• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Kepatuhan Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah dalam Meresepkan Obat Generik Di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan Periode Februari – April 2010.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tingkat Kepatuhan Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah dalam Meresepkan Obat Generik Di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan Periode Februari – April 2010."

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

Tingkat Kepatuhan Dokter di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan Pemerintah dalam Meresepkan Obat Generik

di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan

Periode Februari – April 2010

Oleh :

ADRIANIE MARICELLA

070100195

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

▸ Baca selengkapnya: contoh tindakan khusus dokter umum kompleks tingkat 2

(2)

Tingkat Kepatuhan Dokter di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan Pemerintah dalam Meresepkan Obat Generik

di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan

Periode Februari – April 2010

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

ADRIANIE MARICELLA

070100195

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Tingkat Kepatuhan Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah dalam Meresepkan Obat Generik Di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi

Medan

Periode Februari – April 2010

NAMA : ADRIANIE MARICELLA

NIM : 070100195

_________________________________________________________________

Pembimbing Penguji

(dr. Yunita Sari Pane, Msi. ) (dr. Bintang Sinaga, Sp.P)

NIP : 19710620 200212 2001 NIP : 19720228 199903 2002

(dr. Simon Marpaung, M.Kes)

NIP: 19451217 196902 1001

Medan, Desember 2010 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

ABSTRAK

Pada tanggal 14 Januari 2010 yang lalu, ditetapkan suatu peraturan baru oleh Menteri Kesehaan Republik Indonesia, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR. PH, Keputusan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/068/2010 tentang Ketetapan Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, dimana pada bab II pasal 4, ayat 1, tertulis “Dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis”. Peraturan ini dibuat untuk menjamin mutu dan keamanan obat generik sekaligus mendorong penggunaannya di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Namun, saat ini ketersediaan obat generik dan penggunaannya dalam mengobati penyakit lebih rendah dibandingkan dengan obat non generik. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai seberapa patuh dokter-dokter yang bertugas di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi dalam meresepkan obat generik kepada pasien selama periode bulan Februari sampai April 2010.

Desain penelitian bersifat deskriptif dengan desain penelitian cross sectional. Populasi sampel adalah resep yang masuk ke Instalasi Farmasi RSU dr. Pirngadi, sebanyak 100 setiap bulannya selama bulan Februari hingga April. Penarikan sampel dengan teknik consecutive sampling. Selanjutnya data dianalisa dengan program SPSS versi 15.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama bulan Februari diperoleh 71% dari sampel tergolong kategori kurang patuh, 10% cukup patuh, dan 19% yang patuh dalam meresepkan obat generik. Selama bulan Maret, diperoleh 68% dari total sampel tergolong kategori kurang patuh, 13% cukup patuh, dan 19% yang patuh dalam meresepkan obat generik. Selama bulan April, diperoleh 77% dari sampel tergolong kategori kurang patuh, 11% cukup patuh, dan 12% yang patuh dalam meresepkan obat generik.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat kepatuhan dalam meresepkan obat generik di RSU dr. Pirngadi selama tiga bulan berturut mulai bulan Februari hingga bulan April 2010 tergolong tidak patuh.

(5)

ABSTRACT

On January 14th 2010, was established a regulation, Peraturan Menteri Kesehatan HK.02.02/MENKES/068/2010 about the usage of generic drugs in govermental health care facilities, in which "doctor who works in governmental health services is obligated to prescribe generic drugs for all patients according to medical indications", which is written in its Chapter II, the 4th article in the 1st paragraph. The regulation was set to ensure the quality and safety of generic drugs and to encourage their usage in govermental health services. However, nowadays the availability of generic drugs and their usage in curing disease are fewer compared to non-generic drugs. Therefore, the objective of this study is to evaluate how obedient the doctors who work in RSU dr. Pirngadi in prescribing generic drugs to the patients during the period of February to April 2010.

The research method was descriptive study with cross sectional design. The objects of sample were prescriptions in RSU dr. Pirngadi pharmacy, as many as 100 prescriptions every month from February to April 2010. The sampling method used was consecutive sampling technique. Further data were analyzed with SPSS 15 program.

The results show us that in February 2010, there were 71% of sample classified as disobedient, 10% of quite obedient, and 19% of obedient in prescribing the generic drugs. In March 2010, there were 68% of sample classified as disobedient, 13% of quite obedient, and 19% of obedient in prescribing the generic drugs. In April 2010, there were 77% of sample classified as disobedient, 11% of quite obedient, and 12% of obedient in prescribing the generic drugs.

From this research we can conclude that the level of obedience in prescribing generic drugs in RSU dr. Pirngadi during Februari to April 2010 was disobedient.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa

karena berkat dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Karya Tulis

Ilmiah ini yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program

pendidikan dokter dan memperoleh gelar sarjana kedokteran di Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Judul Karya Tulis Ilmiah ini adalah “Tingkat Kepatuhan Dokter di

Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah dalam Meresepkan Obat Generik di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan Periode Februari – April 2010”. Dalam menulis karya tulis ilmiah ini, penulis telah memperoleh bantuan dari

berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih dan

penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Yunita Sari Pane, MSi., selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak

memberikan arahan dan masukan kepada penulis, sehingga karya tulis

ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. dr. Bintang Sinaga, Sp.P, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan

masukan untuk menyempurnakan karya tulis ilmiah ini.

4. dr. Simon Marpaung, M.Kes, selaku Dosen Penguji yang telah

memberikan petunjuk serta nasihat dalam menyempurnakan karya tulis

ilmiah ini.

5. Seluruh staf Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan,

yang telah banyak membantu dan izin melakukan penelitian di sekolah

tersebut.

6. Seluruh dosen dan pegawai di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

(7)

7. Orang tua penulis, yang telah memberikan doa, motivasi baik secara moril

dan materil sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini

dengan baik.

8. Rekan-rekan mahasiswa yang telah banyak memberikan masukan dan

bantuan untuk penelitian ini.

Akhir kata, penulis sadar bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari

sempurna, disebabkan berbagai keterbatasan yang penulis miliki. Untuk itu

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk dijadikan

perbaikan di masa yang akan datang dan penulis juga mengharapkan semoga

karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Medan, 24 November 2010

(8)

DAFTAR ISI

2.2.3 Fase Farmakodinamik ... 11

2.3Penggolongan Obat... 12

2.4Obat Generik ... 15

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ... 18

3.1Kerangka Konsep Penelitian ... 18

3.2Defenisi Operasional ... 18

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 20

4.1Rancangan Penelitian ... 20

4.2Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

4.3Populasi dan Sampel Penelitian ... 20

4.4Metode Pengumpulan Data ... 21

(9)

BAB 5 HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN ... 22

5.1 Hasil Penelitian ... 22

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 22

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel ... 23

5.1.3 Hasil Deskripsi Data ... 27

5.1.3.1 Deskripsi Data Bulan Februari ... 27

5.1.3.2 Deskripsi Data Bulan Maret ... 28

5.1.3.3 Deskripsi Data Bulan April ... 29

5.1.3.4 Deskripsi Data Bulan Februari – Bulan April 2010 ... 31

5.2 Pembahasan ... 31

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

6.1 Kesimpulan ... 33

6.2 Saran ... 34

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

5.1. Distribusi Jumlah Total Obat Generik yang diberikan

dalam Resep Bulan Februari

23

5.2. Distribusi Jumlah Total Obat Non Generik yang diberikan

dalam Resep Bulan Februari

24

5.3. Distribusi Jumlah Total Obat Generik yang diberikan

dalam Resep Bulan Maret

24

5.4. Distribusi Jumlah Total Obat Non Generik yang diberikan

dalam Resep Bulan Maret

25

5.5. Distribusi Jumlah Total Obat Generik yang diberikan

dalam Resep Bulan April

25

5.6. Distribusi Jumlah Total Obat Non Generik yang diberikan

dalam Resep Bulan April

26

5.7. Distribusi Jumlah Resep Berdasarkan Nilai Persen

Kepatuhan Per Resep

27

5.8. Distribusi Jumlah Resep Berdasarkan Kategori Tingkat

Kepatuhan

27

5.9. Distribusi Jumlah Resep Berdasarkan Nilai Persen

Kepatuhan Per Resep

(11)

5.10. Distribusi Jumlah Resep Berdasarkan Kategori Tingkat

Kepatuhan

29

5.11. Distribusi Jumlah Resep Berdasarkan Nilai Persen

Kepatuhan Per Resep

29

5.12. Distribusi Jumlah Resep Berdasarkan Kategori Tingkat

Kepatuhan

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 1 Grafik Tingkat Kepatuhan Peresepan Obat Generik Bulan Februari Sampai Maret 2010

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Surat Izin Penelitian

Lampiran 3 Ethical Clearance

(14)

ABSTRAK

Pada tanggal 14 Januari 2010 yang lalu, ditetapkan suatu peraturan baru oleh Menteri Kesehaan Republik Indonesia, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR. PH, Keputusan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/068/2010 tentang Ketetapan Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, dimana pada bab II pasal 4, ayat 1, tertulis “Dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis”. Peraturan ini dibuat untuk menjamin mutu dan keamanan obat generik sekaligus mendorong penggunaannya di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Namun, saat ini ketersediaan obat generik dan penggunaannya dalam mengobati penyakit lebih rendah dibandingkan dengan obat non generik. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai seberapa patuh dokter-dokter yang bertugas di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi dalam meresepkan obat generik kepada pasien selama periode bulan Februari sampai April 2010.

Desain penelitian bersifat deskriptif dengan desain penelitian cross sectional. Populasi sampel adalah resep yang masuk ke Instalasi Farmasi RSU dr. Pirngadi, sebanyak 100 setiap bulannya selama bulan Februari hingga April. Penarikan sampel dengan teknik consecutive sampling. Selanjutnya data dianalisa dengan program SPSS versi 15.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama bulan Februari diperoleh 71% dari sampel tergolong kategori kurang patuh, 10% cukup patuh, dan 19% yang patuh dalam meresepkan obat generik. Selama bulan Maret, diperoleh 68% dari total sampel tergolong kategori kurang patuh, 13% cukup patuh, dan 19% yang patuh dalam meresepkan obat generik. Selama bulan April, diperoleh 77% dari sampel tergolong kategori kurang patuh, 11% cukup patuh, dan 12% yang patuh dalam meresepkan obat generik.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat kepatuhan dalam meresepkan obat generik di RSU dr. Pirngadi selama tiga bulan berturut mulai bulan Februari hingga bulan April 2010 tergolong tidak patuh.

(15)

ABSTRACT

On January 14th 2010, was established a regulation, Peraturan Menteri Kesehatan HK.02.02/MENKES/068/2010 about the usage of generic drugs in govermental health care facilities, in which "doctor who works in governmental health services is obligated to prescribe generic drugs for all patients according to medical indications", which is written in its Chapter II, the 4th article in the 1st paragraph. The regulation was set to ensure the quality and safety of generic drugs and to encourage their usage in govermental health services. However, nowadays the availability of generic drugs and their usage in curing disease are fewer compared to non-generic drugs. Therefore, the objective of this study is to evaluate how obedient the doctors who work in RSU dr. Pirngadi in prescribing generic drugs to the patients during the period of February to April 2010.

The research method was descriptive study with cross sectional design. The objects of sample were prescriptions in RSU dr. Pirngadi pharmacy, as many as 100 prescriptions every month from February to April 2010. The sampling method used was consecutive sampling technique. Further data were analyzed with SPSS 15 program.

The results show us that in February 2010, there were 71% of sample classified as disobedient, 10% of quite obedient, and 19% of obedient in prescribing the generic drugs. In March 2010, there were 68% of sample classified as disobedient, 13% of quite obedient, and 19% of obedient in prescribing the generic drugs. In April 2010, there were 77% of sample classified as disobedient, 11% of quite obedient, and 12% of obedient in prescribing the generic drugs.

From this research we can conclude that the level of obedience in prescribing generic drugs in RSU dr. Pirngadi during Februari to April 2010 was disobedient.

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Masalah kesehatan telah menjadi salah satu masalah yang sangat pelik

hingga saat ini dan masih terus berkembang serta belum ada akhirnya. Menurut

Undang-Undang RI No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, dikatakan bahwa

kesehatan merupakan suatu keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang

memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Kesehatan juga terkait dengan tingkat ekonomi seseorang. Semakin rendah tingkat

ekonominya, semakin rendah kualitas kesehatan seseorang.

Setiap penyakit diharapkan dapat ditanggulangi secepat mungkin untuk

menurunkan angka kesakitan dan kematian. Salah satunya bentuk penanggulangan

dapat dilakukan melalui penggunaan obat-obatan. Saat ini, obat yang beredar di

Indonesia sangatlah banyak. Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2006-2009, secara

internasional obat hanya dibagi menjadi menjadi 2, yaitu : obat paten dan obat

generik. Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan

memiliki masa paten yang tergantung dari jenis obatnya. Obat generik dibagi lagi

menjadi 2 yaitu generik berlogo dan generik bermerek (Batubara, 2008).

Obat Generik Berlogo (OGB) diluncurkan pada tahun 1991 oleh

pemerintah yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kelas

menengah ke bawah akan obat. Harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah

untuk menjamin akses masyarakat terhadap obat. Harga obat generik bisa ditekan

karena obat generik umumnya dikemas sederhana dan dijual dalam kemasan

dengan jumlah besar, dan tidak di promosikan secara berlebihan sehingga

menghemat biaya kemasan dan biaya iklan dalam pemasarannya. Proporsi biaya

iklan obat dapat mencapai 20-30% (Dinkes Gorontalo, 2008), sehingga biaya

iklan obat akan mempengaruhi harga obat secara signifikan. Mengingat obat

merupakan komponen terbesar dalam pelayanan kesehatan, maka peningkatan

(17)

terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Menurut Widjajarta

(2008), beda harga obat bermerk dengan obat generik sekitar 40 kali sampai 80

kali bahkan ada yang mencapai 200 kali lipat dibandingkan harga obat generik. Di

luar negeri, harga maksimal obat bermerek diatur hanya 1,2-2 kali harga obat

generik (Widjajarta, 2008). Hal inilah yang menjadi kendala terbesar sulitnya

distribusi obat generik di Indonesia.

Atas dasar pertimbangan bahwa ketersediaan obat generik dalam jumlah

dan jenis yang cukup, terjangkau oleh masyarakat serta terjamin mutu dan

keamanannya, perlu digerakkan dan didorong penggunaannya di fasilitas

pelayanan kesehatan pemerintah. Pertimbangan lain yaitu agar penggunaan obat

generik dapat berjalan efektif perlu diatur kembali mengenai ketentuan kewajiban

menuliskan resep dan/atau menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan

kesehatan pemerintah. Oleh karena itu pada tanggal 14 januari 2010,

ditetapkanlah suatu peraturan baru oleh Menteri Kesehaan Republik Indonesia, dr.

Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR. PH, Keputusan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/068/2010 tentang

Ketetapan Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan Pemerintah. Peraturan ini terdiri dari 4 bab, dimana pada bab II pasal 4, ayat 1, tertulis bahwa “Dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis”.

Dengan latar belakang tersebut, penulis merasa perlu dilakukan penelitian

untuk menilai seberapa patuh dokter-dokter yang bertugas di Rumah Sakit Umum

dr. Pirngadi dalam meresepkan obat generik kepada pasien dalam menunjang

keberhasilan program pemerintah ini.

1.2.Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang menjadi dasar penelitian adalah: bagaimana

tingkat kepatuhan dokter-dokter di fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat

(18)

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan dokter dalam

meresepkan obat generik kepada pasien di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi,

Medan.

1.3.2.Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Memperoleh gambaran jumlah resep obat generik dan obat generik

bermerek yang dikeluarkan oleh dokter di Rumah Sakit Umum dr.

Pirngadi pada bulan Februari sampai bulan April 2010.

2. Memperoleh gambaran jumlah obat-obat generik yang tidak tersedia di

instalasi farmasi rumah sakit.

