• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANATOMI KONFLIK SOSIAL DAN MEKANISME PENYELESAIAANNYA (Studi Konflik Bernuansa SARA di Desa Palas Pasemah, Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANATOMI KONFLIK SOSIAL DAN MEKANISME PENYELESAIAANNYA (Studi Konflik Bernuansa SARA di Desa Palas Pasemah, Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan)"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

ANATOMY OF SOCIAL CONFLICT AND MECHANISM COMPLETION (Studies Conflict SARA in the village of Palas Pasemah, Palas sub-district,

South Lampung regency)

By

MIJWAD SEPTRIANSYAH

This study aims to describe the anatomy of the conflict through the elements of which the causes of conflict, the parties involved, the process of the conflict, the impact of social conflict and mechanisms for the settlement of social conflict that is used in the conflicts that occurred in the village of Palas Pasemah District of Palas. Stadi case made on conflicts between groups of villagers Palas Pasemah Semendo with a group of tribal villagers from tribal Bali Agung Bali.

This study used qualitative methods. Data collection using in-depth interview technique. Informen determination is purposive sampling by selecting some members of the public who are directly involved in the conflict in Palas Pasemah and some community leaders. Information analyzed to draw conclusions in accordance with the reality on the ground by the method of data reduction, data presentation, conclusion and verification.

The results showed that. First, the lack of good communication pattern between the two communities in addressing any problems that arise quickly lead to widespread conflict and can not be controlled. Second, the conflict initiated by the struggle between youth and then expanded into a conflict between villages. Third, the village youth Palas Pasemah less willing to blend in with the village youth Bali Agung because of cultural differences and beliefs / religion.

(2)

ABSTRAK

ANATOMI KONFLIK SOSIAL DAN MEKANISME PENYELESAIAANNYA

(Studi Konflik Bernuansa SARA di Desa Palas Pasemah, Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan)

Oleh

MIJWAD SEPTRIANSYAH

Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan anatomi konflik yang terjadi melalui unsur-unsur diantaranya faktor penyebab terjadinya konflik, pihak-pihak yang terlibat, proses terjadinya konflik, dampak konflik sosial dan mekanisme penyelesaiannya konflik sosial yang digunakan pada konflik yang terjadi di Desa Palas Pasemah Kecamatan Palas. Stadi kasus dilakukan pada konflik antara kelompok warga desa Palas Pasemah dari suku Semendo dengan kelompok warga desa Bali Agung dari suku Bali.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam. Penentuan informen secara purposive sampling dengan memilih beberapa anggota masyarakat yang terlibat langsung pada konflik di Palas Pasemah dan beberapa tokoh masyarakat. Informasi dianalisis guna menarik kesimpulan yang sesuai dengan realitas di lapangan dengan metode reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa. Pertama, kurangnya pola komunikasi yang baik antara kedua desa dalam menyikapi setiap permasalahan yang muncul mengakibatkan konflik yang terjadi cepat meluas dan tidak dapat dikendalikan. Kedua, konflik diawali oleh pertikaian antar pemuda kemudian meluas menjadi konflik antar desa. Ketiga, pemuda desa Palas Pasemah kurang mau berbaur dengan pemuda desa Bali Agung karena faktor perbedaan kebudayaan dan keyakinan/agama.

(3)

Anatomi Konflik Sosial dan Mekanisme Penyelesaiannya

(Studi Konflik Bernuansa SARA di Desa Palas Pasemah, Kecamatan Palas

Kabupaten Lampung Selatan)

Oleh :

MIJWAD SEPTRIANSYAH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SOSIOLOGI

Pada Jurusan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

Anatomi Konflik Sosial dan Mekanisme Penyelesaiannya

(Studi Konflik Bernuansa SARA di Desa Palas Pasemah, Kecamatan Palas

Kabupaten Lampung Selatan)

(Skripsi)

Oleh :

MIJWAD SEPTRIANSYAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI A. Tinjauan Tentang Anatomi Konflik Sosial... 10

1. Pengertian Anatomi... 10

B. Anatomi Konflik Sosial... 11

C. Teori Konflik dan Resolusi Konflik... 12

(6)

D. Budaya Dalam Konflik... 26

1. Budaya... .... 26

2. Budaya Sebagai Faktor Penyebab Konflik... .... 27

3. Budaya Sebagai Sumberdaya Untuk Mengembangkan Perdamaian... ... 28

4. Agama dan Budaya... ... 29

E. Definisi Konflik Sosial dan Penanganan Konflik Sosial Menurut UU Nomor 7 Tahun 2012... 30

1. Definisi dan Penanganan Konflik Sosial... ... 30

2. Penanganan Konflik Sosial... .. 31

E. Teknik Pengumpulan Data... 50

1. Teknik Studi Dokumenter... 50

2. Wawancara Mendalam... 51

3. Teknik Analisis Data... 52

F. Kriteria dan Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data... 53

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Singkat Kecamatan Palas ... 56

B. Sejarah Singkat Desa Palas Pasemah ... 58

1. Letak Administratif dan Geografis ... 58

2. Luas Area Desa ... 59

3. Kondisi Sosial Demografis ... 60

a. Keadaan Penduduk ... 60

b. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin ... 61

c. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 61

d. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian ... 62

e. Keadaan Penduduk Menurut Agama yang dianut ... 63

f. Keadaan Penduduk Menurut Etnis ... 64

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 65

(7)

2. Anatomi Konflik Sosial Yang Terjadi Di Desa Palas Pasemah ... 67

a. Penyebab Terjadinya Konflik ... 67

b. Proses Terjadinya Konflik ... 71

c. Pihak Yang Terlibat Konflik ... 75

d. Dampak Akibat Konflik ... 77

3. Mekanisme Penyelesaian Konflik Sosial Di Desa Palas Pasemah ... 80

a. Penanganan Ketika Terjadi Konflik ... 80

b. Penanganan Pasca Konflik ... 82

c. Pencegahan Konflik ... 84

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 90 Daftar Pustaka

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kriteria dan teknik penarikan keabsahan data ... 55

2. Luas Area Desa Palas Pasemah ... 59

3. Jumlah Penduduk Palas Pasemah Tahun 2013 ... 60

4. Jumlah penduduk Usia <1 tahun sampai >60 tahun ... 61

5. Tingkat pendidikan penduduk ... 61

6. Mata pencaharian warga Desa Palas Pasemah ... 62

7. Jumlah penduduk Palas Pasemah menurut Agama yang dianut ... 63

(9)

MOTTO

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka

sendiri”

(Ar Ra’d : 11)

Majulah Tanpa Menyingkirkan Orang Lain Naiklah Tinggi Tanpa Menjatuhkan Orang Lain

Berbahagialah Tanpa Menyakiti Orang Lain

Perjuangkan Jika Kau “YAKIN”, Tinggalkan Jika Kau “RAGU”

(Ahmad Nasa’i)

“Khatong Banjikh Mak Kisikh, Khatong Bakhak Mak Kikhak” (Datang Air Bah Yang Besar Dia Tidak Mau Pergi dan Dengan Segala Resiko Dihdapi,Walai Api Yang Besar Datang Untuk Membakar Tetap Saja Bertahan

(10)
(11)
(12)

PERSEMBAHAN

Dengan Penuh Rasa Syukur dan Kerendahan Hati Saya Persembahkan Skripsi sederhana ini untuk :

Kedua Orang Tuaku

Papaku Ahmad Nasa’i dan Mamaku Emawati, S.Pd

Terimakasih atas motivasi yang tidak pernah putus di dalam doa, kasih sayang tulus yang selalu menjadi semangat bagiku dan dengan penuh kesabaran tetap

membekali ku pendidikan dan iman. Aku sayang kalian.

