O
ISOLAT LOKAL UNTUK MENGENDALIKAN ULAT
KANTONG (Metisa plana) (Lepidoptera: Psychidae) DI
LABORATORIUM DAN LAPANGAN
TESIS
Oleh
GUNTORO
NIM : 097001007
PROGRAM MAGISTER AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UJI EFEKTIFITAS NEMATODA Steinernema sp.
ISOLAT LOKAL UNTUK MENGENDALIKAN ULAT
KANTONG (Metisa plana) (Lepidoptera: Psychidae) DI
LABORATORIUM DAN LAPANGAN
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam Program Magister Agroekoteknologi pada Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara.
Oleh
GUNTORO
NIM : 097001007
PROGRAM MAGISTER AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Penelitian : Uji Efektifitas Nematoda Steinernema sp. Isolat
Lokal Untuk Mengendalikan Ulat kantong (Metisa
plana) (Lepidoptera: Psychidae) di Laboratorium
dan Lapangan
Nama : Guntoro
Nim : 097001007
Program Studi : Magister Agroekoteknologi
Menyetujui:
Komisi Pembimbing
Ketua
Prof. Dr. Dra. Maryani Cyccu Tobing, MS
Anggota
Dr. Lisnawita, SP. M.Si
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP
Dekan
Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS
ABSTRACT
Guntoro, 2013. The Test of the effectiveness of local isolate
nematode Steinernema sp. for control bagworm (Metisa plana) (Lepidoptera:
Psychidae) in the Laboratory and in the Field. Under the supervision of
Maryani Cyccu Tobing and Lisnawita. The research in the laboratory was aimed
to identify nematode entomophatogen Steinernema sp. from Langkat District,
Deli Serdang and from Serdang Bedagai and to find the right dosage in control
M.plana larvae in the field. The research conducted in the laboratory used
factorial RAL (Complete random Design) with two factors and four repetitions. The first factor, juvenile infective (ji), consisted of 0, 90,180, and 270 ji and the
second factor, M.plana larvae, consisted of ten instar I, II, and III larvae. The
research conducted in the field used factorial RAK (Cluster Random Design) with two factors and four replications. The first factors consisted of 0, 200, 400, and
600 ji and the second factor, M.plana larvae, consisted of instar I, II, and III
larvae. The result of the research conducted in the laboratory showed that
Steinernema sp. genus was found in the three locations where the samples were
taken, and the result of the research conducted in the field showed that highest mortality rate (100%) was three days after the application with the density of
Steinernema sp. 600 ji.
Keywords: Steinernema sp. Metisa plana, biological control
Guntoro, 2013. Uji efektifitas nematoda Steinernema sp. isolat lokal
untuk mengendalikan ulat kantong (Metisa plana) (Lepidoptera: Psychidae)
di laboratorium dan lapangan di bawah bimbingan Maryani Cyccu Tobing
dan Lisnawita. Penelitian di laboratorium bertujuan untuk mengidentifikasi
nematoda entomopatogen Steinernema sp. dari Kabupaten Langkat, Deli
Serdang dan Serdang Bedagai dan mencari dosis yang tepat dalam
mengendalikan larva M. plana di lapangan. Penelitian di laboratorium
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor dan empat ulangan. Faktor pertama juvenil infektif (ji) yang terdiri dari 0, 90, 180 ,
270 ji dan faktor kedua larva M. plana (M) yang terdiri dari 10 larva intar I, II
dan III. Penelitian di lapangan menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK) faktorial dengan dua faktor dan empat ulangan. Faktor pertama terdiri dari 0,
200, 400, 600 ji dan faktor kedua larva M. plana (M) yang terdiri dari instar I, II
dan III. Hasil penelitian di laboratorium diperoleh dari ke-3 lokasi pengambilan
sampel adalah dari genus Steinernema sp. dan hasil penelitian di lapangan
diperoleh mortalitas tertinggi (100%) adalah 3 hari setelah aplikasi dengan
kerapatan Steinernema sp. 600 ji.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas
kehendakNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul “UJI
EFEKTIFITAS NEMATODA Steinernema sp. ISOLAT LOKAL UNTUK
MENGENDALIKAN ULAT KANTONG (Metisa plana) (Lepidoptera:
Psychidae) DI LABORATORIUM DAN LAPANGAN” yang merupakan
salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Magister Pertanian pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Komisi
Pembimbing Prof. Dr. Dra. Maryani Cyccu Tobing, MS. sebagai Ketua dan Dr. Lisnawita, SP. M.Si. sebagai Anggota yang telah memberi saran dan kritik untuk menyelesaikan Tesis ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kesempatan dan rahmatNya kepada penulis dalam menyelesaikan tesis pada
Program Studi Agroekoteknologi Sekolah Pasca Sarjana Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Komisi
Pembimbing Prof. Dr. Dra. Maryani Cyccu Tobing, MS. sebagai Ketua dan Dr.
Lisnawita, SP. M.Si. sebagai Anggota. Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M.Sc,
Dr. Deni Elfiati, SP. MP. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran,
masukan dan bimbingan yang sangat berguna bagi penulis dalam menyelesaikan
tesis ini.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Sumatera
Utara Bapak Prof. Dr. Ir. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K),
Direktur Pascasarjana USU Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE.,
Ketua, Pembantu Ketua I, II dan III Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Agrobisnis
Perkebunan (STIPAP), dan Koordinator Kopertis Wilayah I Bapak Prof. Drs,
Dian Armanto, M.Pd., MA., M.Sc., Ph.D yang telah memberikan izin belajar
kepada penulis. Dekan Fakultas Pertanian USU Bapak Prof. Dr. Ir. Darma Bakti,
MS. Serta segenap staf pengajar yang telah membuka wawasan dan memberikan
ilmu pengetahuan yang sangat berharga serta seluruh sivitas akademika yang
telah mendukung kelancaran studi bagi penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Karantina
Tumbuhan Polonia yang telah memberikan izin pemakaian mikroskop dan
Kepada istri tercinta Karimah Yulie Pohan SP. dan putri-putri tercinta
Viona Maharani dan Nafisah Artanti yang banyak memberikan semangat dalam
menyelesaikan pendidikan ini.
Kepada rekan-rekan seangkatan yang tidak tersebut satu-persatu, terima
kasih atas segala perhatian yang telah diberikan.
Medan, Januari 2013
Penulis
Guntoro, lahir di Aek Nabara pada tanggal 01 Maret 1973. Anak ketiga
dari lima bersaudara dari Ayahanda Alm. H. Ngadi dan Ibunda Hj. Jariah.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Negeri
Aek Nabara pada tahun 1985, pendidikan menengah di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri Aek Nabara pada tahun 1988, dan Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas (SMA) Negeri 1 Rantau Prapat pada tahun 1991. Pada tahun 1992
diterima di Universitas Sumatera Utara Fakultas Pertanian Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan dan memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1998. Pada
tahun 1999-2006 penulis bekerja di perusahaan perkebunan swata di Kabupaten
Langkat. Sejak tahun 2007 sampai sekarang penulis menjadi staf pengajar di
DAFTAR ISI
ABTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH……….. RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
PENDAHULUAN ... 1
Metisa. plana (Lepidotera: Psychidae) ... 8
Biologi M.plana ... 9
Gejala serangan . ... 10
Nematoda Steinernema sp (Rhapditidae: Steinernematidae) ... 10
Biologi Steinernema sp. ………..11
Ekologi Steinernema sp. ……….. 12
Mekanisme menginfeksi inang ... .12
BAHAN DAN METODE ... 14
Tempat dan waktu penelitian ... 14
Bahan dan alat ... 14
Metode penelitian ... 14
Di laboratorium ... 15
Di lapangan ... 16
Pelaksanaan penelitian ... 17
Pengambilan sampel tanah ... 17
Memerangkap Nematoda ... 17
Identifikasi Nematoda ... 18
Perbanyakan Nematoda ... 18
Uji Lethal Dosis ... 18
Uji efektifitas nematoda Steinernema sp. isolat lokal terhadap larva M. plana di laboratorium ... 19
Uji efektifitas nematoda Steinernema sp. isolat lokal terhadap larva M. plana di lapangan ... 19
Persentase Mortalitas (P) M. plana ... 20
Populasi Akhir Steinernema sp. ... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21
Identifikasi Nemtoda Entomopathogen ... 21
Gejala Kematian T. molitor dan Larva M.plana ... 22
Mortalitas M. plana di laboratorium ... 24
Mortalitas M. plana di lapangan ... 26
Populasi akhir Steinernema sp. ... 27
KESIMPULAN ... 30
Kesimpulan ... 30
Saran ... 30
DAFTAR TABEL
No Tabel Hal
1. Mortalitas larva M. plana seteralah aplikasi Steinernema sp. pada
kerapatan 0, 90, 180 dan 270 ji ... 25
2. Persentase mortalitas M.plana di lapangan ... 27
3. Rataan penambahan populasi Steinernema sp. pada aplikasi pagi hari……...28
No Gambar Hal
1. (a) Ulat T. mollitor dimasukkan ke dalam tanah; (b) metode white
Trap ………18
2. Penelitian di laboratorium ... 19
3. Steinernema sp. yang bersumber dari tiga lokasi (a) Langkat, (b) Deli Serdang,
(c) Serdang Bedagai ………....……….. 21
4. Bagian anterior (a) dan ekor (b) Steinernema sp. sp. ………. 22
5. Larva M. plana yang terinfeksi Steinernema sp. (a) gejala awal serangan
ditandai larva berwarna coklat muda (b) gejala serangan lebih lanjut larva sedikit mengkerut dan berwarna coklat tua (c) larva mengekerut dan berwarna kehitaman ……….………. 23
6. Hubungan penambahan populasi Steinernema sp. dengan kerapatan
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Hal
1. Data Persentase mortalitas M.plana 1 HSA di laboratorium pada aplikasi
Steinernema sp. 0, 90, 180 dan 270 juvenil ... 34
2. Data Persentase mortalitas M.plana 2 HSA di laboratorium pada aplikasi
Steinernema sp. 0, 90, 180 dan 270 juvenil ... 36
3. Data Persentase mortalitas M.plana 3 HSA di laboratorium pada aplikasi
Steinernema sp. 0, 90, 180 dan 270 juvenil ... 38
4. Data populasi M. plana di lapangan 1 HSA pada aplikasi Steinernema sp.
pagi hari 0, 200, 400 dan 600 juvenil ... 40
5. Data populasi M. plana di lapangan 2 HSA pada aplikasi Steinernema sp.
pagi hari 0, 200, 400 dan 600 juvenil ... 42 .
6. Data populasi M. plana di lapangan 3 HSA pada aplikasi Steinernema sp.
pagi hari 0, 200, 400 dan 600 juvenil ... 44
7. Data populasi M. plana di lapangan 4 HSA pada aplikasi Steinernema sp.
pagi hari 0, 200, 400 dan 600 juvenil ... 46
8. Data populasi M. plana di lapangan 1 HSA pada aplikasi Steinernema sp.
sore hari 0, 200, 400 dan 600 juvenil ... 48
9. Data populasi M. plana di lapangan 2 HSA pada aplikasi Steinernema sp.
sore hari 0, 200, 400 dan 600 juveni ... 50
10.Data populasi M. plana di lapangan 3 HSA pada aplikasi Steinernema sp.
sore hari 0, 200, 400 dan 600 juveni ... 52
11.Data populasi M. plana di lapangan 4 HSA pada aplikasi Steinernema sp.
sore hari 0, 200, 400 dan 600 juveni ... 54
12.Data penambahan populasi Steinernema sp./ekor M.plana pada aplikasi
pagi hari ... 56
13.Data penambahan populasi Steinernema sp./ekor M.plana pada aplikasi
sore hari ... 57
14.Data suhu dan kelembaban STA. Sampali Medan………. 58
Guntoro, 2013. The Test of the effectiveness of local isolate
nematode Steinernema sp. for control bagworm (Metisa plana) (Lepidoptera:
Psychidae) in the Laboratory and in the Field. Under the supervision of
Maryani Cyccu Tobing and Lisnawita. The research in the laboratory was aimed
to identify nematode entomophatogen Steinernema sp. from Langkat District,
Deli Serdang and from Serdang Bedagai and to find the right dosage in control
M.plana larvae in the field. The research conducted in the laboratory used
factorial RAL (Complete random Design) with two factors and four repetitions. The first factor, juvenile infective (ji), consisted of 0, 90,180, and 270 ji and the
second factor, M.plana larvae, consisted of ten instar I, II, and III larvae. The
research conducted in the field used factorial RAK (Cluster Random Design) with two factors and four replications. The first factors consisted of 0, 200, 400, and
600 ji and the second factor, M.plana larvae, consisted of instar I, II, and III
larvae. The result of the research conducted in the laboratory showed that
Steinernema sp. genus was found in the three locations where the samples were
taken, and the result of the research conducted in the field showed that highest mortality rate (100%) was three days after the application with the density of
Steinernema sp. 600 ji.
ABSTRAK
Guntoro, 2013. Uji efektifitas nematoda Steinernema sp. isolat lokal
untuk mengendalikan ulat kantong (Metisa plana) (Lepidoptera: Psychidae)
di laboratorium dan lapangan di bawah bimbingan Maryani Cyccu Tobing
dan Lisnawita. Penelitian di laboratorium bertujuan untuk mengidentifikasi
nematoda entomopatogen Steinernema sp. dari Kabupaten Langkat, Deli
Serdang dan Serdang Bedagai dan mencari dosis yang tepat dalam
mengendalikan larva M. plana di lapangan. Penelitian di laboratorium
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor dan empat ulangan. Faktor pertama juvenil infektif (ji) yang terdiri dari 0, 90, 180 ,
270 ji dan faktor kedua larva M. plana (M) yang terdiri dari 10 larva intar I, II
dan III. Penelitian di lapangan menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK) faktorial dengan dua faktor dan empat ulangan. Faktor pertama terdiri dari 0,
200, 400, 600 ji dan faktor kedua larva M. plana (M) yang terdiri dari instar I, II
dan III. Hasil penelitian di laboratorium diperoleh dari ke-3 lokasi pengambilan
sampel adalah dari genus Steinernema sp. dan hasil penelitian di lapangan
diperoleh mortalitas tertinggi (100%) adalah 3 hari setelah aplikasi dengan
kerapatan Steinernema sp. 600 ji.
Kata kunci : Steinernema sp. Metisa plana, pengendalian hayati
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan agribisnis kelapa sawit merupakan salah satu langkah yang
diperlukan sebagai kegiatan pembangunan subsektor perkebunan dalam rangka
revitalisasi sektor pertanian. Perkebunan kelapa sawit saat ini telah berkembang
tidak hanya yang diusahakan oleh perusahaan Negara, tetapi juga perkebunan
swasta dan rakyat. Di Indonesia luas areal perkebunan kelapa sawit dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan yang cukup pesat. Pada tahun 2006, Indonesia
menggeser Malaysia dari tahta produsen minyak sawit terbesar dunia. Saat ini
Indonesia memiliki 7,5 juta hektar perkebunan kelapa sawit dengan 40 persen
diantaranya milik rakyat (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009).
Budidaya kelapa sawit pada saat ini menghadapi berbagai kendala, salah
satu diantaranya yaitu adanya gangguan hama dan penyakit. Beberapa jenis hama
penting yang menyerang tanaman kelapa sawit misalnya hama babi, tikus,
kumbang tanduk, maupun hama ulat pemakan daun kelapa sawit (UPDKS)
(Hakim, 2007).
Ulat pemakan daun kelapa sawit merupakan hama utama pada
perkebunan kelapa sawit. Ada dua kelompok UPDKS yang penting yaitu ulat api
dan ulat kantong. Beberapa jenis hama ulat api yang menyerang tanaman kelapa
sawit sehingga dapat menurunkan produksi secara signifikan antara lain ulat api
Setathosea asigna, Darna trima, Setora nitens, ulat kantong Mahasena corbetti
Ulat kantong termasuk dalam famili Psychidae. Tujuh spesies yang pernah
ditemukan pada tanaman kelapa sawit adalah M. plana, M. corbetti,
Cremastopsyche pendula, Brachycyttarus griseus, Manatha albipes, Amatissa sp.
dan Cryptothelea cardiophaga Jenis ulat kantong yang paling merugikan di
perkebunan kelapa sawit adalah M. plana dan M. corbetti (Norman dkk, 1998).
Secara umum ulat kantong merupakan serangga perusak yang memakan
daun tanaman, terutama tanaman kelapa sawit. Salah satu ciri khas dari ulat
kantong yaitu hidup pada sarang yang berbentuk kantong yang terbuat dari
potongan-potongan daun yang berada di daerah sekitar serangan (Purba dkk,
2005).
Kerusakan yang diakibatkan oleh hama M. plana yaitu adanya
lubang-lubang transparan berwarna putih kekuningan sampai kecoklatan. Apabila
populasi larva tinggi maka menunjukkan gejala daun seperti terbakar
(Prawirosukarto dkk, 2007).
Pengendalian yang digunakan selama ini adalah dengan menggunakan
bahan kimia. Insektisida kimia selain mengganggu kelangsungan hidup musuh
alami, bahan ini juga memberikan efek yang buruk terhadap kesehatan pekerja
perkebunan dan lingkungan. Pengendalian hama secara kimiawi akan lebih
berbahaya lagi jika pihak perkebunan menerapkan pengendalian ulat dengan
metode pengasapan menggunakan sintetik piretroid pada populasi yang rendah.
