, 2004) sebagai satwa yang kritis terancam punah secara global (Critically Endangered).
Keberadaan orangutan sangat penting untuk menjaga keseimbangan
ekosistem. Menurut Galdikas (1986) dan Suhandi (1988) orangutan memiliki
peran penting dalam memencarkan biji-biji dari tumbuhan yang dimakannya.
Menurut Russon et al. (2009) sekitar 1.666 jenis tumbuhan sangat tergantung penyebarannya oleh orangutan. Orangutan termasuk hewan frugivora (pemakan buah), walaupun primata ini juga mengkonsumsi daun, liana, kulit kayu, serangga
dan kadang-kadang memakan tanah dan vertebrata kecil. Hingga saat ini tercatat
lebih dari 1000 spesies tumbuhan, hewan kecil, dan jamur yang menjadi pakan
orangutan (Galdikas, 1982; Perbatakusuma et al. 2006).
Aktivitas utama orangutan didominasi oleh kegiatan makan yang meliputi,
memproses dan mempersiapkan makanan, pergerakan saat makan, minum dan
penggunaan alat untuk makan. Menurut Meijaard et al .(2001) perilaku makan sangat berpengaruh terhadap kondisi biologis dan aktivitas hidup hewan, yang
pada akhirnya akan mempengaruhi organisasi sosialnya.
Pada kondisi alami, orangutan lebih banyak mengkonsumsi buah
dibandingkan jenis pakan lainnya. Saat ketersediaan buah menurun, orangutan
juga mengkonsumsi berbagai pakan lain yang dapat ditemui. Pakan lain yang
dikonsumsi orangutan adalah daun, pucuk, bunga, epifit, liana, kulit kayu
(Galdikas, 1984; Sinaga, 1992), dan tanah (Meijaard et al. 2001). Pada beberapa
kasus, orangutan juga mengkonsumsi kukang (Nycticebus coucang) (Utami & van Hooff, 1997). Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian dengan judul “Perilaku Makan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Blok Barat Tapanuli Utara”.
1.2. Permasalahan
Belum diketahui bagaimanakah perilaku makan orangutan sumatera
(Pongo abelii Lesson, 1827) di Stasiun Penelitian Batang Toru Blok Barat Tapanuli Utara sehingga perlu dilakukan penelitian untuk kepentingan upaya
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
a. Mengetahui perilaku makan orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Blok Barat.
b. Mengetahui penggunaan kanopi pohon pada saat aktifitas makan oleh
orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Blok Barat.
1.4. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui perilaku makan
(feeding behaviour) meliputi persentase jenis makanan dan teknik makan orangutan Sumatera. Selain itu, dapat diketahui penggunaan kanopi pohon pada
saat aktifitas makan oleh orangutan Sumatera di Stasiun Penelitian Batang Toru
Blok Barat Tapanuli Utara-Sumatera Utara secara pasti sehingga informasi yang
diperoleh dapat digunakan sebagai bahan pengelolaan konservasi orangutan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Taksonomi Orangutan
Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Homonidae (Groves,
2001), dengan klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrae
Kelas : Mamalia
Ordo : Primata
Famili : Homonidae
Genus : Pongo
Spesies : Pongo abelii Lesson, 1827 Pongo pygmaeus Linneus, 1760.
Nama orangutan merujuk pada kata orang (manusia) dan hutan yang
berarti "manusia hutan" seperti yang dikemukakan oleh Galdikas & Briggs
(1999). Sebelum genus Pongo digunakan, sebutan untuk keluarga kera besar ini
dengan nama spesies Ourangus outangus. Nama ini tidak diberlakukan lagi setelah International Commission for Zoological Nomenclature (ICZN) memberikan sebutan Pongo untuk genus keluarga kera besar ini (Mapple, 1980).
Orangutan termasuk ke dalam anggota primata dan merupakan salah satu
jenis kera besar yang masih hidup sampai saat ini. Kegiatan pengklasifikasian
yang didasarkan pada perbandingan anatomi dan imunologi memberikan petunjuk
bahwa orangutan bersama-sama dengan dua kera besar lainnya, yaitu simpanse
dan gorila merupakan kerabat bangsa manusia yang paling dekat dalam dunia
hewan. Perkataan orangutan berasal dari bahasa Melayu yang berarti manusia
2.2. Morfologi Orangutan
Orangutan memiliki postur tubuh mirip dengan keluarga kera besar lainnya.
Memiliki lengan yang panjang dan kuat, kaki orangutan lebih pendek, tidak
memiliki ekor serta rambut berwarna cokelat kemerahan. Beberapa peneliti
mengatakan bahwa jenis rambut orangutan dapat dijadikan acuan untuk
mengidentifikasi dan membedakan satu individu dengan individu lainnya
berdasarkan warna rambut dan alur tumbuhnya rambut (Groves, 1999).
Perbedaan morfologi orangutan dapat dikenali dari perawakannya,
khususnya struktur rambut. Dilihat melalui mikroskop, jenis dari Kalimantan
berambut pipih, dengan kolom pigmen hitam tebal di tengah; jenis dari Sumatera
berambut lebih tipis, membulat, mempunyai kolom pigmen gelap yang halus dan
sering patah di bagian tengahnya, biasanya jelas di dekat ujungnya dan kadang
berujung hitam di bagian luarnya (MacKinnon, 1973). Ciri yang kedua, orangutan
Kalimantan lebih tegap dan mempunyai kulit dan warna rambut lebih gelap
daripada yang ada di Sumatera. Namun perlu diperhatikan bahwa ciri-ciri umum
yang membedakan kedua anak jenis ini tidak mudah dilihat di lapangan (Meijard
et al. 2001).
Menurut Supriatna (2000), rambut orangutan Sumatera lebih terang bila
dibandingkan orangutan Kalimantan. Warna rambut coklat kekuningan, dan
umumnya rambut agak tebal atau panjang. Seperti halnya orangutan Kalimantan,
anak yang baru lahir mempunyai kulit muka dan tubuh berwarna pucat, dan
rambutnya coklat sangat muda. Menginjak dewasa warnanya akan berubah sesuai
dengan perkembangan umur. Jantan dewasa ukuran tubuhnya dua kali lebih besar
daripada betina yaitu sekitar 125-150 cm.
Morfologi dari orangutan itu sendiri baik orangutan Sumatera dan
Kalimantan akan terlihat serupa (Gambar 2.1). Akan tetapi, apabila dikenali lebih
dalam maka akan terlihat perbedaan antara orangutan Sumatera dan Kalimantan.
Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), khususnya bila telah dewasa mengarah kepada warna cokelat kemerah-merahan, sedangkan rambutnya terlihat kasar dan
jarang-jarang. Pada orangutan Sumatera (Pongo abelii), biasanya berwarna lebih
pucat, khasnya “ginger” (jahe), dan rambutnya lebih lembut dan lemas. Kadang
pada orangutan Kalimantan tidak ditemukan hal tersebut. Perbedaan ini bukan
merupakan sifat yang mantap tetapi dapat digunakan sebagai penuntun kasar
(Galdikas, 1986).
a b
c d
Gambar 2.1 Foto Orangutan dari Jenis a) Pongo abelii betina (Batang Toru, YEL-SOCP) b) Pongo abelii jantan (Harahap, 2013) c) Pongo abelii betina (Suaq, sumber Jeef Oonk) d) Pongo pygmaeus
2.3. Perilaku Makan Orangutan
Orangutan merupakan satwa diurnal dan arboreal. Orangutan dewasa pada
umumnya menjalani perilaku yang diawali dari bangun tidur sekitar pukul 06.00
WIB dan tidur kembali sekitar pukul 18.00 WIB. Beberapa saat setelah bangun
kegiatan hariannya dimulai dengan mengeluarkan kotoran di luar sarang. Jika di
sekitar sarang tercium bau khas kotoran dan urin berarti orangutan telah memulai
perilaku hariannya, dan bila terjadi sebaliknya berarti orangutan masih berada di
sarangnya. Selanjutnya orangutan akan menuju sumber makanan yang terdekat.
orangutan akan langsung makan di pohon tersebut. Setelah itu aktivitasnya
berkisar antara makan, istirahat, bergerak dan sosial (YEL, 2007).
Rodman (1979) menyatakan bahwa aktivitas utama orangutan didominasi
oleh kegiatan makan kemudian aktivitas istirahat, bermain, berjalan-jalan di antara
pepohonan dan membuat sarang. Kegiatan membuat sarang ini umumnya
dilakukan dalam persentase waktu yang relatif kecil. Menurut Fakhrurradhi
(1998) di Suaq Balimbing, orangutan Sumatera rata-rata dalam satu hari
menggunakan waktu 65% untuk melakukan aktivitas makan, 16% untuk bergerak
pindah, 17% untuk beristirahat, 1% untuk membuat sarang dan 0,5% untuk
aktivitas sosial.
Orangutan merupakan hewan diurnal, yaitu hewan yang aktif di siang hari
(Galdikas, 1984; Rodman, 1977). Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagian besar
waktu kehidupan orangutan di siang hari (57%) dihabiskan untuk mencari makan
sebesar 45.9% dan berpindah tempat sebesar 11,1% dan 43% digunakan untuk
istirahat pada malam hari.
Menurut van Schaik (2006) bahwa kehidupan sehari-hari orangutan semua
mengenai makanan. Sebagian besar waktu aktif orangutan dilewati dengan
menemukan, memproses, dan memakan makanan, sehingga jadwal kehidupan
mereka sehari-hari mudah disimpulkan: makan dan berjalan, berjalan dan makan.
Selanjutnya Kuncoro et al. (2008) menyatakan bahwa orangutan merupakan satwa arboreal. Fungsi lain kehidupan arboreal pada orangutan berhubungan dengan
ketersediaan pakan yang sesuai. Saat musim buah orangutan banyak beraktivitas
pada kanopi tengah dan atas.
Perubahan produksi buah sangat mempengaruhi perilaku makan orangutan
(van Schaik, 2001; Morrogh-Bernard et al. 2009). Hal tersebut dikarenakan orangutan adalah primata frugivorus, yaitu hewan yang makanan utamanya adalah
buah (Mackinnon, 1974; Rijksen, 1978; Galdikas, 1986; Rodman, 1999). Pada
saat terjadi kelangkaan buah di Gunung Palung, orangutan memilih memakan
kambium dari kulit pohon atau liana sebagai makanan alternatif (Knott, 1998). Di
Sumatera, orangutan juga terlihat banyak makan daun saat buah langka (Delgado
Buah-buahan yang telah matang, apalagi kalau jumlahnya banyak,
merupakan menu utama makanan orangutan. Buah-buahan merupakan sumber
energi yang baik, akan tetapi bukan merupakan sumber protein. Kebanyakan
diantara para primata menemukan jalan tengah dengan menambah dedaunan muda
atau serangga yang dua-duanya kaya akan protein (van Schaik, 2006).
Perubahan musim hujan dan kemarau dapat mempengaruhi fenologi
tumbuhan, khususnya waktu terjadinya pertunasan, perbungaan dan perbuahan
yang menggambarkan produktivitas dari tumbuhan. Perubahan waktu berbunga
dari tumbuhan tersebut juga dapat mempengaruhi produksi buah yang dimakan
oleh orangutan (Suhud & Saleh, 2007).
Aktifitas harian orangutan dipengaruh oleh musim buah. Pada saat tidak
musim buah, orangutan menghabiskan waktunya untuk berjalan dan waktu untuk
makan hanya sedikit (MacKinnon, 1974 dalam Rijksen, 1978). MacKinnon juga menemukan perbedaan pola aktifitas harian orangutan sumatera pada saat hari
kering dan hari basah. Pada saat hari kering waktunya lebih banyak dihabiskan
untuk beristirahat daripada aktifitas makan dan berjalan. Pada saat hari kering
orangutan menghabiskan waktunya untuk istirahat sampai tengah hari.
Perilaku makan yang tinggi sepanjang hari, dan agak menurun pada siang
hari karena meningkatnya perilaku istirahat (Kuncoro et al. 2008). Hal ini sedikit berbeda dengan yang di Sungai Wain, yaitu perilaku makannya tinggi, perilaku
istirahat sedikit dan perilaku pergerakan juga sedikit (Frederiksson, 1995). Hal
tersebut berbeda dengan perilaku orangutan liar di Ulu Segama Sabah dan Sungai
Ranun Sumatera (MacKinnon, 1972), Ketambe Sumatera (Rijksen, 1978) serta
Mentoko Kutai (Rodman, 1988), karena perilaku makan orangutan banyak terjadi
pada pagi dan sore hari, sedangkan siang hari yang banyak dilakukan adalah
perilaku istirahat. Frederiksson (1995) menduga hal tersebut terjadi karena
perbedaan umur, penelitian pada orangutan liar umumnya umurnya sudah dewasa,
sedangkan penelitian pada orangutan rehabilitan umumnya umurnya masih muda.
