• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan Lokal Petani Dalam Mengelola Padi Sawah di Pangaribuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengetahuan Lokal Petani Dalam Mengelola Padi Sawah di Pangaribuan"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

PENGETAHUAN LOKAL PETANI DALAM MENGELOLAH PADI SAWAH DI PANGARIBUAN

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Antropologi

DISUSUN OLEH :

MEDI HARIANJA

110905009

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

PENGETAHUAN LOKAL PETANI DALAM MENGELOLA PADI

SAWAH DI PANGARIBUAN

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan disini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Juni 2015

(3)

ABSTRAK

Medi Harianja, 2015. Judul Skripsi: Pengetahuan Lokal Petani Dalam Mengelola Padi Sawah di Pangaribuan. Skripsi ini terdiri dari 6 (enam) bab, 128 halaman, 2 tabel, dan 12 gambar

Tulisan ini mengkaji pengetahuan lokal yang di miliki masyarakat Indonesia, khususnya pada pengelolaan padi sawah oleh petani di Pangaribuan. Pada zaman sekarang ini, pengetahuan lokal sudah mulai terkikis lalu yang tertinggal hanya kulit permukaan semata. Pengetahuan lokal yang semakin tersingkirkan dengan masuknya berbagai teknologi dan berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pangaribuan, yang berada di Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Pangaribuan yang penghasilan utamanya adalah padi sawah. Metode etnografi secara Holistik yang bersifat kualitatif dilakukan dalam penelitian ini. Berdasarkan informasi dan penjelasan dari pengetahuan masyarakat yang mereka terima melalui proses pembelajaran, pengalaman, dan yang diwariskan secara turun temurun. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah melalui wawancara dan observasi kepada para petani dan lahan pertanian di Pangaribuan yang terkait masalah penelitian.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah pengetahuan lokal yang dimiliki para petani dalam melakukan pengelolaan padi sawah mulai dari proses pembibitan, pembajakan, penanaman, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit tanaman padi hingga pemanenan dan pemanfaatan hasil tanaman padi tersebut. Selanjutnya penelitian ini juga melihat darimana sumber-sumber pengetahuan yang diterapkan diperoleh para petani padi sawah, serta kendala-kendala yang dihadapi para petani sendiri. Dalam penelitian ini penulis juga melihat kepercayaan-kepercayaan yang petani miliki serta kebijakan yang diterapkan oleh petani di Pangaribuan.

Kesimpulannya adalah pengetahuan lokal ini merupakan akumulasi dari pengalaman, pengamatan, yang diturunkan oleh nenek moyang. Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memecahkan permasalahan atau kendala yang dihadapi oleh petani, dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat serta meningkatkan pembangunan pertanian di Indonesia.

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur saya ucapkam kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat serta kasih dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul “Pengetahuan Lokal Petani Dalam Mengelola Padi Sawah Di Pangaribuan”.

Dalam kesempatan ini saya inginmenyampaikan terimah kasih yang tulus kepada berbagai piha, di antaranya kepada Bapak Dr. Fikarwin Zuska, selaku Ketua Departemen Antropologi Sosial FISIP USU dan juga sebagai dosen yang sangat sangat banyak memberikan Ilmu Pengetahuan kepada saya pada saat perkuliahan. Terkhusus buat Bapak Drs. Lister Berutu, MA selaku Dosen pembimgbing wali saya yang selalu memberikan masukan, saran, pengetahuan baik formal maupun non-formal sehingga skripsi ini bisa selesai. Tidak ada kata yang bisa saya ucapkan selain ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Lister Berutu, MA atas bekal ilmu yang sangat berharga yang Bapak berikan kepada saya, semoga apa yang telah Bapak berikan kepada saya akan mendapat balasan yang jauh lebih besar dari Tuhan. Kepada seluruh Dosen dan staf pegawai di Antropologi FISIP USU, saya ucapkan terimah kasih sebesar-besarnya atas didikan dan bantuannya selama saya mengikuti perkuliahan di Departemen Antropologi FISIP USU.

Kepada kedua orang tua yang saya sayangi Ayahanda Kaspar Harianja dan Ibunda Pestaria Gultom yang sangat saya kagumi sepanjang hidup saya. Terima kasih atas kesabaran, kasih sayang, support dan masukan serta materi. Terima kasih seluruh keluarga yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada saya untuk menyelesaikan perkuliahan. Terima kasih buat Kak Jenny, Bang Jonatan, Kak Duraya, Kak Juni, Bang Lian yang selalu hadir dan memberikan berbagai bentuk dukungan kepada saya dalam menjalani kehidupan ini.

(5)

Kepada seluruh petani yang di Pangaribuan terkhusus di desa Batumanumpak yang telah memberikan berbagai informasi dalam memenuhi data skripsi yang saya perlukan. Kepada Oppung Mekar, Ibu Tina, Ibu Heni, Bapak tiar, Oppung Pada (mama saya) dan lainnya yang tidak saya sebutkan saya ucapkan terima kasih banyak atas pengalaman yang telah dibagikan kepada saya mengenai berbagai kegiatan pertanian padi sawah di Pangaribuan.

Akhir kata saya mengucapkan banyak terimah kasih kepada semua orang yang telah membantu saya dalam mengerjakan skripsi ini. Saya telah banyak belajar mengenai arti kehidupan dari orang-orang yang membantu saya selama ini. Semoga skripsi ini memberikan sumbangan pikiran yang bermanfaat bagi yang membacanya.

Medan, Juni 2015

Penulis

(6)
(7)

6. Mengikuti Seminar Universal Peace Federation Universitas Sumatera Utara “Young People of Character-The Hope of the Future” (2014)

7. Research Etnografi “Hari Deepavali Bagi Orang Tamil di Kota Medan” Antropologi FISIP USU (2013)

8. Research Etnografi “Transaksi Jual- Beli di Pasar Seikambing, Medan” Antropologi Sosial FISIP USU (2013)

9. Research Etnografi “Budidaya Tanaman Kopi Di Desa Sumbul, Dairi (2013)

10.Mengikuti TOEFL yang diselenggarakan Language Center USU (2014)

11.Mengikuti Sosialisasi Kerja Yang Diselenggarakan Bidang

Kemahasiswaan Biro Rektor USU Bagi Mahasiswa BIDIKMISI (2014) 12.Magang Selama 2 Bulan Di Instansi Pemerintah BPPT Sumatera Utara

(8)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Untuk menulis persyaratan tersebut saya telah menyusun sebuah skripsi dengan judul “Pengetahuan Lokal Petani Dalam Mengelola Padi Sawah Di Desa Pangaribuan”.

Ketertarikan untuk menulis tentang “Pengetahuan Lokal Petani Dalam Mengelola Padi Sawah Di Pangaribuan” karena penulis melihat bahwa sangat penting untuk mempertahankan pengetahuan lokal tidak hanya menjaga ketahanan pangan agar tidak tergantung kepada impor, tetapi mendukung kedaulatan lokal juga mendukung komoditas lokal untuk berkembang. Hal lain yang membuat ketertarikan penulis melihat adanya pengetahuan lokal yang diterapkan petani Pangaribuan dan mampu menyesuaikan nilai yang terkandung dalam pengetahuan lokal tersebut dengan teknologi serta perkembangan zaman sekarang yang hadir di tengah-tengah masyarakat.

Dalam skripsi ini saya melihat pengetahuan-pengetahuan petani dalam pengelolaan padi sawah, bagaimana sumber-sumber pengetahuan tersebut diperoleh sehingga pengetahuan lokal bisa tetap bertahan dan sesuai dengan perkembangan teknologi. Serta kendala-kendala seperti apa yang dihadapi oleh para petani dalam pengelolaan tanaman padi di tengah zaman yang serba krisis seperti sekarang ini.

(9)

Akhir kata saya berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan, materi dan pengalaman saya. Oleh karena itu dengan rendah hati, penulis menerima segala saran-saran, masukan dan kritikan yang membangun dari berbagai pihak untuk menyempurnakan skripsi ini.

Medan, Juni 2015 Penulis

(10)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i

ABSTRAK ... ii

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 18

1.5. Metode Penelitian ... 19

BAB II. GAMBARAN UMUM KECAMATAN PANGARIBUAN ... 22

2.1. letak dan Akses Menuju Pangaribuan ... 22

2.2. Sejarah Lokasi Penelitian ... 24

2.3. Keadaan Penduduk Pangaribuan ... 26

BAB III. PENGETAHUAN MENGENAI MUSIM DAN SUMBER DAYA ALAM ... 39

3.1. Keadaan Musim di Pangaribuan ... 39

3.2. Musim yang Dikenal Oleh Petani Pangaribuan ... 41

3.2.1. Musim Penghujan(musim udan) ... 41

3.2.2. Musim Panas (logo niari) ... 45

3.2.3. Musim Peralihan ... 48

3.3. Pengetahuan Lokal Petani Mengenai Tanah ... 49

3.3.1. Tanah pada Lahan Padi Sawah ... 51

3.4. Pengetahuan Lokal Petani Mengenai sumber air ... 54

BAB IV. PENGETAHUAN LOKAL PETANI DALAM MENGELOLAH SAWAH ... 56

4.1. Pengetahuan Lokal Mengenai Padi Sawah ... 56

4.4.1. Pengertian Sawah menurut petani ... 56

4.2. Pengetahuan Petani Mengenai Tanaman Padi ... 57

4.3. Pengetahuan petani Mengenai hama dan Penyakit Padi Sawah ... 60

(11)

4.5. Pengelolaan Bibit ... 66

4.10. Pengetahuan Petani Terhadap Jenis Pupuk ... 81

4.10.1. Pupuk Jerami (takkal durame) ... 81

4.12.2. Pelepasan Bulir Padi (mabatting, mardege eme) ... 91

BAB V. SUMBER PENGETAHUAN DAN KEPERCAYAAN DALAM PERTANIAN PADI SAWAH DI PANGARIBUAN... 99

5.8. Kendala Yang Dihadapi Petani Di Pangaribuan ... 118

5.8.1. Modal ... 119

Denah lokasi penelitian di Pangaribuan desa Batumanumpak Daftar Informan

Intervew Guide

(12)

DAFTAR TABEL

(13)

DAFTAR FOTO

Foto 1. Lahan Sawah ... 56

Foto 2. Tanaman padi dalam kondisi baik (umur 2 bulan) ... 57

Foto 3. Tabbissu ... 66

Foto 4. Sirabun(debu pembakaran) ... 66

Foto 5. Bibit padi (Pesamaian) ... 66

Foto 6. Cangkul ... 72

Foto 7. Menyabit Padi ... 88

Foto 8. Sabit ... 89

Foto 9. Dasor (dasar) parlunggukan ... 91

Foto 10. Mabbanting ... 91

Foto 11. Mardege ... 93

(14)

ABSTRAK

Medi Harianja, 2015. Judul Skripsi: Pengetahuan Lokal Petani Dalam Mengelola Padi Sawah di Pangaribuan. Skripsi ini terdiri dari 6 (enam) bab, 128 halaman, 2 tabel, dan 12 gambar

Tulisan ini mengkaji pengetahuan lokal yang di miliki masyarakat Indonesia, khususnya pada pengelolaan padi sawah oleh petani di Pangaribuan. Pada zaman sekarang ini, pengetahuan lokal sudah mulai terkikis lalu yang tertinggal hanya kulit permukaan semata. Pengetahuan lokal yang semakin tersingkirkan dengan masuknya berbagai teknologi dan berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pangaribuan, yang berada di Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Pangaribuan yang penghasilan utamanya adalah padi sawah. Metode etnografi secara Holistik yang bersifat kualitatif dilakukan dalam penelitian ini. Berdasarkan informasi dan penjelasan dari pengetahuan masyarakat yang mereka terima melalui proses pembelajaran, pengalaman, dan yang diwariskan secara turun temurun. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah melalui wawancara dan observasi kepada para petani dan lahan pertanian di Pangaribuan yang terkait masalah penelitian.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah pengetahuan lokal yang dimiliki para petani dalam melakukan pengelolaan padi sawah mulai dari proses pembibitan, pembajakan, penanaman, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit tanaman padi hingga pemanenan dan pemanfaatan hasil tanaman padi tersebut. Selanjutnya penelitian ini juga melihat darimana sumber-sumber pengetahuan yang diterapkan diperoleh para petani padi sawah, serta kendala-kendala yang dihadapi para petani sendiri. Dalam penelitian ini penulis juga melihat kepercayaan-kepercayaan yang petani miliki serta kebijakan yang diterapkan oleh petani di Pangaribuan.

Kesimpulannya adalah pengetahuan lokal ini merupakan akumulasi dari pengalaman, pengamatan, yang diturunkan oleh nenek moyang. Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memecahkan permasalahan atau kendala yang dihadapi oleh petani, dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat serta meningkatkan pembangunan pertanian di Indonesia.

(15)

BAB I

PENDAHULAN

1.1. LATAR BELAKANG

Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana petani dalam mengelola padi

sawah di desa Pangaribuan melalui pengetahuan dan pengalaman yang mereka

miliki. Tulisan ini menjadi menarik dimana seiring berjalannya waktu keberadaan

kearifan lokal sebagai nilai-nilai luhur mulai redup, memudar, kehilangan makna

substantifnya. Lalu yang tertinggal hanya kulit permukaan semata. Semakin

tersingkirkan dengan masuknya berbagai teknologi dan berbagai masalah sosial

yang dihadapi masyarakat (Hotibin 2013:1).

Pentingnya mengkaji kearifan lokal terutama di bidang pertanian,

misalnya pengembangan komoditi pertanian yang kuat bukan hanya untuk

ketahanan pangan agar tidak tergantung kepada impor, mendukung kedaulatan

lokal juga mendukung komoditas lokal untuk berkembang (Wahyu dan Nasrullah

2011:3).

Mayoritas warga masyarakat Pangaribuan hidup dari pertanian, khususnya

padi sawah. Praktek pertanian padi ini telah berkembang secara turun-temurun

dari generasi ke generasi yang kemudian membentuk sistem pengetahuan dan

tradisi bertani sendiri, seperti menjaga keberagaman jenis benih, persiapan lahan,

persiapan benih, penanaman, perawatan, pemanenan, sampai pada pola konsumsi.

Pertanian padi adalah sistem pengetahuan yang hidup dan menghidupi

(16)

masyarakat. Budaya menjual memang dilakukan pada keadaan terpaksa dan

terdesak.

Benih padi yang dihasilkan petani di Pangaribuan yang merupakan benih

lokal yang mereka hasilkan sendiri. Petani biasanya sudah memisahkan terlebih

dahulu antara padi yang akan disimpan sebagai pangan di lumbung dan benih

yang akan dipakai dalam musim tanam berikutnya. Padi yang akan digunakan

untuk benih dipilih secara teliti biasanya padi yang berisi dan bulirnya besar dan

bagus, matang dan tidak tercampur dengan padi yang lain, serta membutuhkan

ruang yang tidak lembab, dan disimpan di rumah.

Yunita Winarto (2011:204), petani adalah aktor manusia dalam proses

memproduksi benih lokal yang mempengaruhi proses berfungsinya sistem

pembenihan lokal melalui pilihan atas varietas, serta praktik-praktik memproduksi

dan menyeleksi benih.

Penelitian terbaru dari International Institute For Invironment and

Development (IIED), para petani telah terbiasa menggunakan tanaman lokal untuk

mengendalikan hama dengan cara memilih varietas tanaman yang mampu

mentolerir kondisi ekstrim seperti kekeringan dan banjir, menanam beragam

tanaman untuk menghadapi ketidakpastian di masa depan pemuliaan varietas jenis

baru secara lokal dilakukan berdasarkan ciri-ciri kualitas yang melindungi

keanekaragaman hayati. Varietas benih lokal yang telah dikembangkan secara

lokal lebih cocok dengan kondisi lokal, yang berlaku seperti tanah dan hama

(17)

Pola tanaman dan teknologi budidaya oleh masyarakat pangaribuan masih

sangat sederhana dan mengandalkan tenaga kerja manusia. Kegiatan bersawah

normalnya membutuhkan pertolongan dari pihak lain, apakah diberikan dalam

sistem tolong-menolong, sistem upah. Dahulu masyarakat Pangaribuan dalam

kegiatan bersawah menggunakan sistem gotong-royong. Masyarakat Pangaribuan

sekarang ini kebanyakan menggunakan sistem upah. Bagi yang tidak sanggup

membayar buruh mereka saling tolong-menolong karena kegiatan bersawah

merupakan hal yang berat dilakukan jika seorang diri atau hanya keluarga saja.

Imbas revolusi hijau tetap nyata di Pangaribuan ini yang ditujukan dengan

kuatnya ketergantungan pada pupuk kimia, sekalipun pupuk organik masih

digunakan masyarakat, namun pengetahuan lokal oleh petani di Pangaribuan

masih tetap dipelihara dan diterapkan misalnya untuk membasmi hama1.

Membasmi berbagai hama oleh masyarakat Pangaribuan dengan menggunakan

dedak dicampur minyak tanah, sirabun (abu pembakaran), daun kayu tambisu,

orang-orangan, dan plastik yang mengelilingi petak tanaman padi. Yang

melindungi tanaman padi hingga pada pemanenan, untuk mendapatkan hasil

maksimal.

Masyarakat Pangaribuan dengan sebaik-baiknya mengelola tanaman padi

demi mempertahankan biaya kebutuhan sehari-hari dan mempertahankan kualitas

padi mereka sendiri. Namun dalam mempertahankan kualitas dan memenuhi

kebutuhan dimana zaman semakin berkembang dan biaya kehidupan juga

semakin meningkat banyak ditawarkan peralatan-peralatan terhadap masyarakat

1

(18)

untuk mempermudah pekerjaan mereka dengan semua itu timbullah

masalah-masalah yang dihadapi masyarakat2.

Penulis ingin melihat pengetahuan yang seperti apa dan bagaimana

mereka dalam mengelola pertanian sejak masa produksi3. Peneliti juga ingin

melihat kendala-kendala yang seperti apa yang dihadapi oleh para petani dalam

bertanam padi. Menurut Eric R. Wolf 1983:23, berupa: masalah abadi kaum tani

adalah masalah mencari keseimbangan antara tuntutan-tuntutan dari dunia luar

dan kebutuhan petani untuk menghidupi keluarganya.

Penduduk Indonesia secara umum mengkonsumsi beras yang dihasilkan

oleh padi sawah sehingga perlu diketahui keadaan sawah di Indonesia. Dari data

kementrian pertanian Indonesia 2011, total luas lahan pertanian Indonesia 70 juta

Ha yang efektif untuk produksi pertanian 45 juta Ha produk pangan utama

dihasilkan oleh sawah yang mencapai luas 8, 061 juta Ha terdiri dari sawah irigasi

dengan luas 4,896 juta Ha dan sawah non irigasi dengan luas 3,16 Ha yang

tersebar di 33 provinsi Indonesia. Luas lahan sawah cenderung kurang karena

terjadi konversi lahan dan serangan4.

Proses bertani atau budidaya pertanian dalam hal tanaman padi menjadi

hal yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Beras menjadi

salah satu produk yang sangat penting, dikarenakan beras menjadi produk dalam

sembilan bahan pokok. Pertanian padi dan sistem pengelolaannya merupakan

2

Ibid. 3

Produksi adalah kegiatan yang menciptakan, mengolah, mengupayakan pelayanan, menghasilkan barang dan jasa atau usaha untuk meningkatkan suatu benda agar menjadi lebih berguna bagi kebutuhan manusia.

4

(19)

salah satu topik yang sedang hangat dibicarakan dimana pertanian hingga kini,

masih merupakan mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia.

Oleh karena itulah, persoalan pertanian menjadi isu penting di negara yang

sedang berkembang seperti Indonesia. Sejarah Nusantara kaya akan kearifan lokal

bidang pertanian dan pengolahan bahan makanan. Berbagai kearifan lokal ini

perlu digali kembali dan disesuaikan dengan kondisi saat ini untuk mengatasi

krisis pangan yang tengah melanda Indonesia (Kompas, 16 Mei 2010).

Pemerintah tentang pengamanan produksi beras nasional dalam

menghadapi kondisi iklim ekstrim dengan target pelaku petani dengan kategori

kontruksi presiden ditetapkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Upaya produksi

beras dan antisipasi dan respon cepat untuk menghadapi kondisi iklim ekstrim.

Menteri-menteri menetapkan kewenangan masing-masing dalam

mengamankan produksi beras, seperti menteri pertanian, melakukan analisis

resiko dampak iklim ekstrim terhadap produksi dan distribusi beras serta

mendiseminasikan informasi kepada petani.

Meningkatkan luas lahan dan pengolahan air irigasi untuk pertanian padi

untuk mengantisipasi dan mengatasi kondisi iklim ekstrim, meningkatkan

ketersediaan benih, pupuk dan pestisida yang sesuai, baik dalam jenis, mutu,

waktu, lokasi, dan jumlah; meningkatkan tata kelola usaha tani, pengendalian

organisme pengganggu tanaman, penanganan bencana banjir, dan kekeringan

pada lahan pertanian padi; menyediakan dan menyalurkan bantuan benih, pupuk,

serta bantuan biaya usaha tani, bagi daerah yang mengalami puso dan terkena

(20)

Meningkatkan kinerja petugas lapangan dalam mengantisipasi dalam

melaksanakan respon cepat dampak kondisi iklim ekstrim, meningkatkan alat dan

mesin pertanian, baik dalam jumlah maupun mutu untuk mempercepat

pengelolaan usaha tani padi.

Meningkatkan kegiatan pasca panen untuk mengurangi kehilangan hasil

dan penurunan mutu gabah/beras; memperkuat cadangan beras pemerintah,

pemerintah daerah, dan masyarakat; meningkatkan penganekaragaman konsumsi

dan cadangan pangan, terutama dengan memanfaatkan sumber pangan lokal

(INPRES NO.5, 2013).

Sekalipun demikian kebijakan-kebijakan yang telah disarankan oleh

pemerintah dalam meningkatkan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh

petani padi tidaklah semakin membaik banyak masalah-masalah yang dihadapi

oleh para petani seperti masyarakat yang menjalankan saran dari pemerintah

menjadikan mereka menjadi bersifat pasif dan hanya menjadi pembeli dan tidak

menggunakan dan mengaktifkan pengetahuan-pengetahuan yang mereka miliki

yaitu yang diwariskan dan melalui pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Sejak

tahun 1985 hingga sekarang, produk padi menurun. Bahkan seiring dengan krisis

moneter yang merebak menjadi krisis ekonomi berkepanjangan, pemerintah hanya

melakukan impor beras secara besar-besaran dari negara tetangga, seperti

Thailand, Filipina, dan Vietnam.

Program modernisasi pertanian melalui BIMAS dan INMAS tersebut,

alih-alih memberikan nilai tambah kepada para petani, justru semakin

(21)

jual hasil panen. Akibat keadaan tersebut, posisi petani semakin terpuruk kejurang

kemiskinan dan “pemiskinan” yang lebih dalam.

Data-data statistik sebelum krisis ekonomi terjadi memperlihatkan tingkat

penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia yang cukup drastis, tinggal

sekitar 20 juta orang. Setelah krisis ekonomi berlangsung setahun, jumlah

penduduk miskin di Indonesia hampir mencapai lebih 80 juta orang.

Menunjukkan pertumbuhan dan mental ekonomi yang dianggap “kuat” ternyata

rapuh.

Dampak sosial yang lebih parah adalah musnahnya sebagian kekayaan

hayati petani, padahal aset tersebut merupakan kekayaan yang sangat bernilai bagi

keberlangsungan hidup petani. Terjadinya erosi genetik untuk berbagai jenis padi

tradisional disebabkan oleh sikap arogansi pemerintah yang melarang petani

menanam berbagai varietas padi lokal, padahal berbagai penelitian menunjukkan

bahwa jenis padi lokal terbukti lebih tahan terhadap serangan hama daripada

varietas padi impor.

Kerugian sosial dan ekologis adalah musnahnya predator dan tumbuhan

lain disekitar areal persawahan. Bersamaan dengan itu, muncul pula hama

tanaman khususnya hama padi yang lebih tahan terhadap obat pembasmi, seperti

wereng dan tungro. Akibat penggunaan pestisida yang berlebihan untuk

membasmi wereg dan tungro, keanekaragaman hayati dan kualitas ekosistem

persawahanpun ikut menurun.

Kajian ini mengenai pengetahuan lokal petani yang tidak terbatas pada

(22)

Perhatian terhadap pengetahuan lokal yang dipraktikkan petani juga penting

untuk pembangunan pertanian.

Pengetahuan yang di miliki oleh petani yang ingin ditekankan bagaimana

proses belajar sangat terkait pada pengamatan dan pengalaman langsung, sedikit

sekali hasil belajar formal (Yunita T. Winarto dan Ezra M. Choesin 2001:93), dan

juga pengetahuan menjadi landasan utama berkembangnya potensi, talenta,

kreativitas, dan jati diri petani.

Sri Alem Br Sembiring (2005:86) mengemukakan bahwa salah satu hal

yang seringkali terjadi dalam penerapan pengetahuan ilmiah oleh para ahli

(scientist) kepada petani adalah diabaikannya pengetahuan-pengetahuan lokal dan

kemampuan potensial mereka untuk berkembang. Pengetahuan petani cenderung

dipandang sebelah mata dan dinilai ‘kampungan’ atau tidak mengikuti

perkembangan zaman.

Kenyataannya dengan kearifan dan pengetahuan lokal bencana alam yang

terjadi bisa diminimalisir baik materi maupun immateri. Meskipun pengetahuan

lokal tersebut banyak diperdebatkan dalam dunia keilmiahan (reason), tetapi dari

beberapa kejadian, pengetahuan lokal (unreason) tersebut tidak dapat diabaikan

keberadaannya5.

Kearifan dan kebijakan yang bersifat lokal mengenai kebertanian yang

peduli pada sesama manusia dan alam semesta telah dihancurkan oleh pertanian

yang berorientasi kepada penggemukan modal dan juga sekarang ini banyaknya

tulisan telah melaporkan bahwa petani-petani senantiasa sebagai inovator yang

(23)

secara terus menerus bereksperimen (percobaan). Pertanian pun bergeser dari

corak subsisten kepembentukan usaha tani dan masyarakat moderen akan

menunjukkan persoalan yang semakin kompleks, dengan munculnya ide-ide baru

dan tehknologi yang semakin canggih6.

Kalau manusia primitif dan tradisional banyak menghadapi kendala yang

irasional, dewasa ini mereka kembali menemui jalan buntu justru ditengah-tengah

struktur masyarakat modern yang serba rasional. Percobaan yang berkelanjutan ini

dilakukan petani juga dikarenakan mereka menghadapi kondisi ketidakpastian

akan iklim, harga pasaran, serangan hama, dan penyakit. Ketidakpastian ini juga

merupakan suatu persoalan lain yang harus dipikirkan petani untuk mengatasinya.

Kondisi ketidakpastian ini akan berhubungan langsung dengan hasil panen atau

pendapatan mereka.

Perubahan dari kondisi ketidakpastian ini membutuhkan penanganan yang

baru, dari hasil telaah tersebut menunjukkan bahwa petani juga memiliki daya

yang patut diperhitungkan. Diharapkan terwujudnya rakyat dalam pengelolaan

sumber daya alam berkelanjutan melalui pengakuan, penghormatan, dan

perlindungan atas hak-hak masyarakat setempat. Sangat diutamakan berperan

adalah rakyat petani itu sendiri. Hal yang paling baik adalah mempertahankan

posisi mereka, hak-hak mereka, misalnya melalui konsep-konsep pemberdayaan

yang lazim dilakukan pihak LSM.

(24)

1.2. Tinjauan Pustaka

Kearifan budaya lokal (local wisdom) merupakan perilaku positif manusia

dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya, bersumber dari

nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek-moyang, atau budaya setempat, yang

terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi

dengan lingkungan di sekitarnya.

Sistem kearifan lokal dalam bidang pertanian merupakan suatu

pengetahuan yang utuh berkembang dalam budaya atau kelompok etnik tertentu

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara subsisten sesuai kondisi lingkungan

yang ada (Francis wahono, dkk 2005: 80).

Kearifan lokal dapat juga didefinisikan dengan berbagai cara tergantung

bagaimana kita melihat kearifan lokal itu sendiri. Pakar ilmu-ilmu sosial

menangkap perilaku pola hidup masyarakat tradisional dengan

mendefinisikannya menjadi kearifan lokal.

Mereka mengatakan, kearifan budaya lokal adalah cara dan praktik yang

dikembangkan oleh sekelompok masyarakat, yang berasal dari pemahaman dan

interaksi mendalam akan lingkungan tempat tinggalnya. Kearifan budaya lokal

berasal dari masyarakat untuk masyarakat yang dikembangkan dari generasi ke

generasi, menyebar, menjadi milik kolektif, dan tertanam di dalam cara hidup

masyarakat setempat. Masyarakat memanfaatkan tata atur kearifan lokal untuk

menegaskan jati diri dan bertahan hidup7.

7

(25)

Pengertian kearifan lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia terdiri dari

dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan

wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia

(Sartini 2006:111), kearifan lokal diderivasi dari dua kata yaitu kearifan (wisdom)

atau kebijaksanaan; dan lokal (local) atau setempat. Jadi menurut beliau, gagasan

setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan

diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Kementrian pertanian (2012) mengartikan kearifan lokal merupakan

pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan,

norma-norma, nilai-nilai dan budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos

yang dianut dalam waktu cukup lama.

Pengetahuan yang tertuang dalam norma-norma dan nilai-nilai tersebut

dapat dikatakan sebagai hukum adat, karena hal yang mengidentifikasi kearifan

lokal adalah hukum-hukum adat yang berkembang sesuai dengan perkembangan

pengalaman empiris masyarakat hukum adat, sehingga hukum adat tidak hanya

norma-norma dan nilai-nilai yang menyejarah, tapi juga kesepakatan-kesepakatan

baru berdasarkan pengalaman empiris yang mungkin saja kesepakatan yang masih

relatif baru dibuat oleh para pendukung.

Menurut Ali Ridwan (2007) kearifan lokal merupakan pengetahuan yang

eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama

masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami

bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat

menjadikan kearifan lokal sebagai energi potensial dari sistem pengetahuan

(26)

Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak hanya sekedar sebagai acuan

tingkah laku seseorang tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan

masyarakat yang penuh keadaban. Secara substansial, kearifan lokal itu adalah

nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini

kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari masyarakat

setempat.

Sartini (2006:112), mengatakan bahwa kearifan budaya lokal (local genius)

adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan

budaya lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan

berbagai nilai yang ada. Kearifan budaya lokal terbentuk sebagai keunggulan

budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan

budaya lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara

terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang

terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

Irene Tarakamita dan Maria Yuni Megarini Canyono (2013:4), kearifan

budaya lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis,

berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan

pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya.

Suhartini (2009:1) kearifan local merupakan tata nilai atau perilaku hidup

masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara

arif. Maka dari itu pengetahuan lokal bukanlah sesuatu yang terberikan dalam

bentuk yang relatif tetap, melainkan bersifat luwes dengan batas-batas ruang dan

waktu yang tidak jelas. Dengan adanya kontrak antar berbagai masyarakat, sulit

(27)

sebaliknya, masyarakat Y adalah mereka yang memiliki pengetahuan Y.

Pengetahuan terbentuk dan dimodifikasi dalam praktek keseharian yang bisa

melibatkan berbagai pihak di luar masyarakat yang bersangkutan, walau

prosesnya tidak akan selalu cepat untuk masing-masing individu.

Suhartini (2009:2) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk

pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau

etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas

ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan

diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia

terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.

Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhluk

integral dan merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh

tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua

kehidupan di alam semesta. Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam

suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan

diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan

menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap

alam.

Lubis (2012:3) menyatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki sistem

pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan ditumbuh kembangkan

terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat disini adalah

mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan

(28)

Setelah melihat beberapa uraian pengertian kearifan lokal diatas tulisan ini

ingin melihat kearifan lokal petani Pangaribuan dalam mengelola padi sawah

berupa gagasan dan nilai-nilai yang terbentuk sebagai keunggulan budaya demi

mencapai hasil yang maksimal dalam pembangunan daerah.

Masyarakat Pangaribuan mayoritas adalah bertani, khususnya padi sawah.

Manfaat kearifan lokal yang mereka pakai adalah sangat bermanfaat bagi

kehidupan mereka, khususnya dalam bidang pertanian. Petani Pangaribuan

mengelola pertanian mereka dengan menggunakan pengetahuan lokal yang

mereka miliki, sehingga dapat mengelola lahan dengan baik, seperti mengetahui

kapan mengelola lahan, melakukan pembibitan, menanam padi, mengantisipasi

hama yang mengakibatkan kegagalan panen, dan juga sampai pada pemanenan.

Noor (2007:4) dalam Badai Sembiring 2011, mengatakan bahwa pengetahuan

lokal merupakan konsep yang lebih luas yang merujuk kepada pengetahuan yang

dimiliki oleh sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu dalam waktu yang

lama. Dalam pendekatan ini tidak penting masyarakat tersebut lama atau tidak

tinggal dalam wilayah tersebut yang paling penting adalah bagaimana mereka

beradaptasi dan berinteraksi dalam lingkungannya.

Dalam Muhamat Noor, Jhonson menjelaskan (2008:3), pengetahuan

indigenous adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok

masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan

alam. Pengetahuan seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan

dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pengetahuan ini juga merupakan hasil

(29)

masukan internal dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyesuaikan

dengan kondisi baru setempat. Oleh karena itu pengetahuan indigenous ini tidak

dapat diartikan sebagai pengetahuan kuno, terbelakang, statis atau tak berubah8.

Dalam uraian pendapat Jhonson di atas dapat kita simpulkan bahwa pengetahuan

tentu berkaitan dengan teknologi yang akan digunakan oleh masyarakat dalam

mengelola pertanian mereka.

Penggunaan teknologi yang tidak tepat guna dapat mengganggu keseimbangan

alam seperti perubahan iklim, krisis air bersih, pencemaran udara, dan berbagai

krisis ekologi lainnya, oleh sebab itu kita perlu kembali mengembangkan dan

melestarikan kearifan lokal yang berkembang di masyarakat pedesaan9.

Hal ini sesuai dengan pendapat Suhartini bahwa kearifan lokal ikut berperan

dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungannya. Namun demikian

kearifan lokal juga tidak lepas dari berbagai tantangan seperti: bertambahnya terus

jumlah penduduk, teknologi modern dan budaya, modal besar serta kemiskinan

dan kesenjangan. Adapun prospek kearifan lokal di masa depan sangat

dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat, inovasi teknologi, permintaan pasar,

pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman hayati di lingkungannya serta

berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan pengelolaan

sumberdaya alam dan lingkungan serta peran masyarakat lokal (Suhartini 2009:1).

8

http://kubuskecil.blogspot.com/2014/02/pengertian-kearifan-lokal.html. 15 September 2014

9

(30)

Dalam tulisan ini peneliti akan mengulas tantangan-tantangan seperti apa yang

dihadapi oleh kearifan lokal masyarakat sebagai akibat kemunculan teknologi.

Pemikiran filosofis dari teknologi yang dilakukan Quintanalla (1998) tersebut,

adalah bentuk dari tercerabutnya nilai-nilai dalam kebudayaan manusia sekaligus

terpisahnya teknologi dari ibu kandungnya, yaitu sains.

Winarto (2007), mengatakan bahwa petani di Kabupaten Indramayu memiliki

nilai-nilai kemandirian dalam pemuliaan tanaman. Petani Indramayu memiliki

pengetahuan lokal yang masih diterapkan, tetapi tidak menutup diri dalam

mempelajari pengetahuan dari teknologi baru yang berkembang dalam pertanian

untuk digabungkan dalam pengelolaan lahan pertanian untuk memaksimalkan

pendapatan.

Kehidupan seperti zaman ini para petani harus dengan sekuat tenaga dalam

merawat tanaman padi guna meningkatkan kualitas dan kuantitas panen padi

untuk memaksimalkan pendapatan. Namun untuk mencapai kesuksesan manusia

tidak pernah luput dari kegagalan dan masalah-masalah untuk mendapatkan hasil

terbaik yang telah di impikan setiap orang, termasuk petani Pangaribuan yang

tujuannya juga untuk meningkatkan sektor pertanian Indonesia.

Ketua Umum Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HA-IPB) Bambang

Hendroyono, menyatakan sektor pertanian di Indonesia hingga kini masih

dihadapkan pada persoalan klasik untuk dapat meningkatkan produktivitas beras

nasional. Hal ini dikatakan Bambang, dalam Musyawarah Daerah HA-IPB di

Bandar Lampung, Minggu (6/4), bersamaan dengan pengukuhan kepengurusan

(31)

ada dua persoalan klasik yang dihadapi sektor pertanian. Pertama, konversi lahan

(pertanian) yang setiap tahunnya mencapai 100.000 hektar. "Kedua,

kecenderungan perilaku generasi muda di pedesaan yang tidak lagi tertarik ikut

serta dalam kegiatan pertanian padi karena dianggap tidak menarik," kata

Bambang dalam siaran pers yang diterima JPNN10.

Persoalan itu sangat disayangkan karena faktanya hampir 90 persen rakyat

Indonesia mengonsumsi beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Bahkan,

selama hampir tujuh dekade Indonesia merdeka, secara dramatis kebijakan

pemerintah telah menjadikan beras sebagai pengganti keragaman bahan makanan

pokok rakyat Indonesia11.

Oleh karena itu peneliti ingin mengulas persoalan-persoalan yang di hadapi

petani di Pangaribuan yang akhirnya dapat menurunkan kualitas dan kuantitas

hasil pertanian, yang mengakibatkan merosotnya sektor pertanian Indonesia.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah

dalam penelitian ini “pengetahuan lokal petani dalam mengelola padi sawah di

desa Pangaribuan”. Rumusan masalah dapat diuraikan dalam pertanyaan

penelitan berikut ini:

10

http://www.jpnn.com/read/2014/04/06/226639/Pertanian-di-Indonesia-Masih-Hadapi-Masalah-Klasik-. 15 September 2014

(32)

1. Bagaimana pengetahuan petani Pangaribuan dalam mengelola

pertanian khususnya tanaman padi?

2. Bagaimana sumber-sumber pengetahuan tersebut diperoleh?

3. Kendala-kendala seperti apa yang dihadapi oleh para petani dalam

pengelolaan tanaman padi?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini ialah untuk memberikan gambaran tentang tinjauan

antropologi mengenai kearifan lokal dalam pengelolaan padi sawah oleh petani di

desa Pangaribuan. Bagaimana masyarakat memperoleh pengetahuan tersebut,

mengetahui kendala-kendala yang dihadapi petani dalam pengelolaan tanaman

padi.

Setiap penelitian diharapkan memberikan manfaat baik untuk masyarakat

luas, peneliti maupun warga masyarakat setempat. Tersedianya data-data

penelitian mengenai pengetahuan lokal suatu masyarakat diharapkan mampu

memberikan gambaran dan masukan dalam pembangunan pertanian di daerah

setempat dan di Indonesia pada umumnya.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah terbentuknya

kesadaran yang lebih besar mengenai kehidupan petani yang tidak hanya di

jadikan objek namun sebagai subjek, untuk mencapai pembangunan pertanian

yang berkelanjutan. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

(33)

1.5. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode

penelitian kualitatif dalam mengumpulkan data-data penelitian, yang akan

diperoleh dari tetua adat, masyarakat setempat, yang dianggap dapat memberikan

informasi kepada peneliti sesuai dengan yang dibutuhkan peneliti tersebut.

Menurut Lexy j. Moleong penelitian kualitatif adalah penelitian yang

bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang terjadi dan dialami oleh

subjek penelitian diantaranya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain.

Dalam memanfaatkan berbagai metode kualitatif berupa pengamatan, wawancara

dan studi kepustakaan. Metode kualitatif yang bersifat deskriptif untuk dapat

menggambarkan keadaan masyarakat Pangaribuan. Penelitian ini juga bersifat

etnografi yang bertujuan memahami pengetahuan lokal yang dimiliki petani

dalam mengelola padi sawah.

Dalam panelitian ini peneliti mengumpulkan data-data primer dan sekunder

untuk memperoleh data primer yang dibutuhkan peneliti. Peneliti menggunakan

teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Observasi

Pengamatan dilakukan peneliti dengan cara turun kelapangan, mengamati

kegiatan masyarakat setempat, mengamati semua aktivitas petani dalam

mengelola sawah mulai dari proses pembajakan hingga pemanenan, juga

pengetahuan-pengetahuan seperti apa yang petani terapkan dalam mengelola

(34)

Teknik observasi dapat digolongkan menurut tehnik observasi yang

berstruktur dan yang tidak berstruktur. Observasi yang dilakukan untuk

memperoleh gambaran tentang masyarakat yang sebenar-benarnya baik tindakan,

percakapan, tingkahlaku dan dilakukan dengan keterlibatan peneliti secara

langsung dalam kehidupan masyarakat yang diteliti seperti kegiatan, percakapan

dan percakapan dan pekerjaan mereka. Bentuk observasi yang dilakukan oleh

peneliti adalah observasi partipasi. Yang dimaksud dengan observasi partisipasi

adalah pengumpulan data dengan observasi terhadap objek yang diamati dengan

hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktivitas kehidupan objek

pengamatan.

2. Wawancara

Wawancara yang dilakukan yaitu teknik wawancara mendalam. Wawancara

mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan

cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan terlibat

langsung dalam kehidupan sosial yang lebih lama.

Model wawancara yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara tidak terstruktur. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang

digunakan untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal.

Pertanyaan yang diajukan tidak disusun lebih dahulu, tetapi disesuaikan dengan

keadaan dan ciri yang unik dengan informan. Pelaksanaan tanya jawab mengalir

seperti percakapan sehari-hari. Wawancara tidak terstruktur bersifat bebas dan

santai, dengan memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada informan

(35)

posisi penulis sebagai peneliti dan juga sebagai pekerja yang turut mengerjakan

aktivitas pertanian penulis melakukan wawancara seperti percakapan biasa

sehari-hari sehingga tidak membuat informan yang penulis wawancarai merasa bosan

takut dengan penulis.

Wawancara penulis mulai dengan petani-petani yang sedang bekerja di sawah

juga masyarakat yang juga petani padi sawah yang sedang bersantai di halaman

rumah peneliti memanfaatkan kesempatan tersebut untuk bercerita-cerita dengan

mereka sekaligus untuk mendapatkan informasi tentang pengelolaan padi sawah.

Informan yang terdapat dalam skripsi ini berjumlah 28 (duapuluh delapan) orang

yang berprofesi sebagai petani. Informasi-informasi yang diberikan semua

informan menurut penulis sangat relevan dan real sesuai dengan kondisi pertanian

yang terjadi saat ini di Pangaribuan dan hal ini sangat mendukung skripsi ini.

Sementara studi kepustakaan diperoleh melalui studi kepustakaan,

dokumentasi, bacaaan dari sumber online/internet, dan sumber lain yang di

(36)

BAB II

GAMBARAN UMUM KECAMATAN PANGARIBUAN

2.1. Letak dan Akses Menuju Pangaribuan

Pangaribuan yang terletak di kabupaten Tapanuli Utara, provinsi Sumatera

Utara. Jarak Pangaribuan dengan ibukota kabupaten Tapanuli Utara yaitu

Tarutung adalah 48 Km, dengan jarak tempuh lebih kurang 1 (satu) jam

perjalanan. Jarak Pangaribuan dengan Provinsi Sumatera Utara yaitu Medan

adalah 300 Km, dengan jarak tempuh lebih kurang 8 (delapan) jam.

Secara geografis Pangaribuan mempunyai luas wilayah 459,25Km2 atau

sekitar 12,11 persen dari total luas wilayah kabupaten Tapanuli Utara. Ditinjau

dari letak, pada bagian utara Pangaribuan berbatasan dengan Kecamatan

Sipahutar. Pada bagian barat berbatasan dengan Kecamatan Pahae Julu dan Pahae

Jae. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan. Pada bagian

timur berbatasan dengan Kecamatan Garoga.

Pangaribuan terletak pada ketinggian 500 s/d 1500 di atas permukaan laut.

Curah hujan Pangaribuan berkisar antara 3.000-4000 mm. Pangaribuan termasuk

beriklim sedang. Secara umum musim di Pangaribuan adalah musim hujan dan

musim kemarau. Untuk musim hujan terjadi antara bulan September hingga bulan

Mei. Musim kemarau terjadi antara bulan juni hingga bulan Agustus. Namun

perubahan alam yang terjadi sekarang ini akibat pemanasan global, musim di

(37)

Pangaribuan memiliki Topografi yang beragam mulai dari dataran rendah

0-2%, landai 3-15%, miring 16-40%, terjal ≥ 40% . daerah yang relatif datar di

tujukan oleh tingkat kemiringan 0-5%, sedangkan kemiringan 6-20% adalah

bergelombang, dan kemiringan 21-40% adalah perbukitan, dan 40% adalah lahan

terjal (lahan kritis).

Untuk mencapai Pangaribuan hanya dapat menggunakan jalur

perhubungan darat. Ada beberapa jalur untuk dapat masuk ke Pangaribuan, yaitu

melewati Sipahutar, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Melalui Sipahutar

merupakan jalur Utara, yang akan dijumpai adalah desa Sibikke yang merupakan

salah satu desa di Pangaribuan. Melalui jalur Tapanuli Tengah kita harus melewati

Pahae Jae (hilir) dan Pahae Julu (hulu) yang merupakan bagian Barat

Pangaribuan, selanjutnya masuk ke Sipahutar selanjutnya memasuki Pangaribuan.

Melalui jalur Tapanuli Selatan pertama sekali kita akan menjumpai desa

Simangimbar selanjutnya akan dilalui desa Silantom kira-kira 5 Km kita akan

mendapati Pangaribuan (Rahutbosi). Sepanjang perjalanan kita akan melihat

beberapa kelompok areal perumahan dan areal persawahan.

Jalan Pangaribuan sudah beraspal dan dalam kondisi yang bisa dikatakan

baik karena tidak ada ditemukan jalan yang berlobang. Hal tersebut memudahkan

untuk melintasi setiap desa, dan jika ingin berkunjung ke desa lainnya dengan

cepat dapat sampai ke tujuan dengan menggunakan kendaraan, karena semua jalan

untuk mencapai setiap desa telah beraspal tidak ada dijumpai jembatan atau tanah.

Memasuki Pangaribuan bisa menggunakan kendaraan pribadi maupun jasa

(38)

usaha angkutan berupa Bus ini akan berjalan atau lintas setiap harinya namun

pada jam tertentu saja. Yaitu pagi pukul 07.00-011.00 WIB. Sore pukul

04.00-08.00 WIB. Bus tersebut adalah bus yang berangkat keluar kota dan dalam kota

sesuai jam yang ditentukan. Pada hari rabu angkot baru berjalan karena

Pangaribuan hari itu adalah pasar tempat masyarakat Pangaribuan berbelanja, dan

sebagian dari masyarakat Pangaribuan menjual hasil pertaniannya. Angkot akan

mangkal di sekitar pasar sesuai tujuan ke desa mana angkot tersebut akan

mengantar sewanya, masyarakat tinggal menuju tempat mangkal angkot sesuai

desanya dan diantar sampai depan rumah masing-masing.

2.2. Sejarah Lokasi Penelitian

Sejarah terbentuknya Pangaribuan, pertama kalinya Pangaribuan ditempati

marga Pangaribuan, hingga terbentuklah desa Pangaribuan. Namun pada saat ini

desa Pangaribuan tidak ada lagi yang ada adalah kecamatan Pangaribuan,

sekalipun marga Pangaribuan sendiri tidak adalagi di Pangaribuan di karenakan,

dahulunya ada tiga marga yaitu keturunan Raja Sonang (Gultom) yaitu Datu

Tabbun Gultom, marga Sormin, dan marga Tambunan (Mata Sopiak Tabunan)

ketiganya pergi berburu ke hutan. Mereka bertiga melihat seekor burung (Igo

Gagap) yang begitu unik dan memiliki suara yang merdu. Mereka terus menerus

mengikuti burung tersebut. Tanpa disadari mereka bertiga telah berjalan amat jauh

namun terus memilih tidak untuk pulang. Tanpa mereka sadari mereka tiba di

sebuah desa yaitu Pangaribuan. Mereka melihat bahwa desa tersebut cocok

(39)

Mereka bertiga tidak lagi menghiraukan burung tersebut, dan memang

burung tersebut hilang entah kemana terbangnya tidak pernah muncul lagi.

Ketiganya kembali ke Samosir menjemput keluarga mereka masing-masing dan

memilih menetap di desa Pangaribuan tersebut.

Dahulu siapa yang kuat dialah yang berkuasa, prinsip tersebut terjadi di

desa Pangaribuan terjadilah konflik antara tiga marga pendatang terhadap marga

Pangaribuan. Konflik tersebut dimenangkan ketiga marga tersebut, sehingga

marga Pangaribuan tersingkirkan dan meninggalkan desa Pangaribuan marga

Pangaribuan pada waktu itu mengungsi ke daerah Timur Pangaribuan yaitu

Garoga dan menetap disana pada waktu itu. Pada akhirnya terbentuklah

Pangaribuan tiga negeri yaitu, negeri Gultom, negeri Pakpahan dan negeri

Sigotom (Tambunan) ketiga negeri inilah yang disebut kecamatan Pangaribuan

sampai sekarang.

Pada kesempatan ini setelah mengulas bagaimana sejarah kecamatan

Pangaribuan sebagai lokasi penelitian saya. Dimana kecamatan Pangaribuan

terdiri dari 26 desa. Peneliti akan mengambil sampel yang akan dijadikan sebagai

lokasi penelitian saya diantara ke 26 desa tersebut peneliti memilih desa

Batumanumpak. Saya tertarik dengan desa Batumanumpak yang terletak

disebelah selatan. Batumanumpak merupakan salah satu desa yang paling banyak

warganya yang mayoritas Gultom, dan desa yang pertama ditempati Datu Tabbun

Gultom yang merupakan pendiri Batumanumpak sendiri. Pada masa penjajahan

Belanda Datu Tabbun dan yang lainnya membuat lobang sebagai tempat

persembunyian di atas bukit, yang penuh dengan batu-batuan. Lobang yang dibuat

(40)

dikenal sebagai “Batu manumpak” yang artinya batu berbalik. Masyarakat

setempat sering menyebut bukit tersebut sebagai gunung batu. Setiap orang yang

datang ketempat tersebut tidak dibolehkan bercakap kotor, karena bukit tersebut

bukit bersejarah bagi masyarakat setempat dan Datu Tabbun Gultom di kuburkan

di atas bukit tersebut.

2.3. Keadaan Penduduk Pangaribuan

2.3.1. Jumlah Kependudukan

Secara keseluruhan penduduk Pangaribuan berdasarkan hasil pendapatan

oleh Tim Pendata kecamatan Pangaribuan berjumlah 27.111 jiwa, sebanyak

13.344 penduduk laki-laki dan sebanyak 13. 767 penduduk perempuan. Pada 75+

terlihat bahwa jumlah penduduk perempuan jauh lebih banyak dibandingkan

jumlah penduduk laki-laki, sekitar 73 persen penduduk pada kelompok usia 75 +

adalah perempuan, hal ini menunjukkan bahwa angka harapan hidup untuk

kelompok umur 75+ lebih besar perempuan dari pada angka harapan hidup

(41)

Tabel 2.1 Data Jumlah Penduduk Pangaribuan

Kelompok umur Laki-laki Perempuan Jumlah

0-4 1.921 1.865 3.786

5-9 1.986 1.774 3.760

10-14 1.667 1.624 3.291

15-19 1.128 1.031 2.159

20-24 655 493 1.148

25-29 858 839 1.697

30-34 925 855 1.780

35-39 814 778 1.592

40-44 767 754 1.521

45-49 629 687 1.316

50-54 584 671 1.255

55-59 471 625 1.096

60-64 331 493 824

65-69 229 415 644

70-74 188 342 530

75+ 191 521 721

Jumlah 13.344 13.767 27.111

Sumber: BPS Kabupaten Tapanuli Utara

Salah satu ciri penduduk Pangaribuan yang juga menjadi kebiasaan

masyarakat Toba adalah merantau. Penduduk Pangaribuan tidak terkecuali

perempuan maupun laki-laki semuanya adalah perantau yang berusia 18-40 tahun.

Para perantau tersebut merantau ke beberapa daerah di Indonesia seperti Pekan

Baru, Batam, Medan, Jakarta, dan kota-kota lainnya. Sebagian ada juga yang

(42)

2.3.2. Etnis dan Agama

Penduduk Pangaribuan adalah etnis Batak Toba yang merupakan penganut

agama Kristen Protestan mayoritas, sekalipun sebagian menganut agama Islam

dan Katolik itu hanya sebagian kecil saja. Sejalan dengan itu juga merupakan

suatu negeri yang kuat memegang adat istiadatnya, dimana garis keturunan Batak

Toba adalah dari ayah atau patrilineal. Masyarakat Pangaribuan sekalipun

berbeda-beda agama yang dianut tidak pernah saling berkonflik antar agama,

semua berjalan harmonis. Di mana masyarakat Pangaribuan ini saling menjujung

tinggi keagamaan dengan adat istiadat, dan tidak mempengaruhi masyarakatnya

untuk menjalankan adat dan agama yang dianutnya meskipun sedikit

bertentangan. Masyarakat tetap menjalankan perintah agama demikian sebaliknya

juga menjalankan adat yang mereka pakai.

Penduduk Pangaribuan sekarang ini secara keseluruhan tidak hanya terdiri

dari kumpulan marga SAMPAGUL, Tambunan, dan Siregar saja. Marga lainnya

sudah banyak berdatangan ke Pangaribuan ada yang tinggal di Pangaribuan

karena “Sodduk Hela” yang artinya, seorang gadis dari Pangaribuan dinikahi oleh

pria dari kampung yang bukan Pangaribuan misalnya marga Sihombing. Mereka

memilih menetap di kampung perempuan bersama keluarga si Perempuan, hal

itulah yang disebut Sodduk Hela, dan banyak terjadi di Pangaribuan sehingga

marga-marga seperti Sinaga, Simatupang, Sihombing, Pardede, dan lainnya

(43)

2.4. Mata Pencaharian

Penduduk Pangaribuan secara menyeluruh mempunyai potensi untuk

pengembangan pertumbuhan ekonomi di bidang pertanian, peternakan, perikanan,

industri. Namun tidak semua bidang di atas berkembang dengan baik karena

kurang dalam sistem pengelolaan dan keterbatasan modal. Hampir semua

masyarakat Pangaribuan menggantungkan perekonomiannya di bidang pertanian.

Sekitar 90 % masyarakat yang tinggal di Pangaribuan menjadikan pertanian

sebagai mata pencarian utama. Sisanya bergerak di bidang lainnya berupa PNS,

berdagang, industri rumah tangga, peternakan, dan perikanan. Namun hampir

semua masyarakat yang berprofesi sebagai PNS, pedagang, industri rumah tangga,

peternakan dan perikanan juga berprofesi sebagai petani.

Seperti yang diutarakan oleh Pak Tiar Harianja, bahwa menjadi seorang

petani sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan ekonomi sekarang ini.

Beliau mengatakan pendapatan saya tidak kalah dari seorang PNS atau

pegawai-pegawai lainnya. Saya tidak perlu lagi membeli beras karena hasil panen saya

setiap musimnya dapat memenuhinya dan bahkan berlebih. Kelebihan dari hasil

panen tersebut juga dijual untuk membantu memenuhi kebutuhan lainnya.

Pertanian merupakan mata pencaharian utama masyarakat Pangaribuan

dengan luas lahan mencapai 9.000 Ha. Jenis tanaman yang paling utama di bidang

pertanian adalah padi. Pangaribuan merupakan penghasil beras dengan mayoritas

padi unggul lokal (99%). Varietas tersebut terdiri dari padi Siborutambun, dan

(44)

yang tinggi dan kualitasnya juga sangat kompetitif di pasaran. Pada saat ini, harga

kedua varietas padi tersebut menduduki harga tertinggi di pasar mereka.

Disamping budidaya padi, petani Pangaribuan juga membudidayakan

buah-buahan dan tanaman perkebunan yang dapat meningkatkan perekonomian

masyarakat karena yang cukup tinggi dan pemasaran yang tidak begitu sulit.

Buah-buahan yang ditanami berupa nenas yang luas areal lahannya 45,65 ha,

dengan produksi sebanyak 793,81 ton. Jambu air yang memiliki luas areal

lahannya 12,33 ha, dengan produksi 13,99 ton, sedangkan tanaman dengan luas

panen terkecil adalah tanaman pisang yaitu dengan luas areal 0,90 ha dengan

produksi sebanyak 6,85 ton.

Tanaman perkebunan rakyat yang paling banyak diusahakan adalah

tanaman kemenyan dan kopi, dengan luas tanaman kemenyan dan kopi, dengan

luas areal 4.821,50 untuk tanaman kemenyan, dan luas areal kopi. 945,50 ha.

Tanaman perkebunan yang paling sedikit diusahakan oleh masyarakat

Pangaribuan adalah tanaman kemiri, dengan luas areal 13,50 ha. Beberapa

tanaman lainnya seperti jagung, kacang tanah, cabe, ubi kayu dan ubi jalar, serta

tanaman BIOFARMAKA (obat-obatan/bumbu dapur) juga mereka budidayakan

walaupun tidak dalam jumlah areal yang luas.

Untuk sektor peternakan, hewan ternak yang diminati adalah jenis

kambing, sapi, babi, kerbau, ayam, itik. Pemerintahan Pangaribuan memberi

perhatian terhadap sektor perternakan ini, karena terdapat peluang yang besar

untuk perkembangannya serta ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai.

(45)

pertanian, dimana hasil kotoran ternak akan diolah guna dijadikan pupuk kandang

untuk pemupukan berbagai tanaman yang dikembangkan pada lahan-lahan

pertanian yang dimiliki.

Berbeda halnya dengan sektor perikanan yang tidak begitu banyak. Di

Pangaribuan terdapat beberapa kolam yang dimiliki oleh perorangan dengan

budidaya yang tidak begitu besar. Terdapat kolam-kolam ikan yang tersebar di

tanah-tanah penduduk yang memilikinya. Terdapat usaha membudidaya ikan mas

untuk dijual di Rahutbosi, dan di peruntukkan untuk rumah makan sendiri di

Batunadua.

Ada juga beberapa petani padi sawah yang mencoba memaksimalkan

lahan sawah untuk mengembangkan bibit ikan. Selain kolam dan sawah, terdapat

juga ikan-ikan sungai yang terkadang juga diambil oleh penduduk sekitar. Untuk

ikan sungai, di Pangaribuan ini tidak memiliki aturan kepemilikan, dengan artian

siapa saja boleh mengambil dengan harus menjaga lokasi sungai dari pencemaran

saat mengambil ikan-ikan di dalamnya.

Jenis industri rumah tangga di Pangaribuan lebih terarah kepada bertukang

(bangunan rumah), panglong, dan bengkel. Jenis industri bertukang rumah

biasanya mereka tidak hanya di Pangaribuan saja kadang sampai keluar kota.

Mereka sampai ke luar kota karena kerabat mereka yang memperkenalkan mereka

kepada orang-orang yang ingin membangun rumah. Industri panglong

pemasarannya juga tidak hanya di dalam daerah saja tetapi juga sampai ke daerah

(46)

Sedangkan para ibu-ibu usaha industri yang mereka geluti adalah biasanya

menjahit dan menyulam, serta membuka salon. Usaha ini sangat berkembang,

karena di Pangaribuan banyak acara-acara yang dilangsungkan misalnya di gereja

dan pesta-pesta.

Pasar Pangaribuan berada pada satu wilayah pemerintahan kecamatan

Pangaribuan. Pasar rakyat tersebut dinamakan onan. Pasar Pangaribuan

berlangsung sekali seminggu tepatnya hari Rabu. Pada saat ini keadaan Onan

telah jauh berubah dan berkembang fasilitas perniagaan di dalamnya.

Aktifitas pasar berlangsung pada pagi sampai petang hari, dimana hal ini

sama dengan aktifitas pasar di daerah-daerah lainnya di Kabupaten Tapanuli

Utara. Jenis perdagangan pada pasar ini berupa perdagangan tradisional yang

didominasi barang-barang primer berupa kebutuhan pokok sehari-hari. Selain itu,

pedagang menjual hasil ladang di pasar rakyat ini.

2.4.1. Sejarah Pertanian

Sejarah pertanian Pangaribuan berkaitan erat dengan sejarah terbentuknya

Pangaribuan. Dilihat dari letak-letak areal pertanian sekarang ini, dahulunya

petani memulai pertanian di daerah Pangaribuan membuka lahan pertanian

berdekatan dengan air dan juga rawa-rawa. Para petani mengatakan, bahwa sawah

mereka berada di dekat pegunungan dan sungai, sedangkan ladang berada di hutan

yang petani kelola sendiri. Merupakan warisan dari nenek moyang. Yang

diberikan secara turun-temurun kepada anak cucunya.

Dahulunya petani Pangaribuan menentukan lahan sebagai milik pribadi

(47)

memiliki lahan yang paling luas, petani bekerja terus jika sudah terlihat sangat

luas dan merasa sangat cukup untuk dikelola maka petani tersebut berhenti,

demikianlah menentukan luas lahan mereka, karena zaman nenek moyang yang

menentukan batas lahan mereka adalah mereka sendiri sampai dimana dia bisa

sampai disitulah milik dia. Tidak ada surat tanah namun tidak pernah terjadi

perdebatan di antara mereka. Maka sampai sekarang keluarga yang memiliki

lahan luas berarti nenek moyang mereka (oppung) mereka dahulu adalah pekerja

keras dahulunya, ditandai dari luas lahan. Seperti yang dikatakan oppung Mekar:

Oppungku najolo parkarejo namaccai gogo do, boi dibereng sian hauma nami saonnari, nungga sappe onom turunan adong dope tano siulaon nami. Hauma nang tombak dohot akka ordang. (Oppung saya dahulu adalah seorang pekerja keras, di tandai dari sawah yang kami miliki, bahkan sampai enam keturunan kami masih memiliki lahan yang cukup untuk kami kelola, tidak lain sawah maupun ladang, atau hutan yang belum kami kelola).

Petani Pangaribuan menentukan posisi lahan berupa tanah-tanah yang

berada di dekat sumber air, dengan alasan mempermudah petani mendapatkan

pasokan air untuk pengelolaan lahan pertanian. Selain itu para petani juga

beranggapan tanah yang berada didekat sumber air merupakan salah satu tanah

yang subur untuk di jadikan lahan pertanian. Seperti yang dikatakan Op pada:

(48)

Menggunakan pengetahuan yang dimiliki, petani dahulu mengolah

tanah di sekitar sungai menjadi areal persawahan. Untuk areal ladang

mereka memilih daerah hutan. Mengenai tingkat kesuburan tanah menurut

petani di Pangaribuan untuk tanaman persawahan adalah jenis tanahnya

yang bercampur pasir, untuk ladang biasanya yang ditumbuhi tumbuhan

arsam dan pohon-pohon besar berarti tanahnya itu pasti lebih subur kata

Pak Tina.

Jenis tanaman pada masa ini berupa tanaman padi untuk persawahan.

Informasi mengenai jenis tanaman informasi mengenai jenis tanaman padi sawah

ini didapat karena lahan sawah yang ada di Pangaribuan telah ada semenjak nenek

moyang mereka membuka daerah Pangaribuan. Jenis padi yang dikembangkan

sudah ada sejak jaman nenek moyang dan sampai sekarang mereka gunakan

sekalipun sebagian di antaranya ada yang tidak mereka pakai lagi.

Sedangkan areal ladang jenis tanaman yang ditanam berupa padi ladang,

ubi, kopi, jagung, cabe, nenas, kacang tanah, kacang merah, pepaya, nangka, dan

jenis lainnya. Jenis tanaman ini diperoleh dari wawancara dengan informan Ibu

Heni yang mengatakan bahwa:

(49)

Hutan di Pangaribuan menghasilkan kayu-kayu seperti pinus, attur

mangan, anti api, salagunde. Tanaman yang berada di hutan ini digunakan oleh

masyarakat Pangaribuan dulu bahkan sampai sekarang untuk membuat rumah dan

perabotan rumah tangga, kayu bakar, ada juga untuk dijual.

2.4.2. Tata Ruang Pertanian

Pertanian di Pangaribuan terdiri dari pertanian lahan kering dan

persawahan. Luas areal ladang 1.945 ha dan persawahan 2.250 ha. Lokasi

persawahan dan ladang tersebar pada daerah landai pada setiap desa-desa yang

ada di Pangaribuan. Lokasi persawahan tersebut terletak berdampingan dengan

lokasi ladang. Kondisi jalan menuju persawahan di golongkan dalam keadaan

baik, karena kendaraan sepeda motor bisa memasuki wilayah persawahan, dan

sebagian wilayah persawahan tersebut terletak dipinggir jalan desa.

Jenis tanaman pada ladang berupa kopi, cabe, jagung, ubi kayu, nenas,

pisang dan jenis lainnya. Jenis padi yang ditanam di areal persawahan adalah jenis

padi lokal yaitu Siborutambun, Sikasumbo nabirong, sikasumbo nabotta, Tamba

Merah, Siharotas, Sirias, Sipulut Nabirong, Sipulut Nabottar dan jenis lainnya.

Setiap lokasi persawahan tersebut memiliki nama masing-masing yang diberikan

oleh penduduk terdahulu Pangaribuan. Setiap jenis padi memiliki jenis tersendiri

(50)

Tabel 2.2. Jenis padi yang masih di pertahankan di Pangaribuan

JENIS PADI CIRI-CIRI

DAUN BATANG BULIR TANGKAI

Siborutabbun -Lebar 2-3 cm

(51)

kira-Diantara jenis padi tersebut padi yang paling enak adalah padi jenis

Siborutabun. Enak berarti nasi yang dihasilkan Siborutabun ini berminyak, dan

lebih manis dari yang lainnya warnanya yang putih bersih membuat padi ini

memiliki nilai unggul dari warna merah misalnya, nasi yang sering dijual di

rumah makan yaitu nasi putih, meskipun nasi merah juga sangat bergizi.

Jenis-jenis padi dapat ditemukan di setiap bagian desa dan dusun-dusun di

Pangaribuan. Pada bagian Utara Pangaribuan, yaitu sawah-sawah desa Sibikke,

sawah Simpang Tolu, sawah Parsorminan, sawah Parlombuan, sawah Sigotom.

Bagian Timur terdapat, sawah Lumban Sormin, sawah Lumban Siantar, sawah

Pakpahan, sawah Tagahabbing, sawah Lumban Dongoran. Pada bagian Barat

terdapat sawah Harianja, sawah Lumban Tanjung, Sawah Parsibarungan. Bagian

Selatan yakni, sawah Batunadua, sawah Huta Baru, sawah Rahutbosi, sawah

Silattom. Tidak ada lagi masyarakat yang mengetahui secara mendetail asal-usul

dari nama lokasi persawahan tersebut.

Sumber irigasi pertanian sawah Pangaribuan berasal dari sungai yang

melintas di areal persawahan dan beberapa sumber mata air pegunungan yang ada.

Namun masyarakat Pangaribuan kebanyakan memanfaatkan air hujan.

Masyarakat menyebut sungai tersebut dengan sebutan aek godang artinya, air

yang banyak. Air yang mengalir dari Aek Godang beserta beberapa mata air

pegunungan yang ada ke seluruh areal persawahan melalui anak-anak sungai dan

(52)

2.5. Organisasi dan Kelembagaan Pangaribuan

Terdapat kelompok usaha masyarakat di Pangaribuan yang beranggotakan

para petani. Sistem kerja dari kelompok ini tergantung program kerja yang

dibentuk oleh tiap-tiap kelompok usaha. Keuntungan dari mengikuti kelompok

usaha ini berupa kemudahan-kemudahan bagi anggota untuk mencari tambahan

modal dan mendapatkan bahan-bahan yang di butuhkan untuk pertanian mereka.

Selain itu, mengenai informasi tentang usaha yang mereka jalankan sangat mudah

didapatkan melalui sosialisasi sesama anggota.

Pada bidang pertanian, para petani mendapat kemudahan dalam

mendapatkan pupuk. Pupuk ini disalurkan oleh pemerintah melalui kelompok tani

di Pangaribuan, seperti diutarakan Pak Dian, berupa:

Takkal sian pamaretta disalurhon tu akka petani melalui kelompok tani na dibahen, baru dijalo ketua kelompok tani ma selanjutna dipabuati akka anggota kelompok ma manang na dihubungi ma akka ketua kelompokna be. Pupuk dari pemerintah disalurkan kepada petani melalui kelompok tani yang ada. Nantinya akan diterima oleh ketua kelompok tani. Tiap-tiap anggota yang masing-masing untuk mengambilnya. Bagi anggota yang ingin memakai pupuk tersebut biasa menghubungi ketua masing-masing lalu menjemputnya.

Perkembangan kelompok usaha ini berdampak kepada perkembangan

usaha-usaha masyarakat Pangaribuan, terutama sektor pertanian. Hal ini

disebabkan semakin mudahnya petani mendapatkan pupuk sehingga tanaman

mereka tidak perlu sampai kekurangan pupuk, karena sewaktu-waktu stok pupuk

(53)

BAB III

PENGETAHUAN LOKAL PETANI MENGENAI MUSIM DAN

SUMBER DAYA ALAM

3.1. Keadaan Musim di Pangaribuan

Petani Pangaribuan memiliki pengetahuan lokal yang berkaitan erat

dengan aktifitas mereka dalam bercocok tanam, yaitu pengenalan musim.

Terdapat beberapa musim yang dikenal petani Pangaribuan, yaitu musim udan,

musim logo niari dan musim peralihan. Pada musim peralihan, para petani sering

menyebutnya musim abar (penyakit).

Perubahan iklim yang terjadi sekarang berpengaruh pula terhadap musim

di Pangaribuan. Perubahan yang terjadi berupa waktu terjadinya musim, dimana

petani tidak mampu lagi memprediksi dengan pasti kapan masuknya suatu musim.

Seperti musim udan yang tidak bisa dipastikan lagi terjadi pada bulan September

hingga Desember. Petani tidak mengetahui dengan pasti semenjak kapan

perubahan tersebut mereka sadari.

Pak Tina turut mengemukakan pendapat beliau mengenai perubahan yang

terjadi terhadap musim yang dikenal oleh petani Pangaribuan berupa:

Gambar

Tabel 2.1 Data Jumlah Penduduk Pangaribuan
Tabel 2.2. Jenis padi yang masih di pertahankan di Pangaribuan

Referensi

Dokumen terkait

Latar belakang dari pelaksanaan program ini adalah adanya serangan atau gangguan hama tikus sawah (Rattus argentiventer) yang menyerang tanaman padi (Oryza

Prof.. Yasniati Lubis : Analisis program pengendalian hama terpadu pada tanaman padi sawah dalam menciptakan..., 2001 USU e-Repository © 2008.. ANALISIS PROGRAM PENGENDALIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan petani responden dalam pengelolaan tanaman padi dan pengendalian hama dan penyakit

Di Kabupaten Bolaang Mongondow timur juga terdapat kelompok tani padi sawah yang tidak mengikuti kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) sehingga

utama yang sama yaitu bertani padi dan juga menggunakan sarana produksi irigasi yang sama, tetapi jika dilihat secara kasat mata terdapat perbedaan perkembangan

Keberhasilan dan keberlanjutan produktivitas tanaman padi sawah memerlukan motivasi petani yang baik dalam mengusahakan usaha tani padi sawah.Agar motivasi

Penanda Padi didefinisikan sebagai pendekatan pengelolaan tanaman padi yang dinamis dengan menampilkan teknologi dan pengelolaan budidaya terbaik sebagai penanda kunci; membandingkan

Pengaruh Faktor Interal dan Eksternal terhadap Kemandirian Petani dalam Penerapan Pengendalian Hama Terpadu pada Tanaman Padi Sawah Faktor internal atau karakterisitk responden yang