• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Dan Komposisi Pohon Dan Belta Di Zona Pegunungan Atas Gunung Sinabung Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Struktur Dan Komposisi Pohon Dan Belta Di Zona Pegunungan Atas Gunung Sinabung Kabupaten Karo"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR DAN KOMPOSISI POHON DAN BELTA

DI ZONA PEGUNUNGAN ATAS GUNUNG SINABUNG

KABUPATEN KARO

SKRIPSI

BARITA RAJA NASUTION

030805031

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

STRUKTUR DAN KOMPOSISI POHON DAN BELTA

DI ZONA PEGUNUNGAN ATAS GUNUNG SINABUNG

KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

BARITA RAJA NASUTION 030805031

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Judul : STRUKTUR DAN KOMPOSISI POHON DAN

BELTA DI ZONA PEGUNUNGAN ATAS GUNUNG SINABUNG KABUPATEN KARO

Kategori : SKRIPSI

Nama : BARITA RAJA NASUTION

Nomor Induk Mahasiswa : 030805031

Program Studi : SARJANA (S-1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di

Medan, 2009 Komisi Pembimbing :

Pembimbing

Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S. NIP 131 945 347

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU

(4)

PERNYATAAN

STRUKTUR DAN KOMPOSISI POHON DAN BELTA DI ZONA PEGUNUNGAN ATAS GUNUNG SINABUNG KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan namanya.

Medan,

(5)

PENGHARGAAN

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Stuktur dan Komposisi Pohon dan Belta di Zona Pegunungan Atas Gunung Sinabung Kabupaten Karo”. Ucapan terima kasih kepada ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS. Yang telah melibatkan penulis dalam penelitian Fundamental Tahun Anggaran 2007 yang didanai oleh Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Terima kasih sekali lagi kepada ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S. selaku dosen pembimbing. Terima kasih kepada bapak T. Alief Aththorick, S.Si., M.Si. selaku dosen penasehat akademik. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada bapak Drs. Arlen H.J., M.Si., ibu Masitta Tanjung, S.Si., M.Si. dan bu Etti Sartina Siregar, S.Si., M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan pada penulisan skripsi ini. Terima kasih juga kepada bapak Drs. Nursal M.Si yang telah memberikan masukan-masukan bagi penulisan skripsi ini. Terima kasih Kepada Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto M.Sc selaku ketua Departemen Biologi, Ibu Dra. Nunuk Priyani, M.Sc selaku sekretaris Dept. Biologi. Bapak dan Ibu staf pengajar Dept. Biologi FMIPA USU. Terima kasih kepada ibu Roslina Ginting dan bang Erwin selaku pagawai Dept. Biologi, serta ibu Nurhasni Muluk dan bapak Sukirmanto selaku analis dan laboran di laboratorium Dept. Biologi yang telah memberikan bantuan kepada penulis.

Terima kasih tak terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda (Ali Kahar Nasution dan Aslamiyah Hasibuan) atas curahan kasih sayang, perhatian, dukungan, baik moril maupun materil kepada penulis. Terima kasih kepada bang Anwar, kak Nurlatifah, dan semua adikku di rumah atas doa dan dukungannya.

Terima kasih kepada Nurmaini Ginting, S.Si. atas nasehat, dukungan, dan motivasi kepada penulis. Terima kasih kepada Yani, Darwisah, Putri, dan Kasbi atas bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih kepada Mahya, Pitra, Eka R. dan Marlia. Juga terima kasih kepada teman-teman tim peneliti lapangan, Rahmad, Marzuki, Misran, Taripar, Edu, David C., Franhot, Yopi, Risky, Santi, Hennita, Nikma, Widiya dan yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu. Terima kasih kepada adik-adik di laboratorium tumbuhan, Sri Zuliani, Dwi, Santi, Nalverta, Yanti, Seneng, dan yang lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih kepada kakak-kakak dan Adik-adik penulis di Biologi atas segala bantuan dan dukungannya. Terima kasih kepada pak Pulungan dan keluarga, ibu Ijah, Ajeng dan keluarga. Terima kasih kepada BKSDA yang memberi ijin memasuki kawasan penelitian. Terima kasih juga kepada kawan-kawan KPL. Karena bantuannya pengambilan data lapangan bisa terlaksana dengan baik.

(6)

ABSTRAK

Penelitian struktur dan komposisi pohon dan belta di zona pegunungan atas Gunung Sinabung Kabupaten Karo telah dilaksanakan pada bulan Mei 2007 – Februari 2008. Lokasi penelitian ditentukan secara Purpossive random sampling dan dibagi empat berdasarkan ketinggian 100 m. Lokasi I 1900 – 2000 m dpl; lokasi II 2000 – 2100 m dpl; lokasi III 2100 – 2200 m dpl; lokasi IV 2200 – 2250 m dpl. Area pengamatan seluas 0,52 Ha untuk pohon dan 0,13 Ha untuk belta. Pohon diamati dalam 15 plot pada lokasi I-III dan 7 plot pada lokasi IV berukuran 10x10m , dan belta 5x5 m sebanyak 15 plot pada lokasi I-III dan 7plot pada lokasi IV. Dari hasil penelitian diperoleh 61 jenis pohon yang termasuk ke dalam 24 famili, dan pada belta diperoleh 69 jenis yang termasuk ke dalam 24 famili. Pohon-pohon yang mendominasi antara lain Theaceae, Podocarpaceae dan Ericaceae, sedangkan pada belta yang mendominasi famili Myrsinaceae, Araliaceae, Theaceae dan Ericaceae. Nilai penting tertinggi pada pohon ditemukan pada jenis Dacrydium gibbsiae pada lokasi II sebesar 96,779%, sedangkan pada belta ditemukan pada jenis Adinandra dumosa pada lokasi III sebesar 49,24%.

(7)

ABSTRACT

A study on structure and composition of trees and belta vegetations at upper mountain zone in Sinabung Mountain Karo Regency were conducted in Mei 2007 to February 2008. Sampling area was settled by using purpossive random sampling method, and devided to five locations based on their altitude. Location I was at 1900 – 2000 m asl, location II was 2000 – 2100 m asl, location III was 2100 – 2200 m asl, and location IV was 2200 – 2250 m asl. Observation area size was 0,52 Ha for tree vegetation sample and 0,13 Ha for belta vegetation sample. Tree vegetations were observed in 15 plots in location I – III and 7 plots in area IV with the plot size of 10 x 10 m, while the belta with the plot 5 x 5 m in size. The result showed that there were 61 tree speciesses of 24 families, and the belta were 69 speciesses of 24 families. Tree vegetation was dominated by Theaceae, Podocarpaceae and Ericaceae, while the belta was dominated by Myrsinaceae, Araliaceae, Theaceae and Ericaceae. The highest important value of trees spesies was Dacrydium gibbsiae found in location II with the value of 96,779%, and belta species was Adinandra dimosa found in location III with the value of 49,24%.

(8)

DAFTAR ISI

2.3 Hutan Pegunungan Atas 6

2.4 Pengaruh Ketinggian 7

2.5 Pohon 10

2.6 Struktur dan Komposisi 12

(9)

3.3 Metode Penelitian 17

3.4 Analisis Data 17

Bab 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keanekaragaman Jenis Pohn dan Belta 20

4.2 Struktur Vegetasi Pohon 31

4.3 Komposisi Vegetasi Pohon dan Belta 38

4.4 Indeks Nilai Penting 56

4.5 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman 62

4.6 Indeks Similaritas 64

Bab 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 67

5.2 Saran 68

(10)

DAFTAR TABEL

Judul halaman

Tabel 4.1 Klasifikasi jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan pada lokasi

penelilitan 20

Tabel 4.2 Famili, jenis dan jumlah individu pohon pada lokasi penelitian

di zona hutan pegunungan atas gunung Sinabung 23 Tabel 4.3 Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis setiap family

pohon yang didapatkan pada lokasi penelitian 25 Tabel 4.4 Famili, jumlah dan jenis vegetasi belta yang didapatkan pada

lokasi penelitian 27

Tabel 4.5 Perbandingan jumlah jenis dan individu setiap famili belta

yang didapatkan pada lokasi penelitian 29

Tabel 4.6 Luas bidang dasar vegetasi pohon pada lokasi penelitian 31 Tabel 4.7 Data luas bidang dasar (LBD) vegetasi pohon pada lokasi I –

IV 33

Tabel 4.8 Jumlah luas bidang dasar (LBD) pada tiap lokasi penelitian 36 Tabel 4.9 Komposisi tegakan pohon pada keempat lokasi penelitian 39 Tabel 4.10 Komposisi vegetasi pohon pada lokasi I 40 Tabel 4.11 Komposisi vegetasi pohon pada lokasi II 42 Tabel 4.12 Komposisi vegetasi pohon pada lokasi III 43 Tabel 4.13 Komposisi vegetasi pohon pada lokasi IV 45

Tabel 4.14 Data faktor fisik lokasi penelitian 47

Tabel 4.15 Komposisi vegetasi famili Belta pada keempat lokasi penelitian

49 Tabel 4.16 Komposisi vegetasi belta pada lokasi I – IV 50 Tabel 4.17 Jumlah jenis dan individu belta tertinggi pada lokasi penelitian 54 Tabel 4.18 Sepuluh jenis pohon dengan indeks nilai penting (INP)

tertinggi pada tiap lokasi penelitian 57

Tabel 4.19 Sepuluh jenis belta dengan indks nilai penting (INP) tertinggi

pada tiap lokasi penelitian 59

Tabel 4.20 Jenis dengan nilai indeks nilai penting (INP) tertinggi pada

keempat lokasi penelitian 61

Tabel 4.21 Indeks keanekaragaman (H’) dan keseragaman (E) pohon pada

lokasi penelitian 62

Tabel 4.22

(11)

lokasi penelitian

(12)

