• Tidak ada hasil yang ditemukan

BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

MAKALAH

HUKUM PERUSAHAAN

(2)

2

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Perkembangan otonomi daerah telah mengalami kemajuan signifikan terutama

peningkatan standar ekonomi daerah yang mengarah ke modernisasi. Perkembangan tersebut

memunculkan berbagai rekayasa sosial. Menurut Roscou Pound, Hukum tidak boleh dibiarkan

mengawang dalam konsep-konsep logis analitis ataupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan

teknis yuridis yang terlampau eksklusif. Sebaliknya, hukum itu mesti didaratkan didunia nyata,

yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang saling

berkaitan. 1

Pada dasarnya, ‘kondisi awal’struktur suatu masyarakat selalu berada dalam kondisi yang

kurang imbang. Ada yang terlalu dominan, dan adapula yang terpinggirkan. Untuk menciptakan

dunia yang beradap, ketimpangan structural itu perlu ditata ulang dalam pola keseimbangan yang

proporsional.2 Konsep otonomi daerah merupakan salah satu upaya untuk menata ulang sistim

struktur dalam masyarakat terutama ketimpangan yang ada antara hubungan pemerintah pusat

dengan daerah yang bersifat sentralistik.

Sentralisasi kekuatan ekonomi pada kota-kota besar mengakibatkan terjadinya laju

urbanisasi dan sekaligus menciptakan jurang yang besar antara kemajuan kota dan kemisikinan

masyarakat pedesaan. Padahal secara factual, eksistensi desa sebagai poros utama pertanian

justru harus dimaksimalkan.kepentingan-kepentingan tersebut harus ditata sedemikian rupa agar

tercapai keseimbangan yang proporsional. Manfaatnya adalah terbangunnya suatu struktur

masyarakat sedemikian rupa hingga secara maksimum mencapai kepuasan akan kebutuhan

dengan seminimum mungkin menghindari benturan dan pemborosan.3

1

Bernard L. Tanya,Dkk,Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi(Yogyakarta: Genta Publishing), 2010, Hal.154

2

Ibid.,Hal.155

3

(3)

3

Diundangkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menimbulkan harapan kepada

kemajuan Desa untuk meningkatkan peranannya dalam sistim perekonomian. Undang-Undang

ini menjadi tonggak revitalisasi eksistensi Desa sebagai satu kekuatan ekonomi dalam aspek

pertanian dan juga sebagai tonggak pergeseran konsentrasi kemajuan ekonomi dari Kota ke

Desa.

Dahulu, jauh sebelum pengaturan otonomi mencapai bentuknya seperti saat ini,

pengelolaan daerah dipimpin oleh raja-raja dan juga pejabat-pejabat daerah yang ditunjuk oleh

pemerintah colonial kedalam bentuk daerah-daerah swapraja. Dalam Pasal 67 RR(Regelings

Reglement) disebutkan:” Sepanjang keadaan mengijinkan, maka rakyat Bumiputera dibiarkan berada dibawah pimpinan langsung kepala-kepalanya baik yang diangkat oleh Pemerintah

maupun yang diakui, berada dibawah pengawasan sesuai dengan ketentuan-ketentuan umum

atau khusus yang telah ditetapkan atau yang akan ditetapkan oleh Gubernur Jenderal.4

Jadi, sejak jaman colonial Belanda memerintah di Tanah Air, upaya me-revitalisasi

fungsi daerah-daerah swapraja telah dilakukan. Bentuk Pemerintahan Daerah khususnya

Pemerintahan Desa yang ada saat ini merupakan cerminan dari bentuk upaya peningkatan fungsi

daerah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kolonial. Hanya saja masa ini bentuk

Pemerintahan Desa telah mulai mengadopsi semangat kekeluargaan yang menjadi cirri khas

masyarakat Indonesia.

Salah satu upaya untuk revitalisasi peranan Desa dalam sistim perekonomian adalah

dimasukkannya Badan Usaha Milik Desa(BUMDes) kedalam materi muatan UU No.6 Tahun

2014 Tentang Desa. Hal ini menjadi dasar kearah pemikiran untuk memajukan Desa sebagai

basis baru kekuatan ekonomi. Akan tetapi keberadaan BUMDes baik dari pengaturan UU

maupun dalam aturan pelaksanaannya masih terdapat kekurangan terutama karakternya sebagai

bentuk Badan Usaha. Hal ini dapat dimaklumi karena BUMDes ini masih mencari jati dirinya

sebagai salah satu entitas dan corong dari perekonomian masyarakat desa.

4

(4)

4

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian Latar Belakang diatas, Penulis merumuskan 3(tiga) Permasalahan utama

kedalam suatu Rumusan Masalah yaitu:

1. Bagaimana Pengaturan BUMDes kedalam Peraturan Perundang-Undangan?

2. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban Pengurus BUMDes dalam Pengelolaan

BUMDes?

