PENGETAHUAN DAN PERILAKU DOKTER GIGI TERHADAP
PENCABUTAN GIGI PADA PENDERITA DIABETES MELITUS
DI KECAMATAN MEDAN SELAYANG PERIODE
JANUARI-FEBRUARI 2014
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh :
RIZKY ANNISA AMRIS LUBIS
NIM: 100600154
PEMBIMBING:
SHAUKAT OSMANI HASBI, drg, Sp. BM
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial
Tahun 2014
Rizky Annisa Amris Lubis
Pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap tindakan pencabutan gigi pada
penderita diabetes mellitus di Kecamatan Medan Selayang periode Januari-Februari
2014.
x + 48 halaman
Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit kompromis medis yang akan
mempengaruhi prosedur pencabutan gigi karena merupakan golongan penyakit
kompleks dari kelainan endokrin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kategori
pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap tindakan pencabutan gigi pada
penderita diabetes mellitus di Kecamatan Medan Selayang. Jenis penelitian ini adalah
survei deskriptif dengan populasi seluruh dokter gigi yang berpraktik di praktik
dokter gigi, puskesmas, maupun rumah sakit di Kecamatan Medan Selayang, yaitu
sebanyak 73 orang. Penentuan sampel penelitian menggunakan teknik total sampling,
dimana seluruh populasi dijadikan sampel tetapi sampel harus termasuk dalam
kriteria inklusi dan terbebas dari kriteria eksklusi. Hasil penelitian menunjukkan
pada kategori yang juga baik (86,2%). Pengetahuan responden masih kurang pada
pemberian saran diet yang tepat pada pasien diabetes mellitus (48,3%). Dari segi
perilaku, hanya 12,1% responden yang melakukan pencabutan gigi pada waktu yang
tepat dan 29,3% responden yang selalu melakukan tes skrining sebelum pencabutan
gigi dilakukan. Pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap pencabutan gigi pada
penderita diabetes mellitus di Kecamatan Medan Selayang sudah tergolong baik,
meskipun ada beberapa pengetahuan dan perilaku responden yang harus lebih
ditingkatkan agar mendapatkan hasil yang lebih baik.
PENGETAHUAN DAN PERILAKU DOKTER GIGI TERHADAP
PENCABUTAN GIGI PADA PENDERITA DIABETES MELITUS
DI KECAMATAN MEDAN SELAYANG PERIODE
JANUARI-FEBRUARI 2014
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh :
RIZKY ANNISA AMRIS LUBIS
NIM: 100600154
PEMBIMBING:
SHAUKAT OSMANI HASBI, drg, Sp. BM
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan
di hadapan tim penguji skripsi
Medan, 29 Maret 2014
Pembimbing: Tanda Tangan
Shaukat Osmani Hasbi, drg., Sp.BM ……….
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini dipertahankan di hadapan penguji
pada tanggal 29 Maret 2014
TIM PENGUJI
KETUA : Rahmi Syaflida, drg., SpBM
ANGGOTA : 1. Olivia Avriyanti Hanafiah, drg., Sp.BM
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunia-Nya, sehingga skripsi ini selesai disusun untuk memenuhi salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara.
Dengan hati yang tulus penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada dosen pembimbing skripsi yaitu Shaukat Osmani Hasbi, drg., Sp. BM yang
telah meluangkan waktu dan kesabaran dalam membimbing penulis demi selesainya
skripsi ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua
penulis, Ayahanda Nasril Amris Lubis, S.H, M.Hum dan Ibunda tercinta Roswita
Dewi, S.Pd yang telah memberikan kasih sayang, doa, dan dukungan serta segala
bantuan baik berupa moril maupun materil yang tidak terbatas kepada penulis.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Eddy Anwar Ketaren, drg., Sp. BM selaku ketua Departemen Bedah Mulut
dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Sumatera Utara.
2. Seluruh staf pengajar dan laboran Departemen Bedah Mulut Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan saran dalam
penyelesaian skripsi ini.
3. Lisna Unita, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis selama menjalankan akademik.
4. Adikku tersayang Andre Fauzan Amris Lubis atas kasih sayang, doa,
dukungan, serta pengorbanan untuk kebahagiaan penulis.
5. Teman-teman terbaikku Brian Merchantara Winato, Ivan Poltak Sitompul,
Vincent Gomulia, Joseph Dede Hartanta Ginting, Blisa Novertasari, S.KG, Nurul
Rahmy, Anggraeny, Wesley Kuandinata, S.KG, Vinny Calyanto, Fany Yunita
Sumartin yang selalu memberi dukungan dan semangat serta selalu cerita menjalani
6. Teman seperjuangan skripsi di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial
Ghina Addina, Rizky Puspita, dan teman-teman lain serta seluruh teman mahasiswa
stambuk 2010 atas dukungan, saran, dan bantuannya kepada penulis.
7. Orang-orang terdekatku Yudha Alifiandra, Tania Nurul Huda Syahar,
Swastika Nusantari, Farhan Mar’I Isa, Ricky Afrianto, Tomy Kesuma Putra, S.Ked,
M. Arief Pratama S.Ked, Farhan Luthfi, Mulki Makmun, Khairina Atyqa atas
dukungan dan semangat untuk kebahagiaan penulis.
Penulis menyadari kelemahan dan keterbatasan ilmu yang penulis miliki
menjadikan skripsi ini masih perlu perbaikan, saran, dan kritik untuk ke depannya
sehingga menjadi lebih baik. Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini
dapat digunakan dan memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Medan, 13 Februari 2014
Penulis,
(Rizky Annisa A. Lbs)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...
KATA PENGANTAR……….. iv
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR TABEL………..……. viii
DAFTAR GAMBAR……… ix
DAFTAR LAMPIRAN……… x
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang………...………...….1
1.2Permasalahan……….………...……... 3
1.3Tujuan Penelitian.………...………..…3
1.4Manfaat Penelitian……….………..…… 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..………...… 5
2.1Pengetahuan dan Perilaku.………..…. 5
2.2Pencabutan Gigi…….………..… 8
2.3Diabetes Melitus……….……...……… 10
2.3.1 Patofisioliogi……….…….. 10
2.3.2 Klasifikasi Diabetes Melitus (DM)...…………..……… 12
2.3.2.1Diabetes Melitus Tipe 1…..…….……….…………..…..….. 13
2.3.2.2Diabetes Melitus Tipe 2...……….………...…….. 14
2.3.2.3Diabetes Melitus Gestasional……...………...… 15
2.3.3 Tanda dan Gejala Diabetes Melitus...……….……....……... 15
2.3.4 Diagnosis Diabetes Melitus..………... 16
2.3.5 Komplikasi Oral Yang Ditimbulkan Oleh Diabetes Melitus... 17
2.3.5.1Gingivitis dan Penyakit Periodontal..…….………...….. 18
2.3.5.2Disfungsi Kelenjar Saliva dan Xerostomia..…….……...…… 19
2.3.5.3Kandidiasis…...……… 19
2.3.5.4Sindroma Mulut Terbakar (Burning Mouth Syndrome)…...… 20
2.3.5.5Lichen Planus……...……… 21
2.3.5.6Infeksi Oral Akut……....……….. 21
2.4.1 Tes Skrining………...……….. 22
2.4.2 Waktu Pencabutan Gigi.……….. 22
2.4.3 Diet……….. 23
2.4.4 Diabetes dan Infeksi...………. 23
2.4.5 Pemberian Anestesi Lokal..………. 23
2.4.6 Pemberian Obat...………...………. 24
2.4.7 Penyembuhan Luka...………..……… 24
2.4.8 Kadar Gula Darah Saat Pencabutan Gigi Dilakukan.….……. 25
2.5 Keadaan Darurat Pada Diabetes Melitus....………. 25
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN………...…... 27
3.1Rancangan Penelitian………. 27
3.2Lokasi dan Waktu Penelitian………. 27
3.3Populasi dan Sampel Penelitian………. 27
3.4Identifikasi Variabel Penelitian………...……….. 28
3.5Definisi Operasional...………...……… 28
3.6Metode Pengumpulan Data……… 29
3.7Pengolahan dan Analisis Data………...……… 30
3.8Aspek Pengukuran...……….. 31
BAB 4 HASIL PENELITIAN……… 33
4.1 Gambaran Responden.………. 33
4.2 Pengetahuan Responden Tentang Pencabutan Gigi Terhadap Pasien Diabetes Mellitus…………..……… 33
4.3 Perilaku Responden Tentang Pencabutan Gigi Terhadap Pasien Diabetes Mellitus...……… 35
BAB 5 PEMBAHASAN………....………. 39
BAB6 KESIMPULAN DAN SARAN……….. 45
6.1 Kesimpulan..………. 45
6.2 Saran….……… 46
DAFTAR PUSTAKA……….……… 47
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Variabel dan Definisi Operasional………. 28
2. Kategori Nilai Pengetahuan……….... 31
3. Kategori Nilai Perilaku………... 32
4. Kriteria dan Jumlah Responden Dokter Gigi……….. 33
5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Pencabutan Gigi terhadap Pasien Diabetes Mellitus (n = 58)…………. 34
6. Kategori Pengetahuan Responden tentang Pencabutan Gigi Terhadap Pasien Diabetes Mellitus (n = 58)………... 34
7. Distribusi Frekuensi Perilaku Responden tentang Pencabutan Gigi terhadap Pasien Diabetes Mellitus (n = 58)……… 36
8. Kategori Perilaku Responden tentang Pencabutan Gigi terhadap Pasien Diabetes Mellitus (n = 58)……… 37
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Daftar Riwayat Hidup
2. Kuesioner Pengetahuan dan Perilaku Dokter Gigi Terhadap Tindakan
Pencabutan Gigi Pada Penderita Diabetes Mellitus di Kecamatan Medan
Selayang
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial
Tahun 2014
Rizky Annisa Amris Lubis
Pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap tindakan pencabutan gigi pada
penderita diabetes mellitus di Kecamatan Medan Selayang periode Januari-Februari
2014.
x + 48 halaman
Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit kompromis medis yang akan
mempengaruhi prosedur pencabutan gigi karena merupakan golongan penyakit
kompleks dari kelainan endokrin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kategori
pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap tindakan pencabutan gigi pada
penderita diabetes mellitus di Kecamatan Medan Selayang. Jenis penelitian ini adalah
survei deskriptif dengan populasi seluruh dokter gigi yang berpraktik di praktik
dokter gigi, puskesmas, maupun rumah sakit di Kecamatan Medan Selayang, yaitu
sebanyak 73 orang. Penentuan sampel penelitian menggunakan teknik total sampling,
dimana seluruh populasi dijadikan sampel tetapi sampel harus termasuk dalam
kriteria inklusi dan terbebas dari kriteria eksklusi. Hasil penelitian menunjukkan
pada kategori yang juga baik (86,2%). Pengetahuan responden masih kurang pada
pemberian saran diet yang tepat pada pasien diabetes mellitus (48,3%). Dari segi
perilaku, hanya 12,1% responden yang melakukan pencabutan gigi pada waktu yang
tepat dan 29,3% responden yang selalu melakukan tes skrining sebelum pencabutan
gigi dilakukan. Pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap pencabutan gigi pada
penderita diabetes mellitus di Kecamatan Medan Selayang sudah tergolong baik,
meskipun ada beberapa pengetahuan dan perilaku responden yang harus lebih
ditingkatkan agar mendapatkan hasil yang lebih baik.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Prosedur bedah mulut merupakan prosedur yang banyak memiliki tantangan,
terlebih lagi apabila terdapat pertimbangan perawatan tambahan karena adanya pasien
resiko tinggi. Dengan makin banyaknya kelompok usia lanjut, maka kelompok
tersebut semakin memerlukan perhatian khusus.1 Pasien yang mengidap penyakit
kardiovaskular, saluran pernapasan, kelainan endokrin, dan sebagainya akan menjadi
lebih banyak.1,2 Kondisi-kondisi tersebut dan perubahan-perubahan lainnya yang
menyertai proses penuaan mengharuskan dokter gigi untuk membiasakan diri dengan
proses-proses penyakit yang biasanya berkaitan, pengobatan yang akan dilakukan,
dan modifikasi perawatannya.1
Dokter gigi khususnya ahli bedah mulut dan maksilofasial, harus mengetahui
status fisik dan emosional pasiennya. Informasi ini merupakan hal yang signifikan
untuk mengetahui kesehatan pasien ketika akan menjalani pembedahan, misalnya
pencabutan gigi dengan anestesi lokal, terutama pada pasien kompromis medis
dengan masalah pembedahan yang kompleks. Pengambilan riwayat medis yang baik
merupakan metode dimana data yang sangat penting didapatkan untuk evaluasi.
Untuk pasien dengan penyakit medis yang serius, yang kemungkinan memiliki
pemahaman yang terbatas tentang penyakitnya, akan sangat membantu apabila dokter
gigi mendapatkan daftar perawatan yang telah dilakukan pasien.3
Kecurigaan yang didasarkan pada pengetahuan medis merupakan hal yang
paling penting dalam evaluasi pasien. Konsultasi yang tepat dan berpartisipasi
bersama dokter yang biasa merawat pasien juga merupakan hal yang penting untuk
beberapa situasi. Pada masing-masing pasien, dokter gigi harus mengetahui apa
penyebab utama dari penyakit pasien tersebut dan bagaimana ciri-ciri yang timbul
dari penyakit sistemiknya yang dapat mempengaruhi prosedur pencabutan gigi.
studi laboratorium, dan konsultasi lebih lanjut dibutuhkan ketika pasien diketahui
memiliki suatu keadaan kompromis medis.3
Identifikasi pasien yang memerlukan perawatan tambahan didasarkan pada
riwayat pasien dan hasil evaluasi klinik. Hasil skrining tersebut kemudian akan
menentukan apakah akan dilakukan perawatan tanpa modifikasi, perawatan dengan
pendekatan tambahan, maupun menunda perawatan sampai sesudah dilakukan
konsultasi atau merujuk.1
Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit kompromis medis yang akan
mempengaruhi prosedur pencabutan gigi karena merupakan golongan penyakit
kompleks dari kelainan endokrin. Diabetes mellitus merupakan penyakit yang tidak
dapat disembuhkan.4 Pada keadaan ini, kemampuan tubuh untuk menggunakan
karbohidrat berkurang atau hilang sama sekali karena kegagalan aktivitas pankreas.
Hal ini menyebabkan terjadinya hiperglikemia dengan poliuria dan glikosuria,
menghasilkan simptom haus, lapar, pengurangan berat badan, lemah, dan
menurunkan resistensi infeksi pyogenik.3
Penderita diabetes mellitus yang akan melakukan pencabutan gigi harus
mendapat perhatian khusus karena adanya kelainan homeostasis glukosa pada darah.
Jika tidak dirawat, hal ini akan mengakibatkan ketoasidosis. Namun, apabila
perawatannya berlebihan, hal ini akan menyebabkan hipoglikemia.5
Suatu studi menyatakan bahwa pada masa kini, ada lebih dari 18,2 juta orang
yang menderita diabetes mellitus (sekitar 6,3% dari populasi keseluruhan), sedangkan
studi lain menyatakan bahwa prevalensi penderita diabetes mellitus di Amerika
meningkat terus-menerus dimana diperkirakan 16 juta orang atau sekitar 6% populasi
di Amerika menderita diabetes mellitus.4,6 800.000 kasus baru didiagnosa setiap
tahunnya. Hampir 20% orang dewasa yang berusia lebih dari 65 tahun menderita
diabetes mellitus.6
Adapun data epidemiologi prevalensi diabetes mellitus di Jakarta pada tahun
1980 adalah sekitar 1,2%-2,3% dari jumlah penduduk, pada tahun 1982 sekitar 1,7%
dari jumlah penduduk, dan pada tahun 1993 sekitar 5,7% dari jumlah penduduk.
jumlah penduduk, yaitu sekitar 5,6 juta penderita.7 Prevalensi diabetes mellitus
diperkirakan akan meningkat sampai 5,4% dari seluruh penduduk di dunia pada tahun
2025.8
Pertambahan jumlah penderita diabetes pada dewasa dan anak-anak di Amerika
memiliki arti bahwa jumlah pasien dengan persoalan dental yang serius akan terus
bertambah. Sebagai hasilnya, dokter dan dokter gigi harus bekerja sama dalam
melakukan perawatan pada pasien diabetes mellitus dan dokter gigi harus
diberitahukan setiap perubahan yang terjadi selama perawatan dilakukan.9 Maka dari
itu, dokter gigi harus memiliki pengetahuan yang cukup dalam menangani pasien
penderita diabetes mellitus dan menerapkannya dalam perilaku sehari-hari. Hal inilah
yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini di Medan, khususnya
di praktik dokter gigi di Kecamatan Medan Selayang.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini
adalah :
1. Bagaimana pengetahuan dokter gigi mengenai tindakan pencabutan gigi
terhadap penderita diabetes melitus di Kecamatan Medan Selayang periode
Januari-Februari 2014.
2. Bagaimana perilaku dokter gigi yang sesuai dengan tindakan pencabutan gigi
terhadap penderita diabetes melitus di Kecamatan Medan Selayang periode
Januari-Februari 2014.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan
dan perilaku dokter gigi mengenai tindakan pencabutan gigi terhadap penderita
diabetes mellitus di Kecamatan Medan Selayang, dan secara khusus bertujuan:
1. Untuk mengetahui pengetahuan dokter gigi mengenai tindakan pencabutan
gigi terhadap penderita diabetes melitus di Kecamatan Medan Selayang
2. Untuk mengetahui perilaku dokter gigi yang sesuai dengan tindakan
pencabutan gigi terhadap penderita diabetes melitus di Kecamatan Medan
Selayang periode Januari-Februari 2014.
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan diketahuinya hubungan antara pengetahuan dan perilaku dokter gigi
mengenai tindakan pencabutan gigi terhadap penderita diabetes melitus di Kecamatan
Medan Selayang, maka diharapkan dapat menjadi:
1. Sebagai bahan masukan mengenai jumlah dokter gigi yang berpraktik di
Kecamatan Medan Selayang.
2. Untuk menambah informasi bagi dokter gigi dalam melakukan tindakan
pencabutan gigi pada penderita diabetes mellitus sehingga dokter gigi
dapat lebih waspada dalam melakukan prosedur pencabutan gigi.
3. Untuk meminimalkan risiko terjadinya komplikasi sistemik yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengetahuan dan Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, dan rasa. Pengetahuan atau kognitif merupakan hal yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan dapat diperoleh
dari proses belajar yang dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang
berperilaku sesuai dengan keyakinan yang diperoleh, semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka semakin besar kemampuan menyerap, menerima dan
mengadopsi informasi yang didapat. Sementara Soekamto (1997) berpendapat,
pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah melakukan penginderaan terhadap
suatu obyek tertentu yang diperoleh dari pendidikan, pengalaman sendiri maupun
orang lain, media massa maupun lingkungan sekitarnya. Adanya perubahan perilaku
pada seseorang merupakan suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu
relatif lama dimana tahapan yang pertama adalah pengetahuan. Sebelum seseorang
mengadopsi perilaku baru maka harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat
perilaku tersebut bagi dirinya maupun terhadap keluarga atau orang lain.10
Menurut Gibson.dkk (2001), kemampuan seseorang dapat dipengaruhi oleh
pengetahuan dan ketrampilan, sedangkan pengetahuan dapat diperoleh melalui
latihan, pengalaman kerja maupun pendidikan, dan ketrampilan dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor diantaranya sejenis pendidikan, kurikulum, pengalaman praktik
dan latihan.10
Pengetahuan terdiri atas fakta, konsep generalisasi dan teori yang
memungkinkan manusia dapat memahami fenomena dan memecahkan masalah.
1. Melalui pengalaman pribadi secara langsung atau berbagai unsur
sekunder yang memberi berbagai informasi yang sering kali berlawanan
satu dengan yang lain
2. Mencari dan menerima penjelasan-penjelasan dari orang tertentu yang
mempunyai penguasaan atau yang dipandang berwenang
3. Penalaran deduktif
4. Pencarian pengetahuan yang dimulai dengan melakukan observasi
terhadap hal-hal khusus atau fakta yang nyata (induktif).
Pengetahuan mempunyai 5 tingkatan sebagai berikut :11
1. Kesadaran (awareness), orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
2. Tertarik (interest), orang mulai tertarik kepada stimulus.
3. Evaluasi (evaluation), orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap
baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.
4. Mencoba (trial), orang telah mulai mencoba perilaku baru.
5. Menerapkan (adoption), subyek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Sementara itu, Kurt Lewin (1951) merumuskan suatu model hubungan perilaku
yang mengatakan bahwa perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan
lingkungan. Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif,
nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan
kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan
perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku,
bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada karakteristik individu. Hal
inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks.12
Untuk tidak sekedar memahami, tapi juga agar dapat memprediksi perilaku,
Icek Ajzen dan Martin Fishbein mengemukakan Teori Tindakan Beralasan (Theory of
yang dilakukan atas kemauan sendiri), teori ini didasarkan pada asumsi-asumsi
bahwa:
a) Manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal.
b) Manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada, dan
c) Secara eksplisit maupun implisit, manusia memperhitungkan implikasi
tindakan mereka.
Teori Tindakan Beralasan mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku
lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya
terbatas hanya pada tiga hal, yaitu:
a) Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum, tetapi oleh sikap yang
spesifik terhadap sesuatu.
b) Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap, tetapi juga oleh norma-norma
subjektif, yaitu suatu keyakinan mengenai apa yang orang lain inginkan
agar kita perbuat.
c) Sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-norma subjektif membentuk
suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.
Gambar. 1. Teori Tindakan Beralasan12
Dari bagan di atas, tampak bahwa intensi merupakan fungsi dari dua
determinan dasar, yaitu sikap individu terhadap perilaku (merupakan aspek personal)
Sikap terhadap
perilaku
Norma-norma subjektif
Intensi untuk
dan persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau untuk tidak
melakukan perilaku yang bersangkutan atau yang disebut dengan norma subjektif.
Secara sederhana, teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu
perbuatan apabila ia memandang perbuatan tersebut positif dan ia percaya bahwa
orang lain ingin agar ia melakukannya.12
2.2 Pencabutan Gigi
Menurut Pedlar dkk (2001), pencabutan gigi adalah suatu prosedur bedah yang
dapat dilakukan dengan tang, elevator, atau dengan pendekatan transalveolar.
Pencabutan bersifat irreversibel dan terkadang menimbulkan komplikasi. Pencabutan
gigi yang ideal adalah pencabutan sebuah gigi atau akar yang utuh tanpa
menimbulkan rasa sakit dengan trauma yang sekecil mungkin pada jaringan
penyangganya sehingga luka bekas pencabutan akan sembuh secara normal dan tidak
menimbulkan masalah prostetik pasca-bedah.13
Menurut Starshak (1980) dan Kruger (1974), indikasi dilakukannya pencabutan
gigi adalah sebagai berikut13:
a) Gigi dengan patologis pulpa, baik akut maupun kronis, yang tidak mungkin
dilakukan terapi endodontik dan harus dicabut.
b) Gigi dengan karies yang besar, baik dengan atau tanpa adanya penyakit
pulpa atau periodontal, harus dicabut ketika restorasinya akan menyebabkan
kesulitan keuangan bagi pasien dan keluarga.
c) Penyakit periodontal yang terlalu parah untuk dilakukan perawatan.
Pertimbangan ini juga meliputi keinginan pasien untuk kooperatif dalam
rencana perawatan total dan untuk meningkatkan oral hygiene sehingga
menghasilkan perawatan yang bermanfaat.
d) Gigi malposisi dan overerruption.
e) Gigi impaksi dalam denture bearing area harus dicabut sebelum dilakukan
pembuatan protesa.
f) Gigi yang mengalami trauma harus dicabut untuk mencegah kehilangan
g) Beberapa gigi yang terdapat pada garis fraktur rahang harus dicabut untuk
meminimalisasi kemungkinan infeksi, penyembuhan yang tertunda, atau
tidak menyatunya rahang.
Menurut Starshak (1980), kontraindikasi pencabutan gigi terbagi menjadi dua,
yaitu kontraindikasi lokal dan kontraindikasi sistemik. Adapun kontraindikasi lokal
pencabutan gigi yaitu13:
a) Infeksi dental akut yang harus dievaluasi tergantung pada kondisi pasien
b) Perawatan infeksi perikoronal akut yang berbeda dengan abses periapikal.
Pada abses periapikal, drainase dapat dilakukan dengan pencabutan gigi,
sedangkan infeksi perikoronal dapat menyebar jika gigi yang terlibat
dicabut selama fase akut.
Sedangkan kontraindikasi sistemiknya adalah sebagai berikut13:
a) Penyakit medis yang tidak terkontrol, seperti hipertensi, coronary artery
disease, kelainan jantung, anemia parah, leukemia, dan blood dyscrasias
yang membutuhkan manajemen medis yang tepat sebelum pencabutan gigi
dapat dilakukan.
b) Penyakit kronik seperti diabetes, nefritis, dan hepatitis yang dapat
menyulitkan pencabutan gigi karena dapat menghasilkan infeksi jaringan,
penyembuhan yang tidak sempurna, dan penyakitnya semakin memburuk.
c) Neuroses dan psychoses merupakan kontraindikasi yang cenderung
menyulitkan perawatan dental.
d) Kehamilan merupakan kondisi fisiologis normal dan tidak diperhatikan
sebagai kontraindikasi pencabutan gigi, kecuali jika terdapat beberapa
komplikasi
2.3 Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah keadaan peninggian kadar glukosa darah yang kronik
protein yang menghasilkan defisiensi insulin yang absolut ataupun relatif yang
menyebabkan resistensi jaringan terhadap efek metabolik selulernya.2,14 Diabetes
mellitus juga merupakan kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan
hiperglikemia kronik yang dihasilkan dari kerusakan sel beta pankreas (sel penghasil
insulin), reaksi insulin yang tidak seimbang, atau keduanya.15
Hiperglikemia kronis pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, adanya disfungsi dan kegagalan organ-organ lainnya, terutama mata, ginjal,
saraf, jantung, dan pembuluh darah.16
2.3.1 Patofisiologi
Pada individu yang sehat, kadar gula darah biasanya dipertahankan antara
60-150 mg/dL per harinya. Insulin memiliki peranan penting dalam regulasi gula darah.
Insulin disintesis di sel beta pankreas dan disekresikan dengan cepat ke dalam darah
sebagai respon untuk meningkatkan gula darah, misalnya setelah makan. Insulin
mengatur homeostasis glukosa dengan cara meningkatkan penyerapan glukosa dari
darah ke dalam sel dan menyimpannya di dalam liver dalam bentuk glikogen. Insulin
juga meningkatkan penyerapan asam lemak dan asam amino, sebagaimana yang
selanjutnya diubah menjadi trigliserida dan cadangan protein.6
Terdapat beberapa proses patogenesis yang terkait dalam pembentukan
diabetes. Hal ini berkisar dari rusaknya autoimun sel beta pankreas dengan akibat
defisiensi insulin yang menyebabkan resistensi insulin. Dasar abnormalitas pada
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein pada diabetes adalah kurangnya insulin
pada jaringan. Dengan kata lain, kelainan utamanya adalah karena berkurangnya
insulin di dalam sirkulasi darah. Meningginya gula darah terjadi karena bertambahnya
glukosa yang dikeluarkan oleh hati, sedangkan penggunaan glukosa oleh jaringan
perifer menurun. Defisiensi insulin akan menyebabkan sekresi insulin yang inadekuat
dan berkurangnya respon jaringan terhadap insulin dalam reaksi hormon.
Pengurangan sekresi insulin dan kerusakan pada reaksi insulin biasanya terjadi pada
pasien yang sama, dan biasanya tidak jelas mana yang menjadi abnormalitas, dan jika
Kekurangan insulin atau resistensi insulin yang terlihat pada DM menyebabkan
sel insulin tidak mampu menggunakan gula darah sebagai sumber energi. Trigliserida
yang tersimpan kemudian dirusak menjadi asam lemak, kemudian menjadi sumber
alternatif sebagai bahan bakar, dan terjadi peningkatan keton pada darah sehingga
akan menyebabkan ketoasidosis. Ketika kadar gula darah meningkat (hiperglikemia),
glukosa diekskresikan melalui urin dan terjadilah urinasi yang berlebihan (poliuria)
karena diuresis osmotik. Kehilangan cairan yang terus-menerus ini dapat memicu
dehidrasi dan perasaan haus yang berlebihan (polidipsia). Karena sel menjadi
kekurangan glukosa, pasien akan mengalami peningkatan rasa lapar (polifagia). Maka
dari itu, pasien diabetes sering mengalami penurunan berat badan karena sel tidak
bisa menyerap glukosa. Hal inilah yang menjadi tanda dan simptom DM.6
Pembedahan dan luka jaringan pada pasien non-diabetik menyebabkan
timbulnya respon katabolik yang dikarakteristikkan dengan peningkatan laju
metabolisme, peningkatan degradasi protein, dan intoleransi glukosa. Respon
katabolik ini terjadi sebagai akibat dari peningkatan sirkulasi berbagai jenis hormon
stress, seperti katekolamin, kortisol, glukagon, dan growth hormone, sebagaimana
penurunan pada sirkulasi konsentrasi insulin. Katekolamin yang meningkat
menyebabkan glukoneogenesis dan lipolisis. Peningkatan level kortisol akan
menyebabkan pemecahan protein pada jaringan ekstrahepatik dan meningkatkan
aliran prekursor glukoneogenik. Peningkatan glukagon memiliki efek utama pada
liver dalam menaikkan glukoneogenesis, glikogenolisis, dan keton, sedangkan
peningkatan growth hormone menyebabkan peningkatan lipolisis. Kombinasi
hormon-hormon stress ini dapat menyebabkan efek katabolis.17
Namun, tidak ada di antara hormon tersebut yang dapat menyebabkan efek
katabolik secara tunggal tanpa hormon lainnya. Oleh karena itu, defisiensi insulin
memainkan peranan penting selama peningkatan kadar hormon stress pada saat
peristiwa katabolik dalam pembedahan.17
-Efek inhibitor langsung karena adanya agen anestesi. Anestesi dapat
berpengaruh pada metabolisme glukosa, yaitu mengakibatkan hiperglikemia
karena adanya pemecahan glikogen menjadi glukosa.
-Efek inhibitor stimulasi adrenomedulari insulin yang disebabkan oleh rasa
sakit dan stress.
Penurunan insulin dan kelebihan hormon stress menyebabkan kekacauan
metabolis yang dikarakteristikkan dengan peningkatan glukoneogenesis,
hiperglikemia, glikosuria, osmotik diuresis, kehilangan elektrolit, peningkatan
degradasi protein, dan keseimbangan nitrogen negatif.17
Osmotik diuresis semakin memperburuk kehilangan elektrolit yang terjadi
sebagai akibat dari proses operatif itu sendiri. Defisiensi insulin absolut pada pasien
diabetes akan menggabungkan ketidakseimbangan metabolisme ini dengan
katabolisme dan gangguan elektrolit. Respon katabolik terhadap pembedahan pada
pasien diabetes juga berhubungan dengan tingkat keparahan operasi, jaringan luka
yang luas dan komplikasi efek shock dan infeksi.17
2.3.2 Klasifikasi Diabetes Melitus
Dalam menentukan jenis diabetes mellitus pada seseorang sering kali
bergantung pada kondisi yang terjadi pada saat diagnosis, dan banyak penderita
diabetes yang tidak dapat digolongkan dalam satu klasifikasi dengan mudah.16 Pada
tahun 1999, American Diabetes Association’s Expert Committee pada Diagnosis dan
Klasifikasi Diabetes Melitus menyetujui revisi nomenklatur dan sistem klasifikasi
berikut, yang berdasarkan pada etiologi penyakit daripada tipe spesifik perawatan
yang digunakan.6
2.3.2.1 Diabetes Melitus Tipe 1
Pada diabetes jenis ini, yang prevalensinya terjadi sekitar 5-10% dari seluruh
atau juvenile onset diabetes, biasanya merupakan hasil dari kerusakan autoimun pada
sel beta pankreas.6,16
Immune mediated diabetes biasanya terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja,
tetapi dapat juga terjadi di semua usia. Hal ini terjadi karena defisiensi insulin dan
pasien memiliki insiden komplikasi yang parah. Penyebabnya adalah dikarenakan
oleh penghancuran autoimun-mediasi pada sel beta pankreas yang memproduksi
insulin. Jadi, pasien DM tipe 1 cenderung mengalami ketoasidosis, komplikasi dan
metabolisme akut yang mengancam kehidupan, dan sepenuhnya tergantung pada
insulin eksogen untuk bertahan hidup. Ketoasidosis dapat menurunkan pH dalam
darah dengan cepat, yang mengarah pada koma dan kematian. Tanda dan simptom
pada pasien ini relatif tiba-tiba dan biasanya timbul pada usia muda, misalnya 15
tahun, walaupun diabetes tipe ini dapat terjadi pada semua usia.6,14
Hiperglikemia merupakan tanda utama yang muncul pada diabetes mellitus
karena hal ini adalah komplikasi metabolik kronis. Komplikasi metabolik kronis
umumnya terjadi lebih parah pada pasien DM tipe 1. Hal ini termasuk pada
kerentanan terhadap infeksi dan penyembuhan yang melambat, neuropati, retinopati,
dan nefropati (penyakit mikrovaskular); dipercepat oleh aterosklerosis yang
kemudian dihubungkan dengan myocardial infark, stroke, aneurisme aterosklerosis
(penyakit makrovaskular), dan amputasi. Pembentukan lesi sekunder pada pasien
diabetes berhubungan dengan derajat keparahan dan durasi hiperglikemia.14
Pasien DM tipe 1 juga cenderung mengalami kelainan autoimun lainnya, seperti
Grave’s disease, Hashimoto’s thyroiditis, dan Addison’s disease. Beberapa kasus DM
tipe 1 memiliki penyebab yang belum diketahui dan kemungkinan berkaitan dengan
infeksi viral atau karena faktor lingkungan yang sulit didefinisikan.6 Maka dari itu,
dokter gigi harus mempertimbangkan dengan hati-hati akan adanya potensi
pembentukan penyakit endokrin mediasi autoimun yang dikarakteristikkan dengan
2.3.2.2 Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 atau yang sering disebut dengan
non-insulin-dependent-diabetes mellitus (NIDDM) terjadi hampir pada 90-95% kasus diabetes,
meliputi individu yang resisten terhadap insulin dan biasanya mengalami defisiensi
insulin relatif.6,14,16 Yang dimaksud dengan defisiensi insulin relatif adalah kadar
insulin dalam tubuh masih berada dalam batas normal, tetapi cara kerjanya kurang
efektif sehingga menunjukkan adanya gejala defisiensi insulin. DM tipe ini juga
sering disebut dengan diabetes dewasa karena lebih sering terjadi pada umur di atas
40 tahun dan diturunkan melalui gen dominan dan biasanya dikaitkan dengan
kegemukan.1 Level insulin yang mempengaruhi pasien bisa normal, meningkat, atau
menurun, tetapi tidak ada defisiensi insulin yang mendalam. Bagaimanapun juga,
selama bertahun-tahun, mayoritas penderita DM tipe 2 menunjukkan penurunan level
insulin secara terus-menerus.14
Etiologi dan patogenesis DM tipe 2 kemungkinan lebih bermacam-macam
dengan multipel lesi biokemis atau molekuler. Kerusakannya termasuk pada sekresi
insulin yang terganggu, kerusakan pada reseptor insulin, dan kerusakan pada
penyerapan glukosa pada hati yang berkontribusi terhadap intoleransi insulin.14
Meskipun penyebab DM tipe 2 ini tidak diketahui secara spesifik, kerusakan
autoimun pada sel beta pankreas tidak ditemukan. Ketoasidosis tidak ditemukan,
namun hiperosmolar asidosis non-ketosis dapat terjadi sebagai hasil dari
hiperglikemia dalam jangka waktu panjang. Insulin eksogen tidak dibutuhkan pada
perawatan pasien NIDDM untuk bertahan hidup, melainkan digunakan untuk
meningkatkan kontrol hiperglikemia.6,14
Hiperglikemia pada pasien NIDDM ditemukan karena adanya kegagalan sel
beta pankreas untuk mengetahui peningkatan permintaan insulin (sekresi insulin
terganggu karena kerusakan reseptor insulin). Resiko pembentukan DM tipe 2
meningkat berdasarkan faktor usia, obesitas, dan kekurangan aktivitas fisik. Obesitas
dan kadar kolesterol yang tinggi dapat memperburuk aterosklerosis. DM tipe 2 juga
Sering pula ditemukan faktor predisposisi genetik dimana faktor ini lebih banyak
ditemukan pada populasi Afrika-Amerika, Spanyol, dan Amerika-India.6,14
2.3.2.3 Diabetes Melitus Gestasional
Jenis diabetes ini ditandai dengan adanya derajat intoleran glukosa dengan
onset atau pertama kali dikenali pada masa kehamilan. Di Amerika, GDM
mengkomplikasi sekitar 4% dari seluruh kehamilan. Pada kebanyakan kasus, regulasi
glukosa akan kembali normal setelah melahirkan. Bagaimanapun juga, wanita yang
menderita GDM memiliki resiko untuk mengalami DM tipe 2 setelah masa
kelahiran.6,15
2.3.3 Tanda dan Gejala Diabetes Melitus
Adapun tanda-tanda dan gejala pada diabetes mellitus adalah sebagai
berikut2,4,18,19:
1. Poliuria, yaitu urinasi yang berlebihan.
2. Polidipsia, yaitu perasaan haus yang berlebihan.
3. Polifagia, yaitu peningkatan selera makan.
4. Glikosuria, yaitu terdapat kandungan glukosa di dalam urin.
5. Retinopati diabetik, yaitu suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh
kerusakan dan sumbatan-sumbatan pembuluh halus yang meliputi arteriol prekapiler retina, kapiler-kapiler, dan vena-vena.
6. Neuropati diabetik, yaitu kerusakan saraf sebagai komplikasi serius akibat diabetes. Tergantung dari tingkat kerusakan, neuropati diabetik dapat
menimbulkan nyeri, mati rasa dan gangguan pada saluran pencernaan,
kemih, pembuluh darah dan jantung.
7. Nefropati diabetik, yaitu komplikasi Diabetes mellitus pada ginjal yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal.
8. Peningkatan resiko penyakit arteri koroner.
9. Infeksi kandung kemih, terutama infeksi yang disebabkan oleh fungi.
11.Lemah, lelah, dan simptom seperti flu.
12.Rasa gatal atau terbakar pada tangan atau kaki (terutama pada DM tipe 2).
13.Pandangan mengabur.
14.Tanda-tanda diabetes lainnya yang timbul di rongga mulut.
2.3.4 Diagnosis Diabetes Melitus
Kedua jenis utama DM (tipe 1 dan tipe 2) menyebabkan hiperglikemia atau
kadar gula darah tinggi jika tidak dilakukan perawatan.4 Pada Februari 2010, ADA
(American Diabetes Association) secara resmi merekomendasikan penggunaan uji
hemoglobin glikosilasi (HbA1c) untuk mendiagnosis dan memantau DM.
Hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) merupakan gugus heterogen yang terbentuk dari
reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin. Kecepatan pembentukan HbA1c
proporsional dengan konsentrasi glukosa darah. Pemeriksaan ini sangat diperlukan
dalam upaya manajemen DM yang optimal untuk memperkecil risiko komplikasi
diabetes.Laporan tahunan ADA mengusulkan bahwa penemuan tingkat HbA1c yang
lebih dari 6,5% menghasilkan terdiagnosanya diabetes. Standard baru ini didasarkan
pada sebagian besar bukti ilmiah oleh Diabetes Control and Complication Trial
(DCCT). Uji diagnostik diabetes lainnya mencakup tingkat gula darah puasa yang
lebih dari 126 mg/dL, tingkat gula darah 2 jam yang lebih dari 200 mg/dL selama uji
toleransi glukosa oral (OGTT), dan tingkat glukosa acak lebih dari 200 mg/dL pada
pasien simptomatik untuk krisis hiperglikemia atau hipoglikemia.15,20
Pemeriksaan HbA1c telah digunakan sebagai penaksiran jangka panjang,
menyediakan pengukuran untuk regulasi glukosa rata-rata selama 6 sampai 12
minggu sebelumnya. Tujuan pada pasien diabetes adalah untuk menjaga level HbA1c
kurang dari 7% dimana glukosa dianggap terkontrol dengan baik. Uji lain, seperti uji
toleransi glukosa, biasanya digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan diabetes
gestasional dan gangguan absorpsi glukosa.15
Pasien diabetes harus menjalani pemantauan reguler dengan menguji tingkat
gula darah puasa dan tingkat HbA1c. Uji serum fruktosamin digunakan untuk
pemeriksaan. Telah dilaporkan pada suatu studi adanya korelasi positif antara derajat
perdarahan gingiva dan tingkat fruktosamin yang tinggi. Pemeriksaan serum
fruktosamin sering kali terlihat pada wanita hamil dan khususnya wanita hamil yang
kebutuhan insulin dan glukosanya untuk waktu tertentu dipengaruhi oleh penyakit
akut maupun sistemik.15
Pemeriksaan gula darah puasa yang hasilnya lebih dari 126 mg/dL terdiagnosa
akan adanya diabetes. Jika pengukuran gula darah puasa antara 110 sampai 126
mg/dL, maka pemeriksaan toleransi glukosa oral harus dilakukan untuk menentukan
derajat intoleransi glukosa. Gula darah puasa lebih dari 126 mg/dL, tingkat glukosa
acak lebih dari 200 mg/dL, dan di samping gejala DM lainnya (polidipsia, poliuria,
polifagia, kehilangan berat badan, dan rasa lemah) merupakan indikator yang pasti
untuk mendiagnosis DM. Penemuan gula darah positif harus dikonfirmasi dengan
mengulang pemeriksaan pada hari-hari berikutnya.15
2.3.5 Komplikasi Oral yang Ditimbulkan Oleh Diabetes Melitus
Komplikasi oral yang terjadi pada diabetes mellitus yang tidak terkontrol
sangatlah merusak. Hal ini mencakup gingivitis dan penyakit periodontal, xerostomia
dan disfungsi kelenjar saliva, kerentanan pada bakteri yang meningkat, infeksi viral
dan fungal (kandidiasis), karies, abses periapikal, kehilangan gigi, terganggunya
kemampuan untuk menggunakan protesa (berhubungan dengan disfungsi kelenjar
saliva), gangguan pengecapan, lichen planus, dan sindrom mulut terbakar.21
2.3.5.1 Gingivitis dan Penyakit Periodontal
Kerentanan terhadap penyakit periodontal merupakan komplikasi oral yang
paling sering ditemukan pada pasien diabetes mellitus. Pasien dengan kontrol
diabetes mellitus yang rendah memiliki risiko tertinggi dalam pembentukan penyakit
periodontal. Hal ini dimulai dari gingivitis dan kemudian, dengan kontrol glikemik
yang rendah, berkembang ke penyakit periodontal lanjutan. Anak-anak dengan
diabetes dan orang dewasa dengan kontrol metabolik yang dibawah optimal
Pada sebuah studi menyatakan bahwa prevalensi penyakit periodontal berkisar
9,8% dari 263 pasien dengan diabetes tipe 1, dibandingkan dengan 1,7% pada pasien
tanpa diabetes. Beberapa studi telah mendemonstrasikan bahwa pasien dengan
diabetes tipe 1 dan kronis, kontrol metabolik pada penyakit harus diperpanjang dan
penyakit periodontal lebih parah daripada pasien yang dengan teliti mengontrol
diabetesnya. Pasien dengan diabetes tipe 1 dan retinopati cenderung menunjukkan
kehilangan perlekatan gingiva lebih besar. Jadi, oral hygiene yang baik sangatlah
penting pada pasien dengan diabetes tipe 1.21
Terdapat studi yang lebih banyak pada pasien dengan diabetes tipe 2 yang
dihubungkan dengan penyakit periodontal. Studi ini menunjukkan bahwa pasien
dengan diabetes tipe 2 dapat mengalami penyakit periodontal tiga kali lipat lebih
banyak dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes. Suatu studi pada India Pima,
dimana 40% orang-orangnya menderita diabetes tipe 2, orang-orang yang usianya
dibawah 40 tahun mengalami peningkatan kehilangan perlekatan gingiva lebih besar
dibandingkan dengan orang-orang tanpa diabetes, sebagaimana juga terjadi
kehilangan tulang alveolar yang berhubungan dengan peningkatan intoleransi glukosa
atau kontrol metabolik yang rendah. Pada studi ini pula diketahui bahwa kerusakan
jaringan periodontal meningkat berdasarkan usia dan derajat keparahan diabetesnya.
Kehilangan gigi juga memiliki persentase 15 kali lebih tinggi pada penderita diabetes
dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki diabetes.21
2.3.5.2 Disfungsi Kelenjar Saliva dan Xerostomia
Terdapat beberapa laporan bahwa mulut kering (xerostomia) dan hipofungsi
kelenjar saliva ditemukan pada pasien diabetes, yang disebabkan oleh poliuria atau
karena masalah endokrin atau metabolik. Ketika lingkungan normal dalam mulut
berubah karena adanya penurunan aliran saliva atau perubahan dalam komposisi
saliva, dalam mulut yang sehat dapat menjadi rentan terhadap karies dental.
Kekeringan, atropi, dan mukosa oral yang pecah-pecah merupakan komplikasi
terhadap produksi saliva yang tidak cukup. Disertai dengan mukositis, ulser dan
biasa dijumpai. Kesulitan dalam lubrikasi makanan, mengunyah, merasa, dan
menelan juga merupakan komplikasi dalam disfungsi saliva dan kemungkinan
berkontribusi dengan gangguan asupan nutrisi.21
Peningkatan jumlah karies dental telah diketahui terjadi pada pasien muda yang
menderita diabetes dan kemungkinan berhubungan dengan disfungsi saliva. Namun,
terdapat hubungan antara pasien dewasa dengan diabetes dan karies yang aktif dan
kehilangan gigi dimana hal ini lebih sering ditemui pada pasien diabetes dengan
kontrol glikemik yang rendah.21
2.3.5.3 Kandidiasis
Kandidiasis oral merupakan infeksi fungal yang biasanya berhubungan dengan
hiperglikemia dan merupakan komplikasi pada diabetes yang terkontrol rendah
maupun tidak terkontrol. Lesi oral berhubungan dengan kandidiasis, termasuk median
rhomboid glossitis (atropi papilla tengah), glositis atropik, denture stomatitis,
pseudomembraneous candidiasis (thrush), dan angular cheilitis. Candida albicans
adalah komponen flora oral normal yang jarang berkolonisasi dan menginfeksi
mukosa oral tanpa faktor pendukung. Hal ini mencakup kondisi yang berkompromis
dengan imun, misalnya AIDS, kanker, atau diabetes, maupun penggunaan gigitiruan
yang digubungkan dengan oral hygiene yang buruk dan penggunaan antibiotik
spektrum luas dalam jangka waktu panjang. Disfungsi saliva, kompromis fungsi
imun, dan hiperglikemia yang memberikan potensi substrat untuk pertumbuhan fungi
merupakan faktor utama terjadinya kandidiasis oral pada pasien dengan diabetes.21
2.3.5.4 Sindroma Mulut Terbakar (Burning Mouth Syndrome)
Pasien dengan Burning Mouth Syndrome (BMS) biasanya tidak menunjukkan
tanda-tanda klinis atau lesi yang terdeteksi, walaupun terdapat simptom rasa sakit dan
terbakar yang intens. Etiologi BMS bervariasi dan biasanya sulit untuk diuraikan
secara klinis. Simptom rasa sakit dan terbakar muncul sebagai hasil dari satu faktor
atau bisa saja dari beberapa faktor yang berkombinasi. Pada diabetes tak terkontrol,
neurologi, seperti depresi. Saraf otonom dan sensorik-motorik neuropati merupakan
bagian dari sindrom diabetes dan prevalensi neuropati pada diabetes mellitus sekitar
50%, 25 tahun setelah onset pertama diabetes, dengan 30% terjadi pada orang dewasa
yang mengalami diabetes.21
Neuropati dapat menyebabkan simptom parestesi dan kesemutan, mati rasa,
rasa sakit atau terbakar yang disebabkan oleh perubahan patologis yang melibatkan
saraf pada daerah oral. Diabetes berhubungan dengan BMS, namun, neuropati dari
diabetes berhubungan dengan rasa sakit dan terbakar pada bagian tubuh lainnya,
seperti kaki.21
Pada kasus tertentu menemukan bahwa BMS sering ditemukan pada kasus
diabetes tipe 2 yang tidak terdiagnosis, dimana kebanyakan kasus juga diselesaikan
setelah diagnosis medis dan perawatan lebih lanjut saat melakukan kontrol glikemik.
Kemajuan kontrol glikemik memegang peranan penting dalam menurunkan kejadian
komplikasi, seperti xerostomia dan kandidiasis, dan faktor-faktor ini kemungkinan
berkontribusi lebih signifikan terhadap resolusi simptom yang berhubungan dengan
BMS pada pasien diabetes.21
2.3.5.5 Lichen Planus
Lichen planus sering dijumpai dan merupakan penyakit mukokutan dengan
penyebab yang tidak diketahui. Hal ini secara umum dianggap sebagai proses imun
yang dimediasi yang melibatkan reaksi hipersensitifitas pada level mikroskopik. Hal
ini dikarakteristikkan dengan infiltrasi limfosit T yang terletak pada jaringan epitel.
Sel imun lainnya, misalnya makrofag, sel dendrit, dan sel Langerhans, juga terlihat
mengalami peningkatan jumlah pada lesi lichen planus. Terlihat ada hubungan antara
lichen planus dan hipertensi ataupun diabetes. Namun, suatu studi pada 40 pasien
dengan lichen planus ditemukan bahwa 11 pasien (28%) memiliki diabetes,
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang menyatakan bahwa diabetes mungkin
berhubungan dengan immunopatogenesis lichen planus.21
Infeksi oral akut biasanya terjadi pada diabetes dengan kontrol rendah dan
berdasarkan pada tingkat keparahannya. Kontrol glikemik pada manajemen diabetes
merupakan kunci utama untuk menurunkan dampak oral infeksi akut.21
2.4 Tindakan Pencabutan Gigi Pada Penderita Diabetes Melitus
Riwayat medis dan pemeriksaan klinis pada pasien merupakan hal yang penting
dilakukan untuk memastikan keberhasilan hasil dari prosedur pencabutan gigi.
Pemeriksaan riwayat medis ditegakkan melalui sejumlah pertanyaan yang
menyinggung keberadaan kondisi patologis yang mungkin merugikan dan
mempengaruhi prosedur pencabutan gigi dan membahayakan kehidupan pasien.22
Penaksiran risiko operatif pada pasien dengan diabetes mellitus umumnya mirip
dengan pasien lain, yakni di antaranya penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi,
dan merawat sistemiknya sebelum pencabutan gigi dilakukan. Sebagai tambahan,
penaksiran ini harus fokus pada komplikasi jangka panjang yang disebabkan diabetes,
seperti mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati, yang kemungkinan memiliki
risiko. Perhatian khusus juga harus diberikan pada pasien yang belum terdiagnosa.
Maka dari itu, dokter gigi harus sangat berhati-hati apabila akan melakukan tindakan
pencabutan gigi pada pasien yang memiliki diabetes mellitus, dan hal-hal berikut ini
diikuti dengan baik.22,23
2.4.1 Tes Skrining
Pemeriksaan kadar glukosa terakhir adalah hal yang sangat penting.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan di praktik dokter gigi sebelum pencabutan gigi
dilakukan dengan menggunakan glukometer, yaitu suatu alat yang dioperasikan
dengan tenaga baterai. Setetes darah kapiler dari ujung jari diletakkan pada strip uji
setelah ditusukkan dengan alat tusuk pada alat tersebut dan dalam satu menit hasilnya
2.4.2 Waktu Pencabutan Gigi
Untuk menghindari risiko terjadinya reaksi hipoglikemia (syok insulin), maka
waktu pencabutan gigi yang paling baik adalah dilakukan pada pagi hari, tepatnya
satu sampai satu setengah jam setelah sarapan dan setelah pasien meminum obat
diabetes untuk menghindari reaksi puncak bagi pasien yang melakukan injeksi
insulin. Pencabutan gigi tidak boleh dilakukan pada siang hari atau dijadikan sebagai
pasien terakhir sebelum makan malam karena kadar gula darah sudah menjadi rendah
dan prosedur penyembuhan dapat terganggu karena adanya aktifitas makan. Pasien
juga harus diinformasikan untuk datang ke praktik dokter gigi dalam keadaan sudah
beristirahat dengan cukup dan tidak stress.4,22
Prosedur pencabutan gigi harus dihindari jika pasien4:
-Belum makan dan meminum obat antidiabetes
-Dalam keadaan tidak sehat, misalnya pasien terkena flu, demam, atau terlalu
letih.
-Belum mengadakan kunjungan pada dokter yang menangani diabetesnya
sebelum proses pencabutan gigi dilakukan sehingga tidak diketahui kadar
gula darah terakhirnya.
-Memiliki kadar gula darah < 70 mg/dL atau > 150 mg/dL
-Mengalami kegawatdaruratan diabetes.
2.4.3 Diet
Diet pada pasien diabetes tidak boleh diubah baik sebelum maupun sesudah
tindakan pencabutan gigi dilakukan. Sebelum pencabutan, dan khususnya setelahnya,
pasien sering kali menolak untuk makan atau tidak bisa makan karena adanya rasa
sakit setelah pencabutan dan perdarahan yang apabila keadaan ini berlanjut maka
akan menyebabkan hipoglikemia.22
2.4.4 Diabetes dan Infeksi
Diabetes yang terkontrol dengan baik tidak memerlukan profilaksis antibiotik
penyembuhan lebih lambat dan cenderung mengalami infeksi sehingga memerlukan
pemberian profilaksis antibiotik. Responnya terhadap infeksi tersebut diduga sebagai
akibat defisiensi leukosit polimorfonuklear dan menurunnya atau terganggunya
fagositosis, diapedesis, dan kemotaksis karena hiperglikemia. Sebaliknya, infeksi
orofasial menyebabkan kendala dalam pengaturan dan pengontrolan diabetes,
misalnya meningkatnya kebutuhan insulin. Pasien dengan riwayat kehilangan berat
badan yang penyebabnya tidak diketahui yang terjadi bersamaan dengan kegagalan
penyembuhan infeksi dengan terapi yang biasa dilakukan, bisa dicurigai menderita
diabetes.1,22
2.4.5 Pemberian Anestesi Lokal
Anestesi lokal harus diberikan dengan hati-hati karena konsentrasi
vasokonstriktornya harus minimal. Adrenalin, yang merupakan salah satu anestesi
dengan vasokonstriktor yang paling sering digunakan, dapat menyebabkan
glukoneogenesis dan berinteraksi dengan insulin. Efek vasokonstriktor tersebut yang
dapat menyebabkan terjadinya glukoneogenesis, dimana proses ini menghancurkan
glikogen kembali menjadi glukosa lagi dalam aliran darah sehingga hal ini akan
membahayakan penderita diabetes mellitus. Noradrenalin memiliki efek
glukoneogenesis yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan adrenalin sehingga
lebih dianjurkan untuk digunakan pada pasien diabetes. Umumnya, karena jumlah zat
vasokonstriktor sangat kecil dalam satu ampul (konsentrasi terbesar adalah
1:100.000) sehingga risiko yang ditimbulkan lebih sedikit.22
2.4.6 Pemberian Obat
Analgesik dosis rendah dan sedatif yang mengandung acetaminophen (Tylenol)
merupakan obat-obat yang biasa diberikan. Kortikosteroid harus dihindari karena
adanya reaksi glikogenolitik, begitu pula dengan salisilat (aspirin) karena berpotensi
menimbulkan reaksi hipoglikemia pada tablet antidiabetik. Pemberian obat
anti-kecemasan atau antidepresan dianjurkan pada pagi maupun siang sebelum proses
2.4.7 Penyembuhan Luka
Mikroangiopati yang terjadi pada penderita diabetes mellitus dapat
menyebabkan pembuluh darah menjadi inefektif. Hal inilah yang menyebabkan
penyembuhan luka pada penderita diabetes mellitus menjadi lambat. Prosedur
pencabutan gigi pada rongga mulut harus dilakukan dengan cara yang hati-hati dan
halus agar memberikan hasil penyembuhan luka yang optimal. Linggir tulang harus
dihaluskan agar menghindari iritasi gingiva. Penjahitan luka (suturing) juga dapat
membantu agar luka lebih cepat sembuh.22
2.4.8 Kadar Gula Darah Saat Pencabutan Gigi Dilakukan
Kadar gula darah yang sebaiknya dimiliki pasien diabetes mellitus saat
pencabutan gigi akan dilakukan yaitu tidak kurang dari 70 mg/dL dan tidak lebih dari
150 mg/dL.4,22
2.5 Keadaan Darurat Pada Diabetes Melitus
Terdapat dua keadaan darurat utama yang akan dihadapi dokter gigi pada
pasien diabetes, yaitu syok insulin (hipoglikemia) dan ketoasidosis (hiperglikemia).
Kedua kondisi ini lebih sering timbul pada diabetes tipe 1 daripada tipe 2 karena
diabetes tipe 1 lebih sulit dikontrol dan perawatannya memerlukan insulin (insulin
dependent). Hipoglikemia adalah kasus yang paling penting, dimana muncul pada
saat kadar gula darah lebih rendah daripada 55mg/100mL. Hipoglikemia muncul
dengan cepat dan dikarakteristikkan dengan adanya rasa lapar, rasa lelah, berkeringat,
kebingungan, vertigo, gemetar, wajah memucat, perasaan gelisah, sakit kepala,
parestesia bibir dan lidah, diplopia dan pandangan mengabur, dan kelainan neurologi.
Pada kasus yang lebih parah, dapat terjadi pengeluaran keringat yang berlebihan,
hipertensi otot, dan akhirnya kehilangan kesadaran, koma, bahkan kematian.1,22
Karena hipoglikemia dapat terbentuk dengan cepat, keadaan ini lebih sering
terlihat pada praktik dokter gigi daripada hiperglikemia. Hipoglikemia muncul karena
pemberian obat hipoglikemik. Kemungkinan penyebab yang paling sering yang
terjadi pada pencabutan gigi adalah ketika pasien menerima dosis normal insulinnya
pada pagi hari, namun karena rasa cemas dan takut, serta dan pasien tidak makan
dengan cukup sebelum pencabutan sehingga asupan karbohidratnya kurang.1,3
Sementara itu, hiperglikemia atau ketoasidosis biasanya terbentuk secara
progresif dalam waktu beberapa hari. Hiperglikemia dikarakteristikkan dengan rasa
lelah, sakit kepala, mual, muntah, xerostomia, dehidrasi, dypsnea, dan akhirnya
letargi yang menyebabkan koma.22 Kehilangan atau kekurangan insulin, ditambah
dengan faktor yang meningkatkan kebutuhan insulin, seperti infeksi, trauma, bedah,
kehamilan, dan gangguan emosional yang parah, biasanya merupakan penyebab
KERANGKA TEORI
Pencabutan Gigi pada Pasien Diabetes Mellitus
Pengetahuan dan
Gingivitis dan Penyakit Periodontal
Disfungsi kelenjar saliva dan xerostomia
Kandidiasis
Burning Mouth Syndrome (BMS)
Lichen Planus
Infeksi Oral Akut
KERANGKA KONSEP
Pengalaman Pribadi Penjelasan orang lain
Penalaran deduktif Penalaran induktif
Karakteristik individu dan lingkungan
Pengetahuan Perilaku
Dokter Gigi
Diabetes Mellitus
Patofisiologi DM
Klasifikasi DM
Tanda dan Gejala DM
Diagnosis DM
Komplikasi Oral DM
Keadaan Darurat DM
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Jenis rancangan penelitian adalah penelitian deskriptif analitik dengan
menggunakan pendekatan cross sectional. Dikatakan penelitian deskriptif analitik
karena penelitian diarahkan untuk menguraikan atau menjelaskan apa yang menjadi
permasalahan, tujuan penelitian, dan mencari hubungan antar variabel. Kemudian
menggunakan pendekatan cross sectional karena pengumpulan data dilakukan
sekaligus pada sekali waktu.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Praktik-praktik dokter gigi di Kecamatan
Medan Selayang. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari – Februari 2014.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh dokter gigi di Kecamatan Medan
Selayang yaitu sebanyak 73 orang. Sampel penelitian adalah dokter gigi yang sesuai
dengan kriteria inklusi serta bersedia untuk dilakukan penelitian di Kecamatan Medan
Selayang sesuai jumlah populasi dengan cara total sampling.
Kriteria Inklusi :
1. Berprofesi sebagai dokter gigi.
2. Bekerja di praktik dokter gigi di Kecamatan Medan Selayang.
3. Telah bekerja di praktik dokter gigi, puskesmas, maupun rumah sakit di
Kecamatan Medan Selayang minimal 1 tahun.
Kriteria Eksklusi :
1. Dokter gigi yang menolak untuk diteliti.
2. Bekerja di praktik dokter gigi, puskesmas, maupun rumah sakit di
Kecamatan Medan Selayang kurang dari 1 tahun.
3.4 Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas : Dokter gigi
2. Variabel Terikat : Pengetahuan dan perilaku
3.5 Definisi Operasional
Tabel 1. Variabel dan Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional
Dokter gigi Orang yang memiliki kewenangan
dan izin sebagaimana mestinya untuk
melakukan pelayanan kesehatan
rongga mulut, misalnya melakukan
tindakan pencabutan gigi.
Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari
“tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap
pencabutan gigi pada penderita
diabetes mellitus, meliputi
pengetahuan definisi diabetes
mellitus, patofisiologi, klasifikasi,
tanda dan gejala, komplikasi oral
yang mungkin timbul, dan tindakan
pencabutan gigi pada penderita
diabetes mellitus seperti waktu
pencabutan, diet, infeksi, pemberian
anestesi lokal, pemberian obat,
penyembuhan luka, kadar gula darah
saat dilakukan pencabutan, dan
keadaan darurat diabetes mellitus.
perwujudan terhadap sikap tentang
pencabutan gigi pada pasien diabetes
mellitus yang meliputi menanyakan
riwayat medis, merawat kondisi
patologis, memperkirakan risiko
operatif, memeriksa KGD sebelum
pencabutan, waktu pencabutan yang
tepat, memberikan profilaksis
antibiotik, memberikan anestesi yang
tepat, memberikan obat yang tepat,
menunda pencabutan jika KGD
rendah atau tidak terkontrol, diet pada
sebelum dan sesudah pencabutan,
melakukan tes skrining, dan tindakan
pencabutan jika pasien sedang sakit.
3.6 Metode Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan cara penyebaran kuesioner, dimana kuesioner
diberikan secara langsung kepada responden dan diisi langsung oleh responden.
Setelah diisi diserahkan kepada peneliti saat itu juga. Kuesioner yang diberikan terdiri
dari dua bagian yaitu pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan dokter gigi
yang berpraktik di Kecamatan Medan Selayang tentang pencabutan gigi terhadap
pasien yang menderita diabetes mellitus dan pertanyaan berhubungan dengan sikap
dokter gigi yang berpraktik di Kecamatan Medan Selayang tentang pencabutan
terhadap pasien diabetes mellitus .
Prosedur pengumpulan data :
1. Peneliti meminta ijin kepada dokter gigi untuk melakukan penelitian.
2. Sebelum penelitian dilakukan, peneliti menjelaskan tentang tujuan
3. Setelah memahami tujuan penelitian, responden yang setuju diminta
untuk menandatangani surat ketersediaan menjadi responden.
4. Responden dibagikan kuesioner, bila ada pertanyaan yang tidak jelas,
diberikan kesempatan untuk bertanya.
5. Mempersilahkan responden mengisi kuesioner sesuai petunjuk.
6. Kuesioner yang telah diisi, kemudian dikumpulkan dan diperiksa
kelengkapannya oleh peneliti kemudian dilakukan analisa.
3.7 Pengolahan dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan melalui kuesioner yang diberikan kepada responden
akan dikelompokkan sesuai dengan langkah-langkah berikut :
1. Editing, adalah pengecekan atau pengoreksian data yang telah terkumpul,
tujuannya untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada
pencatatan dilapangan dan bersifat koreksi.
2. Coding, adalah pemberian kode-kode pada setiap data yang termasuk
dalam katagori yang sama. Pengkodean ini berguna untuk memudahkan
pengolahan data, sehingga harus tetap terlebih dahulu diteliti oleh
peneliti.
3. Tabulating, adalah pembuatan tabel-tabel yang berisi data yang telah
diberi kode sesuai dengan analisis yang dibutuhkan.
Pengolahan data dilakukan menggunakan komputerisasi untuk memperlihatkan
hubungan pengetahuan dokter gigi dengan perilaku tentang pencabutan gigi yang
dilakukan pada pasien diabetes mellitus, yaitu dengan menggunakan Uji Korelasi.
3.8 Aspek Pengukuran
Pengetahuan dokter gigi di Kecamatan Medan Selayang mengenai pentingnya
pengetahuan pencabutan gigi terhadap penderita diabetes mellitus diukur melalui 16
pertanyaan. Pertanyaan dengan jawaban benar, nilainya 1; jika jawaban salah, maka
Selanjutnya nilai tersebut dikategorikan atas pengetahuan baik, cukup, dan kurang.
Kategori baik apabila nilai jawaban responden ≥ 75% dari nilai tertinggi, kategori cukup apabila nilai jawaban responden 60% - 74% dari nilai tertinggi, dan kategori
kurang jika nilai jawaban responden < 60% dari nilai tertinggi.
Tabel 2. Kategori Nilai Pengetahuan
Alat Ukur Hasil Ukur Kategori Penilaian Skor
Kuesioner
(16
pertanyaan)
Jawaban salah =
0
Jawaban benar =
1
Baik: ≥ 75% dari nilai tertinggi 12 – 16 Cukup: 60% - 74% dari nilai
tertinggi
10 – 11
Kurang: < 60% dari nilai tertinggi < 9
Perilaku dokter gigi di Kecamatan Medan Selayang mengenai pentingnya
pengetahuan pencabutan gigi terhadap penderita diabetes mellitus diukur melalui 16
pertanyaan. Penilaian tergantung pada pertanyaan yang diberikan dimana jawaban
terbagi atas tiga, yaitu selalu, kadang-kadang, dan tidak pernah. Nilai tertinggi dari
masing-masing pertanyaan adalah 3 dan nilai terendahnya adalah 1 sehingga nilai
tertinggi dari 16 pertanyaan adalah 48.
Tabel 3. Kategori Nilai Perilaku
Alat Ukur Hasil Ukur Kategori Penilaian Skor
Kuesioner
Kurang: < 60% dari nilai
tertinggi
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Responden
Dari tabel 4, diketahui bahwa dokter gigi yang menjadi sampel penelitian
berdasarkan kriteria inklusi adalah sebanyak 79,5% dan dokter gigi yang tidak
menjadi sampel penelitian berdasarkan kriteria eksklusi adalah sebanyak 20,5%.
Tabel 4. Kriteria dan Jumlah Responden Dokter Gigi
Kriteria Jumlah Persentase
Inklusi
Eksklusi
58
15
79,5%
20,5%
Total 73 100%
4.2 Pengetahuan Responden tentang Pencabutan Gigi terhadap Pasien
Diabetes Mellitus
Pengetahuan responden tentang pencabutan gigi terhadap pasien diabetes
mellitus termasuk kategori baik ( ≥ 75%) dalam hal definisi diabetes mellitus, tanda dan gejala, komplikasi oral yang mungkin terjadi, waktu pencabutan gigi yang tepat,
infeksi dan penyembuhan luka, pemberian anestesi lokal, kadar gula darah saat
pencabutan, dan keadaan darurat diabetes mellitus. Pengetahuan responden yang
termasuk kategori cukup (60% - 74%) adalah dalam hal patofisiologi diabetes
mellitus, klasifikasi, dan pemberian obat. Sedangkan pengetahuan responden yang
termasuk dalam kategori kurang ( < 60%) adalah dalam hal saran diet yang baik bagi
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Pencabutan Gigi
terhadap Pasien Diabetes Mellitus (n = 58)
Pengetahuan responden Tahu Tidak Tahu
Jumlah % Jumlah %
Definisi DM
Patofisiologi DM
Klasifikasi DM
Tanda dan gejala DM
Komplikasi oral
Waktu pencabutan gigi
Saran diet
Infeksi dan penyembuhan luka
Pemberian anestesi lokal
Pemberian obat
KGD saat pencabutan gigi
Keadaan darurat DM
58
Hasil penelitian tentang pengetahuan pencabutan gigi pada pasien diabetes
mellitus didapat persentase tertinggi pada kategori berpengetahuan baik, yaitu 60,3%,
sedangkan 36,2% responden termasuk kategori berpengetahuan cukup, dan 3,4%
termasuk berpengerahuan kurang (Tabel 6).
Tabel 6. Kategori Pengetahuan Responden tentang Pencabutan Gigi terhadap
Pasien Diabetes Mellitus (n = 58)
Kategori Jumlah Persentase