• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Kearifan Lokal Pada Petani Tepian Hutan Dalam Memelihara Kelestarian Ekosistem Sumber Daya Hutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Eksistensi Kearifan Lokal Pada Petani Tepian Hutan Dalam Memelihara Kelestarian Ekosistem Sumber Daya Hutan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI KEARIFAN LOKAL PADA PETANI TEPIAN HUTAN DALAM MEMELIHARA KELESTARIAN EKOSISTEM SUMBER DAYA HUTAN

Imam Santoso

Abstract: The low quality of human resources have probably been the strongest drives among company and peasants to exploit the forest resources as the main income generating. Local wisdom which is a apart of human resources is still one of the most important factor in maintaining natural forest recources. The goal of this research is aimed to know the existence of local wisdom of peasants of the forest outskirt area not only viewed by human relations but also man and its natural. The goal of this research is aimed to find factors in which influenced the existence of local wisdom on the peasant community that is deteriorating local wisdom as well. It used quantitative and qualitative method. There are two kinds of data to be taken from the field, i.e primary and secondary data. Primary data used depth interview and primary data was taken by litature searching and documents accumulation. Research was located in Banyumas Regency and also Mandailing Natal Regency. First, this research showed that there was a difference among peasants in the sub-district of Banyumas Regency-Central Java and in the sub-district of Muara Sipongi, South Sumatra in relation with local wisdom of and its attitude to the market penetration. This research pointed out that peasant who have more local wisdom are relatively more successful in the keeping up the forest resources. Implication of this research can be drawn are: lt is necessary for us to maintain local wisdom in the globalization era. That’s why, ecological axioma “no free lunch” is still urgently needed.

Keywords: local wisdom, peasants, maintaining the forest resources PENDAHULUAN

Kearifan lokal di Indonesia kini menjadi topik bahasan menarik dibicarakan di tengah semakin menipisnya sumber daya hutan dan peliknya upaya pemberdayaan masyarakat. Paling tidak ada dua alasan yang menyebabkan kearifan lokal turut menjadi elemen penentu keberhasilan pembangunan sumber daya masyarakat dan sumber daya alam sekitar. Pertama, karena keprihatinan terhadap peningkatan intentitas kerusakan sumber daya alam khususnya akibat berbagai faktor perilaku manusia. Kedua, tekanan ekonomi yang makin mengglobal dan dominan mempengaruhi kehidupan masyarakat sehingga secara perlahan ataupun cepat menggeser kearifan lokal menjadi kearifan ekonomi. Kedua faktor ini bekerja mendorong masyarakat melakukan hal bersifat destruktif terutama saat mengelola usaha berbau produktif mengandalkan potensi sumber daya alam.

Kearifan lokal adalah modal utama masyarakat dalam membangun dirinya tanpa merusak tatanan sosial yang adaptif dengan

lingkungan alam sekitarnya. Kearifan lokal dibangun dari nilai-nilai sosial yang dijunjung dalam struktur sosial masyarakat sendiri dan memiliki fungsi sebagai pedoman, pengontrol, dan rambu-rambu untuk berperilaku dalam berbagai dimensi kehidupan baik saat berhubungan dengan sesama maupun dengan alam. Sekarang eksistensi kearifan lokal dirasakan semakin memudar pada berbagai kelompok masyarakat. Salah satu kelompok masyarakat yang paling rawan mengalami pelunturan kearifan lokal adalah komunitas petani tepian hutan, yang semestinya sebagai penyangga sosial (social buffer) bagi upaya konservasi hutan dan kelestarian sumber daya hutan.

Suatu ciri khas kearifan lokal yang mewarnai kelompok masyarakat petani tepian hutan adanya hubungan erat antara proses kelangsungan hidup dengan pemanfaatan hutan. Dengan kata lain, hutan merupakan suatu jaminan bagi ketahanan pangan atau yang dikenal sebagai food insecurity. Ciri lain dikemukakan dari hasil penelitian Pudjorahardjo (1987) dan Santoso (2005) yang menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat tepian hutan berpola nafkah utama sebagai

10

(2)

petani gurem atau buruh tani yang memerlukan lahan garapan dan memerlukan lapangan pekerjaan lain untuk jadi tambahan dalam memenuhi tuntutan hidup individu dan keluarganya. Ragam persoalan menghimpit masyarakat petani tepian hutan. Berbagai intervensi kebijakan pemerintah tentang pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan menimbulkan perubahan mendasar pada hubungan petani tepian hutan dengan lingkungan sekitarnya.

Kemunculan kelompok baru yang dikenal sebagai pengusaha hutan komersial bermodal besar dan memiliki hak konsesi mengelola hutan dalam jangka waktu tertentu secara tak langsung membuat ketidakterjaminan subsistensi petani tepian hutan. Pengkaplingan hutan menyebabkan hak petani dalam pemanfaatan sumber daya alam semakin berkurang dan seiring dengan pertambahan penduduk telah menyudutkan usaha taninya tidak lagi sustainable. Kondisi inilah yang kemudian membuahkan kemiskinan berlarut-larut pada rumah tangga petani tepian hutan. Pada kondisi terjepit, petani tepian hutan berperilaku menerabas dalam memanfaatkan lingkungan hutan sebagai sumber mata pencaharian utama. Kesadaran pentingnya melestarikan ekosistem hutan makin terkikis oleh tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Terjadi kecenderungan pengikisan kearifan lokal. Petani tak segan melakukan perilaku merusak hutan seperti berusaha tani intensif tanpa peduli waktu bero (fallow) mencukupi atau tidak sehingga mengakibatkan erosi dan penurunan produktivitas lahan. Seringkali petani tepian hutan juga melakukan tindakan agresif terhadap hutan dan meng-eksplorasi hutan berlebihan seperti teramati pada kasus di pedesaan tepian hutan KPH Banyumas Barat, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Akibat keterbatasan strategi survival dan terpinggirkannya kepentingan petani untuk mengelola usaha pertanian karena dominannya hak pemegang HPH (di luar Jawa) dan Perum Perhutani (Jawa) mengakibatkan petani tepian hutan memasuki dan membuka hutan di luar batas yurisdiksinya untuk lahan pertanian baru.