(5)

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Badan Usaha Milik Desa(BUMDes)

Pasal 213 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

disebutkan:

Ayat (1):” Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan

potensi desa

Ayat(2):”Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat(1) berpedoman pada

peraturan perundang-undangan

Ayat(3):” Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dapat melakukan

pinjaman sesuai peraturan perundang-undangan

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyebutkan –

pengertian Badan Usaha Milik Desa yaitu:”Badan Usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang

dipisahkan guna mengelola asset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya

kesejahteraan masyarakat desa.

Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) adalah Lembaga usaha desa yang dikelola oleh

mayarakat dan pemerintahan desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa dan dibentuk

berdasarkan kebutuhan dan potensi desa.5

Lebih lanjut, pengaturan tentang BUMDes diatur dalam Pasal 87 UU Nomor 6 Tahun

2014 Tentang Desa, Yaitu:

Ayat(1):” Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUMDes

Ayat (2):”BUM Desa dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan

Ayat(3):”BUM Desa dapat menjalankan usaha dibidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

5

(6)

6

Pasal 88

Ayat(1) Pendirian BUMDes disepakati melalui Musyawarah Desa

Ayat(2) Pendirian BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat(1) ditetapkan dengan

Peraturan Desa

2.2 Badan Hukum

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mengenai istilah badan hukum itu

berpendapat sebagai berikut:

“ Dalam menerjemahkan zadelijk lichaam menjadi badan hukum, maka lichaam itu benar terjemahannya badan, tetapi hukum sebagai terjemahan zadelijk itu salah, karena arti

sebenarnya susila. Oleh karena itu istilah zadelijk lichaam dewasa ini sinonim dengan

rechtsperson, maka lebih baik kita gunakan pengertian itu dengan terjemahan pribadi

hukum”.6

Lebih lanjut Tri Budiyono menerangkan…Badan Hukum yang merupakan persekutuan

modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang

seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam

Undang-Undang ini serta pelaksanaannya.7

Utrecht menjelaskan bahwa Badan Hukum(rechtspersoon), yaitu badan yang menurut

hukum berkuasa(berwenang) menjadi pendukung hak, selanjutnya dijelaskan, bahwa badan

hukum ialah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia.

Badan hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu gejala yang riil, merupakan fakta

benar-benar, dalam pergaulan hukum, biarpun tidak berwujud manusia atau benda yang dibuat

dari besi, kayu, dan sebagainya. Yang menjadi penting bagi pergaulan hukum ialah hal badan

hukum itu mempunyai kekayaan (vermogen) yang sama sekali terpisah dari kekayaan

anggotanya, yaitu dalam hal badan hukum itu berupa korporasi. Hak-kewajiban badan hukum

sama sekali terpisah dari hak-kewajiban anggotanya. Bagi bidang perekonomian, terutama

lapangan perdagangan, gejala ini sangat penting.8

6

Chidir Ali, Badan Hukum(Bandung: Alumni),2005.,Hal.17

7

Tri Budiyono, Hukum Perusahaan(Salatiga: Griya Media),2011.,Hal.57

8

(7)

7

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengaturan BUMDes kedalam Peraturan Perundang-Undangan

Munculnya BUM Des tidak lepas dari semangat otonomi daerah yang muncul pasca

reformasi. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal

108 menyebutkan:

Desa dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pengaturan mengenai Badan Usaha sebagaimana diamanatkan pasal 108 ini tidak

diperinci secara lebih spesifik dan gaungnya pun tidak semenarik program otonominya. Bahkan

hampir ketentuan pasal ini tidak terlaksana. Hal ini dapat dipahami bahwa pasca reformasi,

pemerintah transisi terfokus pada penguatan sistim desentralisasi kedalam wadah otonomi.

Fase transisi politik dan periode desentralisasi ekonomi saat ini memang tidak terlalu

jelas bagi segenap pelaku ekonomi di Indonesia. Paket kebijakan desentralisasi ekonomi(dan

politik) yang tertuang dalam undang-undang(UU) Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah

dan UU No.25/1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah masih menjadi teka teki

besar bagi pertanian Indonesia. Ketika kewenangan telah menjadi demikian besar, ketika

masyarakat madani didaerah masih mencari bentuk untuk lebih berperan dalam seluruh tatanan

kehidupan ekonomi dan politik, dan ketika sistem control belum terbangun secara baik,

kewenangan tidak jarang menjelma menjadi kekuasaan.9

Lebih lanjut Bustanul Arifin menjelaskan bahwa selama tiga tahun perjalanan otonomi

daerah, pejabat, politisi, dan para elit pelaku ekonomi pusat terus saja melemparkan berita-berita

miring tentang ketidaksiapan para pelaku dan perangkat institusi didaerah. Apabila terdapat

dialog antara pusat dan daerah(dalam arti sebenarnya, bukan sekedar basa basi) hal itupun tidak

lebih dari sekadar tindakan ad hoc penyelesaian masalah sesaat alias”pemadam kebakaran”

ditingkat permukaan tanpa menyentuh esensi akar masalahnya yang sebenarnya. Akibatnya

9

(8)

8

adalah terlalu banyak penyimpangan administrative(baca:korupsi) yang terjadi didaerah dan

terakselerasi pada masa transisi pelaksanaan otonomi daerah selama tiga tahun terakhir.10

Uraian diatas sedikit banyak menguak beberapa aspek kegagalan pelaksanaan UU

Nomor 22 Tahun 1999. Kegagalan tersebut berakibat langsung terhadap pelaksanaan amanat UU

No.22 Tahun 1999 terutama sebagaimana dalam pembahasan makalah ini adalah pelaksanaan

badan usaha milik desa.