Perilaku makan orangutan berbeda-beda di setiap daerah yang dipengaruhi
oleh tipe habitat, musim, umur serta jenis kelamin (Mackinnon, 1974). Menurut
(Rowe, 1996; Supriatna & Wahyono, 2000) bahwa perbedaan ukuran tubuh
jelajah harian dan luas daerah teritori orangutan jantan dewasa lebih besar bila
dibandingkan dengan betina dewasa mengakibatkan perbedaan perilaku makan
antara orangutan jantan dan betina. Menurut Singleton (2000) bahwa pada
orangutan betina dewasa, anak juga sangat mempengaruhi dalam perilaku makan,
karena kehidupan anak sangat bergantung pada induknya.
Perubahan produksi buah akan direspon oleh orangutan dan kera besar
lainnya, yaitu dengan melakukan perubahan perilaku makan (Meijaard et al. 2001; Yamagiwa, 2001). Perilaku makan termasuk perilaku yang cukup penting dalam
kehidupan orangutan karena sebagian besar aktivitas orangutan digunakan untuk
mencari, memproses dan memakan makanan (van Schaik, 2006). Dalam
pengamatan perilaku makan, orangutan terlihat memiliki daya ingat terhadap
perubahan fenologi bunga dan buah yang dimakan (Rijksen, 1978; Utami et al. 1997). Selain itu, orangutan juga memperlihatkan perilaku dalam memilih bagian
yang dimakan dari makanannya (van Schaik, 2003; Russon, 2009). Hasil
penelitian perilaku makan buah yang dilakukan di Gunung Palung terlihat bahwa
orangutan hampir selalu memakan daging buah yang matang, sementara biji
biasanya dimakan dari buah yang mentah. Orangutan memilih makan kambium
saat terjadi kelangkaan buah (Knott, 1998).
Orangutan memiliki strategi dalam perilaku makan, yaitu dengan memilih
makanan yang tersedia di alam dan menentukan bagian yang dimakan dari suatu
jenis makanan. Orangutan akan memilih makan daging buah yang matang dan
makan biji yang mentah dari jenis tumbuhan yang sama (van Schaik, 2006).
Penelitian perilaku makan orangutan di Tanjung Puting menunjukkan bahwa,
orangutan jantan dewasa sering memakan rayap (Galdikas, 1986). Penelitian lain
dari Utami & van Hoof (1997) memperlihatkan bahwa orangutan betina dewasa di
Ketambe dan Suaq Balimbing secara kebetulan memakan kukang (Nycticebus coucang).
Hasil penelitian Harrison (2009) di Sebangau, Kalimantan Tengah
menunjukkan perbedaan perilaku makan orangutan jantan dan betina dewasa,
disebabkan oleh perbedaan aktivitas harian yang dilakukan. Perbedaan tersebut
menurut Knott (1998) disebabkan karena orangutan jantan dewasa memerlukan
melimpah dari orangutan jantan dewasa adalah 8422 kkal/hari dan 7404 kkal/hari
untuk betina dewasa. Saat buah langka, orangutan jantan dewasa menkonsumsi
3824 kkal/hari dan 1793 kkal/hari untuk betina dewasa. Konsumsi makanan
dengan energi yang besar dari orangutan jantan digunakan dalam menjelajah dan
mempertahankan daerah teritori, sedangkan orangutan betina dewasa
mengkonsumsi makanan dengan kualitas lebih tinggi digunakan untuk kebutuhan
pada waktu hamil, menyusui dan merawat anak (Knott, 1988).
Mencari makanan seharusnya merupakan tantangan berat bagi para
orangutan. Di hutan telah tersedia banyak tanaman yang beracun atau berserat
tinggi yang mungkin saja bisa dimakan, akan tetapi makanan yang mudah dicerna
lagi pula bebas kandungan kimia yang dicari orangutan ini sangat sedikit tersedia.
Para orangutan memakan aneka ragam makanan dan menyantap jajaran luas
berbagai macam jenis, hanya akan memakan buah yang matang dari jenis yang
satu, akan tetapi memakan semua tahap kematangan dari jenis buah berikutnya.
Menyobek hingga lepas kulit dari batang pohon dan melumatkan umbi yang
penuh zat makanan dan banyak airnya dari epifit. Kebanyakan satwa
mengandalkan rasa dan konsistensi makanan untuk menentukan apa saja yang
layak dimakan, dan banyak pula diantaranya mungkin akan menghindar dari jenis
makanan yang telah membuat mereka sakit setelah mereka pernah mencobanya
(van Schaik, 2006).
2.4. Daya Dukung Habitat
Hutan berfungsi bukan hanya sebagai sumber kehidupan bagi manusia, tetapi juga
bagi satwa liar. Hutan telah berperan secara ekologi sebagai sumber air dan
hidrologi, penyimpan sumberdaya alam lainnya, pengatur kesuburan tanah dan
iklim, serta cadangan karbon yang mampu menyediakan kebutuhan manusia.
Begitu pula, beragam jenis satwa liar telah memanfaatkan hutan sebagai habitat
untuk mencari makan, berkembangbiak, dan kehidupan sosial lainnya. Dengan
demikan, terjadinya kerusakan hutan tidak saja mengancam kehidupan manusia,
lebih jauh lagi akan mengakibatkan punahnya beragam jenis satwa liar yang
Dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, orangutan membutuhkan
persyaratan habitat kawasan hutan alam yang relatif utuh dan cukup luas sebagai
tempat mencari makan, beristirahat, berlindung dari pemangsa dan pemenuhan
kebutuhan sosial lainnya (Perbatakusuma et al. 2007). Selain itu, hutan yang luas diperlukan orangutan Sumatera mengingat areal jelajah individu dapat mencapai
1500-4000 hektar untuk individu jantan dewasa dan 850-950 hektar untuk
individu betina dewasa (Singleton & van Schaik, 2001).
Diperkirakan total luasan bentang alam daya dukung habitat yang dapat
mendukung kelangsungan hidup orangutan (orangutan landscape) di Ekosistem Batang Toru adalah 148.570 hektar yang terdiri dari Blok-blok Hutan di Batang
Toru Barat dan di Batang Toru Timur atau Blok Hutan Sarulla (Conservation
International, 2006). Habitat orangutan di kawasan hutan Batang Toru sebagian
berupa hutan sekunder dan hutan bekas tebangan masyarakat. Berdasarkan
ketinggiannya tipe vegetasi habitat orangutan meliputi hutan dataran rendah,
hutan campuran dan hutan dataran tinggi. Habitat orangutan didominasi oleh
pohon berdiameter 10-30 cm (75,6%) dengan tinggi antara 10-30 m (80,4%)
(Simorangkir et al.2009).