DAFTAR GAMBAR

Judul halaman

Gambar 4.1 Perbandingan jumlah individu tiap famili pohon pada

lokasi penelitian 26

Gambar 4.2 Perbandingan jumlah jenis tiap famili pohon pada lokasi

penellitian 26

Gambar 4.3 Perbandingan jumlah individu tiap famili belta pada lokasi

penelitian 30

Gambar 4.4 Perbandingan jumlah jenis tiap famili belta pada lokasi

penelitian 30

Gambar 4.5 Grafik sepuluh luas bidang dasar (LBD) terbesar pada tiap

famili pada lokasi penelitian 32

Gambar 4.6 Grafik sepuluh luas bidang dasar (LBD) terbesar pada

pohon lokasi I 34

Gambar 4.7 Luas bidang dasar (LBD) terbesar famili pohon pada lokasi II

35 Gambar 4.8 Luas bidang dasar (LBD) terbesar famili pohon pada lokasi

III

35 Gambar 4.9 Luas bidang dasar (LBD) terbesar famili pohon pada lokasi

IV

36 Gambar 4.10 Luas bidang dasar (LBD) total dan tertinggi pada lokasi

penelitian 37

Gambar 4.11 Komposisi vegetasi pohon pada lokasi I 41 Gambar 4.12 Komposisi vegetasi pohon pada lokasi II 43 Gambar 4.13 Komposisi vegetasi pohon pada lokasi III 44 Gambar 4.14 Komposisi vegetasi pohon pada lokasi IV 46 Gambar 4.15 Grafik intensitas cahaya pada keempat lokasi penelitian 48 Gambar 4.16 Grafik kelembaban udara pada keempat lokasi penelitian 48 Gambar 4.17 Grafik suhu udara, suhu tanah dan pH tanah pada keempat

lokasi penelitian 48

(13)

Gambar 4.22 Grafik jumlah jenis dan individu belta pada lokasi penelitian

55 Gambar 4.23 Nilai indeks keanekaragaman (H’) dan indeks keseragaman

(E) pohon pada tiap lokasi penelitian 63

Gambar 4.24 Indeks keanekaragaman (H’) dan indeks keseragaman (E)

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Judul halaman

Lampiran 1 Peta kawasan hutan gunung Sinabung Kabupaten Karo 72

Lampiran 2 Plot Pengamatan 73

Lampiran 3 Tabel pengamatan vegetasi pohon di hutan pegunungan

bawah gunung Sinabung 74

Lampiran 4 Tabel pengamatan vegetasi belta di hutan pegunungan bawah

gunung Sinabung 89

Lampiran 5 Tabel analisis vegetasi pohon di hutan pegunungan bawah

gunung Sinabung 99

Lampiran 6 Tabel analisis vegetasi belta di hutan pegunungan bawah

gunung Sinabung 104

Lampiran 7 Contoh perhitungan nilai K, KR, F, FR, D, DR, INP, H’, E

dan IS 109

Lampiran 8 Hasil identifikasi herbarium 112

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gunung Sinabung merupakan gunung dengan puncak tertinggi di Sumatera Utara yaitu 2.370 m dpl. Gunung ini terletak di Tanah Karo dan masih memiliki vegetasi yang bagus. Masyarakat sekitar memanfaatkan keindahan alam gunung ini sebagai tempat wisata dan tanah di kaki gunung sebagai lahan pertanian.

Hutan Gunung Sinabung masuk dalam kawasan hutan Sibayak II. Kawasan hutan ini merupakan suatu kawasan studi yang menarik. Menurut Laporan Eksplorasi Flora Nusantara yang dikemukakan oleh lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI, 2003) kawasan hutan Sibayak II yang berada di sekitar hutan Gunung Sinabung yang berbatasan dengan tanah-tanah perkebunan milik masyarakat memiliki kondisi yang masih bagus. Hal ini ditunjukkan dengan masih banyaknya pohon-pohon berukuran besar dan variasi flora yang relatif masih cukup tinggi. Jenis-jenis dari suku Fagaceae seperti Quercus dan Castanopsis sangat banyak dijumpai di hutan ini. Selain itu juga ada jenis-jenis lain seperti Styrax benzoin, Schima wallichii, Callophyllum dan

Flacourtia rukam yang mendominasi kawasan ini.

(16)

Penelitian yang dilakukan oleh Ananta (2003), ditemukan keragaman tumbuhan yang bervariasi seiring dengan ketinggian tempat di atas permukaan laut di Gunung Sinabung. Akan tetapi belum diketahui struktur dan komposisi pohon dan belta pada setiap ketinggian tertentu di zona hutan pegunungan atas Gunung Sinabung.

Dalam rangka pengelolaan yang lebih baik dan bijaksana di kawasan Gunung Sinabung, dibutuhkan data kawasan yang akurat yang bisa diperoleh dengan penelitian. Melihat keragaman flora dan kekhasan floranya, maka perlu dilakukan penelitian tentang vegetasinya. Salah satu bagian yang menarik untuk diteliti adalah struktur dan komposisi pohon dan belta di zona pegunungan atas hutan Gunung Sinabung ini.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan penelitian sebelumnya, ditemukan variasi vegetasi seiring dengan pertambahan ketinggian di Hutan Gunung Sinabung. Namun sejauh ini belum ada data tentang struktur dan komposisi pohon dan belta pada setiap ketinggian tertentu di zona hutan pegunungan atas Gunung Sinabung. Berdasarkan hal tersebut permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah struktur dan komposisi pohon dan belta pada setiap pertambahan ketingian 100 m di zona hutan pegunungan atas Gunung Sinabung.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi pohon dan belta di zona hutan pegunungan atas Gunung Sinabung.

1.4 Hipotesis

(17)

1.5 Manfaat Penelitian

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi data-data tentang Hutan Gunung Sinabung untuk dapat dipergunakan dalam rangka pengelolaan kawasan yang lebih baik dan bijaksana.

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan

Indonesia terletak di daerah tropik karena itu hutannya bertipe hutan tropik. Namun hutan tropik tidaklah homogen, melainkan suatu jenis yang terbentuknya sangat dipengaruhi faktor iklim dan edafik (Soemarwoto et al., 1992). Kondisi lingkungan mempengaruhi pertumbuhan dan menentukan komposisi jenis berbagai komunitas tumbuhan dan juga menentukan kehadiran suatu tumbuhan atau komunitas tumbuhan (Loveless, 1989).

Hutan merupakan suatu wilayah luas yang ditumbuhi pepohonan, termasuk juga tanaman kecil lainnya seperti lumut, semak belukar, dan bunga liar. Diantara tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan, pohon merupakan bagian yang dominan. Berbeda letak dan kondisi suatu hutan berbeda pula jenis dan komposisi pohon yang terdapat pada hutan tersebut (Rahman, 1992). Selanjutnya Siva (1994), menjelaskan bahwa hutan merupakan hasil interaksi faktor biotik dan abiotik dalam suatu ekosistem. Di dalamnya terdapat kompetisi antara individu dari suatu jenis atau dari berbagai jenis yang memiliki kebutuhan yang sama. Kompetisi ini membentuk suatu kelompok tumbuhan tertentu, jenis dan jumlah jenis serta jumlah individu-individu sesuai dengan keadaan tempat tumbuhnya.

(19)

berkelanjutan. Yaitu pembangunan yang tetap memperhatikan prinsip-prinsip konservasi.

Daniel et al., (1987) menyatakan bahwa hutan memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan manusia antara lain: (1) pengembangan dan penyediaan atmosfer yang baik dengan komponen oksigen yang stabil, (2) produksi bahan bakar fosil (batu bara), (3) pengembangan dan proteksi lapisan tanah, (4) produksi air bersih dan proteksi daerah aliran sungai terhadap erosi, (5) penyediaan material bangunan,bahan bakar dan hasil hutan, (7) manfaat penting lainnya seperti nilai estetis, rekreasi, kondisi alam asli, dan taman. Semua manfaat tersebut kecuali produksi bahan bakar fosil, berhubungan dengan pengolahan hutan.

2.2 Hutan Pegunungan

Di Sumatera terdapat banyak gunung, beberapa diantaranya terbentuk dari penjulangan batu endapan seperti halnya kebanyakan pegunungan bukit barisan, sedangkan gunung lainnya seperti Gunung Kerinci, Sinabung, Merapi, dan Singgalang adalah hasil dari letusan gunung berapi. Sifat-sifat lingkunan fisik berubah sepanjang lereng gunung, dan perubahan fauna dan flora dapat diikuti melalui perubahan tersebut. Perbedaan antara hutan dataran rendah yang kaya akan jenis, serta keadaan iklimnya yang panas dan lembab, dan keadaan puncak gunung yang umumnya tanpa pohon dan dingin, merupakan suatu bahan studi yang menarik (Damanik et al., 1987).

Hutan pegunungan adalah hutan yang tumbuh di daerah ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan air laut. Daerah pegunungan ini sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim. Struktur dan komposisi vegetasi hutan pegunungan berbeda-beda menurut ketinggiannya (Damanik et al., 1987).

(20)

dataran-dataran rendah. Hal ini memang demikian keadaannya di daerah-daerah tropika yang sesuai dengan itu, hutan basah terdapat tersebar sangat luas dan sering kali sangat lebat pada lereng-lereng bagian bawah di gunung-gunung. Tipe vegetasi mintakat gunung lebih mirip dengan yang terdapat di daerah iklim sedang, yaitu lebih sesuai dengan hutan basah daerah iklim sedang (Polunin, 1990).

