BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Pembahasan
yaitu ada dua hal secara historis melatarbelakangi pembaharuan. Pertama,
37
Achmad Zaini, op. cit., hal. 1-3. 38Saifullah Ma’shum, op. cit., hal. 299. 39
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), hal. 149
40
kondisi umat Islam yang terbelakang dalam hal pendidikan, yang berdasar pada kesadaran pentingnya pendidikan dalam rangka membangun bangsa. Kedua, sentimen negatif Wahid Hasyim terhadap kolonialisme yang menganaktirikan masyarakat pribumi terkait hak-hak untuk mengenyam pendidikan, begitu pula nasionalisme yang dibangun anak bangsa yang merambah dan mewujud dalam bentuk reformasi pendidikan Islam sebagai peneguhan atas eksistensi identitas umat Islam juga sebagai perlawanan
terhadap pemerintah kolonialisme.41
Kedua faktor diatas itulah yang melatarbelakangi Wahid Hasyim dalam melakukan perubahan pendidikan Islam di Tebuireng.
Setiap orang mengenal bahwa pesantren pada masa awal
merupakan suatu lembaga pendidikan klasik dan tradisional di negeri ini.42
Termasuk Pesantren Tebuireng.
Pesantren ialah tempat di mana anak-anak muda dan dewasa belajar secara lebih mendalam dan lebih lanjut ilmu agama Islam yang diajarkan secara sistematis, langsung dari bahasa Arab serta berdasarkan
pembacaan kitab-kitab klasik/ kitab kuning karangan ulama-ulama besar.
Mereka yang berhasil dalam belajaranya memang diharapkan menjadi
kyai, ulama, muballigh, setidak-tidaknya guru agama.43
Pesantren yang semula mempunyai tujuan untuk menjadikan kyai, ulama dan muballigh mendapat respon dari masyarakat, terutama orang tua yang mempercayakan kepada kyai dan mendidik anaknya agar kelak memahami agama secara mendalam dan pada akhirnya harapan untuk menjadikan anak-anaknya sebagai tokoh agama.
“...orang tua-tua masa lalu mengambil sikap bahwa pendidikan anak-anaknya harus ditujukan pada maksud untuk menjadikan mereka itu “ahli-ahli agama”. Akibatnya, kurangnya kesedian
41
Shofiyullah Mz (ed), op. cit., hal.361 42
Marzuki Wahid, dkk, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hal. 224.
43
M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1985), Cet ke-3, hal. 2
anak-anak itu setelah menjadi dewasa, untuk berlomba-lomba
dalam perjuangan hidup yang bersifat modern..”.44
Dengan demikian tujuan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dan
menegakan Islam dan kejayaan umat.45
Dari latar belakang itulah tujuan pesantren dirumuskan hanya mencetak para ulama dan ahli agama belaka, dengan kata lain pesantren tidak menerima atau menolak pelajar umum masuk dalam kurikulum pesantren. Dengan alasan tidak sesuai dengan tujuan pesantren tersebut.
Kecenderungan belajar di pesantren yang demikian, menggugah Wahid Hasyim untuk memberikan alternatif lain kepada santri. Yang menyarankan kepada sebagian santri tidak untuk menjadi ulama. Hal tersebut senada dengan kenyataan pada waktu itu sebagian santri yang mondok bertujuan tidak untuk menjadi ulama.
Pemikiran Wahid Hasyim pula, dapat dilihat dari tulisannya tentang “Pentingnya Terjemah Hadits pada Masa Pembangunan”. Wahid Hasyim mengatakan bahwa:
“...Untuk menjadikan orang beragama tidak perlu orang itu diharuskan (ditentukan) mempunyai ilmu agama terlalu dalam dan luas. Sebaliknya, orang yang berpengetahuan agama tidak mesti menjadi orang yang beragama dengan baik. Acap kali kita dapatkan seorang yang tidak berpengetahuan agama dengan luas dan dalam, beragama lebih sempurna dari orang yang berpengetahuan agama, dalam arti yang dalam dan luas. Juga sering kita dapatkan irang yang mengerti betul ilmu-ilmu agama dengan sedalam-dalamnya, perbuatannya tidak memberikan nama baik sebagai orang beragama”46
Tulisan Wahid Hasyim di atas, bukan semata-mata beliau anti terhadap pengetahuan agama melainkan upaya Wahid Hasyim dalam
44
K.H. A. Wahid Hasyim, Pentingnya Terjemah Hadist pada Masa Pembangunan. Dalam Buntaran Sanusi, dkk, K.H.A. Wahid Hasyim Mengapa Memilih NU?, (Jakarta: PT Inti Sarana Aksara, 1985), hal. 71.