Orangutan sangat peka terhadap perubahan kondisi hutan tropis yang
menjadi habitatnya. Dimana hutan tropis yang menjadi habitatnya harus
menyediakan beragam tumbuhan buah yang menjadi sumber pakan utamanya
sehingga primata ini dapat bertahan hidup. Dengan demikian pembukaan hutan
tropis sangat berpengaruh terhadap perkembangan populasinya (Supriatna & Edy,
2000).
Fakta terkini mengenai habitat orangutan di Sabah dan Kalimantan Timur
menunjukkan orangutan dapat beradaptasi di hutan komersial dan hutan sekunder
(Ancrenaz et al. 2007), walaupun habitat yang demikian berdampak negatif terhadap populasi orangutan di alam. Hutan sekunder atau komersil menyebabkan
dampak negatif bagi populasi orangutan, karena pada daerah seperti ini orangutan
sering berinteraksi dengan manusia. Dengan interaksi yang terjadi maka
perubahan perilaku dari liar menjadi jinak juga terjadi, sehingga orangutan lebih
2.5. Kondisi dan Penurunan Habitat
Berdasarkan hasil temuan fosil, sekitar 10.000 tahun yang lalu orangutan tersebar
hampir di seluruh daratan Asia Tenggara dan sebagian dari daratan Cina bagian
Selatan. Namun saat ini populasi orangutan hanya dapat ditemui di Pulau
Sumatera dan Pulau Kalimantan. Penyebaran orangutan di alam saat ini, sebagian
besar orangutan liar berada di wilayah Indonesia serta sebagian kecil di wilayah
Malaysia dan Brunei Darussalam (Ancrenaz et al. 2007).
Saat ini hampir semua orangutan Sumatera hanya ditemukan di Provinsi
Sumatera Utara dan Provinsi Nangro Aceh Darussalam, dengan Danau Toba
sebagai batas paling Selatan sebarannya. Hanya 2 populasi yang relatif kecil
berada di sebelah Barat Daya Danau, yaitu Sarulla Timur dan hutan-hutan di
Batang Toru Barat. Sebaran orangutan di Hutan Batang Toru Blok Barat terdapat
pada Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten
Tapanuli Selatan. Peta sebaran orangutan Sumatera di Daerah Aliran Sungai
Batang Toru yang merupakan kompilasi terkini para peneliti disajikan pada
Gambar 2.2 berikut ini.
Pembukaan kawasan hutan merupakan ancaman terbesar terhadap
lingkungan karena mempengaruhi fungsi ekosistem yang mendukung kehidupan
di dalamnya. Selama periode tahun 1980-1990, hutan Indonesia telah berkurang
akibat konversi menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan permukiman, kebakaran
hutan, serta praktek pengusahaan hutan yang tidak berkelanjutan. Pengembangan
otonomi daerah dan penerapan 10 desentralisasi pengelolaan hutan pada 1998
juga dipandang oleh banyak pihak sebagai penyebab peningkatan laju deforestasi
di Indonesia. Pembangunan perkebunan dan izin usaha pemanfaatan kayu yang
dikeluarkan pemerintah daerah turut berdampak terhadap upaya konservasi
orangutan (Soehartono et al. 2007).
Kawasan hutan tropis dalam lingkup Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang
Toru yang menjadi kawasan habitat orangutan Sumatera berdasarkan peta vegetasi
Sumatera yang disusun oleh Laumonier et al. (1987) dapat dikategorikan menjadi 2 sub-tipe formasi hutan. Pertama, sub-tipe Formasi Air Bangis-Bakongan yang
menjadi bagian dari tipe Formasi Bukit Barisan Barat perbukitan berelevasi
menengah (300 sampai 1000 meter di atas permukaan laut). Kedua, sub-tipe
Hutan Montana (1000-1800 meter di atas permukaan laut) yang menjadi bagian
dari tipe Formasi Bukit Barisan di atas 1000 meter dari permukaan laut
(Perbatakusuma et al. 2007).
2.6. Fragmentasi Habitat
Tilson et al. (1993), Rijksen & Meijaard (1999), van Schaik et al. (2001), dan
Robertson & van Schaik (2001) menyatakan bahwa orangutan yang sudah
dikategorikan terancam secara global, kelangsungan hidupnya sangat terancam
akibat dari rusak dan hilangnya habitat alamiah serta terpecahnya habitat
(fragmentasi) yang diakibatkan oleh penebangan kayu liar, penebangan kayu
komersil yang tidak berkelanjutan, perladangan berpindah dan konversi hutan
alam skala besar untuk perkebunan atau pertambangan mineral secara terbuka.
Ditambahkan karakter perilaku orangutan yang rentan terhadap kepunahan, seperti
mempunyai daerah jelajah yang luas (1500-4000 hektar untuk individu jantan
dewasa dan 850-950 hektar untuk individu betina dewasa (Singleton & van
kelompok secara tetap atau sementara, menghendaki lingkungan habitat yang
relatif stabil dari gangguan dan tidak mempunyai kemampuan menyebar dan
adaptasi yang baik jika habitatnya mengalami gangguan yang berat. Ancaman
kerusakan habitat orangutan di Kawasan Hutan Batang Toru semakin tinggi akibat
dari aktifitas pertambangan, perambahan hutan dan illegal logging. Peta 2.3 berikut ini menunjukkan laju kerusakan habitat orangutan di Kawasan Hutan
Batang Toru Blok Barat dari tahun 2001 sampai 2003.
Gambar 2.3. Kondisi Perubahan Peningkatan Kerusakan Habitat Alamiah Orangutan Sumatera di Kawasan Hutan DAS Batang Toru Barat pada Tahun 2001 Dibandingkan pada Tahun 2003 ( CI Indonesia, PT. Newmont Horas Nauli, Departemen Kehutanan)
Hutan yang telah terdegradasi komposisi pohonnya sudah bercampur
dengan tanaman budidaya masyarakat seperti karet, coklat, durian, aren,
kemenyan, kopi dan petai. Pada titik-titik orangutan ditemukan, kondisi
vegetasinya masih sangat baik walaupun itu hanya merupakan pecahan-pecahan
hutan alam yang disekelilingnya sudah berubah menjadi kebun-kebun masyarakat.
Situasi ini mengindikasikan bahwa walaupun tekanan perubahan fungsi lahan dari
hutan menjadi non hutan yang sangat tinggi, orangutan di Blok Batang Toru Barat
masih dapat bertahan hidup, karena didukung ketersediaan sumber pakan (aren,
durian, petai) dan tajuk berlapis kebun-kebun masyarakat. Hal itu juga
menunjukan terjadinya kompetisi sumber makanan antara manusia dan orangutan,
menjadikan masyarakat setempat pada beberapa tempat menyatakan orangutan
sebagai hama pengganggu tanaman budidaya masyarakat. Kondisi ini tentunya
menyebabkan kelangsungan hidup orangutan secara jangka panjang tidak berjalan
harmonis dengan pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat yang ada sekarang ini
disekitar habitat orangutan. Sehingga habitat alami orangutan menjadi penting
untuk tidak dirusak guna mendukung ketersediaan sumber pakannya
(Perbatakusuma et al. 2007).
