• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Analisis dampak lalu lintas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II Analisis dampak lalu lintas"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Pengertian Sistem

Sistem adalah beberapa komponen atau objek yang salingberkaitan

(Tamin, 2000). Sedangkan sistem transportasi merupakan sistem pergerakan orang dan/barang dari suatu zona asal ke zona tujuan dalam wilayah yang bersangkutan. Pergerakan yang dimaksud dapat dilakukan denganmenggunakan berbagai

sumber tenaga, dan dilakukan untuk suatu keperluan tertentu.

Untuk mendalami dan mendapatkan pemecahan atas berbagai masalah yang terkait perlu dilakukan pendek atan secara sistem. Sistem transportasi secara menyeluruh (makro) dapat dipecahkan menjadi beberapa sistem yang lebih kecil (mikro).

2.1.1 Sistem Transportasi Makro

Sistem ini merupakan sistem menyeluruh, yaitu gabungan dari beberapa sistem transportasi mikro,

Gambar 2.1 Sistem Transportasi Makro Sumber: Tamin, 2000

2.1.2 Sistem Transportasi Mikro

(2)

a) Sistem Kegiatan

Jenis kegiatan tertentu yang akan membangkitkan pergerakan dan akan menarik pergerakan dalam proses pemenuhan kebutuhan.

b) Sistm Transportasi

Meliputi sistem transportasi jalan raya, kereta api, terminal bus, bandara dan pelabuhan.

c) Sistem Pergerakan

Sistem rekayasa dan manajemen lalu lintas untuk menciptakan

pergerakan yang aman, cepat, nyaman, murah, handal, dan sesuai dengan lingkungan.

d) Sistem Kelembagaan

Meliputi individu, kelompok, lembaga, dan instansi pemerintah serta swasta yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam setiap sistem transportasi mikro tersebut, yaitu:

1. Sistem Kegiatan

Bapenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), Pemda (Pemerintah Daerah)

2. Sistem Jaringan

Departemen Perhubungan (Darat, Laut, Udara), Bina Marga 3. Sistem Pergerakan

DLLAJR (Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya, Organda (Organisasi Angkutan Daerah), Polantas (Polisi Lalu Lintas), masyarakat.

2.2. Istilah Dan Definisi Dasar

1. Arus Lalu Lintas

Adalah jumlah kendaraan bermotor yang melewati suatu titik pada jalan persatuan waktu (Dep. PU, 1997)

2. Bangkitan Perjalanan

(3)

3. Derajat Kejenuhan (Degree of Saturation)

Rasio arus lalu lintas terhadap kapasitas pada ruas jalan / persimpangan jalan tertentu (Dep. PU, 1997)

4. Distribusi Perjalanan

Distribusi bangkitan perjalanan menurut lokasi / zona asal dan tujuan. 5. Jalan

Prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas yang berada pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan / atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (Undang Undang No.38 tahun 2004, Peraturan Pemerintah No.34 tahun 2006)

6. Jam Puncak

Jam pada saat arus lalu lintas di dalam jaringan jalan berada pada kondisi maksimum

7. Jaringan Jalan

Sekumpulan ruas jalan dan persimpangan jalan yang merupakan suatu kesatuan yang terjalin dalam hubungan hierarki (Peraturan Menteri Perhubungan No. 14 tahun 2006)

8. Kapasitas

Arus maksimum suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan persatuan jam pada kondisi yang tertentu.

9. Volume Lalu Lintas

Jumlah kendaraan yang melewati suatu titik tertentu pada ruas jalan per satuan waktu, dinyatakan dalam kendaraan/jam atau satuan mobil penumpang (smp)/jam. (Peraturan Menteri Perhubungan No. 14 tahun 2006).

10. Tingkat Pelayanan

(4)

2.3. Pengertian Bangkitan Dan Tarikan

Tarikan pergerakan adalah jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona tarikan pergerakan (Tamin, 2000). Pergerakan lalu lintas merupakan fungsi tata guna lahan yang menghasilkan arus lalu lintas. Hasil dari perhitungan tarikan lalu lintas berupa jumlah kendaraan, orang atau angkutan barang per satuan waktu.

Gambar 2.2Trip Generation Sumber: Tamin, 2000

Bangkitan dan tarikan lalu lintas tergantung pada dua aspek tata guna lahan:

a) Jenis tata guna lahan (jenis penggunaan lahan)

b) Jumlah aktivitas dan intensitas pada tata guna lahan tersebut.

Jenis tata guna lahan yang berbeda (pemukiman, pendidikan, dan komersial) mempunyai ciri bangkitan lalu lintas yang berbeda, yaitu: a) Jumlah arus lalu lintas

b) Jenis lalu lintas (pejalan kaki, truk atau mobil)

c) Lalu lintas pada waktu tertentu (kantor menghasilkan lalu lintas pada pagi dan sore, pertokoan menghasilkan arus lalu lintas sepanjang hari)

2.3.1 Definisi Dasar

Menurut Tamin (2000) beberapa definisi mengenai model bangkitan pergerakan sebagai berikut:

a. Perjalanan

(5)

b. Tarikan perjalanan

Suatu perjalanan berbasis rumah yang tempat asal dan / tujuan adalah rumah atau pergerakan yang dibangkitkan oleh pergerakan berbasis bukan rumah.

c. Pergerakan berbasis rumah

Pergerakan yang salah satu atau kedua zona (asal dan / atau tujuan) perjalan tersebut adalah rumah.

d. Pergerakan berbasis bukan rumah

Pergerakan yang baik asal maupun tujuan pergerakan adalah bukan rumah. e. Tahapan bangkitan pergerakan

Menetapkan besarnya bangkitan perjalanan yang dihasilkan oleh rumah tangga (baik untuk perjalanan berbasis bukan rumah) pada selang waktu tertentu (perjam perhari).

2.3.2 Klasifikasi Pergerakan

Menurut Tamin (2000) pergerakan dapat diklasifikasikan 3 jenis pendekatan yaitu: a. Berdasarkan tujuan pergerakan

Pada prakteknya sering dijumpai bahwa model tarikan pergerakan yang lebih baik biasa didapatkan dengan memodelkan secara terpisah pergerakan yang mempunyai tujuan berbeda. Dalam kasus pergerakan berbasis rumah, ada lima kategori tujuan pergerakan yang sering digunakan yaitu:

1. Pergerakan ke tempat kerja

2. Pergerakan ke sekolah atau universitas ( tujuan pendidikan) 3. Pergerakan ke tempat belanja

4. Pergerakan untuk kepentingan sosial dan rekreasi

Dua tujuan pergerakan yang pertama (bekerja dan pendidikan) disebut tujuan pergerakan utama yang merupakan keharusan untuk dilakukan oleh setiap orang disetiap hari, sedangkan tujuan pergerkan lainnya sifatnya hanya pilihan dan tidak rutin dilakukan, pergerakan berbasis bukan rumah tidak selalu harus dipisahkan karena jumlahnya kecil.

(6)

Pergerakan umumnya dikelompokan menjadi pergerakan pada jam sibuk dan jam tidak sibuk. Proporsi pergerakan yang dilakukan oleh setiap tujuan pergerakan sangat bervariasi sepanjang hari.

c. Berdasarkan jenis orang

Merupakan salah satu jenis pengelompokan yang penting karena perilaku pergerakan individu sangat dipengaruhi oleh atribut sosial ekonomi, yaitu:

1. Tingkat pendapatan, biasanya terdapat tiga tingkatan pendapatan di Indonesia yaitu pendapatan tinggi, pendapatan menengah dan pendapatan rendah.

2. Tingkap pemilikan kendaraan, biasanya terdapat empat tingkat: 0, 1, 2 dan lebih dari 2 kendaraan per rumah tangga.

3. Ukuran dan struktur rumah tangga.

2.3.3 Konsep Perencanaan Transportasi

Menurut Tamin (2000), model perencanaan empat tahap merupakan gabungan beberapa sub model yaitu:

a. Aksesibilitas

Merupakan konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tata guna lahan secara geografis dengan sistem jaringan yang menghubungkannya. Menurut Black (1981), aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan “mudah” atau “susah” nya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan transportasi.

b. Produksi dan tarikan pergerakan

Bangkitan pergerakan adalah tahapan pemodelan yang memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona.

c. Sebaran pergerakan

(7)

d. Pemilihan moda

Jika terjadi interaksi antara dua tata guna lahan maka akan terjadi pergerakan lalu lintas antara kedua tata guna lahan tersebut. Salah satu hal yang berpengaruh adalah pemilihan alat angkut (moda).

e. Pemilihan rute

Pemilihan rute juga tergantung pada moda transportasi. Pemilihan moda dan pemilihan rute dilakukan bersama dan tergantung alternatif pendek, tercepat dan termurah.

Empat langkah berurutan dalam model perencanaan yaitu bangkitan perjalanan, pemilihan moda, dan pemilihan rute, sering disebut sebagai model agregat karena menerangkan perjalanan dari kelompok orang atau barang.

2.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Tarikan Pergerakan

a. Produksi pergerakan

Menurut Tamin (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi produksi pergerakan seperti pendapatan, pemilikan kendaraan, struktur rumah tangga, ukuran rumah tangga yang biasa digunakan untuk kajian produksi pergerakan, sedangkan nilai lahan dan kepadatan daerah pemukiman untuk kajian zona. b. Tarikan pergerakan

Menurut Tamin (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi tarikan

pergerakan adalah luas lantai untuk kegiatan industri, komersial, perkantoran, pelayanan lainnya, lapangan kerja, dan aksesibilitas.

2.3.5 Besaran Produksi dan Tarikan Pergerakan

Dalam konteks perjalanan antar kegiatan yang dilakukan oleh penduduk dalam sebuah kota dikenal fenomena bangkitan perjalanan (trip generation). Bangkitan perjalanan sebenarnya memiliki pengertian sebagai jumlah perjalanan yang dibangkitkan oleh zona pemukiman (baik sebagai asal maupan tujuan perjalanan), atau jumlah perjalanan yang dibangkitkan aktifitas pada akhir

(8)

2.4 Analisis Dampak Lalu Lintas

Peraturan-peraturan yang di buat untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas dalam rangka menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan yang digunakan dalam menganalisis dampak lalu lintas.

2.4.1 Undang-Undang No 22 Tahun 2009

Berdasarkan Pasal 99 Undang-Undang No 22 Tahun 2009 disebutkan sebagai berikut:

1) Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas.

2) Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:

a. analisis bangkitan dan tarikan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. simulasi kinerja Lalu Lintas tanpa dan dengan adanya pengembangan; c. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak;

d. tanggung jawab Pemerintah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak

e. rencana pemantauan dan evaluasi.

3) Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu syarat bagi pengembang untuk mendapatkan izin Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menurut peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 100 Undang-Undang No 22 Tahun 2009 disebutkan sebagai berikut:

1) Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) dilakukan oleh lembaga konsultan yang memiliki tenaga ahli bersertifikat. 2) Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat

(9)

2.4.2 Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 2011

Berdasarkan Pasal 47 Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 2011 disebutkan sebagai berikut:

Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan,

ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan wajib dilakukan analisis dampak lalu lintas.

1) Pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 berupa bangunan untuk:

a. kegiatan perdagangan; b. kegiatan perkantoran; c. kegiatan industri; d. fasilitas pendidikan;

e. fasilitas pelayanan umum; dan/atau

f. kegiatan lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan lalu lintas.

2) Permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 berupa: a. perumahan dan permukiman;

b. rumah susun dan apartemen; dan/atau

c. permukiman lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan lalu lintas.

3) Infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 berupa: a. akses ke dan dari jalan tol;

b. pelabuhan; c. bandar udara; d. terminal;

e. stasiun kereta api; f. pool kendaraan;

g. fasilitas parkir untuk umum; dan/atau h. infrastruktur lainnya.

4) Kriteria pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang dapat

menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas angkutan jalan diatur oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan setelah mendapat pertimbangan dari:

a. menteri yang bertanggung jawab di bidang jalan; dan b. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(10)

Hasil analisis dampak lalu lintas merupakan salah satu persyaratan pengembang atau pembangun untuk memperoleh:

a. izin lokasi;

b. izin mendirikan bangunan; atau

c. izin pembangunan bangunan gedung dengan fungsi khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

d. di bidang bangunan gedung.

2.5. Analisis Kondisi Yang Akan Datang

Analisis diperlukan untuk mengetahui kondisi kinerja lalu lintas yang akan terjadi. Signifikansi ditentukan dengan mempertimbangkan persentase lalu Iintas di jalan yang dibangkitkan selama jam puncak yang berkaitan dengan kapasitas maksimum jalan.

Sedangkan dampak merugikan bila:

1. Jalan mengalami peningkatan rasio arus jalan terhadap kapasitas dari nilai yang direncanakan.

2. Jalan terkena dampak secara signifikan, tetapi jalan itu dalam 5 tahun belum masuk dalam program peningkatan pemerintah daerah.

Untuk memperkirakan besarnya volume kendaraan di masa yang akan datang dipergunakan metode proyeksi yang didasarkan pada tingkat pertumbuhan dari data-data yang sudah ada. Data yang dipergunakan untuk memperkirakan besarnya volume kendaraan umumnya menggunakan faktor pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan kendaraan dan arus lalu lintas. Rumus yang dipergunakan adalah (Tamin, 2000):

P (t + n) = Pt (1+ r) n……… (2.1)

Dimana:

P (t+n) = nilai pada tahun ke – n Pt = nilai awal

r = tingkat pertumbuhan n = jarak waktu (tahun)

(11)

Volume lalu lintas menunjukan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari, jam, menit). Volume Lalu Lintas Jam Puncak diperlukan untuk menentukan lalu lintas "terburuk" yang mungkin terjadi dalam periode 1 jam selama hari tertentu dalam tahun rencana, yang disebut sebagai jam rencana. Asumsinya yaitu, apabila jaringan jalan dapat menampung lalu Iintas dalam kondisi "terburuk", maka jalan akan menampung lalu Iintas pada kondisi di luar itu. Beberapa situasi yang dapat diklasifikasikan sebagai keadaan "terburuk", yaitu:

a. jam puncak bangkitan lalu lintas ditambah dengan lalu lintas menerus pada jam tersebut;

b. jam puncak dari lalu lintas menerus di sekitar lokasi ditambah bangkitan lalu Iintas pada jam tersebut.

Satuan volume lalu lintas yang umum digunakan berkaitan pula dengan lalu lintas harian rata-rata, volume jam perencanaan, kapasitas dan pertumbuhan lalu lintas.

2.6.2 Kapasitas Jalan

Kapasitas Jalan didefinisikan sebagai arus maksimum suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan persatuan jam pada kondisi yang tertentu. Untuk menentukan kapasitas jalan dapat menggunakan rumus sebagai berikut (Dep. PU, 1997):

C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs (smp/jam)………(2.2)

Dimana:

C : Kapasitas (smp/jam)

Co : Kapasitas dasar (smp/jam)

FCw : Faktor koresi kapasitas untuk lebar jalan

FCsp : Faktor koresi kapasitas akibat pembagian arah (tidak berlaku untuk jalan satu arah)

FCsf : Faktor koresi kapasitas akibat gangguan samping

(12)

1. Kapasitas Dasar

Faktor-faktor penyesuaian yang berpengaruh terhadap perhitungan kapasitas jalan, disajikan pada Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1Kapasitas Dasar Co

Tipe Jalan Kapasitas Dasar (smp/jam) Keterangan

Jalan 4 lajur berpembatas median

atau jalan satu arah 1.650 Per lajur

Jalan 4 lajur tanpa pembatas median 1.500 Per lajur

Jalan 2 lajur tanpa pembatas median 2.900 Total dua arah Sumber: Dep.PU(1997)

2. Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Pembagian Arah

Faktor koreksi FCsp ini dapat dilihat pada Tabel 2.2penentuan faktor koreksi untuk pembagian arah didasarkan pada kondisi arus lalu lintas dari kedua arah atau untuk jalan tanpa pembatas median. Untuk jalan satu arah atau jalan dengan pembatas median, faktor koresi kapasitas akibat pembagian arah adalah 1,0.

Tabel 2.2Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Pembagian Arah (FCsp)

Pembagian arah (%-%) 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30

FCsp 2-lajur 2-arah tanpa pembatas median (2/2 UD)

(13)

4-lajur 2-arah tanpa pembatas median (4/2 UD)

1,00 0,985 0,97 0,955 0,94

Sumber: Dep.PU(1997)

3. Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Ukuran Kota (FCCS)

Faktor penyesuaian untuk pengaruh ukuran kota FCCS dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3Faktor koreksi kapasitas akibat ukuran kota FCCS

Ukuran kota (juta penduduk) Faktor koreksi untuk ukuran kota

‹ 0,1 0,86

0,1 – 0,5 0,90

0,5 – 1,0 0,94

1,0 – 1,3 1,00

› 1,3 1,03

Sumber: Dep.PU(1997)

4. Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Lebar Jalan

Lebar lajur dan jumlah lajur akan sangat mepengaruhi kapasitas yang dimiliki oleh jalan oleh karena itu faktor koreksi akibat lebar jalan sangat berpengaruh. Faktor penyesuaian untuk pengaruh lebar jalan FCw dapat dilihat pada Tabel 2.4 berikut:.

Tabel 2.4Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Lebar Jalan (FCw)

Tipe jalan Lebar jalan efektif (m) FCw

4 lajur berpembatas median 3,00 0,92

atau jalan satu arah 3,25 0,96

3,50 1,00

(14)

4,00 1,08

4 lajur tanpa pembatas 3,00 0,91

median 3,25 0,95

3,50 1,00

3,75 1,05

4,00 1,09

2 lajur tanpa pembatas 5 0,56

median 6 0,87

7 1,00

8 1,14

9 1,25

10 1,29

11 1,34

Sumber: Dep.PU(1997)

5. Faktor Koresi Kapasitas Akibat Gangguan Samping

Hambatan samping adalah dampak terhadap kinerja lalu lintas dari

aktivitas samping segmen jalan, seperti pejalan kaki, kendaraan henti/parkir di sisi jalan, kendaraan masuk/keluar sisi jalan dan kendaraan tidak bermotor. Nilai faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping dibedakan berdasarkan tipe jalan dengan bahu dan tipe jalan dengan kerb. Faktor koreksi kapasitas untuk gangguan samping untuk ruas jalan yang mempunyai bahu jalan dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Gangguan Samping (FCsf) untuk jalan yang mempunyai bahu jalan

Tipe jalan Kelas gangguan samping

Faktor koreksi akibat gangguan samping dan lebar bahu jalan efektif

Lebar bahu jalan efektif (Ws)

(15)

4-lajur 2-arah berpembatas median (4/2 D)

Sangatrendah 0,96 0,98 1,01 1,03

Rendah 0,94 0,97 1,00 1,02

Sedang 0,92 0,95 0,98 1,00

Tinggi 0,88 0,92 0,95 0,98

Sangat tinggi 0,84 0,88 0,92 0,96

4-lajur 2-arah Sangat rendah 0,96 0,99 1,01 1,03

tanpa pembatas Rendah 0,94 0,97 1,00 1,02

median (4/2 Sedang 0,92 0,95 0,98 1,00

UD) Tinggi 0,87 0,91 0,94 0,98

Sangat tinggi 0,80 0,86 0,90 0,95

2-lajur 2-tanpa Sangat rendah 0,94 096 0,99 1,01

pembatas Rendah 0,92 0,94 0,97 1,00

median (2/2 Sedang 0,89 0,92 0,95 0,98

UD) atau jalan Tinggi 0,82 0,86 0,90 0,95

satu arah Sangat tinggi 0,73 0,79 0,85 0,91

Sumber: Dep.PU(1997)

Faktor koreksi kapasitas untuk gangguan samping untuk ruas jalan yang mempunyai kereb dapat dilihat pada Tabel 2.6yang didasarkan pada jarak antara kereb dan gangguan pada sisi jalan (Wk)dan tingkat gangguan samping.

Tabel 2.6Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Gangguan Samping (FCsf) untuk jalan yang mempunyai kereb.

Tipe jalan Kelas gangguan samping

Faktor koreksi akibat gangguan samping dan gangguan pada kereb

Jarak : kereb – gangguan

≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0

Sangat rendah 0,95 0,97 0,99 1,01

(16)

berpembatas Rendah 0,94 0,96 0,98 1,00

median (4/2 D) Sedang 0,91 0,93 0,95 0,98

Tinggi 0,86 0,89 0,92 0,95

Sangat tinggi 0,81 0,85 0,88 0,92

4-lajur 2-arah Sangat rendah 0,95 0,97 0,99 1,01

tanpa Rendah 0,93 0,95 0,97 1,00

pembatas Sedang 0,90 0,92 0,95 0,97

median (4/2 Tinggi 0,84 0,87 0,90 0,93

UD) Sangat tinggi 0,77 0,81 0,85 0,90

2-lajur 2-tanpa Sangat rendah 0,93 0,95 0,97 0,99

pembatas Rendah 0,90 0,92 0,95 0,97

median (2/2 Sedang 0,86 0,88 0,91 0,94

UD) atau jalan Tinggi 0,78 0,81 0,84 0,88

satu arah Sangat tinggi 0,63 0,72 0,77 0,82

Sumber: Dep.PU(1997)

Faktor koreksi kapasitas untuk jalan 6 lajur dapat diperkirakan dengan menggunakan faktor koreksi kapasitas untuk jalan 4 lajur dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Dep. PU, 1997):

FC6,SF = 1 – 0,8 x (1 – FC4,SF) ………..……. (2.3) FC6,SF : faktor koreksi kapasitas untuk jalan 6 lajur

FC4,SF : faktor koreksi kapasitas untuk jalan 4 lajur

Untuk menentukan kelas hambatan samping berdasarkan hambatan samping dapat dilihat pada Tabel 2.7 sebagai berikut:

Tabel 2.7 Kelas Hambatan Samping Berdasarkan Tata Guna Lahan Kelas

hambatan samping

(SFC)

Kode

Jumlah berbobot kejadian per 200 m per

jam (dua sisi)

Kondisi khusus

Sangat rendah VL <100 Daerah permukiman; jalan samping tersedia

Rendah L 100 – 299

(17)

Sedang M 300 – 499 Daerah industry; beberapa took sisi jalan

Tinggi H 500 – 899 Daerah komersial; aktivitas sisi jalan tinggi Sangat tinggi VH >900 Daerah komersial; aktivitas pasar sisi jalan Sumber: Dep.PU(1997)

2.6.3 Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio arus jalan terhadap kapasitas, yang digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai DS menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Persamaan dasar untuk menentukan derajat kejenuhan adalah sebagai berikut(Dep. PU, 1997):

DS=Q

C ………

(2.4) Keterangan:

DS = Derajat kejenuhan

Q = Arus lalu lintas (smp/jam) C = Kapasitas (smp/jam)

Derajat kejenuhan digunakan untuk menganalisis perilaku lalu lintas.

2.6.4 Kecepatan

Kecepatan adalah jarak perjalanan yang ditempuh dalam satuan waktu (km/jam). Kecepatan menentukan jarak yang dijalani pengemudi kendaraan dalam waktu tertentu. Pemakaian jalan dapat menaikkan kecepatan untuk

memperpendek waktu perjalanan atau memperpanjang jarak perjalanan. Nilai perubahan kecepatan adalah mendasar, tidak hanya untuk berangkat dan berhenti tetapi untuk seluruh arus lalu lintas yang dilalui. Kecepatan adalah rasio jarak yang dijalani dan waktu perjalanan. Hubungannya adalah sebagai berikut (Dep. PU, 1997):

V= L

TT ……….(2.5)

Keterangan:

(18)

TT = Waktu tempuh rata-rata kendaraan ringan sepanjang ringan sepanjang segmen (jam)

Kecepatan tempuh didefinisikan sebagai kecepatn rata-rata dari kendaraan ringan sepanjang segmen jalan. Grafik fungsi untuk mendapatkan kecepatan rata-rata kendaraan ringan dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Grafik Kecepatan sebagai fungsi DS jalan banyak lajur dan satu arah

Sumber: Dep. PU(1997) 1. Kecepatan Arus Bebas

Kecepatan arus bebas didefinisikan sebagai kecepatan pada saat tingkatan arus nol, sesuai dengan kecepatan yang akan dipilih pegemudi seandainya

mengendarai kendaraan bermotor tanpa halangan kendaraan bermotor lain dijalan (yaitu sat arus = 0). Kecepatan arus bebas mobil penumpang biasanya 10-15% lebih tinggi dari jenis kendaraan lain. Persamaan untuk penentuan kecepatan arus bebas pada jalan perkotaan mempunyai bentuk sebagai berikut (Dep. PU, 1997):

FV = (FVO + FVW) x FFVSF x FFVCS ………(2.6) Keterangan:

FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan (km/jam)

FVO = Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan pada jalan dan alinyemen ruang diamati (km/jam)

FVW = Penyesuaian kecepatan akibat lebar jalur lalu lintas (km/jam)

(19)

FFVCS = Faktor penyesuaian kota 1. Kecepatan Arus Bebas Dasar

Berdasarkan Dep.PU (1997), kecepatan arus bebas adalah kecepatan kendaraan yang tidak dihalangi kendaraan lain. Kecepatan arus bebas dasar ditentukan berdasarkan jenis jalan dan jenis kendaraan. Secara umum kendaraan ringan memiliki kecepatan arus lebih tinggi daripada kendaraan barat dan sepeda motor. Jalan terbagi memiliki kecepatan arus bebas lebih tinggi daripada jalan tidak terbagi. Bertambahnya jumlah lajur sedikit menaikkan kecepatan arus bebas. Untuk nilai kecepatan arus bebas dasar dapat dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Kecepatan arus bebas dasar (FVO) untuk jalan perkotaan

Tipe Jalan

Kecepatan Arus Bebas (FVO) (km/jam) Kendaraan

Ringan LV

Kendaraan Berat

HV

Sepeda Motor MC

Semua Kendaraan

(rata-rata) 6/2 terbagi atau tiga

lajur satu arah 61 52 48 57

4/2 terbagi atau dua

lajur satu arah 57 50 47 55

4/2 tak terbagi 53 46 43 51

2/2 tak terbagi 44 40 40 42

Sumber: Dep.PU(1997)

2. Faktor Penyesuaian Lebar Jalur Lalu Lintas Efektif (FVW)

Penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas ditentukan berdasarkan jenis jalan dan lebar jalur lalu lintas efektif (Wc). Pada jalan selain 2/2 UD pertambahan atau pengurangan kecepatan bersifat linier sejalan dengan selisihnya dengan lebar standar (3,5 meter). Hal ini berbeda terjadi pada jalan 2/2 UD terutama untuk Wc (2 arah) kurang dari 6 meter. Nilai untuk penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lajur lalu lintas dapat dilihat pada Tabel 2.9.

(20)

Tipe Jalan

Lebar Jalur Lalu Lintas Efektif (WC)

(m)

FVW (km/jam)

Empat lajur terbagi (4/2 D) atau jalan satu arah Per lajur 3,00 3,25 3,50 3,75 4,00 -4 -2 0 2 4

Empat lajur tak terbagi (4/2 UD)

Per lajur 3,00 3,25 3,50 3,75 4,00 -4 -2 0 2 4

Dua lajur dua arak tak terbagi (2/2 UD)

Total dua arah 5 6 7 8 9 10 11 -9,5 -3 0 3 4 5 7 Sumber: Dep.PU(1997)

3. Faktor Penyesuaian Hambatan Samping (FFVSF)

Faktor penyesuaian hambatan samping ditentukan berdasarkan jenis jalan, kelas hambatan samping, lebar bahu dan jarak kereb ke penghalang efektif dapat dilihat pada Tabel 2.10 dan Tabel 2.11.

a. Jalan Dengan Bahu

Tabel 2.10 Faktor penyesuaian untuk pengruh hambatan samping dan lebar bahu (FFVSV)

Tipe Jalan Kelas Hambatan Samping

Faktor Penyesuaian Untuk Hambatan Samping dan Lebar Bahu (FFVSF)

Lebar Bahu efektif rata-rata (m)

(21)

