• Tidak ada hasil yang ditemukan

Campur kode dalam karangan siswa kelas III SD Negeri Kereo 02 Tangerang tahun pelajaran 2014/2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Campur kode dalam karangan siswa kelas III SD Negeri Kereo 02 Tangerang tahun pelajaran 2014/2015"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Trabiyah dan Keguruan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar

Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh KHAIRUN NISA NIM 1111018300014

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

ii

pada karangan siswa kelas III SD Negeri Kereo 02 Tangerang tahun pelajaran 2014/2015. Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri Kereo 02 Tangerang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis (kualitatif). Teknik analisis data yang digunakan dengan cara mengumpulkan data, mereduksi data, kemudian mengelompokkan jenis campur kode yang terdapat pada karangan siswa (pengumpulan, membaca teliti, identifikasi campur kode, klasifikasi campur kode, pernyataan campur kode, penyajian data, menarik kesimpulan). Data pada penelitian ini bersumber dari siswa kelas III-A SD Negeri Kereo 02 Tangerang sebanyak 31 siswa. Berdasarkan hasil analisis terdapat 16 data yang menggunakan campur kode, campur kode berwujud kata dan frasa, serta jenis campur kode yang digunakan adalah campur kode keluar (bahasa Inggris) dan campur kode kedalam (bahasa derah Betawi dan Jawa). Latar belakang siswa menggunakan campur kode dalam menulis karangan diantaranya (1) terbiasanya siswa menggunakan bahasa tersebut dalam berbicara, (2) seringnya siswa menyimak bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari, (3) kurangnya penguasaan bahasa Indonesia, sehingga siswa menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing dalam menyampaikan informasi.

(6)

iii

This study aims to describe the use of code-mixing in the essay Elementary School third grade students. This study was conducted in 02 primary schools Kereo Tangerang. The method used in this research is descriptive analysis (qualitative). Data analysis techniques used by collecting data, reduce the data, then perform error analysis of language (collection, reading carefully, error identification, classification error, error statement, presentation of data, draw conclusions). The data in this study came from the students of class III-A SDN Kereo 02 Tangerang many as 31 students. Based on the analysis contained 16 data using the code-mixing, code-mixing intangible said, as well as mixed types of code used is extern code-mixing (English) and intern code-mixing (Batavian and Javanese language). The background of the students using the code-mixing in writing essays include (1) students use the language in speech, (2) the frequency of students listening to language in everyday life, (3) lack of mastery of Indonesian, so students use the local language or languages foreigners in conveying information.

(7)

iv

rahmat dan kuasaNya sehingga skipsi ini yang berjudul “Campur Kode Karangan Siswa Kelas III SD Negeri Kereo 02 Tangerang Tahun Pelajaran 2014/2015” dapat penulis selesaikan.

Penulisan skripsi ini dimaksud untuk melengkapi dan memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) dalam memperoleh gelar sarjana pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena melalui berbagai tahap kegiatan, serta berkat upaya dan partisipasi berbagai pikah yang telah membantu, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiya dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Khalimi, M.Ag. selaku ketua jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Asep Ediana Latip, M.Pd. selaku sekertaris jurusan jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Makyun Subuki, M.Hum. selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

(8)

6. Drs. H. Sarmili selaku kepala SD Negeri Kereo 02 Tangerang yang telah memberikan izin melakukan penelitian di sekolah.

7. Andriyeni, S.HI. selaku wali kelas dimana peneliti melakukan penelitian yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Teristimewa kedua orang tua yang telah memberikan doa, dorongan moral maupun materil kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Serta adik Ibnu Fauzan yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Terkasih Y. Mahendra. D yang telah memberikan semangat dan membantu penulis dalam menyelesikan data penelitian.

10.Sahabat-sahabat tersayang Sisi Rahmah Liyanti, Halimah Tusya’diah, Badriatul Awaliyah, Rata Syarifah, Mega Fatia N, dan seluruh teman-teman PGMI angkatan 2011 yang tak bisa disebutkan satu persatu, yang telah membantu dan memotivasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Akhirnya kehadirat Allah Swt jualah penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat , khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak yang membaca dan membutuhkannya.

Aamiin yaa rabbal’alamiin

Jakarta, 3 Oktober 2015

(9)

vi

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4

D. Tujuan Penelitian ... 5

E. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN TEORI A. Sosiolinguistik ... 6

B. Campur Kode ... 12

C. Kedwibahasaan ... 22

E. Karangan ... 27

F. Penelitian yang Relevan ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

B. Subjek Penelitian ... 35

C. Metode Penelitian ... 35

D. Data dan Sumber Penelitian ... 36

E. Teknik Pengumpulan Data ... 36

F. Teknik Analisis Data... 37

BAB IV PEMBAHASAN A. Profil Sekolah ... 39

(10)

2. Lokasi Sekolah ... 39

3. Data Perlengkapan Sekolah... 39

4. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan ... 40

B. Analisis Data ... 41

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

(11)

viii

LAMPIRAN 3 Tabel analisis campur kode ... 69

LAMPIRAN 4 Tabel analisis campur kode ... 70

LAMPIRAN 5 Tabel analisis campur kode ... 71

LAMPIRAN 6 Tabel analisis campur kode ... 72

LAMPIRAN 7 Tabel analisis campur kode ... 73

LAMPIRAN 8 Tabel analisis campur kode ... 74

LAMPIRAN 9 Tabel klasifikasi wujud campur kode ... 75

LAMPIRAN 10 Tabel klasifikasi jenis campur kode ... 76

LAMPIRAN 11 Hasil karangan siswa ... 77

LAMPIRAN 12 Hasil karangan siswa ... 78

LAMPIRAN 13 Hasil karangan siswa ... 79

LAMPIRAN 14 Hasil karangan siswa ... 80

LAMPIRAN 15 Hasil karangan siswa ... 81

LAMPIRAN 16 Hasil karangan siswa ... 82

LAMPIRAN 17 Hasil karangan siswa ... 83

LAMPIRAN 18 Hasil karangan siswa ... 84

LAMPIRAN 19 Hasil karangan siswa ... 85

LAMPIRAN 20 Hasil karangan siswa ... 86

LAMPIRAN 21 Hasil karangan siswa ... 87

LAMPIRAN 22 Hasil karangan siswa ... 88

LAMPIRAN 23 Hasil karangan siswa ... 89

LAMPIRAN 24 Hasil karangan siswa ... 90

LAMPIRAN 25 Hasil karangan siswa ... 91

LAMPIRAN 26 Hasil karangan siswa ... 92 LAMPIRAN HASIL WAWANCARA SISWA

(12)

A.

Latar Belakang

Banyaknya siswa menulis karangan dengan menggunakan bahasa yang beragam pada setiap kalimat. Bahasa merupakan alat yang digunakan untuk berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Berkomunikasi tidak hanya dengan menggunakan lisan, tetapi juga dengan menggunakan tulisan. Indonesia memiliki beragam bahasa daerah, namun untuk mempersatukan berbagai macam bahasa daerah guna pemahaman dalam berkomunikasi maka digunakan bahasa Indonesia. Solusi penggunaan bahasa Indonesia tidak saja langsung menghilangkan bahasa daerah dalam menulis. Seperti Sekolah Dasar Negeri Kereo 02 terletak di Tangerang dimana siswa dan guru lebih banyak bersuku Betawi dan Jawa yang biasanya dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Hal ini memungkinkan masih banyak terselip bahasa daerah atau bahasa sehari-hari dalam kegiatan menulis.

