UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
KEBERADAAN SWALAYAN SYARI’AH DAN
ORIENTASI NILAI KONSUMEN BERBELANJA DI
SWALAYAN SYARI’AH
( St u di D e sk r ipt if pa d a Sw a la y a n M a din a h Sy a r i’a h y a n g
Be r lok a si di Pla z a M ile n iu m M e da n )
SKRIPSI
Diajukan Oleh :
H a r u W in a r di
020901036
SOSIOLOGI
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :
Nama : Haru Winardi
NIM : 020901036
Departemen : Sosiologi
Judul : Keberadaan Swalayan Syari’ah dan Orientasi Nilai Konsumen
Berbelanja di Swalayan Syari’ah
Dosen Pembimbing Ketua Departemen
Dra. Lina Sudarwati, M.Si Dr. Badaruddin, M.Si NIP. 131 837 037 NIP. 131 996 175
Dekan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di depan
Panitia Penguji Skripsi Sosiologi
Hari : Selasa
Tanggal : 03 April 2007
Pukul : 12.00 WIB
Tempat : Ruang Sidang
Tim Penguji
Ketua Penguji : DR. Badaruddin, M.Si ( )
Penguji I (Pembimbing) : Henri F. Sitorus, S.Sos, M.Sc ( )
Abstraksi
Saat ini begitu banyak lembaga-lembaga ekonomi yang beroperasional dengan memakai sistem syari’ah. Pada saat terjadinya krisis yang melanda negri ini dimana pada saat itu bank-bank konvensional kehilangan keseimbangan akibat inflasi, hanya bank yang memakai sistem syari’ah yang mampu bertahan pada situasi sulit saat itu. Umat Islam yang mayoritas di Indonesia seharusnya menjadi lahan yang subur bagi perkembagan sistem syari’ah akan tetapi justru perkembangan sistem syari’ah di Indonesia jauh tertinggal oleh negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Lembaga-lembaga ekonomi yang memakai sistem syari’ah diantaranya adalah bank, leasing, asuransi, perhotelan dan swalayan. Untuk yang terakhir ini swalayan Madinah Syari’ah adalah satu-satunya swalayan di Indonesia yang memakai sistem syari’ah dalam operasionalisasinya. Kehadirannya di tengah-tengah menjamurnya swalayan konvensional dengan membawa isu halal serta alasan orang berbelanja disana membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan kombinasi antara dua pendekatan penelitian yaitu kualitatif dan kuantitatif. Dengan memakai pendekatan studi deskriptif yaitu untuk menggambarkan apa yang peneliti temukan di lapangan. Adapun alasan penulis memakai dua metode penelitian disini adalah untuk lebih dapat melihat lebih jauh gambaran tentang keberadaan swalayan syari’ah dan orientasi konsumen berbelanja di swalayan syari’ah. Lokasi penelitian yaitu di swalayan Madinah Syari’ah yang terletak di Plaza Millenium jalan Kapten Muslim, Medan. Dengan unit analisis pemilik dari swalayan Madinah Syari’ah dan juga para konsumen yang berbelanja di swalayan Madinah Syari’ah.
DAFTAR ISI
1.4. Manfaat Penelitian ………... 10
1.5. Definisi Konsep ………... 10
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ……… 15
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ……… 33
3.2. Lokasi Penelitian ………. 33
3.3. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ………... 34
3.4. Teknik Pengumpulan Data ……….. 36
3.5. Teknik Analisa Data ………. 37
3.6. Jadwal Kegiatan ……….. 39
3.7. Keterbatasan Penelitian ……….. 40
BAB IV. DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………. 41
4.1.1. Perkembangan Bisnis Ritel Modern ……….. 41
4.1.2. Gambaran Umum Swalayan Madinah Syariah ……… 44
4.1.2.1. Sejarah dan Perkembangan Swalayan Madinah Syariah ……… 44
4.1.2.2. Struktur Organisasi dan Manajemen Swalayan Madinah Syariah .……….. 47
4.2. Karakteristik Responden dan Profil Informan ………. 49
4.2.1. Karakteristik Responden ……… 49
4.2.2. Profil Informan ………... 55
4.3. Tujuan dan Faktor Berdirinya Swalayan Madinah Syariah ………. 59
4.4. Kelebihan dan Keunggulan ………... 62
4.5. Strategi Menjaring Konsumen ……….. 63
4.6. Alokasi Keuntungan Perusahaan ……….. 68
4.7. Pemahaman Ekonomi Syariah di Masyarakat ……….. 71
4.8. Orientasi Nilai Konsumen Berbelanja di Swalayan Madinah Syariah 72 4.9. Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Konsumen Berbelanja di Swalayan Madinah Syariah ……… 76
4.10. Harga dan Pelayanan ………... 84
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ………... 90 5.2. Saran ………. 92
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Gambar Siklus Tahapan Analisis Data …..……….. 32
2. Gambar Struktur Organisasi & Manajemen ……..……….. 42
3. Gambar Tingkat Pendidikan Informan ….……….. 47
Abstraksi
Saat ini begitu banyak lembaga-lembaga ekonomi yang beroperasional dengan memakai sistem syari’ah. Pada saat terjadinya krisis yang melanda negri ini dimana pada saat itu bank-bank konvensional kehilangan keseimbangan akibat inflasi, hanya bank yang memakai sistem syari’ah yang mampu bertahan pada situasi sulit saat itu. Umat Islam yang mayoritas di Indonesia seharusnya menjadi lahan yang subur bagi perkembagan sistem syari’ah akan tetapi justru perkembangan sistem syari’ah di Indonesia jauh tertinggal oleh negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Lembaga-lembaga ekonomi yang memakai sistem syari’ah diantaranya adalah bank, leasing, asuransi, perhotelan dan swalayan. Untuk yang terakhir ini swalayan Madinah Syari’ah adalah satu-satunya swalayan di Indonesia yang memakai sistem syari’ah dalam operasionalisasinya. Kehadirannya di tengah-tengah menjamurnya swalayan konvensional dengan membawa isu halal serta alasan orang berbelanja disana membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan kombinasi antara dua pendekatan penelitian yaitu kualitatif dan kuantitatif. Dengan memakai pendekatan studi deskriptif yaitu untuk menggambarkan apa yang peneliti temukan di lapangan. Adapun alasan penulis memakai dua metode penelitian disini adalah untuk lebih dapat melihat lebih jauh gambaran tentang keberadaan swalayan syari’ah dan orientasi konsumen berbelanja di swalayan syari’ah. Lokasi penelitian yaitu di swalayan Madinah Syari’ah yang terletak di Plaza Millenium jalan Kapten Muslim, Medan. Dengan unit analisis pemilik dari swalayan Madinah Syari’ah dan juga para konsumen yang berbelanja di swalayan Madinah Syari’ah.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kalau bicara soal jumlah penduduk muslim, Indonesia jelas berada di atas
Malaysia apalagi kalau dibandingkan dengan Singapura. Dengan komposisi
penduduk muslim sekitar 80 % bila dihitung dari 220 juta orang, berarti jumlah
penduduk muslim Indonesia mencapai 176 juta orang. Bandingkan dengan jumlah
penduduk muslim Malaysia sekitar 14 juta orang dan penduduk muslim Singapura
yang tak lebih dari 1 juta orang. Semestinya jumlah penduduk muslim yang besar itu
menjadi basis yang kuat bagi pengembangan bisnis syari’ah tapi faktanya sampai saat
ini peran bisnis syari’ah di Indonesia masih sangat kecil, bahkan jauh tertinggal
dibandingkan Malaysia dan Singapura. (komang Darmawan dalam Menanti Geliat Si
Macan Tidur, 2006)
Bagi masyarakat, pemahaman akan ekonomi syari’ah belum tersosialisasi
dengan baik. Kalaupun ekonomi syari’ah dikenal, masyarakat lebih banyak mengenal
bank syari’ah. Padahal ekonomi syari’ah tidak hanya kegiatan bisnis perbankan
berbasis syari’ah, tetapi juga sudah merambah sektor lain, seperti reksadana,
perhotelan, asuransi (takaful/social protection), bursa efek, multilevel marketing
hingga penyiaran (broadcast). Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa
Pimpinan Bank Indonesia (BI) Medan, Dr. Romeo Rissal Pandjialam MA,
menjelaskan ada beberapa pemikiran yang dinilai cukup cocok dengan struktur,
kultur dan kondisi masyarakat. Pertama filosofi ekonomi syari’ah untuk
mensejahterakan rakyat, jelasnya. Kedua, ekonomi syari’ah bertujuan menggerakkan
perekonomian rakyat, mengingat ajarannya yang mengingatkan untuk meningkatkan
taraf hidup. Ketiga, ekonomi syari’ah tidak diperuntukkan hanya kepada umat Islam
semata, tapi berlaku universal sepanjang tidak melanggar koridor akidah. Kemudian
keempat, salah satu tujuan ekonomi syari’ah adalah untuk membangun kemampuan
umat. Kelima, konsep ekonomi ini tidak harga mati dan tetap dapat disesuaikan
dengan kondisi lokal. Keenam, yang cukup penting dan patut disadari bahwa
ekonomi syari’ah tidak bisa secara serta merta diadu dengan sistem ekonomi lain.
Ketujuh, bank syari’ah bukanlah ekonomi syari’ah sebab hanya salah satu alat utama
untuk menjalankan roda ekonomi berdasarkan syari’ah. Kedelapan, Islam memerangi
segala bentuk riba secara sungguh-sungguh, walaupun begitu harus ada kajian
mendalam untuk membangun bank dengan dasar memerangi praktik pembungaan
uang tersebut. (Waspada Online dalam Ekonomi Syariah Utamakan Rakyat Bawah,
2006 )
Berada di posisi yang tanggung seringkali memang sulit untuk bisa meraih
keuntungan. Bahkan, bisa terjepit pada posisi yang semakin sulit. Kondisi itulah
yang kini dihadapi oleh kalangan pengelola swalayan (supermarket). Supermarket
dicirikan sebagai tempat usaha yang menyediakan barang kebutuhan rumah tangga,
termasuk sembilan bahan pokok eceran dengan cara swalayan. Biasanya, lantai ritel
primadona dengan menawarkan kenyamanan belanja, harga yang bersaing, serta
produk beragam dengan kualitas yang relatif terjamin. Berikut adalah hasil survei
pertumbuhan pasar swalayan di beberapa negara.
Pangsa pasar swalayan (%)
Negara 2002 2003 2004
Indonesia 18 16 15
Taiwan 24 22 19
Filipina 48 45 42
Jepang 62 62 61
Korea 30 28 27
Hongkong 72 68 70
Singapura 52 54 57
Sumber : AC Nielsen, 2005.http://www.sajadah.net
Banyak berdirinya pusat-pusat perbelanjaan modern semisal mal, supermarket
atau hypermarket, menjadi daya tarik konsumen untuk berbelanja di tempat-tempat
tersebut. Dulu, tempat-tempat seperti ini masih dianggap sebagai tempat belanja
orang-orang dari kalangan ekonomi berkecukupan. Namun, lama-kelamaan tempat
ini juga diminati oleh semua kalangan. Selain harga yang ditawarkan tidak terlalu
berbeda dengan harga-harga di pasar tradisional, sarana dan prasarana yang ada di
tempat belanja seperti ini juga lebih lengkap. Misalnya, tersedianya sarana bermain
untuk keluarga, restoran, bioskop, dan sebagainya.
Seiring perkembangan zaman, keberadaan pasar modern bahkan mampu
menggeser keberadaan pasar tradisional. Data dari Dinas PD Pasar Jaya menyebutkan
pertumbuhan pasar tradisional pada 1985 sekitar 78,24 %, sementara pasar modern
21,76 %. Tapi apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian, pertumbuhan pasar
37,75 %, sementara pasar modern 62,25 %. Bahkan pada 2004, pertumbuhan pasar
tradisional hanya 24,66 %, sementara pasar modern 75,34 %.
Menurut Direktur Utama PD Pasar Jaya, Drs H Prabowo, banyak faktor
penyebab terjadinya pergeseran peran pasar tradisional tersebut, salah satunya
perubahan gaya hidup konsumen (lifestyle) perkotaan. "Konsumen bukan sekadar
ingin membeli barang, tapi juga ingin mendapatkan pelayanan dan kenyamanan saat
berbelanja," Tak dipungkiri, mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan modern, seperti
mall, supermarket, atau hypermarket memang memberi kepuasan tersendiri. Selain
merasa nyaman, hampir semua kebutuhan hidup bisa diperoleh di sana, asalkan ada
uang. ( Syarifuddin dalam Geliat Psk Mall, 2007 )
Supermarket adalah pilihan bagi mereka yang ingin berbelanja dalam
kenyamanan dan menentukan pilihan produk berdasarkan keinginan sendiri. Tapi,
harga sebuah produk yang sama pasti lebih mahal apabila dibeli di supermarket
daripada di pasar tradisional. Bila yang jadi prioritas adalah harga, maka perlu rela
sedikit berpeluh atau terkena becek di musim hujan untuk belanja di pasar tradisional.
Namun, sejak booming hypermarket yang ditandai oleh fenomena perkembangan ritel
hipermarket Carrefour (angkatan pertama era hipermarket di Indonesia adalah
Walmart dan Mega M), dinding segmentasi antara kenyamanan pasar modern dan
harga murah pasar tradisional mulai runtuh. Hal ini terjadi karena hipermarket mulai
bersaing dengan harga produk yang lebih murah daripada di pasar tradisional.
Akibatnya segmentasi pengunjung pasar tradisional yang merupakan pencari harga
Saat ini ada begitu banyak supermarket yang berdiri, belum lagi dengan
munculnya raksasa hipermart yang menawarkan suasana dan kenyamanan dalam
berbelanja. Strategi baru dalam menghadapi persaingan dengan sesama peritel
modern tidak bisa dielakkan, pengelola supermarket memang tidak memiliki pilihan
lain kecuali harus mengatur strategi baru agar bisa bertahan. Pengelola swalayan
tidak bisa lagi bertumpu pada strategi klasik, tetapi sudah saatnya meracik strategi
marketing mix yang lebih jitu, mulai product, price, place, hingga promotion. Bila
sekadar bertumpu pada daya tarik persaingan harga, mengutip pernyataan Ketua
Umum Aprindo Handaka Santosa, maka, "pada satu titik tertentu swalayan akan
kehabisan nafas juga." Pengelola swalayan, menurut dia, harus mampu meningkatkan
layanan dan berpromosi, serta juga menyediakan produk-produk yang eksklusif.
Artinya, produk yang hanya tersedia di toko swalayan itu. Apalagi, saat ini
konsumen cenderung semakin memilih belanja produk segar di pasar modern
dibandingkan di pasar tradisional. Alasannya, pasar modern dirasakan ada jaminan
kualitas keamanan makanan. Barangkali disinilah celah mendongkrak daya saing
swalayan. (Linda Tety dan Fakhlul Mansur dalam Ketika Pasar Swalayan Semakin
Terjepit, 2006)
Salah satu swalayan yang menawarkan konsep lain dalam berbelanja adalah
swalayan syari’ah. “Assalamu'alaikum.'' Itulah sapaan awal para pramuniaga kepada
seluruh pengunjung Madinah Syari’ah Supermarket yang berlokasi di Millenium
Plaza di Jl. Kapten Muslim, Medan. Dengan ramah, para pramuniaga berjilbab, akan
menuntun dan menemani pengunjung berbelanja di swalayan berlantai dua dan
Suasana Islami yang nyaman muncul, apalagi di bagian depan pengunjung langsung
disergap dengan berbagai kaligrafi dan atribut lain yang menghiasai setiap sudut
swalayan. Kekuatan nilai Islam semakin terasa ketika selesai melakukan transaksi.
''Kami jual ya, Pak..." ujar kasir, sebagai tanda akad yang diharuskan Islam dalam hal
jual-beli. Keindahan dan ketenangan batin menyergap pengunjung. Suasana itu
terekam dan terpancar saat setiap pengunjung memasuki Madinah Syari’ah
Supermarket, sebuah tempat perbelanjaan pertama di Indonesia yang menawarkan
konsep syari’ah. Sebenarnya konsep yang ditawarkan di Madinah Syar’iah
Supermarket adalah kegiatan transaksi bisnis yang memiliki nilai-nilai Islam,'' kata M
Fendi Leong, Direktur Madinah Syari’ah Supermarket. Ia menunjuk, sekian ribu item
barang yang diperdagangkan, diupayakan terjamin nilai kehalalannya. Fendi menilai
ajaran Islam sangat sesuai dengan diterapkan dalam kegiatan bisnis supermarket,
yang sudah digeluti orangtuanya. Lewat brand Macan Yaohan yang dirintis orang
tuanya sejak 20 tahun lalu, ia pun memberanikan diri membuka bisnis syari’ah ini
pada 9 Februari 2006 atau bertepatan dengan 10 Muharram 1427 sama ketika ia
memilih Islam sebagai agama baru setelah terlahir sebagai Budha (Iwan muhari
dalam Macan Syariah Supermarket Bisnis Sambil Dakwah, 2006).
Nilai merupakan sesuatu yang abstrak sehingga sulit untuk dirumuskan ke
dalam suatu pengertian yang memuaskan. Beberapa ahli merumuskan pengertian nilai
dari beberapa perspektif yakni perspektif antropologis, filsafat dan psikologis. Secara
antropologis, Kluckhon (1962) mengemukakan nilai merupakan suatu konsepsi yang
secara eksplisit dapat membedakan individu atau kelompok, karena memberi ciri khas
nilai dengan perhatian hidup yang erat kaitannya dengan kebudayaan karena
kebudayaan dipandang sebagai sistem nilai, kebudayaan merupakan kumpulan nilai
yang tersusun menurut struktur tertentu. Nilai hidup adalah salah satu penentu
kepribadian, karena merupakan sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita yang
berusaha diwujudkan, dihayati, dan didukung individu. Menurut Sprangger corak
sikap hidup seseorang ditentukan oleh nilai hidup yang dominan, yaitu nilai hidup
yang dianggap individu sebagai nilai tertinggi atau nilai hidup yang paling bernilai.
Bagi umat Islam yang menjalankan ajaran agamanya dengan taat tentunya dia akan
menyandarkan segala sesuatu dalam sendi kehidupannya yang sesuai dengan ajaran
agamanya dalam hal ini setiap kegiatan yang dia lakukan harus bersandarkan dengan
nlai-nilai syari’ah.
Nilai adalah suatu pengertian atau pensifatan yang digunakan untuk
memberikan penghargaan terhadap barang atau benda. Manusia menganggap sesuatu
bernilai, karena ia merasa memerlukannya atau menghargainya. Dengan akal dan
budinya manusia menilai dunia dan alam sekitarnya untuk memperoleh kepuasan diri
baik dalam arti memperoleh apa yang diperlukannya, apa yang menguntungkannya,
atau apa yang menimbulkan kepuasan batinnya. Ketika seseorang telah memilih
untuk menjalankan kehidupan dengan berlandaskan nilai-nilai dari agamanya dia
akan merasa puas karena disini dia telah menganggap dirinya telah menjalankan apa
yang diperintahkan oleh Tuhan.
Orientasi nilai menunjuk kepada standar-standar normatif yang
mempengaruhi dan mengendalikan pilihan-pilihan individu terhadap tujuan yang
berorientasinya seseorang berdasarkan nilai-nilai agama dapat mempengaruhi
pikirannya dalam menentukan pilihan-pilihan yang sesuai dengan ajaran agama.
Hadirnya swalayan Madinah Syari’ah yang membawa label syari’ah secara langsung
maupun tidak langsung telah mempengaruhi pilihan-pilihan masyarakat agar
menjalankan ajaran agamanya yang telah ditentukan.
Negara Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya adalah umat
Islam. Agama Islam sebagai agama yang universal telah mengatur semua sisi
kehidupan manusia mulai dari hal-hal yang besar sampai sekecil-kecilnya, dimana
salah satunya adalah di bidang konsumsi. Dalam Islam masalah konsumsi ini sangat
penting karena menyangkut halal atau haram yang mana segala sesuatu yang
diharamkan adalah sangat dilarang dalam agama. Halal tidak hanya menyangkut apa
yang kita konsumsi akan tetapi juga terkait dengan proses kita mendapatkannya.
Saat ini begitu banyak bentuk lembaga-lembaga syari’ah di Indonesia. Mulai
dari bank, leasing, hotel, asuransi, sampai juga kepada bentuk swalayan. Akan tetapi
umat Islam yang sangat mayoritas di negara ini masih sangat sedikit yang memilih
model-model ekonomi yang berbentuk syari’ah ini. Dimana sebenarnya mereka
inilah yang menjadi target utama dalam kemunculan lembaga-lembaga ekonomi yang
berbentuk syari’ah ini.
Berangkat dari kenyataan ini peneliti merasa tertarik untuk melakukan
penelitian mengapa adanya ketertarikan mendirikan lembaga ekonomi yang memakai
model syari’ah dan juga melihat kepada faktor apa yang mendorong orang untuk ikut
dalam sistem ekonomi syari’ah ini pada khususnya konsumen yang berbelanja di
1.2. Perumusan masalah
Guna meningkatkan arah jalannya penelitian maka terlebih dahulu
dirumuskan permasalahan yang ada, dengan itu Suharsini Arikunto mengatakan
bahwa : “agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka penulis
harus merumuskan masalah sehingga jelas dari mana harus dimulai, kemana harus
pergi, dan dengan apa.”
Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi perumusan masalah adalah :
1. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi Munculnya swalayan Madinah Syari’ah ?
2. Faktor-faktor apa yang melatar belakangi konsumen berbelanja di swalayan
Madinah Syari’ah?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan diatas, maka yang
menjadi tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah
1. untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi latar belakang munculnya
swalayan Madinah Syariah.
2. serta untuk mengetahui orientasi nilai yang menjadi keputusan konsumen
untuk memilih berbelanja di swalayan Madinah Syariah yang terletak di
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan
khususnya yang berkaitan dengan bidang kajian sosiologi agama dan
motivasi sosial.
1.4.2. Secara praktis hasil penelitian ini juga diharapkan dapat :
Menambah referensi bagi hasil-hasil penelitian lainnya.
Dapat dijadikan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.
Juga sebagai informasi bagi umat Islam bahwa nilai nilai agama mampu
menjadi roda penggerak perekonomian.
1.5. Definisi Konsep
1.5.1. Orientasi : menurut kamus bahasa Indonesia pengertian dari orientasi yaitu
Peninjauan, melihat-lihat akan tetapi yang dimaksudkan orientasi dalam
penelitian ini adalah menunjuk kepada standar-standar normatif yang
mempengaruhi dan mengendalikan pilihan-pilihan individu terhadap tujuan
yang dicapai dan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.
1.5.2. Nilai : Harga, angka atau mutu akan tetapi dalam penelitian ini Dari uraian di
atas maka nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik, berguna
atau penting, dan diberi bobot tertinggi oleh individu atau kelompok dan
menjadi referensi dalam bersikap serta berperilaku dalam hidupnya.
1.5.3. Swalayan Syari’ah : Tempat usaha yang menyediakan barang kebutuhan rumah
dalam swalayan ini semua karyawan dan karyawatinya menggunakan seragam
berbusana muslim. Di dalam swalayan ini juga terpajang dan terpampang
berbagai bentuk kaligrafi dan hiasan-hiasan yang bernuansa Islami.
1.5.4. Konsumen : orang yang membeli barang atau produk-produk yang telah
disediakan di swalayan.
1.5.5. Halal : Pengertian halal ialah perkara atau perbuatan yang dibolehkan,
diharuskan, diizinkan atau dibenarkan syari’at Islam.
Sebuah riset yang dilakukan pengamat perbankan syari’ah Adiwarman A.
Karim dari Karim Business Consultant menunjukkan bahwa pasar loyalis syari’ah
sesungguhnya sangat terbatas. Dia membagi potensi pasar menjadi tiga kelompok
besar yaitu :
1. Pasar loyalis syari’ah.
2. Pasar mengambang yang tidak terlalu fanatik dengan sistem perbankan.
3. Pasar loyalis konvensional. Kelompok ini mempunyai ciri sangat fanatik terhadap
bank bersistem konvensional.
1.6. Operasionalisasi Variabel
Operasionalisasi variabel :
Berdasarkan dari teori Spranger peneliti membuat operasionalisasi variabel sebagai
berikut :
Ilmu pengetahuan
Jaminan kualitas keamanan produk.
Adanya nilai tambah terhadap pengetahuan antara swalayan yang syari’ah dan
konvensional.
Mengetahui promosi produk/acara yang infomatif.
Kesenian
Musik bernuansa Islami.
Dekorasi yang penuh dengan kaligrafi.
Busana muslim dari para karyawan.
Lantunan ayat-ayat suci Al-Quran.
Keagamaan
Adanya jaminan kehalalan.
Kesempatan untuk sekaligus berinfak.
Mengharap ridho Allah.
Menjalankan nilai-nilai agama Islam.
Kemasyarakatan
Aspek toleransi (memperlakukan orang lain dengan setara)
Menolong kaum lemah.
Pergaulan dengan sesama.
Rasa persaudaraan/kekeluargaan.
Ekonomi
Faktor jarak.
Diskon.
Hadiah.
Politik
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menggerakkan roda perekonomian masyarakat.
Meningkatkan kelas sosial.
Berlaku universal.
1.7. Skala orientasi nilai
Skala orientasi nilai merupakan suatu skala yang terdiri dengan lima pilihan
yang terdiri dari pilihan sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak bisa menentukan dengan
pasti (N), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS). Aspek-aspek yang digunakan
untuk membuat skala orientasi nilai didasarkan pada teori orientasi nilai budaya oleh
Edward Spranger. Adapun aspek-aspek tersebut adalah :
(a) Lapangan-lapangan yang bersangkutan dengan manusia sebagai individu, yang
meliputi 4 lapangan nilai yaitu :
a. Lapangan pengetahuan (ilmu, teori)
b. Lapangan ekonomi
c. Lapangan kesenian
d. Lapangan keagamaan
(b) Lapangan-lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai anggota
masyarakat. Lapangan ini menyangkut manusia dengan kekuatan cinta dan cinta akan
Lapangan kemasyarakatan
Lapangan politik
Skala orientasi nilai merupakan sebuah alat ukur yang dirancang oleh peneliti
untuk melihat kecenderungan orientasi nilai. Peneliti membuat 24 buah item untuk
skala kecenderungan orientasi nilai berdasarkan aspek dari orientasi nilai budaya oleh
Edward Spranger. Item-item ini dibuat dalam bentuk yang favorable (sesuai) skor
yang diberikan adalah STS (sangat tidak sesuai) TS (tidak sesuai) N (antara sesuai
dan tidak sesuai/netral) S (sesuai) SS (sangat sesuai) dimana untuk STS diberi nilai =
1, TS diberi nilai = 2, N diberi nilai = 3, S diberi nilai = 4 dan SS diberi nilai = 5.
Adapun distribusi item skala orientasi nilai dapat dilihat pada tabel berikut ini.
No aspek Nomor item jumlah
1 Ilmu pengetahuan 1,7,13,9 4
2 Ekonomi 4,10,16,22 4
3 Kesenian 2,8,14,20 4
4 Agama 3,9,15,21 4
5 Politik 5,11,17,23 4
Bab II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pasar Kapitalis dan Swalayan Syariah
Ciri ekonomi Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi
kepemilikan privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah,
pabrik-pabrik, jalan-jalan, kereta api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untuk mencapai
laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif. Perusahaan milik swasta
merupakan elemen paling pokok dari kapitalisme. Hal tersebut sangat mempengaruhi
distribusi kekayaan serta pendapatan karena individu-individu diperkenankan untuk
menghimpun aktiva dan memberikannya kepada para ahli waris secara mutlak
apabila mereka meninggal dunia. Ini memungkinkan laju pertukaran yang tinggi oleh
karena orang memiliki hak pemilikan atas barang-barang sebelum hak tersebut dapat
dialihkan kepada pihak lain. Kapitalisme sangat erat hubungannya dengan pengejaran
kepentingan individu. Menurut Smith, setiap individu seharusnya diperbolehkan
mengejar kepentingannya sendiri tanpa adanya campur tangan pihak pemerintah
untuk mencapai yang terbaik di masyarakat maka ia seakan-akan dibimbing oleh
tangan yang tak nampak (the invisible hand).
Kebebasan ekonomi tersebut juga diilhami paham “laissez nous faire“ (jangan
mengganggu kita) kata ini kemudian dikenal sebagai laissez faire. Prinsip ini
diartikan sebagai tiadanya intervensi pemerintah dalam perekonomian sehingga
timbullah kebebasan ekonomi dan sifat individualisme. Dalam sistem ekonomi
memegang peranan utama. Siapa yang mempunyai, menguasai dan mampu
menggunakan kekuatan modal (Capital) secara efektif dan efisien akan dapat
memenangkan pertarungan dalam bisnis.
Prinsip dasar, kebaikan dan keburukan sistem kapitalis dapat dilihat pada tabel
berikut:
No Prinsip dasar Kebaikan Keburukan
1 Kebebasan memilki
Ketidakmerataan yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme laissez faire telah
harapan pada horizon kapitalis. Bagaimanapun juga, negara kesejahteraan tidak
didasarkan pada pandangan dunia yang berbeda dari kapitalisme. Apa yang dilakukan
oleh negara kesejahteraan hanyalah mengkombinasikan antara mekanisme harga dan
peranan negara yang lebih besar dalam ekonomi untuk menjamin pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas serta pemerataan yang lebih besar.
Tetapi sekarang pertumbuhan ekonomi melambat sementara pengangguran
telah menjadi kronis dan problem jangka panjang. Ketidakstabilan ekonomi juga terus
memburuk dan secara terus-menerus direfleksikan dalam pasar komoditi, saham, dan
pertukaran nilai mata uang. Masyarakat dunia masih diperciki oleh inflasi dan
ketidakseimbangan ekonomi makro yang memburuk dan ketidakstabilan ekonomi.
Lebih-lebih, pengeluaran sektor pemerintah untuk menyediakan layanan
kesejahteraan bagi si kaya dan si miskin. Satu-satunya pilihan yang masih dapat
dilakukan dalam kerangka kerja netralitas nilai, justru malah membantu si kaya lebih
banyak daripada membantu si miskin sebab pengeluaran si kaya ternyata begitu besar
sementara mereka juga memiliki kemudahan untuk mendapatkan fasilitas.
Kesenjangan pendapatan dan kekayaan menjadi makin melebar kendatipun telah
diberlakukan pajak progresif dan pelayanan negara kesejahteraan. Hal ini
menunjukkan bahwa strategi menambah peran pemerintah lebih besar ke dalam
kapitalisme laissez-faire untuk mewujudkan tujuan-tujuan telah terbukti tidak efektif.
Ketidakmerataan kapitalisme laissez faire telah menaikkan bukan saja kepada
munculnya negara kesejahteraan, tetapi juga kepada sosialisme. Kendatipun
sosialisme telah mengajukan sebuah strategi yang berbeda, tetapi didasarkan pada
sekuler lagi dalam pandangannya tentang kehidupan. Meskipun demikian, terdapat
perbedaan yang tajam dengan sistem pasar. Ia memiliki suatu ketidakpercayaan
implisit tentang kemampuan manusia untuk berbuat demi kepentingan masyarakat.
Karena itu ia sangat bergantung pada pembelengguan kebebasan individu dan motif
memperoleh keuntungan serta eleminasi hak memiliki properti. Karenanya,
kepemilikan negara atas semua sarana produksi dan perencanaan sentral menjadi
instrumen utama strateginya untuk mendorong efisiensi dan pemerataan penggunaan
sumberdaya-sumberdaya. Penghapusan keuntungan sebagai imbalan langsung bagi
usaha individu, betapapun, telah mengikis inisiatif dan efisiensi yang merupakan
keharusan bagi pertumbuhan. Pembuatan keputusan yang terpusat juga menyebabkan
seluruh mesin ekonomi tidak efisien. Lebih-lebih, suatu hal yang tidak realistis adalah
bahwa jika manusia pada tataran individu saja tidak dapat dipercaya untuk mengelola
bisnis pribadi mereka dalam keseluruhan batas-batas kesejahteraan sosial, maka
bagaimana mungkin mereka dapat dipercaya mengelola alat-alat produksi seluruh
bangsa untuk tujuan ini. Sosialisme telah gagal di semua negara yang
mempraktekkannya. Ia tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok atau
mengurangi secara substansial ketidakmerataan sosio-ekonomi kendati negara-negara
yang mengadopsi sistem ini memiliki sumberdaya yang melimpah ruah. Lebih lanjut
ekonomi sosialis mengalami stagnasi disebabkan oleh kurangnya motivasi di
kalangan pekerja dan para eksekutif serta ketidakmampuan sistem ini untuk
merespons realitas yang tengah berubah. Utang luar negeri negara sosialis ini juga
terus melejit dan diramalkan akan terus melangit dengan percepatan yang tinggi.
Kenyataan menunjukkan bahwa kedua model ekonomi kapitalis dan sosialis,
telah membawa manusia memperbudak manusia lain, mengelola kekayaan alam
dengan mengenyampingkan peranan Tuhan. Akibat selanjutnya dari keadaan ini ialah
terjadinya dekadensi nilai antara manusia dan Tuhan, dehumanisasi antara manusia
dengan manusia, dan disharmonisasi antara manusia dan alam. (Agustianto, 2002 :
16). Diantara dua mode ekonomi dunia yang dipakai saat ini serta diakibatkan oleh
kelemahan masing-masing mode muncullah ekonomi Islam sebagai suatu alternatif.
Sebagai suatu pedoman hidup, ajaran Islam terdiri atas aturan-aturan mencakup
keseluruhan sisi kehidupan manusia. Secara garis besar, aturan-aturan tersebut dapat
dibagi dalam tiga bagian yaitu aqidah, akhlak, dan syari’ah. Dua bagian pertama
bersifat konstan. Sedangkan syari’ah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan
dan perkembangan kehidupan manusia. Syari’ah terdiri atas bidang muamalah
(sosial) dan bidang ibadah (ritual). Ibadah merupakan sarana manusia untuk
berhubungan dengan sang penciptanya. Sedangkan muamalah digunakan sebagai
aturan main manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. (Supriyatno, 2003 : 1)
Menurut At-Thahanawi syari’ah diartikan sebagai hukum-hukum yang
disyariatkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya yang disampaikan oleh salah
seorang Nabi diantara Nabi-Nabi yang lain, baik hukum-hukum tersebut mengenai
amal perbuatan maupun mengenai akidah. (Makhalul, 2002 : 6). Dari beberapa
definisi disimpulkan bahwa ekonomi Islam itu mempelajari aktifitas atau perilaku
manusia secara aktual atau empirikal, baik dalam produksi, distribusi maupun
konsumsi berlandaskan syari’ah Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah
10)
Calvinisme dan Kapitalisme. Keadaannya berubah sebagai akibat dari
reformasi. Luther menolak kontras antara religiusitas-massa dan religiusitas-virtuoso.
Tuntutan-tuntutan keras harus dibebankan kepada setiap orang. Dalam pendapat ini
kehidupan kebiaraan kehilangan maknanya; askese “luar-dunia” digantikan oleh
askese “dalam-dunia”. Lain-lainnya berpandangan bahwa pelaksanaan profesi
merupakan kesibukan manusia yang terpenting, dan karenanya karya profesi
memperoleh penghargaan yang tinggi. Kemuliaan pribadi harus diusahakan dalam
profesi. Selain itu unsur-unsur magis dihilangkan, sejak itu hanya keyakinan pribadi
sajalah yang penting. Ini lebih kuat lagi di dalam calvinisme, yang juga menggarap
sifat askese di dunia ini secara sistematis.
Titik tolaknya ialah ajaran mengenai kedaulatan Tuhan yang mutlak dan
predestinasi. Tuhan, di dalam otonominya yang mutlak, secara abadi telah
mentakdirkan seseorang untuk memperoleh keselamatan abadi dan mentakdirkan
seseorang lain untuk memperoleh kutukan abadi, tetapi Tuhan tidak memberitahukan
keputusan abadi ini kepada manusia. Selain itu Tuhan telah menyerahkan dunia ini
kepada manusia, bukannya sebagai milik pribadi yang dapat digunakan sekehendak
hati, melainkan sebagai suatu tugas. Manusia dapat dianggap sebagai petugas Tuhan
yang harus mengelola harta benda Tuhan seefektif mungkin, tetapi tidak boleh
memanfaatkan harta benda itu untuk dirinya sendiri. Jadi manusia harus bekerja keras
dan berdisiplin, dan hidup sederhana serta hemat, sebagaimana sepantasnya bagi
hanya diharapkan dari para biarawan, oleh Calvin diwajibkan bagi umat Kristen
biasa.
Pola hidup ini diperkuat oleh dua faktor. Pertama-tama ketidakpastian
mengenai nasib abadi secara psikolgis sukar tertahankan, maka dapat dipahami
mengapa orang mencari pertanda-pertanda mengenai terpilih tidaknya seseorang itu.
Berangsur-angsur timbullah pendapat bahwa justru kerja yang tiada kenal henti dan
sikap hidup yang asketis dapat berlaku sebagai pertanda-pertanda itu. Tetapi karena
cara hidup demikian itu tentu saja juga mempunyai akibat-akibat di bidang ekonomi.
Khususnya peningkatan kekayaan pribadi, maka sukses pekerjaan itu juga dipandang
sebagai pertanda kesenangan hati Tuhan. Siapa pun yang menghendaki kepastian,
akan dapat memperolehnya melalui jalan itu.
Sikap hidup keagamaan di atas mempunyai akibat-akibat penting terhadap
perkembangan kapitalisme. Pertama-tama, akibat kerja keras dan hidup sederhana,
tersedialah modal yang dapat ditanam untuk dapat berproduksi dengan lebih baik.
Namun ini bukanlah akibat yang terpenting. Akibat terpenting ini berupa peningkatan
kecenderungan rasional yang merupakan syarat kunci bagi perkembangan
kapitalisme. Weber menyatakannya dengan sangat tegas “suatu pengaturan yang kuat
dan secara tak sadar begitu pandai seperti itu bagi pemupukan individu-individu
kapitalis, tidak pernah ada dalam gereja atau agama lain manapun, dan jika
dibandingkan dengannya maka mengecillah lain-lainnya itu.” dan “sejauh kekuasaan
sikap hidup puritan dapat menjangkau, maka sikap hidup ekonomis-rasional golongan
menengah; sikap hidup puritan itu adalah pendorong yang paling penting, dan di atas
hidup puritan itu hadir pada kelahiran manusia ekonomi modern.” (Weber, 2006 :
314)
Sudah jelas bahwa justru kelas-kelas dan golongan-golongan status yang baru
muncul itu, yaitu yang kepentingan-kepentingan materialnya terletak dalam cara-cara
produksi kapitalis, juga melihat dalam pendapat-pendapat Calvinistis itu suatu
pembenaran bagi cara hidup mereka dan karenanya juga bagi pemenuhan
kepentingan-kepentingan ideal mereka. Karena itu terdapat suatu afinitas selektif
antara kepentingan-kepentingan kelas-kelas serta golongan-golongan status ini
dengan ajaran Calvinis, dan dapatlah Reformasi berakar justru diantara
golongan-golongan sosial ini. (Layendecker, 1983 : 339-341)
2.2. Orientasi Konsumen Dalam Pola Konsumsi
Parsons mengembangkan kerangka A-G-I-L untuk menganalisa persyaratan
fungsional dalam semua sistem sosial. Adapun kerangka A-G-I-L yaitu :
A-Adaptation, menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk
menghadapi lingkungannya. Lingkungan, seperti yang sudah kita ketahui, meliputi
yang fisik dan yang sosial. Untuk suatu kelompok kecil, lingkungan sosial akan
terdiri dari satuan institusional yang lebih besar dimana kelompok itu berada. Untuk
sistem-sistem yang lebih besar, seperti misalnya masyarakat keseluruhan, lingkungan
akan meliputi sistem-sistem sosial lainnya dan linkungan fisik.
G-Goal attainment, merupakan persyaratan fungsional yang muncul dari pandangan
Parsons bahwa tindakan itu diarahkan pada tujuan-tujuannya. Namun perhatian yang
anggota dalam suatu sistem sosial. Dalam salah satu dari kedua hal itu, pencapaian
tujuan merupakan sejenis kulminisasi tindakan yang secara intrinsik memuaskan,
dengan mengikuti kegiatan-kegitan penyesuaian persiapan. Menurut skema alat
tujuan pencapaian maksud ini adalah tujuannya sedangkan kegiatan penyesuaian yang
sudah terjadi sebelumnya merupakan alat untuk merealisasi tujuan ini.
I-integration, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interalasi antara para
anggota dalam sistem sosial itu. Supaya sistem sosial itu berfungsi secara efektif
sebagai satu satuan, harus ada paling kurang suatu tingkat solidaritas diantara
individu yang termasuk didalamnya. Masalah integrasi menunjuk pada kebutuhan
untuk menjamin bahwa ikatan emosional yang cukup yang menghasilkan solidaritas
dan kerelaan untuk bekerjasama dikembangkan dan dipertahankan. Ikatan-ikatan
emosional ini tidak boleh tergantung pada keuntungan yang diterima atau sumbagan
yang diberikan untuk tercapainya tujuan inidividu atau kolektif.
L-latent pattern maintenance. Konsep latensi menunjukan ada berhentinya interaksi.
Para anggota dalam sistem sosial apa saja bisa letih dan jenuh serta tunduk pada
sistem sosial lainnya dimana mungkin mereka terlibat. Karena itu, semua sistem
sosial harus berjaga-jaga bilamana sistem itu sewaktu-waktu kocar-kacir dan para
anggotanya tidak lagi bertindak atau berinteraksi sebagai anggota sistem.
Teori Parson yang umum sifatnya mengenai tindakan sosial menekankan
orientasi subyektif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu. Pilihan-pilihan ini
secara normatif diatur atau dikendalikan oleh nilai dan standar normatif bersama. Hal
ini berlaku untuk tujuan-tujuan yang ditentukan individu serta alat-alat yang
bersifat universal dan mengendalikan semua tipe perilaku manusia, tanpa memandang
konteks sosial budaya tertentu.
Sebagian besar analisa yang terdapat dalam buku Toward A General Theory
of Action meliputi pengembangan pelbagai kategori dan sistem klasifikasi untuk
menganalisa orientasi subjektif individu. Diantara sistem-sistem klasifikasi ini,
variabel-variabel berpola mungkin yang paling banyak dikenal dan paling sering
dikutip. Tetapi, variabel-variabel ini harus dilihat dalam konteks kerangka Parson
yang lebih umum sifatnya. Dalam kerangka umum itu, orientasi yang bertindak itu
terdiri dari dua elemen dasar : orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi
motivasional menunjuk pada keinginan individu yang bertindak itu untuk
memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan. Satu segi dari permasalahan ini
adalah ikhtiar untuk menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan langsung yang
memberikan kepuasan dengan tujuan-tujuan jangka panjang. Orientasi nilai
menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu
(alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dan
tujuan-tujuan yang berbeda.
Masing-masing elemen dalam orientasi individu selanjutnya dibagi lagi ke
dalam tiga dimensi yang berbeda-beda, masing-masing ada dalam setiap orientasi
individu. Dimensi-dimensi itu adalah sebagai berikut :
1. Orientasi motivasional 2. Orientasi Nilai
a. dimensi kognitif a. dimensi kognitif
b. dimensi katektik b. dimensi apresiatif
Dimensi kognitif dalam orientasi motivasional pada dasarnya menunjuk pada
pengetahuan orang yang bertindak itu mengenai situasinya, khususnya kalau
dihubungkan dengan kebutuhan dan tujuan-tujuan pribadi. Dimensi ini
mencerminkan kemampuan dasar manusia untuk membedakan antara
rangsangan-rangsangan yang berbeda dan membuat generalisasi dari satu rangsangan-rangsangan dengan
rangsangan lainnya. Dimensi katetik dalam orientasi motivasional menunjuk pada
reaksi afektif atau emosional dari orang yang bertindak itu terhadap situasi atau
pelbagai aspek di dalamnya. Ini juga mencerminkan kebutuhan dan tujuan individu.
Umumnya, orang memiliki suatu reaksi emosional positif terhadap elemen-elemen
dalam lingkungan itu yang memberikan kepuasan atau dapat digunakan sebagai alat
dalam mencapai tujuan; dan reaksi yang negatif terhadap aspek-aspek dalam
lingkungan itu yang mengecewakan. Dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional
menunjuk pada dasar pilihan seseorang antara orientasi kognitif atau katektif secara
alternatif.
Ketiga dimensi yang terdapat dalam orientasi nilai tampaknya sama dengan ketiga
dimensi dalam orientasi motivasional. Tetapi Parson tetap berpendirian untuk tetap
mempertahankan ketiga pembedaan itu dengan mengatakan bahwa meskipun ada
saling ketergantungan, dimensi-dimensi itu bisa berdiri sendiri. Perbedaan yang
prinsipil adalah bahwa komponen-kompenen dalam orientasi nilai menunjuk pada
standar normatif umum, bukan keputusan dengan orientasi tertentu. Jadi dimensi
kognitif dalam orientasi nilai menunjuk pada standar-standar yang digunakan dalam
menerima atau menolak pelbagai interpretasi kognitif mengenai situasi, dimensi
keterlibatan afektif. Yang terakhir, dimensi moral dalam orientasi nilai menunjuk
pada standar-standar abstrak yang digunakan untuk menilai tipe-tipe tindakan
alternatif menurut implikasinya terhadap sistem itu secara keseluruhan (baik individu
maupun sosial) dimana tindakan itu berakar. Orientasi nilai keseluruhan
mempengaruhi dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional. (Johnson, Paul Doyle,
1990 : 113-115)
Konsumsi dipandang dalam Sosiologi bukan sebagai sekedar pemenuhan
kebutuhan yang bersifat fisik dan biologis manusia tetapi berkait kepada aspek-aspek
sosial budaya. Konsumsi berhubungan dengan masalah selera, identitas atau gaya
hidup. Sosiologi memandang selera sebagai sesuatu yang dapat berubah, difokuskan
pada kualitas simbolik dari barang, dan tergantung pada persepsi tentang selera dari
orang lain.
Dalam Sosiologi paling tidak terdapat dua sudut pandang dalam melihat
selera, yaitu pandangan Weber dan pandangan Veblen. Menurut pandangan Weber
selera merupakan pengikat kelompok dalam (in group). Aktor-aktor kolektif atau
kelompok status, berkompetisi dalam penggunaan barang-barang simbolik.
Keberhasilan dalam berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk memonopoli
sumber-sumber budaya, akan meningkatkan prestise dan solidaritas kelompok dalam.
Sedangkan Veblen memandang selera sebagai senjata dalam berkompetisi. Kompetisi
tersebut berlangsung antar pribadi, antara seseorang dengan orang lain. Jika dalam
masyarakat tradisional, keperkasaan seseorang sangat dihargai; sedangkan dalam
masyarakat modern, penghargaan diletakkan atas dasar selera dengan mengkonsumsi
Konsumsi dapat dilihat sebagai pembentuk identitas. Barang-barang simbolis
dapat juga dipandang sebagai sumber dengan mana orang mengkonstruksi identitas
dan hubungan-hubungan dengan orang lain yang menempati dunia simbolis yang
sama. Seperti yang disebut oleh Simmel ego akan runtuh dan kehilangan dimensinya
jika ia tidak dikelilingi oleh objek eksternal yang menjadi ekspresi dari
kecenderungannnya, kekuatan dan cara individualnya karena mereka mematuhinya,
atau dengan kata lain, miliknya.
Menurut Weber konsumsi terhadap suatu barang, merupakan gambaran gaya
hidup tertentu dari kelompok status tertentu. Konsumsi terhadap barang merupakan
landasan bagi penjenjangan dari kelompok status. Dengan demikian ia dibedakan dari
kelas yang landasan penjenjangannya adalah hubungan terhadap produksi dan
perolehan barang-barang. Juga ditegaskan oleh Weber jika situasi kelas ditentukan
secara murni ekonomi sedangkan situasi status ditentukan oleh penghargaan sosial
terhadap kehormatan.
Sedangkan Veblen, seperti pembahasan tentang selera di atas, melihat dalam
masyarakat luas penghargaan sosial diletakkan atas dasar keperkasaan. Keperkasaan
ditunjukkan dengan aktifitas agresif secara fisik, seperti perang. Sedangkan dalam
masyarakat industri diperlukan penghargaan lain sebagai pengganti keperkasaan yaitu
simbol-simbol yang tampak dari pemilikan kesejahteraan seseorang. Dengan
meningkatnya urbanisasi, penggunaan waktu luang tidak lagi tepat sebagai indikator
dari status. Dalam masyarakat seperti ini, konsumsi yang menyolok lebih tepat
Dalam perkembangan studi tentang gaya hidup, menurut Hans-Peter Mueller
(1989) terdapat empat pendekatan dalam memahami gaya hidup yaitu :
1. Pendekatan psikologi perkembangan. Pendekatan ini berasumsi bahwa
tindakan sosial tidak hanya disebabkan oleh teknik, ekonomi, dan politik
tetapi juga dikarenakan perubahan nilai. Pendekatan ini melihat gaya hidup,
atas nilai dan kebutuhan yang dimiliki.
2. Pendekatan kuantitatif sosial struktur. Pendekatan ini mengukur gaya hidup
berdasarkan konsumsi yang dilakukan seseorang : sangat berhasil (visible
success), pemeliharaan (maintenance), sedang (high-life), dan konsumsi
rumah tangga (Home life). Pendekatan ini menggunakan sederetan daftar
konsumsi yang mempunyai skala nilai. Dengan membuat skala nilai maka
pengukuran kuantitatif dapat dilakukan.
3. Pendekatan kualitatif dunia kehidupan. Pendekatan ini memandang gaya
hidup sebagai lingkungan pergaulan (miliu). Ia meletakkan seseorang pada
miliu yang ditentukan oleh keadaan hidup dan gaya hidup subyektif yang
dimiliki.
4. Pendekatan kelas. Pendekatan ini mempunyai pandangan bahwa gaya hidup merupakan rasa budaya yang direproduksi bagi kepentingan struktur kelas.
(Damsar, 1997 : 121-123)
.
Eduard Spranger, tokoh utama aliran ini adalah guru besar ilmu filsafat dan
utamanya yang mempersoalkan kepribadian manusia ini ialah : Lebensformen,
Geistewissenschaft-liche Psychologie und Ethic der Personlichkeit.
Kebudayaan (kultur) oleh Spranger dipandang sebagai sistem nilai-nilai
karena kebudayaan itu tidak lain adalah kumpulan nilai-nilai kebudayaan yang
tersusun atau diatur menurut struktur tertentu. Kebudayaan sebagai sistem atau
struktur nilai-nilai ini oleh Spranger digolong-golongkan menjadi enam lapangan
nilai. Keenam lapangan hidup ini masih dikelompokkan lagi menjadi dua kelompok
yaitu :
(a) Lapangan-lapangan yang bersangkutan dengan manusia sebagai individu,
yang meliputi empat lapangan nilai yaitu :
Lapangan pengetahuan (ilmu, teori)
Lapangan ekonomi
Lapangan kesenian
Lapangan keagamaan
(b) Lapangan-lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai anggota
masyarakat. Lapangan ini menyangkut manusia dengan kekuatan cinta dan
cinta akan kekuasaan. Kelompok ini menyangkut dua nilai yaitu :
Lapangan kemasyarakatan
Lapangan politik
Jadi menurut Spranger dalam kebudayaan itu terdapat adanya enam macam
lapangan nilai, atau yang disebut juga bentuk-bentuk kehidupan. Tipe-tipe manusia
Nilai kebudayaan yang dominan Tipe Tingkah laku dasar
Ilmu pengetahuan Manusia teori Berpikir
Ekonomi Manusia ekonomi Bekerja
Kesenian Manusia estetis Menikmati keindahan
Keagamaan Manusia agama Memuja
kemasyarakatan Manusia sosial berbakti
Politik Manusia kuasa Ingin berkuasa /
memerintah
Dalam bukunya lebensformen, Spranger memberikan pencandraan (deskripsi)
masing-masing tipe itu secara luas. Secara garis besar dapatlah dikemukakan hal yang
berikut ini. Seseorang itu corak sikap hidupnya ditentukan oleh nilai kebudayaan
mana yang dominan, yaitu nilai kebudayaan mana yang olehnya dipandang sebagai
nilai yang tertinggi. Ia akan memandang segala sesuatu, jadi juga nilai-nilai
kebudayaan yang lain, dengan kacamata nilai yang dihargainya paling tinggi itu, yaitu
dari kacamata nilai-nilai yang dominan itu. Sehingga nilai-nilai kebudayaan yang lain
itu akan diwarnai juga oleh nilai yang dominan itu.
(1) Manusia teori
Seorang manusia teori adalah seorang intelektualis sejati, manusia ilmu.
Cita-cita utamanya ialah mencapai kebenarannya dan hakikat daripada benda-benda.
Banyak sekali motifnya mengusahakan ilmu pengetahuan itu hanya semata-mata
untuk ilmu pengetahuan tersebut tanpa mempersoalkan faedah atau hasilnya. Tujuan
yang dikejar manusia teori adalah pengetahuan yang objektif, sedangkan segi lain
misalnya seperti soal-soal moral, keindahan dan sebagainya terdesak ke belakang. Ia
membenci segala bentuk kekaburan. Dalam kehidupan sehari-hari ia adalah seorang
pecinta kebenaran dan konsekuen.
(2) Manusia ekonomi
Orang-orang yang termasuk golongan manusia ekonomi ini selalu kaya akan
gagasan-gagasan yang praktis, kurang memperhatikan bentuk tindakan yang
dilakukannya, sebab perhatiannya terutama tertuju kepada hasil daripada tindakan itu,
hasilnya bagi dirinya sendiri. Manusia golongan ini akan menilai segala sesuatu
hanya dari segi kegunaannya dan nilai ekonomisnya; dia bersikap egosentris,
hidupnya dan kepentingannya sendirilah yang penting, dan orang-orang lain hanya
menarik perhatiannya selama mereka masih berguna baginya, penilaian yang
dikemukakannya terhadap orang lain, yang dikenakannya terhadap sesama manusia
terutama didasarkan kepada kemampuan kerja dan prestasinya.
(3) Manusia estetis
Manusia estetis menghayati kehidupan seakan-akan tidak sebagai pemain,
tetapi sebagai penonton, dia selalu sebagai seorang impresionis, yang menghayati
kehidupan secara pasif, disamping itu dapat juga dia sebagai seorang ekspresionis,
yang mewarnai segala kesan yang diterimanya dengan pandangan jiwa subjektifnya.
Juga manusia estetis itu berkecenderungan ke arah individualisme; hubungan dengan
orang-orang lain kurang kekal.
(4) Manusia agama
Menurut Spranger inti daripada hal keagamaan itu terletak dalam pencarian
terhadap nilai tertinggi daripada keberadaan ini; siapa yang belum mantap akan hal
yang kuat dalam hidupnya. Sebaliknya siapa yang sudah mencapai titik tertinggi itu
akan merasa bebas, tenteram dalam hidupnya. Bagi seorang yang termasuk golongan
tipe ini segala sesuatu itu diukur dari segi artinya bagi kehidupan rohaniah
kepribadian, yang ingin mencapai keselarasan antara pengalaman batin dengan arti
daripada hidup ini.
(5) Manusia sosial
Sifat utama daripada manusia golongan tipe ini adalah besar kebutuhannya
akan adanya resonansi dari sesama manusia, butuh hidup diantara manusia-manusia
lain dan ingin mengabdi kepada kepentingan umum. Nilai yang dipandangnya
sebagai nilai yang paling tinggi adalah “cinta terhadap sesama manusia“ baik yang
tertuju kepada individu tertentu maupun yang tertuju kepada kelompok manusia.
(6) Manusia kuasa
Manusia kuasa bertujuan untuk mengejar kesenangan dan kesadaran akan
kekuasaannya sendiri, dorongan pokoknya adalah ingin berkuasa, semua nilai-nilai
yang lain diabdikan kepada nilai yang satu ini. Kalau manusia ekonomi mengejar
akan penguasaan benda-benda, maka manusia kuasa mengejar penguasaan atas
manusia. (Suryabrata, 1998 : 84-92)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif dan kualitatif. Tujuan dari sistematis, faktual dan akurat, mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Menurut Whitney
dalam Moh. Nazir, metode deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam
masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat, serta situasi-situasi
tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap
pandangan-pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu
fenomena.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan diadakan di Swalayan Madinah Syari’ah yang terletak di
jalan Kapten Muslim Medan. Dan karena swalayan ini juga satu-satunya swalayan
yang pertama yang menawarkan konsep syari’ah. Di swalayan ini tidak hanya dijual
berbagai macam kebutuhan bahan makanan, tetapi ada juga menjual buku dan
pakaian muslim. Swalayan yang terdiri dari dua lantai ini memberi kesan yang
mendalam terhadap suasana Islami karna didalamnya terpampang berbagai atribut
Islam mulai dari kaligrafi, hiasan-hiasan, sampai dengan musik-musik yang bernada
Islami. Juga pada saat melakukan transaksi pembayaran adanya akad jual beli yang
sebenarnya sangat dianjurkan oleh Islam sehingga membuat swalayan ini berbeda
3.3. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel
3.3.1. Teknik Penarikan Sampel Secara Kuantitatif
Populasi adalah keseluruhan gejala/satuan yang ingin diteliti (Prasetyo, 2005 :
119). Sementara itu sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti. Oleh
karena itu, sampel harus dilihat sebagai suatu pendugaan terhadap populasi dan bukan
populasi itu sendiri. (Bailey,1994 : 83). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
pengunjung yang berbelanja di swalayan Madinah Syari’ah di Jalan Kapten Muslim
Medan. Dalam penelitian ini populasi yang akan diteliti tidak memilki sifat homogen,
tetapi heterogen. Yaitu karakteristik yang dimilki bervariasi. Teknik penarikan
sampel dalam penelitian ini dilakukan secara insidential sampling, dengan
mempertimbangkan beberapa alasan diantaranya populasi yang menjadi objek
penelitian bukan populasi yang diam akan tetapi populasi yang berganti-ganti dan
berubah, juga lokasi rumah para pengunjung yang tersebar sehingga mengakibatkan
tidak bisanya dilakukan penarikan sampel berdasarkan wilayah, serta kerahasiaan
perusahaan dalam memberikan data tentang pengunjung yang telah memiliki kartu
anggota berbelanja di swalayan Madinah Syariah. Adapun dengan menggunakan
teknik tersebut diperoleh responden sebanyak 108 orang untuk dijadikan sample
dalam penelitian ini.
3.3.2. Untuk Metode Kualitatif Data Diperoleh Dengan Cara
Menentukan Informan.
Informan dalam penelitian ini adalah para konsumen yang berbelanja di
meliputi beberapa macam, seperti : (1) informan kunci yaitu mereka yang mengetahui
dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian; (2)
informan utama yaitu mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang
diteliti; (3) informan tambahan yaitu mereka yang dapat memberikan informasi
walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti.
Informan kunci dalam penelitian ini adalah pemilik Swalayan Madinah
Syari’ah. Adapun informan utama adalah para konsumen yang berbelanja di Madinah
Syari’ah lebih kurang selama 6 bulan.
Karakteristik informan utama yang ditetapkan oleh peneliti adalah sebagai
berikut :
1. Pengunjung ataupun konsumen yang telah berbelanja di swalayan ini
kurang lebih sekitar 6 bulan, mengingat swalayan ini baru berdiri sekitar
bulan Februari tahun 2006.
2. Pengunjung ataupun konsumen yang memilki kartu anggota berbelanja di
swalayan Madinah Syari’ah.
Sedangkan yang menjadi informan tambahan di dalam penelitian ini
diantaranya :
2. Para Karyawan yang bekerja di swalayan Madinah Syari’ah.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
3.4.1. Dengan Metode Kuantitatif
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Kuesioner yang merupakan teknik pengumpulan data melalui daftar pertanyaan yang
tertulis yang disusun dan disebarluaskan untuk mendapatkan informasi atau
keterangan dari sejumlah subjek.
3.4.2. Dengan Metode Kualitatif
1. Studi Pustaka
Dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan masalah
yang diteliti melalui buku-buku, artikel, majalah dan sebagainya. Penelitian
kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan landasan teori yang kuat dan
konsep-konsep yang relevan.
2. Studi Lapangan
a. Observasi adalah proses pengamatan untuk memahami fenomena sosial
yang diteliti, dilakukan dengan mengamati langsung tentang keadaan
dilapangan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan dalam
penelitian. Dimana dalam peneltian ini peneliti menggunakan observasi
non partisipasi, dimana dalam hal ini penelti tidak terlibat langsung dalam
penelitian.
b. Wawancara mendalam adalah teknik pengambilan data dengan cara
mengadakan pertanyaan, percakapan atau tanya jawab secara lisan pada
direncanakan dan yang tidak direncanakan dapat diperoleh seluruhnya.
c. Dokumentasi, adalah teknik yang digunakan untuk menelusuri data
historis. Data historis dapat ditemukan dalam bentuk surat-surat, catatan
harian, laporan, buku, memorial, dokumen dan foto.
3.5. Teknik Analisis Data
3.5.1. Dalam bentuk Kuantitatif
Dari kegiatan ini, penulis menggunakan metode analisis deskriptif, dimana
hanya menjabarkan hasil penelitian dan memberikan gambaran dari masalah yang
diteliti. Peneliti sengaja menggambarkan dan meringkaskan berbagai kondisi dan
situasi serta gejala yang timbul dalam penelitian dan tidak bertujan menghasilkan
hipotesis. Metode analisis yang dimaksud yaitu menggunakan metode statistik
deskriptif. Pengolahan data secara statistik deskriptif dapat dilakukan dengan
distribusi frekuensi.