Abang dan Adik ku

Abang Dian, Abang Chandra dan Adin Terimaksih Atas Motivasi Kalian

Seluruh Keluarga Besarku dan Sahabat terbaik yang selalu memberikan warna dan pelajaran dalam hidupku

Almamater tercinta Universitas Lampung

(13)
(14)

Penulis dilahirkan di Patoman, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu pada tanggal 15 September 1989, anak ke-3 dari pasangan Bapak Ahmad Nasa’i dan Ibu Emawati, S.Pd.

Jenjang pendidikan yang pernah ditempuh oleh penulis ialah pendidikan satu tahun di TK Aisyah Baitul Athfal Pagelaran yang selesai pada tahun 1995. Kemudian melanjutkan pendidikan dasar di SD Negeri 1 Patoman, Pagelaran yang diselesaikan pada tahun 2001. Jenjang pendidikan berikutnya di SLTP Negeri 1 Pagelaran yang diselesaikan pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan jenjang pendidikannya di Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo – Jawa Timur selama 1 Tahun. Serta jenjang pendidikan menengah atas di SMA Utama 2 Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2008.

(15)

Internal Kampus :

1. Anggota Bidang Kajian Intelektual HMJ Sosiologi FISIP Unila Periode 2008 – 2009.

2. Ketua Komisi B Hubungan Antar Lembaga DPM-F FISIP Unila Periode 2009-2010.

3. Ketua Umum HMJ Sosilogi Periode 2010 – 2011.

4. Gubernur BEM-F FISIP Unila Periode 2011 – 2012.

Eksternal Kampus :

1. Anggota Biasa HMI Komisariat Sosial Politik Unila pada tahun 2009.

2. Departemen Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan HMI Komisariat Sosial Politik Unila periode 2010-2011.

3. Wasekum Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah (PPD) HMI Cabang Bandar Lampung periode 2011-2012.

(16)

SANWACANA

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji senantiasa terucap hanya untuk Allah SWT yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Senandung Shalawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada manusia yang mengangkat peradaban dari zaman jahiliah menuju zaman terang benderang kaya akan ilmu pengetahuan yang semakin hari semakin berkembang, sebagai juru kunci keselamatan di akhirat kelak, ialah Baginda Besar Nabi Muhammad SAW. Telah terealisasinya skripsi sederhana yang menjadi penutup karya penulis di S1 Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung dengan Judul “Anatomi Konflik Sosial dan Mekanisme Penyelesaiannya (Studi Konflik Bernuansa SARA di Desa Palas Pasemah, Kecamatan Palas – Lampung Selatan)” bisa terselesaikan.

(17)

manusia akan sulit mencapai apa yang ingin didapatkannya. Dengan ketulusan yang hadir dari palung hati ini penulis berharap Allah SWT dapat membalas semua kebaikan mereka yang telah membantu penulis berjuang menyelesaikan skripsi ini, penulis hanya bisa mengucapkan ribuan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Susetyo, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

3. Bapak Dr. Hartoyo, M.Si sebagai Pembimbing yang telah banyak memberi petunjuk, saran, dan kritikan yang sangat membangun dan berguna dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Abdul Syani, M.IP sebagai penguji utama yang tel ah banyak memberikan petunjuk dalam penyempurnaan pen yusunan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Pairulsyah, M.H sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung yang juga sebagai Pembimbing Akademik.

6. Ibu Dra. Anita Damayanti, M.H sebagai Sekretaris Jurusan Sosiologi yang selalu memberikan senyuman hangat.

(18)

9. Bapak Muslim selaku Sekretaris Desa Palas Pasemah yang sudah memberi banyak informasi bagi saya dan semua informan yang sudah sangat baik dan ramah menyambut kedatangan saya di desa Palas Pasemah, terimakasih.

10.Papa saya Ahmad Nasa’i dan Mama saya Emawati, S.Pd tercinta, yang selalu menjadi penyemangat hidup.

11.Abang – abang saya Dian Assafri dan Hendrika Chandra serta si adik bungsu Rahmad Asriyadin yang sudah mau direpotkan dalam semua hal, sangat sulit untuk diingat karena begitu banyaknya. 12.Seluruh keponakan yang saya sayangi Putra, Nasya, Jihan, Qorina,

dan Syahdan

13.For Serigala Terakhir SOS’08 (M. Saddam SSDC, Sutikno Cool Guys, Netty, Cynthya (Icin), Lova, Dedi) yang selalu setia menghiasi hari dalam kesulitan.

14.For Selir-selir 2008 (Suzi Grace Hilda, Wera, Febrika, Aniek, Silvia(Mpi), Bunga.) gak ada kalian kampus hampa.

15.Untuk seluruh rekan perjuangan Sosiologi Angkatan 2008 Tanpa Terkecuali.

16.Untuk Kader’08 (Deni Affero (Aseng), Kiyay Obin, Angga (Bewok), Hafis, Miza (Mat Anjak Krui), Ghani, Kholis, Budi

(kahuuuut), Doni, Panji, Nur.) Karena di HMI kita ”Berteman”

(19)

18.Untuk seluruh rekan perjuangan HMJ Sosiologi FISIP Unila Periode Kepengurusan 2010-2011 Tanpa Terkecuali.

19.Untuk seluruh rekan perjuangan BEM-F FISIP Unila Periode Kepengurusan 2011-2012 Tanpa Terkecuali

20.Untuk WEM terimakasih semangatnya

21.Untuk Seluruh Kader dan Alumni Keluarga Besar Tondano’35 (Yakin Usaha Sampai “YAKUSA”)

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga Skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT memberikan yang terbaik bagi kita semua, Aamiin.

Bandar Lampung, Oktober 2015 Penulis

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan multi budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah negara yang terbentang luas dari Sabang sampai ke Merauke, memiliki sumber daya alam (natural resources) yang melimpah seperti untaian zamrud di khatulistiwa dan juga sumber daya budaya (cultural resources) yang beraneka ragam bentuknya (Koentjaraningrat, 1980).

Kemajemukan di indonesia merupakan warisan budaya yang tidak ternilai harganya, namun semua itu menjadi berbeda ketika kemajemukan tidak dihadapi secara dewasa dan penuh dengan pemaknaan positif dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air. Semua kekayaan menjadi ancaman bagi keutuhan persatuan suatu negara yang sedang dalam fase berkembang.

(21)

juga menjadi modal budaya (cultural capital) dan kekuatan budaya (cultural power) yang menggerakkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.

Akan tetapi, dari sisi lain, multi budaya juga berpotensi untuk menimbulkan konflik yang dapat mengancam integrasi bangsa. Karena konflik antar budaya dapat menimbulkan pertikaian antar etnis, antar penganut agama, ras maupun antar golongan yang bersifat sangat sensitif dan rapuh terhadap suatu keadaan yang menjurus ke arah dis-integrasi bangsa. Fenomena ini dapat terjadi, apabila konflik tersebut tidak dikendalikan dan diselesaikan secara arif dan bijaksana oleh pemerintah bersama seluruh komponen anak bangsa.

Kondisi masyarakat Indonesia yang berdimensi majemuk dalam berbagai sendi kehidupan, seperti budaya, agama, ras dan etnis, berpotensi menimbulkan konflik. Ciri budaya gotong-royong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya perilaku musyawarah dan mufakat, bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya konflik.

(22)

Secara umum, kehidupan dan pergaulan antar etnis tampil harmonis akan tetapi hal ini bukan berarti tidak pernah terjadi ketegangan, dan dewasa ini beberapa daerah di Indonesia sangat sering terjadi konflik baik itu antar suku atau agama, yang disebabkan perbedaan-perbedaan kecil, dan perbedaan kecil tersebut menjadi masalah yang akhirnya sulit untuk dikendalikan.

Sangat wajar ketika ketegangan dan persinggungan terjadi dalam suatu masyarakat yang beragam, sebab bagaimanapun juga dalam masyarakat majemuk mesti terdapat persaingan dan justru dalam persaingan tersebut terdapat dinamika yang membentuk kedewasaan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang muncul. Kemajemukan pada masyarakat multi etnis merupakan kunci dalam kemajuan daerah tersebut, itu dikarenakan perbedaan etnis justru membangun nilai gotong royong dalam masyarakat guna terbinanya nilai kekeluargaan dimasyarakat yang penuh perbedaan. Dalam beberapa hal memang agama dan etnis sangat berbeda yang satu dengan yang lain, namun perbedaan tersebut bukanlah jurang yang membentuk skat pembatas nilai keharmonisan.