Lebih lanjut Polunin, (1990) mengemukakan bahwa vegetasi yang dominan sering kali mempunyai pertumbuhan yang masif yang khas dan kaya akan cabang-cabang dan tidak memiliki akar-akar banir. Vegetasi dominan itu bersifat selalu hijau, tetapi cenderung untuk memiliki daun-daun yang lebih sempit dari pada daun-daun pohon yang dominan di dalam hutan tropika basah. Perdaunannya umumnya tidak begitu rapat, dan pada umumnya hanya dapat terlihat dua lapisan pohon, memberikan kesempatan kepada cahaya untuk menembus tajuk hutan yang memungkinkan perkembangan vegetasi tanah yang berlimpah-limpah.

Hutan pegunungan bagian bawah mempunyai fisiognomi yang menyerupai hutan hujan, hanya pohon-pohonnya yang tumbuh lebih kecil. Begitu pula komposisinya juga agak berbeda. Ekosistem ini kaya akan jenis Orchidaceae atau Pteridophyta. Disamping itu pada umumnya dihuni oleh berbagai jenis tetumbuhan antara lain dari famili: Annonaceae, Burseraceae, Bambusaceae, Dipterocarpaceae, Leguminoceae, Melliaceae, Sapindaceae, Sapotaceae (Irwan, 1992).

2.3 Hutan Pegunungan Atas

(21)

dengan terdapatnya hutan yang bertajuk yang tertutup rapat-rapat dan pepohonan yang berbatang tinggi tetapi miskin akan lumut (Rifai, 1993).

Ekosistem subalpine ditandai oleh jenis hutan pegunungan yang lebih kerdil. Biasanya banyak dijumpai jenis endemik. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena penyinaran ultra violet yang kuat, menyebabkan terjadinya mutasi dan spesifikasi yang dipercepat (Irwan, 1992).

Penyebaran komunitas-komunitas biotik di daerah pegunungan adalah rumit, seperti mengingat keanekaragaman keadaan-keadaan fisiknya. Komunitas-komunitas utama umumnya nampak sebagai jalur-jalur yang tidak teratur. Komunitas-komunitas pengunungan lebih kecil karena barisan-barisan pegunungan sangat jarang berkesinambungan (Odum, 1994).

2.4 Pengaruh Ketinggian

Hutan pada pegunungan sangat dipengaruhi oleh perubahan ketinggian, pada ketinggian yang berbeda-beda mempunyai iklim yang berbeda-beda pula. Suhu secara perlahan menurun sejalan dengan ketinggian yang meningkat, hingga pada gunung-gunung yang tinggi, bahkan pada khatulistiwa seperti Gunung Kilimanjaro di Afrika Timur terdapat salju abadi. Semakin naik ketinggian maka kondisi lingkungan semakim ekstim, pH tanah semakin menurun sehingga proses pembusukan bahan organik lambat. Intensitas cahaya matahari semakin tinggi yang mempengaruhi tumbuhan. Karena intensitas cahaya matahari yang tinggi tumbuhan menjadi kerdil, daun tebal dan sempit (Ewusie, 1990).

(22)

udara yang rendah. Laju penurunan suhu pada umumnya 0,6 0C setiap penambahan ketinggan sebesar 100 m, tetapi hal ini tergantung kepada tempat, musim, waktu, kandungan uap air dalam udara dan lain sebagainya (Damanik et al., 1987).

Di tempat yang lebih tinggi, sinar matahari lebih sedikit kehilangan energi karena melalui lapisan udara yang tipis. Penyinaran pada permukaan tanah sangat intensif sehingga suhu di dekat tanah jauh lebih tinggi dari pada suhu udara di sekelilingnya. Panas tanah ini cepat hilang karena radiasi di waktu malam, dan kisaran suhu harian dapat mencapai 15-20 0C di tempat-tempat yang tinggi (McKinnon et al.,

2000). Satu dasar untuk dapat mengerti mengenai beberapa aspek ekologi gunung adalah efek ‘massenerhebung’ ini adalah suatu gejala yang pertama kali diamati pada Gunung Alpin di Eropa, yaitu bahwa zona-zona vegetasi pada gunung-gunung yang besar dan di bagian tengah dari pegunungan yang panjang (seperti pegunungan bukit barisan) lebih tinggi dari pada zona-zona vegetasi sama pada gunung-gunung yang lebih kecil dan bukit-bukit yang terpencil (Damanik et al, 1987).

Hal ini harus diingat bila akan mempelajari tentang gunung-gunung, misalnya yang ada di semenanjung Malaya ( puncak tertinggi 2.200 m dpl) atau di Irian Jaya (puncak tertinggi 4.884 m dpl). Pada kedua contoh tersebut, zona suhu demikian juga vegetasi akan lebih rendah di semenanjung Malaya dibandingkan dengan kebanyakan gunung di Sumatera. Dan lebih rendah dari kebanyakan gunung di Sumatera dibandingkan dengan gunung di Irian Jaya. Karena perbedaan ketinggian gunung di lokasi ini membuat range zona hutan pegunungan juga menjadi berbeda sesuai dengan ketinggiannya (Damanik et al., 1987);.

(23)

Pada umumnya, curah hujan pada lereng bawah pegunungan lebih lebat dari pada lokasi di sekelilingnya. Penyebab keadan ini adalah karena udara yang panas dari lokasi itu menjadi dingin pada waktu dipaksa naik mengikuti lereng pegunungan. Hal ini menyebabkan penurunan daya tambat air oleh udara, sehingga kelebihan air dalam udara itu membentuk awan yang menyebabkan hujan. Sampai suatu ketinggian tertentu terdapat kenaikan curah hujan pada lereng bukit, tetapi di atas ketinggian itu pengembunan uap air dari udara tidak cukup untuk membentuk banyak hujan. Sebagai akibat sebaran hujan itu, sering terdapat hutan yang lebih subur pada ketinggian rendah dan menengah dari pada lokasi yang berbatasan (Ewusie, 1990).

Banyak tumbuhan di tempat-tempat tinggi juga memperoleh kelembaban dari tetes-tetes air dari awan yang menempel pada daun dan batangnya. Karena persentase kejenuhan suatu massa udara meningkat bila suhu turun, kelembaban hutan di tempat-tempat yang tinggi relatif tinggi, terutama pada waktu malam (McKinnon et al.,

2000).

Lebih lanjut McKinnon et al. (2000), mengemukakan bahwa pada ketinggian tertentu dimana awan biasanya menaungi gunung merupakan hal yang penting karena awan mencegah cahaya matahari yang terang untuk menaikkan suhu daun, dan juga mengurangi jumlah radiasi yang tersedia untuk fotosintesis.

(24)

2.5 Pohon

Menurut Sutarno & Soedarsono (1997), pohon merupakan tumbuhan yang berperawakan pohon, batangnya tunggal berkayu, tegak biasanya beberapa meter dari tanah tidak bercabang, mempunyai tajuk dengan percabangan dan daun yang berbentuk seperti kepala. Menurut Whitmore (1991) dalam Tamin (1991), pohon tumbuh secara alami di hutan dalam bentuk yang dominan dalam hutan hujan, bahkan tumbuhan bawah sebagian besarnya terdiri dari pada tumbuhan berkayu yang mempunyai bentuk pohon.

Untuk keperluan inventarisasi tumbuhan, pada tingkatan pohon tegakan hutan dibedakan menjadi stadium seedling (benih), sapling (pancang), pole (tiang), dan pohon dewasa. Wyatt-Smith (1963) dalam Soerianegara & Indrawan (1978), membedakan sebagai berikut:

1) Seedling (semai) yaitu permudaan mulai kecambah sampai setingi 1,5 m. 2) Sapling (pancang, sapihan) yaitu permudaan yang tinginya 1,5 m dan lebih

sampai pohon-pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm yang diukur dengan ketinggian 1,3 m dari permukaan tanah.

3) Pole (tiang) yaitu pohon-pohon muda yang berdiameter 10-35 cm yang diukur dari ketinggian 1,3 m dari permukaan tanah.

4) Pohon dewasa yaitu pohon yang berdiameter lebih dari 35 cm yang diukur dengan ketinggian 1,3 m dari permukaan tanah.

(25)

Daerah pegunungan sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim yang berbeda-beda menurut ketinggiannya. Jenis pepohonan yang tumbuh sangat miskin akan jenis tetapi kaya akan epifit (tumbuhan yang menumpang pada tumbuhan lain tapi tidak menrugikan tumbuhan inangnya). Pohon ini mempunyai satu stratum, dimana semakin tingi dari permukaan air laut semakin rendahlah pohon-pohon yang dijumpai. Hutan pegunungan dengan ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut banyak ditumbuhi pohon-pohon dari famili Fagaceae, Magnoliaceae, Ericaceae, dan Hamamelidaceae serta Coniferae, yakni Altingia (Arief, 1994).

Pada ketinggian sekitar 2.000 meter mulai terlihat perubahan tajuk semakin rendah. Pohon yang menjulang di atas lepisan tajuk jadi menjarang dan diameter batang pohonnya makin mengecil (Rifai, 1993). Serta ketinggian pohon berkurang mulai dari kaki gunung sampai hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas. Dalam hutan berikutnya, pohon-pohon menjadi kecil dengan cabang-cabang yang panjang dan berlekuk-lekuk dan biasanya banyak terdapat epifit. Hutan ini selanjutnya diikuti oleh hutan kerdil atau hutan lumut yang rapat dan pohon-pohon banyak ditumbuhi oleh lumut kerak. Hutan kerdil ini kemudian menjadi lebih rendah lagi dan diikut i oleh padang rumput pegunungan tinggi (Resosoedarmo et al., 1992).

Hutan-hutan dataran rendah ditandai oleh berlimpahnya pohon-pohon dari suku Dipterocarpaceae (tumbuhan yang bijinya bersayap), sedangkan hutan pegunungan bagian bawah ditandai oleh berlimpahnya suku Fagaceae dan Lauraceae. Fagaceae terdiri dari berbagai jenis pohon-pohon hutan yang ditandai dengan buah yang berkulit keras yang di dalamnya terdapat satu biji, dan buah ini duduk di atas atau di dalam dasar bunga (reseptakulum) berkayu atau berbentuk mangkok.

Lithocarpus adalah marga dari suku Fagaceae yang umumnya dijumpai di hutan

(26)

2.5 Struktur dan Komposisi

Struktur merupakan lapisan vertikal dari suatu komunitas hutan. Dalam komunitas selalu terjadi kehidupan bersama yang saling menguntungkan sehingga dikenal adanya lapisan-lapisan bertuk kehidupan (Syahbuddin, 1987). Selanjutnya Daniel et al. (1992), menyatakan struktur tegakan suatu hutan menunjukkan sebaran umur dan atau kelas diameter dan kelas tajuk.

Sementara itu dinyatakan struktur hutan menunjukkan stratifikasi yang tegas antara stratum A, stratum B dan stratum C yang tingginya secara berurutan sekitar 40, 20 dan 10 meter (Wirakusuma, 1990).

Terdapatnya tajuk berlapis-lapis merupakan salah satu ciri hutan hujan tropik yang juga dapat disaksikan di hutan pegunungan (Rifai, 1993). Lapisan-lapisan ini dibedakan atas lapisan tajuk (kanopi) (A dan B) dan lapisan bawah (C dan D). kanopi merupakan atap hutan. Rata-rata ketinggiannya adalah 20 sampai 35 meter, tumbuh rapat, sehingga tajuknya saling bertautan membentuk keseinambungan dan menjadi atap hutan. Lapisan B dihuni oleh pohon-pohon yang masih muda dan kecil. Ketinggian rata-rata 4 sampai 20 meter. Lapisan C dan D adalah lapisan semak dan lapisan penutup tanah (Hafild & Aniger, 1984).

Komposisi hutan merupakan penyusun tegakan hutan yang meliputi jumlah jenis maupun banyaknya individu dari suatu jenis tumbuhan (Wirakusuma, 1990). Komposisi hutan ditentukan oleh faktor-faktor kebetulan, terutama waktu-waktu pemencaran buah dan perkembangan bibit. Pada daerah tertentu komposisi hutan berkaitan erat dengan ciri habitat dan topografi (Damanik et al., 1987).

(27)

2.6 Analisis Vegetasi

Menurut Soerianegara & Indrawan (1978) yang dimaksud analisis vegetasi atau studi komunitas adalah suatu cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Cain & Castro (1959) dalam

(28)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

3.1.1 Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2007 sampai bulan Februari 2008 di kawasan hutan pegunungan atas, Gunung Sinabung Kabupaten Karo. Lokasi Penelitian ditetapkan dengan metode Purpossive sampling. Metode ini merupakan metode penentuan lokasi penelitian secara sengaja yang dianggap representatif.

3.1.2 Tempat

3.1.2.1 Letak dan Luas

Hutan Gunung Sinabung memilliki luas area 13.844 ha. Secara administratif termasuk dalam desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Secara geografis terletak pada 03010’ – 03012’ BT dan 98022’ – 98024’ LU, terletak pada ketinggian 1.400 – 2.320 m dpl. Dari Berastagi berjarak lebih kurang 27 km atau 86 km dari kota Medan.

Hutan Gunung Sinabung berbatasan :

Sebelah Utara : Kawasan Ekosistem Leuser, Kab. Langkat Sebelah Selatan : Kecamatan Munthe

(29)

3.1.2.2 Topografi

Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada umumnya memiliki topografi relatif bergelombang sampai dengan curam. Sehingga ditemukan banyak jurang di sepanjang lereng gunung ini.

3.1.2.3 Iklim

3.1.2.3.1 Curah Hujan

Berdasarkan informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah I Sampali, diperoleh data curah hujan kawasan hutan Gunung Sinabung adalah rata-rata 2628,6 mm pertahunnya.

3.1.2.3.2 Tipe Iklim

Berdasarkan Schmidt-Fergusson, tipe iklim di kawasan hutan Gunung Sinabung adalah tipe A dengan rata-rata curah hujan bulanan selama sepuluh tahun berkisar antara 139,6 s/d 335,0 mm.

3.1.2.4 Vegetasi

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Ananta (2003) ditemukan vegetasi pohon di Gunung Sinabung yang didominasi oleh Fagaceae, Myrtaceae, Hamamelidaceae dan Theaceae.

3.2 Pelaksanaan Penelitian

3.2.1 Di Lapangan

Pengamatan objek penelitian dilakukan dengan menggunakan Metode Kuadrat. Lokasi penelitian dibagi menjadi empat berdasarkan ketinggian yaitu:

(30)

Penentuan ketinggian lokasi penelitian didasarkan atas survei dan penelitian sebelumnya. Pada lokasi I sampai III dibuat plot dengan ukuran 10 x 150 m dan pada lokasi IV 10 x 70 m, kemudian di dalam plot tersebut dibuat subplot dengan ukuran 10 x 10 m untuk pohon dan 5 x 5 m untuk belta. Pada setiap plot dilakukan pengamatan pada seluruh pohon yang berdiameter > 10 cm dengan mengukur diameter batang pada setinggi dada (1,3 m), dan belta mulai dari kecambah sampai yang berdiameter < 10 cm, dan memberi nomor (tagging) pada semua pohon yang diukur tersebut, mencatat jenis pohon dan belta, dan jumlah individu dari setiap jenis pohon dan belta yang dijumpai pada lokasi pengamatan.

Spesimen dari seluruh individu yang ditagging, dikoleksi dan diberi label gantung. Kemudian dilakukan pengawetan spesimen yaitu spesimen disusun dan dibungkus dengan kertas koran dan dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi alkohol 70%. Udara dalam kantong plastik dikeluarkan dan kantong plastik ditutup dengan lakban. Selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan.

Faktor abiotik yang diukur meliputi suhu udara dengan thermometer,

kelembaban udara dengan hygrometer, kelembaban tanah dengan soil tester, suhu tanah dengan soil thermometer, intensitas cahaya dengan luxmeter, dan ketinggian dengan altimeter.

3.2.2 Di Laboratorium

Spesimen yang berasal dari lapangan dikeringkan dengan menggunakan oven yang selanjutnya diidentifikasi di Herbarium Medanense (MEDA) Depatemen Biologi FMIPA USU dengan menggunakan buku-buku acuan antara lain:

1) Malayan Wild Flowers Dicotyledon (Henderson, 1959)

2) Tree Flora of Malaya. A Manual for Foresters Volume 1 (Whitmore, 1991a) 3) Tree Flora of Malaya. A Manual for Foresters Volume 2 (Whitmore, 1991b) 4) Tree Flora of Malaya. A Manual for Foresters Volume 3 (Whitmore, 1991c) 5) Latihan Mengenal Pohon Hutan: Kunci Identifikasi dan Fakta Jenis (Sutarno &

(31)

6) Malesian Seed Plants Volume 1 – Spot-Charakters An Aid for Identification of Families and Genera (Balgooy, 1997a)

7) Malesian Seed Plants Volume 2 – Portraits of Tree Families (Balgooy, 1998b). 8) Collection of Illustrated Tropical Plant (E.J.H. Corner & Prof. Dr. Watanabe,

1969).

9) Taxonomy of Vascular Plants (Lawrence, 1958) 10)Flora Malesiana ( C.G.G.J. Van Steenis, 1987) 11)Plant Classification (L. Benson, 1957)

Spesimen herbarium yang tidak dapat diidentifikasi di herbarium Medanense, dikirim ke herbarium Universitas Andalas (ANDA) Padang untuk diidentifikasi lebih lanjut.

3.3 Metode Penelitian

Penentuan areal lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Purpossive

sampling. Pengambilan data pada areal penelitian dilakukan dengan menggunakan

Metode Kuadrat.

3.4 Analisis Data

Data vegetasi yang dikumpulkan dianalisis untuk mendapatkan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Relatif (DR), Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman dari (e) masing-masing lokasi penelitian. Untuk analisis vegetasi pohon, nilai INP terdiri dari KR, FR, dan DR. Sedangkan pada belta, nilai INP hanya terdiri dari KR dan FR.

(32)

a. Kerapatan

b. Frekuensi

c. Luas Basal Area

d. Dominansi

e. Indeks Nilai Penting

(33)

f. Indeks Keanekaragaman dari Shannon-Wiener

H’ = -

∑pi lnpi

pi=

Dimana :

ni = jumlah individu suatu jenis

N = jumlah total individu seluruh jenis

g. Indeks Keseragaman

E =

Dimana:

E = indeks keseragaman: H’=indeks keragaman Hmax = indeks keragaman maksimum, sebesar LnS S = jumlah genus atau jenis

h. Indeks Similaritas

IS =

Dimana:

A = jumlah jenis yang terdaapt pada lokasi A B = jumlah jenis yang terdapat pada lokasi B

(34)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kekayaan Jenis Pohon dan Belta

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada empat lokasi yang dibedakan berdasarkan ketinggian di kawasan hutan pegunungan atas Gunung Sinabung, ditemuka n sebanyak 92 jenis tumbuhan yang tergolong ke dalam 30 famili dan 25 ordo, seperti terlihat pada Tabel 4.1 berikut ini

Tabel 4.1 Klasifikasi Jenis-Jenis Tumbuhan yang Ditemukan pada Lokasi Penelitian

7. Dendropanax mangayii Dendropanax mingayii

4. Casuarinales 4. Casuarinaceae 8. Casuarina equisetifolia -

5. Clusiales 5. Clusiaceae

9. - Callophylum sp.