Sukses atau tidaknya pelaksaan suatu undang-undang sedikit banyak dipengaruhi kondisi

perpolitikan. Semakin tidak pasti kondisi perpolitikan maka efektivitas pelaksanaan suatu aturan

kemungkinan besar akan berkurang. Hal ini dapat dimengerti karena pasca reformasi, kondisi

perpolitikan kita carut marut. Efek ini juga berimbas pada tertatih-tatihnya upaya pembentukan

badan usaha milik desa secara nyata.

Sebelum diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014, Pembentukan badan usaha milik desa

ini juga berdasarkan pada Permendagri nomor 39 tahun 2010 pada bab II Tentang Pembentukan

Badan Usaha Milik Desa. Pembentukan ini berasal dari pemerintah kabupaten/kota dengan

me-netapkan peraturan daerah tentang pedoman tata cara pembentukan dan pe-ngelolaan bumdes.

Selanjutnya pemerintah desa membentuk bumdes dengan peraturan desa yang berpedoman pada

peraturan daerah.11

Dalam sejarah pengaturan Desa, telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang Desa,

yaitu Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah,

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang-Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19

Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya

Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979

tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

10

Ibid.,Hal.12

11

(9)

9

Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah.12

Saat ini dengan diundangkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Desa,

diharapkan pelaksanaan dan pembentukan BUMDes semakin menemukan coraknya dan

eksistensinya. Jika diperhatikan, karena UU ini masih baru, kemungkinan besar akan

membutuhkan waktu untuk pelaksanaannya. Tetapi karena sejak lahirnya UU Nomor 22 Tahun

1999 Tentang Pemerintahan Daerah dimana telah dilakukan kajian-kajian mengenai badan usaha

milik desa ini maka sejak diundangkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 ini pendirian BUMDes

akan semakin nyata.

3.2 Bentuk Pertanggungjawaban Pengurus BUMDes Dalam Pengelolaan BUMDes

Membicarakan masalah aspek pertanggungjawaban tidak dapat dipisahkan dari sifat atau

natur dari suatu subjek hukum. Sedangkan pembahasan subjek hukum harus dilihat dari 2 macam

subjek hukum yaitu manusia pribadi dan badan hukum. Dengan mengetahui macam subjek

hukum atau pendukung hak dan kewajiban tersebut, kita dapat menganalisa mengenai bagaimana

bentuk pertanggungjawaban subjek hukum tersebut.

Sebagai suatu badan usaha, perlu mengetahui bagaimana sifat dan karakter dari BUMDes

tersebut. Dalam UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 213 ayat(1)

disebutkan bahwa desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuia dengan kebutuhan dan

potensi desa. Substansi UU ini menegaskan tentang janji pemenuhan permintaan(demand

compliance scenario) dalam konteks pembangunan tingkat desa. Logika pendirian BUMDes

didasarkan pada kebutuhan dan potensi desa, sebagai upaya peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Berkenaan dengan perencanaan dan pendiriannya, BUMDes dibangun atas prakarsa

(inisiasi) masyarakat, serta mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif, partisipatif(user owned,

user benefited and user controlled), transparansi, emansipatif, akuntabel, dan susitanabel dengan

mekanisme member-base dan self-help. Dari semua itu yang terpenting adalah bahwa

pengelolaan BUMDes harus dilakukan secara professional dan mandiri.13

12

Penjelasan Umum UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

13

(10)

10

Sementara timbul pertanyaan, bagaimana bentuk badan usaha milik desa ini, apakah

berbentuk Perseroan Terbatas, yayasan atau koperasi(badan hukum) atau CV, Firma(Bukan

badan hukum). Pertanyaan ini perlu ditelusuri asal muasal munculnya BUMDes ini.

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyebutkan –

pengertian Badan Usaha Milik Desa yaitu:”Badan Usaha yang seluruh atau sebagian modalnya

dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang

dipisahkan guna mengelola asset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya

kesejahteraan masyarakat desa.