(23)

kerangka doktrin agama yang menyatu dengan budaya dan menjadi pembatas tindakan anarkis suatu etnis.

Perbedaan etnis merupakan kekayaan masyarakat indonesia, oleh sebab itu kita bisa mengenal perbedaan dan membuka pikiran kita dalam perspektif yang lebih luas tanpa harus kita pergi dari lingkungan tempat tinggal kita. Selain itu juga masyarakat yang multi etnis akan membuat etnis mereka secara internal lebih baik dan berkembang tanpa terkungkung oleh zaman yang terus berkembang.

Dari perspektif antropologi, konflik merupakan fenomena sosial yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, terlebih lagi dalam masyarakat yang berbentuk multi budaya. Selain itu, konflik adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah bagaimana konflik itu dikendalikan dan diselesaikan secara damai dan bijaksana, agar tidak menimbulkan dis-integrasi sosial dalam kehidupan masyarakat.

(24)

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial menjelaskan mengenai Penanganan Konflik Sosial yang dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu Pencegahan Konflik, Penghentian Konflik, dan Pemulihan Pascakonflik. Pencegahan Konflik dilakukan antara lain melalui upaya memelihara kondisi damai dalam masyarakat; mengembangkan penyelesaian perselisihan secara damai; meredam potensi Konflik; dan membangun sistem peringatan dini.

Penanganan Konflik pada saat terjadi Konflik dilakukan melalui upaya penghentian kekerasan fisik; penetapan Status Keadaan Konflik; tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban; dan/atau pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI.

Selanjutnya, Penanganan Konflik pada pascakonflik, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan upaya Pemulihan Pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur melalui upaya rekonsiliasi; rehabilitasi; dan rekonstruksi. Undang-Undang ini juga mengatur mengenai peran serta masyarakat dan pendanaan Penanganan Konflik.

(25)

Sistem peringatan dini sebagaimana dimaksud dapat berupa penyampaian informasi mengenai potensi Konflik atau terjadinya Konflik di daerah tertentu kepada masyarakat. Pemerintah Daerah dapat membangun sistem peringatan dini sebagaimana dimaksud melalui media komunikasi.

Kabupaten Lampung Selatan dapat dijadikan cermin kehidupan bagi daerah-daerah memiliki konflik agama atau etnis yang berkepanjangan tanpa ada titik temu perdamaian, seperti banyak terjadi di daerah-daerah yang ada di Indonesia, dan untuk mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan maka dibentuk forum-forum dialog yang sifatnya terbuka untuk warga masyarakat. Seperti pertemuan yang dihadiri oleh kepala-kepala dusun dan sesepuh untuk membicarakan masalah-masalah yang terjadi di lingkungan sekitar melalui forum kerukunan umat beragama.

Kabupaten Lampung Selatan memiliki 17 (tujuh belas) kecamatan dan sedikitnya 251 (dua ratus lima puluh satu) desa di dalamnya juga 31 (tiga puluh satu) pulau mengelilinginya, diseluruh kecamatan mempunyai keanekaragaman agama dan etnis yang berkembang pasca kolonisasi pertama pada tahun 1905 ketika pemerintahan kolonial belanda baik itu secara kelompok, spontan ataupun sisipan dan transmigrasi pertama pada tahun 1948 setelah negara merdeka dari penjajahan jepang (BPS Lamsel 2011).

(26)

dengan tidak menyelesaikan akar permasalahan secara serius. Dari serangkaian konflik yang pernah terjadi di Kecamatan Palas, penyelesaian hanya dilakukan secara sepihak, yaitu pemerintah dengan etnis yang bertikai, bukan antara kedua etnis kelompok yang didamaikan secara musyawarah dan mufakat sehingga dapat menimbulkan potensi konflik yang berkepanjangan.

Terkait permasalahan konflik sosial, Kecamatan Palas merupakan salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Lampung Selatan yang pernah terjadi konflik sosial. Konflik yang pernah terjadi di Kecamatan Palas diantaranya konflik antarsuku yang sudah sering terjadi di kecamatan tersebut, konflik antar suku yang terakhir terjadi pada tahun 2009 yang melibatkan antara suku Semendo (Desa Palas Pasemah) dengan suku Bali (Desa Bali Agung), dimana konflik antar suku yang melibatkan warga kedua desa tersebut berawal dari perselisihan yang terjadi antar pemuda sehingga mengakibatkan terjadinya konflik antar desa. Menurut informasih yang didapat pada pra-riset konflik yang terjadi antara kedua desa tersebut bukanlah hal yang pertama terjadi melainkan sudah beberapa kali terjadi konflik yang melibatkan kedua desa tersebut. Akibat yang ditimbulkan dari konflik yang terjadi pada tahun 2009 antara warga masyarakat desa Palas Pasemah dengan warga masyarakat Bali Agung yaitu rusaknya beberapa rumah dan 1 korban meninggal dunia.

(27)

konflik sosial bernuansa SARA yang terjdi di Desa Palas Pasemah Kecamatan Palas Kabupaten Lampung.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian adalah:

“Bagaimana anatomi konflik sosial dan mekanisme penyelesaiannya konflik

bernuansa SARA yang terjadi di Desa Palas Pasemah Kecamatan Palas Kabupaten Lampung Selatan "

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian tersebut, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Mengetahui penyebab terjadinya Konflik Sosial bernuansa SARA yang terjadi di Desa Palas Pasema Kecamatan Palas;

2. Mengidentifikasi Pihak yang terlibat dalam Konflik Sosial yang terjadi di Desa Palas Pasemah;

3. Mendeskripsikan Proses terjadinya Konflik Sosial yang terjadi di Desa Palas Pasemah;

4. Mengetahui Dampak dari konflik Sosial yang terjadi di Desa Palas Pasemah;

(28)

D. Keguanaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini baik secara akademis maupun praktis adalah :

1. Secara akademis, Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan dan memperkaya khasanah keilmuan Sosiologi, khususnya studi tentang Sosiologi Konflik.

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Anatomi Konflik Sosial

1. Pengertian Anatomi

Anatomi adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur tubuh

manusia,berasal dari bahasa yunani “ana” yang berarti habis atau keatas dan

“tomos” yang berarti memotong atau mengiris. Maksudnya anatomi adalah

ilmu yang mempelajari struktur tubuh (manusia) dengan cara nenguraikan tubuh (manusia) menjadi bagian yang lebih kecil kebagian yang paling kecil,dengan cara memotong atau megiris tubuh (manusia) kemudian diangkat, dipelajari dan diperiksa menggunakan mikroskop. (Ethel Sloane, 2003 : 1).

(30)

B. Anatomi Konflik Sosial

teori-teori konflik dilatarbelakangi oleh tiga kondisi utama yakni, kondisi sosial politik, kondisi intelektual dan kondisi biografis. Kondisi sosial meliputi dominasi politik, eksploitasi sosial dan perkembangan ekonomi. Kondisi intelektual di antaranya idealisme, naturalisme, paham evolusi sosial dan fragmatis. Sedangkan kondisi biografis mayoritas berasal dari kelas bawah, mengalami pendidikan pada masa pencerahan kemudian karir politik dan akademik. Dari kondisi-kondisi ini lalu muncul beberapa tipologi teori konflik dalam perkembangan selanjutnya. Di antara teori konflik tersebut dapat dipetakan menjadi teori konflik materialistik, evolusioner serta model sistemik dan naturalistik.