6. Clusiaceae 10. Garcinia cowa Garcinia cowa

6. Cunoniales 7. Cunoniaceae 11. Weinmannia blumei Weinmannia blumei

7. Elaeocarpales 8. Elaeocarpaceae 12.

Elaeocarpus grandiflorus Elaeocarpus grandiflorus

13. Elaeocarpus leptomischus Elaeocarpus leptomiscus

14. Elaeocarpus sp. Elaeocarpus sp. 8. Ericales 9. Ericaceae 15. - Dyplicosia rosea

16. - Gaultheria berbendifolia

17. - Gaultheria leucocarpa

18. Rhododendron fenschialum Rhododendron fenschialum

19. Rhododendron retusum Rhododendron retusum

(35)

21. Vaccinum korinchense Vaccinum korinchense

12. Theaceae 25. Adinandra dumosa Adinandra dumosa

26. Adinandra sp. Adinandra sp.

27. Eurya nitida -

28. Eurya obovata Eurya obovata

29. Eurya sp.

30. Gordonia excelsa -

31. Gordonia imbricata Gordonia imbricata

32. - Gordonia sp.

33. Schima wallicii -

34. Sp1 -

9. Euphorbiales 13. Euphorbiaceae 35. -

Claoxylon sp. 10.Fagales 14. Fagaceae 36. Castanopsis benneti

37. Castanopsis costata Cartanopsis costata

38. - Castanopsis javanica

39. - Castanopsis rhamnifolia

40. Lithocarpus macphailii Lithocarpus macphailii

41. Lithocarpus melitus

42. Lithocarpus sp. Lithocarpus sp.

43. Quercus argentata -

44. - Quercus cyclophora

45. Quercus sp1 Quercus sp1

46. - Quercus sp2

11.Flacourtiales 15. Flacourtiaceae 47. -

Flacourtia sp. 12.Hamamelidales 16. Hamamelidaceae 48. Symingtonia populnea Symingtonia populnea

49. Sp4 -

13.Illicales 17. Illicaceae 50. Illicium sp. Illicium sp.

14.Laurales 18. Lauraceae

51. Actinodaphne sp. -

52. Beilschimedia sp. Beilschimedia sp.

53. Cryptocaria sp. Cryptocaria sp.

54. Litsea longipedicellata Litsea longipedicellata

55. Litsea sp. Litsea sp.

56. Neocinnamomum sp. -

57. Persea malayana Persea malayana

15.Loganiales 19. Loganiaceae 58. Fragraea fragrans Fragraea fragrans

16.Magnoliales 20. Magnoliaceae 59.

Aromadendron sp. -

60. Magnolia sp. -

17.Malvales 21. Sterculiaceae 61. Sterculia sp. Sterculia sp.

18.Morales 22. Moraceae 62. - Ficus ribes

63. - Ficus scortechii

(36)

65. Ficus sp2 - 19.Myrsinales 23. Myrsinaceae 66. - Ardisia littoralis

67. - Ardisia lurida

68. Ardisia marginata Ardisia marginata

69. Ardisia negelii Ardisia negelii

70. Ardisia sp. -

71. Embelia sp. -

20.Myrtales 24. Myrtaceae

72. - Eugenia c.f. polyanta

73. Eugenia cumingiana Eugenia cumingiana

74. - Eugenia claviflora

75. Eugenia glauca Eugenia glauca

76. - Eugenia lanceolata

83. Rhodamnia cinerea Rhodamnia cinerea

21.Proteales 25. Proteaceae

88. Daphne composita Daphne composita

2 Monocotyledon 24.Arecales 28. Arecaceae 89. - Inguanura sp.

3 Coniferae 25.Pinales 29. Pinaceae 90. Pinus sp. -

30. Podocarpaceae 91.

Dacrydium gibbsiae Dacrydium gibbsiae

92. - Dacrycarpus imbricatus

Keterangan : - = tidak ditemukan

Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pada lokasi penelitian didapatkan 92 jenis tumbuhan. Tumbuhan yang ditemukan dapat dikelompokkan ke dalam 30 famili, yang termasuk ke dalam 25 ordo dan 3 kelas. Dari keseluruhan temuan didapatkan 3 jenis dari sub divisi gimnospermae yang termasuk ke dalam 2 famili dan 1 ordo, yaitu

Pinus sp., D. Gibbsiae, dan D. Imbricatus, Sedangkan sub divisi angiospermae

ditemukan 85 jenis pohon yang termasuk ke dalam 27 famili dan 23 ordo. Dari data juga dapat dilihat bahwa jumlah jenis belta lebih banyak dari pohon.

(37)

Tabel 4.2 Famili, Jenis dan Jumlah Individu Pohon pada Lokasi Penelitian di Zona Hutan Pegunungan Atas Gunung Sinabung

(38)

43 Eugenia sp3 0.022 - 1 - - Lokasi I pada ketinggian 1900 – 2000 m dpl Lokasi II pada ketinggian 2000 – 2100 m dpl Lokasi III pada ketinggian 2100 – 2200 m dpl Lokasi IV pada Ketinggian 2200 – 2250 m dpl

(39)

Pada tingkatan pohon dengan luas cuplikan 0,52 Ha, ditemukan sebanyak 645 individu yang termasuk ke dalam 61 jenis dan 24 famili, seperti terlihat pada Tabel 4.3 berikut ini.

Tabel 4.3 Perbandingan Jumlah Individu dan Jumlah Jenis Setiap Famili Pohon yang Didapatkan pada Lokasi Penelitian

Pada Tabel 4.3 dapat dilihat perbandingan jumlah jenis dan individu setiap famili dari data yang didapatkan dari penelitian. Dari kedua puluh empat famili yang ditemukan dapat dilihat bahwa jumlah individu sangat bervariasi. Famili Theaceae mendominasi famili lainnya sedangkan famili-famili yang lainnya dengan nilai persentasi yang tidak jauh berbeda.

(40)

tidak semua familinya sama. Untuk lebih jelas perbandingan jumlah individu setiap famili pohon yang dijumpai pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut ini.

Gambar 4.1 Perbandingan Jumlah Individu Tiap Famili Pohon Pada Lokasi Penelitian

Dari Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa jumlah individu terbanyak adalah famili Theaceae yaitu 238 individu (36,90%), diikuti oleh Podocarpaceae 64 individu (9,92%) dan Araliaceae 54 individu (8,37%). Sedangkan yang terendah adalah famili Apocynaceae, Pinaceae, Actinidiaceae dan Symplocaceae dengan masing-masing jumlah individu 1 (0.16%). Banyaknya jumlah individu famili Theaceae menunjukkan bahwa habitat pada lokasi penelitian sangat mendukung keberadaan famili ini pada zona hutan pegunungan atas, sedangkan perbandingan jumlah jenis untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 4.2 berikut ini.

(41)

Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa jumlah jenis yang tertinggi ditempati oleh famili Theaceae dengan jumlah sebanyak 8 jenis (13,11%), kemudian diikuti oleh Myrtaceae dan Lauraceae dengan nilai masing-masing 11,48%. Fagaceae 6 individu (9,84%), Myrsinaceae dan Ericaceae masing-masing sebanyak 4 individu (6,56%). Sedangkan famili dengan jumlah individu terkecil adalah Podocarpaceae, Clusiaceae, Casuarinaceae, Cunoniaceae, Sterculiaceae, Illicaeae, Thymalieceae, Loganiaceae, Apocynaceae, Pinnaceae, Actinidiaceae dan Symplocaceae masing-masing sebanyak 1 jenis (1,69%).

Pada tingkatan belta dengan luas cuplikan 0,13 Ha, ditemukan sebanyak 1604 individu yang termasuk ke dalam 69 jenis dan 24 famili, seperti terlihat pada Tabel 4.3 berikut ini.

(42)
(43)

68 Gordonia sp. - - - 4 4

Keterangan: - = Tidak ditemukan

Dari Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa kawasan zona hutan pegunungan atas Gunung Sinabung memiliki kekayaan belta yang cukup tinggi, dengan 1604 individu yang tercakup dalam 69 jenis belta. Jumlah ini lebih besar dibandingkan jumlah yang ditemukan pada tingkatan pohon. Damanik at al. (1987) menyatakan bahwa tumbuh-tumbuhan di zona pegunungan atas mempunyai fisiognomi yang massif, dimana tumbuhan menjadi kerdil dan mempunyai cabang yang panjang dan berlekuk-lekuk.

Perbandingan jumlah jenis dan individu tiap famili belta yang ditemukan pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.5. berikut ini.

(44)

20 Moraceae 3 0.19 3 4.35 21 Proteaceae 3 0.19 1 1.45 22 Flacourtiaceae 2 0.13 1 1.45 23 Thymelaeaceae 1 0.06 1 1.45 24 Loganiaceae 1 0.06 1 1.45

Total 1597 100 69 100

Dari Tabel 4.4 dan 4.5 dapat dilihat dengan jelas bahwa jumlah individu terbanyak terdapat pada famili Theaceae, yaitu 493 individu/0,1675 Ha (30,87%), sedangkan jumlah individu terkecil terdapat pada famili Thymelaeaceae dan Loganiaceae dengan satu individu (0,06%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.4 berikut ini

Gambar 4.3 Perbandingan Jumlah Individu Tiap Famili Belta pada Lokasi Penelitian

(45)

Jumlah jenis belta tertinggi (Gambar 4.4) yang terdapat pada kawasan ini adalah dari famili Fagaceae dan Myrtaceae dengan masing-masing sembilan jenis (13,04%), sedangkan famili-famili yang memiliki jumlah jenis terendah adalah Rubiaceae, Cunoniaceae, Euphorbiaceae, Hamamelidaceae, Illicaceae, Sterculiaceae, Thymelaeaceae, Arecaceae, Proteaceae, Flacourtiaceae, dan Loganiaceae masing-masing dengan 1 jenis (1,45%).

