• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Pendidikan Islam dari Masa ke Masa

BAB II KAJIAN TEORI

C. Gambaran Umum Pendidikan Islam dari Masa ke Masa

Gambar 1.1

Arah Pegembangan dan Pencapaian Tujuan Pendidikan45

C. Gambaran Umum Pendidikan Islam dari Masa ke Masa

1. Masa Permulaan Islam

Penyebaran agama Islam di Nusantara pada umumnya berlangsung melalui dua proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang Asing Asia, seperti Arab, India, dan Cina yang telah beragama Islam bertempat tinggal secara permanen

44 Ibid., hal. 66. 45 Ibid., hal. 67 Tujuan Pendidikan Tujuan Institusional Tujuan Kurikuler Tujuan Pembelajaran

disuatu wilayah Indonesia, melakukkan perkawinan dan mengikuti gaya hidup

lokal. Kedua proses ini sering terjadi secara bersamaan.46

Ketika berdiri kerajaan perlak yang menurut seminar Medan pada tahun 1963, dan seminar di Aceh pada tahun 1978, sekitar abad-abad pertama Hijriyah, lembaga-pendidikan seperti meunasah, rangkang, dayah dan bentuk pendidikan atau pengajian di surau dan masjid. Jadi pengertian pendidikan pada masa permulaan masuknya Islam di Nusantara ialah pengajian disurau-surau dan masjid.

Ketika berdiri kerajaan Islam lain sesudah kerajaan Perlak seperti kerajaan Islam Samudra Pasai (1025 M), Kerajaan Aceh (1025 M), dan kerajaan Islam Tamiah (1184 M) dapat dipastikan bahwa kegiatan-kegiatan pendidikan Islam di wilayah-wilayah kerajaan tersebut tentu samik berkembang luas dan dapat

diperkirakan pihak kerajaan memberikan bantuan untuk pembiayaan

penyelenggaraan pendidikan Islam di wilayahnya.47

Menegaskan uraian diatas bahwa pada abad-abad pertama Hijriyah atau sekitar abad 8 atau 9 Masehi, pendidikan Islam telah berdiri dan berkembang di Aceh lewat surau-surau dan masjid.

2. Masa Penjajahan Belanda

Ketika bangsa Belanda pertama kali menginjakan kakinya di Nusantara yang dimulai dengan melakukan monopoli kegiatan perniagaan di bawah sebuah

badan bernama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie), tahun 1602-1799

lalu diikuti masa penjajahan pemerintah colonial mulai tahun 1799, tidak dapat disangkal, bahwa misi keagamaan golongan Kristen telah jalan bareng, baik dilakukkan oleh pejabat VOC atau pejabat pemerintah colonial, oleh Zending (Kristen Protestan) dan misionaris (Katolik).

Dalam penyiapan tenaga trampil untuk mendukung operasional kegiatan VOC, baik yang bergerak dilapangan maupun tenaga administrasi, VOC

46

SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006), Cet. I. hal. 33

47

Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara & Penamadani, 2010), hal. 30-31

membuka lembaga pendidikan dibeberapa tempat di kawasan Indonesia Barat dan Timur.

Yang dipilih untuk diterima di lembaga pendidikan tersebut adalah dari golongan Kristen, dan untuk kaum Muslimin tertutup, terkecuali dalam kasus-kasus tertentu. Sebagai organisasi perdagangan yang semata-mata terfokus pada usaha meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, bersikap formal mereka adalah “netral agama”. Tetapi dalam kenyataannya, VOC menjalankan “politik agama”. Penduduk pribumi yang beragama Islam akan dikristenkan. Dibalik konsep mengkristekan penduduk pribumi (umat Islam) terkandung sejumlah tujuan yang ingin dicapai secara berjenjang. Kalau penduduk pribumi berhasil dikristenkan, maka hambatan psikologis antara orang Belanda dan penduduk pribumi, dengan sendirinya akan hilang, dan kemungkinan timbulnya konflik dan perlawanan pribumi terhadap bangsa Belanda dengan motif keagamaan akan sirna pula. Orang Belanda dan penduduk pribumi sudah seiman; sama-sama penganut agama Kristen. Tetapi sejarah mencatat kenyataan lain; dalam masa VOC yang berlangsung selama hampir dua abad 1602-1799 ia gagal mengkristenkan umat Islam Indonesia.

Ketika mulai memikirkan, merencanakan dan mencari model pendidikan bagi penduduk pribumi, diantara pejabat dan pemerintah colonial terjadi perbedaan pandangan. Sebagian beranggapan, bahwa sekolah agama yang telah memasyarakat layak dipertanggungjawabkan sebagai wadah pendidikan bagi pribumi. sekolah agama yang telah tersebar luas dan telah memiliki sarana pendidikan, walaupun masih sangat sederhana dan umumnya dibiayai masyarakat sendiri akan menguntungkan karena pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya besar dan mulai dari nol.

Tetapi sebagian pejabat kolonial menolak keras untuk menjadikan sekolah-sekolah agama-madrasah-menjadikan model pendidikan penduduk pribumi.

Sistem pendidikan pesantren atau diniyah dan madrasah dinilai terlalu

buruk. Didalamnya hanya diajarkan agama, bahasa Arab, dan al-Qur’an. Di

bisa membaca dan menulis huruf Latin. Pendidikan pesantren/ madrasah, adalah pendidikan agama dank arena secara teknis sulit diadopsi untuk pendidikan pribumi.

Uraian diatas terlihat bahwa alasan menolak untuk mengadopsi pesantren atau madrasah sebagai bentuk dan model penduduk pribumi, disamping alasan teknis adalah alasan politik dan alasan keagamaan.

Alasan politik dapat ditilik dari dua sisi. Dari sisi pandangan pemerintah colonial Belanda, yang memiliki ketentuan kata akhir bgi kebijakan di bidang pendidikan pribumi, tidak bisa tidak ikut dipengaruhi oleh citra dan semangat keagamaan. Dari sisi pandang yang kedua, yaitu dari umat Islam (pengelola dan pemilik sekolah agama atau madrasah). Mereka tidak rela kalau pihak orang “kafir” ikut mencampuri atau mengontrol dan mengawasi lembaga pendidikan

pesantren dan madrasah.48

Respon umat Islam dan ormas-ormas Islam atas “Politik Pendidik

Belanda” secara garis besar dapat diklasifikasikan ke dalam tiga golongan sebagai berikut:

Kelompok Pertama, menolak sama sekali segala yang berbau “kafir” tidak ada kompromi. Untuk menghindari pegaruh Belanda, golongan ini melakukan uzlah dari kota ke desa. Pendidikan yang dikelola golongan ini menjadi sangat eksklusif dan tertutup. Menjadilah pemerintah Kolonial Belanda mencurigai kegiatan pendidikan mereka, seperti dianggap menjadi pusat perlawanan dank arena itu harus diawasi dan dimata-matai. Symbol-simbol bangsa Barat yang “kafir” seperti pakai pantolan, jas, dasi, pakaian, kursi, meja, bahkan papan tulis juga dikharamkan. Mata pelajaran non agama, juga”dikharamkan” untuk dipelajari.

Kelompok kedua, mereka yang disebut Steenbrink, menolak system Pendidikan Belanda sambil meniru. Sisi-sisi yang dianggap baik untuk pendidikan madrasah mereka terima, tapi sisi-sisi yang merusak atau yang dapat mereduksi

tujuan utama pendidikan madrasah sebgai lembaga tafaqahu fiddin mereka tolak.

48

Kelompok ini dari perorangan, tokoh masyarakat pesantren, pengelola madrasah dan dari ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, Persis, Perti, al-Irsyad dan lain-lain.

Kelompok ketiga, Kelompok ini dianggap oelh kelompok Islam sendiri sebgai terlalu akomodatif terhadap politik pendidikan Belanda. Salah seorang

yang sangat terkenal adalah Abdullah Ahmad dengan madrasah Adabiyah nya di

Padang Panjang.

Kelompok keempat, Respon mereka terhadap “politik Pendidikan” pemerintah colonial Belanda dan pembaharuan pendidikan Islam, pada dasarnya dalam sikap mendua seperti disebutkan oleh Steenbrink: menolak sambil

mengikuti.49

Jadi pada masa colonial Belanda, Pendidikan Islam dilaksanakan di pesantren dan madrasah dan hanya mempelajari ilmu agama. Kemudian pemerintah colonial belanda mempermainkan “politik pendidikan” yang mana ingin semua sekolah, madrasah dan pesantren itu diatur oleh Belanda yang mana sekolah agama akan dijadikan sebagai kristenisasi serta kurikulumnya dirubah menjadi; agama Kristen, bahasa Belanda dan huruf-huruf Latin.

Di sini banyak pertentangan dari kalangan pesantren, madrasah dan ormas-oramas Islam. Belanda mencurigai ada gerakan-gerakan yang tersembunyi sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan colonial Belanda.

3. Masa Jepang

Pemerintah Belanda sejak tanggal 8 Maret 1942 lenyap di bumi Indonesia karena harus bertekuk lutut kepada Jepang. Kendati demikian, bangsa Indonesia belum bebas dari penjajahan, sebab Jepang mengambil alih pendudukan Indonesia dari Belanda. Jepang muncul sebagai negara kuat di Asia yang bercita-cita besar ingin menjadi pemimpin Asia Timur Raya. Hal itu sudah direncanakan Jepang sejak taun 1940 untuk mendirikan kemakmuran bersama Asia Raya. Partai-partai Islam seakan mendapat kekuaan kembali setelah Jepang datang menggantikan posisi Belanda. Jepang berusaha mengakomodasi dua kekuatan, organisasi Islam

49

dan nasionalisme sekuler. Jepang berpendapat bahwa organisasi-organisasi Islamlah sebenarnya mempunyai massa yang patuh dan hanya dengan pendekatan agama penduduk Indonesia dpat dimobilisasi.

Sejak itulah organisasi-organisasi non keagamaan dibubarkan, sedangkan organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiyah, NU, Persyarikatan Ulama, dan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang kemudian dilanjutkan dengan Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), diperkenankan lagi meneruskan kegiatannya. Permohonan Masyumi juga diterima pemerintah Jepang untuk mendirikan barisan Hizbullah, sebuah wadah kemiliteran bagi para santri untuk mempersiapkan tenaga-tenaga militer yang ahli. Bahkan tentara Pembela Tanah

Air (PETA) banyak dimiliki oleh golongan santri yang digodok dalam adah

kemiliteran tersebut.

Jepang kemudian menjanjikan kemerdekaan pada rakyat Indonesia dengan

janji mengeluarkan maklumat Gunseikan No. 23/29 April 1945 tentang

pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Berbeda dengan situasi sebelumnya di mana kalangan Islam mendapat layanan dari Jepang, keanggotaan BPUPKI didominasi oleh golongan nasionalis sekuler yang ketika itu lazim disebut golongan kebangsaan, dan di dalam badan inilah Soekarno mencetuskan ide Pancasila.

Dalam rumusan Pancasila itu terdapat prinsip ketuhanan, tetapi terkesan negara dipisahkan dari agama. Setelah itu dialog resmi ideologi antara dua

golongan terbukti dalam suatu forum musyawarah. Panitia Sembilan, semacam

sebuah komisi dari forum itu membahas hal-hal yang sangat mendasar, prembule

UUD. Lima orang mewakili golongan nasionalis sekuler, yakni; Soekarno, Hatta,

Yamin, Maramis dan Subardjo. Adapun yang mewakili golongan Islam ada empat

orang, yakni; Abdul kahar Muzakir, Wahid Hasyim, Agus Salim dan Abikusno Tjokrosujoso. Kompromi yang dihasilkan atas musyawarah itu dikenal dengan Piagam Jakarta. Adapun sila pertama yang merupakan prinsip ketuhanan berarti kewajiban melakukkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Menjelan kemerdekaan setelah Jepang tidak dapat menghindari kekalahan dari tentara sekutu, BPUPKI ditingkatkan menjadi Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI).50

Kebijakan Jepang terhadap Pendidikan Islam di Indonesia sangatlah bagus. Contohnya seperti mengapuskan dualisme pengajaran. Dengan begitu habislah riwayat penyusunan pengajaran Belanda yang dualis membedakan antara pengajaran Barat dan pengajaran bumi putera. Dengan penghapusan pendidikan bertujuan mengambil hati rakyat Indonesia dan pemerintah Jepang berdalih bahwa pendidikan itu tidak ada perbedaan, padahal Jepang mempunyai semboyan Asia untuk bangsa Asia. Jepang menguasai Indonesia yang kaya sumber alam dan bermanfaat untuk kepentingan perang Jepang.