Gambar 2.4. Kerusakan Habitat Alamiah Berupa Penebangan Kayu Liar Adalah Salah Satu Ancaman Bagi Habitat dan Populasi Orangutan Sumatera di DAS Batang Toru (CI Indonesia, PT. Newmont Horas Nauli, Departemen Kehutanan).
Menurut Meijaard et al. (2001), penebangan hutan telah menurunkan produktivitas makanan satwa liar frugifora karena mengganggu siklus hara dan
keseimbangan ekosistem. Menurut Conservation International, (2006) di Pulau
Sumatera dalam kurun waktu 25 tahun populasi orangutan menurun hingga 80%.
Penebangan hutan secara langsung telah mengakibatkan penurunan
kualitas habitat satwaliar, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kegiatan
eksploitasi kayu secara resmi ataupun illegal yang mencapai puncaknya pada tahun 1980-an telah merusak habitat orangutan antara 50 % sampai kerusakan
total (Populationand Habitat Viability Assessment/ PHVA, 2004). Dampaknya, komunitas orangutan terpecah menjadi unit-unit yang lebih kecil dan tidak mampu
bertahan hidup. Selain itu, kerusakan habitat sangat mempengaruhi kemampuan
orangutan untuk melakukan reproduksi, yang akhirnya akan menyebabkan
BAB 3
BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2013. Lokasi
penelitian berada di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli
Utara-Sumatera Utara (Gambar 3.1), tepatnya di Stasiun Penelitian Yayasan
Ekosistem Lestari Sumateran Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP). Kegiatan penelitian dilakukan pada area seluas 2.400 ha.
3.2.Deskripsi Area
Hutan Batang Toru (HBT) memiliki luasan sekitar 136.000 ha dan terbagi dalam
dua blok, yaitu blok Timur dan blok Barat. Secara administratif Hutan Batang
Toru terletak di Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli
Selatan, sedangkan secara geografis berada antara 98o 53’ – 99o 26’ Bujur Timur
dan 02o 03’ – 01o 27’ Lintang Utara. Stasiun penelitian Batang Toru (SOCP–
YEL) sendiri termasuk dalam kawasan hutan lindung, berada di Hutan Batang
Toru Blok Barat Kabupaten Tapanuli Utara, dengan luas area sekitar 2.400 Ha.
Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat memiliki ketinggian mulai dari 50
mdpl sampai dengan 1875 mdpl. Titik terendahnya berada di Sungai Sihaporas
(dekat kota Sibolga), dan titik tertingginya berada pada Dolok Lubuk Raya di
bagian Selatan Kawasan Hutan Batang Toru. Kelerengan antara 16% sampai
dengan lebih dari 60%, bentuk medan di wilayah tersebut didominasi oleh bentuk
topografi yang berbukit dan bergunung. Tanah di Hutan Batang Toru termasuk
yang peka terhadap erosi.
PT. Newmont Horas Nauli, LIPI dan Hatfield (2005) dalam kajian
biodiversitasnya menyimpulkan adanya kekayaan flora cukup tinggi dan telah
teridentifikasi 194 jenis pohon dari 127 genus dan 54 famili dan 10 jenis
dikategorikan jenis tumbuhan langka, diantaranya 2 jenis tumbuhan endemik dan
langka, yaitu Bunga raksasa Amorphophalus baccari dan Amorphophalus gigas dan tumbuhan langka lainnya, yaitu Bunga Bangkai Raksasa Raflesia gadutnensis dan 3 jenis tumbuhan kantong semar yang terancam bahaya kepunahan, yaitu
Nephentes sumatrana, Nephentes eustachya dan Nephentes albomarginata. Disamping itu diantaranya juga ditemukan jenis-jenis baru, seperti Bahaunia sp., Macaranga sp. dan Wrigtea sp. Menurut YEL (2007) Hutan Batang Toru juga memiliki diversitas anggrek yang sangat tinggi.
PT. Newmont Horas Nauli, LIPI, Hatfield (2005) dalam kajian
biodiversitasnya menyimpulkan bahwa Kawasan Hutan Batang Toru Barat,
termasuk Blok Anggoli dapat ditemukan 60 jenis satwa liar, diantaranya 15 jenis
satwa liar yang terancam punah secara global, diantaranya orangutan Sumatra
brachyura), beruk (Macaca nemestrina), beruang madu (Helarctos malayanus),
kucing emas (Pardofelis marmomata). Hutan Batang Toru merupakan habitat terakhir bagi populasi orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang jauh terpisah dari orangutan lain di Sumatera Utara dan Aceh (YEL, 2007).
Survey yang dilakukan oleh PT. Newmont Horas Nauli, LIPI dan Hatfield
(2005) telah menemukan jumlah jenis yang lebih besar, yaitu 247 jenis burung,
diantaranya 3 jenis terancam punah secara global, yaitu Bucheros sp. Ictinaetus malayensis dan Spilornis cheela dan 52 jenis sedang menuju kepunahan dan 20 jenis diantaranya merupakan jenis burung migran. Untuk herfetofauna sebanyak
48 jenis satwa reptilia dan 36 jenis amphibia yang ditemukan, 5 jenis reptilia
diantaranya terancam punah secara global, seperti Phyton reticulates, Manouria emys, Cyclemis detante, Cuoraam boinensis. Disamping itu masih ditemukan jenis-jenis baru, seperti 8 jenis reptilia dan 4 jenis amphibia.
3.3. Alat dan Bahan
Dalam melakukan pengamatan perilaku makan orangutan di lapangan
menggunakan peralatan antara lain: teropong binokuler, papan kerja, jam tangan
digital, peta lokasi, alat tulis, pita berwarna, camera digital, Global Positioning System, kompas, parang, jas hujan. Adapun bahan yang digunakan adalah form
tabulasi data pengamatan perilaku harian orangutan (Lampiran 2), alkohol 96%,
koran, spidol, label gantung.