1.4.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai gambaran keberhasilan program pemerintah di kota Medan.

2. Sebagai masukan bagi pemerintah untuk pengadaan distribusi obat

generik yang lebih lancar khususnya di kota Medan.

3. Sebagai bahan informasi untuk digunakan atau melengkapi data

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Obat

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No.193/Kab/B.VII/71, dikatakan

bahwa obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan

untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan,

menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan

badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau

memperindah badan atau bagian badan manusia. Menurut Batubara (2008), obat

adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi jaringan biologi. Dalam WHO, obat

didefinisikan sebagai zat yang dapat mempengaruhi aktivitas fisik atau psikis.

Sedangkan menurut Kebijakan Obat Nasional (KONAS), obat adalah sediaan

yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologis atau

kondisi patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,

pemulihan dari rasa sakit, gejala sakit, dan/atau penyakit, untuk meningkatkan

kesehatan, dan kontrasepsi. Dalam pengertian umum, obat adalah suatu substansi

yang melalui efek kimianya membawa perubahan dalam fungsi biologik

(Katzung, 2007).

Menurut Katzung (2007), setiap obat memiliki sifat khusus masing-masing

agar dapat bekerja dengan baik. Sifat fisik obat, dapat berupa benda padat pada

temperatur kamar ataupun bentuk gas namun dapat berbeda dalam penanganannya

berkaitan dengan pH kompartemen tubuh dan derajat ionisasi obat tersebut.

Ukuran molekuler obat yang bervariasi dari ukuran sangat besar (BM 59.050)

sampai sangat kecil (BM 7) dapat mempengaruhi proses difusi obat tersebut

dalam kompartemen tubuh. Bentuk suatu molekul juga harus sedemikian rupa

sehingga dapat berikatan dengan reseptornya. Setiap obat berinteraksi dengan

reseptor berdasarkan kekuatan atau ikatan kimia. Selain itu, desain obat yang

rasional berarti mampu memperkirakan struktur molekular yang tepat berdasarkan

jenis reseptor biologisnya.

(20)

Efek obat terjadi karena adanya interaksi fisiko-kimiawi antara obat atau

metabolit aktif dengan reseptor atau bagian tertentu dari tubuh. Obat tidak dapat

menimbulkan fungsi baru dalam jaringan tubuh atau organ, tetapi hanya dapat

menambah atau mempengaruhi fungsi dan proses fisiologi (Batubara, 2008).

Untuk dapat mencapai tempat kerjanya, banyak proses yang harus dilalui

obat. Proses itu terdiri dari 3 fase, yaitu fase farmasetik, fase farmakokinetik, dan

fase farmakodinamik. Fase farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi oleh cara

pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan

(Batubara, 2008). Fase selanjutnya yaitu fase farmakokinetik, merupakan proses

kerja obat pada tubuh (Katzung, 2007). Suatu obat selain dipengaruhi oleh sifat

fisika kimia obat (zat aktif), juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi tubuh, dan jalur

atau rute pemberian obat (Batubara, 2008). Menurut Katzung (2007), suatu obat

harus dapat mencapai tempat kerja yang diinginkan setelah masuk tubuh dengan

jalur yang terbaik. Dalam beberapa hal, obat dapat langsung diberikan pada

tempatnya bekerja, atau obat dapat diberikan melalui intravena maupun per oral.

Fase selanjutnya yaitu fase farmakodinamik. Proses ini merupakan pengaruh

tubuh pada obat (Katzung, 2007). Fase ini menjelaskan bagaimana obat

berinteraksi dengan reseptornya ataupun pengaruh obat terhadap fisiologi tubuh.

Fase farmakodinamik dipengaruhi oleh struktur kimia obat, jumlah obat yang

sampai pada reseptor, dan afinitas obat terhadap reseptor dan sifat ikatan obat

dengan reseptornya (Batubara, 2008).

2.2.1 Fase Farmasetik

Fase farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi antara lain oleh cara

pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan. Sediaan

obat yang banyak dipakai adalah sediaan padat atau cair. Untuk dapat diabsorpsi

obat harus dapat melarut dalam tempat absorpsinya (Batubara, 2008).

Menurut Banker (1994) dalam Lachman (1994), sediaan tablet merupakan

bentuk sediaan farmasi yang paling banyak tantangan dalam mendesain dan

membuatnya untuk memperoleh bioavailabilitas (ketersediaan hayati) obat penuh

(21)

gumpalan. Walaupun obat telah baik proses pengempaannya, melarutnya, dan

tidak mempunyai masalah dengan bioavailabilitas obat, masih banyak hal lain

yang harus diperhatikan dalam proses farmasetik obat, mulai dari penampilan

obat, pembubukan, atau pengelupasan dalam botol selama pengepakan atau

penanganan. Penambahan pengikat, perekat atau peningkatan tekanan kempa

dapat mempengaruhi waktu hancur tablet, kecepatan melarut tablet, dan mungkin

bioavailabilitas obat.

2.2.2 Fase Farmakokinetik

Farmakokinetik mempelajari proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan

ekskresi obat dari dalam tubuh atau ilmu yang mempelajari pengaruh tubuh

terhadap obat (Batubara, 2008). Proses farmakokinetik tersebut menentukan

berapa cepatnya, berapa konsentrasinya, dan untuk berapa lama obat tersebut

berada pada organ target (Holford, 2007).

a. Absorpsi

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke

dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya melalui saluran cerna (mulut

sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian obat per

oral akan diabsorpsi melalui usus halus (Setiawati dkk., 2007). Menurut Batubara

(2008), kecepatan absorpsi obat tergantung dari kecepatan obat melarut pada

tempat absorpsi, derajat ionisasi, pH tempat absorpsi, dan sirkulasi darah di

tempat obat melarut.

Untuk dapat diabsorpsi, obat harus dapat melarut atau dalam bentuk yang

sudah terlarut sehingga kecepatan melarut akan sangat menentukan kecepatan

absorpsi. Untuk itu, sediaan obat padat sebaiknya diminum dengan cairan yang

cukup untuk membantu mempercepat kelarutan obat (Batubara, 2008).

pH adalah derajat keasaman atau kebasaan jika zat berada dalam bentuk

larutan. Obat yang terlarut dapat berupa ion atau non ion. Bentuk non-ion relatif

lebih mudah larut dalam lemak sehingga lebih mudah menembus membran,

(22)

menembus membran dipengaruhi oleh pH obat dalam larutan dan pH dari

lingkungan obat berada. Obat yang bersifat asam lemah akan mudah menembus

membran sel pada suasana asam, karena obat relatif tidak terionisasi atau bentuk

ionnya sedikit. Sebaliknya obat-obat yang bersifat basa lemah akan mudah

diabsorpsi di usus halus karena juga relatif tidak terionisasi (Batubara, 2008).

b. Distribusi

Di dalam darah obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai

ikatan lemah (Setiawati dkk.,2007), lalu akan disebar ke jaringan atau tempat

kerjanya (Batubara, 2008). Obat bebas akan keluar dari jaringan ke tempat kerja

obat, ke jaringan tempat depotnya, ke hati (obat mengalami metabolisme menjadi

metabolit yang dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke darah), dan ke

ginjal, dimana obat/metabolitnya diekskresi ke dalam urin (Setiawati dkk., 2007).

Hanya obat bebas (tidak terikat) yang dapat mencapai sasaran dan

mengalami metabolisme sehingga lebih mudah diekskresikan. Berkurangnya obat

bebas dalam tubuh karena ekskresi akan menyebabkan pelepasan obat yang terikat

oleh protein. Terjadi keseimbangan yang dinamis antara obat bebas dengan obat

yang terikat. Perbandingan antara obat terikat dan obat bebas akan menentukan

lama kerja (durasi) obat (Batubara, 2008).

Faktor fisiologi seperti blood brain barrier atau sawar darah otak yang terdapat di lapisan kapiler serebral dapat menghalangi distribusi obat ke jaringan

otak (Batubara, 2008). Sel-sel endotel pembuluh darah kapiler di otak membentuk

tight junction (tidak ada lagi celah diantara sel-sel endotel tersebut) dan pembuluh darah kapiler ini dibalut oleh astrosit otak yang merupakan lapisan-lapisan

membran sel (Setiawati dkk., 2007). Sawar uri (placental barrier) terdiri dari satu lapis sel vili dan satu lapis sel endotel kapiler dari fetus. Karena itu obat yang

dapat diabsorpsi melalui pemberian oral juga dapat masuk ke fetus melalui sawar

uri. Akan tetapi obat larut lemak yang merupakan substrat P-gp atau MRP

(23)

menunjang fungsi sawar darah otak dan sawar uri untuk melindungi otak dan fetus

dari obat yang efeknya merugikan (Setiawati dkk., 2007).

c. Metabolisme

Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia

dalam jaringan biologis yang dikatalisis oleh enzim menjadi metabolitnya

(Batubara, 2008). Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar

(larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau

empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umumya diubah menjadi inaktif, tapi

sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang aktif, atau menjadi toksik (Setiawati dkk., 2007).

Proses metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase

I terdiri dari terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat

menjadi lebih polar, dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif atau kurang aktif

(Setiawati dkk., 2007). Reaksi fase II merupakan reaksi konjugasi dengan substrat

endogen : asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino dan

hasilnya menjadi sangat polar, dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Obat

dapat mengalami reaksi fase I saja, atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I dan

diikuti dengan reaksi fase II. Hasil reaksi fase I dapat juga sudah cukup polar

untuk langsung diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui fase II lebih dulu

(Setiawati dkk., 2007).

Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim

cytochrome P450 (CYP), yang disebut juga enzim mono-oksigenase, atau MFO (mixed-function oxidase), dalam endoplasmic reticulum (mikrosom hati). Beberapa enzim yang penting untuk metabolisme dalam hati antara lain :

CYP3A4/5, CYP2D6, CYP2C9, CYP1A1/2, CYP 2E1 (Setiawati dkk., 2007).

Selanjutnya reaksi fase II yang terpenting adalah glukoronidasi melalui

enzim UDP-glukoronil-transferase (UGT), terutama terjadi dalam mikrosom hati,

tetapi juga di jaringan ekstrahepatik (usus halus, ginjal, paru, kuit). Reaksi

konjugasi yang lain (asetilasi, sulfasi, konjugasi dengan glutation) terjadi di dalam

(24)

d. Ekskresi

Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal (Setiawati dkk., 2007).

Tempat ekskresi obat lainnya adalah intestinal (melalui feses), paru-paru, kulit,

keringat, air liur, dan air susu (Batubara, 2008). Obat dieksresi melalui ginjal

dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi melalui ginjal

melibatkan tiga proses, yaitu filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus

proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus (Setiawati dkk., 2007).

Obat yang tidak terikat protein (bentuk bebas) akan mengalami filtrasi

glomerulus masuk ke tubulus (Batubara, 2008). Filtrasi glomerulus menghasilkan

ultrafiltrat, yakni minus plasma protein, jadi semua obat bebas akan keluar dalam

ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein akan tetap tinggal dalam darah

(Setiawati dkk., 2007). Kelarutan dan pH tidak berpengaruh pada kecepatan

filtrasi glomerulus, yang berpengaruh adalah ukuran partikel, bentuk partikel, dan

jumlah pori glomerulus (Batubara, 2008).

Obat yang tidak mengalami filtrasi glomerulus dapat masuk ke tubulus

melalui sekresi di tubulus proksimal. Sekresi tubulus proksimal merupakan proses

transport aktif, jadi memerlukan carrier (pembawa) dan energi (Batubara, 2008). Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui

transporter membran P-glikoprotein (P-gp) dan MRP (Multidrug-Resistance Protein) yang terdapat di membran sel epitel dengan selektivitas berbeda (Setiawati dkk., 2007).

Setelah obat sampai di tubulus, kebanyakan akan mengalami reabsorpsi

kembali ke sirkulasi sistemik (Batubara, 2008). Reabsorpsi pasif terjadi di

sepanjang tubulus untuk bentuk non-ion obat yang larut lemak. Oleh karena

derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk

mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam atau obat basa

(Setiawati dkk., 2007).

Kecepatan metabolisme dan ekskresi suatu obat dapat dilihat dari nilai

waktu paruhnya (T1/2). Waktu paruh adalah waktu yang diperlukan sehingga

(25)

separuhnya (Holford dkk., 1997). Perlambatan eliminasi obat dapat disebabkan

oleh adanya gangguan hepar atau ginjal sehingga memperpanjang waktu paruhnya

(Batubara, 2008).

Ekskresi obat kedua penting adalah melalui empedu ke dalam usus dan

keluar bersama feses (Suyatna dkk., 2007). Selain itu, ekskresi melalui paru

terutama untuk eliminasi gas anestetik umum. Ekskresi dalam ASI, saliva,

keringat dan air mata secara kuantitatif tidak penting. Ekskresi ini bergantung

terutama pada difusi pasif dari bentuk non-ion yang larut lemak melalui sel epitel

kelenjar, dan pada pH. (Suyatna dkk, 2007).

Parameter dalam proses farmakokinetik meliputi volume distribusi,

bersihan (clearance), bioavailabilitas, dan waktu paruh (Holford, 2007). Volume distribusi (Vd) adalah volume perkiraan obat terlarut dan terdistribusi dalam

tubuh. Semakin besar nilai volume distribusi, semakin luas distribusinya

(Batubara, 2008). Besarnya volume distribusi ditentukan oleh ukuran dan

komposisi tubuh, dan derajat ikatan obat dengan protein plasma dan dengan

berbagai jaringan (Setiawati, 2007).

Bersihan (clearance) adalah kecepatan obat dibersihkan dari dalam tubuh atau volume plasma yang dibersihkan dari obat persatuan waktu (volume/waktu).

Bersihan total adalah jumlah bersihan dari berbagai organ, seperti hepar, ginjal,

empedu, paru-paru, dan lain-lain (Batubara, 2008). Bersihan obat-obat yang tidak

diubah melalui urin merupakan bersihan ginjal. Di dalam hati, bersihan obat

melalui biotransformasi obat parent drug menjadi satu atau lebih metabolik, atau ekskresi obat yang tidak diubah (unchanged drug) ke dalam empedu, atau kedua-duanya (Holford, 2007).

Bioavailabilitas adalah jumlah dan kecepatan obat yang diabsorpsi melalui

jalur pemberian tertentu masuk ke sirkulasi sistemik (Batubara, 2008). Untuk

suatu dosis intravena dari obat, bioavailabilitas adalah sama dengan satu (Holford,

2007), atau dianggap 100% masuk ke dalam tubuh (Batubara, 2008). Untuk obat

yang diberikan peroral, bioavailabilitas dapat berkurang 100% karena absorpsi

(26)

2.2.3 Fase Farmakodinamik

Farmakodinamik mempelajari mekanisme kerja obat dengan tujuan

meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui

urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi (Setiawati dkk.,

2007). Kebanyakan obat bekerja dengan berinteraksi dengan reseptor,

berinteraksi dengan enzim, ataupun dengan kerja non-spesifik. Protein merupakan

reseptor obat yang paling penting (Setiawati dkk., 2007). Jenis-jenis protein lain

yang telah diidentifikasikan sebagai reseptor obat meliputi enzim-enzim, transpor

protein (misalnya Na+/K+ ATPase), dan protein struktural (misalnya tubulin)

(Bourne dan Roberts, 2007). Obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya

memodulasi fungsi yang sudah ada (Setiawati dkk., 2007).

Berakhirnya kerja obat pada tingkat reseptor merupakan salah satu akibat

dari serangkaian proses. Dalam beberapa hal, efek berlangsung hanya selama obat

menempati reseptor sehingga dengan lepasnya obat dari reseptor efek akan segera

berakhir. Ada juga kerja obat masih tetap ada walaupun obat sudah terdisosiasi

disebabkan oleh adanya beberapa molekul pasangan masih dalam bentuk aktif

(Katzung, 2007).

Semua respon farmakologik harus mempunyai suatu efek maksimum

(Emax). Tidak perduli berapa konsentrasi obat yang akan dicapai, akan didapat

suatu titik dimana tidak ditemukan lagi suatu respon. Kepekaan organ target pada

obat dicerminkan oleh konsentrasi obat yang diperlukan untuk menghasilkan 50%

dari efek maksimum. Kepekaan yang meningkat pada suatu obat biasanya ditandai

oleh respon yang berlebihan pada dosis kecil atau dosis sedang (Holford, 2007).

2.3 Penggolongan Obat

Menurut Permenkes 917/Menkes/Per/X/1993, obat (jadi) adalah sediaan

atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki

secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa,

(27)

Berbagai obat-obat yang beredar di Indonesia dengan segala fungsinya

dapat diperoleh dalam berbagai sediaan obat. Menurut Batubara (2008), bentuk

sediaan obat dapat berupa sediaan padat (pulvis, tablet, kapsul, suppositoria,

kaplet, lozenge), semi padat (salep, krim, pasta, jelli), cair (larutan, sirup, eliksir, guttae, injeksi, enema, gargarisma, douche, suspensi, emulsi, infusa), dan gas (aerosol, gas). Dalam Permenkes No. 725a/1989, untuk memudahkan

pengawasan, penggunaan, dan pemantauan, obat digolongkan menjadi :

a. Obat Bebas

Obat bebas termasuk obat yang relatif paling aman, dapat diperoleh

tanpa resep dokter, selain di apotik juga dapat diperoleh di

warung-warung. Obat bebas dalam kemasannya ditandai dengan lingkaran

berwarna hijau. Contoh obat bebas yaitu parasetamol, vitamin C,

antasida, dan Obat Batuk Hitam (OBH).

b. Obat Bebas Terbatas

Obat golongan ini juga relatif aman selama pemakaiannya mengikuti

aturan pakai yang ada. Penandaan obat golongan ini adalah adanya

lingkaran berwarna biru dan tertera peringatan dengan tulisan:

P. No. 1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya.

P. No. 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.

P. No. 3: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.

P. No. 4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.

P. No. 5: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan

Obat bebas terbatas dapat diperoleh tanpa resep dokter di apotik, toko

obat ataupun di warung-warung. Contohnya obat anti mabuk

(Antimo), obat flu kombinasi, klotrimaleas (CTM).

c. Obat keras

Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu

obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep

dokter, memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan

tulisan huruf K di dalamnya. Jika pemakai tidak memperhatikan dosis,

(28)

berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau

menyebabkan kematian. Contoh obat golongan keras yaitu antibiotik

(tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan yang

mengandung hormon (obat kencing manis, obat penenang, dan

lain-lain).

d. Psikotropika

Psikotropika adalah zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak

atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan

perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi,

gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat

menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi

(merangsang) bagi para pemakainya. Jenis obat psikotropika yaitu

shabu-shabu dan ekstasi.

e. Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan

pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan

memasukkannya ke dalam tubuh manusia. Pengaruh tersebut berupa

pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat, halusinasi atau

timbulnya khayalan-khayalan yang menyebabkan efek ketergantungan

bagi pemakainya. Narkotika merupakan kelompok obat yang paling

berbahaya karena dapat menimbulkan addiksi (ketergantungan) dan

toleransi. Obat ini hanya dapat diperoleh dengan resep dokter.

Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, secara internasional obat hanya

dibagi menjadi menjadi 2 yaitu obat paten dan obat generik.

a. Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan

memiliki masa paten yang tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU

No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun.

Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak

(29)

Perusahaan lain tidak diperkenankan untuk memproduksi dan

memasarkan obat serupa kecuali jika memiliki perjanjian khusus

dengan pemilik paten.

b. Obat generik. Setelah obat paten berhenti masa patennya, obat paten

kemudian disebut sebagai obat generik (generik= nama zat

berkhasiatnya). Obat generik dibagi lagi menjadi 2 yaitu generik

berlogo dan generik bermerek (branded generic). Obat generik berlogo yang lebih umum disebut obat generik saja adalah obat yang

menggunakan nama zat berkhasiatnya dan mencantumkan logo

perusahaan farmasi yang memproduksinya pada kemasan obat,

sedangkan obat generik bermerek yang lebih umum disebut obat

bermerk adalah obat yang diberi merek dagang oleh perusahaan

farmasi yang memproduksinya.

2.4 Obat Generik

Obat Generik Berlogo (OGB) diluncurkan pada tahun 1991 oleh

pemerintah yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kelas

menengah ke bawah akan obat. Jenis obat ini mengacu pada Daftar Obat Esensial

Nasional (DOEN) yang merupakan obat esensial untuk penyakit tertentu.

Harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah untuk menjamin akses

masyarakat terhadap obat. Oleh karena itu, sejak tahun 1985 pemerintah

menetapkan penggunaan obat generik pada fasilitas pelayanan kesehatan

pemerintah. Harga obat generik bisa ditekan karena obat generik hanya berisi zat

yang dikandungnya dan dijual dalam kemasan dengan jumlah besar, sehingga

tidak diperlukan biaya kemasan dan biaya iklan dalam pemasarannya. Proporsi

biaya iklan obat dapat mencapai 20-30%, sehingga biaya iklan obat akan

mempengaruhi harga obat secara signifikan (Dinkes Gorontalo, 2008).

Mengingat obat merupakan komponen terbesar dalam pelayanan

kesehatan, peningkatan pemanfaatan obat generik akan memperluas akses

terhadap pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan

(30)

Menurut Widjajarta (2008), orang sering mengira bahwa mutu obat

generik kurang baik dibandingkan obat bermerk. Harganya yang terbilang murah

membuat masyarakat tidak percaya bahwa obat generik sama berkualitasnya

dengan obat bermerk. Padahal generik atau zat berkhasiat yang dikandung obat

generik sama dengan obat bermerk. Dalam proses produksi obat, perusahaan

farmasi bersangkutan harus melengkapi persyaratan ketat dalam Cara-cara

Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan

Obat dan Makanan (BPOM). Selain itu juga ada persyaratan untuk obat yang

disebut uji Bioavailabilitas/Bioekivalensi (BA/BE). Obat generik dan obat

bermerk yang diregistrasikan ke BPOM harus menunjukkan kesetaraan biologi

(BE) dengan obat pembanding inovator. Inovator yang dimaksud adalah obat yang

pertama kali dikembangkan dan berhasil muncul di pasaran dengan melalui

serangkaian pengujian, termasuk pengujian BA. Studi BA dan atau BE seharusnya

telah dilakukan terhadap semua produk obat yang berada di pasaran baik obat

bermerek maupun obat generik. Uji BA/BE diperlukan untuk menjaga keamanan

dan mutu obat generik. Dengan demikian, masyarakat terutama klinisi mendapat

jaminan obat yang sesuai dengan standar efikasi, keamanan dan mutu yang

dibutuhkan (Dinkes Gorontalo, 2008).

Studi BE memungkinkan untuk membandingkan profil pemaparan

sistemik (darah) suatu obat yang memiliki bentuk sediaan yang berbeda-beda

(tablet, kapsul, sirup, salep, suppositoria, dan sebagainya), dan diberikan melalui

rute pemberian yang berbeda-beda (oral, rektal, transdermal/kulit).

Bioavailabilitas/ketersediaan hayati (BA) dapat didefinisikan sebagai rate

(kecepatan zat aktif dari produk obat yang diserap di dalam tubuh ke sistem

peredaran darah) dan extent (besarnya jumlah zat aktif dari produk obat yang dapat masuk ke sistem peredaran darah), sehingga zat aktif/obat tersedia pada

tempat kerjanya untuk menimbulkan efek terapi/penyembuhan yang diinginkan.

Bioekivalensi/kesetaraan biologi (BE) dapat didefinisikan menjadi tidak adanya

perbedaan secara bermakna pada rate dan extent zat aktif dari dua produk obat yang memiliki kesetaraan farmasetik, misalnya antara tablet A yang merupakan

(31)

tersedia pada tempat kerja obat ketika keduanya diberikan dalam dosis zat aktif

yang sama dan dalam desain studi yang tepat (Dinkes Gorontalo, 2008).

Setiap negara wajib menyusun daftar obat esensial (DOEN), sejumlah

jenis obat yang paling dibutuhkan di suatu negara, dan yang tergolong sering

dipakai. Daftar ini dapat ditambah atau dikurangi oleh pemerintah sesuai

kebutuhan negara. Namun, yang terjadi sekarang, DOEN kita cenderung pasif.

Obat bermerk dan jenis yang sama pun terus bertambah, sehingga membuat

bingung dokter saat menulis resep (Dinkes Gorontalo, 2008). Menurut Widjajarta

(2008), beda harga obat bermerk dengan obat generik sekitar 40 kali, 80 kali

bahkan ada yang sampai 200 kali lipat.

Oleh karena itu, menimbang bahwa ketersediaan obat generik dalam

jumlah dan jenis yang cukup, terjangkau oleh masyarakat serta terjamin mutu dan

keamanannya, perlu digerakkan dan didorong penggunaannya di fasilitas

pelayanan kesehatan pemerintah. Dan bahwa agar penggunaan obat generik dapat

berjalan efektif perlu diatur kembali ketentuan kewajiban menuliskan resep

dan/atau menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah

dengan peraturan menteri kesehatan. Untuk itu, Menteri Kesehatan Republik

Indonesia memutuskan menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik

Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, yang disahkan pada tanggal 14

Januari 2010. PerMenKes ini terdiri dari 4 bab dengan 12 pasal, dimana pada bab

II, pasal 4 ayat 1, tertulis bahwa dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan

kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai

indikasi medis.

Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, dokter diharapkan mematuhi

peraturan tersebut dan meresepkan obat generik agar semua lapisan masyarakat

dapat memenuhi kebutuhan obatnya dengan harga terjangkau dan mutu terjamin,

sehingga dapat memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat Indonesia. Adapun

kepatuhan dokter merupakan suatu perilaku dokter dalam menaati ketetapan

(32)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1.Kerangka Konsep

3.2.Variabel dan Definisi Operasional

3.2.1 Obat generik adalah obat dengan nama resmi International NonPropietary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya.

3.2.2 Obat Generik Bermerek adalah obat generik dengan nama dagang yang

menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan.

3.2.3 Resep adalah permintaan tertulis dari dokter kepada apoteker/farmasis

pengelola apotek untuk memberikan obat jadi atau meracik obat dalam

bentuk sediaan tertentu sesuai dengan keahliannya, takaran, dan jumlah

obat sesuai dengan yang diminta, kemudian menyerahkannya kepada yang

berhak/pasien.

3.2.4 Kepatuhan adalah perilaku yang mentaati semua nasihat dan petunjuk yang

dianjurkan oleh kalangan tenaga medis.

Pengukuran kepatuhan dengan menggunakan skala :

Peresepan obat generik bermerek Peresepan obat generik

(33)

1. Patuh, bila peresepan obat generik > 75% dari total peresepan obat.

2. Cukup patuh, bila peresepan obat generik ≤ 75% dan > 50% dari total peresepan obat.

(34)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dengan menggunakan

desain cross sectional karena penelitian dilakukan pada saat itu juga tanpa adanya tindak lanjut apa pun.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1. Waktu Penelitian

Penelitian telah dilakukan pada bulan Juli sampai bulan September 2010.

4.2.2. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di bagian instalasi farmasi Rumah Sakit Umum dr.

Pirngadi Medan dimana merupakan salah satu fasilitas pelayanan kesehatan

pemerintah di kota Medan.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh resep yang masuk ke instalasi farmasi

di dalam Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan selama bulan Februari sampai

April 2010.

4.3.2. Sampel

Jumlah sampel dalam penelitian ini diperoleh dengan perhitungan sebagai

berikut (Sastroasmoro, 2008) :

(35)

Keterangan : n = besar sampel

a = tingkat kemaknaan (ditetapkan, Za = 1,96)

P = proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari (dari pustaka

atau, ditetapkan 0,5)

Q = adalah (1-P), jadi bila P = 0,5, maka Q = 0,5

d = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki, yakni 10%

Perhitungannya adalah sebagai berikut :

= 96,04 ∞ 100

Dengan demikian, jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sejumlah 100 resep.

Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling

dimana semua subyek yang memenuhi kriteria penelitian akan dimasukkan hingga

jumlah sampel penelitian terpenuhi.

Adapun kriteria inklusi subyek penelitian ini adalah semua resep yang merupakan

resep pasien umum.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan merupakan data primer karena data diperoleh

langsung dari resep yang memenuhi kriteria sampel kemudian dicatat sesuai

kriteria yang akan diteliti.

4.5. Teknik Analisa Data

Teknik pengolahan dan analisa data dalam penelitian ini menggunakan

(36)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Kota Medan didirikan pada tanggal 11

Agustus 1928 dan mulai beroperasi pada tahun 1930. Sejak tanggal 27 Desember

2001 dikelola oleh pemerintah Kota Medan dan berstatus swadana bagi rumah

sakit dan swakelola oleh Instalasi Farmasi.

Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Kota Medan adalah rumah sakit kelas B

Pendidikan yang mempunyai fasilitas dan kemampuan medis spesialis dasar,

spesialis luas dan beberapa subspesialis.

Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Kota Medan terletak di Jl. Prof. H. M.

Yamin, Kelurahan Perintis Kemerdekaan Kecamatan Medan Timur. Kepegawaian

Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Kota Medan meliputi tenaga medis, apoteker,

tenaga keperawatan, tenaga gizi, tenaga non medis dan tenaga umum.

Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Kota Medan

merupakan salah satu unit fungsional yang dipimpin oleh seorang apoteker yang

bertugas membantu dan menunjang fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit.

Pelaksanaan pendistribusian perbekalan farmasi dilakukan melalui :

a. Pelayanan farmasi pasien ASKES, rawat inap, Jamkesmas/Medan sehat

rawat inap dan rawat jalan

b. Pelayanan farmasi pasien umum rawat inap dan rawat jalan

c. Apotek satelit Instalasi Gawat Darurat (IGD)

d. Apotek satelit Central Operation Theatre (COT)

(37)

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

Sampel merupakan resep yang masuk ke Instalasi Farmasi RSU dr.

Pirngadi Medan, dan merupakan pelayanan farmasi pasien umum rawat inap dan

rawat jalan. Obat yang tertulis pada resep kemudian digolongkan menjadi obat

generik dan obat non generik.

Tabel 5.1 Distribusi Jumlah Total Obat Generik yang diberikan dalam Resep Bulan Februari.

Jumlah Obat Generik per Resep

N Resep Jumlah Obat Generik yang diberikan

0 48 0

1 26 26

2 13 26

3 7 21

4 6 24

Total 100 97

Selama bulan Februari, dapat dilihat bahwa dari 100 sampel resep yang

diperoleh, jumlah total obat generik yang diberikan dalam resep sebanyak 97

(38)

Tabel 5.2 Distribusi Jumlah Total Obat Non Generik yang diberikan dalam Resep

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa selama bulan Februari, dari 100 resep yang

diteliti, jumlah obat non-generik yang diberikan sebanyak 146 buah.

Tabel 5.3 Distribusi Jumlah Total Obat Generik yang diberikan dalam Resep Bulan Maret.

Jumlah Obat Generik per Resep

N Resep Jumlah Obat Generik yang diberikan

Selama bulan Maret, dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa dari 100 sampel

resep yang diperoleh, jumlah total obat generik yang diberikan dalam resep

(39)

Tabel 5.4 Distribusi Jumlah Total Obat Non Generik yang diberikan dalam Resep

N Resep Jumlah Obat Generik yang diberikan

Selama bulan April, dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa dari 100 sampel

resep yang diperoleh, jumlah total obat generik yang diberikan dalam resep

(40)

Tabel 5.6 Distribusi Jumlah Total Obat Non Generik yang diberikan dalam Resep Bulan April.

Jumlah Obat Non Generik per Resep

N Resep Jumlah Obat Non

Generik yang diberikan

0 13 0

1 23 23

2 40 80

3 21 63

4 5

2

1

8

5

Total 100 179

Selama bulan April, dapat dilihat bahwa dari 100 sampel resep yang

diperoleh, jumlah total obat non generik yang diberikan dalam resep sebanyak

(41)

5.1.3.Hasil Deskripsi Data

5.1.3.1 Deskripsi Data Bulan Februari

Tabel 5.7. Distribusi Jumlah Resep Berdasarkan Nilai Persen Kepatuhan Per

Resep

kepatuhan dalam meresepkan obat generik atau 0% sebanyak 48 resep (48%) dan

nilai persen kepatuhan maksimal dalam meresepkan obat generik atau 100%

sebanyak 18 resep (18%).

Tabel 5.8. Distribusi Jumlah Resep Berdasarkan Kategori Tingkat Kepatuhan

Tingkat Kepatuhan Jumlah % Jumlah

Kurang (≤ 50%) 71 71

Cukup (≤ 75% dan > 50%) 10 10

Patuh (> 75%) 19 19

Total 100 100

Berdasarkan tabel di atas, mayoritas termasuk kedalam kategori kurang

patuh yaitu sebanyak 71 resep (71%) sementara dengan kriteria patuh berjumlah

(42)

5.1.3.2 Deskripsi Data Bulan Maret

Tabel 5.9. Distribusi Jumlah Resep Berdasarkan Nilai Persen Kepatuhan Per

Resep

kepatuhan dalam meresepkan obat generik atau 0% sebanyak 43 resep (43%) dan

dengan nilai persen kepatuhan maksimal dalam meresepkan obat generik atau

(43)

Tabel 5.10. Distribusi Jumlah Resep Berdasarkan Kategori Tingkat Kepatuhan

Tingkat Kepatuhan Jumlah % Jumlah

Kurang (≤ 50%) 68 68

Berdasarkan tabel di atas, mayoritas termasuk kedalam kategori kurang

patuh yaitu sebanyak 68 resep (68%) sementara dengan kriteria patuh berjumlah

19 resep (19%).

5.1.3.3 Deskripsi Data Bulan April

Tabel 5.11. Distribusi Jumlah Resep Berdasarkan Nilai Persen Kepatuhan Per

(44)

Berdasarkan tabel di atas, jumlah resep dengan nilai persen kepatuhan

minimal dalam meresapkan obat generik atau 0% sebanyak 51 resep (51%) dan

dengan nilai persen kepatuhan maksimal peresepan obat generik atau 100%

sebanyak 12 resep (12%).

Tabel 5.12. Distribusi Jumlah Resep Berdasarkan Kategori Tingkat Kepatuhan

Tingkat Kepatuhan Jumlah % Jumlah

Kurang (≤ 50%) 77 77

Cukup (≤ 75% dan > 50%) 11 11

Patuh (> 75%) 12 12

Total 100 100

Berdasarkan tabel di atas, mayoritas termasuk kedalam kategoti kurang

patuh yaitu sebanyak 77 resep (77%) sementara dengan kriteria patuh berjumlah

(45)

5.1.3.4. Deskripsi Data Bulan Februari – Bulan April 2010

Gambar 1. Grafik Tingkat Kepatuhan Peresepan Obat Generik Bulan Februari Sampai Maret 2010

Dari diagram batang diatas, terlihat bahwa tingkat kepatuhan dengan

kategori kurang patuh cukup tinggi dibandingkan dengan tingkat kepatuhan

kategori patuh. Hal yang sama juga terjadi pada ketiga bulan tersebut, dimana

dapat dilihat pula tidak ada peningkatan tingkat kepatuhan dalam tiga bulan

tersebut.

5.2. Pembahasan

Setelah melakukan analisa terhadap keseluruhan sampel dan

menggolongkannya ke dalam kategori obat generik dan obat non generik,

mayoritas peresepan obat yang diberikan berupa obat non generik. Hal tersebut

terlihat dalam tiga bulan berturut, yaitu bulan Februari hingga April, dimana

angka jumlah obat non generik yang diberikan dalam resep lebih banyak

dibandingkan dengan obat generik.

Dalam bulan Februari, pada tabel 5.7. terlihat bahwa nilai persen

kepatuhan maksimal sebesar 100% hanya sebesar 18%, mayoritas resep memiliki

(46)

nilai kepatuhan 0%, yaitu sebesar 48%. Sementara jika dianalisis menurut

kategori tingkat kepatuhan (tabel 5.8.), yang termasuk ke dalam kategori patuh

hanya sebesar 19%, kategori cukup patuh sebesar 10%, dan sisanya termasuk ke

dalam kategori kurang patuh (71%).

Dalam bulan Maret, pada tabel 5.9. terlihat bahwa nilai persen kepatuhan

maksimal sebesar 100% hanya sebanyak 19%, dan resep dengan nilai kepatuhan

0% sebanyak 43%. Jika dianalisis menurut kategori tingkat kepatuhan (tabel

5.10.), yang termsuk kedalam kategori patuh hanya sebesar 19%, kategori cukup

patuh sebesar 13%, dan sisanya termasuk kedalam kategori kurang patuh (68%).

Pada bulan ketiga, yaitu bulan April, pada tabel 5.11. dapat dilihat bahwa

nilai persen kepatuhan maksimal 100% sebesar 12%, sementara mayoritas resep

memiliki nilai kepatuhan 0%, yaitu sebesar 51%. Berdasarkan kategori tingkat

kepatuhan (tabel 5.12.), yang termsuk kedalam kategori patuh sebesar 12%,

kategori cukup patuh sebesar 11%, dan sisanya termasuk kedalam kategori kurang

patuh (77%).

Dari tiga bulan pasca dikeluarkannya PerMenKes yang mengatur

kewajiban untuk meresepkan obat generik di Instalasi Pelayanan Kesehatan

Pemerintah, tingkat kepatuhan peresepan obat generik oleh dokter di fasilitas

pelayanan kesehatan pemerintah, dalam hal ini RSU dr. Pirngadi, tergolong dalam

kategori kurang patuh. Tidak terlihat adanya peningkatan angka kepatuhan yang

bermakna dalam tiga bulan tersebut, malah cenderung menurun pada bulan ketiga

(bulan April).

Tingkat kepatuhan yang cukup rendah ini kemungkinan diakibatkan oleh

karena sanksi yang kurang tegas dilaksanakan oleh pemerintah dan hukuman yang

jelas terhadap tindak ketidakpatuhan tersebut. Selain itu, ketidakpatuhan tersebut

kemungkinan diakibatkan kurangnya stok obat generik pada instalasi farmasi

rumah sakit, sehingga dokter kembali meresepkan obat non generik agar

kebutuhan obat terpenuhi. Kurangnya komunikasi dan penjelasan mengenai obat

generik oleh dokter ataupun pihak farmasi kepada pasien juga menjadi kendala

(47)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1.Kesimpulan

Adapun kesimpulan-kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini adalah :

1. Nilai rata-rata kepatuhan dalam meresepkan obat generik pada bulan Februari adalah 34,38%, merupakan kategori “Kurang Patuh”.

2. Dalam bulan Februari, tingkat kepatuhan kategori kurang patuh adalah

71%, kategori cukup patuh adalah 10%, dan kategori patuh adalah

19%.

3. Nilai rata-rata kepatuhan dalam meresepkan obat generik pada bulan Maret adalah 37,78%, merupakan kategori “Kurang Patuh”.

4. Dalam bulan Maret, tingkat kepatuhan kategori kurang patuh adalah

68%, kategori cukup patuh adalah 13%, dan kategori patuh adalah

19%.

5. Nilai rata-rata kepatuhan dalam meresepkan obat generik pada bulan April adalah 29,53%, merupakan kategori “Kurang Patuh”.

6. Dalam bulan April, tingkat kepatuhan kategori kurang patuh adalah

77%, kategori cukup patuh adalah 11%, dan kategori patuh adalah

12%.

7. Dari tiga bulan pasca dikeluarkannya PerMenKes yang mengatur

kewajiban untuk meresepkan obat generik di Instalasi Pelayanan

Kesehatan Pemerintah, tingkat kepatuhan peresepan obat generik oleh

dokter di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan, tergolong dalam

kategori kurang patuh. Tidak terlihat adanya peningkatan angka

kepatuhan yang bermakna dalam tiga bulan tersebut, malah cenderung

(48)

6.2.Saran

Dengan terselesainya penelitian ini, adapun saran-saran yang dapat

diberikan oleh penulis adalah :

1. Bagi mahasiswa, agar dapat semakin mempelajari tentang obat

generik dan non generik, mengerti indikasi pemberian obat kepada

pasien, dan pemberian obat ditinjau dari berbagai aspek, sehingga

tujuan pengobatan tercapai secara maksimal.

2. Bagi dokter-dokter, khususnya yang bertugas di rumah sakit

pemerintah, agar diusahakan untuk meresepkan obat generik kepada

pasien, sesuai dengan peraturan Keputusan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/068/2010

tentang Ketetapan Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Peraturan ini terdiri dari 4 bab, dimana pada bab II pasal 4, ayat 1, tertulis bahwa “Dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib menulis

resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis. Selain

untuk memenuhi peraturan PerMenKes, dokter harus meresepkan obat

generik kepada pasien, agar pemenuhan obat dapat terjangkau oleh

pasien sehingga keadaan sehat dapat tercapai.

3. Bagi pemerintah, agar menilai terus penyediaan obat generik di

instalasi pemerintah, sehingga obat generik yang diresepkan dapat

diperoleh di instalasi farmasi. Selain itu, peraturan PerMenKes perlu

disertai dengan adanya sanksi yang bermakna, sehingga diharapkan

dokter dapat mematuhi peraturan sesuai dengan PerMenKes.

4. Bagi penelitian selanjutnya agar meneliti lebih dalam hubungan antar

faktor-faktor dengan perilaku ketidakpatuhan dalam peresepan obat

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Batubara, P. L. 2008. Farmakologi Dasar, edisi II. Jakarta:Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi.

Bourne, H. R. & Zastrow, Mark Von. 2007. Drug Receptors & Pharmacodynamic.

Dalam: Katzung, Bertram G. (2007). Basic & Clinical Pharmacology, Tenth Edition. United States : Lange Medical Publications, 11-33.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Kebijakan Obat Nasional.

Available from

http://henriprihantono.blogdetik.com/files/2009/01/kebijakan-obat-nasional.pdf. [Accessed 3 April 2010]

Dinas Kesehatan Kabupaten Bone Bolango. 2008. Obat Generik, Obat Murah Tapi Mutu Tidak Kalah. Provinsi Gorontalo. Available from :

http://dinkesbonebolango.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&

id=239[Accessed 6 April 2010]

Fachmi, I. 2008. Obat Generik, Obat Murah Tapi Mutu Tidak Kalah. Provinsi Gorontalo. Available from :

http://dinkesbonebolango.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&

id=239[Accessed 6 April 2010]

Holford, N.H.G. 2007. Pharmacokinetics & Pharmacodynamics:Rational Dosing

& the Time Course of Drug Action. Dalam: Katzung, Bertram G. (2007).

Basic & Clinical Pharmacology, Tenth Edition. United States : Lange Medical Publications, 34-49.

(50)

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.0/MENKES/068/I/2010, Tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Available from: www.depkes.go.id/downloads/HK.02.02_MENKES_068_I_2010.pdf [Accessed 15 Februari 2010]

Phapros. 2004 . Mengenal Penggolongan Obat – Bagian 1. Available from : http://www.ptphapros.co.id/article.php?&m=Article&aid=17&lg. [Accessed

5 April 2010]

Phapros. 2004. Mengenal Penggolongan Obat – Bagian 2. Available from : http://www.ptphapros.co.id/article.php?&m=Article&aid=18&lg. [Accessed

5 April 2010]

Presiden Republik Indonesia Soeharto. 1992. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, Tentang : Kesehatan. Menteri / Sekretaris Negara, Republik Indonesia. Available from :

sjsn.menkokesra.go.id/dokumen/peruu/1992/uu23_1992_ind.pdf [Accessed 3 April 2010]

Setiawati, A., Suyatna, F.D., dan Gan, Sulistia. 2007. Farmakologi Dan Terapi. Jakarta:Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.

Widjajarta, M., 2008. Obat Generik, Obat Murah Tapi Mutu Tidak Kalah.

Provinsi Gorontalo. Available from :

http://dinkesbonebolango.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&

(51)

World Health Organization. 1997. Guidelines On The Use Of International Nonproprietary Names (INNs) for Pharmaceutical Substances. Programme on International Nonproprietary Names (INN), Division of Drug

Management & Policies. Available from :

http://www.who.int/medicines/services/inn/innquidance/en/index.html

(52)

Lampiran 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Adrianie Maricella

Alamat : Jalan Madong Lubis N. 24A Medan

Tempar / Tanggal Lahir : Medan / 12 Maret 1990

Pendidikan : 1. SD Budi Murni 3 Medan ( 1995-2001 )

2. SMP Budi Murni 3 Medan (2001-2004 )

3. SMA Santo Thomas 1 Medan ( 2004-2007 )

4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (

2007-Sekarang )

Riwayat Organisasi : 1. Sekretaris Bakti Sosial Keluarga Mahasiswa Katolik

St. Lukas Universitas Sumatra Utara (2008)

2. Koordinator Medis Bakti Sosial Keluarga Mahasiswa

Katolik St. Lukas Universitas Sumatra Utara (2009)

(53)

Lampiran 4

Data Induk dan Hasil Output

BULAN FEBRUARI 2010

(54)
(55)

76. 3 0 100 Patuh

Distribusi Karakteristik Sampel Berdasarkan Jumlah Obat Generik yang Diresepkan dalam Bulan Februari 2010

(56)

Distribusi Karakteristik Sampel Berdasarkan Jumlah Obat Non Generik yang Diresepkan dalam Bulan Februari 2010

Frequency Resep

Jumlah Obat Non Generik yang Diberikan

Distribusi Jumlah Resep Berdasarkan Nilai Persen Kepatuhan Peresepan Obat Generik Per Resep

Distribusi Resep Berdasarkan Kategori Tingkat Kepatuhan

Gambar

Tabel 5.1 Distribusi Jumlah Total Obat Generik yang diberikan dalam Resep Bulan Februari
Tabel 5.2 Distribusi Jumlah Total Obat Non Generik yang diberikan dalam Resep Bulan Februari
Tabel 5.4 Distribusi Jumlah Total Obat Non Generik yang diberikan dalam Resep Bulan Maret
Tabel 5.6 Distribusi Jumlah Total Obat Non Generik yang diberikan dalam Resep Bulan April
+6

Referensi

Dokumen terkait

Sastra adalah suatu bentuk dan hasil karya tulis yang kreatif dan imajinatif. Karya sastra juga dijadikan sebagai wilayah yang menceritakan tentang kehidupan manusia dengan

Sehubungan dengan telah dilaksanakan Evaluasi Penawaran dari perusahaan yang saudara pimpin, maka dengan ini kami mengundang saudara dalam kegiatan Pembuktian

Jadi memang mau tidak mau bisnis perbankan harus ditunjang keefisienan operasional jika ingin bersaing di dalam dunianya, dan hal ini harus ditunjang dengan suatu sistem

Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa tiga faktor utama yang membuat mahasiswa enggan untuk mencari bantuan psikologis pada penyedia layanan psikologis formal

Menarik rambut secara otomatis dilakukan secara tidak sadar dan ketika individu tersebut berfokus pada hal yang lain (misalnya, menonton televise atau

Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj banyak kaum muslim dan para sahabat Nabi yang tidak mempercayainya. Namun Sahabat Abu Bakar meyakini bahwa Isra’ Mi’raj tersebut adalah benar,

berikut :Diuretic Tiazid : merupakan golongan yang umum digunakan seluruh obat –obat golongan ini bekerja pada tubulus disatl ginjal dan memiliki efek...

dimaksud mempelajari hal-hal sesuai den gan apa yang diteskan”. Tes Prestasi berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tes dilakukan untuk mengukur kemampuan