PEMANFAATAN GAS BIO SEBAGAI SUMBER ENERGI PANAS DALAM PENETASAN TELUR AYAM KAMPUNG
RAJA PORKOT SIREGAR 090306003
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMANFAATAN GAS BIO SEBAGAI SUMBER ENERGI PANAS DALAM PENETASAN TELUR AYAM KAMPUNG
SKRIPSI
Oleh :
RAJA PORKOT SIREGAR 090306003
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMANFAATAN GAS BIO SEBAGAI SUMBER ENERGI PANAS DALAM PENETASAN TELUR AYAM KAMPUNG
SKRIPSI
Oleh :
RAJA PORKOT SIREGAR 090306003/PETERNAKAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul : Pemanfaatan Gas Bio Sebagai Sumber Energi Panas Dalam Penetasan Telur Ayam Kampung.
Nama : Raja Porkot Siregar
NIM : 090306003
Program Studi : Peternakan
Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nurzainah Ginting, M.Sc Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP Ketua Anggota
Mengetahui,
Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si Ketua Program Studi Peternakan
ABSTRAK
RAJA PORKOT SIREGAR, 2013. “Pemanfaatan Gas Bio Sebagai Sumber Energi Panas Dalam Penetasan Telur Ayam Kampung”. Dibimbing oleh NURZAINAH GINTING dan ZULFIKAR SIREGAR.
Gas Bio sebagai energi alternatif yang berasal dari feses ternak dapat digunakan sebagai sumber panas dalam penetasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas gas bio sebagai sumber energi panas dalam penetasan telur ayam kampung. Penelitian dilaksanakan di Kelompok Ternak Harapan Jaya, Kecamatan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara dari bulan Maret 2013 – Mei 2013. Rancangan yang dipakai dalam penelitian ini adalah rancangan petak terbagi (RPT) dengan menggunakan 2 faktor dan 4 ulangan. Penelitian ini menggunakan 120 butir telur ayam kampung dengan bobot rata-rata (47,5 ± 3,42 g). perlakuan terdiri dari R1P1 (pemutaran 4 kali sehari dengan sumber panas listrik), R1P2 (pemutaran 4 kali sehari dengan sumber panas gas bio), R2P1 (pemutaran 6 kali sehari dengan sumber panas listrik), R2P2 (pemutaran 6 kali sehari dengan sumber panas gas bio), R3P1 (pemutaran 8 kali sehari dengan sumber panas listrik), R3P2 (pemutaran 8 kali sehari dengan sumber panas gas bio).
ABSTRACT
RAJA PORKOT SIREGAR, 2013. "Utilization of Bio Gas As a Source of Energy Heat for Kampung Chicken Hatching Eggs". Supervised by NURZAINAH GINTING and ZULFIKAR SIREGAR.
Bio Gas as an alternative energy derived from animal feces can be used as a heat source for hatching eggs. This study aims to determine the effectiveness of bio gas as a source of heat energy for hatching chicken eggs. The experiment was conducted at the Livestock Group Harapan Jaya, Deli Tua district, Deli Serdang regency, North Sumatera Province from March 2013 - May 2013. The design wich was used in was study spilit plot design (SPT) with 2 factors and 4 replications. This study use 120 grains of chicken eggs with an average weight (47.5 ± 3.42 g). Treatment were consists of R1P1 (4 times/day with electric heat source), R1P2 (4 times /day with a heat source of bio gas), R2P1 (6 times/day with electric heat source), R2P2 (6 times/day with a heat source of bio gas), R3P1 (8 times/day with electric heat source), R3P2 (8 times/day with a heat source of bio gas).
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Siolip pada Tanggal 02 September 1991 dari ayah Ishak Siregar dan ibu Masdaria Harahap. Penulis merupakan putra kesembilan dari sebelas bersaudara.
Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Binanga pada Tahun 2009 dan pada tahun yang sama penulis masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Program Studi Peternakan melalui jalur pemanduan minat dan prestasi (PMP).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai Asisten Laboratorium Bahan Pakan Ternak dan Formulasi Ransum, Dasar Ternak Perah, Ilmu Produksi Ternak Perah dan Ilmu Pemulian Ternak. Penulis juga aktif di Himpunan Mahasiswa Program studi (HMPS) sebagai wakil ketua departemen DIKLAT, di Himpunan Mahasiswa Muslim Peternakan (HIMMIP) sebagai ketua DIKLAT dan penulis pernah menjabat sebagai Wakil Sekretaris di BKM AL-MUKHLISIN Fakultas Pertanian USU dan anggota di SGC.
Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi juara 2 dalam acar DIES NATALIS USU ke-60 dalam bidang POSTER, finalis LKTIM Nasional, finalis Fahmil Qur’an USU, artikel terfavorit dalam ajang Sumpah Pemuda, aktif
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal yang berjudul “Pemanfaatan Gas Bio Sebagai Sumber Energi Panas Dalam Penetasan Telur Ayam Kampung”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang telah mendidik penulis selama ini, untuk abang dan kakak serta adik yang selalu mendukung penulis sehingga bisa menyelasaikan skripsi ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Nurzainah Ginting dan Bapak Zulfikar Siregar selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan kepada penulis.
Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di Program Studi Peternakan, serta semua rekan-rekan mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan proposal ini.
DAFTAR ISI
... Hal.
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
Kegunaan Penelitian ... 2
Hipotesis Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Gas bio ... 4
Teknologi Pencernaan Anaerobik ... 4
Teknologi Digester ... 5
Desain Digester. ... 6
Telur . ... 7
Struktur Telur ... ... 12
Mesin Tetas... ... 14
Bagian-bagian Utama Mesin Tetas... ... 14
Persiapan Sebelum Penetasan ... ... 14
Daya Tetas... ... 14
Pengoperasian Mesin Tetas ... ... 14
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 17
Bahan dan Alat Penelitian ... 17
Bahan ... 17
Alat ... 18
Metode Penelitian ... 18
Parameter Penelitian... ... 20
Fertilitas ... ... 20
Mortalitas ... 20
Daya Tetas ... 20
Pelaksanaan Penelitian ... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN Fertilitas ... 17
Mortalitas ... 17
Daya Tetas ... 17
Saran ... 17 DAFTAR PUSTAKA ... 17 LAMPIRAN ... 17
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Komposisi gas dari gas bio ... 3 2. Kondisi pengoperasian pada proses pencernaan anaerobik ... 5 3. Komposisi gas (%) yang berasal dari limbah kotoran ternak dan limbah
pertanian ... 6 4. Konversi energi gas bio dan penggunaannya ... 6 5. Pengaruh frekuensi pemutaran terhadap daya tetas telur fertil ayam
kampung ... 16 6. Rataan Mortalitas telur tetas ayam kampung selama penelitian (%) ... 26 7. Analisis keragaman pengaruh frekuensi pemutaran telur dan sumber
panas yang digunakan terhadap mortalitas telur ayam kampung selama
penelitian ... 27 8. Rataan Daya Tetas tetas ayam kampung selama penelitian (%) ... 30 9. Analisis keragaman pengaruh frekuensi pemutaran telur dan sumber
panas yang digunakan terhadap daya tetas telur ayam kampung selama
DAFTAR GAMBAR
... Hal. No.
1. Digester ... 20 2. Mesin Tetas ... 21 3. Termoregulator/ termokontrol ... 21 4. Histogram mortalitas ayam kampung vs frekuensi pemutaran dan sumber
panas yang digunakan ... 27 5. Histogram daya tetas ayam kampung vs frekuensi pemutaran dan sumber
ABSTRAK
RAJA PORKOT SIREGAR, 2013. “Pemanfaatan Gas Bio Sebagai Sumber Energi Panas Dalam Penetasan Telur Ayam Kampung”. Dibimbing oleh NURZAINAH GINTING dan ZULFIKAR SIREGAR.
Gas Bio sebagai energi alternatif yang berasal dari feses ternak dapat digunakan sebagai sumber panas dalam penetasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas gas bio sebagai sumber energi panas dalam penetasan telur ayam kampung. Penelitian dilaksanakan di Kelompok Ternak Harapan Jaya, Kecamatan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara dari bulan Maret 2013 – Mei 2013. Rancangan yang dipakai dalam penelitian ini adalah rancangan petak terbagi (RPT) dengan menggunakan 2 faktor dan 4 ulangan. Penelitian ini menggunakan 120 butir telur ayam kampung dengan bobot rata-rata (47,5 ± 3,42 g). perlakuan terdiri dari R1P1 (pemutaran 4 kali sehari dengan sumber panas listrik), R1P2 (pemutaran 4 kali sehari dengan sumber panas gas bio), R2P1 (pemutaran 6 kali sehari dengan sumber panas listrik), R2P2 (pemutaran 6 kali sehari dengan sumber panas gas bio), R3P1 (pemutaran 8 kali sehari dengan sumber panas listrik), R3P2 (pemutaran 8 kali sehari dengan sumber panas gas bio).
ABSTRACT
RAJA PORKOT SIREGAR, 2013. "Utilization of Bio Gas As a Source of Energy Heat for Kampung Chicken Hatching Eggs". Supervised by NURZAINAH GINTING and ZULFIKAR SIREGAR.
Bio Gas as an alternative energy derived from animal feces can be used as a heat source for hatching eggs. This study aims to determine the effectiveness of bio gas as a source of heat energy for hatching chicken eggs. The experiment was conducted at the Livestock Group Harapan Jaya, Deli Tua district, Deli Serdang regency, North Sumatera Province from March 2013 - May 2013. The design wich was used in was study spilit plot design (SPT) with 2 factors and 4 replications. This study use 120 grains of chicken eggs with an average weight (47.5 ± 3.42 g). Treatment were consists of R1P1 (4 times/day with electric heat source), R1P2 (4 times /day with a heat source of bio gas), R2P1 (6 times/day with electric heat source), R2P2 (6 times/day with a heat source of bio gas), R3P1 (8 times/day with electric heat source), R3P2 (8 times/day with a heat source of bio gas).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peternakan merupakan sub sektor pertanian yang berperan sangat penting dalam penyediaan kebutuhan pangan khususnya protein hewani. Kebutuhan protein hewani terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya zat gizi. Usaha ternak unggas merupakan salah satu upaya memenuhi kebutuhan protein hewani, diantaranya adalah ayam kampung.
Ayam kampung merupakan ayam asli Indonesia yang telah lama dipelihara dan dikembangkan oleh masyarakat, terutama yang tinggal di pelosok-pelosok pedesaan. Ayam kampung telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan pemeliharaan yang sederhana (Suprijatna, 2005).
Ternak unggas seperti ayam dipelihara untuk diambil telur dan dagingnya. Bila daging unggas terus menerus dikonsumsi dalam jumlah banyak maka perlu ada populasi pengganti, agar populasi unggas tidak berkurang. Penetasan telur merupakan suatu upaya yang dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan populasi ayam, baik petelur maupun pedaging (Murtidjo, 1992).
akan berdampak negatif kepada unit usaha seperti penetasan telur. Oleh karena
itu diperlukan suatu alternatif sumber energi untuk penetasan telur misalnya gas bio (CH4).
Gas bio merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang berasal dari limbah organik, misalnya limbah asal peternakan. Gas bio mampu menghasilkan energi yang baik, apinya berwarna biru, tak berbau dan tak berasap. Oleh karena itu diharapkan gas bio dapat dijadikan sumber energi, misalnya pada penetasan
telur, gas bio akan diolah menjadi panas. Sebagai perbandingan 1 m³ gas bio sebagai bahan bakar dapat membangkitkan listrik 1,25 Kw (Nukulchai et al., 1985).
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui efektifitas gas bio sebagai sumber panas dalam penetasan telur ayam kampung.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan infomasi bagi peneliti dan peternak serta masyarakat pada umumnya, bahwasanya gas bio dapat digunakan sebagai pengganti listrik dalam penetasan telur. Kegunaan penelitian lainnya adalah sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Hipotesis Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Gas Bio
Gas Bio adalah gas yang dapat dihasilkan dari fermentasi feces (kotoran) ternak seperti sapi, kerbau, kambing, babi dan ayam, dan lain-lain dalam suatu ruangan yang disebut digester. Proses fermentasi dilakukan oleh bakteri anaerob, dengan waktu fermentasi 7-10 hari (Prihandana, et,.al. 2007). Menurut Akella et al,. (2009), menyatakan bahwa banyak hal yang menyebabkan gas bio mulai diperhatikan untuk dimanfaatkan. Antara lain berkurangnya cadangan minyak, pencabutan subsidi, kesadaran masyarakat bahwa terjadinya penurunan kualitas lingkungan akibat green house effect dikarenakan penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan.
[image:17.595.117.511.587.693.2]Gas Bio adalah kombinasi dari beberapa macam gas yang mudah terbakar. Gas Bio dihasilkan akibat proses digesti yang dilakukan mikroorganisme antara lain metanogenesis terhadap bahan organik (Demired and Scherer, 2008). Pada Tabel 1 dapat dilihat komposisi gas yang terdapat pada gas bio. Persentase terbesar adalah gas metan sehingga gas bio dapat menyala. Bila persentase gas metan mendekati 80% artinya daya bakar dari gas tersebut semakin tinggi. Tabel 1. Komposisi gas dari gas bio
Kandungan Persentase (%)
CH4 60-80
CO2 20-38
H2S 0,05-0,5
H2 0-1
N2 0-7
O2 0-2
Sumber : Rajakovic (2006).
bio dapat menghasilkan energi 60 W x 7 jam = 420 Wh = 0,42 KWh, dimana 1 m3 setara dengan 2 ekor sapi dewasa dengan feses 15 kg/hari (Nukulchai et al., 1985).
Menurut Almansyah., et.al. (2009) kotoran ternak (ruminansia) sebagai sumber energi panas mempunyai kestabilan suhu panas sehingga dapat dipergunakan dalam berbagai aktifitas manusia. Biogas adalah campuran beberapa gas hasil perombakan bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi tanpa udara (anaerobik), dimana methan (CH4) dan karbon dioksida (CO2) merupakan komponen gas terbanyak. Sebagai sumber energi, biogas dapat dibakar dengan nilai kalor tinggi yaitu pada kisaran 4700-5000 kkal/m3. Nilai kalor biogas ditentukan oleh perbandingan gas methan (CH4), terhadap karbon dioksida (CO2). Semakin tinggi persentase gas methan maka nilai kalor biogas tersebut pun semakin tinggi. Intinnya Biogas memiliki nilai kalor 4700 - 5000 KcaI/m3 dengan komposisi volume 50-60 % Cl dan 40-50 % CO2
Bahan baku gas bio adalah kotoran sapi dan kerbau yang berbentuk padatan, namun padatan tersebut harus berbentuk halus dan butiran kecil. Bila bahan baku berbentuk padatan yang sulit dicerna harus digiling terlebih dahulu sebelum dicampur dengan air agar pembentukan gas bio berlangsung sempurna, misalnya padatan kotoran kambing. Sebaliknya bila berbentuk padatan yang mudah dicerna maka bahan baku tersebut langsung dapat dicampur dengan air secara merata. Kandungan padatan bahan baku ini sebaiknya 7-9 % (Yunus, 1995).
isian 7-9% bahan bakunya, perlu diencerkan dengan air dengan perbandingan 1 bagian bahan baku dicampur dengan 2 bagian air (Yunus, 1995)
Bakteri pembentuk gas bio adalah bakteri anaerob, bakteri anaerob adalah bakteri yang dapat hidup dan berkembang biak tanpa udara dan oksigen, bakteri tersebut memperoleh oksigen dari dekomposisi bahan organik. Bakteri anaerob harus bekerja dalam keadaan gelap dan tidak terkena sinar matahari, bakteri ini
akan membusukkan kotoran sehingga akan menghasilkan gas bio (Ward et al., 2008).
Teknologi Pencernaan Anaerobik
[image:19.595.115.513.558.705.2]Proses pencernaan anaerobik, yang merupakan dasar dari reaktor gas bio yaitu proses pemecahan bahan organik oleh aktivitas bakteri metanogenik dan bakteri asidogenik pada kondisi tanpa udara. Bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang, manusia, dan sampah organik rumah tangga (Ward et al., 2008). Proses anaerobik dapat berlangsung di bawah kondisi lingkungan yang luas meskipun proses yang optimal hanya terjadi pada kondisi yang terbatas (Tabel 2) .
Tabel 2. Kondisi pengoperasian pada proses pencernaan anaerobik
Parameter Nilai
Temperatur
Mesofilik 35 ºC
Termofilik 54 ºC
pH 7-8
Alkalinitis 2500 mg/L minimum
Waktu retensi 10-30 hari
Laju Terjenuhkan 0,15 – 0,35 kg VS/m³/hari Hasil gas bio 4,5 – 11 m³/kg VS
Kandungan Metana 60-70%
Pembentukan gas bio meliputi tiga tahap proses yaitu: (a) Hidrolisis, pada tahap ini terjadi penguraian bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana, perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer; (b) Pengasaman, pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederhana ini yaitu asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida, hidrogen dan amonia ; serta (c) Metanogenik, pada tahap metanogenik terjadi proses pembentukan gas metan. Bakteri pereduksi sulfat juga terdapat dalam proses ini, yaitu mereduksi sulfat dan komponen sulfur lainnya menjadi hydrogen sulfida (Bagi et al., 2007).
70% yang bila dibakar akan menghasilkan energi panas sekitar 1000 British Thermal Unit/ft3 atau 252 Kkal/0,028 m3 .
Kandungan metan dalam gas bio yang dihasilkan tergantung jenis bahan
[image:21.595.113.508.257.410.2]baku yang dipakai, sebagai contoh komposisi gas bio ditampilkan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi gas (%) yang berasal dari limbah kotoran ternak dan sisa pertanian.
Jenis gas Kotoran sapi Campuran kotoran ternak dan limbah pertanian
Metana (CH4) 65,7 55-70
Karbondioksida (CO2) 27,0 27-45
Nitrogen (N2) 2,3 0,5-3,0
Karbonmonoksida (CO) 0,0 0,1
Oksigen (O2) 0,1 6,0
Propana (C3H8) 0,7 -
Hydrogen Sulfida (H2S) Tidak terukur Sedikit sekali Nilai kalor (kkal/m³) 6513 4800-6700 Sumber : Harahap et a.l (1978).
Jutaan meter kubik metan dihasilkan per tahun dalam bentuk gas rawa yaitu hasil dari proses dekomposisi bahan organik yang berasal dari ternak maupun sayuran. Hal ini nyaris sama seperti gas alam yang dipompa dari bumi oleh perusahaan minyak dan digunakan untuk berbagai keperluan manusia seperti penerangan rumah dan memasak. Pada TPA yang mendapat kiriman sampah sebanyak 5.000 meter kubik per hari bisa dihasilkan gas sebanyak 25 .000 meter kubik per hari atau setara dengan 31,25 juta Watt listrik yang bisa mengalirkan listrik bagi sekitar 2.500 rumah tangga (Haryati, 2006).
bentuk energi, yaitu energi panas atau dengan bantuan generator diubah menjadi energi listrik maupun mekanik, sebagai contoh dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Konversi energi gas bio dan penggunaannya
Penggunaan Energi 1m³ gas bio
Penerangan Sebanding dengan lampu 60-100 Watt selama 6 jam
Memasak Untuk memasak 3 jenis makana
untuk 5-6 orang
Pengganti bahan bakar Sebanding dengan 0,7 kg bensin Tenaga pengangkut Menjalankan motor 1 pk selama 2
jam
Listrik Sebanding dengan 1,25 KWH listrik Sumber : Kristoferson dan Bolkaders (1991).
Menurut Rajakovic (2006), reaksi pembakaran metan (CH4) : CH4 + 2O2 CO2 + H2O + Energi. Pada pembakaran yang sempurna 1 m³ metan melepas 4700-6000 kkal panas. Dimana 1 m³ CH4 setara dengan 0,48 kg gas LPG, 0,52 liter minyak solar, 0,8 liter bensin, 0,62 liter minyak tanah, 0,62 liter minyak mentah, 1,4 kg batubara, 4,7 kWh listrik dan setara dengan 3,5 kg kayu bakar.
Teknologi Digester
Terdapat dua teknologi umum digunakan untuk memperoleh biogas. Pertama, proses yang sangat umum yaitu fermentasi kotoran ternak menggunakan digester yang didesain khusus dalam kondisi anaerob. Kedua, teknologi yang baru ini dikembangkan yaitu menangkap gas metan dari lokasi tumpukan pembuangan sampah tanpa harus membuat digester khusus (Haryati, 2006)
Covered lagoon digester (digester bak tertutup) : sesuai dengan namanya, merupakan kolam penampung kotoran ternak dengan tutup. Tutup menangkap gas yang dihasilkan selama proses dekomposisi kotoran. Jenis ini merupakan yang termurah biayanya. Menutupi bak yang berisi kotoran ternak merupakan desain yang paling sederhana dari teknologi digester yang digunakan untuk kotoran cair dengan kandungan solid kurang dari 3%. Tutupnya berupa bahan tak tembus (impermeable) dan menutupi seluruh permukaan bak. Bak tersebut terbuat dari cor beton dan ditutupi hingga kedap. Metan yang dihasilkan terperangkap di bawah tutup. Gas yang akan digunakan dikeluarkan melalui pipa. Digester jenis ini memerlukan kolam yang besar dan temperatur yang
hangat dan tidak cocok untuk daerah dingin atau daerah yang basah (Haryati, 2006).
Complete mix digester terbuat dari baja, cocok untuk volume kotoran ternak yang besar dan mempunyai kandungan solid antara 3 - 10%. Tangki yang dilengkapi pemanas juga pengaduk mekanik dan selama proses fermentasi bahan diaduk secara terus menerus sehingga solid tetap dalam keadaan tersuspensi. Biogas yang terbentuk terakumulasi di bagian atas digester. Digester bisa diinstalasi di atas atau terkubur di bawah tanah. Digester jenis ini mahal biaya pembuatan, operasional dan pemeliharaannya (Haryati, 2006).
kedap air dan dengan tutup yang dapat dirubah. Bahan baku dimasukkan dari salah satu sisi dan mendorong keluar buangan yang telah terfermentasi pada sisi lainnya. Waktu retensi rata-rata solid tertahan dalam digester yaitu sekitar 20 - 30 hari. Biogas yang dihasilkan terperangkap di bawah penutup impermeable yang menutupi tangki kemudian gas disalurkan melalui pipa yang berada di bawah penutup menuju generator. Digester jenis ini memerlukan pemeliharaan yang minimal dan panas buangan dari mesin generator digunakan untuk memanasi digester. Di dalam digester, pipa sirkulasi air panas akan memanaskan slurry dan menjaga temperaturnya pada 25 - 40°C, temperatur yang cocok bagi bakteri metanogen. Pada peternakan perorangan, desain plugflow skala kecil atau digester bak tertutup merupakan desain yang sederhana dan dapat memproduksi biogas untuk memenuhi kebutuhan listrik dan pemanas (Haryati, 2006).
Desain digester
Kalau dilihat dari cara pengoperasian digester, ada dua desain digester yaitu:
Continuous feeding
Proses pencernaan anaerobik dari limbah kotoran sapi memakan waktu sekitar 8 jam dalam temperature hangat (35°C). Sepertiga biogas akan dihasilkan pada minggu pertama, seperempatnya pada minggu kedua dan sisanya akan dihasilkan pada minggu ketiga sampai kedelapan (Haryati, 2006).
yang kemudian digunakan untuk pupuk. Hal yang perlu diperhatikan dalam sistem kontinyu adalah tangki harus cukup besar untuk menampung semua bahan yang term menerus dimasukkan selama proses pencernaan berlangsung. Kondisi yang ideal untuk sistem ini yaitu menggunakan dua buah tangki digester, konsumsi limbah berlangsung dalam dua tahap, metan diproduksi pada tahap pertama dan tahap kedua dengan laju yang lebih lambat (Haryati, 2006). Batch feeding
Umumnya didesain untuk limbah padatan seperti sayuran/hijauan . Desain yang tidak perlu pipa alir, tangki tunggal merupakan desain yang paling baik untuk digunakan. Tangki dapat dibuka dan slurry buangan proses dapat dikeluarkan dan digunakan sebagai pupuk kemudian bahan baku yang baru dimasukkan lagi. Tangki ditutup dan proses fermentasi diawali kembali. Tergantung dari jenis bahan limbah dan temperatur yang dipakai, sistem batch akan mulai berproduksi setelah minggu kedua sampai minggu keempat, laju peningkatan produksi menjadi lambat lalu menurun setelah bulan ketiga atau keempat. Sistem batch biasanya dibuat dalam beberapa set sekaligus sehingga paling tidak ada yang beroperasi dengan baik. Limbah sayuran mempunyai rasio C : N yang tinggi dibandingkan Limbah kotoran ternak sehingga perlu ditambahkan sumber nitrogen (Haryati, 2006).
Ginting (2010), bahwasannya 1 kg kotoran sapi akan menghasilkan 40-46 liter gas yang dapat langsung digunakan untuk berbagai kegiatan.
Telur
Struktur Telur
Telur ayam memiliki struktur khusus yang sebagian besar terdiri dari bahan makanan dan air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan embrio, sebagai hasil pembuahan dari sel telur tunggal ayam jantan. Telur ayam terdiri dari kulit telur, selaput putih telur dan kuning telur. Struktur kulit telur ayam keras tetapi porus dan terbentuk dari garam anorganik (terutama Calcium Carbonat).
Keporusan tersebut berfungsi untuk pernafasan embrio (Taringan dan Hermanto, 2001).
Air menyusun sekitar 45% dari kerabang telur. Sekitar 74% di isi oleh bagian isi telur. Kandungan air pada albumen tinggi, bagian yang padat hamper seluruhnya protein dan sejumlah kecil karbohidrat. Sekitar separuh dari yolk berupa air, tetapi bagian yang padat tersusun dari sebagian besar lemak, protein, vitamin dan mineral (Suprijatna, 2005).
Mesin Tetas
Mesin tetas merupakan sebuah peti atau lemari dengan konstruksi yang dibuat sedemikian rupa sehingga panas didalamnya tidak terbuang. Suhu di dalam ruangan mesin tetas dapat diatur sesuai dengan ukuran derajat panas yang dibutuhkan selama periode penetasan (Paimin, 2011).
mulai dari mesin tetas yang terbuat dari kotak kayu atau triplek sederhana hingga menggunakan incubator yang dapat dikontrol suhu dan kelembabannya secara otomatis. Sebelum telur dimasukkan kedalam mesin tetas harus dinyalakan minimal 24 jam agar kondisi suhu didalamnya stabil sekitar 37 ºC – 39 ºC. Setelah itu, telur dimasukkan secara berhati-hati agar tidak pecah dan posisi penempatan telur harus benar (Widjaja, 2003).
Sebelum telur ditetaskan, baik pada indukan ayam buras maupun mesin penetas, maka terlebih dahulu dibersihkan. Tujuannya agar telur terbebas dari kuman yang mungkin terbawa dari induknya. Selain itu, agar pori –pori cangkang tidak tertutup oleh kotoran. Gunakan air bersih atau kain yang lembut untuk keperluan membersihkan kotoran di permukaan telur. Disarankan agar tidak menggunakan sabun, sebab dikhawatirkan mencemari isi telur ( merembes melalui pori-pori cangkang) (Marhiyanto, 2000).
Bagian-bagian Utama Mesin Tetas Alat pemanas
Alat pemanas dapat bersumber dari listrik (kawat yang berpijar), lampu minyak, lampu pijar dan aliran air panas. Yang sering digunakan adalah sumber kawat pijar dari listrik dan atau api.
Ruang penetasan
Ruang ini merupakan suatu kamar tertutup dengan ventilasi yang teratur, didalamnya terdapat rak-rak telur tetas/ rak anak ayam bila menetas, kipas perata panas, thermometer dan bak air. Baik air dimaksudkan untuk memberikan suasana lembab yang dikehendaki.
Bahan penyekat
Badan mesin tetas/ dinding mesin tetas harus dibuat/ terdiri dari bahan yang tidak bersifat sebagai penghantar panas. Bahan yang sering dipakai untuk memenuhi persyaratan itu adalah kayu, tripleks, plastik kertas dan bahan-bahan sejenisnya. Bahan penyekat macam ini sangat penting terutama pada ruang alat penetasan yang serba tertutup sebagai penyejuk (Rasyaf, 1995).
Persiapan Sebelum Penetasan Membersihkan mesin tetas
dihasilkan terkena penyakit. Jenis desinfektan yang digunakan adalah larutan formalin atau larutan soda 4%.
Posisi mesin tetas
Mesin tetas dalam ruangan penetasan diletakkan ditempat yang tenang dan rata. Diusahakan agar mesin tetas tidak terkena panas matahari secara langsung. Ventilasi ruang penetasan diatur sehingga keadaan udara didalam ruangan sama dengan diluar ruangan penetasan. Selain itu, mesin tetas sebaiknya tidak diletakkan di ruangan yang berbau tidak enak. Posisi mesin tetas sangat berpengaruh pada kesegaran dan keselamatan telur atau anak tetas yang dihasilkan (Paimin, 2004).
Daya tetas
Daya tetas merupakan persentase telur yang menetas dari sekelompok telur yang fertil. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas yaitu :
a. Berat telur
Berat telur yang ditetaskan sangat berpengaruh terhadap anak ayam yang akan dihasilkan. Berat telur yang dianggap baik untuk ayam ras berkisar 55-60g, ayam kampung 45-50g, itik sekitar 65-70g.
b. Bentuk telur
c. Keadaan kulit telur
Keadaan kulit telur yang akan ditataskan hendaknya rata, bersih dan tidak ada yang retak. Telur yang kulitnya tebal, benjol-benjol bintik-bintik, kotor dan terlalu tebal atau tipis biasanya jarang menetas.
d. Kebersihan telur
Telur yang bersih berdaya tetas lebih baik daripada telur yang kotor. Biasanya kotoran yang melekat pada telur mengandung kuman penyakit atau organisme lain yang dapat masuk kedalam telur melalui pori-pori kulit telur. Akibatnya, isi telur akan dirusak oleh bakteri atau mikroorganisme lain (Paimin, 2004)
e. Fertilitas telur
Fertilitas diartikan sebagai persentase telur-telur yang memperlihatkan adanya perkembangan embrio dari sejumlah telur yang ditetaskan tanpa memperhatikan telur itu menetas atau tidak. Semakin tinggi fertilitas, maka daya tetas cenderung semakin tinggi (Card, 2006).
f. Ruang udara dalam telur
Telur tetas yang baik adalah yang letak ruang udaranya tetap, yaitu dibagian ujung telur yang tumpul. Ruang udara ini erat hubungannya dengan posisi pertumbuhan embrio dalam telur. Cara melihat ruang udara dalam telur adalah dengan kotak pemeriksa telur yang diberi lampu listrik 40 Watt atau dengan lampu baterai di dalamnya. Sedangkan menurut Greenberg (1981), cara yang lebih akurat dalam menentukandaya tunas telur (fertilitas) adalah membuka telur dan melihat adanya germinal disc dengan mata telanjang ataupun dengan bantuan mikroskop.
g. Umur telur tetas
Tempat penyimpanan tidak terlalu panas, tidak terlalu dingin, lembab, atau terkena banyak angin. Suhu yang paling sesuai untuk penyimpanan telur tetas adalah 10-13ºC. Wyeld dan Wyeld (1999), menyarankan agar telur tetas dikumpulkan sesegera mungkin setelah telur tersebut dikeluarkan oleh induknya, hal ini untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme penyakit yang masuk melalui pori-pori kulit telur serta meminumkan evaporasi cairan telur. Rahayu Iman, et,. al (2011), telur sebaiknya tidak disimpan lebih dari satu minggu sebab penyimpanan yang semakin lama akan mengurangi fertilitas daya tetasnya dan menyebabkan bertambahnya waktu yang diperlukan untuk menetas.
h. Pemutaran telur
Pemutaran telur yang tidak teratur dapat mengakibatkan tingkat kematian embrio menjadi tinggi. Dengan pemutaran yang lebih sering akan membuat telur lebih cepat menetas karena kandungan air di dalamnya tidak akan banyak hilang dan dapat membuat bobot badan DOC meningkat sehingga pertumbuhan bobot badan ayam kampung menjadi lebih baik sampai masa dewasa, dan sebaliknya pemutaran yang tidak sering akan tidak membuat telur tidak menetas dengan baik pula, sehingga terjadi penguapan yang berlebihan dan kadar air di dalam telur akan berkurang yang dapat membuat bobot badan DOC akan berkurang. Pemutaran sebaiknya dilaksanakan paling sedikit 2 kali sehari atau lebih baik diputar 6 sampai 8 kali sehari dengan setengah putaran, hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pengaruh frekuensi pemutaran terhadap daya tetas telur fertil ayam Kampung
Frekuensi pemutaran per hari Daya tetas dari telur yang fertil (%)
2 68,2
4 71,3
6 74,6
8 74,8
10 74,7
Sumber : North, dalam kartasudjana dan suprijatna (2010).
Tarigan dan Hermanto (2001), bahwa telur yang terkontaminasi mikroba akan menyebabkan timbulnya evaporasi cairan telur sehingga dapat membuat mortalitas menjadi tinggi.
Menurut Siregar (1996), yang menyatakan bahwa pemutaran telur mempunyai efek langsung dengan kematian embrio, bila pemutaran dilakukan sedikit sekali selama penetasan akan mengakibatkan kematian embrio yang tinggi dibandingkan dengan pemutaran yang lebih banyak. Mudsan (2000), mengatakan bahwa pemutaran telur berpengaruh sangat besar bagi daya tetas telur tersebut, karena meratanya penerimaan suhu pada permukaan kerabang dan juga untuk mencegah penempelan embrio pada kulit telur dan menyebabkan kematian pada embrio. Pemutaran telur sampai 8 kali sehari dapat meningkatkan daya tetas telur.
Pengoperasian mesin tetas
Cara-cara yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan mesin tetas yang baik adalah :
2. Isilah bak penampung air dengan air bersih, kemudian tutuplah dengan lap bersih pula sampai terendam. Fungsinya untuk menjaga kelembaban dalam mesin tetas ini.
3. Setelah suhu dalam mesin tetas tetap, tidak naik turun, yaitu panasnya antara 37-39ºC, telur ayam mulai dimasukkan. Kemudian untuk menjaga agar suhu dalam mesin tetap, maka penempatannya harus dalam ruangan yang tidak mudah dipengaruhi oleh suhu dan angin. Suprijatna (2005), menyatakan bahwa panas dalam inkubator penetasan berpengaruh positif terhadap daya mortalitas, apabila suhu dalam penetasan tidak stabil maka akan meningkatkan angka mortalitas. 4. Telur ayam diletakkan dengan posisi bagian yang lancip dibawah (jangan
terbalik).
5. Setelah melampaui 3 hari telur mulai diputar dan untuk selanjutnya setiap hari sampai pada hari ke -18. Jika hari terlalu panas pemutaran telur dapat ditambah satu atau dua kali.
6. Pada hari ke-4 mulai didinginkan sehari sekali, caranya dengan meletakkan telur diluar mesin tetas dalam ruangan penetasan. Jika sudah tidak hangat telur dapat dimasukkan kembali tetapi jangan sampai telur terlalu dingin. Kalau dihitung dengan waktu, lamanya pendinginan telur sekitar 10-15 menit.
8. Pada hari yang ke-19 biasanya telur sudah mulai retak-retak, mesin tetas jangan terlalu sering dibuka karena akan mengakibatkan suhu dalam mesin menjadi dingin dan akan hilang kelembabannya.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kelompok Ternak Harapan Jaya, Kecamatan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara Medan. Penelitian ini berlangsung selama 8 minggu dimulai dari Bulan Maret sampai dengan Mei 2013.
Bahan dan Alat Bahan
Telur ayam kampung yang digunakan sebagai objek penelitian sebanyak 120 butir dengan rata-rata (47,5 ± 3,42 g). Air untuk pelembab. Formalin 40% dan KMnO4 (kalium permanganat) untuk fumigasi mesin tetas. Alkohol 70% untuk membersihkan kulit telur. Karton / kardus untuk sekat antar telur. Kapas / kain lap untuk membersihkan kulit telur.
Alat
Berikut akan disajikan gambar alat-alat penting yang digunakan selama penelitian.
Gambar 1. Digester
Pada Gambar 1. Terlihat jelas bahwa konstruksi digester yang digunakan adalah sistem Covered Lagoon Digester (Digester bak tertutup) dengan Continous feeding (pengisian bahan baku secara kontinyu).
[image:37.595.116.442.530.755.2]Pada Gambar 2. Terlihat jelas bahwa mesin tetas yang digunakan tidak jauh beda dengan mesin tetas listrik biasanya, yang beda pada mesin tetas ini dibagian dalam dari mesin tetas dilapisi dengan plat yang berfungsi untuk menjaga kestabilan panas dalam mesin tetas.
[image:38.595.115.470.296.546.2]Pada Gambar 2. Terlihat juga gambar kompor gas yang digunakan sebagai penyumbang panas bagi mesin tetas.
Gambar 3. Termoregulator/ termokontrol
Metode Penelitian
Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) dengan menggunakan dua faktor yaitu ; faktor pertama yang dijadikan sebagai petak utama (main plot) adalah sumber panas.
P1 = mesin tetas menggunakan lampu listrik sebagai sumber panas P2 = mesin tetas menggunakan gas bio sebagai sumber panas
Faktor kedua yang dijadikan sebagai anak petak (sub plot) adalah jumlah pemutaran telur perhari dalam mesin tetas dengan 3 perlakuan yaitu :
R1 = pemutaran telur 4 kali sehari 1 x 6 jam R2 = pemutaran telur 6 kali sehari 1 x 4 jam R3 = pemutaran telur 8 kali sehari 1 x 3 jam Sedangkan ulangan yang dipakai berdasarkan rumus : t.c (n-1) ≥ 15
6 (n-1) ≥ 15 6n–6 ≥ 15 6n ≥ 21 n ≥ 3,5 ≈ 4
Data-data yang didapat kemudian dianalisis dengan menggunakan rumus : Yyijk = μ + α i +β j + (αβ) i j + δ i k + ε i
Keterangan :
Yi j k = nilai pengamatan pada taraf ke i faktor A, taraf ke j faktor B, dan ulangan ke k.
μ = nilai tengah umum
β j = pengaruh taraf ke j dari faktor B
(αβ)i j = pengaruh interaksi taraf ke i faktor A dengan taraf ke j faktor B δi k = pengaruh acak untuk petak utama
ε i j k = pengaruh acak untuk anak petak.
Parameter Peneletian Fertilitas
Persentase telur yang berkembang dengan jumlah telur fertil yang ditetaskan.
Fertilitas = Jumlah telur yang berkembang x 100% Jumlah telur yang fertil
Mortalitas
Persentase telur yang tidak menetas dari sekelompok telur yang ditetaskan. Mortalitas = Jumlah telur yang tidak menetas x 100%
Jumlah telur fertil Daya tetas / Hatchability
Persentasi telur yang menetas dari sekelompok telur yang ditetaskan. Daya tetas = Jumlah telur yang menetas x 100%
Jumlah telur yang fertil
Pelaksanaan penelitian
1. Pertama dilakukan pengosongan digester
2. Setelah kosong dilakukan pengisian digester setiap harinya dengan perbandingan 1 kotoran : 2 air sebagai pengencer
3. Ditunggu gas keluar selama 21 hari
5. Selanjutnya dilakukan penghomogenitasian telur dengan rumus X ± 2 Sd dengan rata-rata (47,4 ± 3,42 g).
6. Menyediakan telur tetas ayam kampung sebanyak 120 butir. Telur dipilih dengan syarat-syarat berat telur antara 45-50g, bentuk oval dengan perbandingan 3 : 4, kulit halus/ mulus, bersih, fertil, memiliki ruang udara pada ujung telur yang tumpul dan tidak retak, serta umur telur tidak lebih dari 4 hari.
7. Perbersihan kulit telur dengan kapas/ kain lap yang sudah dicelupkan kedalam alcohol untuk membersihkan kotoran dan membunuh mikroorganisme yang melekat pada kulit telur.
8. Mesin tetas dan peralatannya dibersihkan dengan hand sprayer, setelah kering difumigasi dengan menggunakan gas formaldehyde hasil campuran dua sendok formalin 40% dengan kalium permanganat (KMnO4) sebanyak 10 g.
9. Mesin tetas dihidupkan selama 2 x 24 jam dengan suhu 37 ºC – 39 ºC diukur dengan menggunakan termometer, ventilasi tertutup dan bak air diisi.
10. Setelah suhu mesin tetas konstan, telur dimasukkan kedalam rak telur yang sudah disekat menggunakan karton/ kardus sesuai dengan bagan percobaan dimana setiap perlakuan sebanyak 10 butir dengan posisi tumpul diatas dan selam 3 hari tidak boleh diganggu.
11. Pada hari ke 4 telur sudah mendapatkan perlakuan pemutaran baik yang didalam mesin tetas listrik maupun mesin tetas gas bio.
maka telur tersebut dapat diafkir dan dikonsumsi, sebaliknya kalau pada hari ke 18 tidak ada gejala kehidupan embrio telur segera dibuang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fertilitas
Fertilitas diartikan sebagai persentase jumlah telur fertil berdasarkan jumlah telur yang dierami. Dari penelitian yang dilaksanakan diperoleh fertilitas telur tetas 100%, sehingga fertilitas telur tetas tidak perlu dilakukan analisis sidik ragam. Tingginya fertilitas telur tetas selama penelitian diasumsikan karena telur fertil diperoleh dari peternakan yang sudah memiliki breeding farm sendiri dan sudah mahir dalam memilih dan melakukan penetasan.
Tinggi rendahnya fertilitas telur tetas dipengaruhi beberapa faktor diantaranya mortilitas sperma, umur induk (jantan dan betina) produksi sperma, ransum perbandingan jantan dan betina, lama penyinaran dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartasudjana dan Suprijatna (2002), menyatakan bahwa banyak hal yang mempengaruhi fertilitas telur tetas diantaranya ransum, ransum erat hubungannya dengan produksi ternak tak terkecuali produksi sperma, produksi sperma akan tereduksi akibat kekurangan jumlah makanan atau defisiensi suatu zat makanan. Misalnya jika ransum kekurangan vitamin E maka akan menyebabkan sterilitas pada jantan. Oleh karena itu kualitas dan kuantitas ransum harus baik.
Mortalitas
[image:44.595.116.512.223.367.2]Mortalitas diartikan sebagai jumlah telur yang tidak menetas dari sejumlah telur fertil yang dimasukkan (Setiadi, 2000). Dari hasil analisis, rata-rata mortalitas telur ayam kampung selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan mortalitas telur tetas ayam kampung selama penelitian (%).
Main plot (pemutara)
Subplot (S. Panas)
Ulangan Total Rataan I II III IV
R1 P1 40.00 40.00 20.00 20.00 120.00 30.00 P2 40.00 20.00 20.00 40.00 120.00 30.00 R2 P1 20.00 20.00 00.00 20.00 60.00 15.00 P2 20.00 00.00 20.00 20.00 60.00 15.00 R3 P1 20.00 00.00 20.00 00.00 40.00 10.00 P2 20.00 00.00 00.00 00.00 20.00 5.00 Total 160.00 80.00 80.00 100.00 420.00 105 Rataan 26.67 13.33 13.33 16.67 17.5
Dari Tabel 6. Dapat dilihat bahwa rataan mortalitas telur tetas ayam kampung selama penelitian adalah sebesar 17.5%, dimana mortalitas tertinggi diperoleh dari perlakuan R1P1 dan R1P2 (pemutaran 4 kali sehari dengan sumber panas listrik dan gas bio) yaitu sebesar 30.00% dan yang terendah pada perlakuan R3P3 (pemutaran 8 kali sehari sumber panas gas bio) yaitu 5.00%.
Gambar 4. Histogram mortalitas ayam kampung vs frekuensi pemutaran dan sumber panas yang digunakan.
[image:45.595.115.504.569.713.2]Untuk mengetahui pengaruh frekuensi pemutaran telur dan sumber panas yang digunakan terhadap mortalitas, maka dilakukan analisis keragaman pada Tabel 7.
Tabel 7. Analisis keragaman pengaruh frekuensi pemutaran telur dan sumber panas yang digunakan terhadap mortalitas telur ayam kampung selama penelitian.
SK dB JK KT F. Hit F. Tabel
0.05 0.01 Ulangan 3 1,79166 0,59722 0,7543 tn 5,41 12,08 P.
Utama
2 5,25 2,625 5,3158 tn 5, 79 13,27 Galat (a) 5 1,08334 0,216668
A.Petak 1 0,041666 0,041666 0,0526 tn 10,13 34,12 R x P 2 0,083334 0,041667 0,0526 tn 9,55 30,81 Galat (b) 3 2,375 0,79166
Hasil analisis keragaman pada Tabel 7. Menunjukkan bahwa F hitung lebih kecil dari F tabel sehingga dapat disimpulkan bahwa frekuensi pemutaran telur dan sumber panas yang digunakan dalam penetasan telur ayam kampung memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap mortalitas.
Dari Tabel 7. Ternyata frekuensi pemutaran telur terhadap mortalitas telur ayam kampung selama penetasan tidak nyata pengaruhnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rasyaf (1995) disitasi Tarigan (2006), yang mengemukakan bahwa pemutaran telur sebaiknya dilaksanakan paling sedikit 2x atau lebih baik diputar 6,8 sampai 12x sehari dengan setengah putaran. Faktor lain yang mempengaruhinya adalah pencemaran mikroba dan jamur yang dapat menyebabkan mortalitas tinggi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Tarigan dan Hermanto (1991), bahwa telur yang terkontaminasi mikroba akan menyebabkan timbulnya evaporasi cairan telur sehingga dapat membuat mortalitas menjadi tinggi.
Untuk mengetahui baik tinggi atau rendahnya mortalitas dalam suatu proses penetasan maka dapat dilihat juga dari daya tetas yang dihasilkan dalam penetasan tersebut. Antara daya tetas dan mortalitas adalah berbanding terbalik oleh karena itu pada suatu proses penetasan yang baik adalah bila daya tetasnya tinggi yang secara otomatis menyebabkan mortalitasnya rendah.
yang warnanya tidak terlalu pekat, bintik dikulit telur haru jelas, kulit telut tidak retak, memilih telur yang baru dan tidak lebih dari 3 hari.
Dari Tabel 7. Diketahui bahwasanya penetasan yang menggunakan sumber panas listrik lebih tinggi angka mortalitasnya yaitu 18.33% dibandingkan dengan menggunakan gasbio yaitu sebesar 16.67%. Tingginya angka mortalitas pada listrik dikarenakan listrik di Sumatera Utara dayanya tidak stabil dan kadang-kadang mati sehingga kestabilan suhu panas dalam mesin tetas berkurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suprijatna (2005), menyatakan bahwa panas dalam inkubator penetasan berpengaruh positif terhadap daya mortalitas, apabila suhu dalam penetasan tidak stabil maka akan meningkatkan angka mortalitas.
Daya Tetas
[image:48.595.115.528.223.366.2]Daya tetas diartikan sebagai jumlah telur yang menetas dari sejumlah telur fertil yang dimasukkan (Setiadi, 2000). Dari hasil analisis, rata-rata daya tetas telur ayam kampung selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan daya tetas telur tetas ayam kampung selama penelitian (%).
Main plot (pemutaran)
Subplot (S.Panas)
Ulangan Total Rataan
I II III IV
R1 P1 60.00 60.00 80.00 80.00 280.00 70.00 P2 60.00 80.00 80.00 60.00 280.00 70.00 R2 P1 80.00 80.00 100.00 80.00 340.00 85.00 P2 80.00 100.00 80.00 80.00 340.00 85.00 R3 P1 80.00 100.00 80.00 100.00 360.00 90.00 P2 80.00 100.00 100.00 100.00 380.00 95.00 Total 440.00 520.00 500.00 500.00 1980.00 495.00
Rataan 73.33 86.67 83.33 83.33 82.5
Dari Tabel 8. Dapat dilihat bahwa rataan daya tetas telur tetas ayam kampung selama penelitian adalah sebesar 82.5%, dimana daya tetas tertinggi diperoleh dari perlakuan R3P2 (pemutaran 8 kali sehari dengan sumber panas gasbio) yaitu sebesar 95.00% dan yang terendah pada perlakuan R1P1 dan R1P2 (pemutaran 4 kali sehari sumber panas listrik dan gas bio) yaitu 70.00%.
Mudsan (2000), mengatakan bahwa pemutaran telur berpengaruh sangat besar bagi daya tetas telur tersebut, karena meratanya penerimaan suhu pada permukaan kerabang dan juga untuk mencegah penempelan embrio pada kulit telur dan menyebabkan kematian pada embrio.
Pada penelitian ini pengaruh frekuensi pemutaran telur menaikkan daya tetas sebesar 12.5%. sedangkan sumber panas yang digunakan terlihat bahwa persentase daya tetas tertinggi pada sumber panas yang menggunakan gas bio. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 5. Histogram daya tetas ayam kampung vs frekuensi pemutaran dan sumber panas yang digunakan.
Tabel 9. Analisis keragaman pengaruh frekuensi pemutaran telur dan sumber panas yang digunakan terhadap mortalitas telur ayam kampung selama penelitian.
SK dB JK KT F. Hit F. Tabel
0.05 0.01 Ulangan 3 0,79166 0,26388 0,3333 tn 5,41 12,08 P.
Utama
2 6,25 3,125 3,9474 tn 5, 79 13,27 Galat (a) 5 1,08334 0,216668
B.Petak 1 0,041666 0,041666 0,0526 tn 10,13 34,12 R x P 2 0,083334 0,041667 0,0526 tn 9,55 30,81 Galat (b) 3 2,375 0,79166
Total 16 10,625 Keterangan : tn = tidak nyata
Hasil analisis keragaman pada Tabel 9. Menunjukkan bahwa F hitung lebih kecil dari F tabel sehingga dapat disimpulkan bahwa frekuensi pemutaran telur dan sumber panas yang digunakan dalam penetasan telur ayam kampung memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap daya tetas.
Dari Tabel 9. Ternyata frekuensi pemutaran telur sampai 8 kali sehari terhadap daya tetas telur ayam kampung tidak nyata pengaruhnya. Namun secara angka-angka terlihat bahwa R3P1 dan R3P2 lebih tinggi daya tetasnya disbanding R1P1, R1P2, R2P1, R2P2. Tidak berbedanya antara perlakuan R1, R2 dan R3 diduga akibat pemerataan penerimaan suhu pada kulit telur sudah baik dan melekatnya embrio pada kulit telur sudah tercegah. Ini berarti bahwa pemutaran 4 kali sehari sudah dapat meningkatkan daya tetas telur.
Dari Tabel 9. Diketahui bahwasannya penetasan yang menggunakan sumber panas gasbio lebih tinggi angka daya tetasnya yaitu 83.33% dibandingkan dengan menggunakan listrik yaitu sebesar 81.67%. Tingginya angka daya tetas pada gas bio dikarenakan gas bio sebagai renewable energy memiliki suhu yang relatif stabil dengan melakukan pengisian bahan baku (kotoran ternak) kedalam digester setiap harinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ginting (2010), untuk mendapatkan gas yang stabil dalam digester maka perlu dilakukan pengisian bahan baku (kotoran) setiap harinya dan mikroorganisme yang ada dalam digester memerlukan makanan untuk hidup dan berkembang biak.
Haryati (2006), biogas dihasilkan oleh proses pemecahan bahan limbah organik yang melibatkan aktivitas bakteri anaerob dalam kondisi anaerobik dalam suatu digester. Pada dasarnya proses pencernaan anaerob berlangsung atas tiga tahap yaitu hidrolisis, pengasaman dan metanogenik. Proses fermentasi memerlukan kondisi tertentu seperti rasio C : N, temperatur, keasaman juga jenis digester yang dipergunakan./ Kondisi optimum yaitu pada temperatur sekitar 32 - 35°C atau 50 - 55°C dan pH antara 6,8 - 8. Pada kondisi ini proses pencernaan mengubah bahan organik dengan adanya air menjadi energi gas. Biogas umumnya mengandung gas metan (CH4 ) sekitar 60 - 70% yang bila dibakar akan menghasilkan energi panas sekitar 1000 British Thermal Unit/ft3 atau 252 Kkal/0,028 m3 .
Teknologi biometanisasi dimanfaatkan untuk menghasilkan energi. Gallert
bahwasannya 1 kg kotoran sapi akan menghasilkan 40-46 liter gas yang dapat langsung digunakan untuk berbagai kegiatan.
Listrik dan gas bio kedua sumber panas ini dapat digunakan sebagai sumber panas dalam penetasan telur. Listrik yang tidak stabil (dayanya serta kadang-kadang padam) dapat menurunkan daya tetas telur kecuali menggunakan alat lain seperti genset. Akan tetapi gas bio suhu dan panasnya stabil dengan cara selalu diisi setiap harinya, meskipun pada saat volume gas susut maka tekanan gas melemah akan tetapi volume gas yang susut masih dapat digunakan dalam proses penentasan. Jadi selisih 1 % angka daya tetas listrik dan gas bio disinyalir karena pernah listrik mati, menyebabkan suhu tidak stabil dalam mesin tetas.
Dari Tabel 6 dan 8. Dimana terlihat interaksi antara pengaruh frekuensi pemutaran dengan sumber panas yangdigunakan. Menunjukkan bahwasannya pada mortalitas tertinggi pada perlakuan R1P1 dan R1P2 dan yang terendah terdapat pada perlakuan R3P1 dan R3P2, sedangkan pada daya tetas tertinggi pada perlakuan R3P1 dan R3P2 dan yang terendah R1P1 dan R1P2.
Rekapitulasi Hasil Penelitian
[image:53.595.112.510.216.359.2]Untuk melihat hubungan antar parameter pada penelitian pemanfaatan gas bio sebagai sumber panas dalam penetasan telur ayam kampung, dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Rekapitulasi Hasil Penelitian.
Main Plot Sub Plot Fertilitas (%) Mortalitas (%) Daya Tetas (%)
R1 P1 100 tn 30.00 tn 70.00 tn
P2 100 tn 30.00 tn 70.00 tn
R2 P1 100 tn 15.00 tn 85.00 tn
P2 100 tn 15.00 tn 85.00 tn
R3 P1 100 tn 10.00 tn 90.00 tn
P2 100 tn 5.00 tn 95.00 tn Keterangan : tn = tidak nyata
R1, R2, R3 = pemutaran telur
P1 = Panas listrik P2 = Panas Gas bio
Dari Tabel rekapitulasi hasil penelitian pada Tabel 10. Dapat dilihat bahwa pengaruh frekuensi pemutaran telur dengan sumber panas yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap fertilitas, mortalitas dan daya tetas, tetapi secara angka-angka berpengaruh nyata.
KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, pemanfaatan gas bio sebagai sumber energi panas dalam penetasan telur ayam kampung dibandingkan sumber energi listrik memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap fertilitas, mortalitas dan daya tetas telur ayam kampung.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Akellla, A.K., R.P. Saini and M.P. Sharma. 2009. Social economical and
environment impacts of renewable energy systems. Renewable Energy 34
(2009) 390-396.
Almansyah., Ali, S dan Ayub. 2009. “Slide Product” Ternak, Publikasi Budidaya Ternak Ruminansia, Edisi Pertama 2009. Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta.
Bagi, Zultan., Norbert Acs., Balazs Balint., Lenk Horvath., Krisztina Dobo., Katalin R. Perei., Gabor Rakhely and Kornel L. Korvacs. 2007.
Biotechnological intensification of biogas production. Appl Microbial
Biotechnol (2007) 76:473-482 Doi 10.1007/s00253-007-1009-6.
Card., dalam tarigan. 2006. Skripsi Pengaruh frekuensi pemutaran telur terhadap daya tetas dan bobot badan DOC ayam kampung. Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian USU. Medan.
Demirel, Burak and Paul Scherer. The roles of acetotropic and hydrogentrphic methanogens during anaerobic conversion of biomass to methane: a
review. 2008. Rev Environ Sci Biotechnol (2008) 7:173-190 DOI
10.1007/s11157-008-9131-1.
Engler, C .R ., M.J. Mcfarland and R.D. Lacewell . 2000 . Economic and environmental impact of biogas production and use . http//:dallas .edu/biogas/eaei . html. (10 Februari 2013) .
Gallert, C and J. Winter. 2002. Solid and liguid residues as raw materials for
biotechnology. Naturwissenchapeften (2002) 89;483-496.
Ginting, N. 2010. Pemanfaatan limbah pemotongan hewan yang berkelanjutan. Sekolah Pasca Sarjana USU, Medan.
Greenberg, D. U. 1981. Rising Game Bird in Captivity. D. Vannostrand Company, New York.
Harahap, F.M., Apandi dan S. Ginting . 1978. Teknologi Gas bio . Pusat Teknologi Pembangunan Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Haryati, tuti. 2006. Limbah peternakan yang menjadi sumber energi alternatif. Balai penelian ternak. Bogor.
Kristoferson, L .A. dan V. Bokalders . 1991 . Renewable Energy Technok,i, ;s-Their Application in Developing Countries . ITDG Publishing.
Marhiyanto, B. 2000. Sukses beternak ayam arab. Difa Publisher, Jakarta. Mudsan, Moch. 2000. Usaha Penetasan Telur. Karya Anda, Surabaya.
Mufarid, dalam Tarigan. 2006. Skripsi Pengaruh frekuensi pemutaran telur terhadap daya tetas dan bobot badan DOC ayam kampung. Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian USU. Medan.
Murtidjo, B. A. 2002. Mengelola Ayam Buras. Kanisius, Yogyakarta.
North, dalam Kartasudjana, Ruhyat dan Suprijatna, E. 2010. Manejemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Nukulchai, W. Nanok., and Austriaco. L. Robles, Ferrocement biogas digester. International Ferrocement Center. 1985.
Paimin, F.B. 2004. Membuat dan Mengelola Mesin Tetas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Paimin, B, Farry. 2011. Mesin Tetas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Prihandana. Udiharto dan Sumardi. 2007. Penelitian Teknologi Gas Bio dan Penerapannya. Pusat Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”, Jakarta.
Rajakovic, N. and Milomir, K. 2006. Biogas – Energy Instead of Waste. Sixth International Symposium Nikola Tesla, Serbia.
Rasyaf, M. 1989. Memelihara Ayam Buras. Kanisius, Yogyakarta.
Rasyaf, M. 1995. Penggelolaan Produksi Telur. Cetakan ke IV. Kanisius, Yogyakarta.
Sarwono, B. 1997. Beternak Ayam Buras. Penebar Swadaya, Jakarta.
Setiadi, P. 2000. Pengaruh Indeks Bentuk Telur Terhadap Persentase Kematian Embrio, Gagal Tetas dan DOD Cacat Pada Itik Tegal yang Diseleksi. Animal Production, Vol. 2 No. 1. Faculty of Animal Husbandry, Jendral Soedirman University, Purwokerto.
Sudradjad. 1995. Beternak Ayam Cemani. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sugandono, B. 2001. Ilmu Unggas Air. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Smith, Tom W. 2000. Hatching quality Chiks. Extension Service of Mississippi State University.
Siregar. 1996. Kotoran sebagai sumber energy. Dewaruci Press, Jakarta.
Tarigan, N dan S. hermanto. 2001. Bekisar Pemeliharaan. Dan Pengembangbiakan secara Modren. Kanisisus, Yogyakarta.
Ward, Alastair J., Phil J.Hobbs., Peter J. Holliman and David L. Jones. 2008.
Optimisation of the anaerobic digestion of agricultural resources.
Bioresource Technology 99 (2008) 7982 – 7940.
Widjaja, K.. 2003. Peluang Bisnis Itik. Penebar Swadaya, Jakarta.
Wyeld, H. R and H. Wyeld. 1999. Duck and Geese. Ministry of Agriculture,
Fisheries and Food, London.
Lampiran 1. Denah Penelitian
Denah Penelitian Listrik dan Pemutarannya.
P1R1U4 P1R2U1 P1R3U2 P1R1U3
P1R3U4 P1R1U2 P1R1U1 P1R3U1
P1R2U2 P1R3U3 P1R2U4 P1R2U3
Denah Penelitian Gas Bio dan Pemutarannya.
Ket :
P1 =sumber panas listrik P2 = sumber panas biogas R1, R2, R3 = pemutaran telur
R1 =pukul 08.00,14.00,20.00 & 02.00 wib
R2 =pukul 08.00,12.00,16.00,20.00,24.00 & 04.00 wib
R3 =pukul 08.00,11.00,14.00,17.00,20.00,23.00,02.00 & 05.00 wib
P2R1U2 P2R2U4 P2R1U1 P2R2U2
P2R1U4 P2R2U3 P2R2U1 P2R3U1
Lampiran T-Test terhadap mortalitas telur listrik dan gas bio Jumlah telur
mortal listrik
Rataan Jumlah telur mortal gas bio
rataan T-test
R1 6 1,5 6 1,5 1
R2 3 0,75 3 0,75 1
R3 2 0,5 1 0,25 0,5369
Total 11 10
Mortalitas 18,33 16,67
sd 0,6685 0,7177