Menyadari fakta demikian mendorong perlunya dilakukan penelitian yang mendalam tentang pengkajian kembali akan eksistensi kearifan lokal masyarakat petani tepian hutan.

Tema ini menarik karena signifikan dengan upaya pengembangan kualitas sumber daya manusia dalam mendukung proses pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan.

Bertolak dari uraian latar belakang permasalahan yang dipaparkan maka rumusan masalah yang dibahas dalam kajian ini sebagai berikut:

(1) Apakah eksistensi kearifan lokal dalam menjaga kelestarian ekosistem sumber daya hutan memang telah mengalami pemudaran pada kalangan masyarakat petani tepian hutan?

(2) Faktor-faktor apa sajakah yang

menentukan eksistensi kearifan lokal tetap terjaga dalam menjaga kelestarian ekosistem sumber daya hutan? Dan, faktor-faktor apa juga yang menyebabkan kearifan lokal pada masyarakat petani tepian hutan mengalami pemudaran atau bahkan menghilang?

Tujuan dari pengkajian tema yang ditetapkan adalah untuk mengungkap dan mengetahui:

(1) Eksistensi kearifan lokal pada kalangan masyarakat petani tepian hutan baik ditinjau dari hubungan sesama maupun dengan alam sekitar.

(2) Faktor-faktor yang menentukan eksistensi kearifan lokal tetap terjaga dan yang menyebabkan kearifan lokal pada masyarakat petani tepian hutan mengalami pelunturan atau bahkan menghilang.

Mengingat tema kajian yang dipusatkan pada eksistensi kearifan lokal pada masyarakat petani tepian hutan menyebabkan pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara sengaja di daerah pedesaan tepian hutan yang mempunyai penduduk mayoritas berpola nafkah utama sebagai petani. Di samping itu, desa-desa yang diteliti memiliki masyarakat petani yang berkarakteristik berbeda dalam eksistensi kearifan lokal. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut didukung hasil penelitian Santoso (2004) maka lokasi penelitian ditentukan di Desa Darmokranenan (desa agraris-industri), Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah dan Desa Pekantan (desa pertanian), Kecamatan Muara Sipongi, Kabupaten

(3)

Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Kedua desa ini sama-sama berada di kawasan tepian hutan dengan tingkat perkembangan masyarakat yang berbeda dan mengandung permasalahan yang relevan dengan tema penelitian.

Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan memakai pendekatan kualitatif dipadu kuantitatif. Jenis data yang di-kumpulkan mencakup data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam dan pengamatan atau observasi langsung terhadap kegiatan res-ponden yang berkaitan dengan eksistensi kearifan lokal. Data sekunder diperoleh dengan teknik penelusuran terhadap literatur, dokumen, arsip, hasil penelitian yang berhubungan dengan tema penelitian.

Populasi penelitian meliputi seluruh anggota masyarakat yang menjadi penduduk di dua desa penelitian yang berpola nafkah utama sebagai petani. Dari populasi yang terdapat pada kedua desa tepian hutan dipilih secara acak sederhana (simple random sampling) proporsional sebanyak 60 petani tepian hutan dengan rincian masing-masing 30 petani dari setiap desa. Teknik ini digunakan karena po-pulasi responden pada masing-masing desa bersifat homogen khususnya dalam jenis usaha tani, teknik teknologi pertanian yang diterapkan, lokasi mukim, jenis pola nafkah utama, dan dalam hal permasalahan eksistensi kearifan lokal.

Kesemua data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis baik secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil analisis selanjutnya diinterpretasikan untuk dapat disajikan dalam uraian deskriptif.

PEMBAHASAN

Kondisi dan Potensi Wilayah Serta Tipologi Masyarakat Petani Tepian Hutan

Kondisi dan potensi mayoritas desa di Kecamatan Ajibarang terletak di tepian hutan negara yakni KPH Banyumas Barat yang dikelola oleh Perum Perhutani. Lebih dari separuh (55,5 persen) lahan di Desa Darmokradenan dialokasikan untuk kepentingan pertanian khususnya persawahan padi tadah hujan, tegalan/kebun dan usaha ternak kecil (ayam buras, ayam kampung, dan kambing). Lokasi lahan usaha pertanian yang

dikelola petani umumnya berada di sekitar lingkungan tepian hutan. Sekitar 12,5 persen lahan di desa ini diperuntukkan bagi pengembangan hutan negara dan 2,5 persen dimanfaatkan untuk hutan rakyat. Adapun 29,5 persen dari total lahan di desa ini digunakan untuk berbagai kepentingan sosial dan umum serta pengembangan industri kecil (industri bahan bangunan: genteng, batu bata, batu kapur, dan pabrik pengolahan/panglong kayu). Sesuatu yang penting diperhatikan adalah kenyataan bahwa bahan baku industri yang dikembangkan di Desa Darmokradenan cenderung bersumber dari sumber daya alam (pengerukan tanah sawah/tegalan yang sering terletak pada daerah berkemiringan tinggi atau lereng gunung di tepian hutan). Keadaan ini menunjukkan desa tepian hutan yang menjadi lokasi penelitian potensial untuk pengembangan ragam usahatani dan industri.