3.4. Objek Penelitian
Dalam pengamatan perilaku makan, orangutan yang dijadikan sebagai
objek penelitian adalah 7 individu orangutan yang terdiri dari 3 betina dewasa, 2
betina remaja dan 2 jantan remaja. Setiap individu orangutan yang menjadi objek
penelitian dibedakan melalui ciri-ciri fisik, antara lain dapat dilihat dari bekas
luka, bentuk muka, mata atau bibir. Untuk memudahkan dalam pengamatan yang
berkelanjutan, maka tiap individu orangutan telah diberi nama. Menurut Peterson
(1992) bahwa proses identifikasi juga dibantu dengan pencatatan morfologi
penting dan pemotretan orangutan sasaran. Tabel 3.1 berikut ini adalah biodata
Tabel 3.1 Biodata Singkat Orangutan Target di Kawasan Hutan Batang Toru Jenis Kelamin Nama Orangutan Estimasi Usia Lama Pengamatan Betina Dewasa Beta 30-40 tahun 80 jam 13 menit
Perilaku makan yang diteliti meliputi persentase jenis makanan, teknik makan dan
penggunaan kanopi pohon saat makan oleh orangutan. Pengamatan perilaku
dilakukan dengan metode focal animal sampling, yaitu mengamati orangutan dengan mengikuti individu tersebut sepanjang hari, sedangkan pencatatan data
dilakukan secara instantaneous, yaitu mencatat segala perilaku dalam satuan interval waktu (setiap 2 menit). Selain itu, dalam penelitian juga digunakan
metode ad libitum sampling, yaitu mengamati individu orangutan dan mencatat kejadian-kejadian yang tidak secara sistematis terdapat pada interval waktu
pengamatan (van Schaik, 2003).
Pengumpulan data penunjang lain yang dilakukan selama pengamatan
berlangsung adalah identifikasi spesies tumbuhan dan satwa (insekta) yang
menjadi makanan orangutan. Selain itu, pohon yang menjadi tempat orangutan
melakukan aktifitas makan juga dicatat. Pengumpulan data dalam penelitian ini
difokuskan pada satu individu orangutan sebagai objek atau sasaran dalam setiap
pengamatan. Pencatatan data perilaku makan orangutan dilakukan setiap dua
menit sebagai “point sample”. Metode ini cocok dengan orangutan yang semi
soliter dan memiliki karakter pergerakan yang lambat. Pengamatan aktifitas atau
perilaku makan orangutan dilakukan satu hari penuh, mulai orangutan tersebut
bangun di pagi hari (sekitar pukul 06.00-07.00 WIB) sampai dengan tidur dan
tidak melakukan aktifitas di malam hari (sekitar pukul 18.00-19.00 WIB) karena
orangutan termasuk ke dalam hewan diurnal atau hewan yang aktifitasnya
3.5.1. Pengamatan Perilaku Makan
Pengambilan data perilaku makan untuk melihat pemilihan makanan oleh
orangutan dilakukan berdasarkan metode dari Russon (2007) dan van Schaik
(2003). Perilaku makan yang diamati dalam penelitian ini adalah pemilihan jenis
makanan berupa buah, daun, kulit kayu, bunga, umbut dan serangga. Perilaku
makan tersebut juga dihitung bila orangutan berpindah dari pohon pakan ke pohon
lain sambil membawa atau mengunyah makanan sampai ada atau tidak ada sisa
makanan yang dibuang.
Pengambilan data dilakukan dengan mencatat perilaku makan yang dibagi
menjadi enam kategori, yaitu: buah (Fr); daun (Lv); bunga (Fl), kulit kayu (bark), empulur/umbut (pith); serangga (Ins). Tiap kategori makanan dicatat dan diidentifikasi nama jenis makanan tersebut (misalnya: jenis tumbuhan dan jenis
serangga).
3.5.2. Teknik Makan Orangutan
Apabila individu target orangutan sedang melakukan makan lalu teramati
teknik makannya maka dicatat dalam lembar data sedang makan apa dan
bagaimana teknik makannya. Teknik makan tersebut dilihat dari cara orangutan
mengambil atau meraih makanan, misalnya dengan menggunakan alat bantu
berupa ranting pohon, menggunakan mulut untuk serangga-serangga kecil, dengan
tangan, dan lain-lain.
3.5.3. Penggunaan Kanopi Pohon
Perilaku orangutan liar hampir seluruhnya di atas pohon. Orangutan yang
sedang makan dicatat berapa ketinggian orangutan dari permukaan tanah dengan
cara estimasi/perkiraan dan juga pohon yang dijadikan sebagai tempat makan.
Apabila orangutan berada pada ketinggian 1-10 m disebut kanopi bawah, 10-25 m
kanopi tengah dan > 25 m disebut kanopi atas.
3.6. Lama Pengamatan
Minimum durasi pengamatan perilaku makan orangutan dalam satu hari yang
Pengambilan Data Orangutan” dari Morrogh-Bernard et al. (2002). Tetapan minimal lama pengamatan dalam penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan
oleh Rijksen (1978) yang menggunakan minimal lama pengamatan aktivitas
orangutan dalam satu harinya adalah 90 menit atau 1,5 jam.
Alasan pemilihan minimal pengamatan selama 3 jam ini adalah karena
sifat dari orangutan, baik orangutan rehabilitan maupun orangutan liar yang dapat
melakukan perilaku tertentu hingga lebih dari 2 jam, seperti pada perilaku istirahat
dan makan. Hal ini jelas akan cukup menimbulkan kesulitan saat analisa data
dilakukan, karena gambaran perilaku harian dari orangutan sasaran tidak secara
lengkap tercatat dan tidak terwakili. Sehingga kemungkinan besar terjadi
dominasi data perilaku harian secara tidak proporsional apabila pengamatan
berlangsung dibawah 3 jam. Untuk data pengamatan yang memiliki durasi
pengamatan dibawah 3 jam, maka data tersebut tidak digunakan dalam analisa
penelitian ini (Kuncoro, 2004).
Lama pengamatan pada orangutan dalam penelitian ini berkisar antara 3
jam sampai 12 jam, tergantung pada kondisi lapangan. Pengamatan dihentikan
apabila pergerakan orangutan sasaran tersebut keluar dari daerah penelitian atau
kondisi cuaca yang buruk. Hal ini dilakukan untuk menghindari bias pada data
penelitian. Untuk data pengamatan yang memiliki durasi pengamatan dibawah 3
jam, maka data tersebut tidak digunakan dalam analisa penelitian ini (Kuncoro,
2004).
3.7. Pencarian
Sebagian besar kegiatan di stasiun penelitian Batang Toru adalah mencari
orangutan. Pencarian orangutan masih difokuskan di sekitar camp penelitian saja
(sekitar 4 km² atau 33,3% dari luas total stasiun penelitian). Pencarian orangutan
dilakukan secara tim (2-3 orang), tergantung jumlah personil yang ada. Metode
pencarian orangutan yang kami lakukan adalah dengan berjalan cepat di jalur
(dapat melewati hutan yang lebih luas), berjalan pelan dengan tidak berisik sambil
banyak mendengar (orangutan di lokasi ini cenderung menghindari perjumpaan
dengan manusia atau terkadang mereka sembunyi, terkait perburuan orangutan
orangutan (misal, menunggu di dekat Agathis borneensis yang berbuah)
(YEL-SOCP, 2012).
Menurut Kuncoro (2004), orangutan adalah satwa soliter yang cenderung
hidup sendiri dan memiliki pergerakan lambat (sloths) dalam rimbunan pohon-pohon
di hutan. Hal ini menyebabkan orangutan menjadi sulit untuk ditemukan. Apabila
orangutan focal berhasil ditemukan hingga individu tersebut membuat sarang untuk tidur, maka pengambilan data untuk keesokan harinya cukup dilakukan
dengan mengunjungi sarang terakhir yang dibuat sebelumnya. Apabila orangutan
tidak bisa diikuti sampai sarang maka proses pencarian diulangi lagi dari awal.
3.8. Analisis Data
Dalam menguji hipotesis digunakan teknik pengujian non-parametrik. Menurut
Siegel (1986) data-data yang diperoleh merupakan distribusi bebas, sehingga tidak
ada anggapan bahwa data-data yang diperoleh telah ditarik dari suatu populasi
dengan distribusi tertentu. Dengan kata lain tidak adanya perlakuan yang
diberikan terhadap obyek penelitian.
Data-data yang diperoleh dideskripsikan dalam bentuk tabel dan gambar
serta dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak “Statistic Programme for Scientific and Social science” (SPSS) 19,0 untuk windows. Penganalisaan data yang diperoleh yaitu dengan menggunakan Crostabs, uji Krusskall Wallis; yaitu suatu uji non-parametric yang digunakan apabila yang didapat lebih dari dua individu (orangutan betina dewasa, betina remaja dan jantan remaja) dan
dilanjutkan dengan uji Man Whitney. Tes tersebut dilakukan untuk menganalisis pemilihan makanan orangutan sasaran dan untuk menganalisis pola penggunaan
kanopi pohon pada saat aktifitas makan. Keseluruhan tes yang diujikan, kemudian
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Persentase Jenis Makanan Orangutan Sumatera
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan 65 jenis makanan yang
terdiri dari 63 jenis tumbuhan dan dua jenis serangga. Tabel 4.1 berikut ini
adalah daftar pakan orangutan yang ditemukan di Stasiun Penelitian Kawasan
Hutan Batang Toru Bagian Barat Tapanuli Utara.
Tabel 4.1. Pakan Orangutan di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru
Famili Jenis Tumbuhan Kategori Makanan
Alangiaceae 1 Alangium sp. Daun
Anacardiaceae 2 Camnosperma auriculatum Buah 3 Dracontomelum mangiferum Daun Araucariaceae 4 Agathis borneensis Buah
Arecaceae 5 Calamus caesus Umbut
6 Daemonorops sp. Umbut
7 Khorthalsia grandis Umbut
Casuarinaceae 8 Gimnostoma sumaterana Bunga
Clusiaceae 9 Garcinia sp. Buah
Euphorbiaceae 10 Baccaurea sp. Buah
Fabaceae 11 Parkia speciosa Buah
Fagaceae 12 Castanopsis costata Buah
13 Lithocarpus sp. Buah
Flacourtinaceae 14 Hydnocarpus sp. Kulit Kayu Flagellariaceae 15 Flagellaria indica Daun
Lauraceae 16 Cinnamomun sp. Daun
17 Cinnamomun iners Daun
Marantaceae 18 Clinogyne sp. Kulit Kayu Moraceae 19 Antiaris toxicaria Buah
20 Artocarpus sp. Buah
21 Artocarpus elasticus Umbut
22 Ficus sp. Buah
23 Ficus deltoidea Daun
24 Ficus fistulosa Buah
25 Ficus grossularioides Buah
26 Ficus magnoliaefolia Buah
27 Ficus ribes Buah
33 Syzygium claviflora Buah
34 Syzygium cymosa Buah
35 Syzygium helferi Buah
37 Cymbidium sp. Umbut
38 Dendrobium sp. Umbut
39 Dipodium sp. Umbut
40 Spathoglotis sp. Umbut
Pandanaceae 41 Freycinetia imbricate Umbut
42 Freycinetia sumaterana Umbut dan Bunga
43 Pandanus sp. Umbut
44 Pandanus artocarpus Umbut dan Buah
45 Pandanus helicopus Umbut
Poaceae 46 Bambusa sp1. Umbut
47 Bambusa sp2. Umbut
48 Bambusa sp3. Umbut
Podocarpaceae 49 Dacrydium beccarii Bunga Polygalaceae 50 Xanthophyllum sp. Daun
Sapotaceae 51 Mahuca sp. Buah
52 Madhuca kunstuleri Buah
53 Madhuca laurifolia Buah
54 Palakium hexandrum Bunga
55 Palakium rostratum Bunga
Theaceae 56 Eurya trichocarpa Bunga
Ulmaceae 57 Gironera parfivolia Daun
58 Gironera subaequalis Daun
59 Sp1 (Liana Fog) Buah
60 Sp2 (Liana Kantong) Buah 61 Sp3 (Liana Sulur) Buah 62 Sp4 (Liana Gitan) Buah 63 Sp5 (Buah Legum) Buah
Formicidae 64 Xenomyrmex sp. Serangga
Termitidae 65 Macrotermes sp. Serangga
Dari Tabel 4.1 diperoleh jenis tumbuhan yang teridentifikasi sebanyak 58
jenis yang terdiri dari 24 famili dan dua jenis serangga dari dua famili dan
terdapat lima jenis yang tidak teridentifikasi. Jenis makanan orangutan yang
didapatkan dikelompokkan menjadi enam bagian, yaitu buah, daun, bunga, kulit
kayu, umbut dan serangga. Famili Moraceae merupakan tumbuhan yang paling
banyak dimakan oleh orangutan dan dilanjutkan oleh famili Pandaneceae,
Myrtaceae, Sapotaceae, dan Orchidaceae. Kategori makanan yang paling banyak
di makan adalah buah. Hal ini disebabkan karena orangutan merupakan hewan
frugifora sehingga orangutan menggunakan buah sebagai makanan utama. Semua
kategori makanan tersebut (buah, daun, umbut, bunga, kulit kayu, dan serangga)
harus digabungkan oleh orangutan dalam menu makanan yang sehat dan
berimbang.