4.2 Struktur Vegetasi Pohon

Salah satu indikator dalam menelaah struktur hutan sering digunakan data ukuran pohon yang meliputi lingkar atau pun diameter batang, dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan luas bidang dasar vegetasi pohon yang cukup bervariasi pada lokasi penelitian, seperti terlihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Luas Bidang Dasar Vegetasi Pohon pada Lokasi Penelitian

No. Famili Jlh. LBD (m2)

(46)

Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa famili Theaceae memiliki jumlah LBD terbesar yaitu 201,54 m2, kemudian diikuti dari famili Podocarpaceae 136,33 m2, Hamamelidaceae 29,01 m2, Myrsinaceae 19,17 m2 Araliaceae 19,07 m2, Fagaceae 9,77 m2, Lauraceae 7,95 m2, Ericaceae 7,55 m2, Elaeocarpaceae 4,19 m2, Clusiaceae 2,37 m2, Moraceae 1,97 m2, dan Casuarinaceae beserta famili lainnya 0,50 – 0,01 m2. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5 Grafik Sepuluh Luas Bidang Dasar (LBD) Terbesar Tiap Famili Pohon pada Lokasi Penelitian

Beragamnya nilai LBD ini menunjukkan adanya pengaruh lingkungan tempat tumbuhnya, seperti kelembaban dan suhu, atau tidak mampu dan kalah berkompetisi, seperti perebutan akan zat hara, sinar matahari dan ruang tumbuh dengan jenis-jenis lainnya yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dari diameter batang pohon. Luas basal area juga dipengaruhi oleh jenis dan umur pohon. Hortson (1976) dalam Yefri (1987), menyatakan bahwa yang paling berpengaruh dalam menentukan diameter batang adalah jenis dan umur pohon.

(47)

mempengaruhi kelembaban udara. Selanjutnya keadaan hutan tersebut juga dipengaruhi oleh batuan yang menyusun lapisan tanah dimana kebanyakan lapisan tanah pegunungan merupakan turunan dari batuan vulkanik yang sangat asam dan kurang akan fosfor dan nitrogen.

Luas bidang dasar vegetasi pohon (famili dan jenis) pada lokasi I-IV didapatkan sangat bervariasi, seperti terlihat pada Tabel 4.7 berikut.

Tabel 4.7 Data Luas Bidang Dasar (LBD) Vegetasi Pohon pada Lokasi I–IV

No. Famili Nama Jenis Lokasi/LBD (m

2) 7 Elaeocarpaceae Elaeocarpus leptomischus 0.05 3.618 0.323 0.098

8 Elaeocarpaceae Elaeocarpus sp. 0.015 - - -

9 Ericaceae Rhododendron fenschialum - 0.226 0.322 0.039

10 Ericaceae Rhododendron sp. - 0.152 - -

21 Hamamelidaceae Symingtonia populnea 7.709 17.933 1.815 1.511

(48)

37 Myrsinaceae Embelia sp. - 0.624 - -

47 Podocarpaceae Dacrydium gibbsiae 0.338 81.447 50.392 4.156

48 Rubiaceae Mycetia sp - - - 0.113

58 Theaceae Gordonia imbricata 15.739 126.911 18.594 1.566

59 Theaceae Sp1 - - 0.014 0.585

60 Theaceae Schima wallicii 0.018 - -

61 Thymelaeaceae Daphne composita 0.045 - 0.01

Total 58.909 287.99 86.005 18.838

Dari Tabel 4.7 terlihat bahwa pada lokasi I didapatkan luas bidang dasar berkisar antara 21,41 – 0,01 m2. Dari data tabel tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa LBD tertinggi didapatkan dari jenis Gordonia imbricata, yakni sebesar 15,74 m2. Kemudian diikuti Aralia sp. 9,40 m2, Quercus sp1 8,61 m2, Symingtonia populnea

7,71 m2, Litsea longipedicellata 4,81 m2, Adinandra dumosa 3,10 m2, Garcinia cowa

2,34 m2, Rhodamnia cinerea 1,50 m2, dan jenis lainnya 0,56 – 0,01 m2. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.6 berikut ini.

(49)

Pada lokasi II dapat kita lihat bahwa luas bidang dasar tertinggi adalah

Gordonia imbricata dengan nilai 126,91 m2. Kemudian disusul oleh Dacrydium

gibbsiae 81,45 m2, Adinandra dumosa 19,71 m2, Symingtonia populnea 17,93 m2,

Ardisia marginata 15,11 m2, Aralia sp. 9,06 m2, Rhodamnia cinerea 8,21 m2,

Elaeocarphus leptomischus 3,62 m2, Litsea longpedicellata 1,09 m2, dan jenis yang lainnya mempunyai nilai 0,97 – 0,01 m2. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar 4.7 berukut ini.

Gambar 4.7 Grafik Sepuluh Luas Bidang Dasar (LBD) Terbesar Famili Pohon Lokasi II

Pada lokasi III bisa dilihat jenis dengan luas bidang dasar tertinggi ditempati oleh Dacrydium gibbsiae dengan nilai 50,39 m2. Kemudian diikuti oleh Gordonia

imbricata 18,59 m2, Adinandra dumosa 9,75 m2, Ardisia marginata 3,22 m2,

Symingtonia populnea 1,82 m2, dan sisanya mempunyai nilai antara 0,57 – 0,01 m2.

Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 4.8 berikut ini.

(50)

Pada lokasi IV bisa dilihat bahwa jenis dengan nilai luas bidang dasar tertinggi ditempati oleh Vaccinum korinchense dengan nilai 6,56 m2. Kemudian disusul oleh

Dacrydium gibbsiae 4,16 m2, Ficus sp2 1,96 m2, Gordonia imbricata 1,57 m2,

Symingtonia populnea 1,51 m2, Beilschimedia sp. 1,07, dan jenis lainnya bernilai

antara 0,75 – 0,01 m2. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.9 berikut ini.

Gambar 4.9 Grafik 10 LBD Terbesar Famili Pohon pada Lokasi IV

Dari uraian data di atas diketahui bahwa didapatkan jenis pohon yang mempunyai nilai luas bidang dasar tertinggi pada setiap lokasi penelitian, seperti tercantum pada Tabel 4.8 berikut ini.

Tabel 4.8 Jumlah Luas Bidang Dasar (LBD) pada Tiap Lokasi Penelitian

No. Faktor Area

I II III IV

1 LBD total (m2) 58.99 287.99 86.01 18.84

2 LBD famili tertinggi (m2) 21.41 148.46 50.39 6.62

3 LBD jenis tertinggi (m2) 15.74 126.91 50.39 6.56

4 Famili LBD tertinggi Theaceae Theaceae Podocarpaceae Ericaceae

5 Jenis LBD tertinggi G. imbricata G. imbricata D. gibbsiae V. korinchense

Dari Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa LBD total, LBD famili, dan LBD jenis tertinggi pada lokasi I adalah 58,99 m2, Theaceae 21,41 m2 dan Gordonia imbricata

15,74 m2. Lebih lanjut pada lokasi II dengan nilai 287,99 m2, Theaceae 148 m2, G.

imbricata 126,91 m2. Kemudian pada lokasi III dengan nilai 86,01 m2, dan

(51)

nilai 18,84 m2, Ericaceae 6,62 m2, dan Ericaceae 6,56 m2. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 4.10 berikut.

Gambar 4.10. Luas Bidang Dasar (LBD) Total dan Tertinggi pada Lokasi Penelitian

Dari Gambar 4.10 dapat diperhatikan pola perubahan jumlah LBD dari lokasi I sampai IV. Terlihat pada lokasi I terdapat LBD total 58,99 m2 kemudian pada lokasi II meningkat drastis yaitu 287,99 m2. Kemudian walaupun pada lokasi III menurun jumlahnya dari lokasi II tapi tetap lebih tinggi dari lokasi I. Hal ini karena pada lokasi I topografinya hanya sedikit area yang datar dibandingkan lokasi II dan III, selain itu di kanan kiri punggungan datar lokai I ini terdapat jurang. Dan hal ini menyebabkan didapatkan sedikit jumlah LBD pohon pada lokasi I dibandingkan lokasi II dan III.

(52)

4.3 Komposisi Vegetasi Pohon dan Belta

Komposisi merupakan penyusun suatu tegakan yang meliputi jumlah jenis/famili ataupun banyaknya individu dari suatu jenis pohon (Suin, 2002). Pada keempat lokasi penelitian didapat masing-masing 24 famili pohon dan belta. Komposisi dari setiap famili yang terdapat pada kelima lokasi relatif berubah.

Dari seluruh data yang didapatkan diperhatikan bahwa ada famili-famili yang terdapat di keempat lokasi penelitian dan ada yang hanya pada lokasi tertentu saja. Famili-famili pohon yang terdapat pada keempat lokasi penelitian adalah Araliaceae, Elaeocarpaceae, Hamamelidaceae, Podocarpaceae dan Theaceae. Hal ini menunjukkan tingkat penyebaran dan adaptasi yang tinggi dari kelima famili ini terhadap kondisi fisik lingkungan zona pegunungan atas Gunung Sinabung. Sehingga famili-famili ini dijumpai pada keempat lokasi. Kondisi fisik lingkungan seperti kelembaban dan kecepatan angin sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan penyebaran biji.