Hal ini dapat menyebabkan populasi hama semakin meningkat baik frekuensi
maupun tingkat kerusakannya (Wood, 2008). Selain menyebabkan resistensi
terhadap hama sasaran, penggunaan insektisida kimia yang non selektif secara
terus menerus dapat menyebabkan munculnya hama sekunder yang bukan sasaran
sehingga pengendalian akan semakin rumit dan menyebabkan peningkatan biaya
pengendalian (Lisanti dan Wood, 2009).
Pengendalian secara terpadu dengan menekankan pada pengendalian
hayati merupakan pilihan yang terbaik sesuai dengan konsep Roundtable on
Sustainable Palm Oil (RSPO). Konsep pengendalian ini berbasis ramah
lingkungan dan merupakan konservasi alam yang selama ini sedang gencar
dicanangkan oleh dunia internasional (Lisanti dan Wood, 2009). Berbagai agensia
hayati dapat digunakan untuk pengendalian hayati guna mendukung konsep RSPO,
salah satunya adalah nematoda patogen serangga Steinernema sp. Nematoda
Steinernema sp. mempunyai beberapa keunggulan sebagai agensia hayati
serangga hama dibandingkan dengan musuh alami lain. Keunggulan tersebut
adalah daya bunuhnya sangat cepat, kisaran inangnya luas, aktif mencari inang
sehingga efektif untuk mengendalikan serangga dalam jaringan, tidak
menimbulkan resistensi, dan mudah diperbanyak.
Berbagai penelitian tentang pemanfaatan Steinernema sp. sebagai agens
hayati untuk mengendalikan serangga hama telah banyak dilakukan (Mahmoud
dan Osman, 2007; Ebsa dkk, 2001; Head dkk, 2004). Namun pemanfaatannya
untuk mengendalikan ulat kantong pada tanaman kelapa sawit masih terbatas.
Oleh karena itu penulis tertarik melakukan penelitian tentang uji efektifitas
nematoda Steinernema sp. isolat lokal untuk mengendalikan larva M. plana di
laboratorium maupun di lapangan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
harapan untuk melengkapi komponen pengendalian hama ulat kantong secara
Perumusan Masalah
Budidaya tanaman kelapa sawit sering kali mengalami gangguan dari
serangan hama, seperti misalnya ulat kantong (M. plana). Basri dkk, (1993)
menyatakan akibat serangan ini kehilangan daun oleh hama ini dapat mencapai
46,6%. Semua umur tanaman rentan terhadap serangan ulat kantong khususnya
pada tanaman yang berumur lebih dari 8 tahun.
Selama ini pengendalian M. plana dilakukan dengan menggunakan
bahan kimia. Secara teknis penggunaan insektisida kimiawi cukup sederhana,
tetapi selain harganya mahal, insektisida kimia memiliki dampak negatif terhadap
lingkungan dan kesehatan sehingga perlu dicari alternatif pengendalian yang lain
seperti dengan menggunakan nematoda entomopatogen Steinernema sp.
Pada banyak literatur disebutkan bahwa nematoda Steinernema sp.
dapat menginfeksi serangga hama dari ordo Lepidoptera, Coleoptera, Orthoptera,
Hemiptera, dan beberapa ordo lainnya sehingga menjadi salah satu kandidat yang
potensial untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida untuk mengendalikan hama
ulat kantong.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengidentifikasi nematoda dari tiga lokasi yang berbeda
(Kabupaten Langkat, Deli Serdang dan Serdang Bedagai).
2. Untuk menguji efektifitas nematoda Steinernema sp. dari lokasi yang
terpilih.
3. Untuk mendapatkan dosis Steinernema sp. yang tepat untuk
mengendalikan larva M. plana.
4. Untuk membandingkan keefektifan Steinernema sp. pada aplikasi pagi dan
sore hari.
Hipotesis
1. Diduga terdapat lebih dari satu nematoda dari tiga lokasi yang berbeda.
2. Diduga terdapat perbedaan efektifitas nematoda Steinernema yang
bersumber dari Kabupaten Langkat, Deli Serdang dan Serdang Bedagai
sebagai agens hayati M. plana.
3. Dosis Steinernema sp. yang berbeda memberikan perbedaan pada tingkat
mortalitas larva M. plana.
4. Diduga aplikasi sore lebih efektif dari pagi hari.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian akan berguna bagi dunia perkebunan khususnya kelapa
sawit dalam pengendalian M. plana secara hayati dengan menggunakan nematoda
TINJAUAN PUSTAKA
Pengendalian Hayati
Di beberapa perkebunan kelapa sawit masalah UPDKS khususnya ulat
kantong M. plana diatasi dengan menggunakan bahan kimia sintetik yang mampu
menurunkan populasi hama secara cepat, sehingga dapat dihindarkan terjadinya
kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia
sintetik yang kurang bijaksana dapat menimbulkan berbagai dampak negatif
terhadap lingkungan, dan justru dapat mengakibatkan permasalahan hama antara
lain: meningkatnya resistensi hama terhadap insektisida kimia, terjadinya ledakan
populasi serangga hama sekunder, meningkatnya risiko keracunan pada manusia
dan hewan ternak, terkontaminasinya air tanah, menurunnya biodiversitas, dan
bahaya-bahaya lain yang berkaitan dengan lingkungan (Untung, 1984).
Timbulnya masalah-masalah tersebut menjadi stimulan yang meningkatkan
kepedulian terhadap upaya pengendalian hama secara hayati maupun
pengendalian hama secara terpadu (PHT).
Pertanian berkelanjutan pada abad 21 akan lebih mengedepankan upaya
alternatif pengelolaan serangga hama yang ramah lingkungan dan meminimalkan
kontak antara manusia dengan insektisida kimia. Patogen serangga
(entomopatogen) yang berpeluang untuk mengisi kebutuhan akan alternatif
pengendalian hama masih membutuhkan beberapa perbaikan. Perbaikan tersebut
termasuk perbaikan potensi, produksi dan formulasi. Dibutuhkan pemahaman
kesesuaiannya dengan lingkungan dan komponen PHT lainnya, serta dapat
diterima oleh petani atau pengguna (Nugrohorini dkk, 2009)
Pengendalian hayati dilihat dari aspek ekologi adalah suatu fase dari
pengendalian alami. Definisi pengendalian hayati adalah perbuatan parasitoid,
predator dan patogen dalam memelihara kepadatan populasi organisme pada
tingkat rata-rata yang lebih rendah dari pada apabila perbuatan itu tidak ada.
Pengendalian alami mencakup semua pengaturan populasi secara hayati tanpa
campur tangan manusia. Sebaliknya jika pengendalian alami secara langsung dan
sengaja digunakan untuk pengendalian organisme pengganggu atau jika
pemahaman tentang organisme hidup digunakan sebagai dasar untuk strategi atau
taktik pengendalian, maka didefinisikan sebagai pengendalian hayati (biological
control). Jadi pengendalian hayati adalah manipulasi secara langsung dan sengaja
menggunakan musuh alami, pesaing organisme pengganggu, seluruhnya atau
sebagian , atau sumber daya yang diperlukan oleh agensia itu untuk pengendalian
organisme pengganggu atau dampak negatifnya (Tampubolon, 2004).
Organisme yang dapat berperan sebagai agens hayati tersebut dapat berupa
jamur, bakteri, virus, nematoda, mikroplasma, protozoa atau jasad renik lainnya
yang sering disebut entomopatogen, serta golongan hewan dan serangga yang
bersifat predator. Chung dan Narendran (1996) melaporkan bahwa perlakuan
dengan 10 macam insektisida mikroba dengan bahan aktif Bacillus thuringiensis
terhadap ulat kantong M. plana yang dipelihara pada bibit kelapa sawit
mengakibatkan kematian ulat kantong tersebut dapat mencapai 63,86 sampai
100% pada delapan hari setelah aplikasi. Ramlahdkk. (1996) menemukan adanya
saja mati. Organisme tersebut keberadaannya di alam memegang peran yang
sangat penting dan ikut menentukan keseimbangan alam, oleh karena itu sering
disebut musuh alami (Prasetijono, 2007). Keberadaan musuh alami ini sering
mengalami goncangan bahkan hampir menghilang. Hal ini sebagai konsekuensi
logis dari perubahan bioekosistem. Khususnya agroekosistem akibat tindak kelola
yang dijalankan manusia atau tata perubahan alami yang terjadi di lingkungan
karena pengaruh biotik dan abiotik sehingga potensinya tidak optimal dan jauh
tertinggal dari populasi organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Hal ini
menjadikan sering munculnya problem OPT dan bumerang bagi manusia itu
sendiri.