Menurut van Schaik (2006) bahwa buah-buahan yang telah masak apalagi
merupakan sumber energi yang baik akan tetapi bukan merupakan sumber protein.
Kebanyakan diantara para orangutan menemukan jalan tengah dengan menambah
dedaunan muda atau serangga, yang dua-duanya kaya akan protein. Saat
produktifitas buah berkurang di habitatnya, orangutan akan pindah ke tempat lain
atau tetap bertahan di wilayah teritorinya dengan mencari cara lain untuk
menanggulangi masa paceklik dan mengandalkan makanan alternatif (fallback foods).
Pada saat buah sedikit di Batang Toru, orangutan akan berpaling mencari
makanan lain seperti pucuk daun muda, umbut, bunga dan bahkan orangutan
Batang Toru juga memakan kulit kayu dengan gizi yang sedikit untuk
menanggulangi rasa laparnya. Menurut van Schaik (2006) bahwa orangutan
memakan kulit kayu sebagai upaya menanggulangi rasa lapar. Perobekan kulit
pohon merupakan reaksi yang paling utama dalam pencegahan akibat paceklik di
Kalimantan. Akan tetapi orangutan Suaq di Sumatera jarang berpaling pada
tindakan alternatif yang drastis ini.
Dari hasil penelitian mengenai persentase jenis makanan orangutan Batang
Toru didapatkan cukup bervariasi, seperti terlihat pada Gambar 4.1 berikut.
Gambar 4.1 Persentase Jenis Makanan Orangutan Sumatera di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Blok Barat
Pada Gambar 4.1 terlihat bahwa persentase jenis makanan yang paling
Buah Daun Umbut Bunga Kulit Kayu Serangga
terbanyak kedua dari jenis daun, yaitu sebesar 16,2% (jantan remaja), 15,3%
(betina remaja) dan 15,1% (betina dewasa), kemudian dari jenis umbut, yaitu
sebesar 13% (betina remaja), 10,1% (jantan remaja) dan 8,6% (betina dewasa),
selanjutnya dari jenis bunga, yaitu sebesar 12,3% (betina remaja), 2,4% (jantan
remaja) dan 2,1% (betina dewasa), selanjutnya kulit kayu, yaitu sebesar 6,6%
(betina dewasa), 1,2% (betina remaja) dan 0% (jantan remaja) dan dari jenis
serangga, yaitu sebesar 2,1% (betina dewasa), 1,5% (jantan remaja) dan 0,9%
(betina remaja).
Konsumsi buah yang paling tinggi adalah orangutan jantan remaja. Hal ini
disebabkan karena orangutan jantan remaja aktif bergerak sebagai pengembara di
hutan dan ukuran tubuh juga lebih besar dari orangutan betina remaja sehingga
dibutuhkan nutrisi yang banyak. Selain itu, nutrisi juga dibutuhkan dalam tahap
perkembangan dan pertumbuhan. Konsumsi buah tertinggi kedua adalah
orangutan betina dewasa. Hal ini disebabkan karena orangutan masih mengasuh
anak, menyusui anak, membantu pergerakan anak saat menyeberangi kanopi
pohon dan ukuran tubuh yang besar. Orangutan yang sedang mengasuh anak
membutuhkan asupan makanan yang tinggi agar kualitas dan kuantitas Air Susu
Ibu (ASI) yang dihasilkan baik. Kandungan energi yang besar pada buah sangat
cocok untuk memenuhi kebutuhan energi orangutan betina. Knott (1988)
menjelaskan bahwa orangutan betina dewasa mengkonsumsi makanan dengan
kualitas lebih tinggi terutama buah yang digunakan untuk kebutuhan pada waktu
hamil, menyusui dan merawat anak. Konsumsi buah terendah yaitu pada
orangutan betina remaja. Orangutan betina remaja lebih sering dijumpai pada
bulan kedua penelitian (Maret 2013). Pada bulan tersebut produktifitas buah
sedang berkurang sehingga orangutan betina remaja mencari makanan alternatif
lain.
Buah merupakan sumber makanan utama yang sering dimakan orangutan,
mengandung nutrien lengkap berupa air, karbohidrat dan energi yang dibutuhkan
orangutan memilih buah sebagai makanan utama yang selalu dimakan tiap bulan
untuk memenuhi kebutuhan energi.
Jenis makanan tertinggi kedua adalah daun, yaitu sebesar 16,2% (jantan
remaja), 15,3% (betina remaja) dan 15,1% (betina dewasa). Orangutan jantan
remaja yang paling banyak memakan daun adalah untuk mengatasi kekurangan
protein karena makanan jenis serangga orangutan jantan remaja yang paling
sedikit. Hal ini dapat diasumsikan sebagai strategi makan yang dilakukan oleh
orangutan Batang Toru untuk melengkapi kebutuhan nutrisi tubuhnya. Daun
yang lebih disukai adalah daun muda daripada daun tua. Daun tua sangat jarang
ditemukan di makan oleh orangutan. Hal ini disebabkan karena daun tua sulit
dicerna. Menurut Slamet et al. (2009) daun muda mengandung kadar protein yang tinggi. Daun tua yang melimpah di hutan biasanya mengandung serat dan
tanin yang sulit dicerna.
Jenis daun yang dimakan oleh orangutan di Batang Toru Blok Barat adalah
daun Cinnamumun iners, Calamus caesis, Gironera subaequalis, Gironera farvifolia, Korthalsia grandis, Xanthophyllum sp., Bambusa sp., dan tangkai daun liana. Daun muda Gironera subaequalis dan Gironera parvifolia adalah daun
yang paling disukai orangutan di Hutan Batang Toru Blok Barat karena selalu
tersedia banyak di hutan tersebut.
Menurut Meijard et al. (2001) bahwa daun dan tangkainya merupakan makanan bagi orangutan untuk bertahan hidup ketika ketersediaan buah rendah.
Di Kalimantan, daun muda dan tunas daun pucuk serta lapisan dalam tangkai daun
tua tanaman palem lontar (Borassodendron borneensis) yang melimpah secara lokal adalah sumber makanan yang sangat penting ketika buah menjadi jarang.
Penduduk lokal di Kalimantan Tengah menegaskan bahwa orangutan hanya dapat
bertahan hidup di tempat yang palem Bendang-nya (yaitu lontar) melimpah. Hal ini terlihat jelas selama musim paceklik buah, palem ini sering rusak berat karena
dimakan oleh orangutan.
Makanan alternatif selanjutnya adalah umbut, yaitu sebesar 13% (betina
remaja), 10,1% (jantan remaja) dan 8,6% (betina dewasa). Orangutan memakan
umbut juga merupakan salah satu bentuk strategi saat buah berkurang. Umbut