Badan Usaha Milik Desa (BUM Des) adalah Lembaga usaha desa yang dikelola oleh

mayarakat dan pemerintahan desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa dan dibentuk

berdasarkan kebutuhan dan potensi desa.14

Lebih lanjut, pengaturan tentang BUMDes diatur dalam Pasal 87 UU Nomor 6 Tahun

2014 Tentang Desa, Yaitu:

Ayat(1):” Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUMDes

Ayat (2):”BUM Desa dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan

Ayat(3):”BUM Desa dapat menjalankan usaha dibidang ekonomi dan/atau pelayanan

umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 88

Ayat(1) Pendirian BUMDes disepakati melalui Musyawarah Desa

Ayat(2) Pendirian BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat(1) ditetapkan dengan

Peraturan Desa

Menurut ketentuan undang-undang, eksistensi badan hukum di Indonesia diklasifikasikan

menjadi tiga golongan, yaitu:

a. Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah(penguasa Negara)

Untuk kepentingan Negara dalam menjalankan pemerintahan

14

(11)

11

b. Badan hukum yang diakui oleh pemerintah(penguasa Negara)

Umumnya bertujuan memperoleh keuntungan atau kesejahteraan masyarakat melalui

kegiatan usaha tertentu, seperti perseroan terbatas dan koperasi.

c. Badn hukum yang diperbolehkan atau untuk suatu tujuan tertentu yang bersifat ideal

Badan hukum tersebut, seperti yayasan pendidikan, yayasan sosial, yayasan

keagamaan, dan yayasan kemanusiaan(pasal 1653 KUHPerdata).15

Berdasarkan klasifikasi tersebut, tampaknya BUMDes berada pada klasifikasi pertama

yaitu Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah(penguasa Negara) Untuk kepentingan

Negara dalam menjalankan pemerintahan. Jika diurut dari proses lahirnya BUMDes dapat

diketahui bahwa terakhir BUMDes diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014. Sebagai amanat UU,

maka BUMDes ini memiliki payung hukum berdasarkan UU.

Chidir Ali mengatakan bahwa Badan Hukum yang dibentuk oleh pemerintah(penguasa

Negara) adalah badan hukum publik yang sengaja diadakan oleh pemerintah untuk kepentingan

Negara, seperti lembaga-lembaga Negara, Departemen Pemerintahan, Daerah Otonom, Badan

Usaha Milik Negara(BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah(BUMD). Badan hukum ini lazim

disebut badan hukum publik. Badan hukum publik dibentuk oleh pemerintah melalui

undang-undang, atau peraturan pemerintah. 16

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa BUMDes merupakan badan hukum

publik. Keberadaannya lahir lewat peraturan perundang-undangan. Dengan begitu, dalam aspek

pertanggungjawaban pengurusnya semestinya lebih mendekati pada sistem pertanggungjawaban

direksi dalam suatu perseroan terbatas.

Hanya saja, identitas dari BUMDes ini masih bias. Dalam penjelasan Pasal 87 ayat(1)

UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Desa disebutkan”BUM Desa secara spesifik

tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas, CV,atau koperasi. Oleh

karena itu, BUM Des merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan

kegiatannya di samping untuk membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga untuk

15

Chidir Ali.,Op.Cit.,Hal.24-25

16

(12)

12

memenuhi kebutuhan masyarakat Desa. BUM Des juga dapat melaksanakan fungsi pelayanan

jasa, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya.

Untuk lebih spesifik, perlu diketahui karakteristik dari BUMDes terhadap lembaga

ekonomi lainnya. Perbedaan itu antara lain:

1. Badan usaha ini dimiliki oleh desa dan dikelola secara bersama

2. Modal usaha bersumber dari desa (51%) dan dari masyarakat(49%)melalui penyertaan

modal (saham atau andil)

3. Operasionalnya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya local (local

wisdom)

4. Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada potensi dan hasil informasi pasar

5. Keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan

anggota(penyerta modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa(village policy)

6. Difasilitasi oleh pemerintah, pemprov, pemkab, dan pemdes

7. Pelaksanaan operasionalisasi dikontrol secara bersama(pemdes, BPD, anggota).17

Jika dilihat dari karakteristik ini, sistem pertanggungjawaban pengurus BUMDes hampir

menyerupai sistem pertanggungjawaban pengurus dalam suatu koperasi. Akan tetapi

mekanismenya tetap memiliki karakteristik tersendiri yang tidak dapat dipersamakan dengan

koperasi. Dilihat dari alurnya: PemDes, BPD dan Anggota bertindak seolah-olah sebagai Dewan

Komisaris yang melakukan fungsi pengawasan terhadap operasionalisasi BUMDes.

Sebagai salah satu badan usaha, pada BUMDes ada Desa dan masyarakat yang bertindak

sebagai pemegang saham. Desa sebagai pemegang saham mayoritas. Dengan saham 51%

tersebut desa memiliki hak control dan hak suara lebih besar dari pemegang saham lain yaitu

masyarakat. Hal ini dimungkinkan supaya desa tetap memiliki kekuatan atau posisi tawar dalam

mengarahkan usaha BUMDes sesuai dengan jiwa kegotongroyongan dan semangat

kekeluargaan.