Metisa plana (Lepidoptera: Psychidae)
Ciri khas ulat kantong adalah hidupnya di dalam sebuah bangunan mirip
kantong yang berasal dari potongan-potongan daun, tangkai bunga tanaman inang,
di sekitar daerah serangan (Norman dkk, 1998). Ciri khas yang lain yakni betina
tidak mampu terbang. Jantan memiliki sayap dan akan mencari betina karena
feromon yang dikeluarkan betina untuk menarik serangga jantan.
Siklus hidup ulat kantong identik dengan ulat kupu-kupu dan ngengat
lainnya. Telur menetas dalam kantong menjadi ulat. Pada stadia ini ulat mampu
mengeluarkan benang dan menyebar dibantu oleh angin dan hewan. Pengetahuan
tentang siklus hidup secara utuh sangat berguna dalam manajemen pengendalian
hama ulat kantong. Adanya informasi ini, maka rantai terlemah dari siklus
hidupnya didapat, sehingga akan membantu dalam menentukan waktu tindakan
pengendalian yang tepat. Informasi siklus hidup juga akan memberikan
pemahaman yang baik dalam pengelolaan hama ini (Purba dkk, 2005)
Biologi M.plana
Telur
Telur ulat kantong berada di dalam kantong, berukuran kecil berbentuk
bulat dan berwarna putih saat diletakkan dan akan berwarna kecoklatan pada saat
akan menetas. Telur akan menetas dalam waktu 18 hari (Prawirosukarto dkk,
2007).
Larva
Larva berukuran lebih kecil dibandingkan dengan M. Corbetti. Pada akhir
perkembangannya dapat mencapai panjang sekitar 12 mm, dengan panjang
kantong 15-17 mm. Stadia larva M. plana terdiri atas 4-5 instar dan berlangsung
sekitar 50 hari. Larva yang baru menetas berwarna putih kecoklatan, akan keluar
dari kantong dan bergantungan dengan bantuan air liurnya. Kadang-kadang larva
tetap berkelompok membuat masing-masing kantong. Larva M. plana memakan
epidermis daun sehingga pada serangan tinggi daun berwarna kecoklatan seperti
terbakar dan akhirnya daun menjadi melidi (Prawirosukarto dkk, 2007).
Kepompong
Waktu berkepompong, kantong kelihatan halus permukaan luarnya.
Berukuran panjang sekitar 15 mm dan menggantung seperti kait di permukaan
bawah daun. Stadia kepompong berlangsung selama 25 hari (Susanto dkk, 2010)
Ngengat
Ngengat jantan memiliki rentang sayap 17-20 mm, berwarna coklat
kehitaman, antena panjang dan berbulu pada ujung. Ngengatbetina tidak memiliki
sayap dan dapat menghasilkan telur sebanyak 100-300 butir selama hidupnya.
Gejala serangan
Gejala serangan ulat kantong ditandai dengan terlihatnya tajuk tanaman
yang kering seperti terbakar. Basri dkk, (1993) menyatakan bahwa kehilangan
daun akibat serangan ulat ini dapat mencapai 46,6%. Prawirosukarto dkk, (1997)
menyatakan kehilangan daun mencapai 50% pada tanaman kelapa sawit yang
berumur 1-2 tahun. Tanaman pada semua umur rentan terhadap serangan ulat
kantong, tetapi lebih cenderung berbahaya terjadi pada tanaman dengan umur
lebih dari 8 tahun. Keadaan ini mungkin ditimbulkan dari kemudahan penyebaran
ulat kantong pada tanaman yang lebih tua karena antar pelepah daun saling
bersinggungan. Tingkat populasi kritis 20-30 ulat/pelepah (Prawirosukarto dkk,
2007).
Nematoda Steinernema sp. (Rhapditidae: Steinernematidae)
Nematoda adalah hewan yang bergerak aktif, lentur dan berbentuk seperti
pipa. Hidup pada permukaan yang lembab dan tidak memiliki sistem peredaran
darah. Nematoda entomopatogen hidup sebagai parasit, khususnya bagi serangga
hama. Ada dua famili nematoda sebagai entomopatogen (NEP) yaitu
Steinernematidae dan Heterohabditidae. Nematoda di dalam suatu ekosistem
dapat digolongkan menjadi nematoda entomopatogen, parasit dan predator.
Patogen adalah mikroorganisme yang membuat luka atau membunuh inangnya.
Beberapa patogen menyebabkan penyakit pada tanaman dan hewan. Nematoda ini
membunuh serangga dengan bantuan yang diperoleh dari simbiotik mutualistik
dengan bakteri yang dibawa dalam saluran pencernaannya (Grewaldan Ruisheng,
2007).
Salah satu nematoda entomopatogen dari famili Steinernematidae adalah
Steinernema. Nematoda Steinernema telah banyak digunakan sebagai agensia
hayati bahkan sudah diperdagangkan. Teknik pengendalian hama ini berpotensi
mengurangi ketergantungan pada insektisida kimia, yaitu dapat dimanfaatkan
sebagai biopestisida. Selain mudah dikembangbiakkan dan memiliki kemampuan
menginfeksi yang tinggi, nematoda ini juga mempunyai kisaran inang yang luas.
Menurut Poinar (1979), Steinernema sp. dapat menginfeksi lebih dari 250 spesies
serangga yang berasal dari 75 famili.
Steinernema sp. dapat menimbulkan penyakit (patogenik) pada serangga.
Patogenisitasnya terhadap serangga dibantu oleh interaksi mutualistik dengan
bakteri simbion yang hidup dalam saluran pencernaannya (Smigielsky dan
Akhurst, 2004). Hubungan mutualistik ini memberikan beberapa keuntungan bagi
nematoda, antara lain membunuh inang dengan cepat serta menyediakan nutrisi
dan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan dan reproduksi nematoda
(Subagiya, 2005).
Pada saat mendapatkan inang yang sesuai, NEP akan memasuki saluran
pencernaan larva, kemudian melakukan penetrasi ke dalam hemosel inang.
Menurut Prabowo dan Indrayani (2009), NEP dapat masuk ke dalam hemosel
melalui spirakel atau dengan melakukan penetrasi langsung melalui kutikula larva.
Pada saat masuk ke dalam hemosel, NEP melepaskan bakteri ke dalam hemolimfa.
Selanjutnya NEP dan bakteri simbionnya secara cepat membunuh larva serangga.
Biologi Steinernema sp.
Nematoda Steinernema sp. mempunyai siklus hidup yang sederhana,
perkembangannya dari telur, juvenil dan dewasa. Nematoda berkembang dengan
cepat menjadi dewasa dan menghasilkan telur. Juvenil instar pertama keluar dari
juvenil terdiri dari tiga instar yaitu instar I, II dan III. Stadia infektif nematoda
adalah pada instar III yang secara morfologis dan fisiologis dapat hidup untuk
waktu yang lama sebelum mendapatkan inang (Poinar, 1979).
Ekologi Steinernema sp.
Lingkungan yang sesuai merupakan faktor utama bagi perkembangbiakan
nematoda. Kemampuan nematoda untuk menyebar, mempertahankan diri,
menemukan inang, dan bereproduksi dalam tanah sangat dipengaruhi oleh
kelembaban dan temperatur tanah (Gaugler, 2001).
Kelembaban merupakan syarat penting untuk bertahan hidup dalam habitat
mikro nematoda. Pada kelembaban relatif 26-27% pada suhu 220
Mekanisme menginfeksi inang
C, juvenil
infektif hanya bertahan selama 3 jam. Kelembaban relatif yang optimum berkisar
antara 70-80%, nematoda akan bertahan sampai 20 hari (Poinar, 1979).
Proses infeksi nematoda terhadap inang disebabkan adanya interaksi
metabolistik antara nematoda patogen dengan bakteri. Bakteri ini terdapat dalam
saluran pencernaan juvenile infektif (Salame dan Glazer, 2000).
Nematoda patogen serangga menginfeksi inangnya dengan cara memasuki
lubang-lubang alami seperti spirakel, mulut dan anus serta penetrasi langsung
menembus kutikula. Infeksi nematoda Steinernema sp. sebagian besar melalui
serangga inangnya yakni melalui saluran pencernaan selanjutnya menuju homosel.
Kemudian bakteri dilepaskan melalui anus yang menyebabkan keracunan dan
kematian inang (Subagiya, 2005).
Nematoda diberi makan oleh bakteri dari jaringan inang dan berkembang
dengan cepat hingga dewasa, kemudian nematoda memasuki masa reproduksi dan
menghasilkan telur. Semua nutrisi yang ada dalam tubuh inang akan menjadi
sumber makanannya (Grewal dan Ruisheng, 2007), selanjutnya nematoda akan
berkembang menjadi generasi kedua dan ketiga yang akan keluar lagi dari bangkai
inang dan mencari inang yang baru (Tanada dan Kaya, 1993).
Secara umum gejala dan tanda inang yang terinfeksi oleh nematoda
entomopatogen adalah serangga akan berhenti bergerak dan makan, pertama kali
terjadi perubahan warna di ujung abdomen dari coklat muda hingga ke abu-abuan
kemudian ke seluruh tubuh larva dan lama kelamaan akan menjadi hancur (Kaya,
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Biologi Sekolah Tinggi Ilmu
Pertanian Agrobisnis Perkebunan Medan (ketinggian tempat ± 25 meter di atas
permukaan laut) dan kebun kelapa sawit Adolina Afdeling II PTPN 4. Penelitian
dilaksanakan mulai bulan Januari sampai April 2012.
Bahan dan Alat
Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanah
perkebunan kelapa sawit yang berasal dari Deli Serdang (03037’06,9”Lintang
Utara (LU) dan 098042’37,8” Bujur Timur (BT)), Langkat (03038’49,3” LU dan
098018’56,4” BT) dan Serdang Bedagai (03035’19,3” LU dan 0980
Alat yang digunakan adalah toples berukuran tinggi 25 cm berdiameter
15 cm, kertas label, mikroskop compound dan stereo, counter disk, hand counter,
cawan petri, gelas ukur, handsprayer, alat tulis, dan alat-alat lain yang mendukung
penelitian.
57’06,3”BT),
nematoda Steinernema sp, akuades, ulat hongkong (Tenebrio molitor) dan larva M.
plana.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di dua tempat yaitu di laboratorium dan di lapangan.
Penelitian di Laboratorium bertujuan untuk mengetahui dosis yang efektif untuk
mengendalikan larva M. plana dan dosis yang didapatkan di laboratorium
1. Di laboratorium
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial
dengan 2 faktor yang diulang sebanyak 4 kali.
Faktor pertama : juvenil infektif (ji) nematoda (N) yang terdiri dari :
N0
M. plana di Laboratorium dianalisis dengan Anova dengan model linier sebagai
berikut:
: Nilai pengamatan pada ulangan ke-k, perlakuan nematoda pada
µ : Nilai tengah
Ai
B
: Pengaruh perlakuan nematoda pada taraf ke–i
j
(AB)
: Pengaruh perlakuan M. plana ke–j
Єijk
Apabila hasil sidik ragam menunjukkan hasil yang nyata di lanjutkan dengan uji
beda nyata terkecil (BNT) pada taraf 5% (Gomez dan Gomez, 2007).
: Galat percobaan pada ulangan ke-k, perlakuan nematoda pada taraf
ke-i dan perlakuan instar M. plana ke-j.
2. Di lapangan
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial
dengan 2 faktor yang diulang sebanyak empat kali.
Faktor pertama : juvenil infektif (ji) nematoda (N) yang terdiri dari :
N0
Model linier yang digunakan sebagai berikut : = larva instar III
Yijk= µ +Ai +Bj + (AB)ij +ρk+ Єijk
i=1,2,3,4 j=1,2,3
Yijk
taraf ke-i dan perlakuan instar M. plana ke-j.
: Nilai pengamatan pada ulangan ke-k, perlakuan nematoda pada
µ : Nilai tengah
Ai : Pengaruh perlakuan nematoda pada taraf ke–i
Bj
(AB)
: Pengaruh perlakuan M. plana ke–j
ij
perlakuan M. plana pada taraf ke-j
: Pengaruh interaksi perlakuan nematoda taraf ke-i dengan
ρk
Apabila hasil sidik ragam menunjukkan hasil yang nyata di lanjutkan dengan uji
beda nyata terkecil (BNT) pada taraf 5% (Gomez dan Gomez, 2007).
Pelaksanaan penelitian
1. Pengambilan sampel tanah
Sampel tanah diambil dari tiga lokasi yang berbeda yaitu tanah areal
perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Langkat, Deli Serdang dan Serdang
Bedagai. Tanah diambil dengan menggunakan cangkul dengan kedalaman lebih
kurang 5-30 cm, selanjutnya contoh tanah dimasukkan ke dalam kantong-kantong
plastik untuk dibawa ke laboratorium.
2. Memerangkap nematoda
Isolasi Steinernema dari setiap sampel tanah dilakukan dengan metode
baiting oleh Bedding (1981) yaitu larva serangga T. mollitor dimasukkan ke
dalam sampel tanah (Gambar 1a). Setelah larva mati kemudian dilakukan White
Trap untuk mendapatkan nematoda entomopatogen (Gambar 1b) dari larva T.
molitor yang telah mati. Untuk memastikan nematoda tidak ada lagi dalam tubuh
T. molitor, selanjutnya dilakukan pembelahan T. mollitor lalu dibersihkan dengan
akuades steril. Nematoda hasil White Trap selanjutnya diamati di bawah
(a) (b)
Gambar 1. (a) Ulat T. mollitor dimasukkan ke dalam tanah; (b) metode White
Trap
3. Identifikasi nematoda
Cairan yang mengandung nematoda di ambil dengan pipet tetes
selanjutnya di teteskan ke objek glas cembung dan di tutup dengan dek glas.
Identifikasi nematoda dilakukan di bawah mikroskop compound fotografi digital
dengan menggunakan buku Entomopathogenic Nematology (Gaugler 2001).
4. Perbanyakan nematoda
Perbanyakan nematoda dilakukan dengan mengambil sepasang
Steinernema sp. kemudian diinokulasikan ke T. molitor. Hal ini dilakukan
berulang-ulang hingga populasi nematoda telah cukup untuk digunakan sebagai
inokulum.
5 . Uji lethal dosis
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui dosis yang tepat untuk
mematikan larva M. plana. Pengujian dilakukan dengan meletakkan 10 larva M.
plana instar 1,2 dan 3 pada masing-masing toples yang berisi daun kelapa sawit.
Selanjutnya larva tersebut diaplikasi nematoda berdasarkan masing-masing
perlakuan (0, 90, 180 dan 270 ji). Pengamatan dilakukan setiap hari sampai
mortalitas M. plana mencapai 100%.
6.Uji efektifitas nematoda Steinernema sp. isolat lokal terhadap larva
M.plana di laboratorium
Penelitian dilakukan dengan meletakkan larva M. plana instar 1, 2, dan 3
pada masing-masing toples sebanyak 10 ekor. Setiap larva pada masing-masing
toples diinokulasikan dengan nematoda sesuai dengan perlakuan dengan empat
ulangan (Gambar 2).
Gambar 2. Penelitian di Laboratorium
Persentase kematian larva dihitung setiap hari setelah aplikasi.
7. Uji efektifitas nematoda Steinernema sp. terhadap larva M. plana di
lapangan.
Penelitian lapangan dilaksanakan di PTP4 kebun Adolina. Aplikasi
dilaksanakan pada pagi hari pukul 06.15 Waktu Indonesia bagian Barat (WIB)
dan pada sore hari pukul 17.00 WIB. Sebelum aplikasi, dihitung terlebih dahulu
jumlah larva pada masing-masing instar dan selanjutnya digunakan sebagai
dengan cairan yang mengandung nematoda sesuai perlakuan. Pengamatan
dilaksanakan satu hari setelah aplikasi dan diamati setiap hari sampai seluruh
larva mati.
Peubah Amatan
1. Identifikasi nematoda
Identifikasi nematoda dilakukan untuk mengetahui jenis nematoda
entomopatogen dari setiap sampel tanah yang digunakan.
2. Persentase mortalitas (P)M. plana:
Persentase mortalitas diamati di laboratorium dan di lapangan dengan
menggunakan rumus :
P= �
��100%
Keterangan : a = kematian larva akibat perlakuan
b = Jumlah larva seluruhnya
(Wahyono dan Tarigan, 2007)
3. Populasi akhir Steinernema sp.
Populasi akhir Steinernema sp. yang terdapat dalam larva M. plana
dihitung sejak kematian awal sampai akhir larva M. plana .dengan menggunakan
metode White Trap
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Identifikasi Nematoda Entomopatogen
. Hasil identifikasi nematoda Steinernema dari tiga lokasi yang diamati
dapat dilihat pada Gambar 3 ( a, b dan c). Dari Gambar terlihat tidak terdapat
perbedaan penampilan yang mencolok antara nematoda entomopatogen yang
bersumber dari ketiga lokasi.
(a) (b) (c)
Gambar 3. Steinernema sp. yang bersumber dari tiga lokasi (a) Langkat, (b) Deli
Serdang, (c) Serdang Bedagai.
Berdasarkan karakter morofologi ketiga isolat dijumpai beberapa
ciri-ciri yang menunjukkan nematoda entomopatogen tersebut adalah Steinernema sp.
Mulut berbentuk silindris seperti tong atau rongga seperti kerucut yang bagian
depannya terus terbuka. Nematoda berbentuk fusiform dan vernivorm, dengan
mulut yang letaknya terminal dan berada pada lingkaran kepala dan nematoda ini
(a) (b)
Gambar 4. Bagian anterior (a) dan ekor (b) Steinernema sp.
Posterior terdapat satu papilla tunggal, preanal dan ventral. Betina lebih
besar dari jantan. Stoma berbentuk silinder panjang dan melebar. Vulva menonjol
keluar. Spikula relatif besar dan lebar (Gambar 4.b).
Gejala kematian T. molitor dan larva M. plana
Hasil pengamatan menunjukkan terjadi perubahan warna kutikula pada T.
molitor. Kutikula dari warna kuning menjadi coklat caramel. Hal ini disebabkan
adanya reaksi bakteri simbion Xenorhabdus spp. (Grewal dan Ruisheng, 2007).
Hasil penelitian terhadap gejala kematian larva M. plana di laboratorium
diperoleh satu hari setelah aplikasi (HSA) nematoda Steinernema sp. Infeksi oleh
Steinernema sp. ditandai dengan terjadi perubahan perilaku larva M. plana.
Perubahan perilaku ini ditandai dengan M. plana menjadi hiperaktif kemudian
mengalami kematian. Simoes dan Rosa (1996) mengemukakan bahwa serangan
nematoda entomopatogen menyebabkan perubahan perilaku pada serangga inang.
Sebelum serangga yang terserang nematoda entomopatogen mengalami kematian,
serangga akan bergerak hiperaktif selama lebih kurang tujuh menit, kemudian
mengalami kematian.
(a) (b) (c)
Gambar 5. Larva M. plana yang terinfeksi Steinernema sp. (a) gejala awal
serangan ditandai larva berwarna coklat muda, (b) gejala serangan lebih lanjut larva sedikit mengkerut dan berwarna coklat tua, (c) larva mengkerut dan berwarna kehitaman
Selain perubahan perilaku, larva yang terinfeksi juga megalami perubahan
warna pada tubuhnya. Awalnya larva berwarna coklat muda (Gambar 5a)
kemudian berubah menjadi coklat tua dan dengan penampilan agak mengkerut
(Gambar 5b). Selanjutnya larva mengkerut dan berwarna kehitaman (Gambar 5c).
Gejala lain yang dapat dilihat pada larva yang terinfeksi adalah tubuh larva
menjadi lunak namun tidak hancur. Hasil ini sama dengan yang yang dilaporkan
oleh Simoes dan Rosa (1996) bahwa gejala serangan yang diakibatkan
Steinernema sp. ditandai dengan terjadinya perubahan warna pada kutikula
karamel atau coklat tua, tubuh serangga menjadi lunak dan apabila dibedah
jaringan tubuh menjadi cair tetapi tidak berbau busuk.
Penetrasi nematoda diawali dengan penemuan inang yang sesuai. Pada
saat mendapatkan inang yang sesuai nematoda akan memasuki saluran pencernaan
dari larva serangga kemudian melakukan penetrasi kedalam hemosel inang
(Brown dkk, 2006). Nematoda juga dapat masuk melalui lubang-lubang alami
seperti spirakel, mulut, anus dan kutikula (Shapiro dan Lewis, 1999). Nematoda
juga dapat masuk ke dalam hemosel dengan melakukan penetrasi langsung
melalui kutikula larva serangga. Tanada dan Kaya (1993) mengemukakan pada
saat nematoda masuk ke dalam hemosel, nematoda melepaskan bakteri ke dalam
hemolimfa. Secara bersama-sama nematoda dan bakteri simbionnya secara cepat
membunuh larva serangga (Gaugler, 2001; Poinar, 1983). Selanjutnya Boemare
dkk. (1996) mengemukakan bahwa bakteri simbion pada nematoda menghasilkan
enzim dan toksin yang menyebabkan kematian pada serangga.
2. Mortalitas M. plana di laboratorium
Perlakuan aplikasi Steinernema sp. di laboratorium bertujuan untuk
mendapatkan kerapatan nematoda yang mampu mematikan larva M. plana 100%
dalam waktu 2 hari setelah aplikasi (HSA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
mortalitas larva M. plana yang mencapai 100% dalam waktu 2 hari dijumpai pada
kerapatan nematoda 180 dan 270 ji. Data pengamatan mortalitas M. plana dan
hasil analisis ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 1-3. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi nematoda Steinernema berpengaruh nyata
terhadap mortalitas larva M. plana pada semua pengamatan. Data pengamatan
mortalitas larva M. plana setelah aplikasi Steinernema sp. dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Mortalitas larva M. plana setelah aplikasi Steinernema sp. pada kerapatan
0, 90, 180 dan 270 ji.
Perlakuan
% tase mortalitas (HSA)
1 2 3 Keterangan : angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata menurut uji beda nyata terkecil (BNT)
pada α=5%. Angka yang di dalam kurung adalah hasil transformasi x + 0,5
Tabel 1 menggunakan data transformasi karena data mempunyai angka
antara 0 dan 100%. Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara
perlakuan kontrol, 90 ji dan dengan yang diaplikasikan Steinernema pada
perlakuan 180 dan 270 ji. Pada pengamatan 1 HSA terlihat perbedaan antara
perlakuan 90 ji dengan perlakuan 180 ji dan 270 ji. Pada perlakuan 90 ji mortalitas
larva yang tertinggi baru mencapai 67,5% sedangkan pada perlakuan 180 ji dan
270 ji telah mencapai 100%. Pada pengamatan 2 HSA juga masih terlihat
perbedaan antara perlakuan 90 ji dengan perlakuan 180 ji dan 270 ji walaupun
perbedaan tersebut tidak nyata secara statistik. Pada perlakuan 90 ji mortalitas
larva yang tertinggi baru mencapai 92,5% sedangkan pada perlakuan 180 ji dan
270 ji telah mencapai 100%. Pada pengamatan 3 HSA persentase mortalitas telah
mencapai 100% pada semua perlakuan aplikasi nematoda sedangkan perlakuan
kontrol masih belum menunjukkan adanya kematian. Hasil ini menunjukkan
bahwa kematian larva akan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya
kerapatan dari nematoda Steinernema sp sehingga nematoda secara cepat
membunuh larva tersebut. Kematian 100% dalam 2 hari dijumpai pada kerapatan
mulai dari 180 ji, hasil inilah yang dijadikan dasar dalam menentukan kerapatan
yang dipakai untuk aplikasi di lapangan.
3. Mortalitas M. plana di lapangan
Data pengamatan jumlah M. plana sebelum dan sesudah aplikasi dapat
dilihat pada Lampiran 4-11. Hasil analisis ragam data pengamatan di lapangan
diperolah bahwa perlakuan aplikasi nematoda menunjukkan perbedaan yang nyata
pada setiap pengamatan baik aplikasi pagi maupun sore. Sedangkan perlakuan
perbedaan instar tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Data jumlah mortalias
M. plana 1 HSA sampai 4 HSA dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan bahwa hanya terdapat perbedaan yang diaplikasikan
nematoda (200, 400, dan 600 ji) dengan kontrol. Sedangkan perlakuan 200, 400
dan 600 ji menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Tabel 2 menunjukkan bahwa
jumlah kematian 100% baru dijumpai pada pengamatan 3 HSA, yaitu pada semua
perlakuan 600 ji. Pada pengamatan 4 HSA semua larva M. plana yang
diaplikasikan Steinernema sp. telah mengalami mortalitas 100% baik pada
aplikasi sore maupun pada pagi hari.
Tabel 2 menunjukkan bahwa secara umum mortalitas pada aplikasi sore
lebih tinggi dari pagi, tetapi hal tersebut tidak berbeda nyata secara statistik. Hal
ini disebabkan karena pada saat aplikasi kondisi suhu pada pagi dan sore hari
relatif sama yaitu 26-270C (Lampiran 14). Sesuai dengan yang dinyatakan oleh
Poinar dan Thomas (1985), bahwa dibutuhkan suhu 15-280
Tabel 2. Persentase mortalitas M. plana di lapangan.
C dan kelembaban
70-80% untuk perkembangan nematoda.
Perlakuan % Mortalitas aplikasi pagi % Mortalitas aplikasi sore
1 HSA 2 HSA 3 HSA 4 HSA 1 HSA 2 HSA 3 HSA 4 HSA
Keterangan : angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji beda nyata terkecil (BNT)
pada α=5%.
Populasi akhir Steinernema sp.