Teori konflik berbeda dengan teori konsensus tidak hanya karena teori konflik tertarik pada kemudahan terdistribusi secara tidak setara dalam masyarakat menstrukturkan prilaku, tetapi juga karena teori-teori ini tertarik pada konflik, bukan konsensus inheren dalam masyarakat tersebut (pondok kajian sosial : 2010)

Anatomi adalah ilmu yang mempelajari struktur tubuh (manusia) dengan cara nenguraikan tubuh (manusia) menjadi bagian yang lebih kecil kebagian yang paling kecil,dengan cara memotong atau megiris tubuh (manusia) kemudian diangkat, dipelajari dan diperiksa menggunakan mikroskop. (Ethel Sloane, 2003 : 1).

(31)

dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.

Berdasarkan uraian di atas Anatomi Konflik Sosial dapat diartikan satu rangkaian organ-organ atau unsur-unsur yang terkait dengan proses terjadinya konflik, yaitu:

1) Penyebab terjadinya konflik; 2) Pihak yang berkonflik; 3) Proses terjadinya konflik; 4) Dampak terjadinya konflik; 5) Proses penyelesaian konflik.

C. Teori Konflik dan Resolusi Konflik

1. Memahami Konflik

(32)

Konflik adalah fenomena yang tidak dapat dihindari karena merupakan proses sosial yang dissosiasif, sebagaimana Hugh Miall dkk (2000: 7-8) mendefinisikan konflik sebagai aspek intrinsik dan tidak mungkin dihindari dalam proses perubahan sosial. Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang bertentangan dengan hambatan yang diwariskan.

Cara pandang terhadap konflik menurut Hugh Miall dkk (2000: 20-25) paling tidak ada dua yaitu pandangan tradisional dan pandangan intraksional. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi, bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau di organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional bahwa konflik haruslah dihindari dan sesuatu yang negatif.

(33)

1. Konflik adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari dan merupakan kenyataan hidup, untuk itu kita harus memahami konflik secara menyeluruh.

2. Konflik akan bisa "membawa masalah ke meja perundingan".

3. Konflik seringkali membawa para pihak untuk duduk bersama dan menjelaskan tujuan masing-masing.

4. Konflik bisa berfungsi untuk menghilangkan rasa marah dan membantu memahami satu dengan yang lain.

Menurut K.W. Thomas yang dikutip oleh Stephen P.Robbins (1996:124)

dalam bukunya “Perilaku Organisasi”, berpendapat bahwa konflik merupakan

suatu proses yang mulai bila satu pihak merasakan bahwa suatu pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera, sesuatu yang diperhatikan pihak pertama.

Sedangkan menurut Arraq Steinberg (1981:71), konflik adalah :

“Suatu proses yang kuat sekali untuk hasil yang diharapkan maupun

hasil yang tidak diharapkan. Hasil yang diharapkan termasuk menciptakan gagasan-gagasan baru dan unggul, yang memaksa orang untuk mencari pendekatan-pendekatan baru dan menguji kemampuannya. Hasil yang tidak diharapkan termasuk mencipatakan jarak antara orang-orang, menumbuhkan rasa curiga, serta membuat

mereka terasa dihina dan dikalahkan”.

(34)

sebagai sebuah sumber bencana. Konflik banyak dipahami sebagai keadaan darurat yang tidak mengenakkan. Sedapat mungkin dihindari dan dicegah. Berbeda dengan pandangan tersebut, pendekatan kritis terhadap konflik lebih menempatkan konflik sebagai suatu relitas sosial dan merupakan bagian yang

dibutuhkan dalam proses perubahan sosial. Konflik secara “anatomis”

dipahami tidak hanya memiliki satu warna atau satu dimensi saja. Konflik memiliki banyak warna atau multidimensi Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana (2001:6)

Hal ini tentu saja semakin membenarkan dan memperkuat argumentasi bahwa konflik sesungguhnya tidak bisa dilihat dari hanya satu dimensi, melainkan sebagai kenyataan yang berdimensi banyak. Dimensi lain dari konflik yang jarang diperhatikan adalah “peluang” sekaligus “energi” bagi proses perubahan sosial. Oleh karena konflik merupakan energi (sumberdaya), maka ia senantiasa ada selama yang disebut masyarakat itu ada. Konflik tidak bisa dihilangkan karena akan bertentangan dengan sifat ilmiahnya. Yang bisa dilakukan terhadap konflik hanya memahami, menghadapi, dan mengelolanya. Untuk menghadapi dan mengelola konflik hanya mungkin dilakukan apabila substansi dan ruang-ruang konflik bisa dicermati secara kritis.

(35)

konflik sosial (disebut juga konflik) didefinisikan sebagai perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.

Pengertian Konflik Sosial menurut beberapa ahli, diantaranya :

1. Berstein. Menurut Berstein, konflik merupakan suatu pertentangan atau perbedaan yang tidak dapat dicegah. Konflik ini mempunyai potensi yang memberikan pengaruh positif dan negatif dalam interaksi manusia. 2. Robert M.Z. Lawang. Menurut Lawang, konflik adalah perjuangan

memperoleh status, nilai, kekuasaan, di mana tujuan mereka yang berkonflik tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya.

3. Ariyono Suyono Menurut Ariyono Suyono, konflik adalah proses atau keadaan di mana dua pihak berusaha menggagalkan tercapainya tujuan masing-masing disebabkan adanya perbedaan pendapat, nilai-nilai ataupun tuntutan dari masing-masing pihak.

4. James W. Vander Zanden Menurut Zanden dalam bukunya Sociology, konflik diartikan sebagai suatu pertentangan mengenai nilai atau tuntutan hak atas kekayaan, kekuasaan, status atau wilayah tempat yang saling berhadapan, bertujuan untuk menetralkan, merugikan ataupun menyisihkan lawan mereka.

(36)

memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman atau kekerasan (Ajat Sudrajat, 2012).

2. Tahap Konflik

Menurut Handayaningrat (1989:118-119) pada hakikatnya koordinasi dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Konflik Laten/Latent Conflict (tersembunyi) b. Konflik Terasakan/Perceiva Conflict

c. Konflik Diwujudkan/Felt Conflict d. Konflik Teraba/Manifest Conflict

e. Akibat Konflik/Conflict Atfermath (2000:10)

(37)

merugikan, menguntungkan seperti meningkatkan kreatifitas, pertukaran ide, menemukan hal-hal baru, dan dinamisasi. Sedangkan yang merugikan akan meningkatkan rasa ketidakpuasan, stress, pergantian orang/jabatan secara tidak konstitusi, dan performansi menurun.

3. Teori Penyebab Konflik

Ada berbagai macam teori mengenai penyebab konflik menurut Hugh Miall dkk (2000: 80-91) yakni:

1. Teori hubungan masyarakat. Dalam teori hubungan masyarakat ini menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.

2. Teori negosiasi prinsip. Dalam teori ini menganggap bahwa konflikdisebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. 3. Teori kebutuhan manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang

berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan.

(38)

5. Teori kesalahpahaman antarbudaya. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda.

6. Teori transformasi konflik. Teori ini berasumsi konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Sementara dalam Pasal 5 UU 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial disebutkan bahwa konflik dapat bersumber dari :

1. Permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi dan sosial budaya;

2. Perseteruan antar umat beragama dan/atau inter umat beragama, antar suku dan antar etnis;

3. Sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota dan/atau provinsi;

4. Sengketa sumber daya alam antar masyarakat dan/atau antar masyarakat dengan pelaku usaha;

5. Distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.

4. Manajemen Konflik

(39)

merupakan tugas yang paling berat dan paling sukar bagi mereka terutama bagi para pemimpin.

Perlunya dikembangkan seni mengelola konflik atau biasa sering disebut dengan Manajemen Konflik. Manajemen Konflik ini dilakukan bertujuan agar konflik yang akan, sedang, dan telah terjadi menjadi konflik yang sulit untuk diselesaikan dan merusak keberlangsungan organisasi, melainkan justru organisasi mampu mengambil pelajaran atau menemukan inovasi baru dari adanya konflik tersebut.