Pertanggungjawaban pengurus BUMdes dilakukan dalam wadah rapat permusyawaratan

yang dihadiri oleh Pemerintah desa, BPD dan anggota. Keterangan mengenai siapa yang

dimaksud anggota disini tidak jelas. Tetapi jika mengikuti ketentuan besaran kepemilikan saham

atau andil dimana 49% saham atau andil dapat dipegang oleh masyarakat, maka kemungkinan

17

(13)

13

besar anggota disini ditujukan kepada masyarakat yang mengambil saham atau andil pada

BUMDes ini.

Karakteristik BUMDes yang berbeda dengan bentuk badan usaha lain dipertegas dalam

penjelasan Pasal 87 ayat(1) UU Nomor 6 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa:

“BUMDes dalam kegiatannya tidak hanya berorientasi pada keuntungan keuangan, tetapi

juga berorientasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.

BUMDes diharapkan dapat mengembangkan unit usaha dalam mendayagunakan potensi

ekonomi. Dalam hal kegiatan usaha dapat berjalan dan berkembang dengan baik, sangat

dimungkinkan pada saatnya BUMDes mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan

dalam ketentuan peraturan perundang-undangan”.(garis bawah dari Penulis).

Penjelasan Pasal 87 diatas menjelaskan bagaimana status atau bentuk dari BUMDes tersebut.

Penulis berpendapat bahwa kalimat:” Dalam hal kegiatan usaha dapat berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUMDes mengikuti badan hukum yang telah

ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan” menunjukkan bahwa BUMDes

merupakan badan usaha yang sifat dan karakteristiknya masih mengadopsi sifat-sifat dari

beberapa bentuk badan usaha yang berbadan hukum yang telah eksis sebelumnya dalam

peraturan perundang-undangan seperti Perseroan Terbatas, yayasan dan koperasi.

Ketika BUMDes telah beroperasi dan mengalami kestabilan usaha maka bentuknya dapat

mengalami perubahan dengan mengikuti dari bentuk-bentuk badan usaha yang berbadan hukum

sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini pula yang membuat sifat atau

natur dari BUMDes ini menjadi bias(banci) karena karakteristiknya mengikuti sifat dan

karakteristik dari beberapa bentuk badan usaha yang berbadan hukum.

3.3 Peranan BUMDes dalam sistem perekonomian nasional

Sejak Jeremy Bentham mengukuhkan teori individualisme utilitarian yang menekankan

pentingnya kebahagiaan terbesar bagi umat manusia, arah pemikiran ini mengalami pergerakan

(14)

14

besar. Menurut Bentham, tiap manusia sibuk dengan suka duka sendiri, atau dengan

kepentingannya sendiri.18

S. Prakash Sinha sebagaimana dikutip oleh Bernard L. Tanya, dkk menegaskan kembali

filsafat Jeremy Bentham dengan mengatakan:”Hukum harus mengusahakan kebahagiaan

maksimum bagi tiap-tiap orang. Inilah standar etik dan yuridis dalam kehidupan sosial. Hak-hak

individu harus dilindungi dalam kerangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.19

Kebebasan yang dharapkan Bentham dalam upaya mengupayakan pencapaian dalam

rangka kemakmuran diri dinyatakan dalam postulatnya berikut ini:

1. Pertama, setiap orang mempunyai hak untuk hidup dan bertindak sesuai dengan

nilai-nilai yang diperlukan untuk dapat tetap bertahan hidup(survive);

2. Kedua, setiap orang mempunyai hak untuk dengan sebebas-bebasnya berpikir dan

bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya terbaik untuk survive;

3. Ketiga, setiap orang berhak untuk bekerja keras sesuai dengan nilai-nilai yang dipilihnya

sendiri dan memiliki serta menikmati hasil-hasilnya;

4. Ke-empat, setiap orang berhak untuk hidup bagi kepentingan dirinya sendiri dan

berupaya untuk mewujudkan cita-citanya sendiri.20

Apa yang dirumuskan oleh Bentham dalam teorinya tersebut merupakan himbauan

kepada umat manusia untuk mengejar kepuasan diri dan kemampanan atau dengan kata lain

usaha untuk memperbaiki taraf kehidupan setiap individu.

Apabila ditarik kedalam lingkup keadaan perkonomian pedesaan yang mengalami

ketertinggalan dibanding kemajuan kota yang begitu pesat, tampaknya pandangan Bentham ini

dapat dijadikan satu dasar filosofis untuk melakukan suatu gerakan untuk memajukan desa

kearah yang lebih baik dengan peningkatan standar kehidupan masyarakat desa kearah yang

lebih baik.

Ekonomi pedesaan adalah ekonomi rakyat kecil yang sumber dayanya masih rendah dan

kegiatan ekonominya tidak terorganisasi dan lebih bersifat perorangan atau per keluarga dan

18

Bernard L. Tanya, dkk.,Op.Cit.,hal.91

19

Ibid.

20

(15)

15

tidak terikat dengan berbagai peraturan, seperti peraturan perburuhan, jam kerja, dan sebagainya.

Begitu juga pelakunya bisa pria, wanita, bisa orang tua, orang muda, dan anak-anak sekalipun.21

Lebih lanjut Jusuf Suit, dkk mengatakan:” Ibarat berpacu lari, Indonesia sebagai salah

satu Negara berkembang telah jauh tertinggal dibidang industri, jadi kurang bijaksana rasanya

kalau kita langsung terjun ke industrialisasi dalam membangun Negara ini karena sector yang

akan dikejar itu tidak sedang berhenti, tetapi semakin kencang berlari. Oleh karena itu, lebih baik

kita memilih sector lain yang lebih strategis, yaitu sektor pertanian dan pertambangan Karena

Indonesia memiliki tanah yang cukup luas dan subur, disamping memiliki kekayaan alam berupa

barang-barang tambang dan sumber daya alam lainnya. Sektor strategis Indonesia adalah sektor

pertanian terutama beras dan bahan-bahan pangan lainnya, yaitu tergolong sektor yang

menguntungkan, pemberian alam, dan tidak terlalu banyak membutuhkan sumber daya manusia

yang berkualitas.22

Kondisi dan fakta-fakta yang digambarkan dalam uraian diatas merupakan kondisi atau

gambaran secara garis besar betapa keadaan perekonomian kita mengalami keterlambatan untuk

mengejar kemajuan kearah industrialisasi. Sementara Indonesia masih memiliki begitu banyak

sektor strategis yang bisa dibidik dan dikembangkan untuk meningkatkan standar hidup

masyarakat banyak.

Upaya untuk mencapai peningkatan kesejahteraan itu disambut oleh Pemerintah dengan

melakukan pembenahan-pembenahan yang salah satunya adalah melakukan de-regulasi untuk

menguatkan payung hukum dalam mencapai kemajuan dan peningkatan kualitas kehidupan

masyarakat khususnya masyarakat desa.

Salah satu upaya de-regulasi tersebut adalah diundangkannya UU Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Pemerintahan Desa sebagai upaya untuk menjemput bola. Diundangkannya UU ini

semakin mengukuhkan kembali posisi BUMDes yang dalam peraturan-peraturan

perundang-undangan sebelumnya mengalami mati suri dan hampir dikatakan gagal. Tentunya dengan

21

Jusuf Suit, Almasdi&Yudefri Yusuf, Pemberdayaan Potensi Ekonomi Pedesaan Dalam Pembangunan Nasional(Bogor: IPB Press),2012.,hal.25. senada dengan pemikiran Jusuf Suit dkk, Prof Sumitro Djojohadikoesoemo sebagaimana dikutip oleh S.M.P Tjondronegoro” Desa Restrospeksi ke-1800 Menuju Prospek 2030 dalam kumpulan makalah yang berjudul Menuju Desa 2030(Bogor:CrestPent Press), 2011.,hal.39 mengatakan:”Dalam merencanakan program industrialisasi, masih juga bertumpuan pada hasil sector pertanian dan untuk menunjang sector pertanian secara mandiri. Lebih lanjut S.M.P Tjondronegoro mengatakan:”Prospek untuk

desa-desa kita yang beraneka ragam dan pada umumnya masih dirundung kemiskinan, karena sector pertanian dengan berbagai masalah agrarian tidak dipahami sebagai sector mendasar untuk menuju kemandirian bangsa dan negara. Op.Cit.,hal.41

22

(16)

16

pengaturan yang baru ini, BUMDes dapat memperlihatkan peranannya dalam mengupayakan

peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.

Usaha de-regulasi ini dapat dikatakan sebagai respon terhadap kekurangan dan bahkan

kegagalan pelaksanaan BUMDes pada masa-masa lalu. Philippe Nonet dan Philip Selznick

mengatakan bahwa:”Teori hukum tidaklah buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak pula kebal

dari pengaruh sosial. Dimana kita mencari landasan-landasan hukum, pengertian yang kita buat

tentang proses hukum, pengertian yang kita buat tentang proses hukum, dan dimana kita

menempatkan hukum dalam masyarakat-semuanya sangat mempengaruhi bentuk komunitas

politik dan jangkauan aspirasi-aspirasi sosial.23

Lebih lanjut Philippe Nonet dan Philip Selznick menegaskan bahwa…dampak jangka

panjangnya adalah untuk membangun didalam tertib hukum sebuah dinamika perubahan, dan

untuk membangkitkan harapan-harapan bahwa hukum merespon secara fleksibel

masalah-masalah dan tuntutan-tuntutan baru. Muncullah sebuah visi, dan suatu kemungkinan dirasakan,

akan sebuah tertib hukum yang responsive, yang lebih terbuka terhadap pengaruh sosial dan

yang lebih efektif dalam menangani permasalahan sosial.24

Nonet dan Selznick memiliki alasan karena kondisi hukum dan politik akan

berkonsekuensi logis terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil dalam merespon suatu keadaan

hukum yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Hal ini akan menjadikan hukum eksis

untuk dirinya sendiri dan tidak memiliki pengaruh apapun dalam merespon permasalahan yang

muncul ditengah kehidupan sosial. Hal ini membuat hukum menjadi mandul.

Hukum tidak lagi bisa diandalkan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk

mencapai keadilan substantif.25 Atas alasan tersebut, Satjipto Rahardjo membuat satu kritik

terhadap hukum dengan satu kalimatnya yang menarik yaitu:”Pemikiran hukum perlu kembali

pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia.26

23

Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif(Bandung: Nusa Media),2011.,hal.3

24

Ibid.,hal.81-82

25

Philipe Nonet dan Philip Selznick dalam Bernard L. Tanya, dkk, Op.Cit.hal.204. Pendapat Nonet dan Selznick ini hampir sama dengan pendapat Llewellin sebagaimana dikutip oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah dalam bukunya Filsafat, Teori&Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat(Jakarta: RajaGrafindo),2012.,hal. 126 mengatakan bahwa:”Tujuan hukum harus senantiasa dikaitkan

dengan tujuan masyarakat dimana hukum itu berada. Masyarakat merupakan proses yang terus menerus berubah secara berkesinambungan, dan olehnya itu perubahan hukum pun merupakan suatu hal yang esensial.

26

(17)

17

Pendapat para pakar hukum tersebut menjadi dasar pijakan bagaimana membuat hukum

itu benar-benar memiliki kiprah dalam menjawab perubahan-perubahan sosial dimasyarakat atau

dengan meminjam istilah Roscou Pound dengan cara “merekayasa”(engineering) kondisi sosial yang amburadul dengan menghadirkan hukum sebagai alat untuk melakukan rekayasa sosial

tersebut. sehingga peranan hukum semakin dirasakan kehadirannya oleh manusia sebagai

pengguna hukum itu sendiri bukan hukum yang harus menjadi majikan tetapi manusia dapat

menggunakan hukum itu untuk mencapai standar kehidupannya yang lebih baik.

Sebagai gambaran mengenai kondisi perekonomian desa yang mengalami ketidakpastian,

Sjamsoe’oed Sadjad 27

mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:

“Petani dengan mentalitas industrial mengelola usahanya saya harapkan bisa merombak pemikiran petani yang saat ini berproduksi tanpa target yang jelas, tanpa berorientasi pada

kontinuitas produk, tanpa berorientasi pada kualitas, dan target yang dihasilkan. Mentalitas”apa

adanya, terserah nanti” harus bisa dirombak menjadi industri. Semua produk apa itu padi, sayuran, buah-buahan, palawija, coklat, kopi harus masuk pasar. Proses industri itu mencakup

dua alternative ialah”processing”, dan conditioning. Disebut processing kalau produk akhir industri berbeda dari bahan mentahnya, sedangkan disebut conditioning kalau produk akhirnya

tidak berubah. Benih adalah contoh industrial conditioning demikian juga sayuran yang

dibersihkan, dipilah, dikemas, disimpan untuk dipasarkan. Tidak seperti saat ini apa yang

dilakukan petani terhadap produk usahataninya sama sekali tidak mengundang unsur industrial.

Proses industri itu harus menjadi target petani dan industri itu harus ada di pedesaan. Oleh karena

itu desa juga harus menjadi desa industri.

Kalau pemerintah memiliki “commitment” untuk membangun desa”political will”-nya harus difokuskan pada pembangunan agropolitik yang membawa desa menjadi desa industri

berbasis pertanian industri. Mentalitas industri juga harus dididikkan pada segenap warga desa.

Dengan demikian ada univalensi antara desa dan pertanian. Keduanya agar bereaksi dan

menghasilkan produk maka harus bervalensi sama. Membangun desa juga berarti membangun

pertanian, begitu sebaliknya. Produk dari reaksi itu ialah desa industri yang akan menghasilkan

nilai tambah bagi desa dan warganya. Dengan sendirinya, bagi petaninya. Dengan orientasi pada

27 “Menuju Desa 2030”Sjamsoe’oed Sadjad,Pembangunan Desa Industri Bebasis Pertanian Industri Sampai Tahun

(18)

18

menghasilkan nilai tambah itu, warga akan menjadi lebih progresif, kreatif, dinamis semua

dimanfaatkan didesa.28

Kondisi-kondisi dan peluang bisnis untuk mencapai industrialisasi dikawasan pedesaan

ini menjadi peluang terbesar yang dapat diakomodasi oleh BUMDes. Sehingga dengan

keberadaan BUMDes, semua potensi bisnis yang tidak tergarap yang berbasis industri pertanian

dapat ditangkap dan dijadikan peluang bisnis oleh BUMDes. Kapasitasnya sebagai badan usaha

yang dapat bergerak di segmen pertanian dimana mata pencaharian masyarakat desa adalah

petani adalah satu modal besar yang akan menentukan arah perkonomian desa kearah yang lebih

baik.

Meminjam istilah Roscou Pound, dengan hadirnya BUMDes, diharapkan perekonomian

desa dapat direkayasa sedemikian rupa untuk menjadi trend setter perekonomian nasional

berbasis pertanian. Hal ini dimungkinkan apabila BUMDes ini benar-benar diberikan tempat

untuk melakukan kiprahnya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.

28

(19)

19

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Berdasarkan uraian dan analisa diatas, Penulis menarik kesimpulan, sebagai berikut:

a. Pengaturan BUMDes telah ada sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, kemudian berturut-turut diatur

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk

Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang

Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pengaturan secara tersendiri dilakukan melalui diundangkannya UU Nomor 6 Tahun

2014 Tentang Pemerintahan Desa.

b. Berdasarkan karakteristiknya sistem pertanggungjawaban pengurus BUMDes

menyerupai sistem pertanggungjawaban pengurus dalam suatu koperasi. Akan tetapi

mekanismenya tetap memiliki karakteristik tersendiri yang tidak dapat dipersamakan

dengan koperasi. Berdasarkan alurnya, pertanggungjawaban pengurus BUMDes

dilakukan kepada PemDes, BPD dan Anggota dalam wadah rapat permusyawaratan

dimana ketigannya bertindak seolah-olah sebagai Dewan Komisaris yang melakukan

fungsi pengawasan terhadap operasionalisasi BUMDes.

c. Sebagai salah satu badan usaha, BUMDes berperan penting terhadap perkembangan

dan kemajuan perekonomian ditingkat desa sebagai basis industri pertanian.

Kehadiran BUMDes dapat menjadi alat rekayasa sosial bidang kesejahteraan yang

akan berfungsi untuk merekayasa taraf kehidupan masyarakat desa yang mengalami

stagnasi kearah progress kesejahteraan masyarakatnya yang lebih baik.

2. Berdasarkan kesimpulan diatas, Penulis menyarankan supaya standar bentuk

pertanggungjawaban Pengurus BUMDes harus ditetapkan secara detail dan terstruktur untuk

menghindari penyalahgunaan bahkan kekosongan hukum yang akan membuka peluang

(20)

20

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ali, Chidir, Badan Hukum(Bandung: Alumni),2005

Arifin, Bustanul, Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia(Jakarta: Kompas),2004

Budiyono, Tri, Hukum Perusahaan(Salatiga: Griya Media),2011

Marbun, B.N, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses&Realita Perkembangan Otda, Sejak Zaman Kolonial Sampai Saat Ini(Jakarta: Sinar Harapan),2010

Nonet, Philippe dan Philip Selznick, Hukum Responsif(Bandung: Nusa Media),2011

Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah dalam bukunya Filsafat, Teori&Ilmu Hukum

Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat(Jakarta:

RajaGrafindo),2012

Suit, Jusuf, Almasdi&Yudefri Yusuf, Pemberdayaan Potensi Ekonomi Pedesaan Dalam

Pembangunan Nasional(Bogor: IPB Press),2012

Tanya, Bernard L.,Dkk,Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi(Yogyakarta: Genta Publishing), 2010

Tjondronegoro, S.M.P” Desa Restrospeksi ke-1800 Menuju Prospek 2030 kumpulan makalah

Menuju Desa 2030(Bogor:CrestPent Press), 2011

JURNAL

Buku Panduan Pendirian Dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa(Bumdes)(Departemen Pendidikan Nasional: Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembanguna(PKDSP) Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya), 2007

Ramadana, Coristya Berlian, Heru Ribawanto, Suwondo,”Keberadaan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Sebagai Penguatan Ekonomi Desa (Studi Di Desa Landungsari, Kecamatan

Dau, Kabupaten Malang)”, Jurnal Administrasi Publik (Jap), Vol. 1, No. 6, Hal. 1068-1076 | 1069

UNDANG-UNDANG

UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Referensi

Dokumen terkait

Kedua kalimat tersebut termasuk dalam deiksis sosial karena menunjukan adanya bentuk merendahkan berupa frasa MAFIA PSSI JANCOK.. Jika dilihat dari segi deiksis sosialnya, kata

Melalui Badan Usaha Milik Desa ( BUMdes) penataan dan pengelolaan oleh pemerintah desa dapat menetukan perencanaan yang sangat sesuai dengan bantuan masyarakat dalam

Pendekatan kualitatif pada penelitian ini akan memaparkan tahap-tahap pendirian BUMDes, strategi dalam pengelolaan BUMDes, dan manfaat BUMDes terhadap kesejahteraan

(C) penghitungan energi potensial suatu benda di bumi, yang merupakan hasil kali massa, percepatan gravitasi, dan jarak, tidak terpengaruh karena jarak di sini adalah jarak

Sequence diagram ubah password menjelaskan mengenai serangkaian kinerja sistem yang dilakukan oleh admin dalam mengubah password yang digunakan untuk login pada

Namun untuk lebih saling menguatkan, salah satu cara untuk menutupi kelemahan teori Watson ini dalam penerapan teori ini di dalam praktik adalah dengan mengkombinasikan

Peran pemerintah Desa Bumiaji dalam mengelola BUMDes yaitu mendirikan, berpartisipasi dalam mengendalikan program kerja yang diselenggarakan BUMDes terutama BKD,