Data penambahan populasi Steinernema sp. pada setiap ekor M. plana dan
sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 12 dan 13. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi nematoda Steinernema sp. menunjukkan
terhadap meningkatnya populasi Steinernena sp. baik pada aplikasi pagi maupun
pada sore hari. Rataan meningkatnya populasi Steinernema sp. pada aplikasi pagi
maupun sore dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Rataan penambahan populasi Steinernema sp. pada aplikasi pagi hari.
Perlakuan
Aplikasi pagi
M. plana
(ekor)
Populasi Steinernema sp.
Penambahan/ekor
Ket: *:angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata menurut uji beda terkeci (BNT) pada α=5%.
Tabel 4. Rataan penambahan populasi Steinernema sp. pada aplikasi sore hari
Perlakuan
Aplikasi sore
M. plana
(ekor)
Populasi Steinernema sp.
Penambahan/ekor
Ket: *:angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji beda nyata terkecil (BNT) pada
α=5%.
Hubungan penambahan populasi Steinernema sp. dengan kerapatan
Steinernema sp. dapat dilihat pada Gambar 6.
Kerapatan populasi Steinernema sp.
Gambar 6. Hubungan penambahan populasi Steinernema sp. dengan
kerapatan Steinernema sp.
Gambar 6 menunjukkan bahwa aplikasi pada sore hari, penambahan
populasi Steinernema sp. lebih tinggi dibandingkan dengan aplikasi pada pagi
hari walau hal tersebut tidak berbeda nyata secara statitik. Hal ini disebabkan pada
saat aplikasi kelembaban pada sore hari mengalami peningkatan pada saat
menjelang malam sampai pagi hari. Poinar (1979) menyebutkan bahwa
kelembaban merupakan syarat utama agar nematoda dapat bertahan hidup. Pada
kelembaban relatif yang optimum berkisar antara 70-80%, nematoda akan
bertahan sampai 20 hari. Nutrien yang ada dalam tubuh M. plana akan menjadi
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Hasil identifikasi nematoda entomopatogen dari lokasi Langkat, Deli
Serdang dan Serdang Bedagai diperoleh genus Steinernema.
2. Hasil uji laboratorium didapat pada dosis 180 ji Steinernema sp. sudah
mampu mematikan larva M. plana 100% pada 2 HSA.
3. Hasil uji lapangan, Steinernema sp. dapat mematikan larva M. plana
hingga 100% pada 3 HSA yaitu pada perlakuan 600 ji.
4. Aplikasi Steinernema sp. untuk mengendalikan M. plana di lapangan
dapat dilakukan pada pagi atau sore hari.
Saran
Untuk mengendalikan M. plana di lapangan dapat digunakan Steinernema
Basri, M.W, Norman K., Hamdan A.B., dan Zulkifli M. 1993. Natural enemies of the bahworm Metisa Plana walker (Lepidoptera: Phsycidae) and their impact on host population regulation. PORIM Malaysia.
Bedding, R.A., 1981. Nematodes and the Biological Control of Insect Pest. Australia : CSIRO
Boemare. N.E., Lanmond dan H. Mauleon. 1996. The Ondopathogenic nematodes Bacterium Complex, Biology, Life Cycle and Vertebrate Safety. Biocontrol Science and technologi.
Brown. S.E., A.T. Cao, P.Dopson, E.R. Hines, R.J. Akhurst dan P.D. East. 2006.
A Ubiquitous From Xenorhabdus and Photorhabdus Bacteria. Environ.
Microbial.
Chung, G.F. dan R. Narendran. 1996. Insectiside screening for bagworm control. PORIM International Palm Oil Congress Proc.
Direktorat Jendral Perkebunan, 2009. Sawit Indonesia Untuk Dunia. Diunduh
di
Ebsa, I.,C. Borgemeister, O.Berndt, and H.M. Poehling. 2001. Efficacy of entomopathogenic nematodes against soil-dwelling life stages og western
flower thrips, Frankliniella occidentalis (Thysanoptera: Thripidae). Journal
Invertebrata Pathology. 78: 119-127.
Gaugler. R., 2001. Entomopathogenic Nematology. Department of Entomology Rutgers University New Brunswick, New Jersey. USA. 2 – 20.
Gomez, K.A., dan Gomez, A.A. 2007. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi kedua. Universitas Indonesia Press.
Grewal. P.S and Ruisheng An. 2007. Differences in the virulence of
Heterorhabditis bacteriophora and Steinernema scarabaei to three white
grub species: The relative contribution of the nematodes and their symbiotic bacteria. Department of Entomology, The Ohio State University, 1680 Madison Avenue, Wooster, OH 44691, USA.
DiunduhJuly 2007).
Hakim, M., 2007. Buku Pegangan Agronomis dan Pengusaha Kelapa Sawit. Lembaga Pupuk Indonesia. Jakarta.
Head, J., A. Lauwrence, and K. Walters. 2004. Efficacy of the entomopathogenic
nematode, Steinernema feltie, against Bemisia tabaci in relation to plant
Kaya. H. K., 1996. Contemporary Issues in Biological Control with Entomophatogenic Nematodes. Department of Nematology. Univ. of California.
Lisanti dan B.J. Wood. 2009. Observasi pengaruh metoda pengendalian selektif dan non selektif pada hama ulat api Setothosea asigna (Lepidoptera: Limacodidae) di Perkebunan kelapa sawit PT Lonsum. Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan.
Mahmoud, M.F. and Osman, M.A.M, 2007. Use of the nematode Steinernema
feltie Cross N 33 as a biological control agent against the Peach Fruit Fly
Bactrocera zonata. Tunism Journal of Plant Protection. 2: 109-115.
Norman, K., Basri, M W and Zulkefli M. (1998). Handbook of Common Parasitoid and Predator Associated with Bagworm and Nettle Caterpillars in oil Palm Plantations. PORIM, Bangi. 29 pp.
Nugrohorini, Wagiyana, dan Mindari, W., 2009. Pengembangan dan pemanfaatan agens hayati (Nematoda Entomopatogen) pada budidaya sayuran di Jawa Timur.
Poinar, G.O. 1979. Nematoda for Biological Control for Insect. CRC Press. Boca Raton, Florida. pp. 129-134
__________ 1983. The natural history of nematodes. Prentice Hall, Englewood Cliffs. 323. Pp
Poinar, G. O. dan G. M. Thomas, 1985. Laboratory Guide to Insect Pathogens and Parasites. College of natural Resources University of California. Plenum Press New York and London. Hal 235-257
Prabowo Heri dan IG.A.A. Indrayani, 2009. Potensi Nematoda Pathogen Serangga Steinernema spp Dalam Pengendalian Hama Utama Tanaman kapas. Balai penelitian tanaman Tembakau dan Serat. Jalan Raya Karangploso km. 4, Malang.
Prasetijono. H. 2007. Optimalisasi Potensi Agens Hayati Dalam Upaya Pengendalian OPT Tanaman Perkebunan . BBP2TP Surabaya.
Prawirosukarto, S. A. Djamin dan Dj. Pardede., 1997. Pengendalian Ulat Pemakan Daun Kelapa sawit. Pertemuan Teknis kelapa sawit.
Purba R.Y, Susanto A, dan Prawirosukarto S., 2005. Hama-hama tanaman kelapa sawit. Pusat Penelitian Kelapa sawit (PPKS).
Ramlah, A.S., M.W. Basri dan M. Ramlee. 1996. Isolation and amplification baculovirus as biocontrol agent for bagworms and nettle caterpillars of oil palm.
Salame, L. dan Glazer, I., 2000. Osmotik Survival of The Entomopathogenic
Nematode Steinernema. Department of Nematologi. Volcani Center, Israel.
P. 251-257.
Shapiro, D. I. and Lewis, E. E. 1999. Comparison of entomopathogenic nematodes infectivity from infected hosts versus aqueous suspension. Environ. Entomol. 28: 907-911.
Simoes. N., dan Rosa. 1996. Pathogenecity of the Complex Steinernema
carpacapsae, Xenorhabdusnemathophilus: Molecular Aspect Related with
Virulence. Bio. Sci. Technol. 6:73
Smigielsky, A. J. and R. J. Akhurst. 2004. Megaplasmid in Xenorhabdus and
Photorhabdus spp. Bacterial symbionts of entomophatogenic nematodes.
J. invert. Pathol. 64: 214-220
Subagiya, 2005. Pengendalian Hayati dengan Nematoda Entomogenus
Steinernema carpocapsae (All) Strain Lokal terhadap Hama Crocidolomia
binotalis Zell. di Tawangmangu, Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian,
UNS- Surakarta.
Susanto. A., Purba. R.Y., dan Prasetyo. A.E. 2010. Hama dan Penyakit Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Tampubolon. M.P. 2004. Prospek Pengendalian Penyakit Parasitik dengan Agen Hayati. Bagian Parasitologi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
Tanada, Y. dan H.K. Kaya, 1993. Entomopathogeneous nematodes for insect control in IPM system. Academic Press. New York.
Untung, K. 1984. Pengantar analisis ekonomi pengendalian hama terpadu. Andi offset, Yogyakarta, 92 p.
Wahyono, T.E., dan N. Tarigan, 2007. Uji Patogenitas Beauveria bassiana dan
Metharizium anisopliae Terhadap Ulat Serendang (Xystrocera festivae).
Available at http;//www.putaka-deptan.go.id. Diakses 11 Maret 2008.
Lampiran 1. Data persentase mortalitas M.plana 1 HSA di laboratorium pada aplikasi
Steinernema sp.
0, 90, 180 dan 270 ji.
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III IV
Data persentase mortalitas M.plana 1 HSA di laboratorium pada aplikasi Steinernema sp. 0, 90, 180
dan 270 ji. setelah transformasi X+0.5
Tabel dwikasta
Perlakuan M1 M2 M3 Total Rataan
N0 2.84 2.84 2.84 8.52 2.84
N1 32.93 31.69 31.07 95.69 31.90
N2 40.08 40.08 40.08 120.24 40.08
N3 40.08 40.08 40.08 120.24 40.08
Total 115.93 114.69 114.07 344.69 114.90
Rataan 28.98 28.67 28.52
Daftar sidik ragam
SK DB JK KT Fhit. Ket. 5% 0.01
JK BLOK 3 0.66 0.22 3.15 tn 2.89 4.44
JKM 2 0.11 0.06 1.00 tn 3.29 5.32
JKN 3 703.47 234.49 3373.41 * 2.89 4.44
JKNxM 6 0.34 0.06 0.81 tn 2.39 3.40
JK sisa 33 2.29 0.07
JK Total 47 706.87
Keterangan :
FK = 2475.23
KK = 3.67%
*= nyata
Lampiran 2. Data persentase mortalitas M.plana 2 HSA di laboratorium pada aplikasi
Steinernema sp.
0, 90, 180 dan 270 ji.
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III IV
Data persentase mortalitas M.plana 2 HSA di laboratorium pada aplikasi Steinernema sp. 0, 90, 180
dan 270 ji. setelah transformasi X+0.5
Tabel dwikasta
Perlakuan M1 M2 M3 Total Rataan
N0 2.84 2.84 2.84 8.52 2.84
N1 38.46 38.46 37.84 114.76 38.25 N2 40.08 40.08 40.08 120.24 40.08 N3 40.08 40.08 40.08 120.24 40.08 Total 121.46 121.46 120.84 363.76 121.25
Rataan 30.37 30.37 30.21
Daftar sidik ragam
SK DB JK KT Fhit. Ket 5% 0.01
JK BLOK 3 0.83 0.28 1.34 tn 2.89 4.44
JKM 2 0.02 0.01 1.00 tn 3.29 5.32
JKN 3 756.45 252.15 1212.07 * 2.89 4.44
JKNxM 6 0.05 0.01 0.04 tn 2.39 3.40
JK SISA 33 6.87 0.21
JK TOTAL 47 764.22
Keterangan :
FK = 2756.69
KK = 6.02 %
*= nyata
Lampiran 3. Data persentase mortalitas M.plana 3 HSA di laboratorium pada aplikasi
Steinernema sp.
0, 90, 180 dan 270 ji.
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III IV
Data persentase mortalitas M.plana 3 HSA di laboratorium pada aplikasi Steinernema sp. 0, 90, 180
dan 270 ji. setelah transformasi X+0.5
Tabel dwikasta
Perlakuan M1 M2 M3 Total Rataan
N0 2.84 2.84 2.84 8.52 2.84
N1 40.08 40.08 40.08 120.24 40.08
N2 40.08 40.08 40.08 120.24 40.08
N3 40.08 40.08 40.08 120.24 40.08
Total 123.08 123.08 123.08 369.24 123.08
Rataan 30.77 30.77 30.77
DAFTAR SIDIK RAGAM
SK DB JK KT F hit. Ket F tabel
5% 0.01
JK BLOK 3 0.001 0.001 1.00 tn 2.89 4.44
JKM 2 0.001 0.001 1.00 tn 3.29 5.32
JKN 3 780.08 260.03 260028.30 ** 2.89 4.44
JKNxM 6 0.001 0.001 1.00 tn 2.39 3.40
JK SISA 33 0.001 0.001
JK TOTAL 47 780.09
Keterangan :
FK = 2840.38
KK = 0.41%
tn = tidak nyata
Lampiran 4. Data populasi M.plana di lapangan 1 HSA pada aplikasi Steinernema sp. pagi hari 0, 200,
400, 600 ji
Perlakuan Ulangan Total Rataan
DAFTAR SIDIK RAGAM
SK DB JK KT Fhit Ket 5% 0.01
JK BLOK 3 232.42 77.47 4.85 * 2.89 4.44
JKM 2 96.50 48.25 1.56 tn 3.29 5.32
JKN 3 677.42 225.81 14.12 * 2.89 4.44
JKNxM 6 185.33 30.89 1.93 tn 2.39 3.40
JK SISA 33 527.58 15.99
JK TOTAL 47 1719.25
Keterangan :
FK = 13668.75
KK = 23.69%
tn = tidak nyata
Lampiran 5. Data populasi M.plana di lapangan 2 HSA pada aplikasi Steinernema sp. pagi hari 0, 200,
400, 600 ji
Perlakuan Ulangan Total Rataan
DAFTAR SIDIK RAGAM
SK DB JK KT Fhit Ket Ftabel
5% 0.01
JK BLOK 3 83.56 27.85 1.86 tn 2.89 4.44
JKM 2 0.85 0.43 0.01 tn 3.29 5.32
JKN 3 1551.48 517.16 34.59 ** 2.89 4.44
JKNxM 6 254.65 42.44 2.84 tn 2.39 3.40
JK SISA 33 493.44 14.95
JK TOTAL 47 2383.98
Keterangan :
FK = 7081.02
KK = 31.84%
** = sangat nyata
Lampiran 6. . Data populasi M.plana di lapangan 3 HSA pada aplikasi Steinernema sp. pagi hari 0, 200,
400, 600 ji
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III IV
Data populasi M.plana di lapangan 3 HSA pada aplikasi Steinernema sp. pagi hari 0,200, 400, 600 ji setelah transformasi X+0.5
Tabel dwikasta
Perlakuan M1 M2 M3 Total Rataan
N0 21.07 16.75 18.29 56.12 18.71
N1 8.46 9.91 9.78 28.15 9.38
N2 4.47 3.70 7.29 15.45 5.15
N3 2.83 2.83 2.83 8.49 2.83
Total 36.83 33.19 38.19 108.21 36.07
Rataan 9.21 8.30 9.55
DAFTAR SIDIK RAGAM
SK DB JK KT Fhit Ket. Ftabel
0.05 0.01
JK BLOK 3 2.70 0.90 1.86 tn 2.89 4.44
JKM 2 0.84 0.42 0.69 tn 3.29 5.32
JKN 3 110.43 36.81 76.18 ** 2.89 4.44
JKNxM 6 3.65 0.61 1.26 tn 2.39 3.40
JK SISA 33 15.94 0.48
JK TOTAL 47 133.56
Keterangan :
FK = 243.94
KK = 30.83%
tn = tidak nyata
Lampiran 7. Data populasi M.plana di lapangan 4 HSA pada aplikasi Steinernema sp. pagi hari 0, 200,
400, 600 ji
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III IV
Data populasi M.plana di lapangan 4 HSA pada aplikasi Steinernema sp. pagi hari 0, 200, 400, 600 ji setelah transformasi X+0.5
Tabel dwikasta
Perlakuan M1 M2 M3 Total Rataan
N0 21.07 16.75 18.29 56.12 18.71
N1 2.83 2.83 2.83 8.49 2.83
N2 2.83 2.83 2.83 8.49 2.83
N3 2.83 2.83 2.83 8.49 2.83
Total 29.55 25.24 26.78 81.57 27.19
Rataan 7.39 6.31 6.69
DAFTAR SIDIK RAGAM
SK DB JK KT Fhit. Ket Ftabel
5% 0.01
JK BLOK 3 1.10 0.37 2.96 * 2.89 4.44
JKM 2 0.60 0.30 1.00 tn 3.29 5.32
JKN 3 141.79 47.26 380.13 ** 2.89 4.44
JKNxM 6 1.79 0.30 2.40 * 2.39 3.40
JK SISA 33 4.10 0.12
JK TOTAL 47 149.38
Keterangan :
FK = 138.62
KK = 20.75%
tn = tidak nyata
** = sangat nyata
Lampiran 8. . Data populasi M.plana di lapangan 1 HSA pada aplikasi Steinernema sp. sore hari 0, 200, 400, 600 ji
Perlakuan Ulangan Total Rataan