TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA
PADA KONSEP TEKANAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu
Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
S U T R I S N I
NIM : 107016301037
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA JURUSAN
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1 SURAT PERNYATAAN SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Sutrisni
NIM : 107016301037
Jurusan/Prodi : Pendidikan IPA/ Pendidikan Fisika
Judul Skripsi : Pengaruh Pendekatan Konstruktivisme terhadap Hasil
Belajar Siswa pada Pokok Materi Tekanan
Dosen Pembimbing : 1. Kinkin Suartini, M.Pd.
2. Ai Nurlaela, M.Si.
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya
bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis. Pernyataan ini dibuat sebagai salah
satu syarat menempuh Ujian Muanaqasah.
Jakarta, Juni 2014
S u t r i s n i
SUTRISNI, “Pengaruh Pendekatan Konstruktivisme terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Pokok Materi Tekanan” Skripsi, Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendekatan konstruktivisme terhadap hasil belajar IPA Fisika siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah metode quasi eksperimen kelas kontrol dan eksperimen purpossive sampel desain
pretest-posttest. Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 2 Parung Tahun Ajaran 2013/2014. Adapun yang menjadi sampel penelitian adalah siswa kelas VIII-4, sebagai kelompok eksperimen yang diberi pendekatan pembelajaran konstruktivisme dan siswa kelas VIII-3 yang diberi pembelajaran konvensional. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal pilihan ganda sebanyak 22 butir soal. Pengujian normalitas menggunakan uji liliefors
menunjukan bahwa data terdistribusi secara normal. Uji homogenitas dengan menggunakan uji fisher menunjukan bahwa sampel bersifat homogen. Kemudian uji hipotesis penelitian dengan menggunakan uji-t dengan taraf signifikan α = 5 % diperoleh nilai t hitung = 3,27. Nilai ttabel untuk dk = 66 pada taraf signifikansi 5
% adalah 1,70. Sedangkan kriteria pengujiannya adalah Ho ditolak jika nilai thitung
lebih besar dari ttabel. Karena hasil data diatas menunjukkan bahwa nilai thitung lebih
besar dari nilai ttabel, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan konstruktivisme
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
SUTRISNI , " Influence of Constructivist Approach to Student Results In Basic Materials Pressure " Thesis , Physical Education Studies Program , Department of Natural Sciences Education , Faculty of Tarbiyah and Teaching , Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta .
This study aims to determine the effect of a constructivist approach to learning science student's results . The method used is the method of quasi-experimental and experimental control class purposive sample pretest - posttest design . This research was conducted at SMP Negeri 2 Parung Academic Year 2013/2014 . As for the study sample were students of class VIII - 3 , as the experimental group were given a constructivist approach to learning and class VIII - 4 were given conventional learning . The instrument used in this research is a multiple choice items were as much as 22 . Testing for normality using Liliefors test shows that the data are normally distributed . Homogeneity test using fisher test showed that the samples are homogeneous . Then test the research hypotheses using t-test with significance level α = 5 % was obtained tvalue = 3.27 . ttable value for df = 66 at the
5% significance level is 1.70 . While the test criteria is Ho is rejected if the tvalue is
greater than ttable . Because the results of the above data shows that the tvalue is
greater than ttable , it can be concluded that the constructivist approach affects
student learning outcomes .
Segala puji hanya milik Allah SWT, alhamdulillah dengan rahmat dan
kasih sayang-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat
serta salam tak lupa penulis ungkapkan semoga Allah sampaikan kepada Baginda
Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, dan para pengkutnya sampai
akhir zaman.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat
mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Strata Satu ( S-1 ). Dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini tentunya tidak luput dari kekurangan dan kelemahan. Namun,
berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan
meskipun belum sempurna.
Oleh karena itu tiada ungkapan yang pantas ducapkan kecuali rasa syukur
dan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Ibu Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Baiq Hana Susanti, M.Sc, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Alam
3. Bapak Iwan Permana Suwarna, M.Pd, selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Fisika.
4. Ibu Kinkin Suartini, M.Pd, Dosen Pembimbing I yang penuh kesabaran dan
keikhlasan dalam membimbing penulis selama ini.
5. Ibu Ai Nurlaela, M.Si, Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan
pemikiran dan waktunya sehingga tuntasnya skripsi ini.
6. Para Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya dosen-dosen
jurusan pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Pendidikan Fisika
yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama masa perkuliahan, semoga
Allah membalas semuanya dengan pahala dan kebaikan. Amien.
7. Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Parung beserta Staf
dan seluruh dewan guru khususnya Bapak Septa Tri Puripana, S.P. sebagai
penulis selama melaksanakan penelitian.
8. Ayahanda tercinta Kateno dan Ibunda Paini (Alm) yang selalu mendo’akan
dan memberikan nasehat serta bimbingan kepada anaknya untuk selalu
mampu meneruskan perjuangan, harapan dan cita-cita.
9. Teman-teman seperjuanganku, jurusan pendidikan IPA Prodi Pendidikan
Fisika UIN Syarif Hidayatullah angkatan 2007 yang sama-sama merasakan
pahit manisnya masa-masa kuliah.
10. Teman-teman seperjuanganku Kakak dan adik-adik angkatan, jurusan
pendidikan IPA Prodi Pendidikan Fisika UIN Syarif Hidayatullah.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karen
itu, penulis secara terbuka menerima setiap kritik dan saran yang bersifat
membangun. Walaupun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini
memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.
Jakarta, Juli 2014
Penulis
LEMBAR PENGESAHAN ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ... 1
B. Identifikasi masalah... 4
C. Pembatasan masalah ... 4
D. Perumusan masalah ... 4
E. Tujuan penelitian ... . 4
F. Manfaat penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Tinjauan Pustaka ... 6
1. Konstruktivisme ... 6
2. Penguasaan Konsep ... 10
3. Hasil Belajar ... 12
4. Jenis-jenis Belajar ... 16
5. Prinsip-prinsip Belajar ... 18
6. Pembelajaran IPA ... 21
7. Pengertian Hasil Belajar ... 22
8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar ... 29
9. Konsep Tekanan ... 30
B. Kerangka Berpikir ... 35
C. Hipotesis Penelitian... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 38
B. Metode Penelitian ... 38
C. Desain Penelitian ... 38
D. Variabel Penelitian ... 39
E. Populasi dan Sampel ... 39
F. Teknik Pengambilan Sampel ... 39
G. Teknik Pengumpulan Data ... 39
H. Instrumen Penelitian ... 40
I. Teknik Analisis Data ... 45
J. Hipotesis Statistik ... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 49
B. Hasil Uji Prasyarat ... 55
C. Pembahasan hasil penelitian ... 57
D. Keterbatasan Penelitian ... 59
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 60
B. Saran ... 60
DAFTAR PUSTAKA ... 62
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 64
Tabel 3.1 Desain Penelitian ... 38
Tabel 3.2 Kisi-kisi Tes Hasil Belajar pada Konsep Tekanan ... 40
Tabel 3.3 Hasil Perhitungan Uji Validitas ... 42
Tabel 3.4 Hasil Perhitungan Uji Reliabilitas ... 43
Tabel 3.5 Hasil Perhitungan Taraf Kesukaran ... 44
Tabel 3.6 Hasil Uji Daya Pembeda ... 45
Tabel 3.7 Hasil Uji Statistika ... 45
Tabel 4.1 Pemusatan dan Penyebaran Data pada Pretest Kedua Kelompok ... 50
Tabel 4.2 Kategorisasi Pretest Kedua Kelompok ... 51
Tabel 4.3 Pemusatan dan Penyebaran Data pada Posttest Kedua Kelompok .... 52
Tabel 4.4 Kategorisasi Posttest Kedua Kelompok ... 53
Tabel 4.5 Data Hasil Observasi ... 53
Tabel 4.6 Data Hasil Wawancara ... 55
Tabel 4.7 Hasil Uji Normalitas ... 55
Tabel 4.8 Hasil Uji Homogenitas ... 56
Tabel 4.9 Hasil Uji Hipotesis ... 56
Gambar 2.1 Taksonomi Bloom yang telah direvisi ... 26
Gambar 2.2 Sepatu Bola ... 30
Gambar 2.3 Prinsip Hukum Pascal ... 31
Gambar 2.4 Bejana Berhubungan ... 32
Gambar 2.5 Percobaan Torricelli ... 33
Gambar 4.1 Diagram Hasil Pretest kedua Kelompok ... 49
Gambar 4.2 Diagram Hasil Posttest Kedua Kelompok ... ..51
Lampiran 1 Rencana Proses Pembelajaran (RPP) Kelas Eksperimen ... 64
Lampiran 2 Rencana Proses Pembelajaran (RPP) Kelas Kontrol ... 75
Lampiran 3 Kisi-kisi Instrumen Tes ... 82
Lampiran 4 Instrumen sebelum Dikalibrasi ... 94
Lampiran 5 Lembar Kunci Jawaban ... 100
Lampiran 6 Instrumen Penelitian Sesudah Dikalibrasi ... 101
Lampiran 7 Daftar Nilai Tes Hasil Belajar Siswa ... 105
Lampiran 8 Tabel Validitas Uji Instrumen ... 106
Lampiran 9 Tabel Reliabilitas Instrumen ... 107
Lampiran 10 Tabel Daya Pembeda ... 108
Lampiran 11 Tabel Taraf Kesukaran Instrumen ... 109
Lampiran 12 Tabel Rekapitulasi Kalibrasi Instrumen ... 110
Lampiran 13 Hasil Uji Normalitas Kelas Kontrol ... 111
Lampiran 14 Hasil Uji Normalitas Kelas Eksperimen... 112
Lampiran 15 Hasil Uji Homogenitas ... 113
Lampiran 16 Hasil Uji Hipotesis ... 114
Lampiran 17 Daftar Tabel Rujukan ... 115
Lampiran 18 Surat Bimbingan ... 124
Lampiran 19 Surat Penelitian ... 125
Lampiran 20 Surat Keterangan ... 126
Lampiran 21 Biodata Penulis ... 127
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fisika merupakan ilmu yang membutuhkan kemampuan kognitif lebih
dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang berbasis sosial. Ia membutuhkan
kemampuan berhitung yang cermat dan teliti agar setiap fakta dapat dijelaskan
dengan runtun. Tanpa kemampuan itu, tidaklah mudah mempelajari ilmu ini. Oleh
karena itu, sangat penting bagi guru untuk memberikan kebebasan kepada siswa
mencari dan menemukan dengan bahasa sendiri melalui sumber-sumber lain yang
relevan. Peran guru tak lebih sebagai fasilitator, mediator, dan menuntun keaktifan
siswa dalam belajar. Inilah tujuan dari teori belajar konstruktivisme yang
menekankan akan arti pentingnya bahwa pengetahuan itu merupakan bentukan
(konstruksi) kita sendiri, bukan paksaan dari luar.1
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan,
Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang
berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pembelajaran
konstektual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak serta-
merta jadi. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah
yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan
itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Konstruktivisme sendiri merupakan suatu filsafat belajar yang dibangun
atas anggapan bahwa dengan merefleksikan pengalaman-pengalaman sendiri.
Sedangkan teori konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan
terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan
kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan
1
Trianto, S.Pd., M.Pd. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi
Konstruktivistik; Konsep, Landasan Teoritis-Praktis dan Implementasinya, (Jakarta: Presrasi
Pustaka Publisher, 2007) Cet. Ke 1 hal. 13
bantuan fasilitasi orang lain. Dalam model pendekatan pembelajaran
konstruktivisme, penekanan utama tentang belajar dan mengajar lebih terfokus
pada suksesnya siswa mengorganisasi pengalaman mereka, dan bukan pada
kebenaran siswa dalam hal sekedar meniru atas apa yang disampaikan guru.
Sebagai konsekuensinya, siswa hendaknya dipandang sebagai bagian yang aktif
dan bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya. Belajar dipandang sebagai
perubahan pola pikir siswa dari pola pikir yang salah menjadi pola pikir yang
ilmiah.
Karakteristik pembelajaran konstruktivisme diantaranya adalah
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara
lebih luas, dimana prinsip utamanya bahwa pengetahuan tidak diterima secara
pasif, melainkan dibangun secara aktif oleh individu. Gagasan-gagasan atau
pemikiran-pemikiran tidak dapat dikomunikasikan maknanya melalui kata-kata
atau kalimat, atau diberikan langsung kepada siswa, melainkan mereka sendiri
yang membentuk makna tersebut.
Konsep pembelajaran konstruktivisme sendiri sebenarnya sudah berjalan
lama, akan tetapi dalam perkembangannya, konsep ini menemui berbagai kendala.
Faktor utamanya adalah terbatasnya waktu belajar dan sumber daya manusianya,
dalam hal ini guru dan siswa. Sehingga wajar ketika sekolah jarang menerapkan
pendekatan konstruktivisme ini dalam kegiatan belajar mengajarnya.
Tak bisa dipungkiri bahwa terbatasnya waktu belajar dalam praktek
pembelajaran membuat pendekatan konstruktivisme kurang maksimal diterapkan.
Begitupun dengan keanekaragaman kemampuan awal siswa dalam memahami
setiap materi pelajaran. Siswa yang memiliki banyak pengalaman yang
bermacam-macam akan sangat berbeda dengan siswa yang sedikit pengalaman
dan waktunya dihabiskan hanya di dalam rumah. Kedua faktor tersebut, waktu
belajar dan SDM yang berbeda-beda, menjadi penghambat utama dalam
penerapan pembelajaran konstruktivisme. Namun demikian, usaha untuk
menerapkan pendekatan tersebut bukan tidak mungkin, selama guru bisa
mengorganisir siswa dengan baik, maka pendekatan pembelajaran
konstruktivisme ini akan berjalan dengan sempurna.
Di sisi lain, mengajar merupakan proses negosiasi makna. Dalam
menjalankan fungsinya sebagai fasilitator pembelajaran, pada saat munculnya
salah persepsi, guru menyajikan materi yang merangsang pola pikir siswa.
Rangsangan pembelajaran yang disajikan guru tersebut, diharapkan dapat
menyadarkan siswa akan kekeliruan pengetahuannya, dan pada akhirnya mereka
merekonstruksi pengetahuannya menuju konsep yang ilmiah. Setiap pengajar
harus menyadari dulu seperti apa pengetahuan awal dan pengalaman yang sudah
ada di dalam kepala siswa, dan kemudian dia harus menyesuaikan pelajaran dan
cara mengajarnya dengan pengetahuan awal tersebut. Hal ini perlu diberikan
penekanan karena pembelajaran fisika adalah membantu siswa untuk membangun
konsep-konsep/prinsip-prinsip dengan kemampuannya sendiri melalui proses
internalisasi, sehingga konsep/prinsip itu terbangun kembali; transformasi
informasi yang diperoleh menjadi konsep/prinsip baru. Dengan kondisi tersebut,
penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran fisika diharapkan
dapat menimbulkan suasana belajar yang lebih bermakna.
Pendekatan konstruktivisme akan diterapkan pada konsep tekanan.
Konsep ini merupakan salah satu bagian penting karena bermanfaat bagi siswa
dalam kehidupan nyata dan sering ditemui dalam kegiatan seharai-hari, baik yang
disadari maupun yang tidak disadari siswa. Sementara itu, tingkat kesulitan untuk
memahmi konsep ini cukup tinggi. Tidak mengherankan jika hasil belajar siswa
pada konsep ini masih rendah. Melalui pembelajaran konstruktivisme dengan
berbagai macam percobaan sederhana, siswa dapat menemukan sendiri aplikasi
tekanan pada benda padat, cair, dan gas dalam kehidupan sehari-hari.
Pada konsep tekanan ini terkandung indikator dan pengalaman belajar
yang sama yaitu mengedepankan kerja ilmiah, yang kemudian dari bekerja ilmiah
ini terjadi proses pembentukan konsep yang kuat pada ingatan siswa dan hasil
belajarnya pun diharapkan dapat lebih baik. Pembentukan konsep ini di mulai
lebih menguasai materi pelajaran dan siswapun akan mendapat pengalaman
berharga saat berinteraksi dengan guru dan teman-temannya.
Berdasarkan uraian diatas penulis bermaksud melakukan studi penelitian
lebih lanjut apakah terdapat Pengaruh Pendekatan Konstruktivisme terhadap Hasil
Belajar Siswa pada Konsep Tekanan.
B. Identifikasi Masalah
Melihat latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
diidentifikasikan masalah-masalah berikut:
1. Hasil belajar fisika siswa pada konsep tekanan masih rendah.
2. Siswa kurang diajak untuk membangun sendiri pengalamannya dalam
kegiatan belajar mengajar.
3. Pembelajaran berbasis konstruktivisme masih jarang digunakan sekolah-
sekolah.
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini menjadi jelas dan terarah, maka masalah dibatasi hanya
pada pengaruh pendekatan konstruktivisme terhadap hasil belajar siswa konsep
Tekanan pada aspek kognitif saja. Ranah kognitif yang dilnilai berdasarkan
taksonomi Bloom yang telah direvisi mulai dari tingkat mengingat (C1),
memahami (C2), menerapkan (C3), dan menganalisis (C4) pada pokok materi
tekanan.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah “Bagaimana pengaruh pendekatan konstruktivisme terhadap hasil
belajar siswa pada konsep tekanan?”
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendekatan
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
beberapa pihak yang terlibat langsung terhadap penelitian ini, yaitu sebagai
berikut:
1. Bagi siswa diharapkan dapat membangun konsep yang kuat pada diri siswa
tentang materi Tekanan sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan hasil
belajar mereka.
2. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan menjadi rujukan dan bukti otentik
tentang efektifitas pembelajaran konstruktivisme, sehingga dapat dijadikan
alternatif model pembelajaran yang diterapkan di kelas.
3. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dalam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR
DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Konstruktivisme
a. Gagasan Dasar Konstruktivisme
Salah satu penganut teori konstutivisme adalah Von Glaserveld, dia
berpendapat bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan.
Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan
selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan
seseorang.1 Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur
pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Dengan demikian, pengetahuan
bukanlah tentang dunia yang lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan
manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya.
Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan
reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.
Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya alat/sarana yang
tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Sesorang
berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah,
mencium, dan meraskannya. Dari sentuhan indrawi itu seseorang membangun
gambaran dunianya. Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air,
mencecap air, dan menimbang air, seseorang membangun gambaran pengetahuan
tentang air.
Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri
seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan bukanlah hal tertentu dan
deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu. Misalnya saja, pengetahuan kita
akan “kucing” tidak sekali jadi, tetapi merupakan proses untuk semakin tahu
1
Paul Suparno, Filsafa Konstrukivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hal. 18
tentang kucing. Pada kita waktu kecil, dengan melihat kucing, menjamah, dan
bergaul, pikiran kita membangun pengertian akan “kucing” terbatas pada apa yang
kita lihat. Dalam perjalanan selanjutnya, kita bertemu dengan jenis kucing-kucing
lain dengan segala macam bentuk dan sifatnya. Interaksi dengan macam-macam
kucing ini menjadikan pengetahuan kita akan kucing lebih lengkap dan rinci
daripada gambaran waktu kita kecil.
b. Asal Usul Konstruktivisme
Cikal bakal konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta
Vico (1710), seorang epistemolog dari Italia.2 Menurut Vico, Tuhan adalah
pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan. Dia menjelaskan
bahwa “mengetahui” berarti “ mengetahui bagaimana membuat sesuatu.” Ini
berarti bahwa seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan
unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico, hanya Tuhan
sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya Dia yang tahu bagaimana
membuatnya dan dari apa Ia membuatnya. Sementara itu, orang hanya dapat
mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya. Bagi Vico, pengetahuan selalu
menunjuk kepada struktur konsep yang dibentuk.
Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan dipendam.
Piaget menuliskan gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan
kognitif dan juga dalam epistemologi genetiknya. Piaget mengungkapkan teori
adaptasi kognitifnya, yaitu bahwa pengetahuan kita dipeoleh dari adaptasi struktur
kognitif kita terhadap lingkungannya, seperti suatu organisme harus beradaptasi
dengan lingkungannya untuk dapat melanjutkan kehidupan. Gagasan Piaget ini
lebih cepat tersebar, melebihi gagasan Vico.
c. Teori-teori yang Mendasari Pandangan Konstruktivisme
Beberapa teori yang mendasari perkembangan tentang pembelajara
pendekatan konstruktivisme, antara lain3:
2
Ibid. h. 24 3
1) Teori Piaget
Berdasarkan penelitiannya tentang bagaimana anak-anak memperoleh
pengetahuan. Piaget sampai pada kesimpulannya bahwa pengetahuan itu dibangun
dalam pikiran anak (yang belajar) sambil anak mengatur
pengalamanpengalamannya yang terdiri atas struktur-struktur mental atau skema
yang sudah ada padanya. Dengan kata lain anak-anak akan siap untuk
mengembangkan konsep tertentu hanya bila anak telah memiliki struktur kognitif
(skemata) yang menjadi prasyaratnya.
2) Teori David Ausubel
Menurut Ausubel faktor penting yang mempengaruhi belajar siswa adalah
apa yang telah diketahui siswa atau konsep awal siswa. Hal ini mengandung
pengertian bahwa agar terjadi pembelajaran yang bermakna, konsep baru atau
informasi baru harus dikaitkan dengan konsep yang sudah ada dalam struktur
kognitifnya.
3) Teori Harlen
Seorang memiliki pengetahuan pribadi yang merupakan pemahaman
sendiri tentang keadaan di sekitar. Pengetahuan ini dapat bersifat ilmiah yaitu
dapat tahan uji terhadap kenyataan dan sebagian bersifat sehari-hari. Di samping
itu, ada pula pengetahuan umum yang dimiliki masyarakat. Pengetahuan ini pun
dapat bersifat ilmiah dan sebagian bersifat sehari-hari.
4) Teori Vigotsky
Menurut Vigotsky, pada saat anak memasuki ruang kelas, anak telah
membawa konsep awal yang diperoleh dari kehidupannya sehari-hari. Gagasan
atau konsep awal tersebut perlu disadari oleh pendidik dalam kegiatan
pembelajaran agar proses pembelajaran bukanlah sekedar pemindahan gagasan
guru kepada siswa, melainkan sebagai proses untuk mengubah gagasan-gagasan
yang ada melalui pengalaman dikelas. Dasar pemikiran konstruktivisme ialah
bahwa pengajaran efektif menghendaki guru agar mengetahui bagaimana para
siswa memandang fenomena yang menjadi subjek pengajaran atau bagaimana
anak mengenai topik yang akan dibahas sebelum pelajaran tentang topik itu
d. Implikasi Konstruktivisme terhadap Proses Belajar
Belajar adalah proses mengkontruksi pengetahuan dari abstraksi
pengalaman baik alami maupun manusiawi. Proses konstruksi itu dilakukan
secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah proses yang aktif. Beberapa faktor
seperti pengalaman, pengetahuan yang telah dipunyai, kemampuan kognitif dan
lingkungan, berpengaruh terhadap hasil belajar. Kelompok belajar dianggap
sangat membantu belajar karena mengandung beberapa unsur yang berguna
menantang pemikiran dan meningkatkan harga diri seseorang.
Secara umum pendekatan konstruktivisme adalah “Constructivism sees
learning as a dynamic and social process in which learners actively construct
meaning from their experiences in connection with their prior understandings and
the social setting”4 Jadi konstruktivisme adalah pembelajaran sebagai proses
dinamis dan sosial di mana peserta didik secara aktif membangun makna dari
pengalaman sendiri untuk menghubungkan terhadap pemahaman yang telah ada.
Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam
kegiatan belajar mengajar pada pendekatan konstruktivisme siswa sendiri yang
secara aktif membangun pengetahuannya. Hal tersebut dilandasi oleh struktur
kognitif yang telah dimilikinya. Di dalam pembelajaran konstruktivisme guru
lebih bersifat sebagai fasilitator dan mediator proses pembelajaran. Penekanan
dalam belajar mengajar berfokus pada suksesnya siswa dalam memahami atas apa
yang dilakukan.
Secara lebih rinci dapat dikemukakan dalam kegiatan belajar mengajar
yang mengacu pada pendekatan konstruktivisme, seorang guru harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) Mengakui adanya konsepsi awal siswa yang dimiliki siswa melalui
pengalamannya.
2) Menekankan pada kemampuan minds on dan hands on.
3) Mengakui bahwa dalam proses belajar mengajar terjadi perubahan konseptual.
4) Mengetahui bahwa pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif.
4
Implikasi pembelajaran pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran
sains meliputi empat tahap, dimana langkah-langkah yang dilakukan adalah :5
1) Apersepsi
Pada tahap ini siswa didorong agar mampu mengemukakan tahap awalnya
tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu guru memancing siswa dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan problematis tentang fenomena yang ditemui
dalam kehidupan sehari-sehari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas.
Siswa diberikan kesempatan untuk mengilustrasikan pemahamannya tentang
konsep itu.
2) Eksplorasi
Pada tahap ini, siswa diberikan kesempatan untuk menyelidiki dan
menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan
penginterpretasian data dalam suatu kegiatan diskusi. Hasil temuan itu kemudian
secara kelompok didiskusikan kembali dengan kelompok lain secara keseluruhan.
Tahap ini siswa akan menemui rasa ingin tahu tentang fenomena alam disekitar.
3) Diskusi dan Penjelasan Kelompok
Tahap ketiga ini, siswa diberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan
pada hasil observasinya ditambah dengan penguatan guru, maka dengan demikian
siswa akan membangun pemahamannya yang sedang dipelajarinya. Hal ini
menjadikan siswa tidak ragu-ragu lagi tentang konsepsinya.
4) Pengembangan dan Aplikasi
Pada tahap ini, guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang
memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik
melalui kegiatan atau pemunculan dan pemecahan masalah-masalah yang
berkaitan dengan isu-isu di lingkungannya.
2. Penguasaan Konsep
Penguasaan konsep bukan hanya satu penguasaan latihan saja, melainkan
mengerti dan memahami setiap detail masalah. Seseorang yang telah belajar akan
5
Dwi Lasati, Penerapan Pendekatan Konstruktivisme pada Pembelajaran Theorema
terjadi perubahan nyata pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi
tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Siswa yang belajar adalah siswa yang melakukan aktifitas mental atau
psikis yang berlangsung dalam interaksi sosial dan mengakibatkan perubahan
perilaku. Siswa yang belajar berarti siswa yang secara tersurat telah berubah
perilakunya, baik secara sadar maupun tidak sadar. Siswa yang belajar tampak
dari pancaran mata optimis, yang menyatakan kepahaman atas materi yang
disampaikan dan reaksi bahasa tubuh yang menampakkan kebisaannya.
Siswa yang telah disebut belajar, seperti penjelasan di atas, merupakan
cerminan dari penguasaan konsep pada materi yang baru disampaikan. Namun,
untuk menilai kepahaman materi atau penguasaan konsep siswa tidak dapat hanya
dilakukan sepintas. Penguasaan konsep yang dimaksud merupakan long term
memory yang dituangkan dalam bentuk jawaban atas pertanyaan untuk beberapa
waktu ke depan. Pertanyaan untuk memeriksa keterkuasaan konsep yang
diberikan, diwujudkan dengan pemberian posttest, yaitu tes kecil di akhir
pembelajaran. Pemberian tes si awal atau di akhir pembelajaran dapat
meningkatkan pemahaman siswa dalam belajar. Namun dinyatakan pula bahwa
pemberian tes tersebut harus menjadi kebiasaan yang membudaya, artinya
pemberian tes tersebut tidak diberikan dalam waktu tertentu saja, namun terus
menerus disampaikan pada saat pembelajaran.
Dalam penelitian ini, saya mendefinisikan siswa yang telah menguasai
konsep fisika adalah siswa yang berhasil menyelesaikan masalah yang saya
sajikan dalam posttest. Siswa yang berhasil menyelesaikan masalah di posttest
saya anggap telah memahami materi yang saya berikan dalam pembelajaran.
Namun, kendala mengenai permasalahan tersebut masih tetap ada. Kejujuran
siswa dan sistem kerja kelompok sangat mempengaruhi hasil yang diberikan. Jika
hal ini yang terjadi, maka kriteria penguasaan konsep yang saya berikan menjadi
tidak maksimal.
Indikator penguasaan konsep siswa juga saya tentukan dari hasil tugas
yang diberikan berupa tugas membuat atau menjawab pertanyaan. Asumsi saya
jangka panjangnya bagus sedangkan ingatan jangka panjang yang baik artinya
konsep yang diterima telah masuk kedalam ranah psikologis siswa. Akibatnya
adalah kapanpun siswa ditanya mengenai konsep yang telah diberikan, diyakini
bahwa siswa tersebut dapat menjawab pertanyaan konsep.
3. Hasil Belajar
a. Pengertian Belajar
Pendidikan adalah sebuah aktivitas dimana kita semua merasakan bahwa
kita mengetahui tentang sesuatu, memiliki pengalaman praktis tersendiri.6 Dengan
demikian belajar sudah menjadi aktivitas rutin manusia, baik disadari ataupun
tidak. Oleh karena itu, hidup manusia tidak akan bisa terlepas dari proses ini.
Seseorang yang merasa tak perlu belajar sebetulnya pada saat yang sama ia
sedang belajar arti dari sebuah kemalasan yang mungkin akan ia sadari setelah
memperolah akibat dari kemalasan itu. Cepat atau lambat. Namun apakah semua
aktivitas manusia dapat dikategorikan belajar? Dalam arti luas mungkin ya, tapi
yang dimaksud disini belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.7
Adapun ciri-ciri perubahan tingkah laku yang dimaksud diantaranya
sebagai berikut:
a) perubahan terjadi secara sadar
b) perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional
c) perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
d) perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah
e) perubahan mencakup seluruh aspek dan tingkah laku
Dengan ciri-ciri diatas, terlihat jelas bahwa belajar merupakan suatu proses
perubahan tingkah laku manusia menuju arah kesempurnaan dan bersifat
permanen.
6
Steve Bartlett and Diana Burton, Introduction to Education Studies, Second Edition
(London: SAGE Publication Ltd., 2007), hal. 11
7
Sedangkan menurut M. Alisuf Sabri dalam buku psikologi pendidikannya,
menyimpulkan tentang beberapa definisi belajar, yaitu:8
a) Belajar adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat penglaman atau
latihan.
b) Perubahan tingkah laku akibat belajar itu dapat berupa memperoleh perilaku
yang baru atau memperbaiki/meningkatkan perilaku yang sudah ada.
c) Perubahan tingkah laku yang ditimbulkan oleh belajar dapat berupa perilaku
yang baik atau perilaku yang buruk.
d) Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar itu terjadi melalui usaha dengan
mendengar, membaca, mengikuti petunjuk, mengamati, memikirkan,
menghayati, meniru, melatih dan mencoba sendiri atau berarti dengan
pengalaman atau latihan. Jadi perubahan perilaku akibat kematangan atau
pertumbuhan fisik itu bukan hasil belajar.
e) Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar harus relatif menetap bukan
perubahan yang bersifat sementara atau tiba-tiba terjadi kemudian hilang
kembali, seperti perubahan perilaku akibat alkohol/ minuman keras.
f) Tingkah laku yang mengalami perubahan akibat belajar itu menyangkut semua
aspek kepribadian/ tingkah laku individu, baik perubahan dalam pengetahuan,
kemampuan, ketrampilan, kebiasaan, sikap, dan aspek perilaku lainnya.
g) Belajar itu dalam prakteknya dapat dilakukan di sekolah atau di luar sekolah.
Belajar di sekolah senantiasa diarahkan oleh guru kepada perubahan perilaku
yang baik/positif, sedangkan belajar di luar sekolah yang dilakukan sendiri
oleh individu dapat menghasilkan perubahan perilaku yang positif atau negatif.
Teori belajar dikelompokkan menjadi dua pandangan yaitu teori
Connectionisme dan Teori Conditioning.9 Teori Coonectionisme dikemukakan
oleh Thordike sedangkan dalam Teori Conditioning terdapat tiga macam
pendapat, yakni Teori Classical Conditioning dari Pavlov; Teori Operant
Conditioning dari Skinner dan Teori Conditioning dari Guthrie.
8
M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan: Berdasarkan Kurikulum Nasional, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 2007) cet. Ke 3, hal. 54
9
Thordike menyatakan bahwa belajar adalah penguatan hubungan stimulus
respon.10 Untuk memperkuat hubungan ini dia mengemukakan beberapa hukum
atau ketentuan; yaitu:
1) Law of effect
Hubungan stimulus-respon bertambah kuat apabila disertai dengan
perasaan senang atau puas. Karena itu membangkitkan rasa senang dengan
memuji atau membesarkan hati anak lebih baik dalam mengajar daripada
menghukum atau mencelanya.
2) Law of exercise
Hubungan stimulus-respon akan bertambah kuat apabila sering diadakan
latihan-latihan.
3) Law of multiple response
Dalam menghadapi situasi yang problematis dimana belum jelas diketahui
respon yang tepat maka individu akan mengadakan “Trial and Error”, yaitu
mengadakan bermacam-macam percobaan yang tidak berhasil tetapi lama
kelamaan akhirnya mungkin dapat memberikan hasil yang baik.
4) Law of assimilation
Seseorang dapat menyesuaikan diri atau memberikan respon terhadap
situasi yang baru dengan menyesuaikan atau menganalogikannya dengan apa yang
sudah dialami/diketahui.
5) Law of readness
Hubungan stimulus dengan respon akan bertambah kuat apabila didukung
oleh adanya kesiapan untuk bertindak atau bereaksi sehingga respon atau
reaksinya semakin mantap.
Pavlov dan Watson11 berpendapat bahwa belajar itu merupakan proses
terjadinya reflek-reflek atau reaksi-reaksi bersayarat yang terjadi melalui stimulus
pengganti yang dibiasakan menyertai stimulus yang sebenarnya. Menurut Watson,
manusia sejak lahir memiliki beberapa reflek dan reaksi-reaksi emosional seperti
10
Ibid, hal. 64
11
takut, marah, dan cinta. Semua tingkah laku manusia itu terbentuk oleh hubungan
stimulus respon melalui pengkondisian.
Skinner12 sedikit berbeda dengan Pavlov dan Watson, menurutnya bahwa
penguatan stimulus-respon dapat dilakukan melalui penguatan positif dan
penguatan negatif. Penguatan positif berkaitan dengan pemberian hadiah bagi
siswa yang berprestasi dan penguatan negatif berkaitan dengan hukuman bagi
siswa yang bersalah. Karena dengan cara itulah siswa terangsang sikapnya untuk
mau belajar dengan tekun.
Sementara Edward R. Guthrie13 yang merupakan salah seorang tokoh yang
mengembangkan teori Watson berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu secara
keseluruhan merupakan rangkaian unit-unit tingkah laku. Unit-unit tingkah laku
ini merupakan respon-respon dari stimulus sebelumnya dan setiap unit itu
merupakan stimulus yang kemudian menimbulkan respon bagi unit tingkah laku
yang berikutnya. Demikianlah seterusnya sehingga terjadi rangkaian/rentetan unit
tingkah laku yang terus menerus.
Dari pendapat-pendapat dan teori yang telah dikemukakan di atas, terdapat
beberapa kesamaan mengenai definisi belajar, sehingga dapat diambil kesimpulan
bahwa hakekat belajar adalah suatu proses untuk mendapatkan pengetahuan,
ketrampilan, pengalaman, kebiasaan, sikap dan aspek perilaku lainnya sebagai
hasil dari interaksi manusia dengan lingkungannya.
Dengan demikian dalam proses belajar mengajar sangatlah penting adanya
interaksi pembelajar dengan lingkungannya. Dalam hal ini siswa diajak untuk
berfikir dan mengeksplorasi segala kemampuannya sesuai dengan tingkatan daya
pikir mereka. Kemampuan yang berbeda antar satu siswa dengan siswa lainnya
justru dapat dimanfaatkan untuk saling melengkapi dengan cara berdiskusi,
bekerja sama, bertukan pikiran dan informasi. Inilah yang dimaksud dengan
pengertian belajar di atas dalam konteks proses belajar mengajar di sekolah.
12
Ibid, hal. 68
13
4. Jenis-Jenis Belajar
Menurut Slameto, jenis-jenis belajar dikategorikan dalam sepuluh macam,
yakni:14
a. Belajar bagian (part learning)
Umumnya belajar bagian dilakukan oleh seseorang bila ia dihadapkan
pada materi belajar yang bersifat luas atau ekstensif, misalnya mempelajarai sajak
ataupun gerakan-gerakan motoris seperti bermain silat. Dalam hal ini individu
memecah seluruh materi pelajaran menjadi bagian-bagian yang satu sama lain
berdiri sendiri. Sebagai lawan dari cara belajar bagian adalah cara belajar
keseluruhan atau belajar global.
b. Belajar dengan wawasan (learning by insight)
Konsep ini diperkenalkan oleh W. Kohler, salah seorang tokoh psikologi
Gestalt pada permulaan tahun 1971. Sebagai suatu konsep, wawasan (insight) ini
merupakan pokok utama dalam pembicaraan psikologi belajar dan proses berpikir.
Menurut Gestalt teori wawasan merupakan proses mereorganisasi pola-pola
tingkah laku yang ada hubungannya dengan penyelesaian suatu persoalan.
c. Belajar diskriminatif (discriminatif learning)
Belajar diskriminatif diartikan sebagai suatu usaha untuk memilih
beberapa sifat situasi/stimulus dan kemudian menjadikannya sebagai pedoman
dalam bertingkah laku. Dengan pengertian ini maka dalam eksperimen, subyek
diminta untuk berespon secara berbeda-beda terhadap stimulus yang berlainan.
d. Belajar global/keseluruhan (global whole learning)
Di sini bahan pelajaran dipelajarai secara keseluruhan berulang sampai
pelajar menguasainya; lawan dari belajar bagian. Metode belajar ini sering disebut
metode Gestalt.
e. Belajar insidental (incidental learning)
Konsep ini bertentangan dengan anggapan bahwa belajar itu selalu berarah
tujuan (intensional). Sebab dalam belajar insidental pada inidividu tidak ada sama
sekali kehendak untuk belajar. Atas dasar ini maka untuk kepentingan penelitian,
disusun perumusan operasional sebagai berikut: belajar disebut insidental bila
14
tidak ada instruksi atau petunjuk yang diberikan pada individu mengenai materi
belajar yang akan diujikan kelak.
f. Belajar instrumental (instrumental learning)
Pada belajar instrumental, reaksi-reaksi seseorang siswa yang
diperlihatkan diikuti oleh tanda-tanda yang mengarah pada apakah siswa tersebut
akan mendapat hadiah, hukuman, berhasil atau gagal. Oleh karena itu, cepat atau
lambatnya seseorang belajar dapat diatur dengan jalan memberikan penguat
(reinforcement) atas dasar tingkat-tingkat kebutuhan. Dalam hal ini maka salah
satu bentuk belajar instrumental yang khusus adalah “pembentukan tingkah laku”.
Disini individu diberi hadiah bila ia bertingkah laku sesuai dengan tingkah laku
yang dikehendaki dan diberi hukuman jika tidak sesuai dengan tingkah laku yang
dikehendaki. Sehingga akhirnya akan terbentuk tingkah laku tertentu.
g. Belajar intensional (intentional learning)
Belajar dalah arah tujuan, merupakan lawan dari belajar insidental.
h. Belajar laten (laten learning)
Dalam belajar laten, perubahan-perubahan tingkah laku yang terlihat tidak
terjadi secara segera, dan oleh karena itu disebut laten. Selanjutnya eksperimen
yang dilakukan terhadap binatang mengenai belajar laten, menimbulkan
pembicaraan yang hangat di kalangan penganut behaviorisme, khusunya mengenai
peranan faktor penguat (reinforcment) dalam belajar. Rupanya penguat dianggap
oleh penganut behaviorisme ini bukan faktor atu kondisi yang harus ada dalam
belajar. Dalam penelitian mengenai ingatan, belajar laten ini diakui memang ada
yaitu dalam bentuk belajar insidental.
i. Belajar mental (mental learning)
Perubahan kemungkinan tingkah laku yang terjadi disini tidak nyata
terlihat, melainkan hanya berupa perubahan proses kognitif karena ada bahan yang
dipelajari. Ada tidaknya belajar mental ini sangat jelas terlihat pada tugas-tugas
yang sifatnya motoris. Ada yang mengartika belajar mental sebagai belajar dengan
cara melakukan observasi dari tingkah laku orang lain, membayangkan gerakan-
j. Belajar produktif (productive learning)
R. Bergius (1964) memberikan arti belajar produktif sebagai belajar
dengan transfer yang maksimum.15 Belajar adalah mengatur kemungkinan untuk
melakukan transfer tingkah laku dari satu situasi ke situasi lain. Belajar disebut
produktif bila individu mampu mentransfer prinsip menyelesaikan satu persoalan
dalam satu situasi ke situasi lain.
k. Belajar verbal (verbal learning)
Belajar verbal adalah mengenai materi verbal dengan melalui latihan dan
ingatan. Dasar dari belajar verbal diperlihatkan dalam eksperimen klasik dari
Ebbinghaus. Sifat eksperimen ini meluas dari belajar asosiatif mengenai hubungan
dua kata yang tidak bermakna sampai pada belajar dengan wawasan mengenai
penyelesain persoalan yang kompleks yang harus diungkapkan secara verbal.
5. Prinsip-Prinsip Belajar
Banyak teori dan prinsip-prinsip belajar yang dikemukakan oleh para ahli
yang satu dengan yang lain memiliki persamaan dan juga perbedaan. Dimyati dan
Mudjiono menyebutkan tujuh prinsipo belajar, yakni:16
a. Perhatian dan motivasi
Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar karena
tanpa adanya perhatian tak mungkin terjadi belajar. Perhatian terhadap pelajaran
akan timbul pada siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya.
Apabila bahan pelajaran itu dirasakan sebagai sesuatu yang dibutuhkan maka akan
dapat membangkitkan perhatian dan motivasi siswa untuk mempelajarinya.
Motivasi mempunyai kaitan yang erat dengan minat. Siswa yang memiliki
minat terhadap sesuatu bidang studi tertentu cenderung tertarik perhatiannya dan
dengan demikian timbul motivasinya untuk mempelajari bidang studi tersebut.
Motivasi juga dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianggap penting dalam
kehidupannya. Perubahan nilai-nilai yang dianut akan mengubah tingkah laku
manusia dan motivasinya. Karenanya, bahan-bahan pelajaran yang disajikan
15
Slameto, op.cit hal. 8
16
hendaknya disesuaikan dengan minat siswa dan tidak bertentangan dengan nilai-
nilai yang berlaku dalam masyarakat.
b. Keaktifan
Kecenderungan psikologi dewasa ini menganggap bahwa anak adalah
makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu,
mempunyai kemauan dan aspirasinya sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh
orang lain dan juga tidak bisa dilimpahkan kepada oang lain. Belajar hanya
mungkin terjadi apabila anak aktif mengalami sendiri.
Menurut teori kognitif, 17 belajar menunjukan adanya jiwa yang sangat
aktif, jiwa mengolah informasi yang kita terima, tidak sekedar menyimpannya saja
tanpa mengadakan transformasi. Menurut teori ini, anak memiliki sifat aktif,
konstruktif, dan mampu merencanakan sesuatu. Anak mampu untuk mencari,
menemukan, dan menggunakan pengetahuan yang telah diperolehnya. Dalam
proses belajar mengajar anak mampu mengidentifikasi, merumuskan masalah,
mencari dan menemukan fakta, menganalisis, menafsirkan, dan menarik
kesimpulan.
c. Keterlibatan langsung/Berpengalaman
Edgar Dale dalam penggolongan yang dituangkan dalam kerucut
pengalamannya mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah melalui
pengalaman langsung.18 Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa tidak
sekedar mengamati secara langsung tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung
dalam perbuatan, dan bertanggung jawab terhadap hasilnya.
Keterlibatan siswa di dalam belajar jangan diartikan keterlibatan fisik
semata, namun lebih dari itu terutama adalah keterlibatan mental emosional,
keterlibatan dengan kegiatan kognitif dalam pencapaian dan perolehan
pengetahuan, dalam penghayatan dan internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan
sikap dan nilai, dan juga pada saat mengadakan latihan-latihan dalam
pembentukan ketrampilan.
17
Dimyati, Mudjiono, Op.cit hal. 44
18
d. Pengulangan
Prinsip belajar yang menekankan perlunya pengulangan barangkali yang
paling tua adalah yang dikemukakan oleh teori Psikologi Daya.19 Menurut teori ini
belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya
mengamat, menganggap, mengingat, menghayal, merasakan, berpikir, dan
sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan maka daya-daya tersebut akan
berkembang.
e. Tantangan
Dalam situasi belajar siswa jmenghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai,
tetapi selalu terdapat hambatan, yaitu mempelajari bahan belajar, maka timbullah
motif untuk mengatasi hambatan itu yaitu dengan mempelajari bahan belajar
tersebut. Apabila hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan belajar telah tercapai,
maka ia akan masuk dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya.
Agar pada anak timbul motif yang kuat untuk mengatasi hambatan dengan baik
maka bahan belajar haruslah menantang.
f. Balikan dan penguatan
Siswa akan belajar lebih bersemangat apabila mengetahui dan
mendapatkan hasil yang baik. Hasil, apalagi hasil yang baik, akan merupakan
balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar selanjutnya.
Namun dorongan belajar itu menurut B.F. Skinner20 tidak saja oleh penguatan
yang menyenangkan tetapi juga yang tidak menyenyangkan. Atau dengan kata
lain, penguatan positif maupun negatif dapat memperkuat belajar.
g. Perbedaan individual
Siswa merupakan individual yang unik artinya tidak ada dua orang siswa
yang sama persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Perbedaan
itu terdapat pada karakteristik psikis, kepribadian, dan sifat-sifatnya. Perbedaan
individual ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa. Karenanya,
perbedaan individu perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya pembelajaran.
19
Ibid, hal. 47
20
6. Pembelajaran IPA
a. Pengertian IPA
IPA merupakan suatu cabang disiplin ilmu yang berkaitan erat dengan
alam dan memiliki hubungan yang kuat dengan kehidupan manusia. Dalam kajian
keilmuannya, IPA melandasi pada empat tahap atau proses yakni perumusan
masalah, observasi dan eksperimen, menafsirkan data, dan pengujian intrepetasi
dari data tersebut.21 Oleh karena itu, hampir setiap fenomena alam yang sering
dijumpai sehari-hari selalu berkaitan dengan IPA. Penggunaanya dalam berbagai
bidang kehidupan pun tak lepas dari IPA, mulai dari masalah pertahanan negara,
dunia kesehatan, telekomunikasi, pertanian, masalah kebutuhan energi, sampai
pada masalah bahan-bahan kimia.22 Hal ini yang dapat membangkitkan minat
sebagian manusia untuk mempelajari fenomena tersebut yang pada akhirnya dapat
bermuara pada suatu penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan demikian IPA merupakan kumpulan pengetahuanh yang didapat
melalui proses yang ilmiah dan metode tertentu dan berlaku secara universal. Dari
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa ilmu alam atau sains akan terus
berkembang dari masa ke masa. Pengetahuan tersebut tidak akan berhenti selama
manusia tetap ada.
b. Pengertian pendidikan
Kata pendidikan dalam bahasa Inggris adalah education. Sedang kata
Education sendiri diambil dari satu atau dua suku kata Latin, yakni educere yang
artinya „to lead out‟ atau to train‟ dan educare yang artinya „to train‟ atau „to
nourish‟.23 Sedangkan menurut rumusan nasional, pendidikan adalah usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau
latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.24
21
Konrad B. Krauskopf and Athur Beiser, The Physical Universe, New York: McGraw- Hill Compenies, Inc. 2006. hal. 2
22
Theodore A. Ashford, The Physical Sciences: From Atom to Stars, Second Edition.
New York: Holt, Rineheart and Winston, Inc. 1967. hal. 2 – 3
23
Christopher Winch and John Gingell, Philosopy of Education: The Key Concepts, (New York: Routledge Taylor & Francis Group, 2008) cet. Ke 2, hal. 63
24
c. Pendidikan IPA SMP
Pendidikan IPA di SMP merupakan pendidikan tingkat dasar dan lanjutan
dari Sekolah Dasar. Namun pendidikan IPA pada tingkat SMP seringkali hanya
disampaikan secara hafalan. Padahal semestinya siswa diajak aktif untuk ikut
berpikir tentang materi yang diberikan juga aplikasi dan cara kerjanya dalam
kehidupan sehari-hari. Jika diberikan dengan cara-cara yang menarik dan penuh
kesungguhan siswa akan merasa dilibatkan. Dengan demikian bukan tidak
mungkin pada diri siswa akan tumbuh minat dan semangat belajar yang tinggi dan
tujuan pembelajaran pun akan tercapai dengan baik.
Pendidikan IPA menjadi suatu bidang ilmu yang memiliki tujuan agar
setiap siswa terutama yang ada di SMP memiliki kepribadian yang baik dan dapat
menerapkan ilmiah serta dapat mengembangkan potensi yang ada di alam untuk
dijadikan sebagai sumber ilmu dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian pendidikan IPA bukan hanya sekedar teori akan tetapi dalam
setiap bentuk pengajarannya lebih ditekankan pada bukti dan kegunaan ilmu
tersebut. Bukan berarti teori-teori terdahulu tidak digunakan, ilmu tersebut akan
terus digunakan sampai menemukan ilmu dan teori baru. Teori lama digunakan
sebagai pembuktian dan penyempurnaan ilmu-ilmu alam yang baru. Hanya saja
teori tersebut bukan untuk dihafal namun diterapkan sebagai tujuan proses
pembelajaran.
Melihat hal tersebut di atas, nampaknya pendidikan IPA saat ini belum
dapat menerapkannya. Perlu adanya usaha yang dilakukan agar pendidikan IPA
yang ada sekarang ini dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan awal yang akan
dicapai, karena kita tahu bahwa pendidikan IPA tidak hanya pada teori-teori yang
ada namun juga menyangkut pada kepribadian dan sikap ilmiah dari peserta didik.
Untuk itu maka kepribadian dan sikap ilmiah perlu ditumbuhkan agar menjadi
manusia yang sesuai dari tujuan pendidikan.
7. Pengertian Hasil Belajar
Sebagai akibat dari perlakuan tentu ada hasil yang didapat. Demikian
memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Slameto mengemukakan sebuah
pendapat bahwa ada dua faktor utama yang mempengaruhi hasil belajar siswa,
yakni faktor intern dan ekstern.25 Faktor intern meliputi faktor jasmaniah,
psikologis, dan kelelahan sedangkan faktor ekstern meliputi faktor keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Sejalan dengan itu, Yudhi Munadi menggunkan istilah
faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar.26
Faktor intenal meliputi faktor fisiologis dan psikologis. Sedangkan faktor
eksternal meliputi faktor lingkungan dan instrumental.
Secara umum kondisi fisiologis, seperti kesehatan yang prima, tidak dalam
keadaan lelah dan capek, tidak dalam keadaan cacat jasmani, dan sebagainya,
membantu dalam proses dan hasil belajar. Demikian juga keadaan psikologis yang
berkaitan dengan kondisi jiwa seperti intelejensi, perhatian, minat dan bakat,
motivasi dan sebagainya juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan
terhadap proses dan hasil belajar. Yudhi menambahkan, faktor lingkungan seperti
keadaan alam dan lingkungan sosial dimana peserta didik berada juga faktor
instumental yang meliputi kurikulum, sarana dan fasilitas, dan guru dapat
mempengaruhi proses dan hasil belajar.
Proses Pembelajaran mengndung dua unsur penting yaitu proses dan hasil
belajar.27 Proses adalah kegiatan yang dilaksanakan siswa dalam mencapai tujuan
pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah berupa kemampuan-kemampuan yang
dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar. Evaluasi merupakan proses
untuk menentukan nilai belajar siswa melalui kegiatan penilaian dan atau
pengukuran hasil belajar. Hasil Belajar bertujuan untuk mengetahui tingkat
keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran.
Dimana tingkat keberhasilan siswa ditandai selalu dengan skor, angka, kata atau
huruf. Apabila tujuan utama kegiatan evaluasi hasil belajar ini sudah terealisasi,
25
Slameto, op. cit., hal. 54
26
Yudhi Munadhi, Media Pembelajaran: Sebuah Pendekatan Baru, (Ciputat: Gaung Persada Press, 2008) cet. Ke 1, hal. 24
27
maka hasilnya dapat difungsikan dan ditujukan untuk diagnosis dan
pengembangan, untuk seleksi, untuk kenaikan kelas dan untuk penempatan.
Sebagai salah satu kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui tingkat
keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka evaluasi
belajar memiliki tujuan yang berupa ranah-ranah yang terkandung dalam tujuan.
Ranah-ranah tujuan pendidikan berdasarkan hasil belajar secara umum di
klasifikasikan menjadi tiga, yakni :
a. Ranah Kognitif
Bloom28 membagi tingkat pengetahuan atau tipe hasil belajar yang
termasuk aspek kognitif menjadi enam, yaitu pengetahuan hafalan (knowledge),
pemahaman atau komprehensi (comprehension), penerapan aplikasi (application),
analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation).
Tipe belajar pengatahuan hafalan ialah tingkat kemampuan yang hanya
meminta siswa untuk mengenal atau mengetahui adanya konsep, fakta, atau
istilah-istilah tanpa harus mengerti, atau dapat menilai, atau dapat
mengunakannya. Dalam hal ini siswa biasanya hanya dituntut untuk menyebutkan
kembali atau menghafal saja. Sedangkan pemahaman atau komprehensi menuntut
siswa untuk mampu memhami arti atau konsep, situasi, serta fakta yang
diketahuinya.
Kemampuan kognitif yang ketiga adalah aplikasi atau penerapan. Dalam
tinkat ini, siswa dituntut kemampuannya untuk menerapakan atau menggunakan
apa yang telah diketahuinya dalam suatu situasi yang baru baginya. Dengan kata
lain, aplikasi adalah penggunaan abstaksi pada situasi kongkret atau situasi
khusus. Abstraksi tersebut dapat berupa ide, teori, atau petunjuk teknis.
Sedangkan analisis sebagai kemampuan tingkat kognitif yang keempat menuntut
kemampuan siswa untuk menganalisis atau menguraikan suatu integritas atau
suatu situasi tertentu ke dalam komponen-komponen atau unsur-unsur
pembentuknya. Pada tingkat analisis, siswa diharapkan dapat memahami dan
sekaligus dapat memiliah-milahnya menjadi bagian-bagian. Hal ini dapat berupa
28
kemampuan untuk memahami dan menguraikan bagaimana proses terjadinya
sesuatu, cara bekerjanya sesuatu, atau mungkin juga sistematikanya.
Tipe hasil belajar yang kelima adalah tingkat kemampuan sintesis. Yang
dimaksud dengan sintesis ialah penyatuan unsur-unsur atau bagian-bagian ke
dalam suatu bentuk yang menyeluruh.29 Dengan kemampuan sintesis seseorang
dituntut untuk dapat menemukan hubungan kausal atau urutan tertentu, atau
menemukan abstraksinya yang berupa integritas. Tanpa kemampuan sintesis yang
tinggi, seseorang akan hanya melihat unit-unit atau bagian-bagian secara terpisah
tanpa arti. Berpikir sintesis merupakan salah satu terminal untuk menjadikan
orang lebih kreatif. Dan berpikir kreatif ini merupakan salah satu hasil yang
dicapai dalam pendidikan.
Tipe hasil belajar yang terakhir adalah evaluasi. Dengan kemampuan ini,
siswa diminta untuk membuat suatu penilaian tentang suatu pernyataan, konsep,
situasi, dan sebagainya berdasarkan pengetahuan siswa sendiri.
Dewasa ini untuk ranah kognitif biasanya digunakan taksonomi Bloom
yang telah direvisi. Revisi taksonomi Bloom pertama kali dikemukakan oleh
Lorin Anderson (salah satu murid Bloom) sekitar tahun 1990-an. Secara garis
besar revisi tersebut menakup hal-hal sebagai berikut:
1) Nama keenam aspek kognitif diubah dari kata benda ke kata kerja dengan
pertimbangan taksonomi kognitif merefleksikan bentuk lain dari berfikir, dan
berfikir adalah proses aktif, untuk itu kata kerja adalah yang paling akurat.
2) Nama sub kategori pengetahuan (knowledge) diganti dengan istilah sub
kategori mengingat (remembering), mengingat pengetahuan merupakan produk
berfikir, sehingga tidak tepat jika digunakan untuk memahami kategori
berfikir.
3) Sejalan dengan perubahan istilah di atas, istilah sintetis (synthesis) diubah
menjadi mengkreasi (creating) agar dapat merefleksikan sebaik-baiknya secara
alamiah digambarkan dengan keenam-enamnya dari masing-masing kategori.
29
4) Beberapa sub kategori dilakukan pengorganisasian yang baru sebagaimana
ditunjukkan diagram di bawah ini: aspek pertama, kedua, dan ketiga termasuk
kognitif tingkat rendah, sedangkan aspek keempat, kelima, dan keenam
termasuk kognitif tingkat tinggi.
o Evaluation o Synthesis o Analysis o Application o Comprehension o Konwledge
o Creating o Evaluating o Analysing o Applying o Understanding o Remembering
Gambar 2.1 Taksonomi Bloom yang telah direvisi
Penjelasan mengenai keenam aspek Taksonomi Bloom yang telah direvisi
adalah sebagai berikut, pertama adalah aspek mengingat. Aspek ini merupakan
aspek yang paling rendah dalam urutan hirarki piramidal ranah kognitif. Dalam
jenjang kemampuan ini seseorang dituntut untuk dapat mengenali dan mengetahui
adanya konsep, fakta atau istilah-istilah, dan lain sebagainya tanpa harus mengerti
atau dapat menggunakannya. Jadi, aspek mengingat (recalling) secara cepat
informasi yang telah dipelajari sebelumnya. Kata kerja operasional yang dapat
digunakan adalah: menyebutkan, menunjukan, mengenal, mengingat kembali,
mendefinisi, memilih, dan mengatakan.
Kedua adalah aspek memahami yang meliputi juga aspek pengetahuan.
Pada aspek ini, siswa dituntut memahami atau mengerti apa yang diajarkan,
mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat memanfaatkan isinya
tanpa keahrusan menghubungkan dengan hal-hal yang lain. Contoh kata kerja
operasional yang digunakan adalah mengklasifikasikan, mengutip, mengubah,
menguraikan, membahas, memperkirakan, menjelaskan, menggeneralisasikan,
memberi contoh, menggambarkan, menyatakan kembali, merangkum, menelusuri,
mengerti.
Ketiga adalah aspek menerapkan, yang meliputi aspek memahami dan
mngingat. Dalam jenjang kemampuan ini, siswa dituntut kesanggupannya untuk
menerapkan ide-ide umum, tata cara, ataupun metode-metode, prinsip-prinsip,
lain-lain yang dipakai itu harus baru, karena apabila tidak demikian, maka
kemampuan yang diukur bukan lagi menerapkan tapi ingatan semata-mata.
Keempat adalah aspek menganalisis, yang meliputi aspek menerapkan,
memahami, dang mengingat. Pada aspek ini, siswa dituntut untuk dapat
menguraikan informasi ke dalam unsur-unsur atau komponen-komponen
pembentuknya, memeriksa informasi tersebut untuk mengembangkan kesimpulan
dengan mengidentifikasi motif atau penyebabnya, dan menemukan bukti untuk
mendukung suatu generalisasi.
Kelima adalah aspek menciptakan yang meliputi aspek menganalisis,
menerapkan, memahami, dan mengingat. Pada jenjang ini, seseorang dituntut
untuk dapat menghasilkan sesuatu yang baru dengan jalan menggabungkan
berbagai faktor yang ada. Menciptakan mengacu pada kemampuan untuk
menempatkan bagian-bagian bersama untuk membentuk satu kesatuan yang baru.
Ini mungkin melibatkan produksi komunikasi yang unik, rencana operasi, atau
satu set hubungan abstrak.
Keenam adalah aspek mengevaluasi, yang meliputi aspek menciptakan,
menganalisis, menerapkan, memahami, dan mengingat. Dalam jenjang
kemampuan ini, seseorang dituntut untuk dapat mengevaluasi situasi, keadaan,
pernyataan, atau konsepberdasarkan kriteria tertentu. Yang penting dalam evaluasi
ini adalah menciptakan kriteria tertentu. Mengevaluasi berkaitan dengan
kemampuan untuk menilai-nilai bahan untuk tujuan tertentu. Penilaian harus
didasarkan pada kriteria tertentu. Kata kerja operasional untuk merumuskan
indikatornya adalah menafsirkan, menduga, mempertimbangkan, mengevaluasi,
menentukan, membandingkan, membakukan, membenarkan, mengkritik, dan
sebaginya.
b. Ranah Afektif
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli
mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila