SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Oleh
SYAFIQ AKHMAD MUGHNI NIM: 108011000036
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
i Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini memfokuskan pada tema tentang pendidikan Islam, yang berupaya membawa suasana baru memperkenalkan kembali salah satu khasanah pemikiran keislaman abad modern di dunia Islam Indonesia yaitu K.H. Abdul Wahid Hasyim.
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini
adalah penelitian kualitatif, termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library
research), Sedangkan Penelitian ini bersifat deskriptif, yakni penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian, yaitu pemikiran K.H. A. Wahid Hasyim tentang pendidikan Islam. Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan historis dan analisis data digunakan analisis
sejarah (historis analysis).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa gagasan konsep pendidikan K.H. A. Wahid Hasyim dilatarbelakangi oleh kekecewaan terhadap perkembangan pendidikan Islam di era kolonial Belanda, dan Jepang, yang dianak tirikan. Pemikiran K.H. A. Wahid Hasyim adalah bentuk pendidikan inklusif, dengan kata lain pendidikan yang tidak menutup diri dan membatasi pada aspek pendidikan agama, namun pendidikan yang responsif terhadap perkembangan zaman.
Pemikiran pendidikannya yaitu dalam tiga aspek. Pertama, Tujuan Pendidikan
Islam, menurutnya tujuan pendidikan Islam tidak hanya berorientasi kepada mencetak ahli agama. Jika berorientasi pada urusan ukhrowi dan mengabaikan
urusan duniawi akan membuat Islam tertinggal serta terbelakang. Kedua,
Kurikulum Pendidikan Islam, menurutnya sistem kurikulum agama tanpa
kurikulum umum itu tidak rensponsif kepada perkembangan zaman. Ketiga,
Metode Pembelajaran, menurutnya diharapkan proses belajar mengajar yang aktif-dialogis, yaitu guru bukan satu-satunya sumber belajar. K.H. A. Wahid Hasyim pemikirannya berasas pada “al-Muhafadzoh ‘ala al-Qadim al-Shalih, wa al-Akhzu bi al-Jadid al-Ashlah”.
ii
KATA PENGANTAR
ِ ْ ِ َلا ِ ْ َلا ِا ِ ْ ِ
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia serta anugerah-Nya sehingga skripsi yang berjudul
“PEMIKIRAN K.H. ABDUL WAHID HASYIM TENTANG
PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM” dapat terselesaikan. Tanpa anugerah dan karunia-Nya berupa nikmat kesehatan maka penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih ya Allah Engkau telah memberikan kekuatan kepada penulis, yang telah memberikan motivasi yang besar berupa kesabaran dalam menghadapi hambatan dan rintangan selama penulis mengerjakan skripsi. Dan Terima Kasih ya Rabbi, hingga saat ini penulis masih diberikan aroma udara yang memberikan kehidupan ini.
Shalawat dan salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw, dan para sahabat yang senantiasa setia menemani perjalanan dakwahnya. Semoga kita termasuk dalam golongan beliau yang menegakkan panji-panji Islam serta dapat mengembangkan ajaran beliau. Amin.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini jauh dari sempurna, tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi. Namun, berkat do’a, dukungan, bantuan dan motivasi yang tak ternilai dari berbagai pihak, akhirnya penulisan skripsi ini selesai pada waktunya.
Oleh karena itu, penulis sampaikan terima kasih yang sangat dalam dan penghargaan yang setinggi-tingginya dengan penuh rasa hormat kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini khususnya kepada:
1. Ayahanda Musanep dan Ibunda Siti Uswatun Khasanah yang selalu memberi
motivasi dan dukungan untuk penulis selama penulis mengerjakan skripsi
serta memberikan dukungan moral dan material, do’a dan senyuman yang
iii
2. Bapak Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Bahrissalim, MA, Ketua Jurusan PAI dan Bapak Sapiudin Shidiq,
M.Ag Sekretaris Jurusan PAI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, penulis ucapkan terima kasih yang telah banyak membantu dan dukungannya dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Khalimi, MA, Dosen Pembimbing Skripsi yang telah menyediakan
waktu, pikiran dan tenaganya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan petunjuknya kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
5. Bapak Abdul Ghofur, MA, Dosen Penasehat Akademik yang dengan penuh
perhatian telah memberi bimbingan, arahan dan motivasi serta ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan.
6. Dosen FITK khususnya dosen PAI, yang dengan penuh semangat
membimbing penulis. Terima kasih atas sumbangsih pemikirannya.
7. Bapak pimpinan dan karyawan/i Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan pelayanan dan pinjaman buku-buku yang sangat penulis butuhkan dalam penyusunan skripsi.
8. Gus Ghofar dan para staf yayasan serta kepala perpustakaan Tebuireng Cak
As’ad, tidak lupa pula Guru-guruku di MASS dan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jatim. Terima kasih atas bantuannya serta doanya kepada penulis.
9. Kakak; Yu Mus, Mukhlisin, Tri Dewi Istikharoh, Jarotun, Mas Muh, Anto,
Popo, dan adikku tercinta Ahmad Hafidz Faisal Aziz dan Neqvi Ikfina Kamalia Rizqi terima kasih atas bantuan, kepedulian serta dukungan kalian dalam memberikan motivasi untuk cepat menyelesaikan Skripsi ini.
10.Teman-teman kosan H. Hanif seperjuangan; Cahyono Adi Nur, Yasir, Lubay,
iv
11.Temen-temenku yang nan jauh disana; Avi, Doel, Hendra, Trio, Royes,
Thorick, Tata, Imat, Khamam, Huda A, Huda B, Acil, Azwani, Bombom, Farid Maulana, Fikri, Irfan, Ishak, Jamil, Masas, Safrijal, Samsul. Terima kasih atas bantuannya dan motivasinya untuk penulis. Tetap jaga Silaturahminya.
12.Arek-arek Mbureng angkatan 2008 di Ciputat; Faqih, Aftony, Alvie, Aksan,
Muiz, Irwan, Imron, Qnoy, Sidiq, Topik, Umam, Jajang, Oland, Linda, Endri Diana, Ratna, Hilwa. Terima kasih banyak. Warkop menunggu kita.
13.Untuk Siti Muthoharoh terima kasih atas energi, motivasi dan meluangkan
waktu untuk sharing serta mewarnai hari-hari penulis.
14.Keluarga besar Pendidikan Agama Islam kelas A angkatan 2008, kenangan
indah dan kebersamaan kita yang tidak akan terlupakan, terima kasih untuk kalian semua.
15.Team Futsal New Soul; Ibnu, Takhsis, R-one, Nur, Subhan, Husyeni, Hery,
Hardiansyah, Kamil, Faridl, Istikhory, Fahmi, Nuryadi dan Majid. Kapan kita tanding lagi.
16.Tak lupa juga teman-teman PMII dan HMI serta HIKMAT (Himpunan
Keluarga Mahasiswa Alumni Tebuireng) yang selalu ada dalam sumbangsih arahan dan pemikirannya, demi kelancaran skripsi ini dan telah mengajarkan banyak tentang organisasi dan realita kehidupan.
17.Segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya, terima kasih
atas segala bantuan, perhatian dan semangat yang diberikan kepada penulis.
Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menghaturkan terima kasih banyak dan semoga Allah swt membalas semua kebaikan yang telah kalian berikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin Ya Rabbl Alamin.
Jakarta, 25 April 2013
v LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR GAMBAR ...vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Pembatasan Masalah ... 7
D. Rumusan Masalah ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 8
F. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II KAJIAN TEORI A. Pembaharuan ... 9
1. Pengertian Pembaharuan ... 9
2. Pembaharuan Pesantren ... 11
B. Pendidikan Islam ... 13
1. Pengertian Pendidikan Islam ... 13
2. Kurikulum Pendidikan Islam ... 16
3. Metode Pembelajaran ... 17
4. Tujuan Pendidikan Islam ... 19
C. Gambaran Umum Pendidikan Islam dari Masa ke Masa ... 23
D. Kajian yang Relevan ... 33
vi
D. Analisa Data ... 37
E. Teknik Penulisan ... 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 38
1. Biografi K.H. Abdul Wahid Hasyim ... 38
2. Pendidikan K.H. Abdul Wahid Hasyim ... 41
3. Organisasi K.H. Abdul Wahid Hasyim ... 46
4. Karya-karya K.H. Abdul Wahid Hasyim ... 52
5. Latar Belakang Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim .. 54
6. Konsep Pemikiran Pendidikan K.H. Abdul Wahid Hasyim ... 56
B. Pembahasan ... 67
C. Relevansi Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim dengan Perkembangan Pendidikan Masa Kini ... 72
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 76
B. Saran ... 77
vii
1.1 Arah Pengembangan dan Pencapaian Tujuan Pendidikan ... 23
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang selalu merindukan kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala potensi yang dimilikinya, ia berusaha maju dan berkembang untuk mecapai kesempurnaannya baik secara jasmani maupun rohani. Demi mancapai kesempurnaannya, manusia dituntut untuk bergaul dengan orang lain dan alam semesta yang senantiasa berubah-ubah, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mempertahankan kehidupannya. Dan pendidikan sebagai salah satu cara manusia untuk memenuhi hal tersebut.
hidupnya. Atau ia dapat mencapai suatu peradaban yang tinggi dan gemilang
dengan bantuan pendidikan.1
Selaras dengan firman Allah swt. Surat At-Taubah ayat 122 yang berbunyi:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (Q.S. At-Taubah:
122).2
Ayat diatas menunjukan pentingnya pendidikan bagi manusia. Sesungguhnya menuntut ilmu itu amat penting sekali bagi manusia di dunia ini. Terutama melalui lembaga pendidikan. Tanpa pendidikan manusia tidak bisa apa-apa, karena dari pendidikan itu sendiri manusia mempu mendapatkan ilmu-ilmu yang nantinya bermanfaat di dalam kehidupannya. Selain ayat diatas masih
banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang menghargai akal, pendidikan yang dapat
membedakan antara diri manusia dengan yang lain. Seperti halnya para pakar pendidikan mengungkapkan pentingnya pendidikan itu sendiri.
Menurut Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf, yang dikutip oleh Syamsul Kurniawan menyatakan pendidikan di artikan sebagai upaya penanaman
nilai-nilai dalam keseluruhan proses pembelajaran untuk tujuan tertentu.3 Pada
dasarnya pendidikan merupakan proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan potensi diri sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang
1
Hanun Asrorah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), Cet. II, hal. 2.
2
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV Atlas, 1998), hal. 301.
3
terjadi. Menurut undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang system pendidikan nasional menyatakan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.4
Dalam Islam sendiri Pendidikan adalah upaya membimbing, mengarahkan, dan membina peserta didik yang dilakukkan secara sadar dan terencana agar
terbina suatu keperibadian yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.5 Sebagai
sebuah system, pendidikan Islam mempunyai Aspek-aspek antara yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Aspek-aspek tersebut antara lain meliputi
tujuan, kurikulum, metode, guru, lingkungan dan sarana.6
Islam adalah agama yang universal, ajaran didalamnya tidak hanya menekankan pada aspek ritualitas, ubudiyah, penghambaan manusia kepada Tuhannya semata. Lebih dari itu, ajaran Islam juga menyentuh kedalam ranah pendidikan. Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi semua orang (education for all) laki-laki maupun perempuan dan pendidikan berlangsung
sepanjang hayat (long life education).7
Pendidikan Islam di Indonesia mengikuti masa dan dinamika perkembangan kaum muslimin. Di mana ada komunitas muslim, maka terdapat tingkat aktivitas pendidikan Islam yang dilaksanakan sesuai dengan situasi dan
kondisi. Sejarah yang membahas peristiwa-peristiwa masa lalu (even in the past),
jangan dianggap remeh dan dibiarkan lewat seiring dengan berlalunya waktu,
sebab begitu besar makna sejarah bagi kehidupan umat. “Belajarlah dari sejarah”, demikianlah kata-kata mutiara yang dapat mengingatkan makna sejarah itu.
4
Departemen Agama RI, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006), hal. 8
5
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), Cet ke-9. hal. 340 6
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet ke-1, hal. 10
7
Pandangan Islam terhadap Pendidikan seperti diatas adalah interpretasi dari hadis Nabi
Bahkan Bung Karno sebagai persiden RI pertama telah menitipkan sesuatu yang
sangat berharga, berupa “Jasmerah”, sebagai akronim dari “jangan sampai
melupakan sejarah”. Sejarah memang mengandung kegunaan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, karena sejarah menyimpan atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulakan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi perkembangan kehidupan manusia. Dengan demikian begitu
pentingnya sejarah pendidikan Islam.8
Dimulai dari pendidikan Islam Indonesia masa awal. Sejak awal perkembangan Islam, pendidikan mendapat prioritas utama masyarakat muslim Indonesia. Di samping karena besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam sistem
yang sederhana, dimana pengajaran diberikan dengan sistem halaqoh yang
dilakukan di tempat-tempat ibadah semacam masjid, mushalla, bahkan juga
rumah-rumah ulama.9 Disamping itu ada juga yang dinamakan surau, yakni
lembaga pendidikan Islam tradisional di Sumatra Barat. Di Minangkabau istilah surau telah digunakan sebelum datangnya Islam. Ia merupakan tempat yang dibangun untuk tempat ibadah orang Hindu-Budha. Dikatakan bahwa Raja Ditiawarman telah mendirikan komplek surau di sekitar Bukit Gombak. Surau ini dipergunakan sebagai tempat berkumpul pemuda-pemuda untuk belajar ilmu
agama sebagai alat yang ideal untuk memecahkan masalah-masalah agama.10
Pada zaman kolonial Belanda telah didirikan beraneka macam sekolah,
ada yang bernama Sekolah tingkat Dasar, Sekolah Kelas II, HIS (Hollands
Inlandse School), MULO (Meer Unigebreid Leger Onderwijs), AMS (Algemene Middelbare School) dan lain-lain. Sekolah-sekolah tersebut seluruhnya hanya pengajaran umum, tidak memberikan mata pelajaran agama sama sekali, hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1905 Belanda memberikan aturan bahwa setiap guru agama harus izin dahulu. Pada tahun 1925 muncul juga peraturan bahwa tidak semua kyai boleh memberikan pelajaran.
8
Mansur dkk, Rekonsruksi Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2005), hal. iii
9
Mansur dkk, op. cit., hal. 46. 10
Peraturan itu besar sekali pengaruhnya dalam menghambat perkembangan pendidikan Islam.
Ulama-ulama dan guru-guru agama kehilangan konsentrasinya untuk memberikan pelajaran, dengan begitu pelaksanaan pendidikan terganggu. Pada pertengahan abad ke 19 pemerintah Belanda mulai menyelenggarakan pendidikan model barat yang diperuntukan bagi orang-orang Belanda dan sekelompok kecil orang Indonesia (terutama kelompok berada). Sejak itu, tersebar jenis pendidikan rakyat, yang berarti juga bagi umat Islam. Selanjutnya pemerintah meberlakukkan Politik Etis yang mendirikan dan menyebarluaskan pendidikan rakyat sampai pedesaan. Belanda tidak mengakui para lulusan pendidikan tradisional, sehingga mereka tidak bisa bekerja di pabrik maupun sebagai tenaga birokrat. Jadi dengan adanya diskriminasi dalam segala lini kehidupan akibat kolonialisme dan feodalisme tersebut, maka terdapat banyak tokoh pemikir dan pejuang rakyat baik pribadi maupun lewat organisasi yang bangkit dan sadar menolak terhadap perlakuan atau penjajahan tersebut. Karena mereka sadar bahwa semua manusia, bangsa adalah bermartabat, maka tidak pantas suatu bangsa menjajah bangsa lain.