Selain mengelola usahataninya sendiri sebagai pola nafkah utama maka masyarakat petani di Desa Darmokradenan juga memiliki usaha sampingan yakni menjadi buruh tani hutan atau buruh pada pabrik industri yang terdapat di sekitar desa. Akan tetapi menurut informan, dalam jangka sepuluh tahun terakhir sejak industri berkembang di desa tepian hutan ini sebagian dari petani mengalami peralihan pola nafkah utama dari petani menjadi pekerja non pertanian. Peralihan pola nafkah ini berlangsung secara secara drastis dan sebagian lahan pertanian yang dibeli oleh orang dari luar desa telah dialihfungsikan untuk kepentingan usaha non pertanian. Sementara, petani hanya menjadi buruh industri. Pada waktu tertentu, mereka tetap menekuni kerja sebagai buruh tani hutan khususnya pekerjaan penanaman kayu, penebangan, penggalian pasir, pengerukan tanah liat, penggergajian/pemotongan, dan pengangkutan dan penebangan kayu. Pekerjaan menebang kayu milik Perum Perhutani kadang dilakukan petani tepian hutan secara tersembunyi tapi intensitasnya terbatas skala kecil.

Masyarakat petani yang bermukim di desa tepian hutan ini mempunyai corak budaya khas Banyumas, sehingga pola perilaku mengandung kental tradisi ca blaka (sikap dan gaya bicara ceplas ceplos dan terus terang). Tingkat pendidikan formal yang dienyam relatif rendah, dominan sebatas tingkat

(4)

sekolah dasar. Hanya sebagian kecil petani berusia muda yang sempat melanjutkan sekolah sampai tingkat SLTP dan dalam jumlah terhitung jari berhasil mengikuti pendidikan hingga ke bangku SMA. Tingkat pendidikan non formal seperti penyuluhan, pelatihan, ceramah, diskusi bertema tentang pengembangan usaha pertanian. Jarang sekali mereka ikuti; bahkan semua responden mengakui selama setengah tahun terakhir tak pernah berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan non formal. Alasan yang mendasarinya adalah karena tidak pernah merasa diundang. Informasi tentang transfer teknologi yang dimaksudkan untuk memperbaiki teknik berusaha tani tak sampai kepada petani tepian hutan di Desa Darmokradenan.

Petani tepian hutan yang menyebut dirinya dengan istilah khas inyong (saya) ini lebih dari separuh berusia di atas 45-80 tahun (tergolong kaum lanjut uusia). Sebagian mengaku berumur antara 40-50 tahun dan jarang sekali dari responden yang berusia kurang dari 40 tahun. Kondisi ini mengindikasikan secara berangsur-angsur minat penduduk desa ini terhadap pekerjaan bertani semakin menyusut seiring dengan masuknya intervensi usaha industri yang gencar. Dengan mudah petani menjual tanah pertaniannya warisan orang tua kepada pihak luar; hasil transaksi jual beli ada yang digunakan membeli motor untuk memulai profesi baru misalnya sebagai tukang ojek. Bisa juga dibuat modal mengirim anak/istri menjadi TKW ke luar negeri. Menurut penjelasan informan, petani melakukan tindakan ini karena jumlah tanggungan ekonomi rumah tangga termasuk tinggi 5-8 jiwa terdiri dari istri dan anak; untuk beberapa kasus ditambah lagi saudara terdekat pihak suami atau istri yang diistilahkan dengan numpang hidup.

Sistem pertanian yang dilakukan petani tepian hutan dari pinggiran kawasan hutan Banyumas Barat ini cenderung tumpangsari terutama padi, jagung, ketela pohon, buah-buahan seperti pisang. Jarang sekali petani yang telah menerapkan teknologi secara intensif dalam pengelolaan usaha taninya. Oleh karenanya, tidak mengherankan hasil panen yang dipetik masih rendah misalnya untuk padi tadah hujan baru

mencapai 1,4 ton per hektar. Padahal di daerah lain dengan kondisi lahan yang tidak jauh berbeda sudah sampai 3-4 ton per hektar.

Berbeda dengan status hutan Banyumas Barat yang termasuk pada kategori hutan negara dikelola oleh Perum Perhutani maka kawasan hutan di Desa Pekantan sebagai lokasi penelitian lain justru berstatus hutan adat. Hal ini dikarenakan setiap pengelolaan kawasan hutan Muara Sipongi ini tetap diatur secara adat oleh masyarakat lokal bersama pemerintah daerah. Hampir 98,6 persen lahan di desa yang tergolong sangat subur ini masih tetap dipertahankan untuk kepentingan usaha pertanian rakyat setempat. Hanya sedikit sekali atau 2,4 persen dari total lain yang dalokasikan untuk kepentingan non pertanian yakni untuk sarana fasilitas umum dan sosial seperti: perumahan/bangunan mesjid, sekolah, dan pekarangan.

Luasnya lahan yang diperuntukkan bagi pengembangan usaha pertanian mengakibatkan hampir semua penduduk memiliki keterikatan erat terhadap alam dengan mengandalkan mata pencaharian sebagai petani (parsaba/parkobun). Komoditas pertanian yang dibudidayakan petani tepian hutan Desa Pekantan: padi, jagung, kacang tanah, ubi kayu, kacang kedelai, ubi jalar, dan berbagai jenis sayuran serta buah-buahan. Selain itu, petani juga mengelola usaha kebun misalnya: kopi, karet, kakao, kulit manis, dan aren. Berbeda dengan petani tepian hutan di Desa Darmokradenan maka di Desa Pekantan petani tertarik memelihara secara intensif ternak besar (sapi/kerbau) dan ternak kecil: kambing, domba, ayam, dan itik. Teramati jenis usaha tani pada petani tepian hutan di Desa Pekantan lebih heterogen atau lebih terdiversifikasi daripada usaha pertanian yang dikelola petani tepian hutan Darmokradenan (Banyumas).

Dengan tetap menjaga dan memelihara eksistensi lembaga adat dalihan na tolu (suatu lembaga kemasyarakatan pada suku Batak Mandailing yang terikat hubungan kekerabatan dan tali perkawinan dibangun dari tiga unsur penegak fungsinya: mora, anakboru dan kahanggi) menyebabkan setiap perilaku anggota masyarakat terkontrol oleh aturan adat istiadat setempat. Termasuk dalam melakukan kegiatan produktif yang ditujukan untuk usaha

(5)

mencari nafkah (bertani). Tidak semua inovasi

teknologi pertanian (bibit/benih/pupuk/pestisida/insektisida/ zat

perangsang tumbuh) yang diperkenalkan penyuluh atau agen pembangunan lain diterapkan petani. Proses adopsi dan difusi pertanian yang berlangsung masih harus selalu melalui saringan selektif dari aturan adat dan restu pemimpin informal. Kriteria seleksi biasanya berkaitan dengan masalah fungsi inovasi dan dampaknya terhadap kelestarian alam. Oleh sebab itu, tingkat teknologi pertanian yang diterapkan petani relatif sederhana dan diamati mengarah pada pola pertanian organik dengan tetap konsisten mempertahankan cara bertani warisan lama; yang menurut informan hal ini cocok dengan kondisi sumber daya alam setempat.

Menurut para responden, hasil produksi tinggi yang dicapai dari pemakaian ragam teknologi pertanian modern sering hanya dapat dinikmati dalam jangka waktu relatif pendek (paling-paling dua generasi). Adapun untuk masa jangka panjang justru potensial merusak keseimbangan alam sehingga menurunkan unsur hara tanah, memunculkan polusi tanah dan air serta berefek pada tereduksinya tingkat kesuburan tanah sehingga hasil produksi berkurang atau bahkan gagal.

Eksistensi Kearifan Lokal pada Masyarakat Petani Tepian Hutan

Kearifan lokal atau yang dikenal sebagai local wisdom mempunyai makna bahwa dalam struktur sosial masyarakat masih mengandung sifat arif yang dikembangkan untuk kepentingan bersama. Bagi masyarakat petani tepian hutan, kearifan lokal merupakan hal mutlak yang mengandung nilai-nilai sosial dan digunakan sebagai sumber pemikiran dan pedoman berperilaku untuk menjaga kelestarian ekosistem sumber daya hutan. Akibat intervensi berbagai faktor khususnya masalah tekanan ekonomi dan pentingnya pemenuhan kebutuhan keluarga; menyebabkan eksistensi kearifan lokal rawan terancam sehingga mengalami pemudaran seperti yang sering dihadapi masyarakat petani tepian hutan.

Pada masyarakat petani tepian hutan di Desa Darmokradenan, kearifan lokal tengah mengalami pemudaran. Secara jelas

terbuktikan kearifan lokal pada petani ini dalam memelihara kelestarian ekosistem hutan mengalami pergeseran dan digantikan kearifan ekonomi. Suatu realitas tak terpungkiri, eksploitasi yang terus menerus berlangsung berdampak secara nyata terhadap kerusakan ekosistem hutan sekitar yang dari waktu ke waktu tampak kian parah. Seiring kuatnya tekanan ekonomi yang mendesak daya beli masyarakat hingga makin melemah, mengakibatkan setiap kegiatan produktif yang diusahakan sudah tanpa memperdulikan pentingnya upaya konservasi. Terjadi kecenderungan petani ikut menebangi kayu hutan secara ilegal.

Kehadiran usaha industri yang memasuki lingkungan desa tepian hutan turut mempengaruhi pemudaran kearifan lokal petani di pedesaan tepian hutan Banyumas Barat ini. Bahkan, dalam mengelola usaha tani kalangan petani jarang sekali memperhatikan unsur pemeliharaan kesuburan tanah. Mulai dari proses mengolah lahan, menanam, menyiangi sampai tiba panen dilakukan tanpa menggunakan kaidah konservasi. Hampir tak tertemukan petani yang menggunakan teknik teras sharing dalam mengerjakan sawah; padahal diketahui sebagian lahan sawah berkemiringan tinggi.

Petani tepian hutan di Desa Darmokranen melakukan usaha tani tanpa waktu bera sehingga antar musim tanam pada usaha tani padi tadah hujan dilakukan berlanjut dengan pemakaian teknologi paling sederhana (tanpa memperhatikan jarak tanam, pengaturan aliran air, pupuk tepat dosis dan tepat waktu serta insektisida). Perilaku bertani yang demikian terjadi disebabkan sikap apatis dan pesimis petani yang merasa rugi jika terlalu besar biaya produksi yang harus dikeluarkan; sementara hasil produksi yang diperoleh relatif rendah.

Suatu realitas yang berlangsung secara perlahan-lahan menunjukkan sebagian petani memilih untuk meninggalkan usaha taninya dan pindah bergerak ke pekerjaan produktif non pertanian (buruh industri, kuli angkut, penggali pasir, penggergaji kayu, tukang ojek, kernet angkutan umum, pedagang informal, TKI/TKW, dan lainnya). Bagi sebagian lain tetap mempertahankan usaha tani namun mengingat hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga memaksanya untuk

(6)

15

berpola nafkah ganda; baik pekerjaan di bidang pertanian maupun non pertanian.

Ketidakseriusan petani mengelola luasan lahan pertanian di Desa Darmokradenan teramati dari banyaknya lahan usaha tani yang dibiarkan tanpa pemeliharaan dengan adopsi teknik budidaya intensif. Setelah menanami sebidang lahan pertaniannya misalnya dengan ketela pohon, ubi jalar, padi tadah hujan maka banyak petani tepian hutan yang kemudian membiarkan tanamannya seakan-akan mampu hidup tanpa perawatan hingga masa panen tiba. Jumlah dan mutu hasil produksi yang diperoleh relatif rendah; harganya jauh di bawah harga pasar misal ketela pohon Rp 300 per kilogram sementara di pasar berkisar Rp 800 – Rp 1200 per kilogram, sehingga hasil penjualan tidak cukup untuk bekal petani membeli beras yang harganya naik sampai mencapai Rp 3.500 – Rp 4000 per kilogram. Total pendapatan petani tepian hutan rata-rata Rp 450.000 – Rp 850.00 setiap bulan dan jumlah ini secara jelas takkan mencukupi total biaya yang harus dikeluarkan untuk pengeluaran membeli kebutuhan pokok sehari-hari (beras, lauk pauk, minyak goreng, sabun, gula pasir, garam) Rp.600.000 – Rp.1.000.000 per bulan. Dengan situasi ekonomi saat ini, hampir semua rumah tangga petani tepian hutan mengalami kerawanan ekonomi. Tekanan kekurangan biaya membuat petani tepian hutan mengerjakan jenis kegiatan

produktif apapun; asal menghasilkan sejumlah nilai rupiah yang dapat segera ditukarkan dengan kebutuhan pokok terutama bahan pangan (beras).

(7)
[image:7.595.76.517.110.600.2]

Tabel 1. Perilaku Ekonomi Petani Tepian Hutan dan Eksistensi Kearifan Lokal dalam Memelihara Ekosistem Sumber Daya Hutan di Darmokradenan

Jenis Perilaku Ekonomi Kearifan Lokal Memelihara Kelestaraian Ekosistem Sumber Daya Hutan

Bertani tanpa kaidah konservasi lahan

Kesadaran dan kepedulian rendah akan pentingnya menjaga kesuburan lahan, sehingga menimbulkan erosi dan pengikisan permukaan tanah subur (top soil)

Bertani tanpa masa bera (lahan dibiarkan dalam waktu selang antar panen)

Mengurangi kesuburan lahan karena digunakan terus menerus.

Menebangi kayu hutan secara illegal tanpa memakai prinsip reboisasi

Penggundulan permukaan lahan hutan dan menimbulkan rawan erosi dan banjir

Menggali pasir di tepian sungai pinggiran hutan

Membuat ekosistem sungai dan hutan rusah, air sungai menjadi keruh

Mengeruk tanah liat pada lahan persawahan/ladang/tegalan untuk bahan batu bata dan genting

Membuat struktur tanah menjadi rusak, aliran air saat musim hujan sulit disalurkan sehingga mebuat genangan

Mengeruk tanah batuan karst

untuk batu kapur

Membuat lahan berstruktur karst (tebing-tebing) rusak karena digeruk terus dan menimbulkan polusi

Berternak di tepian hutan Merusak tanaman hutan yang masih muda dan merusak permukaan tanah sampai menimbulkan erosi

Mengambil seresah untuk menyuburkan sayuran

Merusak permukaan tanah dan berefek pada munculnya erosi

(8)

Petani tepian hutan di desa ini juga memelihara ternak kecil dan beberapa ternak besar yang biasanya digembalakan sampai pinggiran hutan. Ternak yang digembalakan dibiarkan memakan rumput yang menutupi permukaan tanah sehingga petani merasa tidak perlu lelah mencari pakan ke mana-mana. Perilaku ini ternyata potensial merusak ekosistem sumber daya hutan sesuai pemikiran Soemarwoto (1991) yang menegaskan bahwa jika tanaman tumbuhan bawah seperti rumput di kawasan hutan dijadikan pakan ternak maka pelindung tanah yang efektif untuk menghindari hempasan air hujan akan memungkinkan terjadinya erosi.

Begitu juga dengan tindakan petani yang sering mengambil tanaman seresah untuk menyuburkan tanaman sayuran dapat memberi efek terhadap terjadinya kenaikan ancaman erosi. Dalam jangka panjang erosi yang terjadi berdampak terhadap kerusakan lahan hutan. Tanaman seresah juga termasuk tanaman bawah yang tumbuh di permukaan tanah pada kawasan hutan.

Dengan mengamati uraian penjelasan di atas maka dapat dinyatakan bahwa di Desa Darmokradenan tengah terjadi penguatan tekanan penetrasi pasar yang diiringi naiknya keinginan petani tepian hutan untuk mencapai daya efisiensi usaha yang cepat mendatangkan uang. Kelembagaan lokal sudah tidak mampu melindungi local wisdom; tingkat intervensi petani terhadap sumber daya hutan tinggi.