Krebs (1995), menyatakan bahwa kelembaban tanah mempengaruhi penyebaran geografi pada sebagian besar pohon pada hutan pegunungan dan mempengarui kandungan/ketersediaan air tanah, dimana hubungannya dengan temperatur dapat mempengaruhi keseimbangan air tumbuhan. Lebih lanjut ia juga menyatakan angin mempengaruhi kelembaban udara dan penyebaran biji tumbuhan pada hutan pegunungan.

(53)

Tabel 4.9 Komposisi tegakan pohon pada keempat lokasi penelitian

No. Lokasi

I II III IV

1 Araliaceae Araliaceae Araliaceae Araliaceae

2 Apocynaceae - - -

3 - Casuarinaceae - -

4 Cunoniaceae Cunoniaceae - -

5 Elaeocarpaceae Elaeocarpaceae Elaeocarpaceae Elaeocarpaceae

6 - Ericaceae Ericaceae Ericaceae

7 Fagaceae Fagaceae - -

8 Clusiaceae Clusiaceae - -

9 Hamamelidaceae Hamamelidaceae Hamamelidaceae Hamamelidaceae

10 - - Illicaeae -

11 Lauraceae Lauraceae - Lauraceae

12 Loganiaceae - - -

13 - Magnoliaceae - Magnoliaceae

14 - Moraceae - Moraceae

15 Myrsinaceae Myrsinaceae Myrsinaceae Myrsinaceae

16 Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae

17 Podocarpaceae Podocarpaceae Podocarpaceae Podocarpaceae

18 Pinaceae - - -

19 - Rubiaceae - Rubiaceae

20 - Actinidiaceae - -

21 Sterculiaceae - - -

22 Symplocaceae - - -

23 Theaceae Theaceae Theaceae Theaceae

24 - Thymelaeaceae - Thymelaeaceae

Keterangan: - = Tidak ditemukan

Beragamnya jumlah famili yang didapatkan pada tiap lokasi mungkin disebabkan oleh kondisi lingkungan yang sangat khas pada hutan pegunungan. Dimana pada hutan ini terjadi perubahan faktor-faktor lingkungan seiring dengan meningkatnya ketinggian tempat, seperti keadaan tanahnya. Edwards et al. (1990),

dalam Monk et al. (2000), menyatakan distribusi jenis-jenis tumbuhan menurut

(54)

semakin rendahlah pohon-pohon yang dijumpai. Komposisi vegetasi pohon pada lokasi I beragam setiap famili seperti terlihat pada Tabel 4.10 berikut ini.

Tabel 4.10 Komposisi Vegetasi Pohon pada Lokasi I

No. Famili Jenis Jumlah

1 Theaceae Gordonia imbricata 24

2 Araliaceae Aralia sp. 22

3 Fagaceae Quercus sp1 13

4 Theaceae Adinandra sp. 13

5 Myrtaceae Rhodamnia cinerea 12

6 Clusiaceae Garcinia cowa 11

7 Lauraceae Litsea longipedicellata 9

8 Theaceae Adinandra dumosa 9

9 Hamamelidaceae Symingtonia populnea 5

10 Sterculiaceae Sterculia sp. 5

11 Cunoniaceae Weinmannia blumei 3

12 Fagaceae Castanopsis costata 3

13 Fagaceae Lithocarpus macphailii 3

14 Lauraceae Litsea sp. 3

15 Lauraceae Neocinnamomum sp. 3

16 Elaeocarpaceae Elaeocarpus leptomischus 2

17 Loganiaceae Fragraea fragrans 2

18 Myrtaceae Eugenia sp2 2

19 Podocarpaceae Dacrydium gibbsiae 2

20 Theaceae Schima wallicii 2

21 Apocynaceae Dyera costulata 1

22 Elaeocarpaceae Elaeocarpus sp. 1

23 Fagaceae Castanopsis benneti 1

24 Fagaceae Quercus argentata 1

25 Lauraceae Actinodaphne sp. 1

26 Myrsinaceae Ardisia sp. 1

27 Myrtaceae Eugenia cumingiana 1

(55)

29 Pinaceae Pinus sp. 1

30 Symplocaceae Symplocos sp1 1

Total 158

Dari Tabel 4.10 dapat dilihat bahwa jenis Gordonia imbricata (Theaceae) memiliki nilai tertinggi sebesar 15%, diikuti Aralia sp. (Araliaceae) 14%, Quercus sp1 (Fagaceae), Adinandra sp. (Theaceae) dan Rhodamnia cinerea (Theaceae) 8%,

Garcinia cowa (Clusiaceae) 7%, Litsea longipedicellata (Lauraceae) dan Adinandra

dumosa (Theaceae) 6%, Symingtonia populnea (Hamamelidaceae) dan Sterculia sp.

(Sterculiaceae) 3%, Weinmannia blumei (Cunoniaceae), Castanopsis costata (Fagaceae),Lithocarpus macphailii (Fagaceae), Litsea sp. (Lauraceae), dan

Neocinnamomum sp. (Lauraceae) 2%, Elaeocarpus leptomiscus (Elaeocarpaceae),

Fragraea fragrans (Loganiaceae), Eugenia sp2 (Myrtaceae), Dacrydium gibbsiae

(Podocarpaceae) dan Schima wallichii (Theaceae) 1%, dan sisanya dengan jumlah jenis terendah yaitu Dyera costulata, Elaeocarpus sp., Castanopsis costata, Quercus

argentata, Actinodaphne sp., Eugenia cumingiana, E. glauca, Pinus sp. dan

Symplocos sp1 dengan nilai 6%. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 4.11.

Tingginya nilai Gordonia imbricata (Theaceae) menunjukkan bahwa jenis ini memiliki jumlah jenis tertinggi pada lokasi I (ketinggian 1900 – 2000 m dpl.).

(56)

Komposisi vegetasi pohon pada lokasi II juga didapatkan sangat bervariasi seperti terlihat pada Tabel 4.11 berikut ini.

Tabel 4.11. Komposisi Vegetasi Pohon pada Lokasi II

No. Famili Jenis Jlh.

1 Theaceae Gordonia imbricata 70

2 Theaceae Adinandra dumosa 27

3 Araliaceae Aralia sp. 23

4 Podocarpaceae Dacrydium gibbsiae 22

5 Myrsinaceae Ardisia marginata 21

6 Myrtaceae Rhodamnia cinerea 19

7 Hamamelidaceae Symingtonia populnea 17

8 Theaceae Adinandra sp. 10

9 Elaeocarpaceae Elaeocarpus leptomischus 9

10 Casuarinaceae Casuarina equisetifolia 6

11 Ericaceae Rhododendron fenschialum 4

12 Lauraceae Litsea longipedicellata 4

13 Myrsinaceae Embelia sp. 4

14 Myrsinaceae Ardisia negelii 3

15 Cunoniaceae Weinmannia blumei 2

16 Ericaceae Rhododendron sp. 2

17 Fagaceae Castanopsis costata 2

18 Fagaceae Lithocarpus sp. 2

19 Lauraceae Litsea sp. 2

20 Rubiaceae Randia sp. 2

21 Theaceae Eurya obovata 2

22 Thymelaeaceae Daphne composita 2

23 Araliaceae Dendropanax mangayii 1

24 Clusiaceae Garcinia cowa 1

25 Hamamelidaceae Sp4 1

26 Lauraceae Persea malayana 1

27 Magnoliaceae Aromadendron sp. 1

28 Moraceae Ficus sp1 1

(57)

gibbsiae (Podocarpaceae) dan Ardisia marginata (Myrsinaceae) masing-masing 8%,

Rhodamnia cinerea (Myrtaceae) 7%, Symingtonia populnea (Hamamelidaceae) 6%,

Adinandra sp. (Theaceae) 4%, Elaeocarpus leptomischus (Elaeocarpaceae) 3%,

Casuarina equisetifolia (Casuarinaceae), Rhododendron fenschialum (Ericaceae),

Litsea longipedicellata (Lauraceae) dan Embellia sp. (Myrsinaceae) masing-masing

2%, Ardisia negelii (Myrsinaceae) dan Weinmannia blumei (Cunoniaceae)

masing-masing 1%, dan sisanya 9 %. Sisanya adalah Rhododendron sp., Castanopsis costata,

Lithocarpus sp., Litsea sp., Randia sp., Eurya obovata, Daphne composita,

Dendropanax mangayii, Garcinia cowa, Sp4, Persea malayana, Aromadendron sp.,

Ficus sp1, Eugenia sp3, Saurauia sp., Eurya nitida, dan Gordonia excelsa dengan

nilai 9%. Jumlah jenis terendah adalah , Dendropanax mangayii, Garcinia cowa, Sp4,

Persena malayana, Aromadendron sp., Ficus sp1, Eugenia sp3, Saurauia sp., Eurya

nitida, dan Gordonia excelsa dengan masing-masing jumlah jenis 1 atau 0,377%.

Gambar 4.12 Komposisi Vegetasi Pohon pada Lokasi II

Komposisi vegetasi pohon pada lokasi III penelitian juga menunjukkan adanya variasi. Urutan tingkatan jenis yang paling dominan sampai yang paling sedikit jumlahnya yang terdapat pada lokasi ini dapat dilihat pada Tabel 4.12 berikut.

Tabel 4.12 Komposisi Vegetasi Pohon pada Lokasi III

No. Famili Jenis Jlh.

1 Theaceae Gordonia imbricata 33

2 Podocarpaceae Dacrydium gibbsiae 32

(58)

4 Myrsinaceae Ardisia marginata 16

5 Araliaceae Aralia sp. 7

6 Ericaceae Rhododendron fenschialum 6

7 Hamamelidaceae Symingtonia populnea 6

8 Ericaceae Vaccinum korinchense 4

9 Theaceae Adinandra sp. 4

10 Theaceae Eurya nitida 4

11 Elaeocarpaceae Elaeocarpus leptomischus 3

12 Elaeocarpaceae Elaeocarpus grandiflorus 3

13 Illicaeae Illicium sp. 3

14 Myrtaceae Rhodamnia cinerea 2

15 Ericaceae Rhododendron retusum 1

16 Theaceae Sp1 1

Total 145

Dari Tabel 4.12 dapat diketahui bahwa Gordonia imbricata (Theaceae) merupakan jenis dengan jumlah jenis tertinggi yaitu 23% dari 145 individu. Kemudian diikuti Dacrydium gibbsiae (Podocarpaceae) 22%, Adinandra dumosa (Theaceae) 14%, Ardisia marginata (Myrsinaceae) 11%, Aralia sp. (Araliaceae) 5%,

Rhododendron fenschialum (Ericaceae) dan Symingtonia populnea (Hamamelidaceae)

masing-masing 4%, Vaccinum korinchense (Ericaceae), Adinandra sp. (Theaceae) dan

Eurya nitida (Theaceae) masing-maisng 3%, Elaeocarpus leptomischus

(Elaeocarpaceae), Elaeocarpus grandiflorus, dan Illicium sp. (Illicaceae) masing-masing 2%, dan jenis dengan nilai terendah adalah Rhodamnia cinerea (Myrtaceae),

Rhododendron retusum (Ericaceae) dan Sp1 (Theaceae) masing-masing 1%. Untuk

lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 4.13 berikut.

(59)

Komposisi vegetasi pohon pada lokasi IV penelitian juga menunjukkan adanya variasi. Urutan tingkatan jenis yang paling dominan sampai yang paling sedikit jumlahnya yang terdapat pada lokasi ini dapat dilihat pada Tabel 4.13 berikut.

Tabel 4.13 Komposisi Vegetasi Pohon pada Lokasi IV

No. Famili Jenis Jlh.

1 Ericaceae Vaccinum korinchense 20

2 Moraceae Ficus sp2 9

3 Podocarpaceae Dacrydium gibbsiae 8

4 Theaceae Eurya obovata 8

5 Theaceae Gordonia imbricata 7

6 Lauraceae Beilschimedia sp. 6

7 Hamamelidaceae Symingtonia populnea 5

8 Elaeocarpaceae Elaeocarpus leptomischus 3

9 Myrtaceae Eugenia sp4 3

10 Myrtaceae Eugenia sp. 2

11 Rubiaceae Mycetia sp. 2

12 Theaceae Adinandra dumosa 2

13 Araliaceae Aralia sp. 1

14 Ericaceae Rhododendron fenschialum 1

15 Ericaceae Rhododendron retusum 1

16 Lauraceae Cryptocaria sp. 1

17 Magnoliaceae Magnolia sp. 1

18 Myrsinaceae Ardisia marginata 1

19 Thymelaeaceae Daphne composita 1

Total 82

Dari Tabel 4.13 di atas dapat dilihat bahwa Vaccinum korinchense (Ericaceae) dengan nilai 24% merupakan jenis dengan jumlah jenis tertinggi dari 82 individu pada lokasi ini. Diikuti oleh Ficus sp2 (Moraceae) 11%, Dacrydium gibbsiae

(Podocarpaceae) dan Eurya obovata (Theaceae) masing-masing 10%, Gordonia

imbricata (Theaceae) 9%, Beilschimedia sp. (Lauraceae) 7%, Symingtonia populnea

(Hamamelidaceae) 6%, Elaeocarpus leptomischus (Elaeocarpaceae) dan Eugenia sp4 (Myrtaceae) 4%, Eugenia sp. (Myrtaceae), Mycetia sp. (Rubiaceae), Adinandra

dumosa (Theaceae) masing-masing 2%, dan sisanya merupakan jumlah terkecil

masing-masing 1%. Jenis-jenis jumlah terkecil pada lokasi ini adalah Aralia sp.,

Rhododendron fenschialum, Rhododendron retusum, Cryptocaria sp., Magnolia sp.,

Ardisia marginata dan Daphne composita. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada

(60)

Gambar 4.14 Komposisi Vegetasi Pohon pada Lokasi IV

Dari Gambar 4.14 dapat dilihat bahwa Vaccinum korinchense memiliki nilai yang mencolok dibanding jenis lain. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi lingkungan sangat sesuai untuk pertumbuhan jenis ini. Menurut Phil & Ng (1978) kebanyakan famili Ericaceae dijumpai pada hutan pegunungan di malaya, kedelapan genera famili ini terdapat di hutan pegunungan atas dengan total 32 jenis. Dua jenis diantaranya adalah Rhododendron dan tiga jenis Vaccinum. Kebanyakan tumbuhan pegunungan adalah vegetasi dwarf pada ketinggian di atas 1500 m dpl dan dikenal sebagai “hutan Ericaceus pegunungan”. Untuk jenis-jenis yang lain dijumpai lebih sedikit, hal ini bisa disebabkan oleh kondisi lingkungan yang kurang sesuai untuk jenis tersebut. Kondisi lingkungan yang ekstrim menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan-tumbuhan sehingga menyebabkan tumbuhan sulit menyesuaikan diri untuk bertahan hidup.

Berdasarkan hasil yang didapatkan dari kelima lokasi penelitian dapat dilihat dengan jelas bahwa tiap lokasi memiliki jenis dominan yang berbeda. Jumlah yang terbanyak didapatkan pada lokasi I, II dan III, yaitu dari jenis Gordonia imbricata

(famili Theaceae) dan jenis terbanyak pada lokasi IV adalah Vaccinum korinchense

(61)

Dari hasil pengukuran faktor fisik-kimia lingkungan pada setiap lokasi penelitian didapatkan hasil yang cukup bervariasi, seperti tercantum pada Tabel 4.14 berikut ini.

Tabel 4.14 Data Faktor Fisik Lokasi Penelitian

No. Lokasi Suhu

Variasi dan keberadaan jenis pada tiap lokasi tidak terlepas dari adanya pengaruh faktor lingkungan, iklim dan faktor tanah dan kompetisi akan nutrisi yang sedikit pada hutan pegunungan. Pada semua lokasi penelitian didapat perubahan faktor fisik yang sedikit berbeda. Sehingga jenis-jenis tersebut mampu beradaptasi dengan keadaan lingkungan setempat yang dapat bertahan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada lokasi I didapat suhu udara 17oC, kelembaban udara 83,33%, intensitas cahaya 3183 Lux, suhu tanah 17,83 oC, pH tanah 6,5. Pada lokasi II suhu udara 16,8oC, kelembaban udara 89%, intensitas cahaya 3910 Lux, suhu tanah 17,3 O

C, dan pH tanah 6,51. Pada lokasi III suhu udara 16,8 oC, kelembaban udara 85%, intensitas cahaya 3810, suhu tanah 19,1, dan pH tanah 6,25. Dan pada lokasi IV suhu udara 19,5 oC, kelembaban udara 92,33%, intensitas cahaya 3640 Lux, suhu tanah 18,66, dan pH tanah 6,13. Daniel et al. (1992), menyatakan bahwa pertumbuhan tumbuhan dipengaruhi oleh faktor tanah, iklim, mikroorganisme, kompetisi dengan organisme lainnya dan juga dipengaruhi oleh zat-zat organik yang tersedia, kelembaban dan sinar matahari.

(62)

Gambar 4.15 Grafik Intensitas Cahaya pada Keempat Lokasi Penelitian

Gambar 4.16 merupakan gambar grafik kelembaban udara pada lokasi penelitian. Dari gambar dapat diperhatikan bahwa kelembaban udara dari lokasi I sampai lokais IV relatif semakin meningkat.

Gambar 4.16 Grafik Kelembaban Udara pada Keempat lokasi penelitian

Berikut ini disajikan gambar grafik suhu udara, suhu tanah dan pH tanah pada keempat lokasi penelitian.

Gambar

Tabel 4.1 Klasifikasi Jenis-Jenis Tumbuhan yang Ditemukan pada Lokasi
Tabel 4.3 Perbandingan Jumlah Individu dan Jumlah Jenis Setiap Famili Pohon
Tabel 4.4 Famili, Jenis dan Jumlah Individu Vegetasi Belta Yang
Gambar 4.3  Perbandingan Jumlah Individu Tiap Famili Belta pada
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam Pasal 18 RUU KUHP Nasional disebutkan bahwa seseorang tidak dapat dihukum karena percobaan melakukan tindak pidana jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan,

Hendro Gunawan, MA

[r]

[r]

aktivitas yang dimulai dengan mengunyah bolus yang telah dikeluarkan dari.. rumen ke mulut hingga aktivitas menelan beberapa bolus, serta

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai frekuensi dominan tanah berkisar antara 0.293 Hz – 18.41 Hz, nilai amplifikasi berkisar antara 1,68 – 8,52, nilai indeks

Hasil Uji spearman rank hubungan faktor mencuci tangan dengan air mengalir dan menggunakan sabun, mengkonsumsi jajanan sehat di kantin sekolah, menggunakan jamban yang bersih

Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Maret 2013 di lembaga belajar Primagama Demak Ijo Sleman pada siswi kelas XII dengan menggunakan metode