Salah satu aspek penting dalam perkembangan kognitif anak adalah perkembangan bahasa. Pada usia sekolah dasar, kemampuan anak berkembang lebih kompleks. Indikasi perkembangan tersebut dapat terlihat dalam karangan siswa-siswi MI serta implikatur percakapan yang dihasilkan oleh siswa-siswi MI. Temuan Mujiyono dalam buku Dindin Ridwanuddin tentang implikatur percakapan anak usia SD juga memverifikasi pendapat tentang kemampuan linguistik anak usia SD, lebih dari itu Mujiyono dalam Dindin mengemukakan bahwa (i) bentuk lingual implikatur percakapan anak usia SD sudah bervariasi dan kompleks, (ii) implikatur percakapan anak usia SD mencakup dua belas macam mulai menginformasikan fakta sampai meyakinkan, (iii) implikasi pragmatis implikatur percakapan usia sekolah dasar mencakup enam macam, (iv)

(13)

dalam penguasaan implikatur percakapan anak memakai empat strategi: pelepasan pengembangan ilokusi, pembiasaan, dan penalaran.1

Dalam percakapan kehidupan sehari-hari kita tidak lepas dari bahasa ibu yang digunakan. Tentunya penguasaan percakapan yang dimiliki tidak lepas dari pembiasaan dan penalaran yang digunakan dalam berkomunikasi. Dalam berkomunikasi secara lisan penggunaan bahasa secara nonformal seperti bahasa ibu digunakan sebagai cara agar komunikasi berjalan lancar dalam situasi nonformal. Sebaliknya penggunaan bahasa secara formal lebih baik digunakan dalam situasi formal. Berbeda dengan percakapan atau berkomunikasi bentuk tulis. Ketika kita menulis sebuah karangan dalam pelajaran bahasa Indonesia penggunaan bahasa Indonesia harus digunakan sebaik-baiknya mengingat situasi sekolah merupakan situasi formal. Namun pada kenyataannya karangan siswa menggunakan bahasa daerah atau bahasa Inggris dalam menyampaikan cerita. Hal ini merupakan gejala campur kode yang terdapat pada karangan siswa. Penggunaan campur kode pada karangan siswa memungkinkan dikarenakan oleh kurangnya penguasaan bahasa Indonesia oleh siswa, sehingga dalam menyampaikan informasi siswa menggunakan bahasa lain yang mereka pahami. Selain itu keadaan lingkungan sekitar memiliki peranan penting pada penggunaan campur kode dalam menulis karangan. Siswa yang sering menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi akan mempengaruhi, karena siswa menggunakan bahasa yang sering ia gunakan dalam menulis. Berbeda dengan siswa yang sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dalam berkomunikasi, mereka akan menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia karena pembiasaan yang dilakukan dan penguasaan kosakata bahasa Indonesia semakin bertambah.

Keterampilan berbahasa terdiri dari empat bagian yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keterampilan menulis merupakan keterampilan yang tertinggi, karena sebelum menulis seseorang harus

1

(14)

mampu menyimak, berbicara, membaca. Menulis adalah menuangkan fikiran dengan menggunakan kata-kata, sehingga dapat diperkirakan bagaimana pengaruh keretampilan menyimak, berbicara, dan membaca mempengaruhi keterampilan menulis. Seseorang yang sering menyimak orang lain berbicara dengan menggunakan bahasa derah atau bahasa ibu tidak menutup kemungkinan, ketika ia berbicara akan mengikuti bahasa yang disimaknya. Begitu juga dengan keterampilan menulis, ia akan menggunakan bahasa yang sering disimak, saat ia berbicara, bahkan saat ia membaca. Hal ini akan menimbulkan penggunaan kata atau bahasa daerah dalam sebuah karangan. Terlebih lagi jika di sekolah menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan dengan teman sebaya dan saat dirumah menggunakan bahasa daerah atau bahasa ibu maka tidak menutup kemungkinan siswa tersebut mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah atau ibu yang sering ia dengar.

Penggunaan atau pentransferan unsur-unsur bahasa pertama ini lama-lama akan berkurang, dan mungkin juga akan menghilang sejalan dengan kemampuan bahasa kedua itu. Namun, secara teoretis tidak akan ada orang yang mempunyai kemampuan berbahasa kedua sama baiknya dengan kemampuan berbahasa pertama, kemungkinan yang terjadi adalah orang yang mempunyai kemampuan berbahasa kedua dalam satu bidang kegiatan atau keilmuan.2 Penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah atau bahasa ibu tersebut yang peneliti katakana sebagai campur kode yang akan diteliti oleh peneliti.

Terlebih saat ini adalah era globalisasi, dimana bahasa asing dianggap penting dalam berkomunikasi. Penggunaan bahasa asing dalam beberapa tulisan juga sering kita lihat dalam beberapa buku bacaan. Lebih dari itu perkembangan teknologi yang semakin canggih juga mempengaruhi keterampilan berbahasa. Semakin maraknya bahasa-bahasa seperti bahasa dengan teman sebaya atau yang disebut dengan bahasa gaul mempengaruhi penggunaan bahasa seorang siswa dalam menulis

2

(15)

karangan. Hal ini menimbulkan adanya pencampuran kata-kata yang biasanya digunakan dalam berkomunikasi dengan teman sebaya dalam sebuah karangan bahasa Indonesia. Berbagai permasalahan tersebut menimbulkan banyaknya campur kode yang dilakukan seorang siswa. Untuk mengungkapkan pemikiran siswa ketika ia tidak mengetahui bahasa Indonesia yang benar, maka siswa menggunakan bahasa daerah atau bahasa ibu untuk menyampaikan pemikirannya. Bahkan siswa dapat menggunakan bahasa asing atau bahasa gaul dalam menulis sebuah karangan untuk mengungkapkan pikirannya dalam bentuk tulisan.

Karena banyaknya siswa yang menggunakan campur kode oleh karena latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Campur Kode dalam Karangan Siswa Kelas III SD Negeri Kereo 02 Tangerang Tahun Pelajaran 2014/2015.”

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka masalah yang akan diteliti yaitu:

1. Banyaknya siswa yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam menulis karangan.

2. Banyaknya siswa yang mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa santai yang biasa dilakukan dengan teman sebaya.

3. Kurangnya penguasaan bahasa Indonesia dalam menulis karangan. 4. Penguasaan dua bahasa yang dimiliki siswa.

C.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

(16)

2. Perumusan Masalah

Dengan adanya pembatasan masalah yang telah ditentukan peneliti, maka rumusan masalah yang didapat adalah “bagaimana wujud dan jenis campur kode dalam karangan siswa kelas III SD Negeri Kereo 02 Tangerang tahun pelajaran 2014/2015?

D.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan campur kode pada karangan siswa kelas III SD Negeri Kereo 02 Tangerang tahun pelajaran 2014/2015.

E.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Untuk lebih jelasnya mengenai kedua manfaat tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

1.1 Peneliti mendapatkan ilmu baru mengenai linguistik khususnya sosiolinguistik

1.2 Sebagai bahan masukan guru dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan benar supaya tidak terjadi penggunaan bahasa daerah dalam kegiatan menulis.

1.3 Menambah pengetahuan mengenai campur kode dalam kegiatan menulis.

2. Manfaat Praktis

2.1 Bagi siswa diharapkan dapat meningkatkan semangat dan minat dalam menulis.

2.2 Bagi guru dapat mengevaluasi pembelajaran bahasa Indonesia dengan tepat.

(17)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Sosiolinguistik

Linguistik merupakan sebuah kajian bahasa yang mempelajari bahasa sebagai kebudayaan pada suatu masyarakat tertentu. Tidak dipungkiri bahasa merupakan sebuah kebudayaan bagi suatu daerah. Menggunkan bahasa tersebut merupakan satu cara melestarikan kebudayaan yang dimiliki. Karena linguistik merupakan kajian bahasa yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, maka objek kajian linguistik terbagi menjadi beberapa bagian salah satunya adalah sosiolinguistik yang akan dibahas pada pembahasan mengenai sosiolinguistik.

Menurut De Saussure dalam Chaer dan Leonie menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya. Kemudian pada pertengahan abad ini pakar di bidang bahasa merasa perlu adanya perhatian lebih terhadap dimensi kemasayrakatan bahasa, karena ternyata dimensi kemasyarakatan bahasa bukan hanya memberi “makna” kepada bahasa, tetapi juga menyebabkan terjadinya ragam-ragam bahasa. Lalu, dilihat dari sudut lain, ragam-ragam bahasa ini bukan hanya dapat menunjukkan adanya perbedaan sosial dalam masyarakat, tetapi juga memberi indikasi mengenai situasi berbahasa, dan mencerminkan tujuan, topik, kaidah, dan modus-modus penggunaan bahasa.3

Bedasarkan objek kajiannya, apakah struktur internal bahasa atau bahasa itu dalam hubungannya dengan faktor-faktor diluar bahasa dibedakan dengan adanya linguistik mikro dan linguistik makro (dalam kepustakaan lain disebut mikrolinguistik dan makrolinguistik)

3

Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: PT Rhineka Cipta, 2004), h. 2

(18)

Linguistik mikro mengarahkan kajiannya pada struktur internal suatu bahasa tertentu atau struktur internal bahasa pada umumnya. Sejalan dengan adanya subsistem bahasa, maka dalam linguistik mikro ada subdisiplin linguistik fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikologi. Ada juga yang menggabungkan morfologi dan sintaksis menjadi morfosintaksis, dan menggabungkan semantik dan leksologi menjadi leksikosemantik. Fonologi menyelidiki ciri-ciri bunyi bahasa, cara terjadinya, dan fungsinya dalam sistem kebahasaan secara keseluruhan. Morfologi menyelidiki struktur kata, bagian-bagiannya, serta pembentukannya. Sintaksis menyelidiki satuan kata dan satuan-satuan lain di atas kata, hubungan satu dengan lainnya, serta cara penyususnan sehingga menjadi satu ujaran.

Studi linguistik mikro ini sesungguhnya merupakan studi dasar linguistik sebab yang dipelajari adalah struktur internal bahasa itu. Sedangkan linguistik makro, yang menyelidiki bahasa dalam kaitannya dengan faktor-faktor di luar bahasa, lebih membahasa faktor diluar bahasanya dari pada struktur internal bahasa, karena banyaknya masalah diluar bahasa, maka subdisiplin linguistik makro itu pun manjadi sangat banyak. Dalam berbagai buku teks biasanya kita dapati subdisiplin seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolingusitik, etnolinguistik, stilistika, filolongi dialektologi, filsafat bahasa, dan neurolinguistik. Semua itu bersifat teoretik maupun bersifat terapan.4

Dikarenakan pada penelitian ini penulis meneliti mengenai sosiolinguistik, sehingga penulis akan lebih mendalami materi sosiolinguistik yang terjadi pada tingkat sekolah dasar Kereo 02 Tangerang kelas III-A.

Made Iwan Indrawan Jendra dalam bukunya yang berjudul Sociolingistics The Study of Societies Languages menyatakan,

“Sociolinguistic is a branch of linguistic that takes language as an object

study, in a way that is usually distinguished from how syntax, semantic, morphology, and phonology handle it. It is a field that analyzes language

4

(19)

as part of social property. The study explores the function and the varieties of language, the contacts between different languages, attitudes of people towards language use and users, changes of language, as well as plans of language. In the early definition of the study, some linguistics used the term of sociology of language, while others name sociolinguistics. The term sociolinguistics has gained much more popularity both in the studies and in the literatures discussing the subject”. Artinya, Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mengambil bahasa sebagai objek studi, dengan cara yang biasanya dibedakan dari bagaimana sintaks, semantik, morfologi, dan fonologi ditanganiya. Ini merupakan bidang yang menganalisis bahasa sebagai bagian dari kepemilikan sosial. Penelitian ini mengeksplorasi fungsi dan jenis bahasa, kontak antara bahasa yang berbeda, sikap orang terhadap penggunaan bahasa dan pengguna, perubahan bahasa, serta rencana bahasa. Dalam definisi awal penelitian, beberapa linguistik menggunakan istilah sosiologi bahasa, sementara yang lain menyebutkan sosiolinguistik. Sosiolinguistik telah mendapatkan banyak popularitas lebih baik dalam studi dan dalam literatur.5

Sosiolinguistik adalah subdisiplin linguistik yang mempelajari bahasa dalam hubungan pemakaiannya di masyarakat. Dalam sosiolinguistik ini, antara lain, dibicarakan pemakai dan pemakaian bahasa, tempat pemakaian bahasa, tata tingkat bahasa, pelbagai akibat adanya ragam bahasa itu. Sosiolinguistik ini merupakan ilmu interdisipliner antara sosiologi dan linguistik.6 Sosiolinguistik merupakan salah satu subdisiplin linguistik yang merupakan sebuah kajian bahasa dalam kehidupan bersosial atau bermasyarakat. Sosiolinguistik berkaitan erat dengan cara berbahasa antar masyarakat dalam menyampaikan suatu pesan atau maksud dalam lingkungan sosial.

Sosiolinguistik mengalamatkan atau mengarahkan luas/tigkat pemahaman ucapan-ucapan yang dihasilkan dan dipahami secara tepat dan memuaskan dalam berbagai konteks sosiolinguistik yang tergantung pada faktor-faktor kontekstual seperti status partisipan, maksud/tujuan interaksi, dan norma-norma atau konveksi-konveksi interaksi terhadap faktor-faktor tersebut.7 Pemahaman ucapan yang digunakan dalam menyampaikan

5

Made Iwan Indrawan Jendra, Sociolingistics The Study of Societies Languages, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 9.

6

Chaer, op. cit., h. 16.

7

(20)

maksud atau tujuan bergantung pada status partisipan agar dimengerti oleh partisipan maka narasumber atau pembicara harus menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh partisipan, hal ini juga bergantung pada status sosial partisipan. Norma-norma dalam berinteraksi atau berkomunikasi perlu diperhatikan karena setiap tempat berbeda partisipan berbeda juga norma yang berlaku sehingga dalam menyampaikan maksud atau tujuan dapat dengan mudah dipahami oleh partisipan.

Sosiolinguistik merupakan ilmu antar disiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan erat. Maka, untuk memahami apa sosiolinguistik itu, perlu terlebih dahulu dibicarakan apa yang dimaksud dengan sosiologi dan linguistik itu. Tentang sosiologi telah banyak batasan yang dibuat oleh para sosiolog, yang sangat bervariasi, tetapi yang intinya kira-kira adalah bahwa sosiologi itu adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial di dalam masyarakat.8

Sementara Fishman, pakar sosiolinguistik yang andilnya sangat besar dalam kajian sosiolinguistik, mengatakan kajian sosiolinguistik lebih bersifat kualitatif, sedangkan kajian sosiologi bahasa bersifat kuantitatif. Jadi sosiolinguistik lebih berhubungan dengan perincian-perincian penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian bahasa/dialek tertentu yang dilakukan penutur, topik, latar pembicaraan.9

Menurut Wardaugh dalam bukunya yang berjudul An Introduction To Sociolinguistics dijelaskan “Some investigators have found it appropriate to try to introduce a distinction between sociolinguistic or micro sociolinguistic and the sociology of language or macro-sociolinguistic, in this distinction, sociolinguistic is concerned with investigating of relationship between language and society with the goal being better understanding of the structure of language and of how languages function in communication, the equivalent goal in the sociology of language is trying to discover how social structure can be better understood through the study of language, how certain linguistics feature

8

Abdul Chaer, Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: PT Rhineka Cipta, 2004), h. 2.

9

(21)

serves to characterize particular social arrangements.” Yang artinya Beberapa peneliti telah menemukan yang tepat untuk mencoba untuk memperkenalkan perbedaan antara sosiolinguistik atau mikro sosiolinguistik dan sosiologi bahasa atau makro-sosiolinguistik, dalam perbedaan ini, sosiolinguistik berkaitan dengan menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat dengan tujuan menjadi pemahaman yang lebih baik dari struktur bahasa dan bagaimana bahasa berfungsi dalam komunikasi, tujuan setara dalam sosiologi bahasa sedang mencoba untuk menemukan bagaimana struktur sosial dapat dipahami dengan lebih baik melalui studi bahasa, bagaimana tertentu fitur linguistik berfungsi untuk mengkarakterisasi pengaturan sosial tertentu.10

Menurut pandangan sosiolinguistik mekanisme perubahan bahasa dapat dipahami dengan mempelajari dorongan-dorongan sosial yang memacu panggunaan bentuk-bentuk yang bervariasi di tengah lingkungan yang beraneka ragam. Contohnya , pejabat-pajabat di Indonesia cenderung mengucapkan akhiran (kan), misalnya dalam kata mamadukan sebagai (memaduken), sementara masyarakat kebanyakan tetap mengucapkannya sebagaimana tertulis (memadukan).11 Perubahan bahasa yang terjadi timbul akibat dorongan sosial dalam bermasyarakat. Beraneka ragam lingkungan sosial yang dialami oleh seseorang maka akan beraneka ragam pula perubahan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi menyampaikan maksud atau tujuan. Seperti ketika seseorang berada dalam lingkungan pedesaan akan berbeda dengan seseorang ketika sedang berada dalam lingkungan kota. Keadaan sosial tersebut yang mendorong perubahan bahasa yang dimiliki oleh seseorang.

