SHADOW STATE
Studi Kasus Tentang Konflik Status Sofifi
OLEH : Bahran Taib NIM: 201110270211021
Dosen Pembimbing I : Prof. Dr Syamsul Arifin, M.Si Dosen Pemimbing II : Dr. Tri Sulistyaningsih, M.Si
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim,
Segala Puji Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan semua rahmat,taufiq,hidayah-Nya sehingga penyusunan Tesis ini dapat terselesaikan . Tesis dengan Judul “ SHADOW STATE : STUDI KASUS TENTANG KONFLIK STATUS SOFIFI “ ini disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sosiologi pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Dalam penyusunan Tesis ini tentunya dapat terselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak,oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak,antara lain :
Isteriku yang selalu sabar dan memberikan dukungan moral dalam menempuh studi S2 Magister Sosiologi UMM.
Prof. Dr. Syamsul Arifin,M.Si, selaku dosen Pembimbing Utama dan DR. Tri Sulistyaningsih,M.Si selaku Pembimbing Pendamping yang penuh kesabaran,keikhlasan dalam memberikan masukan, bimbingan,saran,petunjuk,serta pengaran yang berkaitan dengan tesis ini, hingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan tesis ini.
Rektor UMM,Dr. Muhajir Effendy,M.AP,Direktur PPs- UMM,Dr. Latipun,M.Kes.
Drs.Rinikso Kartono,M.Si selaku Ketua Program Studi Magister Sosiologi yang selalu memberikan kemudahan selama penulis menyusun tesis ini.
Dosen- dosen pascasarjana Magister Sosiologi yang telah meluangkan waktunya untuk mendidik,mengantar dan serta bimbingan mulai dari awal hingga akhir studi.
Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi Kemdikbud yang telah memberi beasiswa BPPS selama penulis studi dipascasarjana UMM.
Pemprov Maluku Utara dan Pemkot Tikepyang telah memberi rekomendasi untuk penelitian di Sofifi dan kota Tidore.
Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari, bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena itu penulis mengharap adanya saran dan kritik dari semua pihak yang konstruktif demi kesmpurnaan tesis ini.
Akhirnya penulis hanya mampu berharap tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca sekalian, khususnya terhadap perkembangan ilmu Sosiologi dimasa mendatang.
Amien. Wassalam
Malang, Juli 2013
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Malang, Juli 2013
PERSEMBAHAN
Karya tulis ini kupersembahkan kepada :
Isteriku tercinta :Masyumi Ulfah Muhamaroh Santi,S.Pd, yang selalu memberikan dukungan moral dan spiritual (do’a),teman diskusi,canda tawa dan selalu semangat mendidik dan membesarkan anak-anak kami.
Anak-anakku tersayang :Nurul Hanum Salsabila ( Hanum ) dan Fairuz Qurunulbahri(ade Alam),kaka Hanum deng ade Alam selalu menjadi spirit papa selama menempuh studi S2 di UMM,kaka deng ade menjadi mutiara hidup yang tak ternilai harganya bagi papa dan mama dalam hidup.
MOTTO HIDUP
“ Dan tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang dikerjakannya besok “ (QS: Lukman:34)
“ Sekali layar terkembang surut kita berpantang,setiap keputusan apapun diambil pasti punya resiko,tapi hadapi resiko dari keputusan itu penuh sikap semangat dan tawaddu”
“ Kebenaran dan Kejujuran adalah spirit jiwa dalam mengarungi hidup yang fana ini”
“ Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat pada orang lain “ (
RIWAYAT HIDUP
Bahran Taib: lahir di Samo,21 Mei 1978 Kec. Gane Barat – Halmahera Selatan,Provinsi Maluku Utara, adalah anak dari Taib Abd.Rahman dan Nasiah Ibrahim. Isteri : Masyumi Ulfah Muhamaroh Santi,S.Pd. Anak : Nurul Hanum Salsabila dan fairuz Qurunulbahri.
Riwayat Pendidikan :
SDN Samo,lulus Tahun 1992
M.Ts.Negeri Kayoa,Guruapin lulus tahun 1996.
SMA Muhammadiyah Ternate,jurusan IPA,lulus Tahun 1999.
S-1 Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan ( UAD ),lulus 15 Mei 2005.
S-2 Sosiologi,konsentrasi Sosiologi Politik pada Program Pascasarjana UMM,lulus 31 Agustus 2013
Riwayat Pekerjaan :
Menjadi guru pada SMP Muhammadiyah 1 Ternate sejak Thn 2007-2008.
Menjadi Dosen Psikologi Prodi PGTK STKIP Kie Raha Ternate sejak Thn 2005- Thn 2010
Menjadi Dosen Psikologi dijurusan Kebidanan Poltekkes Negeri-ternate sejak 2007-2011
Menjadi Dosen PNS FKIP-Unkhair sejak 2008-sekarang.
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim,
Segala Puji Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan semua rahmat,taufiq,hidayah-Nya sehingga penyusunan Tesis ini dapat terselesaikan . Tesis dengan Judul “ SHADOW STATE : STUDI KASUS TENTANG KONFLIK STATUS SOFIFI “ ini disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sosiologi pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Isteriku yang selalu sabar dan memberikan dukungan moral dalam menempuh studi S2 Magister Sosiologi UMM.
Prof. Dr. Syamsul Arifin,M.Si, selaku dosen Pembimbing Utama dan DR. Tri Sulistyaningsih,M.Si selaku Pembimbing Pendamping yang penuh kesabaran,keikhlasan dalam memberikan masukan, bimbingan,saran,petunjuk,serta pengaran yang berkaitan dengan tesis ini, hingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan tesis ini.
Rektor UMM,Dr. Muhajir Effendy,M.AP,Direktur PPs- UMM,Dr. Latipun,M.Kes.
Drs.Rinikso Kartono,M.Si selaku Ketua Program Studi Magister Sosiologi yang selalu memberikan kemudahan selama penulis menyusun tesis ini.
Dosen- dosen pascasarjana Magister Sosiologi yang telah meluangkan waktunya untuk mendidik,mengantar dan serta bimbingan mulai dari awal hingga akhir studi.
Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi Kemdikbud yang telah memberi beasiswa BPPS selama penulis studi dipascasarjana UMM.
Rektor Unkhair ,Dr. Gufran Ali Ibrahim,M.Hum dan Dekan FKIP,Drs. Taib Latif,M.Hum yang telah memberi rekomendasi untuk studi di pascasarjana UMM.
Pemprov Maluku Utara dan Pemkot Tikepyang telah memberi rekomendasi untuk penelitian di Sofifi dan kota Tidore.
Penulis menyadari, bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena itu penulis mengharap adanya saran dan kritik dari semua pihak yang konstruktif demi kesmpurnaan tesis ini.
Akhirnya penulis hanya mampu berharap tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca sekalian, khususnya terhadap perkembangan ilmu Sosiologi dimasa mendatang.
Amien. Wassalam
Malang, Juli 2013
Penulis
DAFTAR ISI
JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN
ii
LEMBAR PENGESAHAN
iii
SURAT PERNYATAAN
iv
LEMBAR PERSEMBAHAN
v
MOTTO HIDUP
vi
RIWAYAT HIDUP
vii
KATA PENGANTAR
viii
DAFTAR ISI
x
DAFTAR GAMBAR
xiii
ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Permasalahan 6
1.3 Tujuan Penelitian 11
1.4Manfaat Penelitian 12
1.5 Kerangka Pemikiran 12
1.6 Metodologi Penelitian 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendahuluan
18
2.2 Konsep Desentralisasi 19
2.2.1 Definisi Desentralisasi 19
2.2.2 Karaktreristik dan Prinsip Desentralisasi 21
2.2.3 Dimensi dan Jenis Desentralisasi 22
2.3.1 Definisi Teori Hegemoni
2.6 Skema Kerangka Teori 40
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendahuluan
43
3.3 Konteks Penelitian 44
3.4 Prosedur Pemilihan Partisipan 45
3.5 Alat Pengumpulan Data 47
3.5.1 Catatan Lapangan 48
3.5.2 Literatur 48
3.5.3 Wawancara 48
3.6 Validitas Data 50
3.7 Reliabilitas Data 51
3.8 Etika Penelitian 52
3.9 Analisis Data 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Latar Belakang Kesultanan Tidore 56
4.1.1 Masa Pra- Kemerdekaan– Tidore Sebagai Negara Kesultanan
4.1.2 Masa Kemerdekaan– Kompromi Kesultanan Tidore dan Pemerintah Indonesia
60
4.1.3 Masa Orde Lama– Masuknya Papua ke dalam NKRI
61
4.1.4 Masa Orde Baru – Militerisasi dan Penyatuan Wilayah
62
4.1.5 Masa Reformasi– Kesultanan Tidore sebagai Shadow State
63
4.2 Berjalannya Konflik 67
4.2.1 Sumberdaya 67
4.2.1.1 Sumberdaya Intelektual 68
4.2.1.1.1 Hasil Kajian UI 68
4.2.1.1.2 Hasil Kajian UGM 70
4.2.2. Konflik 73
4.2.2.1 Konflik Laten 73
4.2.2.2 Konflik Manifest 77
4.3 Peran Kesultanan Tidore 83
4.4 Kekuatan Argumentasi Pihak Berkonflik 86
4.4.1 Argumentasi untuk menerima DOB Sofifi 86
4.4.2 Argumentasi untuk Menolak DOB Sofifi 91
4.5 Resolusi Konflik 93
4.6 Kesiapan Pihak Berkonflik untuk Resolusi 97
4.7 Implikasi Teoritis 100
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
108 5.1 Saran 109
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Daerah 8
Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran
15
Gambar 2.1 Teori Manajemen Konflik Thomas
36
Gambar 2.2 Teori Manajemen Konflik Deutsch
39
Gambar 2.3 Skema Kerangka Teori
42
Gambar 3.1 Peta Ternate, Tidore, Sofifi, dan Halmahera
45
Gambar 4.1 Wilayah Tidore Pra Kemerdekaan (mencakup Maluku, Papua, dan Kepulauan Pasifik Barat)
65
65
Gambar 4.3 Wilayah Tidore pada Masa Provinsi Perjuangan Irian Barat (Mencakup Maluku dan Irian Barat, Irian Barat diperoleh berkat kerjasama dengan Republik Indonesia)
66
Gambar 4.4 Wilayah Tidore Akhir Abad ke-20 (Mencakup Halmahera Tengah, Halmahera Utara berada di bawah Kesultanan Ternate, Wilayah Lain menjadi Daerah Administratif Republik Indonesia)
66
Gambar 4.5 Wilayah Tidore Tahun 2013 (Mencakup Kota Tidore Kepulauan, Wilayah Lain menjadi Daerah Administratif Republik Indonesia)
67
SHADOW STATE:STUDI KASUS TENTANG KONFLIK SOFIFI Bahran Taib,mahasiswa Pascasarjana Magister Sosiologi UMM
Tujuan dari tesis ini adalah mempelajari latar belakang dan peran kesultanan Tidore dalam konflik terkait status Sofifi sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) di Provinsi Maluku Utara. Peneliti menjelaskan kedudukan kesultanan Tidore dalam kerangka shadow state yang merupakan kekuatan politik alternatif dalam lingkungan desentralisasi modern di Indonesia. Shadow state dalam era desentralisasi modern di Indonesia merupakan faktor yang sangat penting dalam politik lokal dalam mengubah kebijakan dan strategi jangka pendek dan jangka panjang pemerintah. Karenanya, pengetahuan yang cukup mengenai latar belakang, harapan kesultanan, dan keinginannya sangat penting untuk menemukan solusi terbaik dalam menghadapi dinamika politik di daerah dan kemudian berperilaku sedemikian untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Dari analisis hasil wawancara dan studi literatur mengenai peran kesultanan Tidore dalam konflik Sofifi, peneliti menemukan kalau kesultanan Tidore memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankan Sofifi sebagai satu kesatuan administratif karena berkurangnya secara drastis wilayah kekuasaannya sejak masa pra kemerdekaan. Sejak berdirinya kesultanan, wilayah kekuasaan Tidore mencakup seluruh kepulauan di Pasifik Barat, termasuk pula Maluku dan Papua. Wilayah ini terus mengecil akibat imperialisme Barat dan sempat membesar ketika Tidore membantu NKRI dalam merebut Irian Barat. Setelah era Orde Baru, wilayah Tidore semakin mengecil hingga akhirnya tersisa mencakup hanya kota Tidore Kepulauan (Tikep). DOB Sofifi praktis akan membagi kota Tikep menjadi dua yaitu Tikep lama dan Sofifi dan berarti mengurangi lebih jauh kawasan kekuasaan kesultanan secara politis. Hal ini membuat kesultanan mendukung sepenuhnya Pemerintah Kota dan DPRD Kota Tikep yang merasa dilangkahi oleh pemerintah provinsi dalam mengambil keputusan terkait DOB Sofifi.
ditemukan kalau ada pemalsuan tanda tangan ketua DPRD dan walikota Tikep oleh pemerintah provinsi pada laporan ke Jakarta, dan ini menambah tingginya intensitas konflik. Solusi yang semestinya diambil adalah mediasi oleh pihak pemerintah pusat yang dinilai netral oleh kedua pihak. Hal ini karena upaya resolusi secara internal di Maluku Utara telah gagal dan membuat kedua pihak berseteru tetap pada pendiriannya masing-masing.
Kata kunci: daerah otonom baru, desentralisasi, elit politik lokal, kesultanan Tidore, shadow state
ABSTRACT
The purpose of this thesis is to study the background and role in the conflict-related Tidore sultanate Sofifi status as New Autonomous Region (DOB) in the province of North Maluku. The researcher explained the position of the Sultanate Tidore shadow state within the framework of which is an alternative political force in modern decentralized environment in Indonesia. Shadow state in the modern era of decentralization in Indonesia is a very important factor in local politics to change policies and strategies in the short-term and long-term government. Therefore, knowledge on the background, expectations empire, and his desire is very important to find the best solution in the face of the political dynamics in the region and then behave so as to maintain the unitary state of the Republic of Indonesia with social justice for all people. From the analysis of the interviews and literature studies on the role of Tidore sultanate in Sofifi conflict, researchers found that the Tidore sultanate had strong reason to maintain Sofifi as a whole due to reduced drastically administrative territory since pre-independence era. Since the establishment of the empire, covering the entire territory Tidore islands in the Western Pacific, including the Maluku and Papua. This region continues to shrink due to Western imperialism and was enlarged when Tidore help Homeland in West Irian. After the New Order era, the area gets smaller until finally Tidore include only city left Tidore Islands (Tikep). DOB practical Sofifi will divide the city into two Tikep Tikep old and Sofifi and means to reduce further the imperial power of the region politically. This makes the imperial government fully supports the City and City Council Tikep who felt bypassed by the provincial government in making decisions regarding DOB Sofifi.
chairman of the parliament and the mayor of the provincial government in Jakarta to report, and this adds to the intensity of the conflict. Solutions that should be taken is mediated by the central government which was considered neutral by the parties. This is because internally resolution efforts in North Maluku has failed and made the two warring parties remain in each establishment.
Daftar Pustaka
Agustino, L., Mohammad Agus Yusoff. 2010. Pilkada Dan Pemekaran Daerah Dalam emokrasi Lokal Di Indonesia: Local Strongmen DanRoving Bandits. Jebat: Malaysian Journal Of History, Politics, & Strategic Studies,Vol. 37 (2010): 86 – 104
Alhadar, S. 2000. The Forgotten War In North Maluku. Inside Indonesia, 63
Alkatiri, U. (2012). Pro Kontra Pemekaran Sofifi Sebagai Ibukota Provinsi Maluku Utara Dalam Kajian Teori Acf. Malang: Universitas Brawijaya.
Altmann, J., Canno, L., Flaman, R., Kulessa, M., Schulz, I. 2000. The Undp Role In Decentralization And Local Governance: A Joint Undp–Government Of Germany Evaluation. Undp
Arti, D.B. 2011. Analisis Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Dengan Perkembangan Industri Kelapa Sawit Nasional (Studi Kasus Di Ptpn Iv Medan Sumatera Utara). Tesis. Ipb
Asrinaldi, A., Mohammad Agus, Y. (2011) Otonomi Negara Dan Konsolidasi Demokrasi Di Indonesia: Implementasi Politik Kekuasaan Pusat Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Masyarakat, Kebudayaan, Dan Politik, 24(1): 6-16
Ballve, T. (2011) Territory By Dispossession : Decentralization, Statehood, And The Narco Land-Grab In Colombia. Paper Presented At The International Conference On Global Land Grabbing, 6-8 April
Bappenas (2008) Evaluation Of The Proliferation Of Administrative Region In Indonesia, 2001-2007. Bridge
Barr, C., E. Wollenberg, G. Limberg, N. Anau, R. Iwan, M. Sudana, M. Moeliono, And T. Djogo. 2001. Case Study 3: The Impacts Of Decentralization On Forests And Forest-Dependent Communities In Kabupaten Malinau, East Kalimantan. Case Studies On Decentralization And Forests In Indonesia. Cifor, Bogor, Indonesia.
Beckfield, J., Krieger, N. 2009. Epi+Demos+Cracy: Linking Political Systems And Priorities To The Magnitude Of Health Ineguities – Evidence, Gaps, And A Research Agenda. Epidemiol Rev;31:152–177
Biddulph, R. 2010. Bey Village And The Political Ecology Of Southeast Asian Forests, Dalam Politicized Nature: Global Exchange, Resources And Power An Anthology Edited By Eva Friman And Gloria L. Gallardo Fernández. Cefo Publication Series (The Former Cemus Publication Series) Number 2, Hal. 73-92
Boyce, M.E. (1996). Teaching Critically As An Act Of Praxis And Resistance. Electronic Journal Of Radical Organization Theory, 2(2): 14. Diunduh Tanggal 24 Februari 2013, Dari Http://Www.Mngt.Waikato.Ac.Nz/Ejrot/Vol2_2/Boyce.Pdf
Braithwaite, J., Ali Wardak. 2013. Crime And War In Afghanistan Part I: The Hobbesian Solution.Brit. J. Criminol. (2013) 53, 179–196
Brancanti, Dawn (2006). “Decentralization: Fueling The Fire Or Dampening The Flames Of Ethnic Conflict And Secessionism?”International Organization 60: 651-685.
Clark, W.A.V. 2011. Mobility And Mobility Contexts: Modeling And Interpreting Residential
Darmawan, R.E.D. 2008. The Practices Of Decentralization In Indonesia And Its Implication On Local Competitiveness. University Of Twente
Destradi, S. 2008. Empire, Hegemony, And Leadership: Developing A Research Framework For The Study Of Regional Powers. Giga Research Programme: Violence, Power And Security
Efendi, D (2012) Yogyakarta Collective Movements And Identity In Post-Suharto Indonesia: A Case Study In Javanese Ethnic Nationalism. Dalam 2012 International Conference Of Decentralization (Icodec) Proceeding, Hal. 189-211
Eikemo Ta, Bambra C. The Welfare State: A Glossary For Public Health. J Epidemiol Community Health. 2008;62(1):3–6.
Elmhirst, R., Resurreccion, B.P. 2008. Gender, Environment And Natural Resource Management: New Dimensions, New Debates. Dalam Gender And Natural Resource Management. Livelihoods,Mobility And Interventions Edited By Bernadette P.Resurreccion And Rebecca Elmhirst. London: Earthscan, 3-22
Fadilah, K.N. 2012. Pembangunan Kearsipan Dalam Kerangka Otonomi Daerah Di Indonesia. Jurnal Kearsipan, Vol 7/Anri/12/2012, 62-90
Falleti, T.G. 2005. A Sequential Theory Of Decentralization: Latin American Cases In Comparative Perspective.American Political Science Review Vol. 99, No. 3
Fazarianto, A. (2011) Teorisasi Demokrasi, Negara Bangsa, Dan Masyarakat Madani Dalam Perspektif Undang-Undang Dasar 1945. Proceeding Seminar NasionalPeran Negara Dan Masyarakat Dalam Pembangunan Demokrasi Dan Masyarakat Madani Di Indonesia, Hal. 1-16
Filiault, S.M., Drummond, M.J.N. (2007) The Hegemonic Aesthetic. Gay And Lesbian Issues And Psychology Review, 3(3):175-184
Findlay, A., Fyfe, N., Stewart, E. 2007. Changing Places: Voluntary Sector Work With Refugees And Asylum Seekers In Core And Peripheral Regions Of The Uk. International Journal On Multicultural Societies (Ijms)Vol. 9, No. 1, 54-74
Goss, J. 2000. Understanding The “Maluku Wars”: Overview Of Sources Of Communal Conflict And Prospects For Peace.Cakalele, Vol. 11 (2000): 7–39
Gramsci, A. (1971)Selections From The Prison Notebooks, London: Lawrence And Wishart. Guest, G., Namey, E.E., Mitchell, M.L. 2013. Collecting Qualitative Data A Field Manual For
Applied Research . London: Sage
Hall, J.R., Neitz, M.J., Battani, M. 2003. Sociology On Culture. London: Routledge
Hansen, T.B., Stepputat, F. 2006. Sovereignty Revisited.Annu. Rev. Anthropol. 35:16.1–16.21 Harvey, D. (2004) The Difference A Generation Makes. Dalam Reading Economic Geography,
T.J. Barnes, J. Peck, E. Sheppard, Dan A. Tickell (Eds). London: Blackwell, Hal. 19-28 Hidayat, S. 2006. Bisnis Dan Politik D Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa Dan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca Pilkada. Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia, Jakarta
Hidayat, S. (2010) Demokrasi Elitis? Relasi Kekuasaan Pasca Pilkada.Masyarakat, Kebudayaan, Dan Politik, 23(3):169-180
Http://Indonesiatimurvoice.Blogdetik.Com/2013/02/04/Rindu-Pemilukada-Damai-Di-Mal uku-Utara-Tanpa-Kekerasan-Dan-Anarkisme/
Indonesia Timur Voice (5 Februari 2013) Ternate: “Borok” Pengelolaan Apbd Di Maluku Utara.
Diunduh Tanggal 24 Februari 2013, Dari
Http://Indonesiatimurvoice.Blogdetik.Com/2013/02/05/Ternate-Borok-Pengelolaan-Apbd -Di-Maluku-Utara/
Jabes, J. 2004. The Role Of Public Administration In Alleviating Poverty And Improving Governance. Kuala Lumpur: Adb
Jafar, M. (2009) Perkembangan Dan Prospek Partai Politik Lokal Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis. Universitas Diponegoro
Jay, Martin 1973 The Dialectical Imagination. Boston: Little, Brown:
Jedawi, M (2012) The Role Of Bureucracy Increasing Competitiveness And Local Investment. Dalam 2012 International Conference Of Decentralization (Icodec) Proceeding, Hal. 212-223
Jessop, B. (2002). Governance And Metagovernance: On Reflexivity, Requisite Variety, And Requisite Irony. Bailrigg, Lancaster, Uk: Department Of Sociology, Lancaster University. Retrieved 14 Mei 2013, From Http://Www.Comp.Lancs.Ac.Uk/Sociology/Soc108rj.Htm Kaiser, F.M. 2011. Interagency Collaborative Arrangements And Activities: Types, Rationales,
Considerations. Congressional Research Service 7-5700
Kamaludin. 2010. Sokongan Politik Dan Leverage: Kasus Indonesia. Jurnal Ekonomi Bisnis No. 2, Volume 15 92-104
Kaplan Ga. Health Inequalities And The Welfare State: Perspectives From Social Epidemiology. Nor Epidemiol. 17(1):9–20
Keith, Green. (2005). Decentralization And Good Governance The Case Of Indonesia. Munic Personea Repec Archive. Diunduh Tanggal 24 Februari 2013, Dari Http://Mpra.Ub.Uni-Muenchen.De/18097/
Keohane, R. O. (1982). The Demand For International Regimes. International Organization, 36(2), 325–355
Kohly, N. (2010) An Exploration Of School-Community Links In Enabling Environmental Learning Through Food Growing: A Cross-Cultural Study. Master Thesis. Rhodes University
Kompas. (4 Agustus 2010) 85% Daerah Otonomi Kurang Layani Warga. Diunduh Tanggal 24
Februari 2013, Dari
Http://Regional.Kompas.Com/Read/2010/08/04/1023333/85.Daerah.Otonomi.Kurang.Lay ani.Warga-5
Kothari, C.R. 2004. Research Methodology: Methods And Techniques. 2nd Edition. New Delhi: New Age
Lake, David A. 1993. Leadership, Hegemony, And The International Economy: Naked Emperor Or Tattered Monarch With Potential?International Studies Quarterly37 (4): 459-489 Legard, R., Jill Keegan ., Kit Ward . 2003. In-Depth Interviews . DalamQualitative Research
Practice A Guide For Social Science Students And ResearchersEdited By Jane Ritchi and Jane Lewis, London: Sage, Hal. 138-169
Lewis, J . 2003. Design Issues. DalamQualitative Research Practice A Guide For Social Science Students And ResearchersEdited By Jane Ritchi and Jane Lewis, London: Sage, Chapter 3
Masaaki, O (2004) Local Politics In Decentralized Indonesia: The Governor General Of Banten Province. Iias Newsletter No.34:24.
Mazaheri-Khorzani, E. 2002. Conflict Management Approaches, Customer Expectation Evaluation, And Customer Satisfaction: An Empirical Investigation. Master Thesis. University Of Lethbridge
Meizel, K. (2011) Idolized: Music, Media, And Identity In American Idol. Bloomington: Indiana University Press
Mitropolitski, S. (2012) The Role Of European Union Integration In Post-Communist Democratization In Bulgaria And Macedonia. Phd Dissertation. Universite De Montreal Mohammad Agus, Y., Leo, A. (2012) Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi: Politik Lokal Di
Indonesia Pasca Orde Baru. Jebat: Malaysian Journal Of History, Politics, And Strategic Studies, 39(1):75-96
Nash, K. (2010)Contemporary Political Sociology. 2nd Edition. West Sussex: Wiley-Blackwell Ngakan, P.O., Achmad, A., Lahae, K., Komarudin, H., Tako, A. 2007. Implikasi Perubahan
Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Beberapa Aspek Di Sektor Kehutanan Studi Kasus Di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Cifor
Nharnet., T. (2005). Decentralized Governance : A Global Sampling Of Experiences, Undp Monograph On Decentralization.
Nurdin, N (2012) Indonesia Decentralization: Direct Local Election Vs Public Services Delivery. Dalam 2012 International Conference Of Decentralization (Icodec) Proceeding, Hal. 243-258
O’neill, K. 2008.Decentralized Politics And Political Parties In The Andes.Cornell University Ongla, O. 2007. A Study Of The Forms And Approaches To The Decentralization Of Power And
The Mechanisms For Popular Participation In Local Administration In The Philippines And Indonesia, Dalam Asian Alternatives For A Sustainable World: Transborder Engagements In Knowledge Formation. Api. Hal. 120-130
Painter, J. (2000). State And Governance. In E. Sheppard & T. Barnes (Eds.), A Companion To Economic Geography(Pp. 359–376). Oxford: Blackwell
Pemerintah Ri. 2004. Uu Ri No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Peters, A., Forster, T., Koechlin, L. 2009. Chapter 18: Towards Non-State Actors As Effective, Legitimate, And Accountable Standard-Setters. In Anne Peters, Lucy Köchlin, Till Förster, And Gretta Fenner (Eds.), Non-State Actors As Standard Setters, Cambridge University Press
Poulantzas, N. (1972) ‘The Problem Of The Capitalist State’, In R. Blackburn (Ed.) Ideology In Social Science: Readings In Critical Social Theory. London: Fontana
Prasojo, E. (2009). “Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Di Indonesia: Antara Sentripetalisme Dan Sentrifugalisme”, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Indonesia, 8 April 2008, Www.Ekoprasojo.Com; Accessed 14 Mei 2013 Priscoli, J. D. (1998). Public Involvement; Conflict Management; And Dispute Resolution In
Institute For Water Resources, Us Army Corps Of Engineers, Alexandria, Usa. Iwr Report 98-R-5.: 51
Qodir, Z., Sulaksono, T. (2012) Politik Rente Dan Konflik Di Daerah Pemekaran: Kasus Maluku Utara.Jksg Working Paper No: 002/Jksg/2012
Ramadayani, F. 2011. Efektivitas Pelaksanaan Program Raskin Di Desa Kubang Jaya Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar. Universitas Riau
Renner, M. 2002. Breaking The Link Between Resources And Repression. State Of The World 2002
Resurreccion, B. 2008. 8 Gender, Legitimacy And Patronage-Driven Participation: Fisheries Management In The Tonle Sap Great Lake, Cambodia. Dalam Gender And Natural Resource Management. Livelihoods,Mobility And Interventions Edited By Bernadette P.Resurreccion And Rebecca Elmhirst. London: Earthscan, 151-174
Ribot, J.C. 2002. African Decentralization Local Actors, Powers And Accountability. Unrisd Programme On Democracy, Governance And Human Rights Paper Number 8
Rios, M. 2006. Scale, Governance Coalitions, And The Branding Of Collective Action: The Politics Of Obesity In Pennsylvania. Dissertation. The Pennsylvania State University Ritzer, G. 2008. Sociological Theory. 8th Edition. Mcgraw-Hill
Rummel, R.J. 1979. Understanding Conflict
And War: Vol. 3:Conflict In Perspective. The Journal Of Politics,Vol. 41
Schneider, A. (2003). Decentralization : Conceptualization And Measurement, Studies In Comparative International Development, Vol. 38, No. 3, Pp. 32-56
Sidel, Jt (2005) Bossism And Democracy In The Philippines, Thailand, And Indonesia: Towards An Alternative Framework For The Study Of ‘Local Strongmen’. Dalam: J. Harriss, K. Stoke, O. Teornquist (Eds). Politicising Democracy: The New Local Politics Of Democratisation. London: Palgrave Macmillan. Hlmn: 51-74
Sim, S-F. (2004) Dewesternising Theories Of Authoritarianism: Economics, Ideology And The Asian Economic Crisis In Singapore.Asia Research Center Working Paper No. 103 Smoke, P. Undp, Beyond Normative Models And Donor Trends: Strategic Design And
Implementation Of Fiscal Decentralization In Developing Countries, Internal Working Draft, Prepared For The Management Development And Governance Division, By Paul Smoke, International Development And Regional Planning Program, Department Of Urban Studies And Planning, Massachusetts Institute Of Technology, 10-404, 77 Massachusetts Avenue, Cambridge, Ma 02139 Usa, April 1999, Pp. 14-15
Snidal, Duncan (1985): The Limits Of Hegemonic Stability Theory, In: International Organization 39 (4), Pp. 579-614.
Social Enterprise.2012. The Shadow State: A Report About Outsourcing Of Public Services. Social Enterprise
Spanger, H-J. 2001. The Ambiguous Lessons Of State Failure. Failed States Conference, 11-14 April 2001-03-30
Sriningsih, E. (2011) Perdebatan Teoritis Mengenai Civil Society Di Negara-Negara Asia. Proceeding Seminar Nasional Peran Negara Dan Masyarakat Dalam Pembangunan Demokrasi Dan Masyarakat Madani Di Indonesia, Hal. 98-118
Staszczak, D.E. 2012. International Trade And Capital Flows As The Sources Of The Nations Poverty Or Richness Knowledge Globalization Conference, Boston, October 16-17,: 171-190
Sulistiowati, R., Meiliyana (2012) Evaluation Of Decentralization Implementation And Regional Autonomy In New Autonomous Region (Dob) : Case Study In The District (Kabupaten) Of Peswaran Of Lampung Province. Dalam 2012 International Conference Of Decentralization (Icodec) Proceeding, Hal. 81-91
Tadjoeddin, M.Z. 2007. A Future Resource Curse In Indonesia: The Political Economy Of Natural Resources, Conflict And Development.Crise Working Paper No. 35
Tarigan, A. 2012. Decentralization And Globalization In The Glocalization Era Findings And Lessons From Karo Regent North Sumatera Province, Indonesia. 2012 International Conference Of Decentralization (Icodec) : 72-81
The Jakarta Post (4 Agustus 2010) President Supports Plan To Create Economic Center In Morotai. Diunduh Tanggal 24 Februari 2013, Dari Http://Www.Thejakartapost.Com/News/2010/08/04/President-Supports-Plan-Create-Eco nomic-Center-Morotai.Html
Tomagola, T. A. 2000. The Bleeding Ofhalmahera Of North Moluccas. Paper From The Workshop On Political Violence In Asia, Oslo, 5-7 June 2000
Tommasoli, M. 2007. Representative Democracy And Capacity Development For Responsible Politics. Dalam Public Administration And Democratic Governance: Governments Serving Citizens. Un, 52-77
Turner, Jonathan H. 1985 “In Defense Of Positivism.”Sociological Theory3:24–30. Undp. (1999) Decentralization: A Sampling Of Definition. Undp Working Paper. Unicef. 2012.Children In An Urban World. Unicef
Van Klinker, G. 2009. Decolonization And The Making Of Middle Indonesia. Urban Geography, 2009, 30, 8, Pp. 879–897
Victor, D.A., Lanier, P.A, 2006. Conflict Management And Negotiation. Encyclopedia Of Management. 5th Edition. Edited By Marilyn M. Helms. Thomson-Gale, 115-119
Waltz, Kenneth N. (1979):Theory Of International Politics. New York, N.Y.: Random House Weitz, B.A., Bradford, K.D. 1999. Personal Selling And Sales Management: A Relationship
Marketing Perspective.Journal Of The Academy Of Marketing Science1999; 27; 241 Wirawan, 2010. Konflik Dan Manajemen Konflik, Teori, Aplikasi, Dan Penelitian, Penerbit
Salemba Humanika, Jakarta
Yoffe, S. B., Wolf, A. T. And Giordano, M. (2001). Conflict And Cooperation Over International Freshwater Resources: Indicators And Findings Of The Basins At Risk. Journal Of American Water Resources Association, 39(5), 1109–1126
Yusuf, M (2012) The Problems Of Regional Decentralization In Indonesia In A Public Policy Analyst Perspective. Dalam 2012 International Conference Of Decentralization (Icodec) Proceeding, Hal. 281-287
BAB I
PENDAHULUAN
1..1Latar Belakang Masalah
Agustus 2010, Presiden Susilo Bambang Yudoyono meresmikan kota
Sofifi, ibu kota kecamatan Oba Utara, wilayah Kota Tidore Kepulauan, di Pulau
Halmahera sebagai ibu kota provinsi Maluku Utara yang baru, menggantikan
Ternate yang berada di Pulau Ternate (The Jakarta Post, 4 Agustus 2010). Sofifi
sendiri telah menjadi ibu kota Maluku Utara sejak 12 Oktober 1999 dalam UU No
46 Tahun 1999 seiring berdirinya provinsi Maluku Utara, hasil pemekaran provinsi
Maluku. Masalahnya, ketika diresmikan saat itu, Sofifi masih sangat kekurangan
infrastruktur. Ibu kota akhirnya dipindah sementara ke Ternate menunggu proses
pembangunan infrastruktur. Setelah sejumlah kemajuan seperti berdirinya kantor
gubernur, DPR, kejaksaan tinggi, kepolisian, dan kantor-kantor dinas, Sofifi
kembali menjadi ibu kota Maluku Utara. Walau demikian, hingga diresmikan
kembali sebagai ibu kota, masih belum ada fasilitas perumahan pegawai negeri sipil,
fasilitas air dan listrik serta sosial (Kompas, 4 Agustus 2010). Belum adanya
fasilitas ini membuat pegawai negeri sipil harus menyeberang dari Ternate setiap
hari untuk bekerja di Sofifi, sementara kota Sofifi sendiri terpisah dari Ternate
sejauh 30 menit hingga 1 jam perjalanan laut dengan biaya kapal Rp 30.000
Konflik terbuka bermula dari pemerintah Kota Tidore Kepulauan (Tikep)
dan DPRD Tikep serta pihak kesultanan Tidore dalam bentuk penolakan atas
wacana status Sofifi untuk menjadi daerah otonom baru (DOB). Untuk menjadi
ibukota, Sofifi harus dimekarkan dari kota Tikep. Pemerintah kota Tikep menolak
keras pemekaran karena dengan mengeluarkan Sofifi dari wilayahnya untuk
menjadi daerah otonom baru, pemerintah kota Tikep akan mengalami penurunan
PAD besar-besaran. Sekitar separuh PAD Kota Tidore Kepulauan berasal dari
Sofifi (Qodir dan Sulaksono, 2012:33). DPRD Tikep pada bulan Mei 2011
melakukan Sidang Paripurna yang menolak usul pemekaran Sofifi tersebut.
Sementara itu, Gubernur tetap mendorong pemekaran Sofifi agar memperoleh
lahan baru untuk kepentingan politik dan ini didukung oleh rakyat Sofifi. Akibatnya
terdapat konflik vertikal dan horizontal yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah
Tikep bersama DPRD dan sultan Tidore yaitu dengan pemerintah provinsi Maluku
Utara dan dengan rakyat Sofifi yang diwakili oleh AMOB (Aliansi Oba Bersatu)
(Alkatiri, 2012).
Kedua pihak memiliki massa dan kedua pihak juga memiliki dukungan dari
penelitian ilmiah. Pemerintah provinsi berpegang pada rekomendasi penelitian
Universitas Indonesia, yang dananya datang dari pemerintah provinsi Maluku Utara
itu sendiri. Begitu juga, pemerintah Tikep dan Kesultanan Tidore berpegang pada
penelitian UGM yang biayanya diduga berasal dari pemerintah Tikep. Penelitian UI
menyimpulkan kalau kota Sofifi tidak perlu berdiri sendiri (Qodir dan Sulaksono,
2012:34).
Dalam wacana konflik antara kesultanan Tidore dengan Pemerintah
Pusat/Provinsi perlu diperhatikan tentang gagasan shadow state. Shadow state
merujuk pada legitimasi sistem pemerintahan berbasis budaya lokal yang berbentuk
kesultanan untuk mendukung pemerintah pusat. Perlu digarisbawahi kalau shadow
state berkonotasi negatif bagi pemerintahan, khususnya pemerintahan negara
kesatuan. Akan terlihat bahwa pemerintah melanggar prinsip dasar kebangsaan jika
harus berkompromi tanpa dasar legalitas dengan kekuasaan tradisional ataupun
shadow state. Untuk itu, kesimpulan bahwa pemanfaatan shadow state sebagai
sebuah usaha penanganan konflik di Maluku patut dikaji ulang.
Dalam perspektif teori, elit politik lokal dalam menghadapi suatu pilihan
membuat kalkulasi-kalkulasi rasional yang tentunya memprioritaskan keuntungan
bagi pihak mereka. Dengan menghubungkan antara pilihan dengan janji-janji
bantuan dari pusat, elit politik lokal dapat terdorong untuk mendukung kebijakan
dari pusat. Hal ini telah ditunjukkan dalam kasus integrasi negara-negara
ex-komunis dengan Uni Eropa (Mitropolitski, 2012:45). Adanya janji bantuan
finansial dan bentuk lain, negara-negara ini melakukan kalkulasi ulang sehingga
lebih mengarah pada dukungan integrasi daripada penolakan. Masalahnya, dalam
kasus Sofifi, elit politik lokal (DPRD Tikep) justru merasa pilihan yang mereka
peroleh tidak menguntungkan mereka. Kalkulasi rasional mereka menunjukkan
mereka tidak mengizinkan provinsi membentuk Sofifi sebagai daerah otonom,
apalagi ketika pada awalnya Gubernur tidak berkonsultasi dengan mereka.
Walau begitu, pemerintah pusat memiliki hegemoni untuk menghasilkan
kebijakan yang tidak menguntungkan bagi masyarakat dan lebih menguntungkan
para elit ekonomi. Pemerintah daerah, khususnyashadow state, akan lebih memilih
menjadi counter-hegemoni atas liberalisasi politik dan sistem pasar bebas yang
mengancam kebudayaan mereka (Efendi, 2012:189). Hal ini seharusnya
mendukung desentralisasi karena sentralisasi memunculkan hegemoni kekuasaan
yang terlalu berlebihan (Jedawi, 2012:212). Masalahnya, bahkan desentralisasi
sekalipun masih dipandang belum mampu menjadi counter-hegemoni bagishadow
state di Sofifi. Landasan inilah yang membuat perlunya aspek shadow state
diperhitungkan dalam pemekaran daerah otonomi baru.
Adalah mungkin mendamaikan shadow state dengan pemerintah pusat.
Dalam wacana shadow state, kesultanan lokal atau pemerintahan informal lainnya,
diberi kepercayaan untuk merumuskan hal-hal penting untuk pengelolaan
sumberdaya ekonomi dengan tetap berpegang pada kebijakan-kebijakan dari pusat.
Pusat sendiri harus memodifikasi kebijakannya, setelah memperoleh masukan dari
shadow state. Begitu pula, pusat harus memberikan inisiatif kreatif yang kemudian
dipertimbangkan oleh shadow state. Di sini diperoleh sebuah harmoni antara dua
jenis kekuasaan yang ada di wilayah otonomi baru.
Saat ini, Indonesia memiliki 535 wilayah otonom yang terdiri dari 34
administratif (Sulistiowati dan Meiliyana, 2012:81). Tahun 2012 saja, ada lima
daerah otonom baru. Sebuah daerah otonom baru harus memiliki kemampuan
untuk menjalankan fungsi dasar dalam bentuk kebijakan pelayanan publik,
manajemen konflik, dan pemberdayaan diri masyarakat lokal. Tanpa kemampuan
ini, daerah otonom baru justru terjebak dalam konflik berlarut-larut dan tidak
mampu memberikan pelayanan publik yang baik dan masyarakat menjadi tidak
berdaya. Hal ini didukung pula oleh makna negatif dari istilah ‘baru’ yang bertanda
memisahkan diri dari wilayah lama (Yusuf, 2012:282), apalagi jika wilayah lama
mengalami kerugian atas pemisahan ini. Studi oleh Bappenas (2005 dalam Yusuf,
2012:284) pada lima daerah otonom baru menemukan bahwa PAD memang
meningkat untuk daerah ini, namun DAU masih tetap tinggi dan pelayanan publik
masih belum lebih baik dari sebelumnya. Hanya setelah daerah otonom cukup
berkembang setelah beberapa lama, pelayanan publik mulai meningkat dan
ketergantungan pada DAU mulai menurun. Selain itu, ditemukan pula kalau
pembentukan daerah otonom baru seringkali lebih pada aspek kebijakan sementara
kondisi fisik, regional, dan administrasi tidak diperhitungkan dengan teliti (Yusuf,
2012:286).
Proyek sosial dan politik seperti wilayah otonomi merupakan wilayah kerja
hegemoni untuk mempertahankan dimensionalitasnya (Ballve, 2011:2). Wilayah
merupakan “morfologi sosial dimana kekuasaan negara diatur, diorganisir, dan
dilaksanakan secara spasial” (Ballve, 2011:3). Daerah otonomi baru menjadi
Masyarakat yang berada dalam wilayah tersebut dapat bereaksi dalam bentuk
perjuangan atau gerakan dalam melawan usaha ko-produksi tersebut. Karenanya
teori Gramsci telah banyak digunakan untuk menjelaskan perjuangan atau gerakan
daerah dalam melawan pemerintah pusat (Mohammad Agus dan Leo, 2012).
Diterapkan dalam kasus Sofifi, adalah penting bagi pemerintah informal
seperti kesultanan Tidore untuk membentuk konsensus di masyarakat untuk
mendukung legitimasinya dalam menolak daerah otonomi baru Sofifi. Negara,
dalam hal ini diwakili oleh pemerintah pusat dan provinsi menjadi kekuatan politik
yang berusaha menekan masyarakat. Dengan munculnya kasus konflik di Sofifi,
jelaslah bahwa kekuatan masyarakat madani telah cukup kuat untuk menandingi
kekuatan negara. Wacana shadow state kemudian menjadi relevan untuk
menjelaskan bagaimana usaha harmonisasi antara dua kekuatan ini dapat dipadukan
demi mendukung Sofifi sebagai daerah otonomi baru.
Apakah kesadaran berlawanan ini datang dari daerah atau dari luar daerah
(misalnya kapitalisme global), masih merupakan hal yang tidak dapat ditentukan.
Di sinilah peran shadow state dalam menjamin bahwa kesadaran berlawanan
tersebut lahir dari masyarakat lokal. Hal ini didukung oleh pandangan kalau proses
sosial yang menciptakan dan melaksanakan aturan, ketimbang aturan yang dibentuk
lalu mengendalikan kehidupan sosial (Kohly, 2011:77).
1..2Permasalahan
Pemerintahan daerah pada awalnya diatur oleh UU No 22 tentang
pada gilirannya menggantikan UU No.18 tahun 1965. UU No 22 sendiri digantikan
oleh UU No. 32 tahun 2004. Dua Undang-Undang terakhir (UU No. 22/1999 dan
32/2004) memiliki kelonggaran bagi shadow state namun hanya pada tingkatan
desa. Definisi desa menurut UU No. 32 tahun 2004 adalah “Kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia”. Dibandingkan dengan sebelumnya, yaitu pada UU
No. 22 tahun 1999, terdapat tambahan “yang memiliki batas-batas wilayah” dan
“dan dihormati”. Hal ini berbeda dengan UU No. 5 tahun 1974 bahkan tidak
mendefinisikan desa sama sekali.
Pada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu kecamatan, otoritas tidak lagi dapat
dipegang oleh kesultanan atau sistem pemerintahan tradisional. Pada tingkatan
kecamatan, pemerintahan berada dalam kekuasaan pemerintah daerah. UU No. 32
tahun 2004 menyatakan Pemerintah Daerah sebagai “Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemda”. Jika seorang
sultan misalnya, tidak menjadi gubernur, bupati, atau walikota, maka statusnya
sebagai kepala pemerintahan otonom menjadi tidak diakui walaupun secara
asal-usul dan adat-istiadat, dialah yang berkuasa untuk daerah tersebut. Hal inilah
yang menjadi akar masalah dari segi kebijakan dalam konflik di Sofifi antara
Reformasi tata kelola pemerintahan yang baik sangat dibutuhkan bagi suatu
wilayah yang sedang atau baru saja mengalami konflik politis. Indonesia Timur,
khususnya Maluku merupakan daerah yang rawan dengan konflik dan telah punya
banyak sejarah konflik semenjak masa desentralisasi. Karena jauh dari pusat,
Indonesia Timur lebih bermasalah lagi ketika desentralisasi digulirkan dan justru
memunculkan konflik. Dalam sejarah Indonesia sendiri, desentralisasi Hindia
Belanda pada masa politik etis merupakan salah satu pemicu usaha perjuangan
kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Kita tidak ingin agar Indonesia Timur
mewacanakan pemisahan diri yang lebih radikal akibat perselisihan antara daerah
dan pusat. Hal ini sedikit banyak telah hadir di Papua lewat benih disintegrasi lewat
OPM.
Wacana daerah otonomi baru diharapkan memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat di daerah tersebut. Walau begitu, studi Bappenas (2008) memberikan
hasil yang kurang menggembirakan. Studi Bappemas (2008) menggunakan 10
kabupaten induk, 10 kabupaten otonom baru, dan enam kabupaten kontrol.
Penelitian ini menemukan kalau justru daerah induk memberikan hasil yang jauh
lebih baik daripada daerah otonom baru dalam lima tahun kebijakan berjalan. Hal
ini terjadi walaupun daerah otonom baru mulai dengan kehidupan yang posisinya
tidak berbeda jauh dengan daerah induk (Bappenas, 2008:5). Gambaran
perkembangan yang buruk ini ditunjukkan dalam Gambar 1.1. Daerah terbagi
Gambar 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Bappenas, 2008:23)
Walaupun dalam gambar terlihat bahwa ada pencapaian hampir rata-rata di
tahun 2005, tingkat kemiskinan di daerah otonom baru mencapai 21,4%
dibandingkan di daerah induk yang hanya 16,7% (Bappenas, 2008:24). Dalam
indeks kinerja ekonomi regional, daerah otonom baru bahkan berkinerja lebih
buruk daripada seluruh tipe wilayah lainnya (Bappenas, 2008:25). Sebaliknya,
ketergantungan fiskal daerah otonomi baru justru selalu lebih tinggi dari seluruh
tipe wilayah lainnya (Bappenas, 2008:26). Hal ini disebabkan daerah otonom baru
daerah induk sehingga rasio PAD terhadap GDP regionalnya lebih rendah dari
daerah induk (Bappenas, 2008:27). Sebagian administrasi dan personilnya bahkan
masih menumpang di daerah induk pada awal-awal pembentukan.
Jika menjadi daerah otonom baru tidak lebih baik daripada tetap berada
pada daerah induk, mengapa daerah otonom baru terus diwacanakan? Hal ini
karena keuntungan bagi hegemoni elit politik lokal. Dalam kasus Sofifi,
keuntungan ini diperoleh gubernur selaku pendorong wacana daerah otonom baru
Sofifi. Aktor masyarakat madani sendiri tidak memperoleh keuntungan sehingga
memunculkan protes dan berujung pada konflik terbuka antara pemerintah kota
Tikep dengan pemerintah provinsi Maluku Utara.
Shadow state adalah massa non-pemerintah yang mengendalikan birokrasi
dari luar pemerintahan (Jedawi, 2012:218). Ia disebut jugalocal bossism atau local
strongmen oleh Sidel (2005) dan Masaaki (2004). Ia dapat berupa perusahaan
swasta, namun juga dapat berupa pemuka masyarakat dan pemimpin informal
seperti kesultanan. Pegawai pemerintah sendiri mampu menjadi elemen dari
shadow state lewat korupsi dengan penyuapan dan patronasi atau klientelasi.
Negara dengan bayangan (shadow) yang lebih besar dari dirinya sendiri berarti
sebuah negara yang memiliki hegemoni justru di luar kekuasaan formal
(Mohammad Agus dan Leo, 2012:92). Dalam kasus Banten, para jawara menjadi
penentu agenda publik, bukannya pemerintah daerah (Asrinaldi dan Mohammad
Agus, 2011:2). Dalam kasus Sofifi, kesultanan Tidore merupakan salah satu aktor
yang masih mengakar kuat di masyarakat Tidore. Pengabaian atas shadow state
memunculkan konflik yang mempertemukan negara dengan masyarakat madani
dalam kerangka berpikir Gramskian.
Shadow state muncul karena adanya pelapukan dalam kelembagaan
pemerintah formal. Pelapukan itu sendiri terjadi akibat ketidakberdayaan
pemerintah formal dalam menghadapi kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan
politik dari luar pemerintahan. Pada awalnya kekuatan-kekuatan ini tidak
terstruktur namun seiring melemahnya pemerintah formal, kekuatan-kekuatan ini
mengambil bentuk dan mengambil kendali otoritas informal di luar struktur
pemerintah (Hidayat, 2010:4).
Sebagai calon daerah otonom baru, kecil kemungkinannya kalau Sofifi akan
berkembang mengalahkan trend yang ditemukan oleh Bappenas (2008). Hal ini
semakin sulit ketika awal berdirinya penuh dengan konflik antar pemerintah
provinsi dan pemerintah kota. Konsep shadow state ini telah ditunjukkan sejalan
dengan kerangka teori hegemoni Gramsci yang dipandang sesuai untuk
menganalisis perilaku elit politik dalam wacana desentralisasi. Lebih jauh,
permasalahan di atas menuntut pentingnya shadow state dipertimbangkan dalam
pemertahanan Sofifi sebagai daerah otonom baru. Atas pertimbangan di atas, maka
penelitian ini mengambil masalah utama “bagaimana mendorong kerjasamashadow
state dalam meresolusi konflik, mengadaptasi, dan membangun harmoni di Sofifi
Permasalahan utama tersebut kemudian dapat dipecah menjadi sejumlah
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Mengapa kesultanan Tidore menentang Sofifi sebagai Daerah Otonomi
Baru?
2. Bagaimana peran kesultanan Tidore sebagai shadow state dalam konflik
Sofifi sebagai Daerah Otonomi Baru?
3. Bagaimana resolusi konflik yang dilakukan dalam mendamaikan konflik
tersebut?
3.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui mengapa kesultanan Tidore menentang Sofifi sebagai
Daerah Otonomi Baru
2. Untuk mengetahui peran kesultanan Tidore sebagai shadow state dalam
konflik Sofifi sebagai Daerah Otonomi Baru
3. Untuk mengetahui resolusi konflik yang dilakukan dalam mendamaikan
konflik tersebut
3.4 Manfaat Penelitian
1. Dilihat dari kegunaan akademis, penelitian ini diharapkan memberikan
2. Dilihat dari kegunaan praktis, penelitian ini diharapkan memberikan hasil
untuk pertimbangan dan pengembangan kebijakan terkait daerah otonom
baru di wilayah lain di Indonesia maupun dalam pengembangan kota Sofifi
sebagai daerah otonom dalam mengembangkan kapasitasnya.
2.5 Kerangka Pemikiran
Maluku Utara sebagai sebuah provinsi hasil pemekaran provinsi Maluku
hingga sekarang masih mengalami banyak permasalahan politis. Pemilihan gubernur
tahun 2008 misalnya, merupakan peristiwa penuh konflik dimana pertikaian
berlangsung hingga tataran masyarakat umum. KPUD Malut meloloskan
Armaiyn-Ghani sebagai pemenang namun KPU menganulirnya dengan menyatakan
proses pilkada berlangsung tidak adil. Ketua KPUD Malut dipecat dan hasil
perhitungan suara diperiksa ulang. Hasilnya pasangan Gafur-Fabanyo yang menjadi
pemenang. Massa kedua belah pihak melakukan protes dan konflik terjadi selama
setengah tahun.
Masalah juga terjadi di tingkat DPRD ketika sejumlah kasus korupsi
terbongkar dalam pengelolaan APBD provinsi. Defisit APBD 2012 bahkan
mencapai Rp 186,59 Miliar dan ada dua versi laporan yaitu hasil audit BPK dan
laporan pemprov Malut (Indonesia Timur Voice, 5 Februari 2013). Banyak proyek
yang tidak selesai dan praktek korupsi dengan pembelian tanah oleh oknum
pemerintah daerah untuk dijual kembali ke pemerintah daerah dengan harga tinggi.
Hal ini belum menghitung lagi masalah konflik antar kampung yang sering kali
Kasus konflik dalam status Sofifi sebagai daerah otonom baru merupakan
salah satu kasus konflik di Maluku Utara yang patut dicermati. Kasus ini relatif
baru dan dapat memberikan sedikit banyak gambaran mengenai bagaimana
sesungguhnya permasalahan yang dihadapi Maluku Utara sehingga konflik yang
terjadi berkepanjangan dan terjadi dalam banyak aspek. Kajian ini semakin penting
mengingat tahun 2013 akan diadakan pemilihan gubernur yang berpotensi menjadi
sumber baru konflik di Maluku Utara (Indonesia Timur Voice, 4 Februari 2013).
Dalam sosiologi politik, teori yang dapat digunakan untuk mengkaji
masalah konflik elit politik lokal adalah teori hegemoni Gramsci. Gramsci
menyatakan bahwa kesepakatan yang diperoleh hegemoni dari masyarakat lebih
efektif dan bertahan lama daripada penggunaan kekerasan dan dominasi (Jafar,
2009:40). Dipandang dengan kacamata ini, konflik di Maluku Utara merupakan
sebuah unjuk kekuasaan hegemoni dalam merebut kesepakatan. Elit politik lokal
yang bertikai melontarkan wacana ke publik dan publik memberikan pilihannya.
Ketika dukungan atau kesepakatan yang diperoleh telah mencukupi, mobilisasi
massa dapat dilakukan dan unjuk kekuasaan antar hegemoni berlangsung di medan
konflik.
Dalam medan konflik semacam ini, Gramsci melihat kaum intelek berada
dalam mendung pesimisme (Harvey, 2004:27). Walau begitu, mereka semestinya
bekerja keras dan memunculkan optimisme kalau masalah yang ada ini akan
terselesaikan. Para intelektual harus mengeluarkan pendapatnya dan solusi-solusi
yaitu kesejahteraan masyarakat umum dapat tercapai. Sejumlah penelitian telah
dilakukan dan menggambarkan masih adanya optimisme ini. Salah satu penelitian
tersebut adalah penelitian Qodir dan Sulaksono (2012) yang secara komprehensif
mengkaji pola konflik di Maluku Utara. Penelitian mereka merekomendasikan
shadow state sebagai solusi atas permasalahan konflik yang berlarut-larut di
provinsi muda ini. Penelitian sekarang adalah usaha untuk mempertegas optimisme
tersebut dengan mengkaji lebih jauh aspek-aspek shadow state tersebut untuk
menjadi lebih praktis di tataran pelaksanaan oleh pemangku kebijakan dan
kepentingan di Maluku Utara.
Pihak-pihak yang bertikai dalam kasus Sofifi adalah pihak-pihak dengan
latar belakang ideologis berbeda. Hal ini sejalan dengan pandangan Gramsci kalau
ideologi adalah praktek yang membentuk subjek dan subjek tersebut adalah
keinginan-keinginan politik kolektif untuk menarik berbagai pihak ke dalam proyek
hegemoni (Nash, 2010:6). Dengan kata lain, akar masalah konflik elit politik lokal
dalam perspektif Gramsci adalah gagasan dan nilai dalam berbagai kombinasi.
Masing-masing pihak punya ideologinya sendiri dan ideologi tersebut yang menarik
berbagai pendukung atas subjek yang mewacanakannya. Sebagai teori neo-Marxis,
pada akhirnya, ideologi ini berakar dari masalah ekonomi dan ekonomi bukan
hanya menjadi kekuatan penentu politik, namun juga sebuah hegemoni luar yang
memberi masukan pada pertikaian antar subjek untuk meraih hegemoni di
Dengan pemahaman di atas, menjadi relevan untuk mengangkat isu shadow
state ke permukaan. Shadow state menjadi sebuah latar belakang ideologis baru
yang patut diperhitungkan dalam penanganan konflik di Sofifi. Apapun hasil
kompromi antara state dan shadow state, hasil akhirnya harus memberikan
kemanfaatan maksimal bagi masyarakat. Kemanfaatan ini dapat diperoleh jika
konflik yang ada beranjak menjadi resolusi, kemudian adaptasi, dan diakhiri dengan
harmonisasi. Berlandaskan pemikiran tersebut, penelitian sekarang memiliki
kerangka dalam bentuk diagram seperti pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran
2.6 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian studi kasus. Studi kasus dipilih
karena memang masalah Sofifi merupakan masalah yang mempengaruhi
masyarakat hingga taraf dimana konflik yang terjadi mengganggu aktivitas warga
dalam mengejar kesejahteraannya. Diharapkan dengan studi kasus dapat diperoleh
solusi-solusi berbagai aktor yang terlibat dalam konflik ini. Selain itu, pengaruh
budaya tidak dapat dilepaskan dari konflik Sofifi. Keterlibatan kesultanan Tidore
budaya sangat kental dalam membangun hegemoni di Sofifi, selain faktor ekonomi
yang melandasi bangunan dasar ideologis dari shadow state maupun pemerintah
pusat dan provinsi.
Pengumpulan data yang sesuai untuk studi kasus adalah wawancara
mendalam dengan informan-informan yang mengetahui permasalahan Sofifi
didukung oleh studi literatur dan observasi. Wawancara dilakukan secara terbuka
dan direkam secara audio untuk menjadi alat analisis lebih lanjut. Analisis sendiri
dilakukan dengan pendekatan deskriptif-kualitatif. Proses analisis bersifat
interpretif lewat usaha memahami dan menarik pernyataan-pernyataan penting yang
relevan dan menjawab pertanyaan penelitian. Hasil dari proses ini dilanjutkan
dengan pembahasan dan penyimpulan atas data hasil penelitian.
Pemilihan informan sendiri dilakukan dengan teknik bola salju. Teknik ini
diawali dengan menemukan gatekeeper yang paham mengenai objek penelitian.
Dari gatekeeper kemudian diperoleh informan lain yang lebih paham dan dapat
diwawancarai. Proses ini terus berlanjut hingga data menjadi jenuh yaitu tidak lagi
memperoleh temuan-temuan yang menambah dan melengkapi informasi yang telah
ada. Sejumlah perwakilan para pihak yang berkontestansi harus diwakili. Para
aktor yang berpotensi terlibat dalam konflik Sofifi akan mendapat perwakilan
dalam wawancara mendalam. Aktor tersebut antara lain: (1) Kesultanan Tidore, (2)
AMOB, (3) Pemda Sofifi, (4) Pemda Tikep, (5) Pemda Ternate, (7) Pemda Malut,
(8) DPRD Sofifi, (9) DPRD Tikep, (10) DPRD Ternate, (11) DPRD Malut, (12)
Diperkirakan total informan akan mencapai 28 hingga 42 orang jika setiap pihak
diwakili dua informan (pro dan kontra), atau tiga orang (pro, kontra, dan netral).
Sampel diusahakan berusia tua (>40 tahun) untuk memperoleh kekayaan
pengalaman hidup dan sejarah yang lebih mendalam terkait faktor budaya yang
kuat dalam kasus ini. Informan berusia tua juga penting dalam menggali pengaruh
kesultanan dan aktor shadow state lainnya dalam pengambilan keputusan politis di
Sofifi.
Pertanyaan-pertanyaan utama dalam wawancara mendalam ini selain berasal
dari pertanyaan penelitian juga bersifat terbuka, dalam artian mengalir sesuai
dengan pembicaraan informal sehingga tidak memunculkan kesan interogatif.
Privasi dan etika pengumpulan data untuk kasus sensitif, seperti kerahasiaan
informan, ketidakberpihakan peneliti, dan keterbukaan peneliti dalam menyatakan
maksud dan tujuan penelitian akan dipegang teguh untuk menjamin hak-hak