Sejarah mencatat bahwa pada masa awal lahirnya Islam, umat Islam belum memiliki budaya mebaca dan menulis karena belum adanya tuntutan dari perkembangan masyarakat. Setelah Indonesia dijajah oleh Belanda pendidikan Islam mendapat tantangan, sekolah Belanda dikembangkan oleh pemerintah Belanda untuk menghasilkan tenaga rendah yang dapat digaji jauh lebih murah daripada pekerja golongan Belanda yang didatangkan dari negeri Belanda. Inilah kemungkinan yang melatarbelakangi pendidikan formal berorientasi pada kerja dan sifat-sifatnya kapitalis yang cinta pada harta benda atau sifat materialistik,
sehingga mengalami berbagai malpraktek pendidikan yang silakukan sekarang
ini.11
Pada awal pemerintah Jepang mengambil siasat menrangkul umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia. Sikap penjajah Jepang terhadap pendidikan Islam ternyata lebih lunak, sehingga ruang gerak pendidikan Islam
lebih bebas ketimbang pada zaman pemerintah kolonial Belanda. Hal ini
11
dikarenakan Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama, yang penting bagi Jepang adalah demi keperluan memenangkan perang, dan kalau perlu para
pemuka agama lebih diberikan keleluasaan dalam mengembangkan
pendidikannya. Dengan mendekati dan mengambil hati umat Islam, mereka dapat memperkuat kekuasaannya di Indonesia. Untuk itu mereka menempuh beberapa
kebijakan. Kantor Urusan Agama pada zaman Belanda disebut Kantoor Voor
Islamistiche Zaken yang dipimpin oleh orang-rang orientalis Belanda diubah
namanya oleh Jepang menjadi Kantor Sumubu yang dipimpin oleh ulama Islam,
yaitu K.H. M. Hasyim Asy’ari, sedangkan didaerah-daerah dibentuk Sumuka. 12 Salah satu tokoh yang tak kalah pentingnya yaitu KH. Abdul Wahid Hasyim (selanjutnya disebut Wahid Hasyim). Beliau adalah tokoh yang sangat cerdas, tegas dan berani. Serta salah satu tokoh yang memperjuangkan BPUPKI yang kemudian menjadi PPKI untuk menyiapkan wujud NKRI dan tokoh Islam yang memperjuangkan pendidikan Islam di Indonesia.
Menurut Zamakhsyari, sebagaimana dikutip oleh Seri Buku Tempo
mengungkapkan bahwa K.H. M. Hasyim Asy’ari mempercayakan jabatan
Sumubu kepada sang anak (Wahid Hasyim). Ketika memimpin kantor urusan
agama yang sesungguhnya embrio Kementrian Agama itu, Wahid Hasyim
menfokuskan diri pada masalah umat Islam yang bercerai-berai. Wahid Hasyim
saat itu menjadikan Shumubu sebagai jembatan perbedaan umat Islam agar tidak
terpecah.13
Sosok Wahid Hasyim yang merupakan tokoh kelahiran pesantren tetapi beliau memiliki pemikiran yang moderat. Beliau melakukan pembaharuan dalam berbagai bidang, yang diantaranya adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan. Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang dapat dibuktikan adalah dengan perombakan sistem pendidikan pesantren Tebuireng yang didirikan oleh ayahnya,
yaitu K.H. Hasyim Asy’ari.14 Ia melihat perlunya pembaharuan dalam sistem
12
Ibid., hal. 61. 13
Seri Buku Tempo, Wahid Hasyim Untuk Republik dari Tebuireng, (Jakarta: KPG-Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), hal. 43.
14
pendidikan yang tradisional dan hanya mengkaji kitab-kitab kuning, yang
menggunakan metode halaqoh, untuk kemudian di transformasikan kearah yang
lebih progresif, tutorial. Namun yang lebih pokok dari pembaharuannya adalah perlunya dimasukan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum pesantren, karena ia memandang tidak semua santri-santri itu bercita-cita ingin menjadi ulama atau kyai.
Dari wacana yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk menganalisa lebih jauh mengenai gagasan Pendidikan K.H. Abdul Wahid Hasyim.
Dan penulis membuat skripsi ini dengan judul: “Pemikiran K.H. Abdul Wahid
Hasyim Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam”.
B.
Identifikasi Masalah
1. Pendidikan dianggap penting oleh semua kalangan, baik oleh agamawan,
sosialis, suku, besar maupun kecil dan sebagainya.
2. Sejarah ajaran Islam dalam segi pendidikan dianggap lamban di Indonesia
mengakibatkan kurang mengena kepada lapisan masyarakat
3. Fenomena masyarakat Indonesia yang kurang akan aplikasi pendidikan
Islam sampai sekarang sangat jauh dari harapan.
C.
Pembatasan Masalah
Selain dikenal sebagai tokoh kemerdekaan Indonesia. Wahid Hasyim juga dikenal lewat pemikiran-pemikirannya, yaitu pemikiran agama, politik, pendidikan, dan perjuangannya. Agar masalah yang diteliti tidak melebar dan keluar dari pembahasan, karena itu penulis memberi batasan masalah dalam skripsi ini yaitu:
1. Mengenal sosok Wahid Hasyim, latar belakang keluarga, pendidikan,
organisasi dan karya-karyanya?
2. Menguraikan konsep Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim tentang
3. Relevansi pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim dengan perkembangan Pendidikan Masa kini?
D.
Perumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang telah dibatasi seperti di atas, maka perumusan
masalah yang diajukan penulis adalah “Bagaimana Konsep Pemikiran K.H. Abdul
Wahid Hasyim tentang Pembaharuan Pendidikan Islam?”.
E.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian kualitatif ini adalah:
1. Untuk menambah data-data informasi tentang pemikiran K.H. Abdul
Wahid Hasyim dalam pendidikan
2. Untuk mengetahui latar belakangnya dan keluarganya
3. Untuk mengetahui lebih jelas konsep pendidikan K.H. Abdul Wahid
Hasyim dan relevansi pemikirannya.
F.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Dapat dijadikan sumber referensi dalam rangka memperkaya khazanah
dalam pemikiran tokoh pendidikan.
2. Dapat memberikan kontribusi ilmiah tentang konsep pemikiran tokoh
pendidikan dan dijadikan sumber bacaan.
3. Dapat memberikan motivasi dan inspirasi bagi mahasiswa untuk
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Pembaharuan
1.
Pengertian Pembaharuan
Kata pembaharuan dapat diartikan dengan reformasi, yaitu perubahan radikal untuk perbaikan di bidang sosial, politik, hukum, agama dan lain
sebagainya dalam suatu masyarakat atau negara.1
Menurut Abdul Rahman Saleh, sebagaimana dikutip oleh Armai Arief mengatakan pembaharuan biasanya dipergunakan sebagai proses perubahan untuk memperbaiki keadaan yang ada sebelumnya kepada cara atau situasi dan kondisi yang lebih baik dan lebih maju serta mencapai suatu tujuan yang lebih baik dari
sebelumnya.2
Sedangkan L. Stoddard menyatakan bahwa pembaharuan dapat disamakan
artinya dengan reformasi. Menurutnya pembaharuan adalah reformasi is radical
change for better in social, politikal or religious affair (perubahan secara radikal
1
M. Dahlan Y Al-Barry, dkk, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual, (Surabaya: Target Press, 2003), hal. 660
2
ke arah yang lebih baik dalam bidang sosial, politik, maupun masalah-masalah
keagamaan).3
Dalam bahasa Indonesia selalu dipakai kata modern, moderenisasi dan modernisme, seperti yang terdapat umpamanya dalam “aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam dan modernisasi”. Modernisasi dalam masyarakat barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat-istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi modern.4 Pembaharuan dalam bahasa Arab itu tajdid dari akar kata اً ْ ِ ْ َت- ُ ِ َ ُ - َ َ َ .5
Tajdid dari segi bahasa itu pembaharuan, dan dari segi istilah memiliki dua
arti; pertama, Pemurnian dan kedua, Peningkatan, pengembangan, modernisasi.
Maksud pemurnian itu memelihara ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an
dan Sunnah, dan maksud dari peningkatan, pengembangan dan modernisasi itu sebagai wujud pengamalan ajaran Islam dan tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah.6
Adanya tajdid atau pembaharuan pendidikan Islam pada abad modern
dapat dilihat dari dua faktor penting, antara lain; pertama, kondisi internal dalam
dunia pendidikan dan intelektual Islam. kedua, faktor eksternal. Yaitu terjadi
kontak hubungan antara Islam dan dunia Barat menyadarkan umat Islam untuk
mengimbanginnya.7
Dikatakan oleh K. H. Ali Ma’sum menyinggung masalah tajdid; bahwa
adanya tajdid dan munculnya mujadid di Indonesia tak ditolak, asal benar-benar sesuai dengan tuntutan. Memang itu telah dijanjikan oleh Nabi kita sendiri bahwa
3
Ibid., hal. 19 4
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), hal. 9.
5
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), Cet ke-8, hal. 85
6
Djohan Efendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi; Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hal. 121
7
di setiap 100 tahun, umat Islam akan kedatangan mujadid. Karena tajdid itu tidak
lain menghidupkan sesuatu dan mengembalikannya kepada yang asli.8
2.
Pembaharuan Pesantren
Kata pesantren yang terdiri dari kata asal “santri” awalan “pe” dan akhiran “an”, yang menentukan tempat. Berarti “tempat para santri”. Kadang-kadang ikatan kata “sant” (manusia baik) dihubungkan dengan suku kata “tra” (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat pendidikan
manusia baik-baik.9
Pondok pesantren, pondok itu kamar, gubuk, rumah kecil dipakai dalam bahasa Indonesia dengan menekankan kesederhanaan bangunan. Mungkin juga “pondok” diturunkan dari kata Arab yaitu “furuq” (ruang tidur, wisma, hotel sederhana). Istilah pondok pesantren dimaksudkan untuk suatu bentuk pendidikan
ke-Islaman yang melembaga di Indonesia.10
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaannya pesantren di Indonesia di mulai sejak Islam masuk di negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama ada di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa. Pesantren tidak hanya melahirkan tokoh-tokoh nasional yang paling berpengaruh di negeri ini, tetapi juga diakui telah berhasil membentuk watak tersendiri, di mana bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam yang
dapat menyesuaikan diri dan penuh tenggang rasa.11
Perkembangan dunia telah melahirkan suatu kemajuan zaman yang modern. Perubahan-perubahan mendasar dalam stuktur sosio-kultural seringkali membentur pada aneka kemapanan. Dan berakibat pada keharusan untuk mengadakan usaha kontekstualisasi bangunan-bangunan dengan dinamika
8
Djohan Efendi, op.cit., hal. 125-126. 9
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat-P3M, 1986), Cet ke-1, hal. 99
10
Ibid., hal. 98 11
modernisasi, tak terkecuali dengan sistem pendidikan peantren. Karena itu, sistem pesantren harus selalu melakukkan rekonstruksi pemahaman tentang
ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survive.12
Keharusan untuk mengadakan rekonstruksi ini sesungguhnya sudah dimaklumi. Bukanlah dunia pesantren telah memperkenalkan sebuah kaidah yang
sangat jitu: al-Muhafazhah „ala Qadim ash-Shalih wa Akhdz bi Jadid
al-Ashlah (memelihara nilai klasik yang baik dan menerima/menggali nilai-nilai baru yang lebih konstruktif).
Kaidah ini merupakan legalitas yang kuat atas segala upaya rekonstruksi. Kebebasan membentuk model pesantren merupakan keniscayaan, asalkan tidak
terlepas dari al-Ashlah (lebih baik). Begitu pula, ketika dunia pesantren
diharuskan mengadakan rekonstruksi sebagai konsekuensi dari kemajuan dunia
modern, aspek al-Ashlah menjadi kunci yang harus dipegang. Pesantren modern
berarti pesantren yang selalu tanggap terhadap perubahan dan tuntutan zaman,
berwawasan masa depan, selalu mengutamakan prinsip efektifitas dan efesiensi.13
Modernisasi pendidikan Islam pertama kali setidaknya mempunyai dua
kecenderungan, antara lain: pertama, adopsi sistem dan lembaga pendidikan
modern secara hampir menyeluruh yang bertitik tolak pada sistem kelembagaan pendidikan modern (Belanda), misalnya yang dilakukan oleh Abdullah Ahmad melalui Madrasah Adabiyah yang kemudian diubah menjadi Sekolah Adabiyah. Di sekolah ini mengadopsi seluruh kurikulum Belanda; dan hanya menambahkan
pelajaran agama 2 jam dalam sepekan. Kedua, modernisasi pendidikan Islam yang
bertitik tolak dari sistem dan kelembagaan pendidikan Islam sendiri. Modernisasi ini dilakukkan di dunia pesantren, surau, melalui adopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern, khususnya dalam kandungan kurikulum, teknik dan
metode pembelajaran.14
12
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), Cet ke-1, hal. 128
13
Ibid., hal. 129 14
Dengan kata lain sejauh mana pesantren melakukan modernisasi tetap harus ada batasannya. Dengan adanya moderniasi, pesantren tidak kehilangan jati dirinya yang khas.
B.
Pendidikan Islam
1.
Pengertian Pendidikan Islam
Sebelum melangkah kepada pendidikan Islam, terlebih dahulu kiranya diterangkan tentang pendidikan. Pendidikan secara etimologi berasal dari kata “didik” yang kemudian mendapat awalan “pe” dan akhiran “an”, mengeandung
arti perbuatan (hal cara, dsb)15 Istilah pendidikan ini berasal dari bahasa Yunani,
yaitu “paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education”, yang
diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan.16
Sedangkan secara terminology, pengertian pendidikan belum ada kesepakatan bersama dari pakar-pakar pendidikan. Menurut UUSPN No. 20 tahun 2003, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.17
Dalam konteks yang lebih luas John Dewey memberikan definisi sebagai oraganisasi pengalaman hidup. Sementara itu, Komisi Nasional Pendidikan mendefinisikan, pendidikan adalah usaha nyata menyeluruh yang setiap program
dan kegiatannya selalu terkait dengan tujuan akhir pendidikan.18
Pendidikan juga mengandung arti sebagai usaha membimbing dan membina serta bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak
15
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), Cet ke-12, hal. 250
16
Armai Arief, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Diklat Perkuliahan, 2002), hal. 2 17
Departemen Agama RI, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006), hal. 5.
18
didik ke arah kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.19
Adapun istilah pendidikan Islam, setidaknya ada tiga kata yang
berhubungan dengan istilah tersebut, yaitu al-Tarbiyah, al-Ta’lim dan al-Ta’dib.
Pertama kata at-Tarbiyah berasal dari kata rabba yarubbu yang berarti
memimpin, memperaiki, menambah, memelihara, mengasuh dan mendidik.20
Kata Tarbiyah umumnya diartikan sebagai usaha sadar untuk membimbing, mendidik untuk mendewasakan anak, mentransfer ilmu pengetahuan dan keterampilan-keterampilan agar manusia tumbuh dewasa dan bisa berkompetitif pada zamannya.
Salah satu ayat Al-Qur’an yang menggunakan term rabba terdapat dalam
surat al-Isra ayat 24, yang berbunyi:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".”
(QS. Al-Isra: 24).21
Menurut Syed M. Naquib Al-Attas, pengertian at-Tarbiyah secara
etimologi sebanding dengan kata ghadza yadzwu yang bererti mengasuh,
menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan,
membuat menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan,
memproduksi hasil-hasil yang sudah matang, dan menjinakkan.22
Kedua kata at-Ta’lim berasal dari kata allama yuallimu ta’liman yang
berarti mengajar, memberitahu, mempelajari.23 Kata at-Ta’lim dalam pendidikan
19
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 40.
20
A. W. Munawwir, Kamus Lengkap Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresive, 1984), hal. 462.
21
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV Toha Putra, 1989), hal. 428.
22
Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1997), Cet ke-7, hal. 66.
23
bererti kegiatan untuk mentransfer ilmu pengetahuan atau informasi melalui pembelajaran.
Abdul Fatah Jalal berpendapat bahwa at-Ta’lim menurutnya lebih
universal dibanding dengan proses at-Tarbiyah. Untuk ini Jalal mengajukan
alasan, bahwa kata at-Ta’lim berhubungan dengan pemberian bekal pengetahuan.
Pengetahuan ini dalam Islam dinilai sesuatu yang memiliki kedudukan yang tinggi.24
Adapun kecenderungannya kata at-Ta’lim lebih kepada transfer ilmu
pengetahuan dengan perubahan sikap yang dihasilkannya. Atau dengan kata lain penggambaran mengenai proses pembelajaran, baik di lingkungan pendidikan maupun masyarakat.
Ketiga kata at-Ta’dib berasal dari addaba, yuaddibu, ta’diban yang berarti
mendidik atau memperbaiki, beradab dan sopan santun.25
Adapun kata at-Ta’dib dalam arti pendidikan, Syed M. Naquib Al-Attas
mengartikan at-Ta’dib sebagai pengenalan dan pengakuan secara
berangsur-angsur yang ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan peciptaan, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan keagungan Tuhan.
Ketiga istilah diatas sebenarnya memberikan kesan berbeda, istilah
at-Tarbiyah mengesankan proses pembinaan dan pengarahan untuk pembentukan
kepribadian, sikap dan mental. Kemudian istilah at-Ta’lim mengesankan proses
pemberian bekal pengetahuan. Dan istilah at-Ta’dib mengesankan proses
pembinaan sikap, moral dan etika.
Dari pengertian-pengertian di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa pendidikan Islam adalah suatu usaha atau kegiatan kependidikan yang melalui pendidik kepada peserta didik yaitu dengan bimbingan jasmani dan rohani, pengajaran dan latihan untuk menyempurnakan dan mengarahkan kompetisi yang ada dalam diri peserta didik agar terwujudnya pribadi yang baik, Islami, dan menjadikan ajaran Islam sebagai pandangan hidup.
24
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet ke-1, hal. 8
25
2.
Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum merupakan rencana pendidikan yang memberi pedoman tentang jenis, lingkup, dan urutan isi, serta proses pendidikan. Pengertian asal kata curriculum ialah arena perlombaan (race course). Frasa “arena perlombaan” sering kali dipandang sebagai metafora yang bermanfaat bagi perenungan makna kurikulum pendidikan. Kadang-kadang arena itu dibayangkan sebagai arena
pacuan kuda yang memiliki garis start dan garis finish dengan rambu-rambu yang
harus dipatuhi oleh jocky.26
Dalam Kamus Induk Istilah Ilmiah menyebutkan Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran atau bidang studi yang diajarkan di sekolah dasar dan menengah atau pada lembaga pendidikan. Dan juga bisa diartikan perangkat mata
pelajaran kuliah untuk suatu bidang keahlian khusus.27
Kemudian Zakiah Daradjat menyatakan kurikulum adalah “suatu program
pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu”.28
Ada empat komponen utama kurikulum, yaitu tujuan, bahan ajar, metode-alat dan penilaian. Setiap praktik pendidikan diarahkan pada pencapaian tujuan, baik berupa penguasaan pengetahuan, pengembangan pribadi, kemampuan sosial, ataupun kemampuan bekerja. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan bahan ajar; untuk menyampaikan bahan ajar diperlukan metode serta alat-alat bantu; serta untuk menilai hasil dan proses pendidikan siperlukan cara-cara dan alat-alat penilaian.
Dalam pembahasan tentang bahan ajar, pengetahuan selalu didiskusikan
oleh para ahli, baik dari klasifikasi maupun dari squence-nya. Para ulama muslim
masa lalu yang menaruh perhatian terhadap topik ini antara lain al-Ghazali, Ibnu
Khaldun dan al-Zarnuji.29
26
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalimah, 1999), hal. 161. 27
M. Dahlan Y Al-Barry, dkk, op. cit., hal. 440 28
Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam., (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet ke-3, hal. 122.
29
Oman Mohammad al-Toumy al-Syaibany menyebutkan lima ciri kurikulum pendidikan Islam. Antara lain:
a. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan-tujuannya
dan kadungan-kandungannya, metode-metode, alat-alat, dan tekniknya bercorak agama.
b. Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya. Yaitu kurikulum
yang betul-betul mencerminkan semangat, pemikiran dan ajaran yang menyeluruh. Di samping itu ia juga luas dalam perhatiannya. Ia memperhatikan pengembangan dan bimbingan terhadap segala aspek pribadi pelajar dari segi intelektual, psikologis, sosial dan spiritual.
c. Bersikap seimbang di antara berbagai ilmu yang dikandung dalam
kurikulum yang akan digunakan. Selain itu juga seimbang antara pengetahuan yang berguna bagi pengembangan individual dan pengembangan sosial.
d. Bersikap menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang
diperlukan oleh anak didik.
e. Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan minat dan bakat anak
didik.30
Pendidikan Islam dibangun atas dasar pemikiran yang islami; bertolak dari pandangan hidup dan pandangan tentang manusia, serta diarahkan kepada tujuan pendidikan yang dilandasi kaidah-kaidah Islam. Pemikiran tersebut pada
gilirannya akan melahirkan kurikulum yang khas Islami.31
3.
Metode Pembelajaran
Metode secara harfiah berarti “cara”. Dalam pemakaian yang umum, metode diartikan sebagai cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep prosedur yang
sistematis.32
Seperti yang dikemukakan di atas, metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata
30
Abudin Nata, op. cit., hal. 127. 31
Hery Noer Aly, op. cit., hal. 163 32
agar tujuan tercapai secara optimal. Hal ini berarti, metode digunakan untuk
merealisasikan strategi yang telah ditetapkan.33
Selanjutnya, yang dimaksud dengan metode mengajar ialah ara yang berisi prosedur baku untuk melaksanakan kegiatan kependidikan, khususnya kegiatan penyajian materi pelajaran kepada siswa. Bagian penting yang sering dilupakan orang adalah strategi mengajar yang sesungguhnya melekat dalam metode
mengajar. Namun, berbeda dari strategi mengajar (teaching strategy), metode
mengajar tidak langsung berhubungan dengan hasil belajar yang dikehendaki. Artinya, dibandingkan dengan strategi, metode pada umumnya kurang
berorientasi pada tujuan (less goal-oriented) karena metode dianggap konsep yang
lebih luas daripada strategi. Gagasan ini tidak mengurangi signifikasi metode mengajar, lantaran strategi mengajar itu lebih ada dan berlaku dalam krangka
metode mengajar.34
Penggunaan metode yang tepat akan turut menentukan efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Pembelajaran perlu dilakukan dengan sedikit ceramah dan metode-metode yang berpusat pada guru, dan menekankan pada interaksi peserta didik. Penggunaan metode yang bervariasi akan sangat membantu peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Berikut beberapa metode pembelajaran yang dapat dijadikan acuan untuk pendidik.
a. Metode Demostrasi
Yang di maksud metode demostrasi itu guru dapat memperlihatkan suatu proses, peristiwa, atau cara kerja suatu alat kepada peserta didik. Demonstrasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, dari yang sekedar memberikan pengetahuan yang sudah diterima begitu saja oleh peserta didik, sampai pada cara agar peserta didik dapat memecahkan suatu
masalah.35
33
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet ke-6, hal. 145.
34
Muhibbin Syah, loc. cit. 35
b. Metode Ceramah
Metode Ceramah merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pembelajaran. Pada metode ini, guru menyajikan bahan melalui penuturan atau penjelasan lisan langsung terhadap peserta didik.
c. Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab merupakan cara menyajikan bahan ajar dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban untuk mencapai tujuan. Pertanyaan-pertanyaan bisa muncul dari guru, bisa
juga dari peserta didik, demikian halnya jawabannya.36
d. Metode Diskusi
Metode diskusi sebagai percakapan pesponsif yang dijalin oleh pertanyaan-pertanyaan problematis yang diarahkan untuk memperoleh pemecahan masalah. Hal tersebut sejalan dengan pengertian yang
dikemukakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) bahwa
diskusi adalah pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah. Di metode diskusi pasti ada pemasalahan yang harus di
selesaikan.37
Dan masih banyak lagi metode-metode pembelajaran yang dapat membantu peserta didik untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran di lembaga pendidikan. Metode-metode pembelajaran diatas adalah metode-metode pembelajaran yang sering diterapkan dalam pengajaran di lembaga pendidikan.
4.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah batas akhir yang dicita-citakan seseorang dan dijadikan pusat perhatiannya untuk dicapai melalui usaha. Dalam tujuan terkandung cita-cita, kehendak, dan kesengajaan, serta berkonsekuensi penyusunnan daya-upaya
untuk mencapainya.38 Maka tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang
36
Ibid., hal. 115. 37
Ibid., hal. 117. 38
berbentuk tetap dan stastis, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari
kepribadian seseorang, berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya.39
Zakiah Daradjat mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan Islam secara
keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil
dengan pola takwa, Insan Kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah
swt.40
Tujuan pendidikan memiliki klasifikasi, dari mulai tujuan yang sangat umum sampai tujuan khusus yang bersifat spesifik dan dapat diukur yang kemudian dinamakan kompetensi. Ada empat, yaitu: a) Tujuan Pendidikan Nasional/ TPN, b) Tujuan Institusional/ TI, c) Tujuan Kurikuler/ TK, d) Tujuan Pembelajaran atau Tujuan Instuksional.
a. Tujuan Pendidikan Nasional(TPN)
Tujuan Pendidikan Nasional adalah tujuan yang bersifat paling umum dan merupakan sasaran akhir yang harus dijadikan pedoman oleh setiap usaha pendidikan, artinya setiap lembaga dan penyelenggara pendidikan harus dapat membentuk manusia yang sesuai dengan rumusan itu, baik pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Tujuan pendidikan umum biasanya dirumuskan dalam bentuk perilaku yang ideal sesuai dengan pandangan hidup dan filsafah suatu bangsa yang dirumuskan oleh pemerintah dalam bentuk undang-undang.
Secara jelas tujuan pendidikan nasional yang bersumber dari sistem nilai Pancasila dirumuskan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 3, yang merumuskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
39
Zakiah Daradjat, dkk, op .cit., hal. 29. 40
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.41
b. Tujuan Institusional (TI)
Tujuan institusional adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap lembaga pendidikan. Dengan kata lain, tujuan ini dapat didefinisikan sebagai kualifikasi yang harus dimiliki oleh setiap siswa setelah mereka menempuh atau dapat menyelesaikan program di suatu lembaga pendidikan tertentu. Tujuan institusional merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan umum yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi lulusan setiap jenjang pendidikan, seperti misalnya standar kompetensi pendidikan dasar, menengah, kejuruan dan jenjang pendidikan tinggi.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab V Pasal 26 dijelaskan standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan, keperibadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah umum bertujuan untuk meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Dan Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningatakan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Selanjutnya Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan,
41
kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta
menetapkan ilmu, teknologi, dan seni yang beranfaat bagi kemanusiaan.42
c. Tujuan Kurikuler (TK)
Tujuan kurikuler adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap bidang atau mata pelajaran. Oleh sebab itu, tujuan kurikuler dapat didefinisikan sebaai kualifikasi yang harus dimiliki anak didik setelah mereka menyelesaikan suatu bidang studi tertentu dalam suatu lembaga pendidikan. Tujuan kurikuler juga pada dasarnya merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan lembaga pendidikan dengan demikian, setiap tujuan kurikuler harus dapat mendukung dan diarahkan untuk mencapai tujuan institusional.
Pada Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 6 dinyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dan menengah teridiri atas:
1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia
Bertujuan membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Tujuan tersebut dicapai melalui muatan dan/
keigatan agama, kewarganegaran, kepribadian, ilmu
pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga, dan kesehatan.
2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
Bertujuan: membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebagsaan dan cinta tanah air. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/ atau kegiatan agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan pendidikan jasmani.
3) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
Bertujuan mengembangkan logika, kemampuan berfikir, dan
analisis peserta didik.43
42
Ibid., hal. 64. 43
d. Tujuan Pembelajaran/ Instruksional (TP)
Tujuan pembelajaran atau instruksional merupakan tujuan yang paling khusus. Tujuan pembelajaran yang merupakan bagian dari tujuan kurikuler, dapat didefinisikan sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh anak didik setelah mereka mempelajari bahasan tertentu dalam
bidang studi tertentu dalam satu kali pertemuan.44
Dibawah ini hubungan setiap kalsifikasi tujaun dari tujuan umum sampai tujuan khusus, inilah gambaran tentang tujuan pendidikan, antara lain:
Arah Arah
Pencapaiaan penjabaran
tujuan tujuan
Gambar 1.1
Arah Pegembangan dan Pencapaian Tujuan Pendidikan45
C.
Gambaran Umum Pendidikan Islam dari Masa ke Masa
1.
Masa Permulaan Islam
Penyebaran agama Islam di Nusantara pada umumnya berlangsung melalui dua proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang Asing Asia, seperti Arab, India, dan Cina yang telah beragama Islam bertempat tinggal secara permanen
44
Ibid., hal. 66. 45
Ibid., hal. 67
Tujuan Pendidikan
Tujuan Institusional
Tujuan Kurikuler
disuatu wilayah Indonesia, melakukkan perkawinan dan mengikuti gaya hidup
lokal. Kedua proses ini sering terjadi secara bersamaan.46
Ketika berdiri kerajaan perlak yang menurut seminar Medan pada tahun 1963, dan seminar di Aceh pada tahun 1978, sekitar abad-abad pertama Hijriyah, lembaga-pendidikan seperti meunasah, rangkang, dayah dan bentuk pendidikan atau pengajian di surau dan masjid. Jadi pengertian pendidikan pada masa permulaan masuknya Islam di Nusantara ialah pengajian disurau-surau dan masjid.
Ketika berdiri kerajaan Islam lain sesudah kerajaan Perlak seperti kerajaan Islam Samudra Pasai (1025 M), Kerajaan Aceh (1025 M), dan kerajaan Islam Tamiah (1184 M) dapat dipastikan bahwa kegiatan-kegiatan pendidikan Islam di wilayah-wilayah kerajaan tersebut tentu samik berkembang luas dan dapat
diperkirakan pihak kerajaan memberikan bantuan untuk pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan Islam di wilayahnya.47
Menegaskan uraian diatas bahwa pada abad-abad pertama Hijriyah atau sekitar abad 8 atau 9 Masehi, pendidikan Islam telah berdiri dan berkembang di Aceh lewat surau-surau dan masjid.
2.
Masa Penjajahan Belanda
Ketika bangsa Belanda pertama kali menginjakan kakinya di Nusantara yang dimulai dengan melakukan monopoli kegiatan perniagaan di bawah sebuah
badan bernama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie), tahun 1602-1799
lalu diikuti masa penjajahan pemerintah colonial mulai tahun 1799, tidak dapat disangkal, bahwa misi keagamaan golongan Kristen telah jalan bareng, baik dilakukkan oleh pejabat VOC atau pejabat pemerintah colonial, oleh Zending (Kristen Protestan) dan misionaris (Katolik).
Dalam penyiapan tenaga trampil untuk mendukung operasional kegiatan VOC, baik yang bergerak dilapangan maupun tenaga administrasi, VOC
46
SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006), Cet. I. hal. 33
47
membuka lembaga pendidikan dibeberapa tempat di kawasan Indonesia Barat dan Timur.
Yang dipilih untuk diterima di lembaga pendidikan tersebut adalah dari golongan Kristen, dan untuk kaum Muslimin tertutup, terkecuali dalam kasus-kasus tertentu. Sebagai organisasi perdagangan yang semata-mata terfokus pada usaha meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, bersikap formal mereka adalah “netral agama”. Tetapi dalam kenyataannya, VOC menjalankan “politik agama”. Penduduk pribumi yang beragama Islam akan dikristenkan. Dibalik konsep mengkristekan penduduk pribumi (umat Islam) terkandung sejumlah tujuan yang ingin dicapai secara berjenjang. Kalau penduduk pribumi berhasil dikristenkan, maka hambatan psikologis antara orang Belanda dan penduduk pribumi, dengan sendirinya akan hilang, dan kemungkinan timbulnya konflik dan perlawanan pribumi terhadap bangsa Belanda dengan motif keagamaan akan sirna pula. Orang Belanda dan penduduk pribumi sudah seiman; sama-sama penganut agama Kristen. Tetapi sejarah mencatat kenyataan lain; dalam masa VOC yang berlangsung selama hampir dua abad 1602-1799 ia gagal mengkristenkan umat Islam Indonesia.
Ketika mulai memikirkan, merencanakan dan mencari model pendidikan bagi penduduk pribumi, diantara pejabat dan pemerintah colonial terjadi perbedaan pandangan. Sebagian beranggapan, bahwa sekolah agama yang telah memasyarakat layak dipertanggungjawabkan sebagai wadah pendidikan bagi pribumi. sekolah agama yang telah tersebar luas dan telah memiliki sarana pendidikan, walaupun masih sangat sederhana dan umumnya dibiayai masyarakat sendiri akan menguntungkan karena pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya besar dan mulai dari nol.
Tetapi sebagian pejabat kolonial menolak keras untuk menjadikan sekolah-sekolah agama-madrasah-menjadikan model pendidikan penduduk pribumi.
Sistem pendidikan pesantren atau diniyah dan madrasah dinilai terlalu
buruk. Didalamnya hanya diajarkan agama, bahasa Arab, dan al-Qur’an. Di
bisa membaca dan menulis huruf Latin. Pendidikan pesantren/ madrasah, adalah pendidikan agama dank arena secara teknis sulit diadopsi untuk pendidikan pribumi.
Uraian diatas terlihat bahwa alasan menolak untuk mengadopsi pesantren atau madrasah sebagai bentuk dan model penduduk pribumi, disamping alasan teknis adalah alasan politik dan alasan keagamaan.
Alasan politik dapat ditilik dari dua sisi. Dari sisi pandangan pemerintah colonial Belanda, yang memiliki ketentuan kata akhir bgi kebijakan di bidang pendidikan pribumi, tidak bisa tidak ikut dipengaruhi oleh citra dan semangat keagamaan. Dari sisi pandang yang kedua, yaitu dari umat Islam (pengelola dan pemilik sekolah agama atau madrasah). Mereka tidak rela kalau pihak orang “kafir” ikut mencampuri atau mengontrol dan mengawasi lembaga pendidikan
pesantren dan madrasah.48
Respon umat Islam dan ormas-ormas Islam atas “Politik Pendidik
Belanda” secara garis besar dapat diklasifikasikan ke dalam tiga golongan sebagai berikut:
Kelompok Pertama, menolak sama sekali segala yang berbau “kafir” tidak ada kompromi. Untuk menghindari pegaruh Belanda, golongan ini melakukan uzlah dari kota ke desa. Pendidikan yang dikelola golongan ini menjadi sangat eksklusif dan tertutup. Menjadilah pemerintah Kolonial Belanda mencurigai kegiatan pendidikan mereka, seperti dianggap menjadi pusat perlawanan dank arena itu harus diawasi dan dimata-matai. Symbol-simbol bangsa Barat yang “kafir” seperti pakai pantolan, jas, dasi, pakaian, kursi, meja, bahkan papan tulis juga dikharamkan. Mata pelajaran non agama, juga”dikharamkan” untuk dipelajari.
Kelompok kedua, mereka yang disebut Steenbrink, menolak system Pendidikan Belanda sambil meniru. Sisi-sisi yang dianggap baik untuk pendidikan madrasah mereka terima, tapi sisi-sisi yang merusak atau yang dapat mereduksi
tujuan utama pendidikan madrasah sebgai lembaga tafaqahu fiddin mereka tolak.
48
Kelompok ini dari perorangan, tokoh masyarakat pesantren, pengelola madrasah dan dari ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, Persis, Perti, al-Irsyad dan lain-lain.
Kelompok ketiga, Kelompok ini dianggap oelh kelompok Islam sendiri sebgai terlalu akomodatif terhadap politik pendidikan Belanda. Salah seorang
yang sangat terkenal adalah Abdullah Ahmad dengan madrasah Adabiyah nya di
Padang Panjang.
Kelompok keempat, Respon mereka terhadap “politik Pendidikan” pemerintah colonial Belanda dan pembaharuan pendidikan Islam, pada dasarnya dalam sikap mendua seperti disebutkan oleh Steenbrink: menolak sambil
mengikuti.49
Jadi pada masa colonial Belanda, Pendidikan Islam dilaksanakan di pesantren dan madrasah dan hanya mempelajari ilmu agama. Kemudian pemerintah colonial belanda mempermainkan “politik pendidikan” yang mana ingin semua sekolah, madrasah dan pesantren itu diatur oleh Belanda yang mana sekolah agama akan dijadikan sebagai kristenisasi serta kurikulumnya dirubah menjadi; agama Kristen, bahasa Belanda dan huruf-huruf Latin.
Di sini banyak pertentangan dari kalangan pesantren, madrasah dan ormas-oramas Islam. Belanda mencurigai ada gerakan-gerakan yang tersembunyi sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan colonial Belanda.
3.
Masa Jepang
Pemerintah Belanda sejak tanggal 8 Maret 1942 lenyap di bumi Indonesia karena harus bertekuk lutut kepada Jepang. Kendati demikian, bangsa Indonesia belum bebas dari penjajahan, sebab Jepang mengambil alih pendudukan Indonesia dari Belanda. Jepang muncul sebagai negara kuat di Asia yang bercita-cita besar ingin menjadi pemimpin Asia Timur Raya. Hal itu sudah direncanakan Jepang sejak taun 1940 untuk mendirikan kemakmuran bersama Asia Raya. Partai-partai Islam seakan mendapat kekuaan kembali setelah Jepang datang menggantikan posisi Belanda. Jepang berusaha mengakomodasi dua kekuatan, organisasi Islam
49
dan nasionalisme sekuler. Jepang berpendapat bahwa organisasi-organisasi Islamlah sebenarnya mempunyai massa yang patuh dan hanya dengan pendekatan agama penduduk Indonesia dpat dimobilisasi.
Sejak itulah organisasi-organisasi non keagamaan dibubarkan, sedangkan organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiyah, NU, Persyarikatan Ulama, dan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang kemudian dilanjutkan dengan Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), diperkenankan lagi meneruskan kegiatannya. Permohonan Masyumi juga diterima pemerintah Jepang untuk mendirikan barisan Hizbullah, sebuah wadah kemiliteran bagi para santri untuk mempersiapkan tenaga-tenaga militer yang ahli. Bahkan tentara Pembela Tanah
Air (PETA) banyak dimiliki oleh golongan santri yang digodok dalam adah
kemiliteran tersebut.
Jepang kemudian menjanjikan kemerdekaan pada rakyat Indonesia dengan
janji mengeluarkan maklumat Gunseikan No. 23/29 April 1945 tentang
pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Berbeda dengan situasi sebelumnya di mana kalangan Islam mendapat layanan dari Jepang, keanggotaan BPUPKI didominasi oleh golongan nasionalis sekuler yang ketika itu lazim disebut golongan kebangsaan, dan di dalam badan inilah Soekarno mencetuskan ide Pancasila.
Dalam rumusan Pancasila itu terdapat prinsip ketuhanan, tetapi terkesan negara dipisahkan dari agama. Setelah itu dialog resmi ideologi antara dua
golongan terbukti dalam suatu forum musyawarah. Panitia Sembilan, semacam
sebuah komisi dari forum itu membahas hal-hal yang sangat mendasar, prembule
UUD. Lima orang mewakili golongan nasionalis sekuler, yakni; Soekarno, Hatta,
Yamin, Maramis dan Subardjo. Adapun yang mewakili golongan Islam ada empat
Menjelan kemerdekaan setelah Jepang tidak dapat menghindari kekalahan dari tentara sekutu, BPUPKI ditingkatkan menjadi Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI).50
Kebijakan Jepang terhadap Pendidikan Islam di Indonesia sangatlah bagus. Contohnya seperti mengapuskan dualisme pengajaran. Dengan begitu habislah riwayat penyusunan pengajaran Belanda yang dualis membedakan antara pengajaran Barat dan pengajaran bumi putera. Dengan penghapusan pendidikan bertujuan mengambil hati rakyat Indonesia dan pemerintah Jepang berdalih bahwa pendidikan itu tidak ada perbedaan, padahal Jepang mempunyai semboyan Asia untuk bangsa Asia. Jepang menguasai Indonesia yang kaya sumber alam dan bermanfaat untuk kepentingan perang Jepang.
Sistem sekolah pada zaman Jepang banyak perbedaannya dibandingkan dengan penjajah Belanda. Hanya satu sekolah rendah yang diadakan bagi semua
lapisan masyarakat, ialah Sekolah Rakyat 6 tahun, yang dikenal dengan nama
Kokumin Gakkoo. Sekolah-sekilah desa dibiarkan, tetapi namanya diganti menjadi
sekolah pertama. Adapun susunan pengajarannya menjadi; Pertama, Sekolah
Rakyat 6 tahun (termasuk Sekolah Pertama), Kedua, Sekolah Menengah 3 tahun.
Ketiga, Sekolah Menengah Tinggi 3 tahun (SMA pada zaman Jepang). Terbukti bahwa sistem perjenjangan yang berlaku di Indonesia merupakan warisan masa penjajahan Jepang.
Kelebihan pada masa Jepang yakni menjunjung dan menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di tiap-tiap sekolah. Pemakaian bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai bahasa pengantar pada tiap-tiap jenis sekolah telah dilaksanakan. Namun demikian sekolah-sekolah itu dipergunakan juga sebagai alat untuk memperkenalkan kebudayaan Jepang
kepada rakyat.51 Seperti halnya seiap hari terutama pada pagi hari harus
mengucapkan sumpah setia kepada Kaisar Jepang.
50
Mansur dkk, Rekonsruksi Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2005), hal. 57-59.
51
4.
Masa Kemerdekaan dan Orde lama
Dari awal kemerdekaan sampai masa pemerintahan Orde Lama dapat dibagi sebagai beriku: (1) Masa awal kemerdekaan dimulai sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga saat penyerahaan kedaulatan dari pemerintahan Belanda tahun 1949. Dalam periode ini, keadaan dalam negeri masih meliputi suasana revolusi fisik melawan Belanda dan tentara sekutu yang ingin menganulir kemerdekaan Indonesia. Disamping harus berperang melawan Belanda dan tentara sekutu, pemerintah Indonesia harus berhadapan pula dengan anasir-anasir dalam negeri yang melakukkan makar dan pemberontakan seperti yang dilakukan PKI di Madiun tahun 1948, peristiwa Soumokil yang memproklamasikan “Negara Maluku Utara”, pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kartosoewirjo di Jawa Barat dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan,
dan lain-lain. (2) Era “Demokrasi Liberal” berlangsung antara 1952-1959 (hingga
saat Dekrit Persiden kembali ke Undang-Undang Dasar 1945). (3) Era “Demokrasi Terpimpin pemerintahan Orde Lama tahun 1959, sampai meletus
peristiwa makar G30S/PKI tahun 1965.”
Kebijakan publik yang berkaitan dengan pendidikan Islam dalam masa awal kemerdekaan sampai runtuhnya pemerintahan Orde Lama yang dibicarakan dalam hal ini meliputi: (1) Rancangan Pembaruan Sistem Pendidikan Nasional, (2) Penyelengaraan Pendidikan Agama di sekolah umum dan pembinaan madrasah dan pesantren, (3) Cita-cita konvergensi antara isi pendidikan umum dan Pendidikan agama (Islam), (4) Pembaruan dan revitalisasi sekolah Agama, menyusul penerbitan Undangan-undang No 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah.
Sebagai model dalam melakukan pembaruan dan revitalisasi Sekolah Agama itu, kementrian Agama mengembangkan proyek perintisan Madrasah
Wajib Belajar (MWB).52
52
5.
Masa Orde Baru
Dalam masa pemerintahan Orde Baru, terjadi banyak upaya untuk pembaruan dan pengembangan sistem dan peningkatan mutu pendidikan Islam, baik dilakukan oleh pemerintah, maupun dilakukan oleh masyarakat sendiri.
Di antara upaya yang dilakukan oleh Negara/ pemerintah, di samping memberikan perhatian dalam pembiayaan dan subsidi juga menerbitkan sejumlah kebijakan publik, baik berupa TAP MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden, Keputusan mentri dan SKB tingkat Mentri. Beberapa kebijakan yang diterbitkan pemerintah itu, ada yang dinilai oleh masyarakat sebagai kontroversial. Bahkan dari kebijakan Pem