Sociolinguistic is the study of the relationship between language use and the structure of society. It takes into account such factors as the social backgrounds of both the speaker and the addressee (i.e. their age, social class, ethnic background, degree of integration into their neighborhood, etc.), the relationship between speaker and addressee (good friends, employer – employee, teacher – pupil, grandmother grandchild, etc.) and the context and manner of the interaction (in the supermarket, in a TV studio, over the phone, etc.), maintaining that they are crucial to an understanding of both the structure of function of the language used in a situation. Because of the emphasis placed on language

10

Ronald Wardaugh, An Introduction To Sociolinguistics, (Padstow: blackwell publisher,2010), h. 12.

11

(22)

use, a sociolinguistically adequate analysis of language is typically based on (sound or video) recordings of everyday interaction (e.g. dinner-time, conversation with friends, doctor-patient consultation, TV discussion programs, etc.). Bahwa Sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara penggunaan bahasa dan struktur masyarakat. Ini memperhitungkan faktor-faktor seperti latar belakang sosial dari kedua pembicara dan penerima (yaitu usia mereka, kelas sosial, latar belakang etnis, tingkat integrasi ke dalam lingkungan mereka, dll), hubungan antara pembicara dan penerima (teman baik, majikan - karyawan, guru - murid, nenek - nenek, dll) dan konteks dan cara interaksi (di supermarket, di studio TV, melalui telepon, dll), mempertahankan bahwa mereka sangat penting untuk memahami kedua struktur fungsi bahasa yang digunakan dalam situasi. Karena penekanan pada penggunaan bahasa, analisis sosiolinguistik memadai bahasa biasanya didasarkan pada (suara atau video) rekaman interaksi sehari-hari (misalnya waktu makan malam, percakapan dengan teman-teman, konsultasi dokter-pasien, program diskusi TV, dll).12

Seorang linguis dapat memanfaatkan sosiologi untuk menganalisis bahasa yang ia temukan. Untuk kepentingan ini, lahirlah apa yang disebut sosiologi bahasa atau sosiolinguistik.13

Sosiolinguistik lebih mementingkan pemakaian bahasa oleh individu-individu dalam konteks sosialnya, sedangkan sosioligi bahasa mementingkan keragaman bahasa sebagai akibat pelapisan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dengan sosiolinguistik, kita terpanggil untuk mempelajari dan meyelesaikan konflik bahasa dan perencanaan bahasa di daerah tertentu.

Dalam sosiolinguistik dipersoalkan pembicara, bahasa apa atau variasi bahasa, apa yang dibicarakan, kepada siapa, dan kapan terjadi pembicaraan. Dalam sosiolinguistik kita behadapan dengan varasi bahasa. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguitik merupakan gabungan antara sosiologi dan linguistik dimana sosiologi mempelajari hubungan antar masyarakat sosial sedangkan linguistik mempelajari bahasa. Sosiolinguistik merupakan subdisiplin linguistik yang mempelajari bahasa dalam hubungan pemakaiannya di masyarakat.

12

Andrew Radford, etc. linguistics an Introduction, (New York: Cambridge University Press, 2009) h. 14.

13

(23)

Sosiolinguistik bersifat kualitatif sehingga lebih berhubungan dengan perincian penggunaan bahasa yang sebenarnya. Perubahan-perubahan yang ada dalam penggunaan bahasa, biasanya dikarenakan oleh dorongan-dorongan sosial yang memacu penggunaan bentuk-bentuk variasi di tengah lingkungan yang beraneka ragam.

B. Campur Kode

Berkomunikasi merupakan salah satu kebutuhan makhluk hidup untuk menyampaikan apa yang dimaksudkan. Menurut Pateda dalam Liliana dan Krisanjaya menyatakan, agar berkomunikasi manusia tidak megalami kesulitan dengan bahasa, maka ditetapkan konvensi-konvensi yang harus ditaati. Konvensi itu yang kemudian diatur, diklasifikasi hingga lahir tata bahasa. Namun orang yang tidak memiliki kemampuan tata bahasa pun tetap dapat berkomunikasi. Sebab, sesungguhnya setiap orang normal memiliki kompetensi untuk berbahasa. Kompetensi ini harus dikembangkan sehingga orang tersebut dapat berkomunikasi.14 Bekomunikasi tentunya menggunakan bahasa, penggunaan bahasa ini bergantung pada keadaan sosial dan lingkungan. Berkomunikasi menggunakan bahasa yang berlaku di daerah atau di suatu tempat tertentu sesuai dengan keadan, dalam penggunaan bahasa terdapat beberapa masalah yang terjadi dalam masyarakat yaitu alih kode dan campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini mempunyai kesamaan besar, sehingga seringkali sukar dibedakan. Menurut Suwito, istilah kode dimaksud untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan.15 Kode seperti bentuk yang digunakan dalam berkomunikasi yang telah disepakati bersama.

Kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakkat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai perbedaannya. Namun yang jelas, kalau dalam alih kode setiap bahasa atau

14

Liliana Muliastuti dan Krisanjaya, Linguistik Umum, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 6.5

15

(24)

ragam bahasa yang digunakan masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan standar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Sedangkan dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Seorang penutur misalnya, yang dalam berbahasa bahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya, akan muncul ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa) atau bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Sunda).16 Penggunaan campur kode dalam peristiwa tutur sering terjadi berupa serpihan-serpihan atau kata yang tidak memiliki fungsi keotonomian sebagai sebuah kode.

Ciri yang menonjol dalam campur kode ini ialah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi bahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan demikian, itu disebabkan karena tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa asing; dalam bahasa tulisan, hal ini kita nyatakan dengan mencetak miring atau menggarisbawahi kata/ungkapan bahasa asing yang bersangkutan. Kadang-kadang terdapat juga campur kode ini bila pembicara ingin memamerkan “keterpelajarannya” atau “kedudukannya”.17

Berkomunikasi menggunakan bahasa tentunya digunakan untuk menyampaikan maksud atau tujuan kepada pendengar atau partisipan, namun yang perlu diperhatikan bahawa dalam menyampaikan maksud atau tujuan terlebih dahulu harus mengetahui

16

Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: PT Rhineka Cipta, 2004), h. 114-115.

17

(25)

keadaan sosial partisipan, sehingga sudah sewajarnya jika dalam berkomunikasi terjadi campur kode yang bertujuan untuk memberikan ungkapan yang tepat sesuai dengan keadaan sosial partisipan.

Made Iwan Indrawan Jendra dalam bukunya yang berjudul Sociolingistics The Study of Societies Languages menyatakan, “The concept of code-mixing is used to refer to a more general from language contact that may include case of code-switching and the other from of contacts with emphasize the lexical items. This definition is found in the following excerpt. Artinya Bahwa Konsep campur kode digunakan untuk merujuk kepada yang lebih umum dari kontak bahasa yang mungkin termasuk kasus alih kode dan yang lain dari kontak dengan menekankan item leksikal. Definisi ini ditemukan dalam kutipan berikut.

Pieter Musyken dalam Made Iwan Indrawan Jendra menjelaskan, i am using the term code-mixing to refer to all cases where lexical items and grammatical features from two languages appear in one sentence.

With the scope as found in the quantitation, code-mixing can be used to identify almost an linguistics mixed from resulting from language contacts. Within this, there are three forms of language contact defined, namely alternation, which is roughly similar with code-switching, insertion, which refers to the use of lexical items or entire constituents

from a foreign language, and congruent lexicalization, which refer to „ a

situation where the two languages share a grammatical structure which

can be filled lexically with elements from either language.” Saya menggunakan istilah campu kode untuk mengacu pada semua kasus di mana item leksikal dan gramatikal dari dua bahasa muncul dalam satu kalimat.