Rendah 0,98 1,00 1,02 1,03

Sedang 0,94 0,97 1,00 1,02

Tinggi 0,89 0,93 0,96 0,99

Sangat Tinggi 0,84 0,88 0,92 0,96

4/2 UD

Sangat Rendah 1,02 1,03 1,03 1,04

Rendah 0,98 1,00 1,02 1,03

Sedang 0,93 0,96 0,99 1,02

Tinggi 0,87 0,91 0,94 0,98

Sangat Tinggi 0,80 0,86 0,90 0,95

2/2 UD atau jalan satu

arah

Sangat Rendah 1,00 1,01 1,01 1,01

Rendah 0,96 0,98 0,99 1,00

Sedang 0,91 0,93 0,96 0,99

Tinggi 0,82 0,86 0,90 0,95

Sangat Tinggi 0,73 0,79 0,85 0,91

Sumber: Dep.PU(1997) b. Jalan Dengan Kereb

Tabel 2.11 Faktor penyesuaian untuk pengaruh hambatan samping dan kereb penghalang (FFVSF)

Tipe Jalan Kelas Hambatan Samping

Faktor Penyesuaian Untuk Hambatan Samping dan

(22)

≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0

4/2 D

Sangat Rendah 1 1,01 1,01 1,02

Rendah 0,97 0,98 0,99 1,00

Sedang 0,93 0,95 0,97 0,99

Tinggi 0,87 0,90 0,93 0,96

Sangat Tinggi 0,81 0,85 0,88 0,92

4/2 UD

Sangat Rendah 1 1,01 1,01 1,02

Rendah 0,96 0,98 0,99 1,00

Sedang 0,91 0,93 0,96 0,98

Tinggi 0,84 0,87 0,90 0,94

Sangat Tinggi 0,77 0,81 0,85 0,90

2/2 UD atau jalan

satu arah

Sangat Rendah 0,98 0,995 0,99 1,00

Rendah 0,93 0,95 0,96 0,98

Sedang 0,87 0,89 0,92 0,95

Tinggi 0,78 0,81 0,84 0,88

Sangat Tinggi 0,68 0,72 0,77 0,82

Sumber: Dep.PU(1997)

(23)

Faktor penyesuaian ukuran kota (FFVCS) ditentukan berdasarkan jumlah penduduk di kota tempat ruas jalan yang bersangkutan berada dapat dilihat pada Tabel 2.12. Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) menyarankan reduksi terhadap kecepatan arus bebas dasar bagi kota berpenduduk kurang dari 1 juta jiwa dan kenaikn terhadap kapasitas dasar bagi kota berpenduduk lebih dari 3 juta jiwa.

Tabel 2.12 Faktor penyesuaian FFVCS untuk pengaruh ukuran kota pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan jalan perkotaan

Ukuran Kota (juta jiwa) Faktor Penyesuaian Untuk Ukuran Kota

< 0,1 0,90

0,1 – 0,5 0,93

0,5 – 1,0 0,95

1,0 – 3,0 1,00

> 3,0 1,03

Sumber: Dep.PU(1997)

2.6.5 Tingkat Pelayanan

Tingkat pelayanan adalah indikator yang dapat mencerminkan tingkat kenyamanan ruas jalan, yaitu perbandingan antara volume lalu lintas yang ada terhadap kapasitas jalan tersebut (Dep.PU, 1997)

Tingkat pelayanan jalan ditentukan dalam suatu skala interval yang terdiri dari 6 (enam) tingkat. Tingkat-tingkat ini dinyatakan dengan huruf A yang

merupakan tingkat pelayanan tertinggi sampai F yang merupakan tingkat pelayanan paling rendah. Apabila volume lalu lintas meningkat, maka tingkat pelayanan jalan menurun karena kondisi lalu lintas yang memburuk akibat interaksi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pelayanan. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pelayanan, antara lain: volume, kapasitas, dan kecepatan.

Tingkat pelayanan berdasarkan KM 14 Tahun 2006 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Di Jalan diklasifikasikan atas:

1. Tingkat Pelayanan A

(24)

b. Kepadatan lalu lintas sangat rendah dengan kecepatan yang dapat dikendalikan oleh pengemudi berdasarkan batasan kecepatan maksimum/minimum dan kondisi fisik jalan.

c. Pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya tanpa atau dengan sedikit tundaan.

2. Tingkat Pelayanan B

a. Arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan mulai dibatasi oleh kondisi lalu lintas.

b. Kepadatan lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas belum memengaruhi kecepatan.

c. Pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih kecepatannya dan lajur jalan yang digunakan.

3. Tingkat Pelayanan C

a. Arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan dikendalikan oleh volume lalu lintas yang lebih tinggi.

b. Kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu lintas meningkat.

c. Pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan, pindah lajur atau mendahului.

4. Tingkat Pelayanan D

a. Arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan kecepatan masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh

perubahan kondisi arus.

b. Kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu lintas dan hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang besar.

c. Kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu lintas dan hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang besar.

5. Tingkat Pelayanan E

a. Arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume lalu lintas mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah. b. Kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas

tinggi.

c. Pengemudi mulai merasakan kemacetan-kemacetan durasi pendek. 6. Tingkat Pelayanan F

a. Arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang.

(25)

c. Dalam keadaan antrian, kecepatan maupun volume turun sampai 0. Tingkat pelayanan jalan tidak hanya dapat dilihat dari perbandingan rasio Q/C, namun juga tergantung dari besarnya kecepatan operasi pada suatu ruas jalan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.4 (Tamin, 2000).

Gambar 2.4 Tingkat pelayanan berdasarkan volume dengan kapasitas (Tamin, 2000)

Hubungan antara tingkat pelayanan jalan, karakteristik arus lalu lintas dan rasio volume terhadap kapasitas (rasio DS=Q/C) adalah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.13 sebagai berikut.

Tabel 2.13 Hubungan antara tingkat pelayanan, karakteristik arus lalu lintas dan rasio volume terhadap kapasitas

Tingkat Pelayana

n Keterangan

Derajat Kejenuhan

(DS)

A

Kondisi arus bebas dengan kecepatan tinggi dan volume lalu lintas rendah. Pengemudi dapat memilih kecepatan yang diinginkan tanpa hambatan.

0,00 – 0,19

B Dalam zona arus stabil. Pengemudi memiliki kebebasan yang cukupdalam memilih kecepatan. 0,20 – 0,44

C Dalam zona arus stabil. Pengemudi dibatasi dalam

(26)

D

Mendakati arus yang tidak stabil. Dimana hampir seluruh pengemudi akan dibatasi (terganggu). Volume pelayanan berkaitan dengan kapasitas yang dapat ditolerir.

0,75 – 0,84

E

Volume lalu lintas mendekati atau berada pada kapasitasnya. Arus tidak stabil dengan kondisi

yang sering terhenti. 0,85 – 1,00

F

Arus yang dipaksakan atau macet pada kecepatan yang rendah. Antrian yang panjang dan terjadi hambatan-hambatan yang besar.

Sumber: TRB (1994)

2.7. Analisis Bagian Jalinan Tunggal

Bagian jalinan secara formil dikendalikan dengan aturan lalu lintas Indonesia yaitu dengan memberi jalan kepada yang kiri. Bagian jalinan dibagi menjadi dua tipe yaitu bagian jalinan tunggal dan bagian jalinan bundaran.

2.7.1 Kapasitas

Kapasitas total bagian jalinan adalah hasil perkalian antara kapasitas dasar (Co) yaitu kapasitas pada kondisi tertentu (ideal) dan faktor penyesuaian (F), dengan memperhitungkan pengaruh kondisi lapangan sesungguhnya terhadap kapasitas.

Model kapasitas adalah sebagai berikut (Dep. PU, 1997):

C = 135 x WW1.3 x (1 + WE/WW)1.5 x (1 – PW/3)0.5 x (1 + WW/WL)-1.8

x FCS x FRSU (smp/jam)………(2.7) Dimana :

C : Kapasitas (smp/jam)

WW : Lebar jalinan (m)

WE : Lebar masuk rata – rata (m)

Pw : Rasio jalinan

WW/LW : Lebar jalinan/Panjang jalinan

FCS : Faktor koreksi kapasitas akibat ukuran kota (jumlah penduduk) FRSU : Faktor koreksi kapasitas akibat adanya tipe lingkungan jalan,

(27)

Untuk menentukan nilai kapasitas dasar pada bagian jalinan tunggal seperti yang dipergunakan dalam mencari kapasitas bagian jalinan tunggal dapat menggunakan grafik-grafik pada Gambar 2.5, Gambar 2.6, Gambar 2.7, dan Gambar 2.8 sebagai berikut:

Gambar 2.5 Grafik Faktor Ww = 135 x Ww1.3 Sumber: Dep. PU(1997)

(28)

Gambar 2.7 Grafik Faktor PW = (1 – PW/3)0.5 Sumber: Dep. PU(1997)

Gambar 2.8 Grafik Faktor WW/WL = (1 + WW/WL)-1.8 Sumber: Dep. PU(1997)

(29)

Faktor penyesuaian ukuran kota ditentukan dari Tabel 2.14 berdasarkan jumlah penduduk kota (juta jiwa).

Tabel 2.14 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS)

Ukuran kota (CS) Penduduk Juta Faktor penyesuaian ukuran kota (FCS)

Sangat kecil < 0,1 0,82

Kecil 0,1-0,5 0,88

Sedang >0,5-1,0 0,94

Besar >1,0-3,0 1,00

Sangat Besar >3,0 1,05

Sumber: Dep.PU(1997)

2. Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping dan Rasio Kendaraan Tak Bermotor (FRSU)

Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping dan rasio kendaraan tak bermotor, ditentukan dengan menggunakan Tabel 2.15 di bawah.

Tabel 2.15 Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping dan Rasio Kendaraan Tak Bermotor (FRSU)

Kelas tipe lingkungan jalan RE Kelas hambatan samping SF

Rasio kendaraan tak bermotor (PUM) 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 >0,25

Komersial

Tinggi 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70

Sedang 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,70

Rendah 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,71

Permukiman

Tinggi 0,96 0,91 0,86 0,82 0,77 0,72

Sedang 0,97 0,92 0,87 0,82 0,77 0,73

Rendah 0,98 0,93 0,88 0,83 0,78 0,74

Akses terbatas

Tinggi/sedan

g/rendah 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75

Sumber: Dep.PU(1997)

(30)

mungkin merupakan keadaan jika kendaraan tak bermotor tersebut terutama berupa sepeda.

FRSU (PUM lapangan) = FRSU (PUM = 0) x (1-PUM x empUM)

2.7.2 Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan bagian jalinan dihitung sebagai berikut (Dep. PU, 1997):

DS = Qsmp/ C ………(2.8) Keterangan :

DS : Derajat kejenuhan

Q smp : Arus total (smp/jam), Qsmp = Qkend x Fsmp

Fsmp : Faktor smp = (empLv x LV % + emphv x HV% + empMC x MC %) / 100, dimana :

empLv , LV %, emphv, HV%, empMC, MC% adalah emp dan komposisi lalu lintas untuk kendaraan ringan, berat dan sepeda motor.

C : Kapasitas (smp/jam)

2.7.3 Kecepatan Tempuh

Kecepatan tempuh (km/jam) sepanjang bagian jalinan dihitung dengan rumus empiris berikut (Dep. PU, 1997):

V = VO x 0.5 x (1 + (1-DS)0.5………...(2.9) Dimana :

VO : Kecepatan arus bebas (km/jam), dihitung sebagai berikut : VO = 43 x (1 – PW/3)

PW : Rasio menjalin DS : Derajat kejenuhan

(31)
[image:31.595.127.500.87.337.2]

Gambar 2.9 Grafik Faktor PW = 43 x (1 – PW/3) Sumber: Dep. PU(1997)

Pada Gambar 2.10 diberikan grafik untuk nilai yang dibutuhkan guna menentukan kecepatan tempuh pada bagian jalinan tunggal.

Gambar 2.10 Grafik Faktor DS = 0.5 x (1 + (1-DS)0.5) Sumber: Dep. PU(1997)

[image:31.595.154.470.435.641.2]
(32)

Tabel 2.16 Rentang Empiris Model Kecepatan Arus Bebas

Variable Min Rata-rata Maks

Lebar masuk(WE) 8 9,7 11

Lebar jalinan (WW) 8 11,6 20

Panjang jalinan (LW) 50 84 121

Rasio lebar/panjang (WW/LW) 0,07 0,14 0,20

Rasio jalinan(PW) 0,69 0,80 0,95

Sumber: Dep.PU(1997)

Catatan: Jika informasi kecepatan bebas yang lebih baik tersedia maka sebaiknya dipergunakan..

2.7.4 Waktu Tempuh

`Waktu tempuh (TT) sepanjang bagian jalinan dihitung sebagai berikut (Dep. PU, 1997):

TT = LW x 3.6 / V………....(2.10) Dimana :

Lw : Panjang bagian jalinan (m) V : Kecepatan tempuh (km/jam)

2.8 Penentuan Kebutuhan Parkir

Penentuan kebutuhan parkisr dihitung berdasarkan Dep. Perhubungan, 1996 dan diuraikan sebagai berikut:

1. Jenis peruntukan kebutuhan parkir sebagai berikut: a. Kegiatan parkir yang tetap

1) Pusat pedagangan

2) Pusat perkantoran swasta atau pemerintahan 3) Pusat pedagangan eceran atau pasar swalayan 4) Pasar

5) Sekolah

6) Tempat rekreasi

7) Hotel dan tempat penginapan 8) Rumah sakit

b. Kegiatan parkir yang bersifat sementara 1) Bioskop

2) Tempat pertunjukan

3) Tempat pertandingan olahraga 4) Rumah ibadah.

(33)

a) Pusat perdagangan

Luas Areal Total

(100m2) 10 20 50 100 500 1000 1500 2000

Kebutuhan (SRP) 59 67 88 125 415 777 1140 1502

b) Pusat perkantoran

Jumlah Karyawan 1000 1250 1500 1750 2000 2500 3000 4000 5000

Kebutuhan (SRP)

Administrasi 235 236 237 238 239 240 242 246 249

Pelayanan

Umum 288 289 290 291 291 293 295 298 302

c) Pasar swalayan

Luas Areal Total

(100m2) 50 7 5 1 0 0 1 5 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 1 0 0 0

Kebutuhan (SRP) 225 2 5 0 2 7 0 3 1 0 3 5 0 4 4 0 5 2 0 6 0 0 1 0 5 0

d) Pasar

Luas Areal Total

(100m2) 40 50 75 100 200 300 400 500 1000

Kebutuhan

(SRP) 160 185 240 300 520 750 970 1200 2300

e) Sekolah/perguruan tinggi

Jumlah Mahasiswa

(Orang) 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 11000 12000

Kebutuhan (SRP) 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240

f) Tempat rekreasi

Luas Areal Total (100m2) 50 100 150 200 400 800 1600 3200 6400

Kebutuhan (SRP) 103 109 115 122 146 196 295 494 892

g) Hotel dan tempat penginapan

(34)

Tarip Standart ($)

< 100 154 155 156 158 161 162 165 166 167 100

-150 300 450 476 477 480 481 484 485 487 150

-200 300 450 600 798 799 800 803 804 806 200

-250 300 450 600 900 1050 1119 1122 1124 1425

h) Rumah sakit

Jumlah Tempat Tidur

(buah) 50 75 100 150 200 300 400 500 1000

Kebutuhan (SRP) 97 100 104 111 118 132 146 160 230

2) Kegiatan parkir yang bersifat sementara a) Bioskop

Jumlah Tempat Duduk (buah)

300

400 500 600 700 800 900 1000 1000

`Kebutuhan (SRP)

19 202 206 210 214 218 222 227 230

b) Tempat pertandingan olah raga

Jumlah Tempat Tidur (buah) 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 15000 1000

Kebutuhan (SRP) 235 290 340 390 440 490 540 790 230

[image:34.595.105.514.91.505.2]

a. Berdasarkan ukuran ruang parkir yang dibutuhkan yang belum tercakup dalam Butir 2.a.

Tabel 2.17 Ukuran Kebutuhan Ruang Parkir

Peruntukan Satuan

(SRP untuk mobil penumpang) Kebutuhan Ruang Parkir Pusat Perdagangan

Pertokoan SRP / 100 m2 luas lantai efektif 3,5 - 7,5 Pasar Swalayan SRP / 100 m2 luas lantai efektif 3,5 - 7,5 Pasar SRP / 100 m2 luas lantai efektif

Pusat Perkantoran

Pelayanan bukan umum SRP / 100 m2 luas lantai 1,5 - 3,5 Pelayanan umum SRP / 100 m2 luas lantai

(35)

Hotel/Tempat Penginapan SRP / kamar 0,2 - 1,0

Rumah Sakit SRP / tempat tidur 0,2 - 1,3

Bioskop SRP / tempat duduk 0,1 - 0,4

Sumber : NAASRA 1988 dikutip dari Dep.Hub, 1996 2.9 Pengertian Kondotel

Kondotel berasal dari Condominium Hotel yaitu condominium atau bangunan tinggi alias apartemen yang dioperasikan sebagai hotel dan memiliki fasilitas hotel (Maulana, 2009). Bedanya, unit-unit atau kamarnya dimiliki oleh investor perorangan, tetapi biasanya dioperasikan pihak ketiga yaitu pihak management hotel (misalnya Aston, Ascott dll). Kelebihannya dari hotel adalah tata ruangnya yang relatif lebih nyaman. Satu unit condotel biasanya dilengkapi dengan ruang tamu, ruang makan dan dapur sehingga ideal untuk tinggal lebih lama dan harga sewanya bisa lebih tinggi dari hotel. Tiap kondotel dapat

menawarkan tipe yang berbeda-beda. Pada kondotel biasanya disediakan fasilitas-fasilitas seperti seperti kolam renang, spa, restoran, meeting room dan fasilitas-fasilitas kelengkapan lainnya seperti yang lumrah disediakan hotel berbintang, semua ditujukan untuk kenyamanan pengunjung.

Tiap unit ini kemudian dijual kepada investor, selanjutnya, unit-unit dikelola oleh operator hotel yang akan memasarkan dan menyewakan secara harian kepada tamu-tamu yang akan menginap di kondotel ini. Kondotel akan difungsikan seperti hotel berbintang. Secara sederhana, kondotel dapat diartikan seperti condominium yang diolah dan disewakan seperti hotel.

Membeli Kondotel merupakan salah satu cara berinvestasi dalam bidang properti. Keuntungan investasi yang didaoat melalui condotel ini antara lain: 1. Memperoleh Hasil Operational, Penggunaan kondotel yang dioperasikan

(36)

sehingga mereka telah berpengalaman untuk mengelola hotel. (akan menjadi penilaian sendiri oleh calon investor)

2. Beberapa kondotel memberikan imbal balik pada saat serah terima. Besarnya timbal balik yang diberikan berkisar 8%-10% selama 2-3 tahun yang

dibayarkan langsung pada saat serah terima unit. Dengan kata lain, investor memperoleh cash back dari pembeliannya.

3. Buyback option, biasanya developer memberikan opsi membeli kembali saat pembangunan kondotel selesai dibangun dan biasanya pembangunan 2 tahun selesai.

4. Menginap Gratis, sebagai investor, Anda bisa mendapatkan menginap di condotel ini tanpa membayar sehingga Anda dapat merasakan juga fasilitas hotel dan kenyamanan yang disediakan kondotel. Lamanya menginap gratis berkisar 18-30 hari per tahun untuk setiap unit kondotel.

5. Harga Unit yang Semakin Meningkat, salah satu yang menarik dari investasi properti adalah harganya yang akan terus meningkat mengikuti kenaikan tingkat inflasi. Begitu juga dengan membeli kondotel, harga unit yang Anda beli dapat terus meningkat sehingga akan menghasilkan keuntungan tersendiri.

2.10 Data Umum Kondotel Jineng Tamansari

Lokasi rencana pembangunan dan operasional usaha Sunset Condotel (Kondotel Jineng Tamansari) terletak di Jalan Sunset, Lingkungan Temacun, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung dan rencana pembangunan dan operasional usaha Kondotel Jineng Tamansari tersebut telah memiliki

Persetujuan Prinsip Membangun Kondominium Hotel dari Bupati Badung No. 556.2g/ 5082/Disparda tanggal 1 Nopember 2012 serta telah diketahui dan disetujui oleh masyarakat yang ada disekitar lokasi kegiatan. Pernyataan tidak keberatan masyarakat atas rencana pembangunan dan operasional usaha Kondotel Jineng Tamansari tersebut telah tertuang dalam bentuk Surat Pernyataan

Penyanding yang telah disahkan oleh Kepala Lingkungan Temacun, Lurah Kuta dan Camat Kuta tanggal 9 September 2012.

(37)
[image:37.595.114.452.309.753.2]

penunjang seperti lobby, kantor, toilet, ruang penyimpanan lena, restoran, dapur, gudang, lamar mandi/WC, tempat parkir dan pertamanan. Dari 1 unit bangunan yang rencananya akan terbangun diatas lahan dengan luas 12.000 m2 dengan luas dasar bangunan seluruhnya sekitar 4.560 m2 sehingga dapat ditentukan koefisien dasar bangunannya (KDB) yaitu sebesar (4.560/12.000 x 100% = 38%) dari ketentuan KDB maksimum 40%. Luasan dan fungsi masing-masing bagian bangunan Kondotel Jineng Tamansari secara lengkap disajikan dalam Tabel 2.18.

Tabel 2.18 Peruntukan dan luasan masing-masing bangunan Kondotel Jineng Tamansari

No. Peruntukan Luasan

(M2) Jumlah/Unit

BANGUNAN LANTAI I

1 Parkir 1653 1

2 Lobby 23.25 2

3 Ruang Security 12.4 1

4 Toilet 6.2 1

5 Kantor 16.56 1

6 Receptionis 3 1

7 Dapur 24.8 1

8 Restauran 37.2 1

9 Gudang 15.5 1

10 Tangga 20 1

11 Kamar Tidur 24.8 40

12 Retail 150 1

BANGUNAN LANTAI II

1 Lobby 250 1

2 Gym 72 1

3 Toilet 6.2 46

4 Kamar Tidur 24 46

BANGUNAN LANTAI III

1 Gudang 16.56 1

2 Tangga 20 1

3 Toilet 6.2 46

4 Kamar Tidur 24 46

BANGUNAN LANTAI IV

1 Gudang 16.56 1

2 Tangga 20 1

(38)

Sumber: PT. Angkasa Pura Properti, 2014

Pada saat ini dilokasi rencana bangunan Kondotel Jineng Tamansari sudah dimulai pekerjaan konstruksi bangunan berupa satu unit bangunan kondotel berlantai IV dengan kapasitas kamar sebanyak 178 kamar tidur yang semuanya akan disewakan kepada investor dalam jangka waktu tertentu dan dikelola sebagai hotel dan Kondotel Jineng Tamansari ini akan beroperasi pada tahun 2015. Jumlah tenaga kerja yang rencananya akan diterima pada saat operasional nanti adalah sebanyak 303 orang (dibagi dalam 3 shift), dari jumlah tenaga tersebut terbagi menjadi beberapa bagian atau departemen sesuai dengan manajemen yang diterapkan oleh perusahaan.

2.11 Tinjauan Terhadap Studi yang Pernah Dilakukan

Hadus (2006), menganalisis mengenai Bangkitan Perjalanan Berbasis Hotel Di Kawasan Kuta Selatan, Studi Kasus Hotel Bintang Lima. Studi ini dilakukan untuk meneliti jumlah kendaraan yang masuk dan keluar dari lahan yang berguna sebagai hotel di Kuta Selatan dengan jenis kendaraan ringan, kendaraan berat, sepeda motor, dan kendaraan tak bermotor. Dari analisis dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan yang menyatakan bahwa:

1. Model regresi untuk tarikan perjalan jam sibuk pagi dengan satuan kendaraan/jam:

Y11 = 25,349 + 0,190X4 dengan R2= 0,517, dimana variabel jumlah kamar yang tersedia (X4) merupakan faktor signifikan yang paling mempengaruhi model regresi tersebut.

2. Model regresi untuk tarikan perjalan jam sibuk siang dengan satuan kendaraan/jam:

Y12 = 16,818 + 0,0007632X2 dengan R2= 0,786, dimana variabel luas area total hotel (X2) merupakan faktor signifikan yang paling mempengaruhi model regresi tersebut.

(39)

Y13 = 1,502 + 0,135X4, dengan R2= 0,605, dimana variabel jumlah kamar yang tersedia (X4) merupakan faktor signifikan yang paling mempengaruhi model regresi tersebut.

4. Model regresi untuk produksi perjalan jam sibuk pagi dengan satuan kendaraan/jam:

Y21 = 10,669 + 0,09453X4 dengan R2= 0,752, dimana variabel jumlah kamar yang (X2) merupakan faktor signifikan yang paling mempengaruhi model regresi tersebut.

5. Model regresi untuk produksi perjalan jam sibuk siang dengan satuan kendaraan/jam:

Y22 = 13,841 + 0,08154X7 dengan R2= 0,816, dimana variabel jumlah

karyawan (X7) merupakan faktor signifikan yang paling mempengaruhi model regresi tersebut.

6. Model regresi untuk produksi perjalan jam sibuk sore dengan satuan kendaraan/jam:

Y23 = 10,589 + 0,001607X1 dengan R2= 0,903, dimana variabel luas area terbangunan hotel (X1) merupakan faktor signifikan yang paling

mempengaruhi model regresi tersebut.

Sari (2013), menganalisis mengenai Bangkitan Perjalanan Berbasis Hotel Berbintang Di Daerah Sanur. Studi ini dilakukan untuk menganalisis besarnya bangkitan perjalanan pada hotel berbintang di daerah Sanur sepuluh tahun mendatang. Variable terikat dalam penelitian berupa jumlah kendaraan yang masuk dan keluar dari hotel baik jenis kendaraan ringan, kendaraan berat, sepeda motor, dan kendaraan tak bermotor. Dari analisis dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan yang menyatakan bahwa:

1. Model regresi untuk tarikan perjalan jam sibuk pagi dengan satuan kendaraan/jam:

(40)

2. Model regresi untuk tarikan perjalan jam sibuk siang dengan satuan kendaraan/jam:

Y12 = -43,793 + 0,451X5 – 0,041X6 dengan R2= 0,998, dimana variabel jumlah kamar yang tersedia (X5) dan jumlah rata-rata wisaawan menginap (X6) merupakan faktor signifikan yang paling mempengaruhi model regresi tersebut.

3. Model regresi untuk tarikan perjalan jam sibuk sore dengan satuan kendaraan/jam:

Y13 = 26,319 + 0,012X3 dengan R2= 0,962, dimana variabel luas parkir hotel (X3) merupakan faktor signifikan yang paling mempengaruhi model regresi tersebut.

4. Model regresi untuk produksi perjalan jam sibuk pagi dengan satuan kendaraan/jam:

Y21 = 11,401 + 0,001X2 dengan R2= 0,959, dimana variabel luas bangunan hotel (X2) merupakan faktor signifikan yang paling mempengaruhi model regresi tersebut.

5. Model regresi untuk produksi perjalan jam sibuk siang dengan satuan kendaraan/jam:

Y22 = 32,413 + 0,001X2 dengan R2= 0,982, dimana variabel luas bangunan hotel (X2) merupakan faktor signifikan yang paling mempengaruhi model regresi tersebut.

6. Model regresi untuk produksi perjalan jam sibuk sore dengan satuan kendaraan/jam:

Gambar

Gambar 2.1 Sistem Transportasi Makro
Tabel 2.1 Kapasitas Dasar Co
Tabel 2.3.
Tabel 2.5 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Gangguan Samping (FCsf) untuk jalan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penarikan perjalanan /perjalanan yang tertarik ( Trip Attraction ) Merupakan banyaknya ( jumlah ) perjalanan / pergerakan yang tertarik ke zona tujuan ( perjalanan

Hal ini menyebabkan perubahan pola tata guna lahan pada suatu kawasan dan akan menyebabkan perubahan pada sistem lalu lintas.. Tugas akhir ini menjelaskan

jumlah pergerakan yang verasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan. jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan

Pola sebaran arus lalu lintas antara zona asal satu ke zona tujuan dua adalah hasil dari dua hal yang terjadi bersamaan yaitu lokasi dan identitas tata guna lahan yang

Perubahan tata guna lahan yang dilakukan oleh Grub Lippo yaitu Kawasan Lippo Plaza Kairagi adalah 14.69% kendaraan yang mempengaruhi /membebani lalu lintas pada

Interaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli di pusat perbelanjaan tersebut akan menghasilkan pergerakan arus lalu lintas di sekitar komplek pusat perbelanjaan yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa besar tarikan yang terjadi pada Mal Ciputra World Surabaya, mencari kontribusi pembagian lalu lintas yang terjadi

pergerakan yang dibangkitkan atau berasal dari suatu zona atau tata guna lahan (trip generation) dan jumlah pergerakan yang tertarik kepada suatu tata guna lahan (trip