45
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, tt), hal. 4.
46
K.H. A. Wahid Hasyim, Pentingnya Terjemah Hadist pada Masa Pembangunan. Dalam Buntaran Sanusi, dkk, op. cit., hal. 70.
memberikan pemahaman akan potensi-pontensi setiap individu. Oleh karena itu Wahid Hasyim berpendapat bahwa tidak selayaknya tujuan pendidikan di lingkup pesantren hanya berorientasi dalam cakupan yang kecil, dan hanya bercita-cita untuk menghasilkan lulusan/ jebolan yang
berpengetahuan agama yang mendalam (ahli agama/ ulama).
Menurut beliau penguasaan ilmu agama yang luas dan dalam bukanlah jaminan untuk memastikan baiknya keagamaan seseorang dan sebaliknya ada perilaku seseorang yang menunjukkan keagamaan yang baik yang berasal dari orang yang keberagamaannya tidak lebih baik.
Beberapa alasan Wahid Hasyim mengusulkan alternatif demikian; yaitu:
1) Para santri tidak perlu menghabiskan waktu sampai puluhan
tahun untuk belajar bahasa Arab dan mengakumulasi pengetahuan dari kyai berbagai pesantren.
2) Para santri dapat mempelajari agama Islam dari buku-buku
yang dituls dengan bahasa non-arab.
3) Para santri dapat menfokuskan waktu untuk mempelajari
berbagai pengetahuan dan ketrampilan lainnya yang dapat
digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri dan masyarakat.47
Dengan itulah K.H. A. Wahid Hasyim berinisiatif untuk merombak dan mengembangkan tujuan pendidikan Islam, dengan menyarankan agar tidak semua santri dicetak untuk menjadi ulama atau ahli agama. Maksud beliau itu agar santri bukan semata-mata mencari ridho Allah swt. Melainkan mampu beradabtasi dengan lingkungan masyarakat, kreatif, berketrampilan dan bertanggung jawab. Dan ide ini sekarang dikenal
dengan life skill education.
Walau demikian Wahid Hasyim tetap berharap adanya sebagian santri yang betul-betul menjadi ulama dan ahli agama. Sesuai dengan tulisannaya:
“..Ini tidaklah berarti bahwa saya tidak menyetujui orang
mempelajari ilmu-ilmu agama Islam dengan menggunakan bahasa yang mengandung bahasa Arab. Maksud saya ialah tidak menyetujui mengarabkan angkatan (generasi) kita yang akan
47
datang dengan memakai bahasa dan istiadat Arab yang berbeda dari bahasa dan istiadat Indonesia.
Dalam pada itu bagi orang yang ingin menjadi betul tentang ilmu agama Islam, maka tiada lain jalannya kecuali melalui bahasa yang mengandungnya. Akan tetapi hal itu hanya bagi orang-orang ahli yang sedikit jumlahnya.”48
Menurut Shofiyullah Mz, bahwa tujuan pemikiran dari Wahid Hasyim lebih bercorak subtantif dan inklusif, dan lebih indah lagi jika
corak pemikiran tersebut dapat diwarisi oleh generasi bangsa sekarang.49
Dengan demikian dapat dipahami tujuan pendidikan menurut Wahid
Hasyim harus memenuhi kebutuhan akhirat (ukhrowi) dan Duniawi. Serta
moral dan akhlak.
Seperti tulisan beliau tentang Ilmu pengetahuan dan Ketuhanan: “..Dua kemungkinan itu kuncinya terletak pada pendidikan, baik mengenai pendidikan kecerdasan, maupun pendidikan jiwa (rohani), ataupun pendidikan badan (jasmani). Dengan perkataan pendidikan di sini tidaklah diartikan secara falsafah yang berurat dengan dalamnya.”50
Inilah preogresifnya Wahid Hasyim yang mana sudah jauh mencanangkan untuk martabat para santri, agar santri tidak dianggap remeh dan bisa dikatakan sejajar atau lebih tinggi dari kelompok lain.
Jadi Tujuan Pendidikan menurut Beliau ialah mengembangkan pendidikan Islam (pesantren) dan menyarankan agar tidak semua santri dicetak menjadi ulama, dan orientasi pendidikan Islam kepada kebutuhan masyarakat sesuai perkembangan zaman serta tanpa mengesampingkan nilai-nilai tradisi lama yang baik.
b. Kurikulum Pedidikan Islam
Pada zaman kolonial Belanda, Umat Islam mengenal dua bentuk lembaga pendidikan yang dikelola umat Islam dan dikelola kolonial. Sistem pendidikan yang dikelola Belanda adalah pendidikan modern,
48
K.H. A. Wahid Hasyim, Pentingnya Terjemah Hadist pada Masa Pembangunan. Dalam Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 823.
49
Shofiyullah Mz (ed), op. cit., hal. 71. 50
K.H. A. Wahid Hasyim, Pendidikan Ketuhanan. Dalam Buntaran Sanusi, dkk, op. cit., hal. 78.
liberal dan netral agama. Kenetralan Belanda terhadap agama tidak
konsisten karena Belanda lebih melindungi Kristen daripada Islam.51
Spesialis masing-masing lembaga pendidikan jelas berbeda, jika lembaga pendidikan umat Islam kajian ilmu-ilmu agama saja sedangkan lembaga pendidikan Belanda lebih menekankan kepada ilmu-ilmu umum atau non-agama.
Dalam konteks ini upaya Wahid Hasyim yang dilakukkan adalah menengahi perbedaan dua sistem pendidikan diatas. Kepedulian Wahid Hasyim terhadap pendidikan umat Islam Indonesia khususnya kalangan pesantren, yaitu mencoba memperbaiki sistem pendidikan Islam Indonesia dengan memodernisasi sistem pendidikan pesantren yang nyatanya kurang ikut perkembangan zaman.
Sifat keterbukaan Wahid Hasyim terhadap segala hal yang baru dan pemikiran yang cukup maju dapat dilihat ketika beliau mengusulkan adanya perubahan kurikulum di pondok pesantren. Ide yang ditawarkan
adalah dimasukkannya ilmu pengetahuan “sekuler” dalam kurikulum
pesantren dengan harapan santri tidak hanya menguasai ilmu keagamaan, tetapi menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern Barat, sehingga santri, dalam pandangannya, menjadi manusia yang sempurna. Di satu sisi santri menjadi ahli agama, di sisi lain santri siap bersaing dengan koleganya yang berasal dan sekolah “sekuler” dalam memperebutkan lapangan
pekerjaan.52
Bentuk realisasi dari gagasan pembaruan pendidikan Wahid Hasyim yaitu dengan didirikannya sekolah atau lembaga pendidikan yang
bernama Madrasah Nizhamiyah.53 Di mana 70% kurikulumnya berisi
materi pelajaran umum.
51
Mansur dkk, Rekonsruksi Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2005), hal. 53
52
Achmad Zaini, op. cit., hal. 2 53
Madrasah Nidhzamiyah berdiri tahun 1934 dan direstui oleh ayahandanya tahun 1935. Pada awal ruang pengajarannya di Serambi Masjid Tebuireng dengan siswa 29. Ini adalah terobosan pendidikan, karena pertama kali pesantren yang mengembangkan penjaran umum 70%. Lihat Shofiyullah Mz (ed), op. cit., hal. 37.
Ide Wahid Hasyim yang mengembangkan pendidikan umum dengan prosentase lebih besar dari pendidikan Islam, itu bukan tanpa alasan, karena menurut pandangan beliau bahwa santri diajari pelajaran agama secara meluas dan mendalam, sebagian santri tidak akan menjadi ulama. Karena Wahid Hasyim ingin membekali santri dengan ketrampilan untuk bekal di masyarakat.
Materi pelajaran yang diberikan meliputi aritmatika, sejarah, geografi dan ilmu pengetahuan alam sedang untuk bahasa meliputi bahasa
Indonesia, Inggris dan bahasa Belanda. Dan ketrampilan mengetik.54
Lembaga pendidikan Nidhzamiyah memberikan materi yang beragam, dari bahasa dan ilmu pengetahuan umum dikarenakan bahasa-bahasa asing dan ilmu pengetahuan umum tersebut untuk konteks perjuangan bangsa Indonesia yang sedang dijajah. Namun tidak melupakan bahasa Indonesia yang nantinya untuk mempersatukan Indonesia.
Seperti tulisan Wahid Hasyim yang menyatakan, hanyalah sebagai bukti bahwasannya kemajuan bahasa itu berarti kemajuan bangsa:
“...Penulis senang kepada orang yang berbahasa asing dan setuju juga, karena kecuali termasuk menunaikan kewajiban sebagai putera Timur yang muslim yang diharuskan menuntuk akan
sekalian kepandaian yang ada diatas jenapa ini dan ilmu
pengetahuan yang beraneka ragam itu, pun penulis pernah juga belajar sekalipun hanya satu ONE dan ONE atau se EEN du EEN tetapi dalam selama kita belajar itu, kita harus tetap mempunyai
anggapan dan kepercayaan bahwasannya kita putra Indonesia, kita
mempunyai bahasa sendiri”.55
Berkaitan dengan di atas Wahid Hasyim mendirikan perpustakaan untuk meningkatkan kebiasaan membaca. Selain 1.000 judul buku. Bagian
perpustakaan berlangganan majalah dan surat kabar, yaitu Panji Islam,
Dewan Islam, Islam Bergerak, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Islam, al-Munawwarah, Panji Pustaka, Pustaka Timur, Pujangga Baru, dan
54
Achmad Zaini, op. cit., hal. 38. 55
K.H. A. Wahid Hasyim, Kemajuan Bahasa Berarti Kemajuan Bangsa. Dalam Buntaran Sanusi, dkk, op. cit., hal. 66.
Penyebar Semangat. Ketujuh urutan pertama jurnal tersebut diterbitkan oleh berbagai organisasi Islam di tahun 1930-an, baik modernis maupun traisionalis. Keempat jurnal yang terakhir diterbitkan oleh kelompok “Nasionalis”. Dari kesebelas jurnal tersebut, hanya Berita Nahdlatul Ulama saja, yang secara konsisten mewakili pandangan kaum tradisionalis. Kesediaan Wahid Hasyim untuk berlangganan majalah dan
surat kabar milik kaum Islam modern dan kelompok “Nasionalis”
merupakan gambaran pribadinya yang progresif.56
Dalam pembaharuan ini Wahid Hasyim tidak lepas dari kritik. Segala kritik, segala serangan mengenai usahanya dari segala golongan, tidak diindahkan oleh Wahid Hasyim, semuanya itu disambut dengan
tenang dan beliauberjalan dengan keyakinannya sebagai idealis.57
Yang dilakukan Wahid Hasyim merupakan terobosan baru dikalangan pesantren. Padahal pada saat itu mata pelajaran non-agama masih dianggap tabu karena dianggap identik dengan Barat. Saat itu usia beliau baru 21 tahun.
Hal ini Wahid Hasyim mengatakan bahwa:
“Kalau dulu orang mengartikan pendidikan Barat itu pada umumnya sebagai suatu cara pendidikan yang didasarkan atas pengetahuan Barat, adat-istiadat Barat, bahasa Barat secara yang lahir, maka di sini yang dimaksud dengan Barat adalah lebih dari itu. Pendidikan yang didasarkan pada filsafat Barat yang pokok yaitu kebendaan (materialisme) walaupun wadahnya sudah
dinasionalkan dengan adat-istiadat nasional dan bahasa nasional”.58
Tulisan Wahid Hasyim di atas itu mengenai ketidak setujuan beliau terhadap pandangan masyarakat pesantren pada saat itu, yang menganggap pendidikan umum atau non-agama itu dikategorikan dalam keilmuan yang negatif. Karena pada waktu itu Barat (Belanda) adalah musuh besar untuk masyarakat Indonesia. Menurut beliau yang dimaksud dengan Barat Itu
56
Shofiyullah Mz (ed), op. cit., hal. 177. 57
Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 153. 58
K.H. A. Wahid Hasyim, Pendidikan Ketuhanan. Dalam Aboe Bakar Ajteh, op. cit., hal. 803.
lebih dari apa yang masyarakat pikirkan, salah satunya materialisme dan 3 G; Gold, Glory, Gospel.
Senada dengan di atas Wahid Hasyim dalam tulisannya mengatakan bahwa:
“Sesungguhnya dalam lapangan pengetahuan, tiada perlu ada
perselisihan dan perpecahan; juga dalam pandangan Islam demikian pula halnya. Dan Islam pada hakikatnya tidak mengenal diskriminasi atau sikap membeda-bedakan di dalam segala hal;
juga dalam lapangan pengetahuan”.59
Menurut beliau, agama saja tidak membeda-bedakan di dalam segala hal apalagi dalam segi ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu non-agama.
Jadi pemikiran Wahid Hasyim dalam kurikulum pendidikan Islam adalah perlunya memasukkan ilmu pendidikan umum kedalam kurikulum pesantren. Seperti dengan adanya Madrasah Nizhamiyah yang mana kurikulum ilmu umum 70% dan ilmu agama 30%.
c. Metode Pembelajaran
Bukti-bukti historis yang tersedia, sangatlah mungkin untuk
mengatakan bahwa Kitab Kuning menjadi text books, references, dan
kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren, seperti yang kita kenal sekarang, baru dimulai terjadi pada abad ke-18 M. Bahkan, cukup realistik juga memperkirakan bahwa pengajaran Kitab Kuning secaara massal dan permanen itu mulai terjadi pada pertengahan abad ke-19 M ketika sejumlah ulama Nusantara, khususnya Jawa, kembali dari program
belajarnya di Mekkah.60
Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah:
a. Wetonan, yakni suatu metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kyai yang
59
K.H. A. Wahid Hasyim, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri. Dalam Aboe Bakar Ajteh, op. cit., hal. 813.
60
Marzuki Wahid, dkk, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hal. 224.
menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Pelajaran diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melaksanakan shalat
fardhu. Di Jawa Barat, metode ini disebut bandongan,
sedangkan di Sumatera di sebut dengan halaqoh.
b. Metode Sorogan, yakni suatu metode di mana santri menghadap kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab kuning yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi santri, kendatipun demikian metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung.
c. Metode Hafalan, yakni suatu metode di mana santri menghafal
teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya.61
Sepulang dari Mekkah, Wahid Hasyim mengusulkan kepada ayahnya (K.H. Hasyim Asy’ari) untuk merubah metode pembelajaran di pesantren. Perubahan metode pembelajaran yang mulanya menggunakan metode sorogan atau bandongan diganti dengan sistem tutorial dengan
bentuk kelas-kelas berjenjang yang lebih sistematis.62
Metode tutorial merupakan cara menyampaikan bahan pelajaran yang telah dikembangkan dalam bentuk modul untuk dipelajari siswa secara mandiri. Siswa dapat mengkonsultasikan tentang masalah-masalah
dan kemajuan yang ditemuinya secara periodik (berjangka).63
Wahid Hasyim mengharapkan dengan adanya perubahan itu agar terjadinya proses belajar-mengajar yang aktif-dialogis, yang mana bukan semata-mata guru sebagai satu-satunya sumber ilmu dan pendapat guru tidaklah suatu kebenaran mutlak, sehingga bisa disanggah dan dimusyawarahkan bersama oleh peserta didik.
Jadi pemikiran beliau dalam metode pembelajaran itu pergantian
metode wetonan dan sorogan dengan sistem tutorial yang sistematis dan
61
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet ke-1, hal. 287.
62
Seri Buku Tempo, op. cit., hal. 65. 63
Martinis Yamin, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2004), cet ke-2, hal. 77.
perjenjangan dalam kelas, serta mengindahkan proses belajar mengajar yang aktif-dialogis dan guru ditempatkan bukan satu-satunya sumber ilmu.
B. Pembahasan
Menurut Rupert C. Lodge, sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar
mengatakan Life is education and education is life.64 Pendidikan tidak akan punya
arti bila manusia tidak ada di dalamnya. Hal ini disebabkan, karena manusia merupakan subjek dan obyek pendidikan. Artinya, manusia tidak akan bisa berkembang dan mengembangkan kebudayaannya secara sempurna bila tidak ada pendidikan. Untuk itu, tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa eksistensi pendidikan merupakan salah satu syarat yang mendasar bagi meneruskan dan mengekalkan kebudayaan manusia. Di sini, fungsi pendidikan berupaya menyesuaikan (mengharmonisasikan) kebudayaan lama dengan kebudayaan baru
secara proporsional dan dinamis.65
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting, bahkan paling penting dalam mengembangkan peradapan. Seperti halnya dengan perkembangan peradaban Islam dan dalam mencapai kejayaan umat Islam. Pendidikan Islam tidak akan sempurna meresap dalam sanubari jika tidak disertakan didikan yang baik pada seluruh generasi. Oleh sebab itu di dalam al-Quran telah ditetapkan proses awal pendidikan dan menentukan beberapa tokoh pendidikan Islam yang harus diikuti sebagai dasar dalam membentuk dan membina kepribadian ummah.