Berbeda halnya dengan eksistensi kearifan lokal masyarakat petani tepian hutan di Desa Darmokradenan Banyumas maka kalangan masyarakat petani tepian hutan di Desa Pekantan, Mandailing Natal masih konsisten tetap mempertahankan eksistensi kearifan lokal ekosistem sumber daya hutan. Pada masyarakat petani ini masih diberlakukan ketat nilai-nilai sosial yang mengatur perilaku petani dalam memanfaatkan lahan pertanian termasuk lahan hutan dan kawasan sungai. Tingkat kesadaran petani terhadap kelestarian ekosistem sumber daya hutan cukup tinggi dan hal ini terbuktikan dari tetap terjaganya kelestarian biofisik kawasan hutan adat yang berada di daerah perbatasan antara Sumatera Utara dengan Sumatera Barat.

Sampai sekarang kondisi alam Desa Pekantan beserta hutannya masih mengandung kekayaan hayati baik flora maupun fauna. Pada masyarakat petani tepian hutan diberlakukan berbagai pantangan yang

merusak ekosistem sumber daya hutan. Warga ditabukan dengan menebangi pohon-pohon besar yang diperkirakan mempunyai kekuatan besar untuk meresap dan menyimpan air tanah misalnya pohom ulin, bania, dan beringin yang sudah berumur puluhan sampai ratusan tahun. Petani hanya dibolehkan menebang pohon tertentu jika telah memenuhi persyaratan umur tumbuh dan besar lingkar pohon sesuai aturan adat. Jika pantangan ini dilanggar maka pihak pelaku akan dikenai sanksi moral oleh hukum adat yang sifatnya tidak tertulis dan dipercayai akan mendapat ”bala” atau kutukan dari nenek moyang.

Masyarakat petani tepian hutan di Desa Pekantan masih mempertahankan tradisi pengelolaan lubuk larangan yaitu adanya pelarangan atau penabuan untuk memancing/ menangkap ikan pada sembarangan waktu dengan teknologi yang merusak lingkungan baik dengan memakai teknik kimia dikenal dengan cara mamotas/manuba maupun dengan teknik elektrik). Pada tempat-tempat tertentu di sungai telah disiapkan petakan areal ikan yang diusahakan bersama-sama oleh masyarakat dan boleh dipanen saat besar ukuran ikan telah memenuhi syarat misalnya panen bersama saat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Oleh karena itu, kelestarian ekosistem sungai dengan ragam jenis ikan tawar tetap terpelihara dengan baik. Semakin nyata terbukti tingginya eksistensi kearifan lokal petani tepian hutan di desa ini dan sangat kecil peluang yang dilakukan untuk berani merusak hutan.

Bentuk kearifan lokal lain dari petani tepian hutan di pedesaan Mandailing Natal adalah berupa penolakan terhadap kehadiran pengusaha pemegang HPH dan investor yang bermaksud membuka berbagai jenis usaha pengolahan kayu dan hasil ikutan hutan lain di Pekantan. Fakta ini didukung sepenuhnya oleh masyarakat petani tepian hutan, para perantau dari Pekantan, aparat pemerintah desa, aparat pemerintahan kecamatan dan aparat pemerintahan tingkat kabupaten.

Suatu kearifan lokal lain yang termasuk unik dan khas dari masyarakat petani tepian hutan di Desa Pekantan adalah tetap menata hubungan sosial dengan suku Hulu yang mukim di kawasan hutan agak ke bagian dalam suku Hulu termasuk suku terasing dan memiliki bahasa, adat tradisi, pola ekonomi, alat tukar, bentuk tempat mukim/rumah tinggal dan kebiasaan lain yang jauh berbeda dengan penduduk Desa Pekantan. Suku Hulu membuat

(9)

18

rumah tinggal di atas pohon dan masih mengenal sistem barter saat berhadapan dengan warga Pekantan di pasar. Biasanya mereka membawa berbagai hasil pertanian yang diusahakan di tengah hutan untuk ditukar dengan garam, gula, dan pakaian. Suku ini belum mengenal fungsi uang sebagai alat tukar yang sah saat melakukan transaksi jual beli di pasar. Kehidupan suku Hulu meski menetap di tengah hutan dipercaya oleh warga Pekantan tidak merusak ekosistem sumber daya hutan; bahkan suku yang tergolong masih terasing ini ikut berperan aktif menjaga kelestarian flora dan fauna hutan sekitarnya termasuk ikut menanami pohon-pohon bania, ulin, dan beringin serta jenis lainnya karena kelak tumbuhan ini dapat memiliki fungsi menjadi rumah tinggalnya.

Meski masih banyak diberlakukan pelarangan petani memanfaatkan sumber daya hutan untuk kepentingan peningkatan ekonomi, tampak bidang pertanian tetap menjadi pola nafkah utama yang dominan memberikan kontribusi pendapatan terhadap rumah tangga petani. Selain hasil pertanian tanaman pangan, sayuran, dan buah-buahan maka penghasilan petani tepian hutan juga bersumber dari petikan hasil panen tanaman perkebunan khususnya kopi dan nilam. Dalam sebulan rata-rata pendapatan yang diterima petani tepian hutan berkisar Rp 800.000 – Rp 3.000.000 dengan total pengeluaran untuk berbagai jenis kebutuhan pokok Rp 600.000 – Rp 1.000.000. Kondisi ini menunjukkan pada setiap bulan petani mendapat surplus dari bidang pertanian khususnya hasil kebun yang ditekuninya. Surplus penerimaan yang diperoleh kemudian oleh sebagian petani digunakan untuk membuka usaha baru misalnya penyulingan minyak nilai dan pengolahan biji menjadi bubuk kopi. Ada juga yang menyimpan uang hasil surplus untuk tabungan, biaya pendidikan anak di rantau atau untuk melakukan diversifikasi usaha di bidang perdagangan (menjadi pedagang hasil bumi).