Dengan lingkup seperti yang ditemukan dalam kuantisasi, campur kode dapat digunakan untuk mengidentifikasi hampir linguistik diramu dari yang dihasilkan dari kontak bahasa. Dalam hal ini, ada tiga bentuk kontak bahasa didefinisikan, yaitu pergantian, yang kira-kira mirip dengan alih kode, penyisipan, yang mengacu pada penggunaan item leksikal atau seluruh konstituen dari bahasa asing, dan lexicalization kongruen, yang mengacu pada situasi di mana dua bahasa berbagi struktur gramatikal yang dapat diisi leksikal dengan unsur-unsur dari bahasa lain.18

Di antara sesama penutur yang bilingual atau multilingual, sering dijumpai penggunaan dua bahasa atau lebih dalam berkomunikasi. Fenomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu kalimat atau wacana bahasa lain. Kita namai gejala ini campur kode (code mixing). Dengan demikian campur kode dapat

18

(26)

didefinisikan sebagai “penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam suatu wacana menurut pola-pola yang masih belum jelas”. Di Indonesia dikenal dengan bahasa gado yang diibarakan sebagai sajian gado-gado, yakni campuran dari berbagai sayuran. Bahasa gado-gado yang dimaksud yaitu penggunaan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dengan salah satu bahasa daerah.19

Sementara, istilah campur kode merupakan terjemahan dan padanan istilah code mixing dalam bahasa Inggris. Menurut Fasold menyatakan bahwa campur kode adalah fenomena yang lebih lembut daripada fenomena alih kode. Dalam campur kode terdapat sepihan-serpihan suatu bahasa yang digunakan oleh seorang penutur, tetapi pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa yang tertentu (bukan bahasa yang serpihannya dicampurkan). Serpihan-serpihan bahasa itu berasal dari bahasa lain dan biasanya berupa kata, tetapi juga berupa frasa atau unit bahasa yang lebih besar.20

Menurut R.A Hudson dalam bukunya berjudul Sociolinguistic disebutkan the purpose of code-mixing seems to be to symbolize a somewhat ambiguous situation for which neither language on its own would be quite right. To get the right effect the speakers balance the two language against each other as a kind of linguistics cocktail-a few words of one language, then a few words on the other, then back to the first for a few more words and so on.21 Artinya tujuan dari campur kode adalah untuk menjadi sebuah simbol yang ambigu untuk situasi tertentu dimana bahasa tersebut benar atau tidak. Untuk mendapatkan hasil yang benar penutur menyeimbangkan dua bahasa yang berlawanan satu sama lain seperti beberapa jenis linguistik bahasa, kemudian beberapa kata kembali lagi ke kata yang pertama lebih banyak dan begitu seterunya.

Sementara itu menurut Achmad HP dan Abdullah dalam buku yang berjudul linguostik umum menyebutkan bahwa dalam campur kode terdapat kode utama atau kode dasar yang digunakan dan masih memiliki fungsi dan otonomi. Kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur yang berupa serpihan saja, itu tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Misalkan seorang penutur bahasa Indonesia menyelipkan

19

Paul Ohowutun, Sosiolinguistik, (Jakarta: Visipro, 1997), h. 69.

20

Abdul Syukur Ibrahim, H. Suparni, Sosiolinguistik, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h 4.15.

21

(27)

serpihan bahasa daerah atau menyelipkan dialek Betawi/Jakarta, dapat dikatakan melakukan campur kode. 22

Sementara menurut Suwito dalam kondisi yang maksimal campur kode merupakan konvergensi kebahasaan (linguistic convergence), yang unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah meninggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya. Unsur-unsur demikian dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu yang bersumber dari bahasa asli dengan variasi-variasinya (campur kode ke dalam) dan bersumber dari bahasa asing (campur kode ke luar).23 Campur kode ke dalam misalkan dalam suatu kelimat terdapat sebuah kata yang berasal dari bahasa daerah Jawa atau bahasa daerah Betawi, bahasa derah Jawa dan Betawi merupakan bahasa asli dari Indonesia atau merupakan bahasa ibu. Campur kode ke luar seperti dalam sebuah kalimat terdapat sebuah kata yang menggunakan bahasa Inggris atau bahasa Arab dimana bahasa Inggris dan Arab merupakan bahasa luar Indonesia atau bahasa Asing.

Campur kode adalah peristiwa percakapan dengan menggunakan dua bahasa secara bersamaan untuk menunjukkan bahwa mereka beralih dari bahasa satu ke bahasa yang lain selama dalam satu ujaran. peristiwa campur kode sering digunakan oleh bilingual-bilingual, terutama sebagai rasa solidaritas. Hal ini juga sering terjadi pada peristiwa komunikasi pada penutur yang sedang belajar berbahasa. Demikian juga pada pelajar asing yang sedang belajar bahasa Indonesia atau sebaliknya. Diuraikan juga oleh Wardhaugh bahwa seorang penutur campur kode dapat menggunakan bahasa Inggris bila temannya adalah penutur bahasa Inggris monolingual, atau bahasa Spanyol bila teman bicaranya adalah teman Spanyol asli. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa dia adalah dwibahasawan atau „bilingual’ karena dia mampu menggunakan dua bahasa yang dikuasainya dan dapat memahami apa yang dikatakan orang lain.

22

Achmad HP, Alek Abdullah, Linguistik Umum, (Jakarta: Erlangga, 2012), h.158

23

(28)

Selanjutnya dikatakan bahwa seorang dwibahasawan tidak harus mengenal kedua bahasa secara mendalam, asalkan dia mengerti apa yang diutarakan melalui kedua bahasa yang dikuasainya.

Dalam kehidupan sehari-hari, pengunaan ragam ragam nonformal pada situasi formal dianggap sebagai suatu kesalahan, seperti pada kegiatan menulis karangan dengan tema cita-citaku pada siswa kelas III Sekolah Dasar. diketahui dalam menulis karangan khususnya di sekolah merupakan situasi formal, namum banyak yang menggunakan ragam nonformal dalam kegiatan menulis. Oleh karena itu permasalahan penggunaan ragam nonformal dalam situasi formal terletak pada siapa? Apakah rumusan gramatikal bahasa yang digunakan, apakah pengaruh penggunaan bahasa pada kegiatan bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari partisipan? Kalau semua disalahkan kepada partisipan, tentunya tidak adil karena hasil dari kegiatan menulis tersebut merupakan cerminan kemampuan berbahasa seorang partisipan dalam kehidupan sehari-hari ketika menggunakan bahasa untuk bersosialisasi.

Campur kode dan alih kode merupakan dua hal yang sulit dibedakan. Campur kode adalah peristiwa percakapan dengan menggunakan dua bahasa secara bersamaan dalam satu kalimat. Campur kode biasanya menggabungkan bahasa Indonesia dengan bahasa ibu atau bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Penggunaan campur kode ini bisa dilakukan karena ketidaksengajaan atau disengaja. Penggunaan campur kode biasanya dilatarbelakangi dengan kemampuan seseorang yang kurang menguasai suatu bahasa sehingga digunakannya bahasa pertama atau kedua dalam sebuah kata dengan tujuan untuk memberitahukan maksud atau keinginan orang tersebut.

(29)

campur kode yang terbagi menjadi beberapa yaitu dalam wujud kata, frase, klausa, dan kalimat.

Bahasa sebagai satu wujud yang utuh dipenggal-penggal untuk kemudian dianalisis datu per satu. Penggalan-penggalan itu diesbut satuan bahasa atau unit bahasa. Satuan bahasa terkecil disebut fonem, satuan bahasa di atas fonem disebut morfem, satuan bahasa di atas morfem disebut kata, satuan bahasa di atas kata disebut frase, satuan bahasa di atas frase disebut kalusa, satuan bahasa di atas klasa disebut kalimat, dan satuan bahasa terbesar di atas kalimat disebut wacana.24 Pada pembahasan penelitian ini campur kode biasanya diwujudkan berupa kata, frasa, dan klausa.

1. Kata

Dalam kajian morfologi disebutkan bahwa kata adalah satuan atau bentuk “bebas” dalam tuturan, bentu “bebas” secara morfemis adalah bentuk yang dapat berdiri sendiri, artinya tidak membutuhkan bentuk lain yang digabung dengannya, dan dapat dipisahkan dari bentuk-bentuk “bebas” lainnya didepannya dan dibelakangnya.25

Kata adalah satuan gramatik bebas yang terkecil, atau dengan kata lain, setiap satu satuan bebas merupakan kata. Misalnya pohon, lari, pelari, pelarian, sastra, sastrawan, adil, ketidakadilan, pemimpin, kepemimpinan, ruang, ruangan, dan sebagainya. Kata merupakan dua macam satuan, yaitu satuan fonologik dan satuan gramatik. Sebagai satuan fonologik, kata terdiri dari satu atau bebrapa suku kata, dan suku itu terdiri dari satu atau beberapa fonem. Contohnya: kata kecenderungan terdiri dari lima suku, yaitu ke, cen, de, rung, dan an. Suku ke terdiri dari dua fonem, suku cen terdiri dari tiga fonem, suku de terdiri dari dua fonem, suku rung terdiri dari empat fonem,

24

J.D Parera, Dasar-Dasar Analisis Sintaksis, (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 5.

25

(30)

dan suku an terdiri dari dua fonem. Jadi kata kecenderungan terdiri dari dua belas fonem.

Sebagai satuan gramatik, kata disusun satu atau beberapa morfem. Kata bermorfem disebut kata monomorfemis sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut kata polimorfemis. Dalam kalimat ia mempersunting gadis desa

misalnya, terdapat tiga kata monomorfenis, yaitu ia, gadis, dan desa, dan satu kata polimorfemis, yaitu mempersunting. Kata polimorfemis dapat dilihat sebagai hasil proses morfologik yang berupa perangkaian morfem, misalnya kata mempersunting, membeli, bersepeda, dan sebagainya.26

Contoh campur kode pada kata adalah: a. Hari ini adalah hari yang special.

b. Sepulang sekolah Ami pergi ke mall bersama teman. c. Saya kepingin menjadi guru.

d. Entar saya berikan. 2. Frase

Frase adalah satuan konstruksi atau satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih, yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa. Yang dimaksud dengan berciri klausa atrinya bahwa konstruksi frase itu tidak memiliki unsur predikat, sehingga sering dikatakan tidak berstruktr predikat. Contoh: belum pula, baju hujan, antar bangsa, tata niaga. Konstruksi antarbangsa dan tata niaga bukan frase, karena unsur pembentuk konstruksi itu ada yang bukan morfem bebas melainkan morfem terikat.27

Contoh campur kode pada frase adalah: a. Selamat malem temam-teman.

b. Yang menemaniku hanyalah boneka Teddy bear.

26

Novi, Resmini, dkk, Kebahasaan (Fonologi, Morfologi, dan Semantik), (Bandung :UPI Press, 2006), h. 115-16

27

(31)

c. Bete (Borring Time) di rumah terus.

d. Manusia adalah makhluk sosial yang always together. 3. Klausa

Klausa adalah satuan gramatikal yang disusun oleh kata dan atau frase dan mempunyai atau predikat. Atau dapat dikatakan frase adalah gabungan dua kata atau lebih yang memiliki struktur subjek dan predikat. Subjek adalah bagian klausa yang berwujud nomina atau frase nominal, yang menandai apa yang dinyatakan oleh pembicara. Yang dimaksud predikat adalah bagian klausa yang menandai apa yang dikatakan oleh pembicara tentang subjek. Predikat dapat berwujud nomina, verba, adjektiva, numralia, pronominal, atau frase preposisional.

Contoh :

Tanaman itu subur

Pembicara membicarakan tanaman itu, adalah subjek klausa. Tentang tanaman itu ia menyebabkan subur, bagian ini disebut predikat. Oleh karena klausa adalah satuan sitaksis, maka pada umunya klausa itu menjadi konstituen (unsur pembentuk) kalimat. Klausa dapat menjadi kalimat jika apabila diberikan inotasi final atau tanda titik. Klausa dapat juga menjadi bagian dari kalimat, misalnya Ali melihat Ani datang. Ani datang adalah sebuah klausa, yang merupakan bagian dari kalimat Ali melihat Ani datang. Klausa dapat diperluas menggunakan dengan menambahkan keterangan waktu, tempat, atau acara.28

Contoh campur kode pada klausa adalah: a. Ali ngeliat Ani dateng.

b. Hari ini adalah hari the sweet moment for my mother.

28

(32)

4. Kalimat

Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif dapat berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final, dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa. Dalam ragam tulis, kalimat sebagian besar ditandai oleh huruf kapital di awalnya dan oleh tanda akhir seperti titik, tanda tanya, atau tanda seru.

Kalimat dapat digolongkan atas kalimat inti dan bukan inti, kalimat tunggal dan kalimat majemuk, kalimat verbal dan nonverbal, dan kalimat bebas dan terikat.

Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri dari satu klausa, misalnya Adikku sangat tekun. Sedangkan kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri dari lebih sari satu kalimat, seperti Mereka bernyanyi dan menari sepanjang hari.

Kalimat mayor adalah kalimat yang klausanya lengkap, misalnya Adik mengantar kue. Kedangkan kalimat minor adalah kalimat yang klausanya tidak lengkap, misalnya Sedang mandi.

Kalimat verbal adalah kalimat yang predikatnya kata kerja atau verba, contoh Ari menendang bola. Dan kalimat nonverbal adalah kalimay tang predikatnya selain kata kerja, misalnya Adikku mahasiswa IKIP.

Kalimat bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap, tanpa bantuan kalimat lain dalam paragraf atau wacana. Sebaliknya kalimat terikat adalah kalimat, yang dalam paragraf atau wacana terikat oleh kalimat yang lain atau oleh konteks. 29

Contoh campur kode pada kalimat adalah: a. Adikku tekun banget.

b. Bye-bye Ande! Jangan lupa main lagi! c. Mereka nyanyi dan nari seharian.

29

(33)

Penguasaan dua bahasa atau lebih yang dimiliki oleh seseorang menyebabkan tercampurnya suatu kata pada saat berkomunikasi. Disisipinya kata lain dalam berkomunikas bertujuan untuk menyampaikan informasi atau maksud yang akan disampaikan. Biasanya disisipinya kata tersebut terdapat pada situasi informal, seperti ketika berbicara dengan teman sebaya.

C. Kedwibahasaan

Hampir jarang sekali ditemukan orang yang hanya menggunakan satu bahasa sekarang ini, karena bayak diantara mereka melakukan interaksi dengan orang lain yang latar belakang suku, bahasa, dan budayanya berbeda. Perbedaan latar belakang tersebut akan menyebabkan timbulnya bilingualisme bagi masyarakat penutur bahasa. Mereka akan mempraktikkan dan menggunakan dua bahasa secara bergantian dalam kehidupan sehari-hari. Orang-orang seperti inilah yang desibut dengan bilingual. Terlebih sekarang adalah era globalisasi dimana kebudayaan dan bahasa asing masuk dengan leluasa ke dalam Indonesia, tidak menutup kemungkinan bahasa asing juga harus dikuasai untuk mampu bersaing dan berkomunikasi.

(34)

Konsep kedwibahasaan muncul karena ada situasi yang dikenal sebagai kontak bahasa. Kontak bahasa ini secara sederhana didefinisikan sebagai proses saling pengaruh antara berbagai bahasa, dialek, ataupun variasi yang terjadi akibat adanya interaksi antara penutur bahasa. Percabangan yang diciptakan oleh adanya kontak bahasa ini memunculkan sejumlah situasi kebahasaan lainnya seperti bilingualisme.30 Dikarenakan terjadinya kontak bahasa antar masyarakan di lingkungan sosial, maka terjadilah pengaruh berbagai dialek sehingga menimbulkan adanya bilingualisme.

Sementara itu menurut Theodora Bynon dalam bukunya yang berjudul Historical Linguistics menuliskan bahwa The great majority of speakers however remained monolingual, and the effect of confined to the phonology and the morphology, the syntax remaining relatively in touched. We must now see what are the effects on the is to say of situation in which substantial proportion of the population employs two different languages, even tough is such circumstances the use of these will normally be restricted to separate and well-defined social contexts. In such situation we have to assume the presence within the linguistics competence of each bilingual speaker of two separated grammars, each with its own lexicon and system of rules.

If in such a bilingual situation the grammars of the two language are compared a certain amount of overlapping of the system will usually be found, and such overlap is likely to be the more pronounced the longer the languages have been in contact.31

Yang artinya sebagian besar dari pembicara namun tetap monolingual, dan efek terbatas pada fonologi dan morfologi, sintaks yang tersisa relatif di disentuh. Sekarang kita harus melihat apa efek pada situasi di mana proporsi yang besar dari populasi menggunakan dua bahasa yang berbeda, bahkan sulit keadaan seperti penggunaan ini biasanya akan dibatasi untuk memisahkan dan konteks sosial didefinisikan dengan baik. Dalam situasi seperti itu kita harus menganggap kehadiran dalam linguistik kompetensi masing-masing pembicara bilingual dua tata bahasa terpisah, masing-masing dengan leksikon dan sistem aturan sendiri.

Jika dalam situasi bilingual tata bahasa dari kedua bahasa dibandingkan sejumlah tumpang tindih sistem biasanya akan ditemukan, dan tumpang tindih kemungkinan diucapkan semakin lama bahasa telah melakukan kontak.

30

Achmad Hp, Alex Abdullah, Linguistik Umum, (Jakarta: Erlangga, 2012), h. 159.

31

(35)

Penguasaan bahasa yang dimiliki seseorang tentunya bepengaruh dengan penggunaan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi antar sesama masyarakat. Berapa jauh penguasaan seseorang atas bahasa kedua bergantung pada sering tidaknya dia menggunakan bahasa kedua itu. Penguasaannya atas dua bahasa itu sedikit banyak akan berpengaruh pada dirinya pada waktu dia berbicara. Kelancarannya berbahasa pada tiap bahasa menentukan kesiapannya untuk memakai bahasa-bahasa yang dikuasainya secara bergantian.32 Semakin sering menggunakan kedua bahasa tersebut maka akan semakin lancar juga akan penguasaan bahasa tersebut.

Pandangan ini berbeda dengan pandangan Bloomfield yang menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan dwibahasawan bila dia sudah mampu menggunakan kedua bahasa yang dikuasainya dalam setiap saat atau keadaan dengan kalancaran dan kecepatan yang sama seperti penutur asli dari bahasa masing-masing. Menurut Haugen dalam Fishman seorang dwibahasawan tidak harus dituntut menguasai bahasa secara sama adengan penutur aslinya, tetapi cukup mampu mengeluarkan ujaran-ujaran yang dapat dipahami orang lain. Dalam buku yang sama juga dikemukakan Mackey bahwa kedwibahasaan itu bersifat nisbi, sebab sulit ditemukan kapan seseorang dikatakan dwibahasawan. Jadi konsep yang dikemukakan Mackey ini tampak longgar. Nababan mengemukakan pendapatnya bahwa kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih dalam pergaulan hidup seseorang.

Sementara Abdul Chaer menyebutkan pemerolehan bahasa pertama yang berlangsung sejak bayi sampai berakhirnya masa atau periode kritis untuk pemerolehan bahasa pertama, sedikit demi sedikit, setahap demi setahap, bahasa pertama itu dinuranikan. Proses penuranian ini berlangsung secara tidak sadar atau secara alamiah meliputi semua kemampuan bahasa, mulai dari morfologi, sintaksis, dan leksikon. Pembelajaran bahasa kedua terjadi setelah seseorang pembelajar

32

(36)

menguasai dan menunari bahasa pertamanya. Maka mau tidak mau, bahasa pertama yang telah dinuranikan ini akan mengganggu ketika pembelajar menggunakan bahasa kedua.33

Dari beberapa pendapat tentang kedwibahasaan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa kewdibahasaan adalah ciri khas penggunaan bahasa dan bukan fenomena bahasa. Kedwibahasaan merupakan ciri pesan seseorang yang terlahir dalam penggunaan dua bahasa atau lebih dalam kehidupan sehari-hari.34 Seseorang yang lahir dalam penguasaan dua bahasa akan membawa bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari bahkan sampai ia ke tempat yang berbeda lingkungannya maka akan bertambah pula penguasaan bahasa yang dimilikinya.

Sementara Chaer dan Leonie mengatakan, untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertama (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang bilingual dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan.35

Hardin & Riley dalam Henry Guntur Tarigan menjelaskan secara teoretis, memang mungkin memiliki suatu masyarakat dwibahasa sebagai wadah semua anggota perorangan berbicara hanya dalam satu bahaa, seperti halnya ada kemungkinan mempunyai seorang individu dwibahasawan dalam suatu masyarakat erabahasa. Jadi, jelas betapa pentingnya hakikan nisbi kedwibahasaan itu.36

Alih-alih istilah bilingualisme, ada istilah lain dalam tradisi linguistik Indonesia, yakni kedwibahasaan. Kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang sama. Sebagai penjelasan tambahan, perlu diketahui bahwa bi- dan dwi- berarti dua, istilah bilingualisme dan

33

Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoretik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 261

34

Ibid, h. 163-164.

35

Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 112

36

(37)

kedwibahasaan mencakup pula pengertian kebiasaan menggunakan lebih dari dua bahasa: tiga bahasa, empat bahasa, dan seterusnya.37

Sementara terdapat beberapa tipe bilingualisme diantaranya yaitu equalingualism atau balanced bilingualism dimana seseorang mempunyai kemampuan yang sama dalam menggunakan dua bahasa yang berbeda. Kedua, finctional bilingualism yang dibedakan dalam dua cara, yakni interpretasi minimalis dan maksimalis. Di bawah interpretasi minimalis seseorang dapat disebut bilingual yang funsional jika dia mampu menyelesaikan tugas-tugas sederhana dalam dua bahasa dengan aturan-aturan tata bahasa dan leksikon yang terbatas. Sementara maksimalis adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dalam menyalesaikan tugas-tugas atau kegiatan-kegiatan yang kompleks dengan menggunakan dua bahasanya. Ketiga, receptive bilingualism atau passive bilingualism adalah orang yang memahami bahasa kedua, baik lisan maupun tulisan atau keduanya, tetapi tidak mampu untuk berbicara dan menulis. Keempat, prodictive bilingualism adalah situasi dimana penutur tidak hanya mampu

memahami, tetapi juga mampu berbicara dan mungkin juga mampu menulis dalam dua bahasa. Kelima, symmetrical bilingualism yang menyerupai tipe productive bilingualism. Namun symmetrical bilingualism mengungkapkan kemampuan yang sama dalam dua bahasa. Keenam adalah asymmetrical bilingualism yang menyerupai bentuk lain dari receptive bilingualism, yakni tipe di mana kata-kata yang diucapkan oleh penutur sama seperti lancarnya penutur menggunakan bahasa pertama.38

Kedwibahasaan yang dimiliki setiap orang merupakan merupakan salah satu cara mempermudah seseorang dalam berkomunikasi dimana berkomunikasi merupakan penyampaian pesan. Jika seseorang dalam menyampaikan maksud atau pesan kepada orang lain tidak dapat menggunakan bahasa pertama dalam beberapa kata, maka orang tersebut

37

Abdul Syukur Ibrahim, H. Suparni, Sosiolinguistik, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 3.4.

38

(38)

dapat menggunakan bahasa keduanya dalam menyampaikan pesan. Penguasaan dua bahasa atau lebih yang dimiliki seseorang akan tergantuk pada seringnya penggunaan bahasa tersebut, semakin sering bahasa tersebut digunakan maka akan semakin lancar dalam menguasai bahasa tersebut. Kedwibahasaan merupakan ciri khas orang yang terlahir dalam dua bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan lingkungan sosial menuntut seseorang untuk menguasai dua atau lebih bahasa dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena itu semakin beraneka ragam lingkungan sosial yang ditempati oleh sesorang maka semakin beraneka ragam pula bahasa yang digunakan, dan semakin banyak juga penguasaan bahasa yang dimilikinya.

D. Karangan

Mengarang merupakan salah satu keterampilan menulis dalam pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Menulis ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang diapahami oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik itu.39

Menulis merupakan salah satu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara. Menulis biasanya dilakukan pada kertas dengan menggunakan alat-alat seperti pena atau pensil. Pada awal sejarahnya, menulis dilakukan dengan menggunakan gambar, contohnya tulisa hieroglif pada zaman Mesir kuno.40

Menulis merupakan suatu proses kreatifitas menuangkan gagasan ataupun ide yang ada dalam pikiran ke dalam bentuk tulisan dengan tujuan tertentu. Menulis adalah suatu bentuk berfikir dimana yang dituangkan ke dalam bentuk kata-kata yang lebih mudah dipahami dan mudah dimengerti. Menulis tidaklah jauh berbeda dengan mengarang, baik

39

Ibid, h. 22.

40

(39)

menulis maupun mengarang keduanya sama-sama pengungkapan ide atau gagasan dalam bentuk tulisan dimana tulisan tersebut mempunyai tujuan tertentu.41

Mengacu pada proses pelaksanaannya, menulis merupakan kegiatan yang dipandang sebagai (1) suatu keterampilan, (2) proses berpikir (kegiatan bernalar), (3) kegiatan transformasi, (4) kegiatan berkomunikasi, dan (5) sebuah proses.42

Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa berupa kegiatan menciptakan catatan atau informasi kepada suatu media dengan menggunakan lambang-lambang grafik yang dipahami oleh orang lain, sehingga informasi atau catatan dapat tersampaikan dengan jelas.