Sistem sekolah pada zaman Jepang banyak perbedaannya dibandingkan dengan penjajah Belanda. Hanya satu sekolah rendah yang diadakan bagi semua

lapisan masyarakat, ialah Sekolah Rakyat 6 tahun, yang dikenal dengan nama

Kokumin Gakkoo. Sekolah-sekilah desa dibiarkan, tetapi namanya diganti menjadi

sekolah pertama. Adapun susunan pengajarannya menjadi; Pertama, Sekolah

Rakyat 6 tahun (termasuk Sekolah Pertama), Kedua, Sekolah Menengah 3 tahun.

Ketiga, Sekolah Menengah Tinggi 3 tahun (SMA pada zaman Jepang). Terbukti bahwa sistem perjenjangan yang berlaku di Indonesia merupakan warisan masa penjajahan Jepang.

Kelebihan pada masa Jepang yakni menjunjung dan menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di tiap-tiap sekolah. Pemakaian bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai bahasa pengantar pada tiap-tiap jenis sekolah telah dilaksanakan. Namun demikian sekolah-sekolah itu dipergunakan juga sebagai alat untuk memperkenalkan kebudayaan Jepang

kepada rakyat.51 Seperti halnya seiap hari terutama pada pagi hari harus

mengucapkan sumpah setia kepada Kaisar Jepang.

50

Mansur dkk, Rekonsruksi Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2005), hal. 57-59.

51

4. Masa Kemerdekaan dan Orde lama

Dari awal kemerdekaan sampai masa pemerintahan Orde Lama dapat dibagi sebagai beriku: (1) Masa awal kemerdekaan dimulai sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga saat penyerahaan kedaulatan dari pemerintahan Belanda tahun 1949. Dalam periode ini, keadaan dalam negeri masih meliputi suasana revolusi fisik melawan Belanda dan tentara sekutu yang ingin menganulir kemerdekaan Indonesia. Disamping harus berperang melawan Belanda dan tentara sekutu, pemerintah Indonesia harus berhadapan pula dengan anasir-anasir dalam negeri yang melakukkan makar dan pemberontakan seperti yang dilakukan PKI di Madiun tahun 1948, peristiwa Soumokil yang memproklamasikan “Negara Maluku Utara”, pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kartosoewirjo di Jawa Barat dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan,

dan lain-lain. (2) Era “Demokrasi Liberal” berlangsung antara 1952-1959 (hingga

saat Dekrit Persiden kembali ke Undang-Undang Dasar 1945). (3) Era “Demokrasi Terpimpin pemerintahan Orde Lama tahun 1959, sampai meletus

peristiwa makar G30S/PKI tahun 1965.”

Kebijakan publik yang berkaitan dengan pendidikan Islam dalam masa awal kemerdekaan sampai runtuhnya pemerintahan Orde Lama yang dibicarakan dalam hal ini meliputi: (1) Rancangan Pembaruan Sistem Pendidikan Nasional, (2) Penyelengaraan Pendidikan Agama di sekolah umum dan pembinaan madrasah dan pesantren, (3) Cita-cita konvergensi antara isi pendidikan umum dan Pendidikan agama (Islam), (4) Pembaruan dan revitalisasi sekolah Agama, menyusul penerbitan Undangan-undang No 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah.

Sebagai model dalam melakukan pembaruan dan revitalisasi Sekolah Agama itu, kementrian Agama mengembangkan proyek perintisan Madrasah

Wajib Belajar (MWB).52

52

5. Masa Orde Baru

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, terjadi banyak upaya untuk pembaruan dan pengembangan sistem dan peningkatan mutu pendidikan Islam, baik dilakukan oleh pemerintah, maupun dilakukan oleh masyarakat sendiri.

Di antara upaya yang dilakukan oleh Negara/ pemerintah, di samping memberikan perhatian dalam pembiayaan dan subsidi juga menerbitkan sejumlah kebijakan publik, baik berupa TAP MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden, Keputusan mentri dan SKB tingkat Mentri. Beberapa kebijakan yang diterbitkan pemerintah itu, ada yang dinilai oleh masyarakat sebagai kontroversial. Bahkan dari kebijakan Pemerintah terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam itu dinilai sebagai memuat agenda untuk mengubah lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi lembaga sekuler. Tetapi kontroversi dan kesalahan pahaman itu dapat diselesaikan, dicarikan solusi melalui dialog dan musyawarah diantara Pemerintah dan komponen-komponen masyarakat yang terlibat dalam penyelengaraan pendidikan Islam.

Dari pihak masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga aktif melakukan revitalisasi terhadap sistem dan metodologoi pembelajaran pada

lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren dll.53 Di masa

ini juga ada ide penyelengaraan Pendidikan di Bawah satu Atap dan SKB tiga Mentri 1975.

6. Masa Reformasi

Berakhirnya kekuasaan Persiden Soeharto tahun 1997, dan digantikan oleh Wakil Persiden B.J. Habibie menjadi Persiden menandai lahirnya era reformasi. Lahirnya era reformasi itu disebut dengan sifat euforia oleh komponen bangsa yang telah lama menginginkan perubahan, baik masyarakat umum, kalangan birokrasi/ eksekutif, legislatif dan yudikatif. Euforia di kalangan anggota DPR sebagai representative darikekuatan politik, tercermin dari kegesitan mereka dalam merampungkan tugas-tugasnya yang berkaitan dengan bidang legislatif,

53

seperti mereview Undang-undangyang sudah ada agarsejalan dengan tuntutan dan semangat reformasi, atau menyusun Undang-undang baru untuk menetapkan gerak maju reformasi.

Presiden B.J Habibie, menjanjikan akan menyelenggarakan pemilihan umum lebih cepat dari semestinya. Janji itu direspon dengan antusias oleh DPR, dan mereka menyatakan kesanggupan untuk enyelesaikan Undang-undang dan peraturan perundangan yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu.

Hasil pemilu tahun 1999 menghasilkan pemerintahan baru dibawah pimpinn Gus Dur alias KH. Abdurrahman Wahid. Di antara gebrakan Gus Dur

setelah dilantik menjadi Presiden, ia memulai dengan melakukkan

rekrunkturisasi-refungsionalisasi dan menghapus beberapa Kementrian dan lembaga non Kementrian. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan diubah menjadi Kementrian Pendidikan Nasional. Kementrian Penerangan dan Kementrian Sosial, serta Kementrian Olahraga dan Pemuda dihapus.

Perubahan nama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementrian pendidikan Nasional dimaksudkan Gus Dur untuk menyatukan penyelenggaraan dan pembinaan pendidikan yang ada di Indonesia di bawah satu atap atau dalam satu tangan.

Memang gagasan ini tidak terexpose secara meluas di masyarakat, sehingga tidak sempat menimbulkan pro dan kontra. Tetapi pentujuk khusus Gus Dur kepada Menteri Pendidikan Nasional Dr. Yahya Muhaimin, bahwa rencana untuk penyelenggaraan pendidikan di bawah satu atap itu sebagai suatu keniscayaan dan karenanya harus segera diwujudkan. Petunjuk mengenai hal itu dikemukakan Gus Dur pada saat memberitahukan atau meminta kesediaan Dr. Yahya Muhaimin untuk diangkat menjadi Menteri pendidikan Nasional.

Belum sampai seratus hari menududuki kursi menteri Pendidikan

Nasional, Dr. Yahya Muhaimin telah beberapa kali dipanggil Gus Dur, dan mengingatkan akan tugasnya menyatukan pengelolaan pendidikan nasional

dibawah satu atap.54

54

Dokumen terkait