ANTARA “SEPAKBOLA GAJAH” DENGAN POLITISI PARLEMEN INDONESIA
Oleh: GPB Suka Arjawa
Kiranya ada persamaan antara sepakbola dengan peristiwa politik yang terjadi di parlemen Indonesia. Dalam beberapa hari terakhir, setelah kegagalan di Asian Games dan hancur leburnya U-19 di Myanmar, dua kesebelasan Indonesia membuat peristiwa menghebohkan. PSS Sleman dan PSIS Semarang diduga sangat kuat melakukaan “sepakbola gajah” yang masing-masing membunuhdirikan golnya dengan skor 3-2 untuk PSS Sleman. Seluruh gol tersebut adalah hasil dari bunuh diri. Konon keduanya sengaja
mengalahkan diri demi menghindari Borneo FC dalam partai semifinal kompetisi PSSI. Peristiwa itu tidak saja mencoreng muka sepakbola Inddonesia yang telah coreng moreng tetapi juga megguncang sepakbola dunia, sehingga FIFA (federasi sepakbola dunia) akan melakukan penyelidikan atas peristiwa itu. “Sepakbola gajah” ini sudah yang ketiga kali menimpa Indonesia setelah sebelumnya tahun 1988, Persebaya secara “digjaya” kalah 0-12 dari Persipura akibat takut berhadapan dengan PSIS Semarang di pertandingan lanjutan kompetisi PSSI. Dan dalam satu kejuaraan Piala Tiger 1998, Indonesia mengalah 2-3 dari Thaailand demi menghindari Vietnam di semifinal.
Hanya berselisih beberapa hari dari kasus PSS Sleman dengan PSIS ini, jagat parlemen Indonesia juga
heboh ketika beberapa anggotanya memperlihatkan “kehebatan” dengan menjungkirbalikkan meja milik
negara di gedung parlemen saking tidak mampunya menguasai emosi. Persitiwa itu terjadi hanya
beberapa minggu setelah sebelumnya parlemen Indonesia heboh saat adanya pengesahan undang-undang pemilihan kepala daerah, termasuk juga saat ada perebutan pimpinan di lembaga tersebut. Setelah peristiwa penjungkirbalikkan meja (yang tidak bernyawa ini) ada lagi persitiwa politik, ketika disebutkan lembaga parlemen terbelah dua karena dua kelompok besar di parlemen membentuk kekuatan politik sendiri-sendiri. Yang satunya merebut semua ketua alat kelengkapan parlemen sedang pihak lain melakukan mosi tidak percaya.
Dua peristiwa, olahraga dan politik ini, menghebohkan dan berhasil membangun humor di tingkat akar rumput, tua-muda, kaya-miskin saat masyarakat sedang melakukan gotong royong, kerja sosial sampai dengan kenduri bersama. Rakyat menertawai peristiwa tersebut, bukan karena prestasi tetapi karena sudah tidak berprestasi, membikin malu negara lagi. Sepakbola Indonesia akhir-akhir ini boleh dikatakan tidak terlalu berprestasi. Sedangkan berbagai tingkah politisi Indonesia di parlemen, bukan mampu
menghangatkan suasana tetapi malah sempat membikin ketegangan di tingkat masyarakat. Move dua kelompok yang ada itu sering mengkhawatirkan masyarakat. Malah satu bulan setelah dilantik menjadi anggota parlemen, pekerjaan mereka nyaris tidak mampu membuat optimis masyarakat. Meskipun kelompok elit yang ada di eksekutif sudah berupaya keras mengurangi tensi politik Indonesia, tetapi sikap para politisi di parlemen ini sampai sekarang masih belum mampu memberikan rasa nyaman. Sepakbola Indonesia sampai sekarang masih belum mampu memuaskan mayoritas masyarakat. Malah membikin malu. Tidak keliru kemudian ketika masyarakat memfavoritkan pemain dan tim yang ada di liga luar negeri.
mengabaikan proses. Padahal, titik kulminasi perjuangan manusia justru dilihat dari bagaimana mereka itu menjalani dan melalui proses ini. Apabila proses diabaikan, maka kuasa dan kekuasaan tersebut sama sekali tidak ada artinya. Ia tidak mempunyai prestise apalagi prestasi. Pencapaian kekuasaan sangat berkorelesai dengan proses karena di dalam proses ini ada aturan-aturn yang harus ditaati. Aturan ini merupakan cerminan moral, norma dan budaya masyarakat. Prestasi dan prestise yang disadarkan pada aturan akan mendapatkan posisi yang sangat positif di masyarakat. Sebaliknya mereka yang mendapatkan kekuasaan akibat mengabaikan hal itu tidaklah berbeda dengan dengan orang yang tidak bermoral, tidak tahu norma dan boleh juga dikatakan tidak berbudaya. Sebaliknya, meskipun tidak berhasil menduduki kekuasaan akan tetapi apabila melakukan proses secara positif, rakyat justru mengapresiasi dengan baik.
Sekadar contoh. Di bidang olahraga, kesebalasan Belanda tahun 2010 mendapat sambutan hangat di negaranya kendati tidak mampu menjadi juara dunia (kalah 0-1) dari Spanyol. Tetapi karena prosesnya dilakukan dengan heroik, mereka tetap disambut luar biasa di negaranya. Para penggemar sepakbola pasti tahu bagaimana sambutan rakyat Kosta Rika kepada akesebelasannya yang tampil di Piala Dunia 2014. Meski tidak menjadi juara tetapi penampilan heroic dan semangat membara, membuat mereka pantas menjadi panutan dunia, inspirasi bagi generasi muda. Pada bidang politik, orang sangat mengapresiasi cara-cara Amerika Serikat memilih presiden dan cara-cara India memilih perdana menteri. Proses selalu berlangsung baik dan pihak yanhg kalah mengakui kekalahannya di muka umum dengan cara member selamat kepada pihak yang menang.
Juara dalam sebuah kompetisi olahraga, adalah kekuasaan yang bersifat terbuka. Pada dunia sepakbola mislanya, kekuasaan itu secara terbuka didapatkan dengan mengalahkan lawan-lawan sehingga mampu tampil sebagai yang terbaik. Dengan posisi seperti itu, apabila itu terjadi pada tingkat klub, para pemainnya yang menjadi juara mempunyai hak dan pandangan lebih tinggi untuk menjadi pemain nasional. Dalam liga professional di luar negeri, klub juara biasanya mendapat bayaran mahal dan laris. Ini adalah kekuasaan karena mampu meemberikan pengaruh kepada pihak lain. Pada bidang politik, siapa yang berkuasa akan mampu membuat keputusan dan kebijakan kepada negara secara lebih mayoritas. Kekuasaan dipandang sebagai power untuk mempengaruhi. Itulah yang membuat kakuasaan dicari dan diincar. Baik PSS Seleman maupun PSIS Semarang mencobba meraih kekuasaan itu demi prestise mereka dan pengaruh mereka di devisi utama sepakbola Indoensia. Dan mereka yang menyapu bersih segenap pimpinan DPR beserta alat perlengkapannya, adalah untuk mendapatkan pengaruh di republic ini.
Akan tetapi apabila kekuasaan itu hanya didapatkan dengan cara-cara yang tidak benar, dengan proses yang melanggar aturan, maka kekuasaan itu hanya memberikan kekecewaan kepada masyarakat, pembelajaran yang keliru kepada generasi muda dan tidak mampu memberikanb inspirasi positif kepada masyarakat. Kekuasaan seperti itu hanya meraih kecaman dari mana-mana.****