Kegiatan menulis melibatkan proses berpikir (kegiatan menalar) karena dalam kegiatan menulis, seorang menulis harus mengungkapkan pikiran dan gagasan yang kritis dan kreatif dalam sebuah tulisan. Sebelum menulis seorang penulis memikirkan terlebih dahulu apa yang akan ditulisnya. Memikirkan pilihan kata yang harus digunakan, bahasa yang digunakan dan sebagainya. Oleh karena itu kegiatan menulis merupakan kegiatan menalar. Salah satu kegiatan menulis adalah mengarang.

Sebelum beralih pada pengertian karangan terlabih dahulu kita harus memahami apa itu mengarang. Mengarang menurut Lamuddin Finoza dalam bukunya tertulis bahwa mengarang berarti „menyusun’ atau „merangkai’.43

Pada awalnya mengarang bukan digunakan pada kegitan penulisan, tetapi kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan benda konkret seperti merangkai bunga. Karangan bunga adalah hasil dari merangkai bunga. Karena komunikasi dan bahasa semakin maju, sehingga terbentuklah

41

Dindin Ridwanuddin, Bahasa Indonesia, (Ciputat: UIN Press, 2015), Cet.1, h. 165.

42

Novi Resmini dkk, Membaca Dan Menulis Di SD Teori Dan Pengajarannya, (Bandung: UPI Press, 2006), h. 229.

43

(40)

istilah merangkai kata, merangkai kalimat, kemudian jadilah kegiatan mengarang.

kata-kata adalah alat penyalur gagasan yang akan disampaikan kepada orang lain.44

Orang yang mengarang disebut dengan penyusun atau pengarang. Sebenarnya mengarang tidak hanya dalam tulisan, tetapi juga dalam berkomunikasi secara lisan. Secara lisan kita terlebih dahulu memikirkan apa yang akan dibicarakan, kemudian merangkai kata untuk diungkapkan secara lisan. Hal ini biasanya digunakan saat kita akan berpidato. Sebelum mengeluarkan kata-kata dalam berpidato, terlebih dahulu memikirkan dan merangkai kata dan kalimat supaya bahasa yang digunakan sesuai dan mudah dipahami oleh para pendengar.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa mengarang adalah pekerjaan merangkai kata, kalimat, dan alinea untuk menjabarkan dan atau mengulas topik dan tema tertentu guna memperoleh hasil akhir berupa karangan (bandingkan dengan pekerjaan merangkai bunga dengan hasil akhir berupa rangkaian bunga).

Menurut Widyamartaya dan Sudiarti dalam Lamudin Finoza, bahwa mengarang adalah keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang untuk mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya memalui bahasa tulis kepada pembaca untuk diperhatikan.

Karangan merupakan suatu hasil pross berpikir. Karangan merupakan hasil ungkapan ide, gagasan, dan perasaan yang diperoleh melalui kegiatan berpikir kritis dan kreatif.45 Sementara Lamuddin Finoza manyatakan bahwa karangan adalah penjabaran suatu gagasan secara resmi dan teratur tentang suatu topik atau pokok bahasan. Mengarang sendiri adalah pekerjaan merangkai atau menyusun kata, frasa, kalimat,

44

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta : PT. Ikrar Mandiri Abadi,2010), h. 21

45

(41)

dan alinea yang dipadukan dengan topik dan tema tertentu untuk memperoleh hasil akhir berupa karangan.46

Dari berbagai pendapat yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa karangan adalah hasil dari rangkaian kata yang secara tertulis yang berisikan suatu topik atau bahasan yang disajikan pengarang dengan menggunakan proses berpikir. Karangan memiliki tujuan tertentu dalam penulisannya, sehingga karangan dibedakan menjadi lima jenis diantaranya:

1. Karangan Deskriptif

Kata deskriptif berasal dari kata bahasa latin describere yang berarti menggambarkan atau memerikan sesuatu hal. Dari segi istilah, deskripsi adalah suatu bentuk karangan yang melukiskan sesuatu sesuai dengan keadaan sebenarnya, sehingga pembaca dapat mencitrai (melihat, mendengar, mencium, dan merasakan) apa yang dilukiskan itu sesuai dengan citra penulisnya.47

Deskripsi dipungut dari bahas inggris description yang tentu saja berhubungan dengan kata kerja to describe (melukiskan dengan bahasa).48

Deskripsi adalah bentuk tulisan yang melukiskan objek yang sebenarnya dengan tujuan untuk memperluas pengalaman dan pengetahuan pembaca.49

Deskripsi adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata benda, tempat, suasana, keadaan. Seorang penulis deskripsi mengharapkan pembacanya, melalui tulisannya, dapat melihat apa yang dilihatnya, mendengar apa yang didengarnya, mencium bau yang

46

Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia: Untuk Mahasiswa Nonjurusan Bahasa, (Jakarta: Diksi Insan Mulia, 2001), h. 189

47

Novi Resmini dkk, Op. Cit., h. 116

48

Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, (Jakarta : Diksi Insan Mulia, 2009), h. 240

49

(42)

diciumnya, mencicipi apa yang dimakannya, merasakan apa yang dirasakannya serta sampai kepada kesimpulan yang sama dengannya.50

Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa karangan deskriptif adalah hasil dari kegiatan berpikir yang diekspresikan melalui penggambaran dengan kata-kata suatu benda, perasaan, tempat, suasana yang bertujuan untuk memperluas pengetahuan dan pengalaman pembaca. seorang penulis deskripsi dalam menulis harus memiliki kata-kata yang sesuai untuk menggambarkan sifat, bentuk, keadaan, perasaan seseorang agar terbentuk sebuah imajinasi seperti apa yang penulis harapkan.

2. Karangan Narasi

Istilah narasi berasal dari bahasa Inggris narration (cerita) dan narrative (yang menceritakan). Karangan yang disebut narasi

menyajikan serangkaian peristiwa menurut urutan atau keronoligis atau dengan maksud memberi arti kepada seluruh atau serentetan kejadian, sehingga pembaca dapat menikmati hikmah dari cerita itu.51

Sementara menurut Kujana Rahardi menjelaskan bahwa naratif sangat berkaiatan erat dengan pencarian atau pendongengan dari sesuatu. Tujuan utamanya yaitu menghibur para pembaca, kadangkala untuk membawa pembaca berpetualang bersama, membawa mereka terbang ke awang-awang, karena demikian terpesona dengan apa yang dinarasikan itu.52

Karangan narasi menyajikan serangkaian peristiwa berdasarkan kronologisnya, namun yang membedakan dengan karangan deksripsi yaitu dalam karangan narasi penulis bisa memainkan imajinasi atau khayalnya untuk membentuk suatu kejadian istimewa, waktu yang akan dating dan sebagainya.

3. Karangan Eksposisi

50

Ismail Marahimin, Menulis Secara Populer, (Jakarta : Remaja Rosdakarya, 1999), h. 46

51

Novi Resmini dkk, Op. Cit., h. 125

52

Gambar

gambar, atau
Tabel 2 Tabel analisis campur kode
Tabel 5 Tabel analisis campur kode
Tabel 7 Tabel analisis campur kode
+6

Referensi

Dokumen terkait

Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pengangguran pada 2016 mencapai 5,5 persen atau sekitar 7,02 juta orang atau lebih rendah dibanding 2015 yakni sebesar 5,81 atau setara

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat serta Hidayah kepada kita semua, sehingga berkat Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan

Jumlah Sampel Keluarga Sejahtera 1 yang memiliki Balita di masing-masing Rukun Warga (RW) Desa Cibodas. No Rukun Warga

Masalah yang yang ingin diselesaikan penulis adalah bagaimana membuat materi trigonometri ini menjadi lebih mudah dipelajari oleh siswa Sekolah Menengah Atas kelas

Penelitian ini menggunakan beberapa metode yaitu, untuk pemeriksaan kebiasaan makanan menggunakan metode gravimetrik, pemeriksaan osmoregulasi dilakukan dengan cara

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka hipotesis pada penelitian ini adalah Asosiasi merek berdasarkan fungsi merek (jaminan, identifikasi personal, identifikasi

konsumenmakanan/minuman dapat mengetahui apakah barang tersebut masih layak dikonsumsi atau tidak hal ini tertera dalam ketentuan Kadaluarsa menurut Undang- Undang Nomor 8 Tahun

Horizontal shores (also known as joists) range from small units 1,8 m, to large members 9,0 m, used to carry much heavier loads, usually manufactured from wood or