Menurut Kartini Kartono (1998:220), Manajemen Konflik dapat dijalankan dengan cara sebagai berikut :

1. Membuat standar-standar penilaian

2. Menemukan masalah-masalah controversial dan konflik-konflik 3. Menganalisa situasi dan mengadakan evaluasi terhadap konflik

4. Memiliki tindakan-tindakan yang tepat untuk melakukan koreksi terhadap penyimpangan dan kesalahan-kesalahan.

(40)

mengendalikannya, serta mampu menyelesaikan secara sistematis tanpa menimbulkan banyak korban dan kesusahan terhadap pihak lain.

5. Alat Analisis Konflik

Untuk bisa memahami sebuah konflik dari berbagai sudut pandang guna mengembangkan strategi dan perencanaan pengelolaan konflik, maka mutlak kita memerlukan alat analisis (Handayaningrat, 1989: 23-34). Analisa konflik bertujuan untuk memahami latar belakang dan sejarah situasi dan kejadian-kejadian saat ini, untuk mengidentifikasi semua kelompok yang terlibat, untuk memahami pandangan semua kelompok dan lebih mengetahui bagaimana hubungan antara satu pihak dengan pihak lain, untuk mengidentifikasi faktor-faktor dan kecenderungan - kecenderungan yang mendasari konflik, serta untuk belajar dari kegagalan dan juga kesuksesan. Beberapa alat analisis konflik bisa digunakan yaitu pemetaan konflik, segitiga konflik, pohon konflik dan tahapan konflik.

a. Pemetaan Konflik

(41)

b. Segitiga Konflik

Segitiga konflik merupakan alat analisa yang melihat berbagai faktor yang berkaitan dengan sikap, perilaku dan konteks masing-masing pihak utama yang berkonflik. Tujuannya adalah mengidentifikasi sikap, perilaku dan konteks dari setiap pihak utama untuk menganalisis bagaimana faktor-faktor itu saling mempengaruhi, untuk menghubungkan faktor-faktor dengan kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak serta untuk mengidentifikasi titik awal intervensi dalam suatu situasi.

c. Pohon Konflik

Pohon konflik merupakan alat analisis konflik dengan gambar sebuah pohon untuk membantu mengurutkan isu-isu pokok suatu konflik dengan cara mengidentifikasi tiga hal yaitu inti suatu masalah, mengetahui sebab-sebab awalnya dan efek-efek yang muncul sebagai akibat dari masalah yang ada.

d. Tahapan Konflik

(42)

demikian juga kita harus bisa memahami kapan konflik mengalami deeskalasi.

6. Resolusi Konflik

Upaya untuk memecahkan konflik selalu timbul selama berlangsungnya kehidupan organisasi/kelompok, namun terdapat perbedaan-perbedaan di dalam sifat dan intensitas konflik pada berbagai tahap perkembangan organisasi/kelompok. Resolusi terhadap konflik-konflik yang besar tidak akan dapat terjadi sampai suatu organisasi/kelompok telah berkembang mencapai suatu titik dimana terdapat kesepakatan yang mendasar di dalam organisasi/kelompok terjadi dengan pasti. Tentunya dalam hal ini setiap konflik yang terjadi membutuhkan suatu model resolusi atau kesepakatan bersama dalam pemecahan konflik tersebut.

Wahyu M.S. (1988:162) dalam bukunya menjelaskan tentang model-model resolusi konflik, adapun model-model resolusi tersebut adalah :

1. Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan :

a. Kami mengalah; b. Kami mendongkol; c. Kami ke luar;

d. Kami membentuk kelompok kami sendiri.

(43)

mentaatinya. Tentu saja cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat.

3. Majority Rule, artimya suara terbanyak yang ditentukan dengan voting, akan menentukan keputusan, tanpa mempertimbangkan argumentasi. Pada hakekatnya majority ini merupakan salah satu bentuk dari subjugation.

4. Minority Consent, artinya kelompok mayoritas yang menang, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan, dan menerima keputusan serta sepakat untuk melakukan kegiatan bersama.

5. Compromise (kompromi), artinya kedua atau semua sub kelompok yang terlibat di dalam konflik, berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah

6. Integration (integrasi), artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan, dan ditelaah kembali sampai tercapainya suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak. Integrasi merupakan cara pemecahan konflik yang paling dewasa.

Sama halnya dengan pendapat Wahyu M.S. model-model resolusi konflik menurut Robby Chandra (1992: 56-61) meliputi model sebagai berikut:

1. Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat konflik, yang diungkapkan dengan: (a) kami mengalah; (b) kami ke luar; (c) kami membentuk kelompok sendiri.

(44)

mentaatinya. Tentu saja cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat.

3. Majority Rule, artinya suara terbanyak yang ditentukan dengan voting akan menentukan keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi. Pada hakekatnya majority ini merupakan salah satu bentuk subjugation. 4. Minority Consent, artinya kelompok mayoritas yang menang namun

kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan dan menerima keputusan serta sepakat untuk melakukan kegiatan bersama.

5. Compromise, artinya kedua atau semua sub kelompok yang teribat di dalam konflik berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah.

6. Integration, artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan, dan ditelaah kembali sampai tercapainya suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak. Integrasi merupakan cara pemecahan konflik yang paling dewasa.

Sedangkan menurut UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan rekonsiliasi antara para pihak berkonflik dengan cara: (a) perundingan secara damai; (b) pemberian restitusi; dan/atau c. pemaafan. Rekonsiliasi dapat dilakukan dengan Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial atau Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.

(45)

menentukan bagaimana individu atau kelompok tersebut dalam menyelesaikan konflik tersebut.

D. Budaya Dalam Konflik

1. Budaya

Budaya didefinisikan sebagai kebiasaan dan nilai - nilai tertentu yang diakui secara umum oleh suatu masyarakat yang tinggal di suatu tempat tertentu. Budaya merupakan produk kolektif atau produk bersama yang menghasilkan suatu ukuran dan rangkaian tindakan yang dipakai sebagai acuan untuk menilai tindakan orang lain. Budaya bukan sesuatu yang kita dapatkan dari lahir melainkan sesuatu yang kita pelajari dari kecil dan masa muda dari orang tua, keluarga, sesepuh, guru, pimpinan agama dan media. Budaya juga tidak statis, walaupun kadang terlihat demikian, budaya senantiasa berubah karena pengaruh berbagai kekuatan internal dan eksternal. (S.N Kartikasari, 2001;41)

Untuk lebih jelas dibawah akan dijelaskan tentang Budaya menurut para ahli : 1. Herkskovits dan Malinowsksi memberikan devinisi Budaya adalah sebagai suatu superorganik. Karena budaya yang turun menurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus menerus atau berkesinambungan meskipun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan karena irama kematian dan kelahiran.

(46)

kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai warga masyarakat.

3. Roucek dan Warren mendefinisikan budaya sebagai satu cara hidup yang dikembangkan oleh sebuah masyarakat guna memenuhi keperluan dasarnya untuk dapat bertahan hidup, meneruskan keturunan dan mengatur pengalaman sosialnya.

4. Hassan Shadily budaya berarti keseluruhan dari hasil manusia hidup bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral hukum, adat kebiasaan dan lainnya.

5. Selo Soemardjan dan soelaiman Soemardi mengemukakan bahwa budaya itu adalah semua hasil karya, rasa, cipta masyarakat.

6. C. Kluckhohn Budaya meruapakan seluruh cara hidup suatu masyarakat. 7. Koentjaraningrat mengartikan budaya sebagai keseluruhan gagasan dan

karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.

2. Budaya Sebagai Faktor Penyebab Konflik

(47)

berpendapat bahwa sebenarnya ada “Budaya Konflik” yang didefinisakannya

sebagai kombinasi norma, praktik, dan lembaga-lembaga dalam masyarakat yang mereka bawa ketika mereka masuk dalam pertikaian di antara anggotanya, dengan siapa mereka bertikai, bagaimana pertikaian ini berkembang dan bagaimana mereka mengakhirinya. Artinya, secara praktis definisi ini menyatakan bahwa supaya dapat menangani konflik secara efektif, orang yang akan menangani konflik harus memahami nilai-nilai sosial, norma-norma, praktik-praktik yang dapat diterima dan lembaga-lembaga masyarakat dari pihak-pihak dan kelompok tertentu yang terlibat dalam situasi tertentu.

3. Budaya Sebagai Sumberdaya Untuk Mengembangkan Perdamaian

Berbagai tradisi, struktur, proses dan peran yang terdapat dalam setiap budaya bisa sangat membantu usaha kita dalam menyelesaikan konflik dan mengembangkan perdamaian. Di berbagai tempat ada metode-metode yang sudah diterapkan selama berabad-abad untuk menangani konflik antarpribadi dan antarkelompok. Dalam beberapa kasus, budaya modern mengabaikan metode ini dan menggantinya dengan metodologi professional dan teknis, tetapi sekarang ini masyarakat local mengetahui bahwa pendekatan-pendekatan tradisional lebih relevan dan memiliki nilai positif yang dapat dikombinasikan dengan metode-metode yang lebih modern.

(48)

berkomunikasi yang sangat berbeda tetapi tidak mampu mengenali perbedaan-perbedaan itu. Dalam menangani konflik lintas budaya, kita perlu memahami perbedaan cara yang digunakan oleh setiap budaya untuk mengungkapkan penolakan. Dalam suatu konteks budaya yang tampak sama, tetap penting bagi warganya untuk memahami bagaimana menyampaikan perbedaan pendapat dengan cara yang tidak memperburuk konflik. (S.N Kartikasari,2001:42)

4. Agama dan Budaya

Sementara agama-agama yang ada di dunia memberikan inspirasi dan dasar penghargaan bagi banyak orang, klaim masing-masing agama bahwa mereka menawarkan jalan kebenaran yang mutlak jarang terbukti benar melalui prilaku pengikutnya. Dalam banyak kasus pemeluk yang religious tidak banyak bedanya dalam tingkah laku budayanya sendiri. Misalnya, gereja-gereja di Rwanda sebelum dan setelah 1994 menyampaikan khotbah mengenai perdamaian dan rekonsiliasi bahkan mengelola program-program untuk mempromosikan tujuan ini, tetapi para pendeta, biarawati dan pengunjung gereja biasa sama-sama berpartisipasi dalam kegiatan genisida (pemusnahan suatu bangsa atau ras). (S.N Kartikasari,2001:43).

(49)

kelompok-kelompok oposisi (di mana agama menjadi bagian penting) diarahkan kepada pencapaian control terhadap diri sendiri, otonomi atau pemerintahan sendiri.

E. Definisi Konflik Sosial dan Penanganan Konflik Sosial Menurut UU Nomor 7 Tahun 2012

1. Definisi dan Penanganan Konflik Sosial

Konflik Sosial adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.

Jenis konflik sosial bisa dilihat dari sumber penyebab konflik yakni sebagai berikut:

a. permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya; b. perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antarsuku,

dan antaretnis;

c. sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi;

d. sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha; atau

(50)

2. Penanganan Konflik Sosial

Penanganan konflik sosial adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik.

Pencegahan konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya Konflik dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sistem peringatan dini.

Penghentian konflik adalah serangkaian kegiatan untuk mengakhiri kekerasan, menyelamatkan korban, membatasi perluasan dan eskalasi Konflik, serta mencegah bertambahnya jumlah korban dan kerugian harta benda.

Pemulihan pascakonflik adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan keadaan dan memperbaiki hubungan yang tidak harmonis dalam masyarakat akibat Konflik melalui kegiatan rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

a. Pencegahan Konflik

Pencegahan Konflik dilakukan dengan upaya: a. memelihara kondisi damai dalam masyarakat;

b. mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai; c. meredam potensi Konflik; dan

(51)

Pencegahan sebagaimana dimaksud dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

Memelihara Kondisi Damai Dalam Masyarakat. Untuk memelihara kondisi

damai dalam masyarakat, setiap orang berkewajiban:

a. mengembangkan sikap toleransi dan saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; b. menghormati perbedaan suku, bahasa, dan adat istiadat orang lain; c. mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan

martabatnya;

d. mengakui persamaan derajat serta persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan warna kulit;

e. mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar kebhinneka-tunggal-ikaan; dan/atau

f. menghargai pendapat dan kebebasan orang lain.

Mengembangkan Sistem Penyelesaian Perselisihan Secara Damai:

(1) Penyelesaian perselisihan dalam masyarakat dilakukan secara damai. (2) Penyelesaian secara damai mengutamakan musyawarah untuk mufakat. (3) Hasil musyawarah mufakat mengikat para pihak.

Meredam Potensi Konflik. Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban

(52)

a. melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang memperhatikan aspirasi masyarakat;

b. menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik; c. melakukan program perdamaian di daerah potensi Konflik; d. mengintensifkan dialog antarkelompok masyarakat;

e. menegakkan hukum tanpa diskriminasi; f. membangun karakter bangsa;

g. melestarikan nilai Pancasila dan kearifan lokal; dan

h. menyelenggarakan musyawarah dengan kelompok masyarakat untuk membangun kemitraan dengan pelaku usaha di daerah setempat.

Membangun Sistem Peringatan Dini. Pemerintah dan Pemerintah Daerah membangun sistem peringatan dini untuk mencegah:

a. Konflik di daerah yang diidentifikasi sebagai daerah potensi Konflik; dan/atau

b. perluasan Konflik di daerah yang sedang terjadi Konflik.

Sistem peringatan dini dapat berupa penyampaian informasi mengenai potensi konflik atau terjadinya konflik di daerah tertentu kepada masyarakat. Pemerintah dan Pemerintah Daerah membangun sistem peringatan dini melalui media komunikasi.

Membangun sistem peringatan dini dilakukan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan cara:

(53)

b. penyampaian data dan informasi mengenai Konflik secara cepat dan akurat;

c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; d. peningkatan dan pemanfaatan modal sosial; dan

e. penguatan dan pemanfaatan fungsi intelijen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Penghentian Konflik

Penghentian Konflik dilakukan melalui: a. penghentian kekerasan fisik;

b. penetapan Status Keadaan Konflik;

c. tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban; dan/atau d. bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI.

Penghentian Kekerasan Fisik. Penghentian kekerasan fisik dikoordinasikan

dan dikendalikan oleh Polri. Penghentian kekerasan fisik melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh adat. Penghentian kekerasan fisik dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penetapan Status Keadaan Konflik. Status Keadaan Konflik ditetapkan apabila Konflik tidak dapat dikendalikan oleh Polri dan terganggunya fungsi pemerintahan.

Status Keadaan Konflik terdiri atas: a. skala kabupaten/kota;

(54)

c. skala nasional.

Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota terjadi apabila eskalasi Konflik dalam suatu daerah atau wilayah kabupaten/kota dan memiliki dampak hanya pada tingkat kabupaten/kota. Status Keadaan Konflik skala provinsi terjadi apabila eskalasi Konflik dalam suatu daerah atau wilayah kabupaten/kota dan/atau beberapa kabupaten/kota dalam suatu provinsi dan memiliki dampak sampai pada tingkat provinsi. Status Keadaan Konflik skala nasional terjadi apabila eskalasi Konflik mencakup suatu daerah atau wilayah kabupaten/kota dan/atau beberapa provinsi dan memiliki dampak secara nasional.

Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/wali kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD kabupaten/kota. DPRD kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Penanganan Konflik selama Status Keadaan Konflik. Penetapan Status Keadaan Konflik berlaku paling lama 90 (sembilan puluh) hari.

Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota bertanggung jawab atas Penanganan Konflik kabupaten/kota. Dalam Penanganan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota wajib melaporkan perkembangan Penanganan Konflik kepada gubernur dengan tembusan kepada menteri yang membidangi urusan dalam negeri dan/atau menteri terkait serta DPRD kabupaten/kota.

Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota dapat melakukan:

(55)

b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu;

c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk sementara waktu; dan d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik atau keluar dari

kawasan konflik untuk sementara waktu.

Berdasarkan evaluasi terhadap laporan pengendalian keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD kabupaten/kota dapat memperpanjang jangka waktu Status Keadaan Konflik paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Perpanjangan jangka waktu Status Keadaan Konflik dikonsultasikan oleh bupati/wali kota kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dalam waktu 10 (sepuluh) hari sebelum berakhirnya jangka waktu Status Keadaan Konflik. Dalam hal keadaan Konflik dapat ditanggulangi sebelum batas waktu yang ditentukan, bupati/wali kota, gubernur, atau Presiden berwenang mencabut penetapan Status Keadaan Konflik.

Tindakan Darurat Penyelamatan dan Pelindungan Korban. Pemerintah

dan Pemerintah Daerah melakukan tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya.

Tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban meliputi:

a. penyelamatan, evakuasi, dan identifikasi korban Konflik secara cepat dan tepat;

(56)

c. pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, termasuk kebutuhan spesifik perempuan, anak-anak, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus; d. pelindungan terhadap kelompok rentan;

e. upaya sterilisasi tempat yang rawan Konflik; f. penyelamatan sarana dan prasarana vital; g. penegakan hukum;

h. pengaturan mobilitas orang, barang, dan jasa dari dan ke daerah Konflik; dan

i. penyelamatan harta benda korban Konflik.

Bantuan Penggunaan dan Pengerahan Kekuatan TNI. Dalam Status

Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota dapat meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI kepada Pemerintah. Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan bantuan penggunaan kekuatan TNI dikoordinasikan oleh Polri.

Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI berakhir apabila: a. telah dilakukan pencabutan penetapan Status Keadaan Konflik; atau b. berakhirnya jangka waktu Status Keadaan Konflik.

c. Pemulihan Pascakonflik

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan upaya Pemulihan Pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur. Upaya Pemulihan Pascakonflik meliputi:

(57)

b. rehabilitasi; dan c. rekonstruksi.

Rekonsiliasi. Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan rekonsiliasi

antara para pihak dengan cara: a. perundingan secara damai; b. pemberian restitusi; dan/atau c. pemaafan.

Rekonsiliasi dapat dilakukan dengan Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial atau Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.

Rehabilitasi. Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan rehabilitasi di

daerah pascakonflik dan daerah terkena dampak Konflik sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya.

Pelaksanaan rehabilitasi meliputi:

a. pemulihan psikologis korban Konflik dan pelindungan kelompok rentan; b. pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya, keamanan, dan ketertiban; c. perbaikan dan pengembangan lingkungan dan/atau daerah perdamaian; d. penguatan relasi sosial yang adil untuk kesejahteraan masyarakat;

e. penguatan kebijakan publik yang mendorong pembangunan lingkungan dan/atau daerah perdamaian berbasiskan hak masyarakat;

f. pemulihan ekonomi dan hak keperdataan, serta peningkatan pelayanan pemerintahan;

(58)

h. pemenuhan kebutuhan dan pelayanan kesehatan reproduksi bagi kelompok perempuan;

i. peningkatan pelayanan kesehatan anak-anak; dan

j. pemfasilitasian serta mediasi pengembalian dan pemulihan aset korban Konflik.

Rekonstruksi. Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan rekonstruksi

sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya. Pelaksanaan rekonstruksi meliputi:

a. pemulihan dan peningkatan fungsi pelayanan publik di lingkungan dan/atau daerah pascakonflik;

b. pemulihan dan penyediaan akses pendidikan, kesehatan, dan mata pencaharian;

c. perbaikan sarana dan prasarana umum daerah Konflik;

d. perbaikan berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi;

e. perbaikan dan penyediaan fasilitas pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus;

(59)

F. Kerangka Pikir Penelitian

Uma Sekaran dalam bukunya Sugiyono, 2010 dalam (Afid Burhanuddin : 2013) mengemukakan bahwa, kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting.

Kerangka berfikir dalam suatu penelitian perlu dikemukakan apabila dalam penelitian tersebut berkenaan dua variabel atau lebih. Apabila penelitian hanya membahas sebuah variabel atau lebih secara mandiri, maka yang dilakukan peneliti disamping mengemukakan deskripsi teoritis untuk masing-masing variabel, juga argumentasi terhadap variasi besaran variabel yang diteliti (Sapto Haryoko, 1999, dalam Afid Burhanuddin : 2013).

Penelitian yang berkenaan dengan dua variabel atau lebih, biasanya dirumuskan hipotesis yang berbentuk komparasi maupun hubungan. Oleh karena itu dalam rangka menyusun hipotesis penelitian yang berbentuk hubungan maupun komparasi, maka perlu dikemukakan kerangka berfikir.

(60)

Konflik adalah fenomena yang tidak dapat dihindari karena merupakan proses sosial yang dissosiasif, sebagaimana Hugh Miall dkk (2000: 7-8) mendefinisikan konflik sebagai aspek intrinsik dan tidak mungkin dihindari dalam proses perubahan sosial. Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Sedangkan dalam Undang-undang nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, konflik sosial (disebut juga konflik) didefinisikan sebagai perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.

(61)
(62)
(63)

BAB. III

METODE PENELITIAN

Suatu penelitian bertujuan untuk memahami suatu permasalahan sehingga dapat dikembangkan kebenarannya, maka diperlukan metode dalam penelitian tersebut, hal ini dimaksudkan agar penelitian dapat berjalan dengan baik dan mencapai hasil yang diharapkan. Dalam melakukan penelitian sosial, seorang peneliti dapat menggunakan beberapa metode guna mempermudah memecahkan persoalan yang ada.

A. Tipe Penelitian

Menurut David Williams dalam Lexy J. Maleong (2006) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai:

“Pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan menggunakan metode

alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah.”

Sedangkan menurut Devine dalam Lisa Harisson (2007) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif memiliki peluang yang lebih besar untuk

mengeksplorasi keyakinan dan sikap dan dapat menjelaskan “mengapa” dan

“bagaimana”, bukan sekedar “apa”. Selain itu, penelitian ini lebih

(64)

dapat mengenal orang/kelompok yang diriset, sering kali tingkat pengenalan peneliti melebihi dari yang semestinya dibutuhkan untuk proyek riset. Misalnya, peneliti mungkin menjadi akrab dengan keluarga seseorang dan latar belakang sosialnya, perhatian mereka, dan aspirasi mereka untuk masa depan. Bahkan peneliti bisa melihat dunia politik melihat dunia politik dari perspektif mereka.

Penelitian deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Hasil akhir dari penelitian ini biasanya berupa tipologi atau pola-pola mengenai fenomena yang sedang dibahas. Penelitian ini bisa juga dikatakan sebagai kelanjutan dari penelitian eksploratif. Penelitian eksploratif telah menyediakan gagasan dasar sehingga penelitian ini mengungkapkan secara lebih detail. Penelitian ini diidentikkan dengan penelitian yang menggunakan pertanyaan “Bagaimana” dalam mengembangkan informasi yang ada. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menggambarkan mekanisme sebuah proses dan menciptakan seperangkat kategori atau pola. (Bambang Prasetyo dan Lina M. Jannah, 2005: 42-43).

Penelitian ini bermaksud mengetahui dan Mengidentifikasi anatomi konflik sosial dan mekanisme penyelesaiannya pada konflik bernuansa SARA di Desa Palas Pasema Kecamatan Palas Kabupaten Lampung Selatan.

(65)

digunakan adalah deskriptif yang menggunakan analisa kualitatif dengan mengambil informan dari beberapa orang yang terlibat dalam konflik.

Tidak hanya itu, penelitian deskriptif mampu menyajikan gambaran secara detail dari sebuah situasi dan atau social setting, Pada pendekatan kualitatif, data yang dikumpulkan umumnya berbentuk kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, kalaupun angka-angka sifatnya hanya sebagai penunjang. Data yang dimaksud meliputi transkip wawancara, catatan dari lapangan, foto-foto, dokumen pribadi, nota, dan catatan lain-lain. Atas alasan itulah dipilihnya pendekatan deskriptif kualitatif.

(66)

B. Fokus Penelitian

Menemukan fokus adalah langkah pertama dalam analisis. Proses tersebut dilakukan pada awal memulai penelitian. Untuk memberikan arah dalam upaya menemukan fokus, peneliti menggunakan pertanyaan seperti jenis data apakah yang dianalisis, bagaimana peneliti dapat memberikan ciri pada data itu, apa yang menjadi tujuan analisis peneliti, mengapa peneliti peneliti memilih data itu, bagaimana data itu mewakili atau merupakan perkecualian, siapa yang ingin mengetahui dan apa yang mereka ingin ketahui. Jadi peneliti bebas menggunakannya dan didasarkan pada perhatiannya yang diprioritaskan. Selain itu, peneliti dapat pula memanfaatkan sumber-sumber seperti pengalaman pribadi, budaya umum, kepustakaan akademis untuk membantu mencari dan menemukan fokus. (Lexy J. Moleong, 2006: 291)

Suatu penelitian tidak dimulai dari sesuatu yang kosong. implikasinya, peneliti sewajarnya membatasi masalahnya dengan fokus. Fokus pada dasarnya adalah masalah yang bersumber dari pengalaman peneliti atau melalui pengetahuan yang diperolehnya melalui kepustakaan lainnya. implikasinya apabila peneliti merasakan adanya masalah, maka langkah yang dilakukan adalah mendalami kepustakaan yang relevan sebelum terjun ke lapangan.

(67)

Kabupaten Lampung Selatan. Fokus penelitian ini diharapkan dapat memenuhi kriteria untuk membatasi bidang inkuiri dan kriteria inklusi-ekslusi. Implikasi yang lain ialah peneliti harus menetapkan bahkan menyadari posisinya sebagai peneliti untuk memanfaatkan paradigma.

Dalam suatu penelitian sangat penting adanya fokus penelitian karena fokus penelitian dapat membatasi studi yang akan diteliti. Tanpa adanya fokus penelitian, peneliti akan terjebak oleh melimpahnya volume data yang diperoleh di lapangan. Penerapan fokus penelitian berfungsi dalam memenuhi kriteria-kriteria, inklusi-ekslusi, atau masukan-masukannya, menjelaskan informasi yang diperoleh di lapangan. Adanya fokus penelitian, diharapkan dapat menghindari pengumpulan data yang serampangan dan hadirnya data yang melimpah ruah. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada Konflik yang terjadi di Desa Palas Pasemah pada tahun 2009 yang melibatkan warga Desa Palas Pasemah dengan warga Desa Bali Agung.

Fokus Penelitian dari kasus Konflik Sosial yang terjadi di Desa Palas Pasemah :

1. Mengetahui penyebab terjadinya Konflik Sosial bernuansa SARA yang terjadi di Desa Palas Pasema Kecamatan Palas;

2. Mengidentifikasi Pihak yang terlibat dalam Konflik Sosial yang terjadi di Desa Palas Pasemah;

(68)

4. Mengetahui Dampak dari konflik Sosial yang terjadi di Desa Palas Pasemah;

5. Mengetahui mekanisme penyelesaian konflik sosial bernuansa SARA yang terjadi di Desa Palas Pasemah Kecamatan Palas.

Dalam penelitian ini, informan-informan dipilih dengan mendasarkan pada subyek yang menguasai permasalahan, memiliki data serta bersedia memberikan informasi data.

C. Objek Penelitian

Objek dan kriteria dalam penelitian ini adalah mereka yang memenuhi persyaratan dalam penelitian, yaitu mereka yang masih mengerti dan paham, serta memilki pengetahuan tentang kejadian konflik yang terjadi di desa palas pasemah pada tanggal 17 Desember 2009, sehingga dari informasi yang diperoleh dapat membantu penulis dalam mengumpulkan data mengenai Anatomi Konflik Sosial dan Mekanisme Penyelesaiaannya konflik yang terjadi didesa Palas Pasemah. Makna yang dimaksud adalah bagaimana masyarakat mengetahui tentang anatomi kejadian konflik dan mekanisme apa yang dilakukan dalam melakukan proses penyelesaian konflik tersebut.

D. Lokasi Penelitian

(69)

1. Wilayah Desa Palas Pasemah sangat sering terjadi konflik horizontal antar etnis dalam beberapa tahun terakhir.

2. Potensi gesekan yang besar antar etnis di Desa Palas Pasemah.

3. Beberapa konflik besar antara etnis yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan terjadi di Desa Palas Pasemah.

E. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini ada beberapa alat yang digunakan untuk mengumpulkan data. Alat pengumpul data tersebut berfungsi saling melengkapi data-data yang dibutuhkan. Untuk mengumpulkan data dan informasi, digunakan beberapa teknik sebagai berikut :

1. Teknik Studi Dokumenter

Menurut Hadari Nawari (1993) teknik/studi dokumenter adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil/hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penyelidikan. Dalam penelitian ini teknik/studi dokumenter merupakan acuan utama yang dipakai di dalam mengumpulkan data.

(70)

Menurut Hadari Nawari (1996: 109) studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan pengumpulan data dan informasi dari berbagai sumber, seperti buku-buku yang memuat berbagai ragam kajian teori yang sangat dibutuhkan peneliti, majalah-majalah, naskah-naskah, kisah sejarah, dan dokumen. Termasuk di dalamnya adalah rekaman berita dari radio, televisi, dan media elektronik lainnya.

Penggunaan studi kepustakaan sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mencari dan menghimpun informasi/data yang bersifat kepustakaan dan dokumentatif, seperti: Dokumen Perjanjian Damai, skripsi, hand out kegiatan, dan lainnya. Dalam proses pengumpulan data, peneliti juga memanfaatkan arsip data - data yang dimiliki Desa Palas Pasemah guna mendapatkan data lengkap.

2. Wawancara Mendalam

Gambar

Gambar 1. Kerangka fikir penelitian
Tabel 3.1. Kriteria dan teknik pemeriksaan keabsahan data
Tabel 2 Luas Area Desa Palas Pasemah
Tabel 3  Jumlah Penduduk Desa Palas Pasemah Tahun 2013
+5

Referensi

Dokumen terkait

Kecuali bagi peserta didik yang tinggal di daerah yang ada madrasah diniyah atau pesantren, biasanya mereka mengikuti pendidikan agama Islam di sekolah umum tidak

Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana sebagai salah satu fakultas yang masih muda juga berusaha untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa/i dalam menyalurkan bakat, minat

Salah satu kunci keberhasilan strategi peningkatan kinerja adalah pada sistem informasi yang handal memang tidak bisa dipungkiri,diharapkan dengan adanya informasi yang efektif

Penyelenggaraan Diklat Teknis Penyusunan Dokumen Akreditasi Puskesmas Provinsi Jawa Tengah Tahun 2016 adalah Badan DIKIST Provinsi Jawa Tengah'.. Waktu dan

Jago Banyuwangi Televisi/Drs... KHARISMA

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelum ini, tampak bahwa ditinjau dari sudut materi dakwah, khotbah Jumat yang disampaikan para khatib di Kota Banjarmasin, setidaknya

kesehatan perorangan atau keluarga di Pondok Kesehatan Desa (Ponkesdes) yang mencangkup kegiatan pelayanan kesehatan dibawah naungan Puskesmas, mencakup kegiatan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama inkubasi yang berbeda terhadap karakteristik fisik (warna, kekentalan, kadar air), karakteristik fungsional