Pendidikan Islam secara umum adalah upaya sistematis untuk membantu anak didik agar tumbuh berkembang mengaktualkan potensinya berdasarkan
kaidah-kaidah moral Alquran, ilmu pengetahuan, dan keterampilan hidup
(life-skill). Akan tetapi, walaupun telah dilakukan usaha-usaha pembaharuan pendidikan Islam, namun dunia pendidikan Islam masih saja dihadapkan pada
beberapa problema. Al-Qur’an dan Sunnah gagal ditempatkan sebagai sumber
64
Samsul Nizar, op. cit., hal. v. 65
otentik pengembangan pemikiran teoritis atau pun praktis bagi tujuan
merumuskan panduan/petunjuk kehidupan dunia.66
Modernisme muncul karena beberapa faktor, antara lain kontak dengan
Barat, kesadaran reinterpretasi ajaran agama, kejumudan67 dan taqlid.68
Yang dimaksud dengan dasar-dasar modernisme dalam Islam di sini adalah dasar-dasar pemikiran ulama dan cendikiawan muslim guna mengembangkan analisa mereka dalam memperjuangkan ajaran Islam yang
universal.69
Kenyataannya pendidikan Islam Indonesia pada zaman Belanda mengalami nasib yang tragis, di mana pendidikan Islam pada saat itu dianak
tirikan, bahkan penduduk asli (bumi putera) diperlakukan sebagai penduduk kelas
nomer tiga, karena kelas nomer tiga itu kelas paling rendah di negeri ini. Di mana orang Belanda sebagai kelas nomor satu, orang asing (termasuk Cina) sebagai
kelas dua, sedangkan orang Indonesia sebagai kelas tiga.70
Dari latarbelakang itulah para cendikiawan muslim mencoba memperbaru pendidikan Islam, yang mana agar Indonesia dipandang dan pendidikan Islam di Indonesia mengikuti perkembangan zaman tanpa melupakan tradisi lama. Salah satu tokoh pembaharu pendidikan Islam adalah K.H. Abdul Wahid Hasyim merombak sistem pesantren Tebuireng, metode pembelajaran dan tujuan pendidikannya.
Maka Wahid Hasyim mencoba untuk mengoreksi harapan (expectation)
santri belajar di pesantren. Beliau mengusulkan agar kebanyakan santri yang datang ke pesantren tidak berharap menjadi ulama. Mereka dapat memperoleh ilmu agama dan buku-buku yang ditulis dengan huruf latin, dan menghabiskan waktunya untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dibarengi kemampuan
66 Qurroti A’yun’s Blog, Konsep Pembaharuan Pendidikan Islam, dalam Link
http://aaxu.wordpress.com-pembaharuan-pendidikan-Islam. Diakses pada tanggal 28 Maret 2013.
67
Jumud adalah mandek atau statis dan baku. Lihat M. Dahlan Y. Al-Barry, dkk, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual, (Surabaya: Target Press, 2003), hal. 346.
68
Taqlid adalah mengikuti sesuatu tanpa mengetahui dasar-dasarnya. Lihat Ibid., hal. 757.
69
T.H. Thalhas, Alam Pikiran K.H. Ahmad Dahlan & K.H. M. Hasyim Asy’ari, (Jakarta: Galura Pase), hal. 10.
70
menguasai ketrampilan yang berguna langsung di tengah masyarakat di mana mereka berada.
Akhirnya pada tahun 1935 Wahid Hasyim mendirikan sekolah yang bernama Nizhamiyah, dengan kurikulumnya 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Yang mana di ajarkan aritmatika, sejarah, geografi dan ilmu pengetahuan alam dan bahasa Indonesia, Belanda serta ketrampilan mengetik. Tidak cukup disitu Wahid Hasyim juga mendirikan perpustakaan yang bertujuan
untuk meningkatkan kebiasaan membaca para santri.71
Dengan didirikannya Madrasah Nizhamiyah, beliau tidak lepas dari kritikan. Antara lain kritikan yang datang itu dari kalangan ulama dan masyarakat. Anggapan ulama bahwa ide pembaharuan Wahid Hasyim sebagai upaya mencapur adukan ajaran agama yang suci dengan ilmu-ilmu keduniawian yang
mana ilmu-ilmu sekuler tersebut masih dianggap produk bangsa kolonial.72 Beliau