Adapun ciri kearifan lokal yang juga mewarnai sistem pertanian di Pekantan teramati dari konsistensi petani yang tidak memakai berbagai input produksi (pupuk buatan, insektisida, pestisida, zat perangsang tumbuh) yang menurut rasionalitas mereka mampu merusak ekosistem sumber daya hutan. Meski petani jarang memakai pupuk buatan (termasuk karena mengingat harganya yang

makin melambung) dan dianggap untuk jangka panjang akan merusak keseimbangan unsur hara dan menimbulkan polusi zat kimia pada tanah dan air sekitar namun menurut responden tingkat produksi yang dipetik setiap panen tak jauh berbeda dengan hasil daerah sekitar misal: padi mencapai 3-4 ton per hektar. Keadaan ini tentu erat hubungannya dengan tingkat kesuburan lahan yang masih tetap terjaga dan kelestarian ekosistem sumber daya hutan terpelihara sehingga hutan mampu menyimpan persediaan air yang cukup.

Tujuan diberlakukannya berbagai pantangan ini adalah agar ketersediaan air tanah di desa ini terjamin baik untuk keperluan domestik maupun kepentingan usaha pertanian. Petani tepian hutan di Pekantan tampak senantiasa mengupayakan agar biodiversity kawasan hutan sekitarnya tetap terjaga karena diyakini secara moral menjadi modal yang tak ternilai bagi bekal kehidupan generasi mendatang. Pada Tabel 2 diperinci mengenai perilaku ekonomi petani tepian hutan di Desa Pekantan yang mengisyaratkan adanya konsistensi atau kesepakatan sosial antar warga petani tepian hutan tetap menjaga eksistensi kearifan lokal dalam memelihara kelestarian ekosistem sumber daya hutan.

(10)
[image:10.595.76.513.111.749.2]

Tabel 2. Perilaku Ekonomi Petani Tepian Hutan dan Eksistensi Kearifan Lokal dalam Memelihara Ekosistem Sumber Daya Hutan di Darmokradenan

Jenis Perilaku Ekonomi Kearifan Lokal Memelihara Kelestaraian Ekosistem Sumber Daya Hutan

Tabu menebangi pohon-pohon besar yang dipercayai mampu menyimpan/ meresap air dalam jumlah besar

Menjamin ketersediaan air dalam jangka panjang baik untuk kepentingan domestik , pertanian dan lainnya.

Melarang penangkapan ikan dengan memakai zat kimia (mamotas/ manuba) dan teknik elektrik

Memelihara ekosistem sungai dan ketersediaan ikan tawar serta mencegah pencemaran air sungai

Membuat lubuk larangan Untuk memenuhi kepentingan warga terhadap

konsumsi ikan pada waktu tertentu tanpa merusak ekosistem sungai

Penolakan terhadap kehadiran pemegang HPH dan investor dalam usaha pengolahan kayu/hasil ikutan hutan lain

Upaya menjaga kelestarian ekosistem sumber daya hutan dan mencegah gangguan intervensi dari pihak luar

Memelihara hubungan sosial dan hubungan ekonomi yang baik dengan Suku Hulu (suku terasing)

Dipercaya oleh masyarakat Pekantan Suku Hulu Berpengalaman dan berperan besar dalam pemeliharaan kelestarian ekosistem sumber daya kawasan hutan (flora dan fauna)

Pengembngan usaha yang dilakukan petani mengarah pada usaha agroindustri yang mendukung pengelolaan usaha tani/usaha perkebunan misalnya penyulingan minyak nilam dan pengolahan bubuk kopi

Menguatkan kearifan lokal petani tepian hutan untuk tetap melakukan perilaku ekonomi yang tidak merusak ekosistem sumber daya hutan tapi lebih mengarah pada pengembangan diversifikasi usaha agroindustri yang ramah lingkungan

Bertani tanpa menggunakan input produksi yang berbahan zat kimia

Upaya mencegah polusi air dan tanah serta kerusakan komosisi unsur hara yang terkandung dalam tanah.

Faktor-Faktor Penentu Eksistensi Kearifan Lokal

Pemudaran kearifan lokal dalam memelihara ekosistem sumber daya hutan pada kalangan petani tepian hutan di Desa Darmokradenan merupakan produk secara tak langsung dari penerapan strategi survival yang tak bisa selalu digantungkan pada bidang pertanian. Cakupan faktor: tingginya angka kepadatan penduduk (population density), rendahnya man land ratio, lokasi geografis desa yang mudah terjangkau informasi dan berbagai fasilitas transportasi umum, mobilitas penduduk yang relatif tinggi, daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang menurun lebih cepat membuat petani tepian hutan lebih agresif dalam memilih strategi survival meski itu sering tanpa disadari memudarkan kearifan lokalnya. Moral petani di tepian hutan Banyumas ini memang di satu sisi tetap memiliki moral ekonomi yang mendahulukan selamat (safety first): namun yang perlu diperhatikan mereka sudah tidak takut lagi menanggung risiko atas usaha produktif yang dilakukannya sehingga berbeda dengan kondisi petani di Asia Tenggara pada umumnya seperti dikemukakan Scott (1989).

Lain halnya dengan petani tepian hutan di Desa Pekantan, eksistensi kearifan lokal ditentukan oleh faktor-faktor rendahnya angka kepadatan penduduk (population density), man land ratio termasuk tinggi lokasi geografis desa lebih terisolir yang sulit terjangkau informasi dan berbagai fasilitas transportasi umum, mobilitas penduduk umumnya relatif rendah, daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang tinggi membuat petani tepian hutan lebih adaptif memanfaatkan hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dengan menggunakan perspektif gabungan antara realis dan kontruksionis dari sosiologi lingkungan, maka untuk memecahkan masalah-masalah lingkungan direkomendasi-kan dengan mengambil aspek the ideal, yang terdiri atas; budaya, kearifan lokal, dan pengalaman sosial serta the material, yaitu; konsumsi, ekonomi, teknologi, pembangunan dan dinamika kependudukan, serta aspek biofisik (Mayerfield Bell,1998). Kajian ini berupaya menggabungkan dua kajian itu meskipun belum rinci dan sempurna. Dengan demikian kearifan lokal bukanlah hanya dipengaruhi oleh faktor ekologis dan ekonomis saja, namun lebih ditentukan oleh dinamika

(11)

perkembangan masyarakat untuk mencapai adaptasi dan survivalitasnya.

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian ternyata petani tepian hutan tidak selalu mengalami pemudaran eksistensi kearifan lokal dalam pemeliharaan kelestarian ekosistem sumber daya hutan. Proses pemudaran kearifan lokal dipengaruhi oleh multi faktor terutama: tingginya angka kepadatan penduduk (population density), rendahnya man land ratio, lokasi geografis desa yang mudah terjangkau informasi dan berbagai fasilitas transportasi umum, mobilitas penduduk yang relatif tinggi, daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang menurun lebih cepat. Adapun pada petani tepian hutan yang masih konsisten memelihara kearifan lokal sehubungan dengan kelestarian ekosistem

sumber daya hutan meliputi: angka kepadatan penduduk (population density) lebih rendah, man land ratio termasuk tinggi, lokasi geografis desa lebih terisolir yang sulit terjangkau informasi dan berbagai fasilitas transportasi umum, mobilitas penduduk umumnya relatif rendah, daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang tinggi. Proses memudarnya kearifan lokal itu bermula dari masyarakat yang relatif masih bersahaja dan dengan teknologi yang masih sederhana (Pekantan Natal) dan seiring dengan naiknya intensitas penggunaan teknologi, tekanan pasar, dan naiknya jumlah penduduk (Darmokradenan) berimplikasi bahwa aksioma ekologis bahwa “tidak ada makan siang gratis” menjadi terbuktikan. Bahwa setiap bentuk ekstraksi terhadap sumber daya alam (hutan) hendaknya diikuti pemulihan kembali (recovery) terhadap alam (hutan). Dengan demikian ekosistem menjadi lebih terjaga.

DAFTAR PUSTAKA

Mayerfeld Bell, Michael. 1998. An Invitation to Environmental Sociology – Sociology for a New Century. California, Pine Forge Press.

Pudjorahardjo. 1987. Manajemen Hutan Tingkat Mikro; Sebuah Makalah pada Lokakarya Nasional Perhutanan Sosial. Jakarta, Departemen Kehutanan RI.

Rogers, Everett M., and F. Floyd Shoemaker. 1986. Communication of Innovations. New York, The Free Press.

Santoso, Imam. 2004. Pemberdayaan Petani Tepian Hutan melalui Pembaharuan Perilaku Adaptif. Disertasi pada Program Doktor Ilmu Penyuluhan Pembangunan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Scott, James C., 1989. Moral Ekonomi Petani. Jakarta, LP3ES.

Soemarwoto, Otto. 1991. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.

Gambar

Tabel 1. Perilaku Ekonomi Petani Tepian Hutan dan Eksistensi Kearifan Lokal dalam Memelihara Ekosistem Sumber Daya Hutan di Darmokradenan
Tabel 2.    Perilaku Ekonomi Petani Tepian Hutan dan Eksistensi Kearifan Lokal dalam Memelihara Ekosistem Sumber Daya Hutan di Darmokradenan

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, teknis dan kewajaran harga serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk penawaran paket pekerjaan tersebut

Konsumen di Indonesia, khususnya di Jakarta pada masa kini adalah konsumen yang sangat meperhatikan lifestyle, sehingga ketika mereka ingin melakukan sebuah pembelian semuanya

Onikomikosis adalah infeksi kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita, nondermatofita dan yeasts yang menyerang epidermis.Tujuan utama penelitian ini adalah untuk

Berdasarkan penelitian komparatif, yaitu deskriptif, metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah sebagai berikut: menganalisis sistem pengukuran kinerja dan tuas

Dari hasil kultur jamur yang paling banyak terdapat pada kuku adalah golongan nondermatofita yaitu sebanyak 13 sampel (50,0%) dan golongan dermatofita mempunyai sampel

Perbedaan antara pajak negara dan pajak daerah terletak pada sumber bagi pemungutan pajak, yaitu sumber bagi pemungutan pajak negara relatif tidak terbatas, sedangkan objek-objek

Faktor utama yang membuat anak rentan menjadi sasaran pelecehan seksual adalah adanya karakteristik kepribadian yang menyimpang dari pelaku pelecehan seksual, pelaku kekerasan

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan adalah peraturan hukum terhadap TKI di Provinsi Lampung diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia