• Tidak ada hasil yang ditemukan

penerapan sanksi pidana adat terhadap pe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "penerapan sanksi pidana adat terhadap pe"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN MAHASISWA UNGGULAN

Pemberian Sanksi Hukum Adat Yogjakarta terhadap Pelaku Tindak Pidana

Korupsi

Disusun: Rienny Sihombing

Elisabeth Putri Hapsari

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2014

ABSTRAKSI

(2)

berbeda karena jenis sanksi adat yang diberikan merupakan sanksi yang diberikan oleh pemuka adat berdasarkan keputusan bersama masyarakat adat. Salah satu contoh adalah Sanksi adat Yogyakarta yang berlaku bagi masyarakat adat Yogyakarta saja. Untuk menggali bagaimana penerapan Sanksi Adat Yogyakarta dalam menangani masalah Korupsi yaitu menggunakan beberapa metode penelitian meliputi metode studi pustaka, metode wawancara dan angket, serta metode observasi.Disini dapat diketahui bahwaPemberian sanksi adat Yogyakartadiantaranya dapat berupadikucilkan, diasingkan dan dicemooh oleh masyarakat. Namun dalam perkembangannya, pemberian sanksi adat Yogyakarta ini dapat dilakukan pembaharuan tanpa menghilangkan nilai dan normayang melekat didalamnya. Untuk itu, kedepannya diharapkan Tidak hanya sanksi Adat Yogyakarta yang menerapkan sanksinya terhadap tindak pidana korupsi tetapi Sanksi Adat dari berbagai daerah dapat masuk dan bergabung untuk memberantas tuntas Tindak Pidana Korupsi ini. Selain itu pemberian sanksi adat nantinya akan menjadi sanksi tambahan setelah hakim memberikan putusan mengenai sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi.

Kata Kunci :Pemberian Sanksi Adat,Sanksi Adat Yogyakarta,Tindak Pidana Korupsi.

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena dapat diselesaikannya Laporan Akhir ini dengan tepat pada waktunya. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada:

1. Ibu Emy Handayani, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing; 2. Yohanes Sukarno sebagai Narasumber Penelitian;

3. Masyararakat Adat Yogyakarta dan teman – teman yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini; serta

4. Kelompok belajar Petis yang selalu memberi semangat dan masukan – masukan yang membangun bagi Penulis dalam melaksanakan kegiatan penelitian ini.

(3)

Pertama, masalah korupsi di Indonesia sudah berurat dan berakar dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara khususnya dalam sistem pemerintahan Indonesia. Masalah Korupsi pada tingkat dunia diakui merupakan kejahatan kompleks, besifat sistemik dan meluas dalam seluruh tatanan sosial;

Kedua, Korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan hanya masalah hukum semata saja melainkan sesungguhnya merupakan pelanggaran atas hak – hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia;

Ketiga, semakin haripara pelaku Tindak Pidana Korupsi semakin banyak, mereka yang sudah ditetapkan sebagai Tersangka pun tidak menunjukkan rasa malu, bahkan mereka mempertontonkan senyuman – senyuman mereka kepada masyarakat seolah – olah tidak terjadi apa – apa. Para pelaku adalah orang – orang yang seharusnya melayani masyarakat bukanlah menjadi penindas bagi masyarakat itu sendiri.

Sehingga, dalam hal ini Penulis mencoba menggali peraturan – peraturan di tengah beragam adat yang ada di Indonesia khususnya menggunakan sanksi masyarakat adat Yogjakarta dalam mengatasi hal – hal yang berkaitan dengan pemberian sanksi terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi, sehingga nantinya dapat menjadi pedoman dalam menjadikan sanksi adat berlaku pada tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku di daerah tempat tinggal pelaku, agar pelaku tindak pidana korupsi tersebut dapat secara efektif memberi efek jera, begitu pula untuk memberi rasa takut pada masyarakat yang ingin melakukan tindak pidana korupsi sehingga nantinya dapat mengurangi Tindak Pidana Korupsi itu sendiri serta dapat memberikan kontribusi pada rancangan perundang – undangan nasional terkait masalah Korupsi.

Demikianlah Penulis memaparkan hal – hal terkait dengan Pemberian Sanksi Hukum Adat Yogjakarta pada Pelaku Tindak Pidana Korupsi, penulis tahu jika laporan ini masih jauh dalam hal sempurna, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

(4)

Tim penulis

JADWAL DAN WAKTU PELAKSANAAN PENELITIAN

1. PelaksanaanPersiapanPenelitian

a. Penetapan lokasi penelitian 3 hari b. Pertemuan awal anggota penelitian 2 hari c. Pemberitahuan jadwal penelitian 2 hari

2. Pengadaan alat dan bahan penelitian 15 hari

3. Pelaksanaan studi pustaka

a. Searching data pendukung penelitian via internet dan sumber 15 hari studi pustaka

b. penyusunan bahan studi pustaka dan data pendukung lain 15 hari dari internet

4. Pengambilan data di lapangan 5 hari 5. Analisis data 13 hari 6. Penyusunan laporan penelitian

a. Melakukan penyusunan konsep laporan akhir 2 hari b. Penyusunan laporan akhir 15 hari c. Konsultasi pakar hasil laporan akhir 3 hari

(5)

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hukum Pidana Adat adalah hukum yang hidup dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang – undangan.1 Andaikata diadakan juga undang – undang yang akan menghapuskannya, akan percuma juga, malahan hukum pidana perundang – undangan akan kehilangan sumber kekayaannya karena dalam pembentukan perundang – undangan didasarkan pada filsafat hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila itu digali dari hukum adat, yang sesungguhnya tidak lain dari hukum asli bagi kita dan dasar dari semua hukum yang ada serta hukum pidana adat itu lebih dekat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi daripada hukum perundang – undangan.

Dalam pasal 1 ayat (3) Rancangan Undang – Undang tentang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (RUU – KUHP) tahun 1999/2000 2dalam penjelasannya menerangkan bahwa adalah suatu kenyataan dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana, yaitu biasa disebut dengan tindak pidana adat.Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat tertentu.

Diberikannya dasar hukum bagi hakim untuk menerapkan hukum pidana adat dalam RUU – KUHP tahun 1999/2000, dimuatlah mengenai jenis – jenis pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim pada pasal 60, 61, dan 62.Walaupun pencantuman kewajiban adat hanya sebagai pidana tambahan dalam pasal – pasal tersebut, namun menurut pasal 933,

1Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung, Citra aditya Bakti, 2005) , hal.8.

2Ibid, hal. 9

(6)

dimungkinkan pidana pemenuhan kewajiban adat sebagai pidana pokok atau pidana utama.

Pencantuman hukum pidana adat dalam RUU – KUHP tahun 1999/2000, jika diikuti secara konsekuen oleh para perancang ialah dengan memberikan paket pidana berupa pemenuhan kewajiban adat. Maka, berarti bahwa pemenuhan kewajiban adat nantinya akan mempunyai kedudukan sebagai pidana yang resmi dan pemenuhan kewajiban adat ini sudah tentu diharapkan akan dapat memenuhi tujuan dari pemidanaan (pasal 50 RUU – KUHP tahun 1999/2000).4

Dalam hal ini tentu saja hukum pidana adat diharapkan bukan hanya untuk tindak pidana adat, melainkan harus pula berkaitan dengan tindak pidana yang tidak diatur di dalamnya, yaitu tindak pidana korupsi (dalam tindak hukum pidana nasional) yang mungkin saja dalam tindak pidana hukum adat merupakan bagian dari tindak pidana pencurian, harus pula diatur oleh hukum pidana adat sehingga dalam hal ini, hukum pidana adat dapat masuk ke dalam jenis tindak pidana nasional yang harus dijamin kepastian hukumnya.

2. Fokus Studi dan Permasalahan

Fokus studi dalam penelitian mengenai Pemberian Sanksi Hukum Adat Yogjakarta terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi ini lebih menekankan pada aspek Hukum dan Masyarakat.

Dalam sistem Sanksi yang dipergunakan sekarang ini yang berkaitan dengan masalah tindak pidana korupsi, terlihat bagaimana sanksi yang diberikan tidak lagi sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari suatu pemidanaan atau pemberian sanksi tersebut. Mengingat, semakin hari malah semakin banyaknya pelaku – pelaku tindak pidana korupsi dan tidak terlihat adanya rasa penyesalan atau jera dari mereka.Hal itu sangatlah mengecewakan.Seolah – olah hukum pidana nasional sudah tidak

(7)

berfungsi lagi sebagaimana mestinya dan mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.

Hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana sistem hukum Indonesia nantinya dalam pandangan masyarakat, apakah masih dapat memberikan rasa kemanfaatan, kepastian hukum, dan keadilan bagi rakyat dan apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sistem hukum Indonesia ini khususnya dalam kasus tindak pidana korupsi.

Kami menyusun rumusan masalah yang akan diurai dalam penelitian ini, meliputi:

1. Apa saja Sanksi Hukum Adat Yogjakarta terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi?

2. Bagaimana cara penerapan sanksi Hukum Adat Yogjakarta terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi ?

3. Tujuan dan Kontribusi Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini meliputi:

1. Untuk mengetahui Apa saja Sanksi Hukum Adat Yogjakarta terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi.

2. Untuk mengetahui Bagaimana cara penerapan sanksi HukumAdat Yogjakarta terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Hasil penelitian ini kami kontribusikan untuk para anggota legislatif di Indonesia dan juga terutama bagi mahasiswa hukum yangingin menjadi calon anggota legislatif di Indonesia, untuk meningkatkan kualitas calon anggota legislatif yang memiliki integritas dalam melakukan penyusunan perundang – undangan, khususnya dalam Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak menyimpang dari dasar negara atau filsafat bangsa yaitu Pancasila, serta dalam melakukan pertimbangan untuk menjadikan sanksi adat berlaku terhadap pelaku tindak pidana korupsi sesuai dengan adat daerah tempat tinggalnya. 4. Metode Penelitian

(8)

Cara untuk mengumpulkan data dari sumber buku yang berkaitan dengan penelitian yang akan dibuat.

2. Metode Wawancara dan Angket

Cara untuk mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada seorang informan atau seorang ahli. Pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan harus disiapkan terlebih dahulu sebelum melakukan wawancara. Sedangkan untuk angket, mengumpulkan informasi dari para informan dengan bentuk tertulis.

3. Metode Observasi

Pengumpulan data dengan pengamatan secara langsung kepada suatu obyek yang akan diteliti. Tujuannya untuk mendapatkan kebenaran dari data dan informasi mengenai obyek penelitian.

B. KERANGKA PENELITIAN

1. KERANGKA KONSEPTUAL

Pengertian Korupsi

a. Menurut Haryatmoko, Korupsi adalah upaya campur tangan menggunakan kemampuan yang didapat dari posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan demi kepentingan keuntungan dirinya.

(9)

c. Kartono, 1983 memberi batasan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, dan atau merugikan kepentingan umum dan negara.

d. Juniadi Suwartojo, 1997 menyatakan bahwa korupsi ialah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat.

e. Menurut Black’s Law Dictionary korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.

f. Menurut Mohtar Mas’oed ,1994 mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban formal suatu jabatan publik karena kehendak untuk memperoleh keuntungan ekonomis atau status bagi diri sendiri, keluarga dekat atau klik. Tindak korupsi umumnya merupakan transaksi dua pihak, yaitu pihak yang menduduki jabatan publik dan pihak yang bertindak sebagai pribadi swasta. Tindakan yang disebut korupsi adalah transaksi dimana satu pihak memberikan sesuatu yang berharga (uang atau aset lain yang bersifat langgeng seperti hubungan keluarga atau persahabatan) untuk memperoleh imbalan berupa pengaruh atas keputusan-keputusan pemerintahan.

(10)

yang sesungguhnya merupakan suatu perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang diharapkan yang sengaja dilakukan untuk mendapatkan imbalan material atau penghargaan lainnya.

Pengertian Hukum Adat

a. Menurut Supomo dan Hazairin, hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat. (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu) yaitu dalam keputusan lurah, penghulu, pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.

b. Van Vollenhoven ,menjelaskan bahwa hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebut “hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu disebut “adat”).

c. Menurut Soerjono Soekanto, hukum non statuter yang untuk bagian terbesar

merupakan hukum kebiasaan sedangkan untuk bagian terkecil terdiri dari hukum agama. Selain itu juga mencakup hukum yang didasarkan pada putusan-putusan hakim yang berisikan asas-asas hukum dalam lingkungan dimana suatu perkara diputuskan.

d. Bushar Muhammad, menjelaskan bahwa untuk memberikan definisi hukum adat sangat sulit sekali karena, hukum adat masih dalam pertumbuhan; sifat dan pembawaan hukum adat ialah:

(11)

- Pasti atau tidak pasti

- Hukum raja atau hukum rakyat dan sebagainya.

e. Suroyo Wignjodipuro menyatakan bahwa Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber apada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum (sanksi)

3. DATA DAN SUMBER DATA PENELITIAN 1. Dengan Narasumber:

Nama : Yohanes Sukarno

Tempat, tanggal lahir : Gunung Kidul, 5 Maret 1957

Usia : 57 Tahun

Jabatan Adat : Anggota Masyarakat adat

Alamat : Desa Gading VII Kec. Playen,

Kab. Gunung Kidul,Yogyakarta

(12)

a. Ditujukan kepada : Masyarakat b. Jumlah responden : 50 orang

4. PENGUMPULAN DATA

a. Peneliti menggunakan metode wawancara untuk memperoleh data penelitian. Pertanyaan dan jawaban dari narasumber (terlampir)

b. Dari angket:

Dalam penelitian ini kami menggunakan angket dengan 15 butir pertanyaan yang dibagikan kepada 50 responden (terlampir).

5. ANALISIS DATA

a. Dari hasil wawancara:

(13)

dilakukan.Kebiasaan ini menjadi pedoman ataupun patokan nilai dalam hidup bermasyarakat. Contoh penerapan sanksi adat di Yogyakarta, masyarakat yang tidak mengikuti gotong-royong sanksi adatnya akan dikucilkan oleh masyarakat, masyarakat yang tidak datang dalam acara Kenduri (doa untuk memperingati meninggalnya seseorang) akan dikucilkan.Pada dasarnya keikutsertan masyarakat adat dalam acara kenduri maupun gotong royong berdasar pada rasa kepedulian dari masing-masing masyarakat adat. Sehingga seseorang yang tidak mengikutinya akan dikucilkan karena rasa kepeduliannya yang kurang terhadap sesama.

(14)

b. Dari hasil angket :

Semua responden disini telah mengetahui mengenai apa itu korupsi yang sebagian besar mengetahuinya dari media cetak dan / atau media elektronik, berarti publikasi mengenai korupsi sudah baik. Menanggapi mengenai penerapan sanksi korupsi sekarang ini, responden sebagian besar beranggapan bahwa sanksi hukum yang diberikan kepada para pelaku korupsi dari hasil Putusan Hakim belum memberi efek jera, karena adanya remisi (pengurangan masa tahanan) yang sangat menguntungkan para koruptor dan juga menyatakan bahwa sebagian besar dari mereka tidak percaya lagi pada putusan hakim, karena banyaknya juga hakim yang terjerat kasus suap dengan para koruptor, sehingga diinginkan adanya perubahan terhadap Undang – Undang no.31 tahun 1999 Jo Undang – Undang no. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi agar berlaku lebih efektif lagi terhadap pemberian sanksi korupsi dan dapat memberi rasa takut pada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana korupsi, diharapkan dengan adanya perubahan tersebut, nilai – nilai hukum adat khususnya adat Yogyakarta dapat masuk dalam peraturan pemberian sanksi tindak pidana korupsi yang baru dan memberikan pembaruan dalam sistem hukum nasional. Sanksi adat yang diberikan pun akan lebih efektif jika diberikan setelah hakim memutus perkara Sehingga pelaku tindak pidana korupsi dapat dihukum dengan menggunakan Peraturan Perundang – undangan yang ada dan sekaligus menggunakan Hukum Adat khususnya Adat Yogyakarta.

(15)

pidana korupsi tersebut. Untuk menggunakan sanksi Hukum Adat dalam Tindak Pidana Korupsi agar lebih efektif maka perlu juga dilakukan pembaharuan, yakni tidak lagi hanya dicemooh, dikucilkan, maupun diusir dari tempat tinggalnya, namun dapat juga menitikberatkan pada kesepakatan antara masyarakat adat dengan pihak yang dirugikan dalam menerima penjatuhan sanksi, contohnya: menjadi cleaning service di perusahaan tempat si pelaku melakukan tindak pidana korupsi. Akan tetapi, Penerapan sanksi pidana adat yogyakarta yang menitikberatkan pada kesepakatan antara masyarakat adat dengan pihak yang dirugikan tidak boleh bertindak sewenang – wenang dalam sanksi adat yang diberikan.

(16)

C. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

1. JENIS – JENIS SANKSI HUKUM ADAT YOGYAKARTA

Sanksi adat merupakan sanksi yang ada dalam suatu daerah tertentu yang berlaku bagi masyarakat adatnya bila terjadi suatu pelanggaran. Sanksi adat ini hanya berlaku di suatu daerah tertentu saja, antara daerah satu dengan yang lain memiliki sanksi adat yang berbeda. Pemberian sanksi pidana adat khususnya di Yogyakarta berpedoman dalam aturan yang ada di Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta merupakan salah satu warisan Budaya di Indonesia, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berdiri sejak tanggal 13 Februari 1755. Kasunanan Keraton Yogyakarta sampai sekarang masih berdiri dengan dipimpin oleh seorang raja yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono X. Sejak didirikan pada tanggal 13 Februari 1755, keraton merupakan pusat pemerintahan yang ada di Yogyakarta.Selain menjadi seorang Raja Sri Sultan Hamengkubuwono juga secara otomatis telah menjadi Gubernur Daerah IstimewaYogyakarta.Para Sultan bersama para ahli adat, melahirkan gagasan-gagasan asli tentang seni, sastra, sistem sosial, sistem ekonomi, dan seterusnya.Sri Sultan Hamengku Buwono I misalnya, melahirkan banyak karya seni dan arsitektur.Dengan Keraton sebagai pusat penyelenggaraan pemerintahan daerah, masyarakat Yogyakarta sudah berkembang menjadi sebuah sistem peradaban tersendiri sejak sebelum bergambung dengan RI (1945).5 Dalam Keraton Yogyakarta inilah lahir

pedoman hukum yang berlaku bagi masyarakat Yogyakarta. Aturan hukum ini timbul dari kebiasaan yang dilakukan masyarakat secara berulang-ulang. Begitu pula lahir jenis-jenis sanksi adat yang berlaku bagi masyarakat adat Yogyakarta. Sanksi adat ini berdasar pada perbuatan yang dilakukan oeh pelaku seperti pencurian,pembunuhan, pemerkosaan, tidak mengikuti acara besar di masyarakat, penipuan, dll. Jenis-jenis sanksi adat di Yogyakarta yaitu dikucilkan oleh masyarakat, diasingkan ke tempat lain, dan dicemooh oleh masyarakat. Sanksi ini dirasa memberikan dampak sosial bagi pelaku dan akan berpengaruh pada psikologis pelaku. Dalam perkembangannya, sanksi

(17)

adat ini masih dapat berlaku dan mengikat masyarakat adat Yogyakarta karena adanya nilai-nilai dan norma dalam masyarakat yang masih menjadi pedoman. Sanksi pidana adat di Yogyakarta ini dirasa kurang memberikan efek jera bila dalam diri pelaku sendiri tidak mau memperbaiki diri atas kesalahan yang diperbuat. Sehingga perlu adanya pembaharuan dalam pemberian sanksi pidana adat yang masih mengandung nilai-nilai dan norma yang tetap namun tidak berlaku sewenang-wenang terhadap pelaku. Sanksi pidana adat yang akan diberikan kepada pelaku harus sesuai dengan kepribadian pelaku agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku.

Dalam kasus korupsi yang kini marak terjadi juga dapat diberikan sanksi adat.Bila yang melakukan korupsi adalah masyarakat adat Yogyakarta maka berlakulah sanksi adat di Yogyakarta.Dalam hukum adat Yogyakarta, tidak terdapat istilah korupsi.Namun korupsi ini dapat disamakan dengan tindakan pencurian dan penipuan.Perilaku yang dilakukan cukup memiliki unsur yang sama seperti pencurian dan penipuan. Sedangkan untuk pemberian sanksinya, pada pelaku korupsi diberikan sanksi yang tidak sama dan lebih berat bila dibandingkan dengan sanksi adat untuk tindakan pencurian dan penipuan. Pelaku tindak pidana korupsi diberikan sanksi adat yang lebih berat karena merugikan banyak pihak dan perbuatan ini perlu dituntaskan agar tidak ditiru oleh masyarakat lain. Selain itu agar dapat memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Untuk pemberian sanksi adat terhadap pelaku korupsi selain dikucilkan,diasingkan,dicemooh dapat diberikan sanksi adat yang lain sesuai dengan kesepakatan antara masyarakat adat dengan pihak-pihak yang dirugikan atas perbuatan pelaku. Artinya dapat diberlakukan pembaharuan sanksi adat tanpa menghilangkan nilai dan norma dalam masyarakat. Contohnya dengan memperkerjakan pelaku korupsi sebagai pegawai rendahan di tempat ia bekerja seperti menjadi office boy, atau petugas

(18)

2. PENERAPAN SANKSI HUKUM ADAT (KHUSUSNYA ADAT YOGYAKARTA) TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

a. Pengertian Hukum Pidana Adat

Berbicara mengenai Hukum Adat maupun Hukum Pidana Adat, tidak bisa lepas dari pembicaraan aspek kebudayaan bangsa

Indonesia.Oleh karena hukum dan juga hukum pidana adat merupakan perwujudan dari kebudayaan bangsa Indonesia. Pada hakikatnya, kebudayaan itu mempunyai tiga perwujudan, yaitu: pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide – ide, gagasan – gagasan, nilai – nilai, norma – norma peraturan, dan sebagainya. Kedua,

kebudayaan dapat mewujudkan diri sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.Dan ketiga, kebudayaan dapat berwujud sebagai benda – benda hasil karya manusia.6

Sistem nilai – nilai budaya bangsa dengan demikian terdiri dari konsep – konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat yang merupakan warga dari kebudayaan yang bersangkutan, yaitu mengenai hal – hal yang harus mereka anggap penting dan bernilai dalam hidup.Karena itu, sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman untuk berbuat.Yang penting, yaitu sebagai suatu sistem yang mengontrol atas perbuatan – perbuatan manusia dalam

masyarakat.Didalam menontrol ini masyarakat mempunyai suatu pola untuk mengukur apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk, dipebolehkan atau tidak oleh masyarakat dimana pelaku perbuatan tadi hidup dan menjadi anggota.7

Hukum atau norma hukum sebagai pedoman bagi manusia untuk berbuat atau tidak berbuat, mmepunyai akibat hukum apabila normanya

6 Koentranigrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: PT Gramedia, 1974), hal.15

(19)

tidak ditaati atau dilanggar. Tiap – tiap bangsa mempunyai hukumnya sendiri dan sebagaimana halnya dengan bahasa, maka hukum pun hidup dan diciptakan masyarakat karena hukum merupakan kehidupan dari bangsa itu sendiri.8

b. Dasar Hukum Berlakunya Hukum Pidana Adat

Dasar hukum berlakunya Hukum pidana Adat pada jaman Hindia Belanda dicari dalam undang – undang ialah pasal 131 I.S. jo A.B (algemenn Bepalingen van Wetgeving). Semasa berlakunya Undang – undang Dasar 1950, dapat ditunjukkan beberapa pasal yang dapat

dijadikan dasar, yaitu Pasal 32, Pasal 43 ayat (4), Pasal 104 ayat (1), Pasal 14 ayat (3), dan pasal 16 ayat (2). Akan tetapi, sebenarnya tidak diperlukan dasar hukum yang diambil dari ketentuan undang – undang sebab hukum adat itu hukum yang asli dan sesuatu yang asli itu berlaku dengan

sendirinya, kecuali ada hal – hal yang menghalangi berlakunya.9

Namun, kalau masih mau dicari dasar hukum berlakunya hukum pidana adat, dapat dilihat dalam pasal 5 ayat (3) sub b Undang Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 LN Nomor 51-9 tentang tindakan – tindakan sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara pengadilan – pengadilan Sipil. Dalam Pasal tersebut dapat diketahui bahwa sebenarnya sanksi adat (hukuman adat) merupakan sanksi utama dalam hal perbuatan yang menurut hukum yang hidup dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidaa, namun tidak ada bandingnya dalam KUHP.10

c. Perbedaan Pokok antara Kitab Undang – Undang Hukum Pidana dan Hukum Pidana Adat

8 Ibid. Hal.6

9 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto,1990), hal.17

(20)

Seperti diuraikan oleh Van Vollenhouven dalam Adatrecht, Bab XI(Adat strafrecht vanIndonesiers,halaman 745), maka terdapat perbedaan-perbedaan pokok antara sistem hukum eks KUHP dan sistem hukum adat delik, misalnya:11

1. Suatu pokok dasar KUH Pidana ialah bahwa yang dapat dipidana hanyalah seorang manusia saja. Artinya desa, kerabat, atau keluarga tidak mempunyai tanggungjawab kriminal terhadap delik yaang dilakukan seorang warganya. Sedangkan di daerah tertentu bila seseorang melakukan kejahatan, kerabat si penjahat diharuskan menanggung hukuman yang dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan seorang warganya.

2. Pokok prinsip yang kedua dari KUH Pidana ialah bahwa seseorang hanya dapat dipidana bila perbuatannya dilakukan dengan sengaja ataupun kealpaan/adanya kesalahan. Sedangkan dalam hukum pidana adat unsur kesalahan tidak merupakan syarat mutlak, terkadang samasekali tidak perlu adanya pembuktian adanya kesengajaan atau kesalahan.

3. Sistem KUH Pidana mengenal serta membedakan masalah membantu melakukan kejahatan, membujuk, dan ikut serta dalam pasal 55 dan pasal 56. Sedangkan dalam sistem hukum adat siapa saja yang turut menentang peraturan hukum adat, diharuskan turut memenuhi usaha yang diwajibkan untuk memulihkan kembali perimbangan hukum. 4. Sistem KUH Pidana menetapkan percobaan sebagai tindak pidana

dalam pasal 53. Sedangkan dalam sistem hukum adat tidak memidana seseorang oleh karena mencoba melakukan delik.

5. Sistem KUH Pidana berlandaskan pada sistem prae existence regels

(pelanggaran hukum yang ditetapkan lebih dahulu). Hukum adat tidak mengenal sistem prae existence regels, dalam hukum adat delik adat tidak bersifat statis artinya tidak sepanjang masa tetap merupakan delik

(21)

adat. Setiap peraturan adat timbul, berkembang, dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan hukum adat yang baru.

c. Peranan Sanksi Hukum Adat Dalam Memenuhi Tujuan Pemidanaan

Setiap anggota masyarakat atau kelompok dalam masyarakat terkait dengan apa yang disebut anggapan – anggapan atau kaidah atau norma. Anggapan – anggapan ini memberi petunjuk bagaimana seseorang harus berbuat atau tidak harus berbuat. Dengan demikian, norma adalah anggapan – anggapan bagaimana seseorang harus berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat.

Tiap masyarakat atau golongan menghendaki normanya diaptuhi, tetapi tidak semua orang bisa dan mau mematuhi.Agar normanya ditaati, maka masyarakat atau golongan itu mengadakan sanksi atau penguat. Istilah Prof. Djojodigoeno: “pekokoh”. Sanksi bisa bersifat positif bagi mereka yang patuh atau menaati norma. Sanksi yang negatif misalnya pidana, sedangkan sanksi yang positif misalnya hadiah.Di samping itu, masih ada pembedaan lagi ialah sanksi yang formal yang datang dari negara dan sanksi informal yang datang dari masyarakat.12

Demikian juga halnya dengan hukum pidana yang juga memuat aturan – aturan dimana untuk mempertahankan aturan – aturan tersebut didukung oleh suatu sanksi. Sanksi terhadap para pelanggar norma hukum adat disebut sanksi adat atau reaksi adat atau koreksi adat.

Dengan dilaksanakan sanksi adat oleh pelaku yang dianggap telah melanggar ketentuan adat tersebut, maka pelaku tindak pidana adat itu dianggap tidak bersalah lagi, karena sudah dibayar atau ditebus dengan melaksanakan upacara adat dan masyarakat adat pun menerima pelaku tindak pidana sebagai warga biasa kembali.13

12 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni,1986), hal.29.

(22)

d. Kebijakan Penggunaan Sanksi Hukum Pidana Adat dalam Menanggulangi Kejahatan

Dalam rangka menanggulangi kejahatan terdapat berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan ialah dapat berupa sarana hukum pidana (penal) dan non hukum pidana (nonpenal). Apabila dipilih sarana penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana berarti akan melaksanakan politik hukum pidana. Menurut Sudarto, bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti”usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang”.14Ini berarti bahwa politik hukum pidana adalah bagaimana mengusahakan dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.

Disamping itu, usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha kesejahteraan masyarakat (social welfare).Dilihat dari sudut politik kriminal masalah strategis yang justru harus ditanggulangi adalah memahami masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan.Ini berarti penggarapan masalah-masalah sosial sangat memegang peranan dalam usaha penanggulangan kejahatan. Hal ini disebabkan:

1. Masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas hidup bagi semua orang.

2. Strategi penanggulangan kejahatan harus didasarkan pda penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.

3. Penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan nasional, standar hidup

(23)

yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan di antara golongan besar penduduk. 15

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, dimana hukum pidana itu dibangun berdasar dan bersumber pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, maka hukum pidana yang dibangun akan mencerminkan nilai sosial, budaya, dan struktural masyarakat Indonesia ini membawa konsekuensi bahwa dalam penanggulangan kejahatan dengan sarana penal, hukum pidana adat dijadikan sumber dan perlu dikaji secara mendalam, sehingga dapat melaksanakan peranannya sebagai sumber hukum pidana nasional yang dapat menunjang pelaksanaan pembangunan hukum. Penggunaan sanksi adat dalam usaha menanggulangi kejahatan atau tindak pidana. Tampaknya sesuai dengan kecenderungan internasional yang sangat eksklusif dalam dekade terakhir, antara lain berkembangnya konsep untuk selalu mencari alternatif dari pidana kemerdekaan dalam bentuknya sebagai sanksi alternatif. Sehingga sanksi hanya dapat diterima bila dapat melayani tujuan dan kegunaan pidana kemerdekaan .Pidana kemerdekaan dinilai tidak bisa dipungkiri bahwa pidana kemerdekaan merupakan tulang punggung dari sistem perdilan pidana.

Jenis-jenis pidana yang dapatdijatuhkan oleh hakim diatur dalam Pasal 60-62 RUU-KUHP Tahun 1999/2000.16

(2) Untuk pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menentukan berat ringannya pidana.

15 Muladi,Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,(Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,1995),hal.9.

(24)

Pasal 61 RUU-KUHP Tahun 1999/2000

Pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus dan selalu diancam secara alternatif.

Pasal 62 RUU-KUHP Tahun 1999/2000 (1) Pidana tambahan terdiri atas:

a. Pencabutan hak-hak tertentu;

b. Perampasan barang-barang tertentu dan atau tagihan;

c. Pengumuman putusan hakim; Pembayaran ganti kerugian; dan dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat

d. Pemenuhan kewajiban adat.

(2) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dijatuhkan jika tercantum secara tegas dalam perumusan tindak pidana; (3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana;

(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.

Pasal 93 RUU-KUHP Tahun 1999/2000

(1) Dalam putusan dapat ditetapkan kewajiban adat setempat yang harus dilakukan oleh terpidana;

(2) Pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3)

(3) Kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana;

(4) Pidana pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat juga berupa pidana ganti kerugian.

(25)

dapat dijatuhkan apabila secara nyata adat setempat menghendaki hal itu.

Dari keenam konsep diatas terlihat jelas bahwa para perancang konsep KUHP di samping memandang asas legalitas sebagai asas fundamental bagi NKRI yang berdasarkan hukum juga mengakui adanya hukum adat yang memang untuk daerah-daerah tertentu masih hidup dalam masyarakat.Disamping itu sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat dalam RUU KUHP Tahun 1999/2000 mempunyai kedudukan ganda atau berfungsi ganda sebagai pidana pokok atau pidana yang diutamakan bila memenuhi pasal 1 ayat 3, dan berfungsi sebagai pidana tambahan.

Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat bersifat mendua karena dapat berfungsi sebagai pidana pokok dan pidana tambahan. Dalam kedudukan sebagai pidana pokok, maka sanksi pemenuhan kewajiban adat akan berfungsi sebagai sanksi alternatif dan pidana penjara terutama pidana penjara jangka pendek di bawah satu tahun. Keberhasilan pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat sebagai sanksi alternatif harus dilihat berdasarkan beberapa faktor. Menurut Muladi faktor-faktor tersebut meliputi:

1. Sanksi alternatif harus cocok untuk menggantikan pidana kemerdekaan dalam arti kesanggupan untuk mencapai tujuan dan fungsi yang sama.

2. Sanksi alternatif harus dapat diterima sebagai pidana oleh masyarakat.

3. Harus diperhitungkan kemanfaatannya atas dasar analisis biaya dan hasil

4. Penerapan sanksi alternatif harus dirasakan sebagai kebutuhan di dalam kerangka sistem peradilan pidana

5. Kesiapan infrastruktur pendukung secara memadai.17

e. Sanksi Adat dan Tujuan Pemidanaan

(26)

Menurut Muladi, tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat. Dengan demikian, tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaki kerusakan individual dan sosial (individual and social damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana.Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuitis. Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud adalah:

a. Pencegahan (umum dan khusus), b. Perlindungan masyarakat,

c. Memelihara solidaritas masyarakat, dan d. Pengimbangan atau pengimbalan.18

Hukum pidana adat sangat relevan ditarik ke permukaan untuk dapat dijadikan pedoman oleh perancang Rancangan Undang – Undang KUHP untuk dapat diangkat menjadi hukum pidana yang bersifat nasional. Karena dengan diangkatnya hukum pidana adat ke permukaan akan tercipta atau terwujud keadilan substantif, dengan ketentuan hukum pidana adat tersebut harus memenuhi syarat:

1. Hukum pidana adat itu masih hidup dalam masyarakat Indonesia;

2. Hukum pidana adat itu tidak menghambat tercapainya masyarakat adil dan makmur; dan

3. Hukum pidana adat itu harus sesuai dengan nilai – nilai luhur yang terkandung dalam pancasila.

Dengan demikian, penerapan sanksi hukum adat Yogyakarta yang akan masuk ke dalam pembaharuan sistem hukum nasional dapat ditarik

(27)

kedalam pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat sebagai sanksi alternatif karena Hukum Adat Yogyakarta tersebut pun telah memenuhi syarat – syarat seperti yang disebutkan diatas, sehingga dapat masuk kedalam Rancangan Undang – Undang Nasional. Namun,Jika memang sanksi tersebut belum dimasukkan dalam Sistem Hukum

Nasional saat ini, maka dapat ditangani dengan lebih mengutamakan nilai – nilai adat kita, terutama yang berhubungan dengan pancasila dengan memunculkan sifat nasionalisme dan tetap mempertahankan Hukum adat daerah masing – masing sebagai hukum yang utama sebagai kepribadian bangsa serta nantinya antar aparat penegak hukum dapat saling

bekerjasama dengan pihak pemuka adat dan pihak yang dirugikan untuk memberikan sanksi yang memang sesuai dengan nilai – nilai Pancasila terutama nilai keadilan dan kepatutan.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

(28)

tindak pidana korupsi yaitu dengan kesepakatan masyarakat adat dan pihak yang dirugikan, memperkerjakan pelaku korupsi sebagai pegawai rendahan di tempat ia bekerja. Hal ini dirasa dapat memberikan efek jera bagi pelaku karena dapat mempengaruhi keadaan psikologis pelaku, pelaku merasa malu dan menyesal atas perbuatan yang telah dilakukan. Selain memberikan efek jera , pemberian sanksi adat ini dapat menjadi upaya preventif agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana korupsi.

2. Dalam rangka pembuatan konsep Rancangan KUHP nasional, hukum pidana adat (khususnya adat Yogyakarta) yang masih hidup untuk daerah – daerah tertentu dapat dijadikan dasar oleh pengadilan untuk memutus suatu pelanggaran ataupun kejahatan,termasuk masalah Korupsi yang merupakan kejahatan koorporasi. Hal ini terlihat dari ketentuan yang terdapat dalam Rancangan Undang Undang KUHP tahun 1999/2000 ialah pasal 1 ayat (3) mengenai dapat diterapkannya hukum yang hidup atau hukum adat dan menurut adat suatu perbuatan didaerah tertentu dapat dipidana, diikuti dengan sanksi yang terdapat dalam pasal 62 ayat (1) e mengenai pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat, dan pasal 93 ayat (2) yang memungkinkan pidana tambahan pemenuhan kewajiban adat menjadi pidana pokok. Sehingga, disini terlihat bahwa Sanksi Hukum adat dapat masuk dalam sistem hukum nasional dan diakui eksistensinya dalam menangani masalah korupsi dengan melibatkan pihak aparat penegak hukum, pemuka adat, dan pihak yang dirugikan dalam pemberian sanksi yang sesuai dengan nilai – nilai Pancasila terutama nilai keadilan dan kepatutan.

b. Saran

(29)

penerus Bangsa haruslah menyadari arti pentingnya nilai – nilai Pancasila sehingga kita dapat menggali lebih dalam mengenai Pancasila tersebut kemudian mampu melestarikannya dengan cara menjadikan Pancasila itu sebagai landasan hukum adat yang menjadi primum remedium dalam daerah adat masing – masing.

Sanksi Hukum adat (khususnya adat Yogyakarta) diharapkan dapat masuk dalam Sistem hukum nasional dan menyesuaikan dengan kesepakatan antara pihak yang dirugikan dengan pemuka adat (ada pembaharuan dalam pemberian sanksi) untuk menangani masalah Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini, Tidak hanya sanksi Adat Yogyakarta yang menerapkan sanksinya terhadap tindak pidana korupsi tetapi Sanksi Adat dari berbagai daerah dapat masuk dan bergabung untuk memberantas tuntas Tindak Pidana Korupsi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional.Bandung: Mandar Maju, 2004.

Jaya, Nyoman Serikat Putra. Relevansi Hukum Pidana Adat dalam

PembaharuanHukum Pidana Nasional.Bandung:Citra Aditya Bakti,2005

(30)

Koeswadji, Hermin Hadiati. Aspek Budaya Dalam Pemidanaan Delik Adat, Makalah dalam Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama Terhadap Pidana.Denpasar: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, 1975.

Muladi,Lembaga Pidana Bersyarat.Bandung: Alumni, 1985.

Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995.

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung:Sinar Baru, 1983.

Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni,1986.

Tim Redaksi, Keraton Yogyakarta , http://pustaka-makalah.blogspot.com, 27 oktober 2014 pukul 15.56.

Tjitra, Made. Wawancara Pribadi Kelian Adat Dusun Nujak, Desa Adat Sepang, Kecamatan busungbiu, Buleleng, 17 september 1977. Wignjodipuro, Surojo.Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.

(31)

Hasil Wawancara

Nama Narasumber : Yohanes Sukarno

Tempat, tanggal lahir : Gunung Kidul, 5 Maret 1957

Usia : 57 Tahun

Jabatan Adat : Anggota Masyarakat adat

Alamat : Desa Gading VII Kec. Playen,

Kab. Gunung Kidul,Yogyakarta

1). Bagaimana perkembangan hukum adat di Yogyakarta? Perkembangan hukum adat di Yogyakarta mengikuti

perkembangan budaya dewasa ini.Artinya hukum adat mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.Contohnya :

- Cara berpakaian sudah tidak memakai kebaya dalam kehidupan sehari-hari.

- Perkawinan adat dahulu hanya sah secara agama dan tidak dicatatkan , sekarang harus sah secara agama maupun negara karena mengikuti aturan dalam UU No. 1 Tahun 1974.

- Mata pencaharian masyarakat dahulu sebagai petani, pedagang ,sekarang masyarakat banyak yang bekerja di berbagai sektor.

2). Masihkah sanksi adat memiliki kekuatan yang mengikat masyarakat?

(32)

mengatur masyarakat. Contohnya: masyarakat yang tidak mengikuti gotong-royong, sanksi adatnya dikucilkan oleh masyarakat,

masyarakat yang tidak datang dalam acara kenduri (doa untuk memperingati meninggalnya seseorang) akan dikucilkan.

3). Dalam hukum adat tidak terdapat istilah korupsi, dapatkan tindak pidana korupsi disamakan dengan kasus pencurian ataupun penipuan?

Saya rasa, tindak pidana korupsi ini dapat dikatakan sebagai kasus pencurian sekaligus kasus penipuan.Namun pemberian sanksinya lebih berat dibandingkan dengan kasus pencurian maupun penipuan.

4). Bagaimana jika tindak pidana korupsi diberikan sanksi hukum adat di Yogyakarta?

Tidak menjadi masalah dan bisa diterapkan. Namun pemberian sanksi adat di Yogyakarta seperti dikucilkan, diasingkan, dicemooh , saya rasa kurang memberikan efek jera pada pelaku yang tidak punya rasa malu. Jika ingin menerapkan sanksi adat, berikan sanksi yang sesuai dengan pribadi pelaku agar dapat memberikan efek jera, namun pemberian sanksi adat ini harus memenuhi rasa keadilan dan tidak berlaku sewenang-wenang terhadap pelaku korupsi.

5). Setujukah anda bila ada pembaharuan dalam pemberian sanksi adat dengan penberian sanksi atas kesepakatan antara pihak yang dirugikan dengan masyarakat adat contohnya memperkerjakan pelaku sebagai pegawai rendahan di kantornya?

(33)

pidana, namun sanksi adat dapat berdampak pada psikis dari pelaku korupsi.

Hasil Angket:

1. Apakah anda mengetahui apa itu korupsi? a. Ya

b. Tidak

(34)

2. Darimana anda mengetahui mengenai korupsi? a. Keluarga

b. Teman (lingkungan)

c. Media cetak dan/atau media elektronik d. Tidak tahu

e. Lainnya,yaitu:...

HASIL : Responden yang memilih a = 0 orang,atau 0 % Responden yang memilih b = 0 orang,atau 0 % Responden yang memilih c = 46 orang,atau 92 % Responden yang memilih d = 0 orang,atau 0 % Responden yang memilih e = 4 orang,atau 8 %

3. Menurut anda, apakah sanksi hukum yang diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi sekarang ini telah efektif dalam memberikan efek jera?

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

d. Lainnya,yaitu:...

HASIL : Responden yang memilih a = 1 orang,atau 2 % Responden yang memilih b = 44 orang,atau 88 % Responden yang memilih c = 0 orang,atau 0 % Responden yang memilih d = 5 orang,atau 10 %

(35)

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

d. Lainnya,yaitu:...

HASIL : Responden yang memilih a = 31 orang,atau 62 % Responden yang memilih b = 7 orang,atau 14 % Responden yang memilih c = 11 orang,atau 22 % Responden yang memilih d = 1 orang,atau 2 %

5. Menurut anda, pelaku tindak pidana korupsi, seharusnya: a. Di hukum menggunakan perundang – undangan yang

berlaku

b. Diberi sanksi adat c. A dan B

d. Tidak tahu

e. Lainnya, yaitu:...

HASIL : Responden yang memilih a = 15 orang,atau 30 % Responden yang memilih b = 3 orang,atau 6 % Responden yang memilih c = 27 orang,atau 54 % Responden yang memilih d = 0 orang,atau 0 % Responden yang memilih e = 5 orang,atau 10 %

6. Menurut anda, apakah sanksi terhadap tindak pidana korupsi dapat menggunakan sanksi hukum adat (khususnya

menggunakan adat Yogyakarta)? a. Ya

b. Tidak c. Tidak tahu

(36)

HASIL : Responden yang memilih a = 23 orang,atau 46 % Responden yang memilih b = 14 orang,atau 28 % Responden yang memilih c = 11 orang,atau 22 % Responden yang memilih d = 2 orang,atau 4 %

7. Menurut anda, dapat disamakan dengan apakah Tindak Pidana Korupsi tersebut jika dikaitkan dengan sanksi adat Yogyakarta? a. Pencurian

b. Penipuan c. A dan B d. Tidak tahu

e. Lainnya, yaitu:...

HASIL : Responden yang memilih a = 10 orang,atau 20 % Responden yang memilih b = 2 orang,atau 4 % Responden yang memilih c = 24 orang,atau 48 % Responden yang memilih d = 12 orang,atau 24 % Responden yang memilih e = 2 orang,atau 4 %

8. Menurut anda, Jika sanksi adat Yogyakarta diberlakukan terhadap tindak pidana korupsi, maka sanksi tersebut seharusnya diberikan:

a. diberikan secara terpisah dengan sanksi hukum nasional yang berlaku

b. diberikan secara bersamaan dengan sanksi hukum nasional yang berlaku

c. tidak tahu

d. lainnya, yaitu:...

(37)

Responden yang memilih b = 28 orang,atau 56 % Responden yang memilih c = 5 orang,atau 10 % Responden yang memilih d = 1 orang,atau 2 %

9. bila seorang pelaku tindak pidana korupsi diberi sanksi adat Yogyakarta,sebagai contoh seorang mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, menurut anda sanksi adat seperti apa yang sesuai(layak) diberikan kepadanya?

a. Hanya Dicemooh b. Hanya Dikucilkan

c. diusir dari daerah tempat tinggalnya

d. dijatuhi sanksi sesuai kesepakatan antar masyarakat adat dengan pihak yang dirugikan,misalnya: menjadi cleaning service di perusahaan tempat si pelaku korupsi

e. lainnya,yaitu: ...

HASIL : Responden yang memilih a = 1 orang,atau 2 % Responden yang memilih b = 1 orang,atau 2 % Responden yang memilih c = 8 orang,atau 16 % Responden yang memilih d = 29 orang,atau 58 % Responden yang memilih e = 11 orang,atau 22 %

10. Menurut Anda Dalam penjatuhan sanksi adat Yogyakarta terhadap kasus pidana korupsi, lebih menekankan pada pelaku tindak pidana korupsi saja atau dengan keluarga pelaku yang ikut menikmati hasil korupsi?

a. Hanya pelaku

b. Pelaku beserta anggota keluarga yang ikut menikmati alasannya,yaitu:...

(38)

Responden yang memilih b = 23 orang,atau 46 %

11. Apabila seorang pelaku tindak pidana korupsi merasa

keberatan dengan pemberian sanksi adat Yogyakarta, apakah ada alternatif lain yang dapat diberikan kepadanya?

a. Ada, yaitu :... b. Tidak ada

HASIL : Responden yang memilih a = 17 orang,atau 34 % Responden yang memilih b = 33 orang,atau 66 %

12. Menurut Anda apakah dengan pemberian Sanksi Adat Yogyakarta dalam kasus tindak pidana korupsi dapat memberikan efek jera terhadap pelaku?

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

d. Lainnya, yaitu...

HASIL : Responden yang memilih a = 19 orang,atau 38 % Responden yang memilih b = 16 orang,atau 32 % Responden yang memilih c = 9 orang,atau 18 % Responden yang memilih d = 6 orang,atau 12 %

13. Menurut Anda apakah dengan pemberian Sanksi Adat Yogyakarta dalam kasus tindak pidana korupsi dapat memberikan pembaruan dalam hal sistem hukum nasional? a. Ya

b. Tidak c. Tidak tahu

(39)

HASIL : Responden yang memilih a = 26 orang,atau 52 % Responden yang memilih b = 11 orang,atau 22 % Responden yang memilih c = 12 orang,atau 24 % Responden yang memilih d = 1 orang,atau 2 %

14. Menurut Anda, apakah dengan pemberian Sanksi Adat Yogyakarta dalam kasus tindak pidana korupsi dapat memberikan rasa takut kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana korupsi?

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahun

d. Lainnya,yaitu...

HASIL : Responden yang memilih a = 23 orang,atau 46 % Responden yang memilih b = 13 orang,atau 26 % Responden yang memilih c = 12 orang,atau 24 % Responden yang memilih d = 2 orang,atau 4 %

15. Menurut Anda, sanksi adat Yogyakarta lebih efektif diberikan, sebelum hakim memutus perkara atau setelah hakim memutus perkara terhadap pelaku?

a. Sebelum hakim memutus perkara b. Sesudah hakim memutus perkara

c. Lainnya,yaitu...

Referensi

Dokumen terkait

Efektifitas keberadaan usaha mikro kecil menengah di Provinsi Jawa Tengah perlu didukung dengan adanya kerangka kerja tata kelola kelembagaan yang dapat mengkondusifkan serta

Tidak lama setelah film Ip Man ditayangkan untuk masyarakat, seni bela diri Cina Wing Chun, menjadi seni bela diri yang sangat popular.. Wing Chun telah di pelajari oleh

• Teman-teman dan banyak pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dan memberikan dukungan moral dan semangat sehingga skripsi ini bisa selesai tepat

Pada tanggal 28 Desember 2010 dan 21 April 2011, Entitas Induk bersama dengan SDN, DKU, BIG dan PT Mitra Abadi Sukses Sejahtera, pihak berelasi, menandatangani

Dimana saat ada gangguan pada BUS 8 yang pertama kali merespon adalah relai WTP & Office NEW 1 dengan men trigge r CB 9 untuk open sehingga gangguan bisa di lokalisir.

Hal ini relevan dengan elemen komunikasi pemasaran yakni penjualan perorangan merupakan salah satu bentuk komunikasi secara langsung antara penjualan dengan calon

Untuk mengatasi masalah tersebut maka dibuat aplikasi memiliki ruang lingkup sebagai berikut : proses pembelian, penjualan offline, online, pelunasan hutang piutang,

Anggota yang masih aktif memainkan gejog lesung saat ini sekitar 10 orang. Anggota dari komunitas Tjipto Sworo ini mayoritas ibu-ibu dan orang- orang sudah lanjut