• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS TELUR AYAM KAMPUNG PADA PENETASAN KOMBINASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBANDINGAN FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS TELUR AYAM KAMPUNG PADA PENETASAN KOMBINASI"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERBANDINGAN FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS TELUR AYAM KAMPUNG PADA

PENETASAN KOMBINASI

Oleh

Dimas Wicaksono

Pada dasarnya penetasan telur ayam kampung dapat dikelompokkan menjadi dua yakni penetasan secara alami dengan bantuan entok dan buatan dengan mesin tetas atau dengan cara mengkombinasikan. Keuntungan penetasan kombinasi adalah dapat menghasilkan fertilitas dan daya tetas yang lebih tinggi serta dapat menetaskan telur dalam jumlah banyak.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kombinasi proses penetasan telur ayam kampung yang lebih baik berdasarkan fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot tetas.

Penelitian ini dilaksanakan selama 4 minggu mulai 28 Mei -- 28 Juni 2012, bertempat di rumah Bapak M. Yasri Ketua Kelompok Tani Ternak Rahayu II, Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran. Telur yang digunakan adalah telur ayam kampung sebanyak 200 butir, masing – masing perlakuan 100 butir dengan bobot telur 41,70±6,67 g (perlakuan 7 hari) dan 38,43±7,67 g (perlakuan 10 hari).

Penelitian ini menggunakan dua rancangan perlakuan, yaitu P1: pengeraman 7 hari pada entok kemudian dilanjutkan dengan mesin tetas, dan P2 : pengeraman 10 hari pada entok kemudian dilanjutkan dengan mesin tetas. Masing-masing perlakuan terdiri dari 20 satuan percobaan dengan jumlah telur setiap satuan yaitu 5 butir. Data yang dihasilkan dianalisis menggunakan uji t-student dengan taraf nyata 5%. Peubah yang diamati adalah fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot tetas.

(2)

PENGARUH KOMBINASI PROSES PENETASAN TELUR AYAM KAMPUNG TERHADAP FERTILITAS DAN DAYA TETAS

Oleh :

DIMAS WICAKSONO

JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(3)

PERBANDINGAN FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS TELUR AYAM KAMPUNG PADA

PENETASAN KOMBINASI

Oleh :

DIMAS WICAKSONO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PETERNAKAN

pada

Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PERBANDINGAN FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS TELUR AYAM KAMPUNG PADA

PENETASAN KOMBINASI

(Skripsi)

Oleh :

DIMAS WICAKSONO

JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTR TABEL ... xii

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang dan Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian... ... 4

C. Kegunaan Penelitian ... ... 4

D. Kerangka Pemikiran ... 5

E. Hipotesis ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA... 8

A. Deskripsi Ayam Kampung ... 8

B. Deskripsi Entok ... 11

C. Penetasan Alami ... 13

D. Penetasan Buatan... 14

E. Fertilitas ... 16

F. Susut tetas ... 17

G. Daya Tetas ... 20

(6)

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 26

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

B. Bahan dan Alat Penelitian ... 26

C. Metode Penelitian ... 26

D. Pelaksanaan Penelitian ... 27

E. Peubah yang diamati ... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

A. Gambaran Umum Kelompok Peternak ... 30

B. Fertilitas Ayam Kampung Pada Penetasan Kombinasi ... 31

C. Susut Tetas Ayam Kampung Pada Penetasan Kombinasi... 35

D. Daya Tetas Ayam Kampung Pada Penetasan Kombinasi... 39

E. Bobot Tetas Ayam Kampung Pada Penetasan Kombinasi ... 42

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 45

A. Simpulan ... 45

B. Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... ... 46

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Antawidjaja, T., B. Wibowo, S. Iskandar, E. Juarini dan E. Masbulan. 1995. Pengaruh pencabutan bulu sayap terhadap produktivitas entok (Cairina moschata) di pedesaan. Prosidings Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi. Bogor.

Asnawi. 1997. Kinerja Pertumbuhan dan Fisiologi Ayam Kampung dan Hasil Persilangannya dengan Ayam Ras Tipe Pedaging. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Biyatmoko, D. 2003. Permodelan usaha pengembangan ayam buras dan upaya perbaikannya di pedesaan. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian Subsektor Peternakan. Banjarbaru, 8−9 Desember 2003. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru. Hlm. 1−10.

Blakely, J. dan H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan Edisi Keempat. Terjemahannya : Bambang Srigandono. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta

Buhr, R. J and J. L. Wilson. 1991. Incubation relative humidity effect on allaantoic fluid volume and hatchability. Poultry Science. Poscal 70 (supplement 1) : 1 – 188.

Cahyono. 2005. Pembibitan Itik. Penebar Swadaya. Cetakan Pertama. Jakarta. Card, L.E. and M.C.Neisheim. 1972. Poultry Education. 11th. Edition and

Febriger, Philadelphia.

Dinas Peternakan. 1999. Departemen Pertanian. Basis Data Statistik. http://www.Deptan.com (7 Oktober 2012)

Dijaya, A.S. 2003. Penggemukan Itik Jantan Potong. Penebar Swadaya. Cetakan Pertama. Jakarta.

(8)

Dudung A.M., 1990. Memelihara Ayam Kampung. Sistem Battery. Kanisius. Yogyakarta.

Ensminger, M.E. 1980. Poultry Science. 2th Edition. The Interstate Printers & Publishers INC.

Fasenko, G.M., R.T. Hardin and F.E Robinson. 1992. Relationship of hen age and egg sequence position with fertility, hatchability, viability and pre

uncubation embryonic development in broilers breeders. Poultry Science 70 : 1374 – 1384.

Gunawan. 2002. Evaluasi Model Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras dan Upaya Perbaikannya. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Greenberg, D. V. 1981. Resing Game Bird in Capitivity. D. Van Nostrad Company, New York.

Iriyanti, N., Zuprizal, Tri-Yuwanta, dan S. Keman. 2007. Penggunaan vitamin E dalam pakan terhadap fertilitas, daya tetas dan bobot tetas telur ayam kampung. J. Anim. Prod. 9(1): 36−39.

Hamdy, A. M. M., Henken, W.V.D. Hel, A.G. Galal and A.K.I. Abd-Elmoty. 1991. Effect of incubation humidity and hatching time on heat tolerance of neonatal chicks: Growth Performance after heat exposure. Poultry Science 70:1507 – 1515.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak Di Lapangan. Penerbit P.T Grasinda anggota IKAPI, Jakarta. Hlm. 6-8 : 54-57.

Jull, M.A. 1951. Poultry Husbandry 3th Edition. Mc.Graw-Hill Book Company, Inc.

Jayasamudra, D.J dan B. Cahyono. 2005. Pembibitan Itik. Penebar Swadaya. Jakarta

Karnama, I. K. 1996. Studi beberapa faktor yang mempengaruhi daya tetas telur itik Bali pada penetasan tradisional dengan gaban. Tesis. Program Studi Pascasarjana Peternakan. Institusi Pertanian Bogor, Bogor.

Kingston, D.J. and C. Capwell. 1982. Indigenous Chickens in Indonesia. Population and Production Characteristics in Five Villages in West Java. Research Institute for Animal Production. Bogor, Indonesia.

Koeswara, S. 1991. Teknik pengawetan telur segar. Poultry Indonesia 113: 18-19. Koesmono, R. 1989. Pengembangan Ternak Unggas Lokal di Jawa Tengah

(9)

Kusmarahmat, I. 1998. Pengaruh berbagai perbandingan jantan dan betina dalam kawin alam terhadap produksi, bobot, fertilitas dan daya tetas telur pada ayam kampung. Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian, Insttut Pertanian Bogor Kusmidi, I. 2000. “Produktivitas Itik Manila (Cairina moschata) di tiga desa

yang berbeda topografinya di Kabupaten Cianjur”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Lasmini, A., R. Abdelsamie dan N. M. PArwati. 1992. Pengaruh Cara Penetasan Terhadap Daya Tetas Telur Itik Tegal dan Alabio. Prosiding : Pengolahan dan Komunikasi Hasil – hasil Penelitian. Unggas dan Aneka Ternak. Balai Penelitian Ternak, Ciawi. Bogor.

Lesson, S. 2000. Egg Number and Egg Size Both Influence Broilers Yields. Arbor acres, Service Bulletin No. 13, July 1.

Lyons, J. J. 1998. Small Flock Series: Incubations of poultry. Agricultural publication G*353-New January 15. University of Missouri.

http://muexentension.missouri.edu/xplor/agguides/poultry/908353.htm.[3S eptember2002].

McDaniel, G.R., D.A. Roland and M.A. Coleman. 1979. The effect of eggs shell quality on hatchability and embrionic mortality. Poultry Science 58 : 10 – 13.

Meijerhof, R. 1994. Pre-Incubation Holding of Hatching Eggs. Science Journal 48 (1) : 57 - 68 .

Murtidjo, B.A. 1995. Mengelola Itik. Cetakan Ketujuh. Kanisius. Yogykarta. _______, B. A. 1992. Mengelola Ayam Buras. Kanisius, Yogyakarta.

Nesheim, M.C., R.E. Austic and L.E. Card. 1979. Poultry Production. Lea and Febiger, Philadelphia.

North, M.D, dan D.D. Bell, 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Edition. The Avi Publishing Co. Inc. Wesport, Conecticut.

Nuryati, T. Sutarto., M. Khamim., dan P.S. Hardjosworo. 2002. Sukses Menetaskan Telur. Cetakan keempat. Penebar Swadaya. Jakarta. Oklahoma State University. 2002. Muscovy. Oklahoma, USA.

http://amsi.okstate.edu/poultry/ducks/muscovy.[26 Maret 2002] Paimin, F.B. 2004. Membuat dan Mengelola Mesin Tetas. Penebar Swadaya,

(10)

Peebles, E.D and J. Brake. 1985. relationship of egg shell porosity of stage of embrionic development in broiler breeders. Poultry Science 64 (12): 2388. Rasyaf, M. 1998. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Jakarta.

_________. 1989. Memelihara Ayam Buras. Kanisius, Yogyakarta. _________. 1990. Pengelolaan Penetasan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Resnawati, H. 1998. The nutritional requirements for native chickens. Bulletin of Animal Science. Supplement Ed. Faculty of Animal Science, Gadjah Mada University, Yogyakarta.

Riyanto, 2001. Sukseskan Menetaskan Telur Ayam. Penerbir Andromedia Pustaka. Jakarta

Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 2002. The Avian Egg. 2nd Edition. John Wiley and Sons. Inc. New York.

Rose, S P, 1997. Prinsiples of Poultry Sciences. Harper Adams Agricultural Collag.London

Rusandih. 2001. Susut tetas dan Jenis Kelamin Itik Mojosari Berdasarkan Klasifikasi Bobot dan Nisbah Kelamin. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sapuri, A. 2006. Evaluasi Program Intensifikasi Penagkaran Bibit Ternak Ayam Buras di Kabupaten Pandeglang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sartika, 2004. Kekerabatan Genetik Ayam Kampung, Pelung, Sentul dan Kedu

Hitam dengan menggunakan penanda DNA mikrosatelit: I. Grup pemetaan pada makro kromosom. JITV 9: 81-86.

Sarwono, B. 1991. Beternak Ayam Buras. Cetakan Ketiga. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sauveur, B. and H. de Carville. 1986. Recent Studies on the Management of Muscovy Breeding Duck in France. In : D. J. Farrell and Stapleton. University of New England, Armidalle.

Setiadi, P., A. P. Sinurat, A. R. Setioko dan A. Lasmini. 1994. Perbaikan Sanitasi Untuk Meningkatkan Daya Tetas Telur Itik Di Pedesaan. Prosiding. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. _________. 1992. “Pengujian Metoda Penetasan Telur Itik Tegal di Pedesaan”.

(11)

Septiwan, R. 2007. Respons Produktivitas dan Reproduktivitas Ayam Kampung dengan Umur Induk yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Setioko, A.R., A.D. Sinurat, P. Setiadi dan A. Lasmini, 1994. “Pemberian Pakan Tambahan untuk pemeliharaan itik gembala di Subang, Jawa Barat”. Vol. 8, No. 1, Agustus:27 – 33.

Shanawany, M.M. 1987. Hatching weight in relation to egg weight in domestic birds. World’s Poultry Science. Journal. 43 (2) : 107 – 144.

Srigandono, B. 1998. Ilmu Unggas Air. Cetakan ketiga. Gajah Mada University Press, Yogyakarta

_________. 1997. Kamus Istilah Peternakan. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.

Steel, R.G.D. dan J. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik. Alih Bahasa B. Sumantri. Gramedia, Jakarta.

Steward, G. F. And J.C. Abbott. 1972. Marketing Eggs and Poultry. Thrird Printing. Food and Agricultural Organization (FAO), The United Natione. Rome.

Stromberg, J. And L. Stromberg. 1975. A Guide to Better Hatching. Stromberg Publishing Company, Pine River, Minnesota.

Suarez, M. E., Wilson, H.R. 1996. Low Temperature effects on embrionic development and hatch time. Poultry science. 75: 1321 – 1331. Sudaryani, T. 2001. Perlakuan Telur Sebelum Ditetaskan. Dalam: Mengatasi

Permasalahan Beternak Ayam. Penebar Swadaya, Jakarta.

_________. 2000. ”Kualitas Telur” . Cetakan Kesembilan. Penebar Swadaya. Jakarta

_________, dan Santoso. 1994. Pembibitan Ayam Ras. Penebar Swadaya. Jakarta. Sudradjad. 1995. Beternak Ayam Cemani. Penebar Swadaya, Jakarta.

Suharno, B dan Amri. 1999. Beternak Itik Secara Intensif. Penebar Swadaya. Jakarta.

(12)

Sulandari S, Zein MSA, Paryanti S, Sartika T. 2007. Taksonomi dan asal usul ayam domestikasi. Dalam buku Keragaman Sumber Daya Hayati Ayam Lokal Indonesia:Manfaat dan Potensi. Editor: Kusumo Diwyanto dan Siti Nuramaliati Prijono. Pusat Penelitian Biologi, LIPI.Edisi I Hal. 7-24

Suprijatna. 2005. Ayam Buras Krosing Petelur, Penebar Swadaya, Jakarta. _________. Atmomarsono dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak

Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Syaikul. A, 2006. Tugas Akhir Teknik Elektro Universitas Udayana, Perancangan Mesin Penetas Telur Berbasis Mikrokontroler ATMEGA163, Juli 2006. Tullet, S. G. and F.G. Burton. 1982. Factor affecting the weight and water status

of chick and hatch. British Poultry. Science 23 : 361 – 369. Tungka, R. Dan N.S. Budiana. 2004. Itik Peking. Penebar Swadaya. Cetakan

Pertama. Jakarta.

Wibowo, B., E., T. Antawidjaja, E. Basuno, I. A. K. Bintang dan S. Iskandar. 1995. “Pengaruh suplementasi pada dedak dengan dan tanpa pemisahan DOD secara dini terhadap produktivitas entok di pedesaan. Seminar Peternakan dan Forum Peternakan Ternak Unggas dan Aneka Ternak”. Kumpulan Hasil – hasil Peternakan APBN 1995. Balai Penelitian Ternak Ciawi.

Wineland, M. 2000. Moisture loss in hatching eggs. Abor acres, Service Bulletin No. 14 July 15.

(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Kenaikan permintaan komoditas peternakan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin berpacu dengan adanya pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, serta meningkatnya kesadaran akan gizi dan kesehatan masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, daya produksi ternak lokal masih tergolong rendah sehingga target minimal konsumsi protein hewani asal ternak belum cukup. Ayam kampung adalah suatu ternak yang saat ini potensinya terbilang masih sangat rendah.

(14)

Potensi ayam kampung perlu dikembangkan untuk meningkatkan gizi masyarakat. Selera konsumen terhadap daging dan telur ayam kampung diakui atau tidak sangat tinggi. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan populasi ayam kampung perlu dilakukannya kesiapan penetasan. Penetasan merupakan bidang yang memerlukan penanganan yang baik, sehingga diperoleh efisiensi daya tetas yang berkualitas prima (Dudung, 1990).

Pada dasarnya penetasan telur ayam kampung dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu penetasan secara alami dan secara buatan. Penetasan telur ayam kampung secara alamiah ini umumnya dengan dieramkan oleh induk maupun menggunakan unggas lain yang memiliki sifat mengeram seperti entok. Kelebihan dari penetasan alami adalah lebih mudah dilakukan oleh petani kecil, dan tidak memerlukan pengawasan yang intensif seperti pengaturan suhu dan kelembapan, pemutaran, dan lain - lain. Kelemahannya adalah daya tampung pada saat dieramkan sedikit (Setioko, 1998),

Penetasan telur ayam kampung oleh induk ayam kampung sendiri

menyebabkan menurunnya proses produksi telur karena sifat mengeram induk ini sangatlah merugikan. Cara paling aman sebenarnya cara alami karena hanya menunggu telur menetas selama 21 hari. Namun, hasil bibit ayam terbatas. Penggunaan jasa entok (itik manila) dapat dilakukan apabila entok sudah siap mengeram dengan cara mengganti telur entok dengan telur ayam kampung.

(15)

meninggalkan telur yang dieramkan, suhu dan kelembapan akan mudah berubah sehingga memengaruhi telur yang dieramkan dan telur yang

dieramkan jumlahnya sangat terbatas atau sedikit. Kelebihan penetasan alami menggunakan induk lain seperti entok yang memiliki sifat mengerami telur adalah mempunyai daya tetas yang baik berkisar 80--90% (Suharno dan Amri).

Penetasan telur ayam kampung dengan cara buatan menggunakan mesin tetas dapat dilakukan dengan jumlah yang banyak. Prinsip penetasan menggunakan mesin tetas adalah menciptakan suasana yang sesuai dengan kondisi keadaan induk unggas pada saat mengerami telurnya. Faktor - faktor yang terpenting dalam kerja mesin tetas adalah pengaturan suhu, kelembapan, sirkulasi udara, dan pemutaran telur (Sudaryani, 2001).

Penetasan menggunakan inkubator atau mesin tetas memiliki kelemahan dan kelebihan. Kelemahan penetasan buatan adalah sangat tergantung pada manajemen peternak dalam pengelolaan mesin tetas, seperti pengaturan suhu, kelembapan, dan pemutaran telur yang merata untuk mendapatkan suhu yang stabil. Kelebihan penetasan menggunakan mesin tetas adalah jumlah telur yang ditetaskan dapat mencapai jumlah yang banyak dan lebih efisien berbeda dengan penetasan alami yang hanya menetaskan telur dalam jumlah yang sedikit (Riyanto, 2002).

(16)

kemudian dimasukkan ke dalam mesin tetas. Mulanya Kelompok Tani

Ternak Rahayu, di Desa Sidodadi, melakukan penetasan menggunakan mesin tetas. Namun keberhasilan yang didapat hanya 30--50% dari jumlah telur yang ditetaskan pada mesin tetas. Kemudian kelompok tersebut mencoba melakukan mengkombinasikan antara penetasan alami dengan bantuan entok yang memiliki daya tetas cukup tinggi yang kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas. Hasil yang didapat pada proses penetasan dengan cara kombinasi mencapai 90%. Namun, belum ada data mengenai ada tidaknya perbedaan fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot tetas dari lama pengeraman 7 dan 10 hari pada entok.

Berdasarkan dari pengalaman Kelompok Tani Ternak Rahayu di Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima, maka penulis tertarik untuk meneliti proses penetasan telur ayam kampung dengan cara kombinasi yang mempunyai fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot tetas yang baik.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kombinasi proses penetasan telur ayam kampung yang lebih baik terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot tetas.

C. Kegunaan Penelitian

(17)

dihasilkan dari proses penetasan kombinasi sehingga dapat meningkatkan produktivitas ternak ayam kampung.

D. Kerangka Pemikiran

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot tetas ayam kampung adalah tatalaksana penetasan. Manajemen yang baik akan menghasilkan daya tetas yang baik pula. Penetasan ayam kampung dapat dilakukan dengan dua cara, yakni secara alami dan secara buatan (mesin tetas). Cara alami dilakukan dengan cara dieramkan oleh induknya. Cara alami pun dapat dilakukan dengan cara dititipkan pada kalkun ataupun entok (Paimin, 2004).

Kemampuan seekor kalkun mengerami telur ayam kampung sebanyak 12--15 butir telur, sedangkan pada entok dapat mencapai 22--25 butir telur. Entok dapat menetaskan telur ayam kampung dalam 3 periode secara terus menerus (Wibowo, et al., 1995). Menurut Suharno dan Amri (1999), keberhasilan penetasan dengan cara alami berkisar 80--90 %. Penetasan alami yang dilakukan dengan menggunakan entok sebagai pengeram mendapatkan hasil yang lebih baik daripada penetasan buatan. Hal ini karena entok dapat mengatur sendiri kebutuhan temperatur, kelembaban, pemutaran telur, dan sebagainya melalui tingkah laku entok selama penetasan (Lasmini, et al., 1992).

(18)

memperhatikan manajemen mesin tetas berupa kelembapan, temperatur, pemutaran telur, peneropongan telur, pertukaran sirkulasi udara, dan kebersihan yang berpengaruh pada embrio dalam menghasilkan daya tetas (Riyanto, 2002).

Penetasan telur dengan cara buatan merupakan tiruan dari sifat – sifat alamiah unggas saat mengeram. Penetasan buatan sangat tergantung dari manajemen penetasan dan keterampilan peternak. Menurut Bapak Yasri selaku Ketua Kelompok Tani Rahayu, penetasan telur ayam kampung yang dilakukan dengan menggunakan mesin tetas tingkat keberhasilannya sebesar 50--80 %.

Manajemen penetasan yang dilakukan di Kelompok Tani Ternak Rahayu, Desa Sidodadi, Kecamatan Waylima, Kabupaten Pesawaran, yaitu dengan kombinasi antara penetasan secara alami dan secara buatan (mesin tetas). Telur ayam kampung yang akan digunakan, dieramkan terlebih dahulu pada induk (entok) selama 10 hari sebelum dimasukkan ke dalam mesin tetas. Keberhasilan penetasan dengan cara ini mencapai 90%. Namun, karena alasan ekonomis agar penetasan bisa menghasilkan lebih banyak DOD (day old chick), maka telur dierami oleh entok hanya 7 hari kemudian dimasukkan

ke dalam mesin tetas.

(19)

masa kritis yang pertama. Pada saat itu organ – organ dalam jaringan luar telah terbentuk, hanya saja perkembangan embrio pada telur ayam kampung yang ditetaskan oleh entok selama 10 hari, perkembangannya sudah lebih sempurna. Oleh sebab itu, penetasan 10 hari yang kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas diduga mempunyai daya tetas yang lebih tinggi.

E. Hipotesis

(20)
(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Ayam Kampung

Ayam kampung merupakan ayam asli Indonesia yang telah lama dipelihara dan ayam kampung merupakan salah satu anggota dari ayam buras yang sangat potensial di Indonesia. Ayam kampung dijumpai di semua propinsi dan di berbagai macam iklim atau daerah. Umumnya ayam kampung banyak dipelihara masyarakat di daerah pedesaan yang dekat dengan sawah atau hutan. Ayam kampung telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan pemeliharaan yang sederhana (Suprijatna, 2005).

Sebenarnya ayam – ayam yang diternakkan kini (Gallus domesticus) berasal dari ayam hutan (Gallus varius) di Asia Tenggara. Jadi, ayam hutan merupakan nenek moyang ayam kampung yang umum dipelihara. Ayam kampung

kemungkinan berasal dari pulau Jawa. Akan tetapi, saat ini ayam hutan sudah tersebar sampai ke Pulau Nusa Tenggara (Rasyaf, 1998).

Sebagian besar ayam kampung yang terdapat di Indonesia mempunyai bentuk tubuh yang kompak dengan pertumbuhan badan relatif bagus, pertumbuhan bulunya sempurna dan variasi warnanya juga cukup banyak (Sarwono, 1991).

(22)

Menurut Rasyaf (1998), warna bulu pada ayam kampung tidak dapat diandalkan sebagai patokan yang baku, karena berubah terus-menerus. Misalnya induknya berwarna cokelat bintil-bintil hitam dan jagonya berwarna kemerahan campur hitam, tetapi anaknya berbulu putih atau warna campuran pada anak yang lain.

Ayam kampung mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kondisi lingkungan, dan perubahan iklim serta cuaca setempat. Ayam kampung memiliki bentuk badan yang kompak dan susunan otot yang baik. Badan ayam kampung kecil, baik itu ayam penghasil telur maupun pedaging. Bentuk tubuh ayam kampung tidak dapat dibedakan karena memang ayam kampung tidak dibedakan atas penghasil telur atau daging (Rasyaf, 1998). Kepala ayam kampung betina berukuran lebih kecil dibandingkan dengan kepala ayam kampung jantan (Sarwono, 1991).

(23)

Klasifikasi adalah suatu sistem pengelompokan jenis-jenis ternak berdasarkan persamaan dan perbedaan karakteristik. Suprijatna (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung di dalam dunia hewan sebagai berikut

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Aves

Subclass : Neornithes Ordo : Galliformes Genus : Gallus

Spesies : Gallus domesticus.

Asnawi (1997) menyatakan bahwa ayam yang diternakkan oleh masyarakat dewasa ini berasal dari 4 spesies Gallus, yaitu :

a. Gallus gallus

Spesies ini sering disebut juga sebagai Gallus bankiva, terdapat di sekitar India sampai ke Thailand, termasuk Filipina dan Sumatera. Karakteristik dari spesies ayam ini adalah jengger berbentuk tunggal dan bergerigi. Bulu yang betina berwarna cokelat bergaris hitam, sedangkan yang jantan mempunyai leher, sayap, dan pungggung berwarna merah sedangkan dada dan badan bagian bawah berwarna hitam. Ayam yang jantan berwarna merah dan sering disebut ayam hutan merah.

(24)

Spesies ini banyak terdapat di sekitar Ceylon, sebab itu juga sebagai ayam hutan ceylon. Ayam ini mempunyai tanda-tanda mirip seperti Gallus gallus, hanya saja yang jantan berwarna merah muda atau orange.

c. Gallus soneratti

Spesies ini terdapat di sekitar India Barat Daya. Tanda-tanda ayam ini

mirip seperti Gallus gallus, hanya saja warna yang menyolok pada yang jantan adalah warna kelabu.

d. Gallus varius

Spesies ini terdapat di sekitar Jawa sampai ke Nusa Tenggara, yang jantan

mempunyai jengger tunggal tidak bergerigi, mempunyai bulu penutup bagian atas berwarna hijau mengkilau dengan sayap berwarna merah, karena adanya warna kehijauan ini maka ayam ini disebut ayam hutan hijau.

Ayam hutan hijau (Gallus varius) inilah yang merupakan nenek moyang ayam kampung yang umum dipelihara. Ayam kampung yang ada kini masih

menurunkan sifat-sifat asal nenek moyangnya. Oleh sebab itu, varietas asal unggas hutan setengah liar ini dikenal dengan ayam kampung (Kingston, 1979 dan Rasyaf, 1998).

B. Deskripsi Entok

Warna pada entok dapat berupa biru, biru dan putih, cokelat, cokelat dan putih, putih

hitam dan hitam, lembayung muda, dan calical (Oklahoma State University, 2002).

(25)

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Metazoa

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Kelas : Aves

Ordo : Anseriformis

Famili : Anatidae

Genus : Cairina

Species :Moschata.

Entok merupakan itik pedaging yang paling besar di dunia dan bobotnya bisa

mencapai 3,5 kg sampai 6 kg (Srigandono, 1997), sedang itik peking dan itik

aylesbury bobotnya hanya 4--4,5 kg (Tungka dan Budiana, 2004). Bobot entok

sangat dominan dibandingkan dengan itik petelur afkir yang hanya 1,6 kg, dan itik

mandalung (hasil perkawinan itik petelur dan entok) yang hanya 2,5 kg (Dijaya,

2003).

Produktivitas telur entok 8--21 butir per periode dengan frekuensi bertelur dalam

setahun sebanyak tiga kali (Oklahoma State University, 2002). Produksi telur induk

entok yang dipelihara secara intensif/periode produksi, rata – rata 10 butir dengan

variasi 8--13 butir dan jarak bertelur kembali setelah penetasan pada induk yang

dipisahkan dengan anaknya yaitu sekitar 22 hari sedangkan pada induk yang

mengasuh anaknya yaitu 50--51 hari (Wibowo, et al.,1995).

Entok juga dikenal sebagai mesin penetasan alami (Blakely dan Bade, 1998). Lama

penetasan telur entok umumnya selama 35 hari, atau dierami pada kisaran 35--37 hari

(26)

butir/ekor/periode pengeraman. Proses pengeraman dengan menggunakan entok

lebih baik daripada menggunakan mesin tetas (Lasmini, 1992). Entok merupakan

pengeram yang baik, sehingga berguna sebagai pengeram dalam proses penetasan

telur itik yang tidak dapat megerami telurnya sendiri (Murtidjo, 1995).

C. Penetasan Alami

Penetasan secara alami adalah suatu cara penetasan yang dilakukan induk untuk mengerami telur hingga telur menetas. Kemampuan ayam kampung dalam menghasilkan telur per ekor induk per periode pengeraman sangat bervariasi, karena ayam kampung mempunyai keragaman individu cukup tinggi (Sartika et al., 2004).

Kebiasaan mengeram pada ayam kampung ditandai dengan sikap ayam yang menyarang yang terus menerus menjaga telurnya, dan karakter clucking (sifat defensif pada ayam mengeram disertai bunyi suara yang khas). Ayam kampung yang dipelihara secara ekstensif atau semi intensif, mempunyai kurang lebih 12--15 butir per periode dan biasanya dilanjutkan dengan mengerami telurnya selama 21 hari sampai telur menetas. Adanya sifat mengeram ini berhubungan dengan menurunnya produksi telur, karena produksi telur akan terhenti selama ayam tersebut menunjukkan gejala mengeram dan diikuti dengan lama istirahat yang panjang (tidak bertelur) (Romanoff, 2002).

(27)

alami. Keberhasilan entok mengerami hasilnya cukup baik dapat mencapai 80--90 % (Kusmidi, 2000).

Keuntungan penetasan secara alami dengan bantuan entok antara lain mudah dilakukan petani kecil, daya tetas cukup tinggi, tidak memerlukan pengawasan yang intensif seperti pengaturan suhu dan kelembaban, pemutaran telur dan lain-lain. Adapun kerugian yang ada yaitu kapasitas saat pengeraman telur yang sangat terbatas, memerlukan biaya untuk memelihara entok, dan resiko kematian entok akibat terlalu lama mengeram atau penyakit lainnya. Entok (Cairina moschata) mempunyai kemampuan mengeram yang sangat baik dan setiap ekor

mampu mengerami sebanyak 15--30 butir telur itik, tergantung dari ukuran, kondisi dan kualitas entok (Kingston, 1978).

Entok yang digunakan sebagai pengeraman alami hendaknya dipilih yang sehat dan besar. Tingkah laku entok yang perlu dihindari adalah kebiasaan makan, buang kotoran di atas telur, keadaan bulu yang basah langsung mengeram, frekuensi turun dari tempat mengeram, dan kondisi bulu yang kotor. Tingkat kematian embrio pada penetasan dengan indukan entok lebih tinggi dibandingkan dengan mesin tetas, karena faktor kebersihan induk. Daya tetas masih dapat ditingkatkan apabila faktor kebersihan induk diperhatikan (Setiadi, 1982).

D. Penetasan Buatan

(28)

kotak kayu yang sederhana, hingga mesin tetas berkapasitas ribuan telur dengan pengontrol suhu dan kelembapan secara otomatis. Untuk penetasan telur itik skala kecil, peternak menggunakan mesin tetas yang sangat sederhana, biasanya terbuat dari kayu atau tripleks dengan desain yang bermacam – macam (Setioko, 1994).

Keberhasilan penetasan secara buatan sangat tergantung dari telur tetas, mesin tetas, dan tata laksana penetasan. Penetasan dengan menggunakan mesin tetas adalah hampir sama dengan induk saat mengerami telurnya. Adapun faktor – faktor yang terpenting dalam kerja mesin tetas adalah pengaturan suhu,

kelembapan, sirkulasi udara, dan pemutaran telur (Sudaryani dan Santosa, 2001).

Pada proses penetasan ayam kampung suhu mesin tetas diatur hingga mencapai 36--37oC, sedangkan untuk kelembapan diketahui bahwa pada 24 jam pertama telur ayam membutuhkan kelembapan 70% dan selanjutnya 60% (Suprijatna, 2005). Ventilasi berperan dalam pengaturan udara selama penetasan. Pergerakan udara sangat penting bagi embrio yang sedang berkembang untuk mendapatkan suplai oksigen yang tetap melalui udara segar. Pergerakan udara tidak boleh terlalu kencang karena karbon dioksida (CO2) diperlukan untuk pergerakan

kalsium dari cangkang ke dalam embrio. Apabila pergerakan udara tinggi maka karbon dioksida tidak ada yang terbentuk (Blakely dan Bade, 1998).

(29)

posisi telur horizontal maka bagian telur yang berada di atas diputar menjadi di bawah. Pemutaran telur pada ayam kampung dilakukan mulai hari ke-4 sampai hari ke-18, dalam satu hari minimal 3 kali telur (Kusmarahmat, 1998).

Posisi normal badan embrio terletak mengikuti sumbu panjang sebutir telur dengan paruh berada di bawah sayap kanan. Ujung paruh menghadap ke rongga udara telur yang terletak diujung tumpul telur (Srigandono, 1998).

E. Fertilitas

Fertilitas adalah perbandingan antara banyaknya telur yang ditunasi dengan banyaknya semua telur yang dihasilkan (Srigandono, 1996), sedangkan daya tetas dapat diasumsikan menjadi dua yaitu (1) persentase jumlah telur yang menetas berdasarkan seluruh telur yang ditetaskan atau (2) persentase jumlah telur yang menetas berdasarkan seluruh telur yang bertunas (North dan Bell, 1990).

Fertilitas dapat diketahui dengan candling (peneropongan telur). Setiadi, et al., (1992) menyatakan bahwa sampai saat ini belum dapat ditemukan suatu cara yang tepat dan menguntungkan untuk usaha penetasan telur dalam menentukan tingkat daya tunas telur (fertilitas) kecuali dengan peneropongan (candling). Selanjutnya dinyatakan bahwa metode peneropongan telur tidak dapat menentukan daya tunas telur secara akurat karena beberapa telur yang embrionya telah mati sebelum ditelurkan (preovioisital embryo dead) akan menghasilkan telur yang infertil.

(30)

Rasyaf (1990) menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi fertilitas adalah sperma, ransum, umur pembibit, musim dan temperatur dan waktu perkawinan. Fertilitas dan daya tetas yang rendah dapat disebabkan oleh makanan induk yang kekurangan vitamin E (Card dan Neshiem, 1972). Pembentukan embio sangat ditentukan oleh keadaan nutrisi. Jumlah embrio yang mati dapat meningkat karena defisiensi vitamin dan mineral terutama riboflavin dan mangan sehingga daya tetas menjadi rendah (North dan Bell, 1990).

Perbandingan jantan dan betina perlu diperhatikan untuk mendapatkan fertilitas yang tinggi. Kusmarahmat (1988) menyatakan bahwa untuk mendapatkan

fertilitas yang tinggi pada ayam kampung, perbandingan jantan dan betina sebesar 1:10. Fertilitas diperoleh setelah terjadinya proses pembuahan yaitu penggabungan antara sperma dan ovum. Fertilitas telur ayam kampung dapat mencapai 90%, hal

tersebut dihitung sebagai persentase telur yang memperlihatkan adanya

perkembangan embrio tanpa memperhatikan telur tersebut menetas atau tidak dari

sejumlah telur yang ditetaskan (Nesheim, et al., 1979).

F. Susut Tetas (Weighting Loss)

Susut tetas adalah bobot telur yang hilang selama penetasan berlangsung sampai telur menetas. Kehilangan bobot telur yang terjadi selama penetasan karena adanya penyusutan telur.

Penyusutan bobot telur ayam kampung diakibatkan pengaruh suhu dan

(31)

mengemukakan bahwa suhu yang tinggi di dalam mesin tetas mengakibatkan perbedaan suhu antara embrio dan mesin tetas. Pengeluaran panas lebih banyak melalui evaporasi dan mengakibatkan kehilangan bobot telur yang lebih besar sebelum menetas. Persentase kehilangan bobot telur selama penetasan

berlangsung mempunyai hubungan yang terbalik dengan kelembapan penetasan. Kelembapan 43 % mengakibatkan kehilangan bobot telur sebesar 0,60 %,

kelembapan 55 % mengakibatkan kehilangan bobot telur sebesar 0,54 % dan kelembapan 69 % mengakibatkan kehilangan bobot telur sebesar 0,40 % (Buhr dan Wilson, 1991).

Penyusutan bobot telur merupakan perubahan yang nyata di dalam telur, selain itu air adalah bagian terbesar dan unsur biologis di dalam telur yang sangat

menentukan proses perkembangan embrio di dalam telur (Romanoff dan

Romanoff, 1963). Penyusutan bobot telur tampak diakibatkan oleh berkurangnya persediaan cairan allantois (Buhr dan Wilson, 1991). Shanawy (1987)

mengemukakan bahwa selama perkembangan embrio di dalam telur, penyusutan telur sampai menetas menyusut sebesar 22,5--26,5 %. Penyusutan bobot telur selama masa pengeraman tersebut menunjukan adanya perkembangan dan metabolisme embrio, yaitu dengan adanya pertukaran gas vital oksigen dan karbon dioksida serta penguapan air melalui kerabang telur (Peebles dan Brake, 1985).

(32)

menghambat lalu lintasan gas dan air yang dikeluarkan. Kerabang yang terlalu tebal menyebabkan telur kurang terpengaruh oleh suhu penetasan sehingga penguapan air dan gas sangat kecil. Telur yang berkerabang tipis mengakibatkan telur mudah pecah sehingga tidak baik untuk ditetaskan (Rasyaf,1998).

Koswara (1997) mengemukakan bahwa kerabang telur dilapisi oleh lapisan tipis kutikula yang terdiri dari 90 % protein dan sedikit lemak. Fungsi kutikula ini untuk mencegah penetrasi mikroba dan penguapan air yang terlalu cepat.

Peebles dan Brake (1985) melaporkan bahwa bagian ujung telur yang tumpul mempunyai konsentrasi pori – pori yang lebih besar daripada di bagian tengah ataupun di bagian ujung yang runcing, sehingga dengan lebih besarnya

konsentrasi pori – pori tersebut akan memberikan kesempatan gas dan air menguap lebih banyak daripada bagian ujung yang runcing. Semakin banyak pori – pori kerabang telur laju susut tetas yang terjadi akan semakin lebih cepat.

Menurut North dan Bell (1990), cara menghitung susut tetas adalah dengan membagi persentase kehilangan bobot telur selama proses penetasan dengan jumlah hari inkubasi.

G. Daya Tetas

(33)

suhu dan kelembaban mesin, umur induk, kebersihan, ukuran telur, dan nutrisi (North dan Bell, 1990).

Ayam kampung memiliki daya tetas sebesar 84,25 % (Septiawan, 2007). Daya tetas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain genetik, fertilitas, lama dan suhu penyimpanan telur, suhu dan kelembaban mesin tetas, kebersihan telur, umur induk, nutrisi, penyakit serta keragaman bentuk dan ukuran telur (North dan Bell, 1990; Ensminger, 1992).

Sainsbury (1984) menyatakan bahwa daya tetas ayam kampung dipengaruhi oleh faktor genetik. Nilai heritabilitas untuk daya tetas adalah rendah dan silang dalam bisa menurunkan daya tetas (Stromberg dan Stromberg, 1975).

Telur yang baik untuk ditetaskan harus dalam kondisi yang masih segar, sebaiknya kurang dari satu minggu, apabila lebih dari satu minggu telur tetas harus diputar 90o C dari posisi semula (Lyons, 1998). Penyimpanan telur pada suhu 10o C dapat meningkatkan daya tetas dibandingkan dengan suhu 15--20o C (Meijerhof, 1994). Penyimpanan telur lebih dari satu minggu dapat menurunkan daya tetas telur. Menurut Karnama (1996), penyimpanan telur hendaknya tidak melebihi 1 minggu setelah telur dikeluarkan dari kloaka. Telur disimpan 3 hingga 4 hari untuk mendapatkan hasil penetasan yang baik. Jika telur disimpan pada penyimpanan yang dingin lebih dari 1 minggu maka telur akan mengeras atau lengket pada salah satu sisi kerabangnya (Lyons, 1998).

(34)

ayam kampung berpengaruh dalam menurunnya daya tetas. Telur yang layak ditetaskan yaitu telur yang berasal dari induk yang berumur lebih dari 6 bulan. Ayam kampung pejantan yang muda akan menghasilkan sperma yang kualitas rendah (Murtidjo, 1995). Telur yang dihasilkan pada 2 minggu pertama produksi tidak baik untuk ditetaskan karena daya tetasnya rendah (North dan Bell, 1990).

Umur induk ayam kampung (jantan dan betina) yang dianjurkan adalah telah berumur lebih dari 12 bulan walaupun induk jantan sudah mampu mengawini betina pada umur 9--10 bulan dan induk betina sudah mampu memproduksi telur pada umur 6--7 bulan. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman, telur yang

dihasilkan oleh induk berumur lebih dari 12 bulan memiliki daya tetas yang lebih tinggi dibandingkan dengan telur yang dihasilkan oleh induk yang berumur kurang dari 12 bulan (Murtidjo, 1992)

Penetasan telur ayam kampung membutuhkan kelembapan 60--65% dengan suhu 37,5 oC (Blakely, et al.,1998). Suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan gangguan syaraf, jantung, pernafasan dan ginjal serta akan menyebabkan

membran embrio mengering sehingga membunuh embrio, sedangkan suhu yang rendah pada penetasan menyebabkan pertumbuhan yang tidak proporsional. Suhu rendah juga dapat menyebabkan gangguan jantung, pernafasan dan gizi yang tidak dapat diserap oleh embrio (Lyons, 1998).

(35)

hendaknya dilakukan pada suhu di bawah 20 oC karena pada suhu di atas 20 oC embrio akan berkembang. Kondisi terbaik embrio dapat bertahan hidup adalah disimpan pada suhu 11--13 oC.

Pergerakan udara selama penetasan sangat penting bagi embrio yang sedang berkembang untuk mendapatkan suplai oksigen yang tetap melalui udara segar. Pergerakan udara tidak boleh telalu kencang karena karbon dioksida (CO2)

diperlukan untuk pergerakan kalsium dari cangkang ke dalam embrio. Apabila pergerakan udara tinggi maka karbon dioksida tidak ada yang terbentuk (Blakely dan Bade, 1998). Kenaikan 1% karbon dioksida menyebabkan kematian embrio sebelum menetas sebesar 5%. Kandungan karbon dioksida selama penetasan yang dapat menghasilkan perkembangan embio dan penetasan yang memuaskan sekitar 0,5--0,8% (Riyanto, 2001).

Posisi telur selama penyimpanan didalam mesin tetas berpengaruh terhadap daya tetas yang dihasilkan. Pemutaran telur bertujuan memanfaatkan seluruh albumen protein yang tersedia dan mencegah menempelnya embrio pada sel membran khususnya pada minggu pertama inkubasi (Kusmarahmat, 1998). Setioko (1998) menyatakan sebaiknya pemutaran telur dilakukan 3 sampai 5 kali dalam sehari

(36)

Lasmini, et al. (1992) menyatakan bahwa cara penetasan alami dengan

menggunakan entok sebagai pengeraman mendapatkan hasil daya tetas yang lebih baik daripada penetasan buatan. Hal ini sesuai dengan kondisi alamiah entok yang dapat mengatur sendiri kebutuhan suhu, kelembapan, pemutaran telur dan sebagainya melalui tingkah laku entok selama penetasan.

H. Bobot Tetas

Bobot tetas tetas dipengaruhi oleh bobot telur, suhu, dan kelembapan mesin tetas. Telur yang berukuran besar menyebabkan rongga udara relatif terlalu kecil untuk embrio, sehingga telur akan lama menetas. Sebaliknya jika terlalu kecil, rongga udaranya terlalu besar telur akan cepat menetas. Ukuran telur yang digunakan untuk penetasan sangat penting karena mempunyai korelasi yang tinggi antara ukuran telur yang ditetaskan dengan ukuran DOC yang dihasilkan (Jull, 1951 dan Leeson, 2000).

(37)

ini juga berfungsi sebagai cadangan makanan untuk beberapa waktu setelah ayam menetas (Pattison, 1993)

Suhu pada mesin tetas berpengaruh terhadap bobot tetas telur yang dihasilkan. North dan Bell (1990) menyatakan bahwa suhu di atas atau di bawah optimum akan menurunkan daya tetas menghasilkan embrio yang lemah, dan anak ayam yang kualitasnya rendah. Apabila suhu di atas optimum, ayam akan menetas lebih cepat, tingkat kematian embrio lebih tinggi terutama selama seminggu terakhir pengeraman, ayam yang menetas lebih kecil dan terlihat abnormalitas karena kekurangan air (Stromberg dan Stromberg, 1975). Kisaran bobot telur tetas ayam kampung yang ideal untuk ditetaskan adalah berkisar 42--45g (Murtidjo,1992).

(38)
(39)

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 28 Mei--28 Juni 2012, bertempat di Kelompok Tani Ternak Rahayu, Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran.

B. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan Penelitian

a. Telur tetas ayam kampung maksimal umur 4 hari sebanyak 200 butir yang berasal dari Kelompok Tani Rahayu, Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran yang dipeliahara secara semi intensif dengan sex ratio jantan dan betina 1:10.

b. Bobot telur ayam kampung yang digunakan dalam penelitian berkisar 35--45 g, atau rata – rata 41,70±6,67 g (perlakuan 7 hari) dan 8,43±7,67 g (perlakuan 10 hari) dengan masing – masing perlakuan 100 butir. c. Delapan ekor entok yang akan digunakan untuk proses penetasan alami

(40)

2. Alat Penelitian

1. Mesin tetas berkapasitas 1.000 butir dengan jumlah rak telur sebanyak 12 buah dan sumber pemanas menggunakan lampu pijar sebesar 5 watt sebanyak 10 buah.

2. Kawat kasa yang digunakan sebagai penyekat telur antar perlakuan. 3. Timbangan elektrik yang digunakan untuk menimbang bobot telur dan

bobot day old chick (DOC) saat menetas dengan ketelitian 0,01 gram. 4. Candler untuk meneropong telur fertil dan infertil.

5. Termohygrometer untuk mengukur suhu dan kelembapan di dalam mesin

tetas.

6. Glutacap® untuk fumigasi pada mesin tetas. 7. Alat tulis untuk menulis data.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Tani Ternak Rahayu, Desa Sidodadi, Kecamatan Waylima, Kabupaten pesawaran. Perlakuan yang digunakan adalah pengeraman dengan entok selama 7 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas (P1) dan pengeraman dengan entok selama 10 hari

kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas (P2). Setiap perlakuan terdiri dari 20 satuan percobaan dan setiap satuan percobaan terdiri dari 5 butir telur, sehingga jumlah telur yang dibutuhkan sebanyak 200 butir.

(41)

D. Pelaksanaan Penelitian

Tahapan penetasan dengan cara kombinasi yaitu dengan menyiapkan telur tetas dan mesin tetas. Telur ayam yang akan ditetaskan dikumpulkan dan diseleksi berdasarkan bobot, bentuk, warna, dan kebersihannya. Telur yang dikehendaki adalah telur ayam kampung dengan bobot antara 35--45 g, berbentuk oval, dan warna kerabang telur kuning kecokelatan.

Tahap selanjutnya adalah membuat sekat – sekat untuk setiap perlakuan pada mesin tetas sebelum telur dipindahkan dari induk ke mesin tetas. Mesin tetas yang digunakan dicek kebersihan, temperatur dan kelembapannya. Selain itu, mesin tetas juga disterilkan dengan bahan antiseptik berupa Glutacap®, setelah semuanya siap maka proses penetasan akan dimulai.

Telur yang telah memenuhi kriteria, sebelum dimasukkan ke dalam mesin tetas, terlebih dahulu dieramkan pada entok yang sedang dalam masa mengeram selama 7 dan 10 hari. Induk entok yang digunakan dalam penetasan ini adalah induk yang memiliki bobot tubuh berkisar 2--3 kg, dan setiap ekor induk mengerami 25--30 butir telur.

(42)

Suhu di dalam mesin tetas sampai akhir proses penetasan diijaga untuk tetap stabil pada 37--38 oC. Pengukuran suhu dan kelembapan menggunakan thermohygrometer yang telah diletakkan di dalam mesin tetas. Pengaturan

kelembapan yang ada di dalam mesin tetas menggunakan nampan berisi air yang telah diletakkan di bawah rak penetas. Apabila kelembapan kurang dan suhu terlalu tinggi maka perlu menambahkan air di dalam nampan dan sebaliknya.

Selain suhu dan kelembapan juga dilakukan pengontrolan pada pemutaran telur. Pemutaran telur dilakukan 3 kali sehari pada pukul 06.00, 12.00, dan 18.00 WIB hingga hari ke-18 proses penetasan.

Tindakan antisipasi pada saat listrik mati adalah dengan cara menggunakan sumber pemanas seperti lilin yang diletakkan pada sisi – sisi rak telur sebanyak 4 buah yang digunakan sebagai sumber pemanas telur dengan bantuan seng yang telah diatur sedemikian rupa sehingga panas yang didapat merata pada telur.

(43)

E. Peubah yang diamati

A. Fertilitas

Fertilitas adalah persentase telur fertil dari sejumlah telur yang digunakan dalam suatu penetasan (Suprijatna, et al., 2005).

Jumlah telur fertil

Fertilitas = X 100%

Jumlah telur yang ditetaskan

B. Susut tetas

Susut tetas adalah bobot telur yang hilang selama penetasan berlangsung sampai telur menetas (Tullet dan Burton, 1982).

Bobot awal – bobot akhir (candling ke-2 umur 17 hari) Susut telur = X 100%

Bobot awal

C. Daya tetas

Daya tetas diartikan sebagai persentase telur yang menetas dari telur yang fertil (Suprijatna, et al., 2005).

Jumlah telur yang menetas

Daya tetas = X 100%

Jumlah telur yang fertil

D. Bobot tetas

(44)
(45)

MENSAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Ir. Tintin Kurtini, M.S. _________________

Sekretaris : Ir. Khaira Nova, M.P. _________________

Penguji

Bukan Pembimbing : Dian Septinova, S.Pt., M.T.A. _________________

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.Sc. NIP 19610826 198702 1 001

(46)

“Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan

diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina”.

(QS. Al Mu’min: 60).

Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini.

(QS. Al-Jaatsiyah, 45: 4)

"Ketenangan hati kita tergantung dari kemampuan mata hati kita untuk melihat bayangan masa depan.”

(Mario Teguh)

No, it’s not a goodbye, cause we believe for tomorrow

No, it’s not a goodbye, convince yourself we’ll meet again

(BF2B)

“Berhentilah menyalahkan masa lalu, cobalah untuk

menerimanya dan memahami bahwa itu semua membuatmu

lebih kuat dan dewasa dalam menghadapi masalah”

(47)

Allhamdulillahirobbil’alamin...

kupanjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia,

nikmat, dan rahmat-Nya

Dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati

kupersembahkan karya kecil ini sebagai wujud bakti, dan

terimakasihku kepada

Ibu dan Bapak atas segala cinta dan kasih sayang yang

kuterima sepanjang hayatku serta doa tulus yang selalu

tercurah dalam mengiringi setiap langkahku

semoga Allah SWT kelak menempatkan keduanya

ditempat yang indah di sisi-Nya

Karya sederhana ini untuk Mbaku Susan dan Kakakku

Irwan, adik-adiku Ayu, Hargo, dan Madon serta segenap

keluarga besarku yang telah memberikan bantuan, do’a

,

dan dukungan

selama Aku menuntut ilmu

Keluarga Jurusan Peternakan dan para sahabat, yang

senantiasa selalu ada dalam setiap perjalanan hidupku

Serta

Almamater hijau

(48)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Way Harong pada 11 Januari 1991. Anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Bapak Sadiyo dan Ibu Ludalyati Dewi Agustina.

Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar Negeri 5 Wayharong pada 2001, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Gunung Rejo pada 2004, dan Sekolah Menengah Atas Madrasah Aliyah Alfatah 2007.

(49)

SANWACANA

Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Ibu Ir. Tintin Kurtini, M.S. --selaku Pembimbing Utama --atas bimbingan, ide penelitian, kesabaran, perhatian, serta waktu yang diberikan selama

penyusunan skripsi ini;

2. Ibu Ir. Khaira Nova, M.P --selaku Pembimbing Anggota sekaligus

Pembimbing Akademik --atas waktu, saran, bimbingan, serta perhatian selama penulis menyelesaikan studi dan selama penyusunan skripsi ini;

3. Ibu Dian Septinova, S.Pt., M.T.A.--selaku Penguji --atas saran, nasehat, dan perhatian kepada penulis;

4. Ibu Sri Suharyati, S.Pt., M.P--selaku Sekretaris Jurusan Program Studi Peternakan --atas koreksi dan saran yang diberikan kepada penulis;

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhtarudin, M.S.--selaku Ketua Jurusan Peternakan--atas izin dan bimbingannya;

6. Bapak Ibu Dosen Jurusan Peternakan atas bimbingan, ilmu, dan arahan yang telah diberikan kepada penulis selama perkuliahan;

(50)

8. Bapak, Ibu, Mbak, Kakak, Mas Irwan, Adikku Ayu dan Madon, Hargo, Adnan dan seluruh keluarga yang telah mencurahkan kasih sayang, perhatian,

motivasi, dan doa yang tidak terhingga terhadap penulis;

9. Sa’adi, Anas, Meilina, Hindun, Faisal, Heri, Hendro, Cristian, Reza, Ara, Dini, Ray, Ara, Angkasa, Desi, Kris Ari, Bude Reni, Della Bertia, Ade R sahabatku yang masih setia menemani;

10.Teman satu tim penelitian Ana, Ari, Neka, dan Elda atas kerjasama dan bantuan selama penelitian;

11.Ratih, Esti, Aan, Nike, Dwi A, Cintia, Nidia, Putri, Maulia, Irma, Anam, Febri, Tegar, Zul, Fajar, Dedi P, Andy, Dedi S, Nyoman, Boby, Dwi J, Adi, Pram, Udin, Triyan, Ibnu, Deni, Fikri, Cahyo, Satrio, Yudi, Zacky, Adit, Hizkia, Freddy, Bayu, Oka, Rudy, Budi, angkatan 2007, 2009, 2010, 2011--atas bantuan, kebersamaan, kerjasama, motivasi yang diberikan pada penulis; 12.Mas Feri, Mbak Erni, dan Mas Agus atas bantuan yang diberikan kepada

penulis selama kuliah di Peternakan;

Semoga semua yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dan rahmat dari Allah SWT dan skripsi ini bisa bermanfaat. Amin.

Bandar Lampung, 26 Desember 2012

Penulis

(51)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Pengeraman pada induk entok selama 7 hari menunjukkan fertilitas dan daya tetas yang lebih baik dibandingkan dengan pengeraman pada induk entok selama 10 hari.

B. Saran

Bagi peternak yang ingin melakukan sistem penetasan yang mengombinasikan penetasan alami menggunakan induk entok dan penetasan buatan

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan:    Setelah Setelah melaksanakan melaksanakan PI/PKL PI/PKL mahasiswa mahasiswa memahami tentang manajemen perusahaan/dunia industri memahami tentang manajemen

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, distribusi obat-obatan merupakan

Namun, informasi tersebut memang termasuk dalam laporan, yang mungkin menginformasikan asesmen atau keputusan yang dibuat oleh para pemangku kepentingan atau mendukung

Telah dilakukan ekstraksi genom DNA rumput laut  Kappaphycus  Kappaphycus alvarezii alvarezii dengan metode konvensional fenol dengan metode konvensional fenol kloroform dengan

Tidak ada, guru menggunakan metode pada umumnya seperti metode klasikal, setoran individual Proses pembentukan karakter religius, disiplin, dan tanggung jawab siswa melalui

Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik dari proses pembelajaran yang dianggap paling terbaik, hasil tes (bukan nilai), atau informasi lain yang relevan

Hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa performa sapi kuantan jantan unggul dapat dilihat dari klasifikasi kriteria ukuran testis yang berkolerasi positif kadar hormon

Perbedaan dari kedua link ini adalah link registrasi digunakan sebagai form registrasi, peserta yang mendaftar secara otomatis akan mendapatkan email berupa link zoom,