3.5.2. Dalam bentuk Kualitatif
Data yang diperoleh terlebih dahulu dievaluasi untuk memastikan objektivitas
(kesesuaian dengan keadaan sebenarnya) dan relevansi dengan masalah yang diteliti.
Temuan dalam penelitian tersebut kemudian direduksi (diedit), diinterpretasikan atau
ditafsirkan, dan diorganisasikan. Kemudian dianalisis secara sistematis untuk
Gambar 1
Siklus Analisis Data
(Sumber : Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, hal.256, 1995) Display Data
Pengumpulan Data
Reduksi Data
3.7. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini termasuk pembuatan surat izin penelitian;
terbatasnya data sekunder atau tambahan melalui buku, dokumen dan jurnal yang
mendukung terhadap penelitian yang telah dilaksanakan; dan adanya keterbatasan
waktu dari para informan. Keterbatasan dalam pengurusan dan pembuatan surat izin
penelitian adalah begitu banyaknya rentetan jalur pengurusan surat izin penelitian
yang harus peneliti jalani sehingga menyebabkan lamanya waktu yang peneliti
habiskan untuk mengurus surat baik di lingkungan fakultas, birokrasi pemerintahan
maupun perusahaan tempat peneliti melakukan penelitian yang terlalu berhati-hati
dalam memberikan izin penelitian.
Keterbatasan data sekunder atau tambahan berupa buku, dokumen, jurnal
maupun yang lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini menyebabkan peneliti
mengalami kesulitan di dalam melakukan penganalisisan data lapangan dan
memerlukan waktu cukup lama. Keterbatasan di dalam melaksanakan penelitian
antara lain disebabkan oleh kesibukan para informan dan responden ketika dimintai
kesedian waktu untuk wawancara dan mengisi kuesioner sehingga mengakibatkan
sedikitnya waktu yang dimiliki oleh peneliti ketika mengadakan proses wawancara.
Namun penelitian ini berjalan dengan lancar karena adanya kerjasama yang baik dan
BAB IV
DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1. Perkembangan Bisnis Ritel Modern
Dalam beberapa tahun terakhir ini bisnis ritel modern mulai menunjukkan
pemulihan dan mengalami perkembangan pesat sejalan dengan membaiknya
perekonomian Indonesia. Meningkatnya daya beli masyarakat dan penerapan otonomi
daerah telah mendorong pertumbuhan bisnis ritel modern dan membuka peluang bagi
pengusaha ritel modern melakukan ekspansi di sejumlah daerah potensial. Ditambah
lagi dengan kebijakan pemerintah tentang globalisasi di sektor ritel dimana investor
asing diperbolehkan melakukan investasi langsung, ikut mendorong pertumbuhan
sektor ritel. Berbagai kondisi tersebut telah mendorong pasar ritel modern mengalami
pertumbuhan di atas 20 % sejak tahun 2000.
Walau krisis belum begitu reda, situasi perekonomian dapat dikatakan mulai
membaik sejak tahun 2000. Meskipun ekonomi Indonesia masih tumbuh hanya
sekitar 3 %. Keadaan ini dilihat oleh kalangan pebisnis terutama para pengusaha ritel
sebagai prospek yang patut dipertimbangkan untuk melanjutkan investasi yang sangat
tertunda. Sampai Februari 2005, gerai ritel di Indonesia mencapai 2.720 unit yang
dioperasikan oleh 62 perusahaan yang berhimpun dalam Aprindo (Asosiasi
Pengusaha Ritel Indonesia). Di sisi lain kehadiran sejumlah ritel raksasa global juga
membawa implikasi semakin ketatnya persaingan bisnis ritel modern yang pada
menengah. Membaiknya kondisi ekonomi makro juga berimbas terhadap
perkembangan bisnis ritel di dalam negeri khususnya ritel modern (department store,
pasar swalayan, mini market, hipermarket, dan pusat perkulakan). Bangkitnya bisnis
ritel telah mendorong sejumlah pengusaha ritel modern baik lokal maupun asing
untuk melakukan ekspansi dengan membuka sejumlah gerai baru di daerah-daerah
potensial.
Kesediaan untuk berubah semakin dibutuhkan mengingat saat ini
kecenderungan perubahan situasi bisnis dalam lingkungan bisnis meningkat sangat
pesat. Perubahan di dalam lingkungan bisnis diantaranya dipengaruhi oleh kompetisi
bisnis dan pasar yang semakin dewasa, mengindikasikan intensitas persaingan yang
semakin cepat dan ketat. Perubahan dalam lingkungan bisnis ini membawa
konsekuensi meningkatnya kebutuhan untuk perubahan menuju prestasi yang lebih
tinggi (lebih produktif, lebih inovatif, dan pendekatan-pendekatan baru dalam
pemasaran dan distribusi).
Dalam konsep competitive setting-nya Hermawan Kartajaya (2000),
disebutkan bahwa perubahan situasi bisnis akan melewati satu tipe yang disebut
Complicated. Dalam situasi bisnis ini, terjadi persaingan sengit untuk merebut,
mempertahankan dan menguasai customer. Masing-masing pemain harus dapat
membuat strategi bersaing yang tepat. Charles Handy menyarankan perlunya
pemikiran upside-down thinking (berfikir terbalik dari kelaziman) dalam menyikapi
situasi bisnis yang berubah.
Pada bagian lain dalam konsepnya tersebut, Kartajaya menyebutkan bahwa
bisa lagi berjualan pada mereka. Yang dapat dilakukan oleh sebuah company
hanyalah berinteraksi dengan dia untuk kepentingan bersama. Pada titik inilah,
sebuah company hanya dapat survive jika bisa mengusahakan suatu situasi win-win
bersama customer.
Hal yang disebut terakhir diyakini akan dapat diwujudkan dengan penerapan
prinsip-prinsip syari’ah dalam operasional perusahaan. Keyakinan ini cukup
beralasan, karena dalam sistem ini prinsip-prinsip seperti keadilan, kejujuran,
transparancy, accountable ditegakkan. Sebut saja satu contoh dalam dunia
perbankan. Bank-bank yang menerapkan sistem syari’ah dalam perjalanannya
mampu bertahan di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Lebih jauh lagi bahwa prinsip-prisip ini tidak hanya diterapkan kepada
customer tetapi juga kepada stakeholder karena proses produksi atau jasa secara
langsung atau tidak langsung merupakan mata rantai yang tidak mungkin dipisahkan
dari fungsi dan peran masing-masing stakeholder jika dalam rangkaian proses
tersebut terdapat sesuatu yang mencederai nilai keadilan, kejujuran, transparansi,
pertanggungjawaban maka dapat diyakini bahwa dalam mata rantai yang lainpun
nilai-nilai tersebut akan sangat sulit direalisasikan. Kalau logika berfikirnya
demikian maka yang memperoleh situasi win-win tidak hanya customer tetapi
stakeholder secara keseluruhan. Dari pemikiran ini muncullah swalayan Madinah
Syari’ah yang dalam operasionalisasinya memakai dan menggunakan prinsip-prinsip
4.1.2. Gambaran Umum Swalayan Madinah Syari’ah`
4.1.2.1. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan
Lewat brand Macan Yaohan yang dirintis orang tuanya sejak 20 tahun lalu,
Muhammad Fendi Leong memberanikan diri membuka bisnis syari’ah pada 9
Februari 2006 atau bertepatan dengan 10 Muharram 1427 sama ketika ia memilih
Islam sebagai agama baru setelah terlahir sebagai Budha.
Awalnya swalayan ini bernama Macan Syari’ah. Yang berada dibawah PT
Macan Group. Namun karena tidak ingin setengah-setengah menerapkan konsep
syari’ah dalam mengoperasionalkan swalayan ini, juga karena alasan utama ingin
melaksanakan ajaran Islam ini secara kaffah (menyeluruh) akhirnya swalayan yang
awal mula namanya Macan Syari’ah berganti nama menjadi Madinah Syari’ah.
Pemisahan diri dan mandiri supermarket syari’ah ini dari Macan Group sudah
dilakukan sejak juni 2007 lalu. PT Macan Berkat International (MBI), perusahaan
yang mengelola supermarket Macan Syari’ah, dengan bantuan Bank Mualamat
Indonesia (BMI) melakukan re-finance atau membeli Macan Syari’ah dari Macan
Group untuk menjadikannya sebagai supermarket yang benar-benar bisa dijalankan
dengan prinsip-prinsip syari’ah, sesuai dengan komitmen MBI dari awal yang ingin
berpartisipasi dalam kemajuan ekonomi umat Islam.
Selain re-branding yaitu mengganti nama Macan Syari’ah menjadi Madinah
Syari’ah, beberapa perubahan dilakukan. Diantaranya pembentukan manajemen baru,
pemantapan konsep syari’ah dengan membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung