• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Pengelolaan Kawasan Taman Nasional dalam Era Otonomi Daerah (Suatu Studi Kasus Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Pengelolaan Kawasan Taman Nasional dalam Era Otonomi Daerah (Suatu Studi Kasus Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango)"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)

PENGEMBANGAN PENGELOLAAN K A W A S m

TAMAN NASIONAL DALAM ERA OTONOMI DAERAH

(Suatu Studi Kasus Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango)

OLEH

ARISTIDES VERISSIMO DE SOUSA MOTA

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(97)

ABSTRAK

ARISTIDES VERISSIMO DE SOUSA MOTA. Pengembangan Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Dalam Era Otonomi Daerah (Suatu Studi Kasus Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango). Dibimbingan oleh HAD1 S. ALIKODRA, SOERYO ADIWIBOWO dan ANDRY INDRAWAN.

Dengan adanya euforia reformasi, Taman Nasional mendapat tekanan dari dua sisi yaitu masyarakat sekitar kawasan dan Pemerintah Daerah selutar kawasan. Dari hasil penelitian yang dilakukan, terlihat bahwa tekanan terhadap Taman Nasional oleh masyarakat sekitar kawasan lebih disebabkan karena tingkat kesejahterml masyarakat yang relatif rendah sehingga mereka melakukan tekanan pada Taman Nasional berupa perburuan liar, perambahan kawasan dan pengambilan hasil alam

untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sedangkan keinginan pemerintah daerah untuk mengelola Taman Nasional lebih disebabkan karena pemahaman tentang otonomi yang keliru.

(98)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul

PENGEMBANGAN PENGELOLAAN KAWASAN TAMAN NASIONAL

DALAM ERA OTONOMI DAERAH (Suatu Studi Kasus Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango)

Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belurn pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan inforrnasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 23 Oktober 2002

(99)

PENGEMBANGAN PENGELOLAAN KAWASAN

TAMAN NASIONAL DALAM ERA OTONOMI DAERAH

(Suatu Studi Kasus Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango)

OLEH

ARISTIDES VERISSIMO DE SOUSA MOTA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Surnberdaya Alam dan Lingkungan

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(100)

Judul Tesis : PENGEMBANGAN PENGELOLAAN KAWASAN TAMAN NASIONAL DALAM ERA OTONOMI DAERAH (Suatu Studi Kasus Di Tarnan Nasional Gunung Gede Pangrango)

Nama : Aristides Verissimo De Sousa Mota

NRP : P10500024

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof'. Dr. Ir. Hadi S. ~ l i k o h . MS Ketua

Ir. Soervo Adiwibowo, MS Anggota

2.Ketua Program Studi PSL

Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni, MS

Mengetahui,

rogram Pascasarjsu la

MSc

(101)

DaRar Riwayat Hidup

(102)

P R A K A T A

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besamya kepada :

1. Prof. Dr. Ir H. Hadi S. Alikodra, MS selaku ketua komisi pembimbing 2. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS selaku anggota komisi pembimbing

3. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS selaku anggota komisi pembimbing

4. Semua pihak yang telah membantu baik secara moril maupun materiil sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, saran dan kritik dari berbagai pihak demi penyempumaan lebih lanjut sangat diharapkan. Akhir kata, semoga tesis ini berguna bagi kita semua arnin.

(103)

DAFTAR IS1

Halaman ...

DAFTAR TABEL iv

...

DAFTAR GAMBAR v

...

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDA.HULUAN ... 1 A

.

Latar Belakang Masalah ... 1 B

.

Perumusan Masalah ... 3 C

.

TujuanPenelitian ... 4 D

.

Manfaat Penelitian ... 4 TINJAUAN PUSTAKA

...

5 A

.

Pengertian Konservasi ... 5

...

B

.

Kriteria Kawasan Konservasi 7

...

C

.

Sejarah Kawasan Konservasi 8

D . Jenis-Jenis Kawasan Konsewasi ... 9

...

E . Tarnan Nasional 13

...

F . Kelembagaan Taman Nasional 15

...

G

.

Pengembangan Masyarakat lokal 16

H . Otonomi Daerah ... 20 ...

METODOLOGI PENELITIAN 23

A . Waktu dan Tempat Peneltian ... 23 B

.

Jenis Data ... 23 ...

C

.

Metode Pengumpulan Data 25

D

.

Analisis dan Pengolahan Data ... 26

...

KEADAAN UMUM 27

(104)
(105)

DAFTAR

TABEL

... 1.1. Gangguan dan kerusakan Taman Nasional selama tahun 2000 1

...

5.1. Komposisi pegawai Balai TNGGP berdasarkan tingkat pendidlkan 42

...

5.2. Anggaran Balai TNGGP tahun 200 1 44 ...

(106)

DAFTAR GAMBAR

...

2.1. Struktur organisasi Departemen Kehutanan secara urnurn 18

2.2. Struktur urnurn organisasi Ditjen PHKA Departemen Kehutanan ... 19 4.1. Peta lokasi penelitian ... 29

5.1. Struktur organisasi Balai TNGGP yang baru ... 39

(107)

DAFTAR LAMPIRAN

1

.

Nama Taman Nasional di Indonesia ... 67 2

.

Nama desa, kecamatan dan kabupaten di sekitar kawasan ... 68

.... 3

.

Daftar pertanyaan untuk pemerintah kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi 69
(108)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adanya euforia reformasi, masyarakat merasa bahwa mereka bebas membuat apa saja termasuk merambah dan menjarah kawasan-kawasan konservasi baik berupa Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Hutan Lindung, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya, maupun Taman Nasional. Akibat dari sikap dan perbuatan masyarakat tersebut, terjaQ kerusakan pada kawasan konservasi. Padahal keberadaan kawasan konservasi adalah penting bagi mempertahankan keanekaragaman hayati

Salah satu bentuk kawasan konservasi yang mengalami gangguan dari masyarakat sebagai ahbat dari euforia reformasi yang berlebihan adalah Taman Nasional. Bentuk gangguan yang membuat kerusakan pada Taman Nasional selama tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 1 . 1 .

Tabel 1 . 1 Bentuk gangguan pada Taman Nasional selama tahun 2000

INO

1

Jenis Gangguan Luas (hektar)

Surnber : Statistik DITJEN PKA tahun 2000 1

2 3 4

Taman Nasional pada dasarnya merupakan suatu kawasan ekologis yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan konservasi karena beberapa

Pemukiman liar Perladangan liar Penyerobotan lahan

Penambangan emas tanpa izin (PETI)

pertimbangan yaitu : Ekologi, Politik, Sosial dan Ekonomi.

2.800 41.700 3.200 1.360 Jumlah

Sebagai suatu kawasan yang diperuntukkan bagi pelestarian keanekaragaman 49.060

(109)

Nomor 22 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan kawasan konservasi termasuk didalamnya Taman Nasional sebagai bagan dari kewenangan pemerinah pusat.

Ditetapkannya pengelolaan kawasan konservasi termasuk Q dalamnya Taman Nasional sebagai kewenangan pemerintah pusat, maka te qadi tarik menarik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam rangka pengelolaan Taman Nasional. Di suatu sisi, pemerintah pusat beranggapan bahwa pengelolaan Taman Nasional oleh pemerintah daerah sangat riskan karena ada kemungkinan kawasan konservasi tersebut dikonversi menjadi kawasan pertanian, permukiman dan sebagainya. Sedangkan di sisi lain, pihak pemerintah daerah merasa bahwa Taman Nasional merupakan aset mereka yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Mengingat hakekat dari pengelolaan Taman Nasional adalah agar masyarakatqya sejahtera serta tetap terjaga kelelestariannya, maka peneliti memutuskan melakukan penelitian lapangan tentang pengelolaan Taman Nasional dalam rangka implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya, serta Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Sehingga, diharapkan Taman Nasional yang ada tetap terpelihara dengan baik, narnun disisi lain dapat memberikan kontribusi yang besar kepada pemerintah daerah serta masyarakat setempat yang tinggal Q sekitar kawasan Taman Nasional. Penelitian ini, oleh penulis diberi judul "PENGEMBANGAN PENGELOLAAN KAWASAN TAMAN NASIONAL DALAM ERA OTONOMI DAERAH (Suatu Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango)".

Adapun alasan pemilihan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sebagai tempat penelitian adalah :

(110)

2. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango mempunyai ekosistem yang sangat unik, berada pada kawasan dengan ketinggian yang berkisar antara 700 meter dari permukaan laut sampat dengan 3000 meter dari permukaan laut, dimana pada setiap ketinggian terdapat spesies flora clan fauna yang khas.

3. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan habitat sejumlah satwa langka endemik seperti owa jawa dan surili.

4. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berada dalam wilayah administrasi tiga Kabupaten yaitu Bogor, Cianjur dan Sukaburni.

5. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango mempunyai batas-batas wilayah yang jelas sehingga memudahkn observasi.

B. Perurnusan Masalah

Mengngat pengelolaan Taman Nasional Gede Gunung Pangrango melibatkan banyak pihak (stake holder), dan terkait pula dengan berbagai peraturan perundangan, maka dalam merurnuskan perrnasalahan akan ditinjau dari dua aspek, yaitu :

1. Sejarah pengelolaan Taman Nasional Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang meliputi latar belakang penetapan kawasan, serta kondisi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango saat ini.

(111)

C. Tujuan Penelitian.

Tujuan penelitian adalah untuk mencari alternatif pengelolaan Taman Nasional dalam rangka implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya serta implementasi Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Tujuan urnum adalah sebagai berikut:

1. Ivlengevaluasi sejarah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang meliputi latar belakang penetapan kawasan, serta kondisi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango saat ini.

2. Mencari bentuk pengelolaan Taman Nasional dalam ha1 ini Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang sesuai dengan tuntutan otonomi daerah yang meliputi kelembagaan pengelolaan maupun upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan sehingga kelestarian keanekaragaman hayati Taman Nasional tetap terjaga.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Ilmu pengetahuan yaitu mencari bentuk pengelolaan Taman Nasional yang tepat dalam era otonomi daerah sehingga semua pihak dapat merasakan manfaat dari keberadaan kawasan konservasi. Dengan demikian, keanekaragaman hayati yang ada pada Taman Nasional dapat di lestarikan dan dipertahankan keberadaannya. Di sisi lain, juga akan memberikan peningkatan terhadap kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan.

2. Bahan acuan bagi peneliti berikutnya yang ingn mengadakan penelitian lanjutan mengenai Taman Nasional.

(112)

TINJAUAN

PUSTAKA

A. Pengertian Konservasi

Istilah konservasi berasal dari Bahasa Latin yaitu Conservare yang berarti mengawetkan. Istilah ini, kemudlan diadopsi kedalam Bahasa Inggris menjadi Conservation yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi Konservasi (Hornby, 1995). Kegiatan konservasi meliputi tiga ha1 yaitu konservasi genetik, konservasi spesies dan konservasi ekosistem. Ada tiga tujuan utama dalam melakukan kegiatan konservasi yaitu : (1) melindung keanekaragaman hayati, (2) mempelajari fungsi dan manfaat keanekaragaman hayati, dan (3) memanfaatkan keanekaragaman hayati untuk kesejahteraan urnat manusia. Ketiga tujuan konservasi tersebut, menurut Alikodra (1998), dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai To Save It, To Studi It dan To Use It.

Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) menurut Thohari (1998), didefinisikan sebagai jumlah, variasi dan variabilitas dari semua makhluk hidup yang ada dalam ekosistem daratan, lautan maupun ekosistem perairan lain dan kompleks ekolog lainnya dimana mereka merupakan bagian dari kehidupan tersebut. Lebih jauh Thohari (1998), menjelaskan bahwa keanekaragaman hayati meliputi tiga hirarki, yaitu gen, spesies dan ekosistem.

Menurut Counier et. a1 (1992), ada sepuluh prinsip yang hams diperhatikan dalam melakukan konservasi terhadap keanekaragaman hayati yaitu :

1) Setiap bentuk kehidupan adalah unik, oleh sebab itu keberadaannya harus di hargai;

(113)

3) Biaya dan manfaat dari konservasi keanekaragaman hayati

harus

ditanggung bersama antara berbagai negara dan oleh para penduduk dari masing-masing negara.

4) Dalam upaya untuk menerima konsep pembangunan berkelanjutan, konservasi keanekaragaman hayati membutuhkan perubahan yang mendasar pada bentuk dan pelaksanaan pembangunan ekonomi.

5) Menaikkan anggaran konservasi tidak berarti bahwa laju kehilangan keanekaragam akan menurun. Untuk itu, dibutuhkan reformasi dalam kebijakkan dan kelembagaan sehingga akan tercipta kondisi dimana kenaikan anggaran mempunyai darnpak yang efektif terhadap laju kehilangan keanekaragaman hayati.

6) Prioritas dalam konservasi keanekaragaman hayati berbeda pada setiap tingkatan (lokal, nasional dan global), dan semuanya sah. Setiap negara dar, komunitas mempunyai kepentingan agar keanekaragaman yang mereka miliki terkonservasi. Fokus yang dibuat, jangan hanya pada spesies yang sedikit atau juga ekosistem yang kaya.

7) Konservasi keanekaragaman hayati hanya dapat berlanjut jika rnendapat perhatian serta kepedulian yang besar dari masyarakat. Dan jika para pengambil keputusan mempunyai infonnasi yang akurat berdasarkan pilihan pada kebijakkan yang ada.

8) Tindakan untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati mesti direncanakan dan di implementasikan pada skala yang &pat dideteminir melalui kriteria ekologi dan sosial. Fokus dari kegiatan ini haruslah mengarah pada tempat diamana masyarakat tinggal dan bekerja seperti halnya kawasan konservasi.

(114)

10)Meningkatkan partisipasi publik, menghargai hak asasi manusia, meningkatkan akses masyarakat dalam bidang pendidikan

dan

informasi

serta keterbukaan institusi yang lebih luas, merupakan ha1 yang penting dalam melakukan konservasi keanekaragaman hayati.

B. Kriteria Kawasan Konservasi

Pertambahan penduduk dunia yang cenderung meningkat

dari

tahun ke tahun khususnya di negara-negara berkembang, telah menyebabkan hilangnya sejumlah habitat yang kemudian berakibat terhadap punahnya sejumlah spesies hewan dan tumbuhan (Bennett, 1999). Pendapat Bennett (1999) sejalan dengan pendapat Alikodra (1998). Menurut Alikodra (1998), penduduk di negara-negara berkembang dalam kurung waktu 40 tahun (1 950 - 1990) telah bertambah dari 1.6 milyar menjadi 4 milyar. Sedangkan penduduk di negara-negara maju, menurut Alikodra (1998), pada kurung waktu yang sama hanya bertambah 50% yaitu dari 0.8 milyar menjadi 1.2 milyar. Agar kepunahan spesies hewan dan tumbuhan tidak berlanjd, maka kebijakan yang hams dibuat adalah melakukan konservasi terhadap keanekaragaman hayati yang ada sehingga keberadaan ekosistem, spesies maupun gen dapat tetap terjaga.

Untuk menetapkan suatu kawasan konservasi yang baik, menurut MacKinnon et. al(1993), ada beberapa ha1 yang hams diperhatikan yaitu :

1) Karakteristik atau keunikan ekosistem, misalnya hutan hujan dataran rendah, fauna pulau yang endemik, ekosistem pegunungan tropika;

2) Spesies khusus yang diminati, nilai, kelangkaan atau keterancaman, misalnya badak, burung dan quetzal;

3) Tempat yang memiliki keanekaragaman spesies;

4) Lanskap atau ciri geofisik yang bernilai estetik atau pengetahuan, misalnya glasier, mata air panas dan air terjun;

(115)

6) Fasilitas untuk rekreasi alam atau wisata, misalnya danau, pantai, pemandangan pegunungan, satwa liar yang menarik;

7) Tempat penggalian budaya, misalnya candi, kuil serta galian purbakala. Selain ketujuh kriteria tersebut, menurut MacKinnon et. a1 (1993), ha1 lain yang hams diperhatikan dalam menetapkan serta mengelola suatu kawasan konservasi adalah :

1) Kesesuaian antara tujuan perlindungan dengan pilihan pengelolaan

dan

pemanfaatan, serta

2) Kepraktisan pengelolaan.

C. Sejarah Kawasan Konservasi

Sejarah kawasan konservasi bermula ketika pada tahun 252 sebelurn masehi, Raja Asoka dari India secara resmi mengumumkan perlindungan terhadap satwa, ikan dan hutan (MacKinnon et al, 1993). Perisiwa ini oleh para sejarahwan diyakini sebagai tonggak awal konservasi. Setelah itu, pada tahun 1084 masehi, Raja Wiliam I dari Inggeris memerintahkan para pegawai kerajaan menyiapkan "The Domesday Book" yaitu suatu daftar tentang inventarrisasi tanah, daerah penagkapan ikan, areal pertanian, tarnan bum serta sumberdaya produktif lainnya milik kerajaan Inggeris yang akan digunakan sebagai dasar untuk membuat perencanaan rasional bagi pengelolaan dan pembangunan kerajaan Inggeris.

Taman Nasional Yellowstone merupakan kawasan konservasi modem yang pertama di dunia. Hal ini berawal ketika pemerintah Arnerika Serikat pada tahun 1872 menetapkan kawasan Yellowstone sebagai Taman Nasional. Sampai saat ini, menurut MacKinnon et a1 (1993), terdapat lebih dari 2600 kawasan konservasi di seluruh dunia, dimana setiap negara menetapkan kawasan konservasinya menurut kategori dan tujuan pengelolaannya.

(116)

Jawa barat sebagai Cagar Alam dengan nama Cagar Alam Pancoran Mas (DEPHUT, 1996). Sedangkan penetapan kawasan konservasi sebagai sebagai Taman Nasional berrnula ketika pada tanggal 6 Maret 1980, Menteri Pertanian Republik Indonesia menetapkan dan mengurnumkan Taman Nasional yang pertama di Indonesia yaitu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang kemudian dikuatkan dengan Surat Menteri Pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982.

Adapun alasan pemerintah dalam ha1 ini Menteri Pertanian unt~lk menetapkan suatu Taman Nasional di Indonesia adalah bahwa Indonesia terpilih sebagai tuan rurnah pelaksanaan konferensi internasional tentang Taman Nasional sedunia pada tahun 1982. Sedangkan Indonesia sendiri sebagai tuan rumah belum mempunyai Taman Nasional.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, maka kawasan konservasi secara garis besar dibagi menjadi empat yaitu Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru dan Hutang Lindung. Selanjutnya, Kawasan Suaka Alam dibagi lagi menjad dua yaitu Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Sedangkan Kawasan Pelestarian Alam, selanjutnya dibag lagi menjadi tiga yaitu Taman Nasional, Tarnan Wisata Alam dan Taman Hutan Raya.

D. Jenis-Jenis Kawasan Konservasi

(117)

D.1. Cagar AlamICagar Ilmiah

Untuk melindungi alam dan menjaga proses alami dalam kondisi yang tidak terganggu dengan maksud untuk memperoleh contoh-contoh ekologis yang mewakili lingkungan alami, yang dapat dimanfaatkan bagi keperluan studi ilmiah, pemantauan lingkungan, pendidikan dan pemeliharaan sumberdaya plasma nuttah dalam suatu keadaan dirlamis dan berevolusi. Contoh kawasan konservasi jenis ini adaldi Cagar Alam Yala di Sri Langka, Pulau Barro Colorado di Panama serta Taman Nasional Gombe Stream di Tanzania.

D.2.

Taman Nasional

Untuk melindungi kawasan alarni dan berpemandangan indah yang terpenting, secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendldikan dan rekreasi. Kawasan alami ini relatif luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan surnberdaya tarnbang tidak diperkenankan. Contoh dari kategori ini adalah TamanNasional Royal Chitwan di Nepal, Tarnan Nasional Etosha

dr.

Namibia, Taman Nasional Iguazu di Argentina dan Brazil

serta

Taman Nasional Volcan Poas di Costa Rica.

D.3. Monumen Alam/Landmark Alam

(118)

D.4. Suaka Margasatwa

Untuk menjamin kondisi alami yang perlu bag spesies, k~unpulan spesies, komunitas hayati, atau ciri-ciri lingkungan fisik yang penting secara nasional, munglun diperlukan campur tangan manusia yang spesifik untuk menjaga kelestariannya. Pengambilan beberapa sumberdaya secara terkendali diperkenankan. Contoh dari kawasan konservasi jenis ini adalah Suaka Margasatwa Manas di India.

D.5. Bentangan Alam dan Bentang Laut Dilindungi

Untuk menjaga bentang alam yang penting secara nasional, yang memiliki karakteristik interaksi yang serasi antara manusia dengan lingkungannya. Sementara itu juga tersedia kesempatan bagi masyarakat untuk menikmatinya melalui rekreasi dan wisata dalam lingkup gaya hidup dan kegiatan ekonomi normal di kawasan tersebut. Kategori ini, merupakan campuran bentang alam alamv'budaya yang memililu nilai keindahan tinggi dimana tataguna lahan tradisional terpelihara. Contoh dari kawasan konservasi jenis ini adalah Cagar Geobotani Pululahua di Ekuador, Suaka Sejarah Machu Picchu di Peru.

D.6. Cagar Sumberdaya

(119)

D.7. Cagar Budaya/Kawasan Biosis Alam

Untuk memunglunkan berlangsungnya cara hidup masyarakat yang serasi dengan lingkungannya, tak terganggu oleh teknologi moderen. Kategori ini cocok untuk kawasan konservasi dimana penduduk asli diperlaliukan secara tradisional. Contoh dari kawasan konservasi jenis ini adalah Cagar Alam Gunung Lorentz di Indonesia, Taman Indoigenous Xingu di Brazil dan Suaka Margasatwa Kalahari tengah 1 Botswana.

D.8. Kawasan Pengelolaan Sumberdaya Gandal Dikelola

Untuk menyediakan produksi air, kayu, satwa, padang penggembalaan dan obyek wisata secara berkelanjutan, dengan pelestarian alam terutama ditujukan untuk

mendukung kegiatan ekonomi. Contoh dari kawasan konservasi jenis ini adalah, Kawasan Konservasi Ngoorongoro di Tanzania, Taman Nasional Kutai di Indonesia, Hutan nasional Jamari

dan

Tapajos di Brazil serta Hutan nasional Von Humboldt di Peru.

D.9. Cagar Biosfir

Untuk melestarikan keanekaragaman dan keutuhan komunitas tumbuhan dan satwa dalam ekosistem alaminya bagi penggunaan masa sekarang dan masa depan, dan untuk menjaga keanekaragaman plasma nutfah dari spesies yang merupakan bahan baku bagi evolusinya. kawasan ini, dirunjuk secara internasional untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan latihan. Contoh

dm

kawasan konservasi jenis
(120)

D.lO. Taman Warisan Dunia

Untuk melindung bentang alam yang dianggap memililu nilai universal yang menonjol clan merupakan daftar pilihan dari kawasan alami dan budaya yang unik di burni, yang dcalonkan oleh negara yang merupakan anggota World Heritage Convention. Contoh dan kawasan konservasi jenis ini adalah Taman Nasiond Simien di Ethiopia, Cagar Dariem di Panama serta Great Barrier Reef di Australia.

E. Taman Nasional

Yang dimaksud dengan taman nasional menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahun, pendidikan, menunjang buddaya, pariwisata dan rekreasi alam. Adapun fungsi taman nasional adalah :

1. Sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan.

2. Sebagai kawasan pengawetan keragaman jenis turnbuhan dan satwa. 3. Sebagai kawasan pemanfataan secara lestari potensi sumberdaya alam

hayati dan ekosistemnya.

(121)

penelitian, penunjang budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa, serta wisata alam (ekoturisme).

Masyarakat atau pihak swasta, diperkenankan untuk berpartisipasi

dalam

mengelola taman nasional dalam bentuk kemitraan dimana masyarakat atau pihak swasta diperbolehkan membangun sarana dan prasarana penunjang wisata misalnya bungalow atau juga pusat penjualan cinderamata. Walauptln demikian, sarana dan prasarana yang dibangun harus menggunakan pola arsitektur setempat serta bahan- bahan yang ramah lingkungan serta sedapat mungkin mencegah te rjadinya kerusakan alam.

Antara kawasan Taman Nasional dengan kawasan pemukiman, biasanya dibatasi oleh suatu area atau kawasan yang 1azi.n dikenal sebagai daerah penyangga. Menurut Alikodra (1998), yang dimaksud dengan daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar kawasan konservasi, baik sebagai kawasan hutan, tanah negara bebas maupun tanah negara yang dibebani hak dan diperlukan, serta mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi. Pengelolaan atas daerah penyangga tetap berada di tangan yang berhak. Lebih jauh Alikodra (1998), menyatakan bahwa herah penyangga dapat berfungsi sebagai penyangga terhadap berbagai macam kegiatan yang dapat merusak potensi sumberdaya alam Taman Nasional. Disarnping itu, daerah penyangga juga hams mampu melindungi manusia dari gangguan baik berupa harna, penyalut maupun binatang liar pemangsa. Dengan demikian, daerah penyangga Taman Nasional merupakan suatu daerah yang berfimgsi melindungi Taman Nasional

dari

gangguan manusia atau juga melindungi kehidupan rnanusia dari gangguan yang berasal dari Taman Nasional. Daerah penyangga Taman Nasional menurut Alikodra (1998), diharapkan mampu :

1. Memberikan perlindungan terhadap Taman Nasional dan manusia;

(122)

3. Mengembangkan sistem jasa yang berkaitan dengan kegiatan Taman Nasional, termasuk pertumbuhan industri cinderamata, kebudayaan masyarakat setempat, serta obyek-obyek rekreasi dan pariwisata;

4. Meningkatkan produktivitas lahan melalui pola usaha tani yang intensif; 5. Meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk para pengambil keputusan

terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya, termasuk kelestarian Taman Nasional;

6. Menumbuhkanlmeningkatkan organisasillembaga swadaya masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pengembangan konservasi alam;

7. Menyempurnakan sarana dan prasarana perhubungan di wilayah sekitarnya, dan

8. Meningkatkan kemampuan pengelola kawasan, kemampuan lembaga- lembaga terkait, termasuk meningkatkan koordinasi, dan pentaatan terhadap peraturan perundangan yang berlaku.

Sampai tahun 2000, di Indonesia terdapat 387 kawasan konservasi yang meliputi Cagar Alam 174 unit, Suaka Margasatwa 50 unit, Taman Nasional 40 unit, Taman Wisata Alam 93 unit, Taman Hutan Raya 15 unit dan Taman Bum 15 unit (Statistik DITJEN PKA, 2002). Luas keseluruhan kawasan konservasi yang ada adalah 22,5 juta hektar dimana 14,7 juta hektar (65%) adalah Taman Nasional. Data lengkap mengenai narna, luas dan tanggal serta tahun pengukuhan Tarnan Nasional di Indonesia dapat dilihat pada lampiran 1 dari penelitian ini.

F. Kelembagaan Taman Nasional.

(123)
[image:123.505.52.470.56.719.2]

Taman Nasional adalah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA). Setelah reformasi bergulir, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam sempat dua kali mengganti nama yaitu menjadi Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (PKA) dan kemudian menjadi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Adapun struktur umurn kelembagaan T m a n Nasional menurut Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 1233Kpts-I11200 1 tertanggal 4 April 200 1 dapat dilihat pada gambar 2.1 dan gambar 2.2.

G. Pengembangan Masyarakat Lokal

Menurut Nasikun dalam Fandeli (2000), dalam paradigma baru mengenai pembangunan berkelanjutan, yang harus menjadi fokus perhatian bukanlah pertumbuhan ekonomi melainkan perubahan relasi kekuasan pada berbagai tingkat yaitu pada tingkat global, domestik dan lokal. Adapun perubahan relasi yang hharapkan dalam paradigma baru pada tingkatan-tingkatan tersebut adalah : (1) Tingkat global yaitu bagaimana menempatkan diri dalam konfigurasi dunia baik dalarn bidang ekonomi, politik, budaya dan lingkungan, (2) Tingkat domestik yaitu bagaimana mendemokratisasikan bidang ekonomi, politik, budaya dan lingkungan, serta (3) Tingkat lokal yaitu bagaimana kekuatan-kekuatan yang ada diberdayakan.

(124)

Masyarakat desa adalah sekelompok orang yang hidup bersama di suatu tempat dan menghasilkan kebudayaan. Struktur masyarakat terdiri dari beberapa unsur yaitu manusia yang hidup bersama, berkumpul dalam waktu yang cukup lama, sehingga terjadi sistem komunikasi dan timbul peraturan yang mengatur hubungan di antara sesama manusia, dan kelompok tersebut sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan bersarna sehingga menimbulkan kebudayaan (Soekanto 1990 dalam Suparyana 1999).

Pola hidup masyarakat desa cenderung kepada kekeluargaadgotong royong yang bersurnber pada kehendak bersama yang mengutamakan kepentingan bersama, bercorak tradisional, homogen, spontan dan akrab serta biasanya memegang teguh kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat. Pola hubungan tersebut, menurut Asyari (1983) dalarn Suparyana (1999), dinamakan sebagai hubungan komunal dengan pimpinannya seorang pemimpin bertipe otoriter tradisional. Sumber utama mata pencaharian masyarakat pedesaan adalah pertanian (Soekanto 1990 dalarn Suparyana

1999). Pendapat Soekanto tersebut, didukung oleh Cohen (1983 dalam Suparyana 1999) yang menyatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan non pertanian hanyalah merupakan pekerjaan sarnbilan karena pada saat musim tanam atau musim panen tiba, maka masyarakat desa akan melepaskan seluruh kegiatan sambilannya dan berkonsentrasi penuh pada kegiatan utamanya yaitu bercocok tanam. Adapun ciri-ciri masyarakat desa, menurut Koentjaraningrat dalam Sajogyo

dan

Sajogyo (1989) adalah sebagai berikut :

a. Terdapat konflik atau persaingan yang mencolok b. Prinsip kerja keras untuk menyarnbung hidup

(125)

Menteri Kehutanan

r

I

Staf ~ h i i Menteri

Inspektorat Jenderal Sekretariat Jenderal

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi

Direktorat Direktorat Jenderal Bina Rehabilitasi

[image:125.805.91.713.60.435.2]

Lahan dan Kehutanan Perhutanan Planologi Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

(126)

Direktotat Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Sekretariat

I

Unit Pelaksana Teknis

(termasuk didalamnya Balai Taman Nasional Gede Pangrango) Direktorat

[image:126.797.61.677.60.455.2]

Perlindungan

Gambar 2.2

Struktur organisasi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departenen Kehutanan

berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

123 /Kpts-IU200 1

tanggal

4

April 200

1

Direktorat Penangjplangan Kebakaran Hutan Direktorat Konservasi Kawasan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Direktorat Wisata Alam dan

(127)

H. Otonomi Daerah.

Kata otonomi menurut Busro dan Busroh (1985), berasal dari bahasa Yunani yaitu "autos" yang berarti mengatur sendiri dan "nomos" yang berarti pemerintahan. Jadi pengertian secara harafiah otonomi adalah pemerintahan yang mempunyai wewenang untuk mengatur sendiri rurnah tangganya. Lebih jauh Busro dan Eusroh (1985), menyatakan bahwa menurut ajaran van Vollenhoven, dalam konteks pemerintahan otonom berarti bahwa pemerintahan tersebut diberi hak untuk (1) membentuk perundangan (Wetgeving), (2) melaksanakan undang-undang (uitvoering), (3) melakukan peradilan (recthspraak) dan (4) melakukan tugas kepolisian (politie).

Untuk negara Indonesia, bentuk pemerintah otonom tidak sepenuhnya mengikuti ajaran van Vollenhoven, karena daerah otonom hanya diberi hak untuk membentuk perundang-undangan (Wetgeving) dan melaksanakan undang-undang (uitvoering). Sedangkan hak daerah untuk melakukan peradilan (recthspraak) dan melakukan tugas kepolisian (politie) tidak ada.

Adapun pasal-pasal dalarn undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang mengatur tentang pengertian dan hak daerah otonom adalah pada pasal 2 ayat 1 serta pasal 7 ayat 1. Pada pasal 2 ayat 1 dinyatakan bahwa daerah otonom meliputi provinsi, kabupaten dan kota. Sedangkan pada pasal7 ayat 1 dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamarm, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan kewenangan bidang lain sebagaimana dimaksud pada pasal7 ayat 1 meliputi kebijakan nasional secara rnakro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tingig yang bernilai strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.

(128)

sendiri. Hak tersebut diperoleh suatu daerah melalui penyerallan urusan pemerin- dari pemerintah (pusat) atau daerah tingkat atasnya (melalui desentralisasi) sesuai dengan kemampuan daerah yang bersangkutan. Lebih jauh Djohan (1998), menyatakan bahwa kendatipun tidak mudah memperoleh otonomi, namun otonomi diperlukan. Para ahli pemerintahan menganggap bahwa otonomi diperlukan agar :

1) Terjah pengalokasian dan distribusi kekuasaan; 2) Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab; 3) Pengambilan keputusan yang berkualitas;

4) Pemberian pelayanan yang lebih rnemuaskan, dan 5) Pengakomodasian partisipasi masyarakat.

Sedangkan para praktisi berpendapat bahwa otonomi diperlukan agar: 1) Beban pemerintah pusat berkurang;

2) Menurnbuhkan kemandirian dan kedewasaan daerah;

3) Menghasilkan program yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi daerah, dan

4) Meningkatkan daya saing daerah dalam rangka era liberalisasi dan globalisasi.

Adapun tujuan otonomi secara urnum adalah agar terciptanya suatu pemerintahan yang efisien dan berorientasi kepada pengembangan serta kesejahteraan masyarakat pada daerah otonom tersebut. Ciri suatu pemerintahan otonom, menurut Handoyo dan Thresianti (2000), adalah sebagai berikut:

1) Penyelenggaraan pemerintahan dijalankan oleh pejabat-pejabat yang merupakan pegawai pemerintahan daerah;

2) Penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan dijalankan atas inisiatif dan prakarsa sendiri;

(129)

4) Penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan sedapat mungkin dibiayai dari sumber-sumber keuangannya sendiri.

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan otonom, menurut Handoyo

c-lan

Thresianti (2000), ada tiga asas yang hams diperhatikan yaitu Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Medebewind.

1) Asas desentralisasi artinya adalah bahwa sebagian tugas penyelenggaraan pemerintahan diberikan kepada daerah sesuai dengan kemampuannya. Menurut Manan dalam Handoyo dan Thresianti (2000), desentralisasi pada dasarnya adalah bentuk dari susunan organisasi negara berdasarkan teritori atau fungsi pemerintahan tertentu.

2) Asas dekonsentrasi artinya adalah bahwa pelimpahan kewenangan dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala pemerintahan vertikal di tingkat atas kepada daerah .

,

3) Asas medebewind, hsebut juga sebagai asas perbantuan. Asas ini berarti bahwa dalarn melaksanakan urusan pemerintahan, pemerintah otonom memanfaatkan jasa atau bantuan dari pegawai pusat dimana pegawai tersebut bertanggung jawab kepada pihak yang menugaskannya.

(130)

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kawasan Tarnan Nasional Gunung Gede Pangrango dari bulan Desember 2001 sampai dengan April 2002. Penelitian, dilaksanakan di daerah di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang meliputi 6 1 Desa, 1 8 Kecamatan dan tiga Kabupaten.

B. Jenis Data

Penelitian ini d i d a n untuk mengumpulkan dan menganalisis data serta informasi yang berkenaan atau berkaitan dengan aspek-aspek kepentingan, tujuan, dan tindakan para aktor atau pelaku-pelaku yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dengan masalah pengelolaan Taman Nasional. Para aktor atau pelaku yang dimaksud adalah :

1. Unit pengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango;

2. Pemerintah Kabupaten di selutar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango;

3. Masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan 4. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi Pecinta Alarn yang

terlibat dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Jenis data yang dikurnpulkan adalah :

(131)

2. Hubungan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan Pemerintah Kabupaten;

a. Perbedaan kepentingan dan pandangan dalam memanfaatkan sumberdaya alam Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

b. Masalah koordinasi program dan kegiatan.

3. Hubungan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan masyarakat sekitar;

a. Konflik penggunaan lahan.

b. Perambahan kayu dan hasil hutan non kayu secara liar.

b. Peluang usaha dan beke rja yang timbul akibat ada pengunjung ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

4. Hubungan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan masyarakat pemerhati Taman Nasional;

a. Isu konservasi keanekaragaman hayati. b. Isu konversi lahan.

c. Isu strategis pemanfaatan secara berkelanjutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

d. Masalah yang dihadapi.

(132)

C. Metode Pengumpulan Data

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini, sebagian besar diperoleh dengan metode non survai yakni melalui wawancara mendalam kepada beberapa aktor atau pelaku yang terlibat dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Sedangkan metode survai hanya diterapkan pada sekelompok masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang terkena dampak.

Dengan demikian, metode pengambilan sampel yang digunakan, jurnlah responden dan lokasi penelitian yang diamati dengan metode survai berupa wawancara pada sejumlah responden, ditetapkan setelah memperoleh g a m h lebih lanjut di lapangan.

Sedangkan untuk data sekunder yang digunakan, dikumpulkan dari pihak- pihak yang terkait dalam penelitian ini, yaitu beberapa aktor atau pelaku yang terlibat dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk pemerintah kabupaten Bogor, Sukabumi

dan

Cianjur data dikumpulkan dengan menggunakan metode non survai yaitu dengan cara melakukan diskusi kepada kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Ka BAPPEDA), Asisten 11 Sekretaris Daerah (Assisten I1

SEKDA), Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (Ka Bapedalda).

2. Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, data dikumpulkan dengan menggunakan metode non survai yaitu melalui diskusi

dan

observasi.

3. Masyarakat yang tinggal disekitar kawasan Taman Nasinal Gu~lung Gede Pangrango, data dikumpulkm dengan metode survai yaitu dengan wawancara pada sejumlah responden.

(133)

Agar pengumpulan data primer dengan metode non survai dilakukan dengan optimal, wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman pertanyaan atas topik- topik tertentu. Jenis clan jumlah pertanyaan yang diajukan kepada pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terlampir pada lampiran 3, 4, 5, dan 6

dan

penelitian ini. Walaupun demikian, pertanyaan yang diajukan tidak bersifat statis karena bisa saja bertambah sesuai dengan kondisi lapangan.

Metode sampling yang digunakan dalarn penelitian ini adalah stratified random sampling, dimana unit sarnplingnya adalah Desa dan pada setiap Desa diambil lima orang secara acak untuk dijadikan sebagai responden. Dengan menggunakan metode sampling yang demikian, maka jurnlah responden yahg diwawancarai be jumlah 305 j iwa.

D. Analisis dan Pengolahan Data

(134)

A. Letak dan Sejarah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terletak antara Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Cianjur. Luasnya adalah 15.196 hektar yang terdiri

dan

kawasan cagar alam Cimungkat 56 hektar, kawa san cagar alarn Cibodas 1040 hektar, kawasan hutan lindung lereng Gunung Gede dan Pangrango 14.000 hektar dan Taman Wisata Situ Gunung 100 hektar. Secara geografis, taman Taman Nasional Gede Pangrango terletak diantara 106'5 1 '- 107'02' bujur timur dan 6'45'- 6'5 1 ' lintang selatan. Adapun batas-batas Taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah sebagai berikut :

1. Di sebelah utara : Wilayah kabupaten Cianjur dan Bogor, meliputi hutan produksi yang dikelola leh Perum Perhutani, perkebunan teh dan tanah milik masyarakat

2. Di sebelah barat : Wilayah kabupaten Sukabumi dan Bogor, meliputi kawasan hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani, perkebunan teh dan tanah milik masyarakat

3. Di sebelah selatan : Wilayah kabupaten Sukabumi dan Bogor, meliputi kawasan hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani, perkebunan teh dan tanah milik masyarakat

4. Di sebelah timur : Wilayah kabupaten Cianjur, meliputi kawasan hutan produksi yang dikelola oleh Penun Perhutani dan tanah milik masyarakat.

(135)

permukaan laut sampai dengan ketinggan 3019 meter dari permukaan laut. Tipe hutan pada Taman Nasional ini adalah hutan hujan pegunungan tropika, berada pada ketinggian antara 700 sampai dengan 2400 meter dan permukaan laut, didominasi oleh tumbuhan rasamala, saninten serta jamuju. Ada tiga zonasi pada Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dimana pa& setiap zonasi spesies makhluk hidupnya juga khas. Ketiga zonasi tersebut adalah sebagai berikut

1. Sub Montana : Pada zonasi ini, kaya akan vegetasi tumbuhan. Vegetasi tumbuhannya terdiri dari dua lapis, pohon-pohonnya besar, bentuk daun tumbuhan adalah lebar, pertumbuhannya cepat, kompetisi di antara spesies tinggi, didominasi oleh pohon oak. Lingkungannya hangat serta lembab, tanahnya subur, ketinggiannya berkisar antara 1200 sampai dengan 1500 meter dari permukaan laut.

2. Montana : Pada zonasi ini, tumbuhannya berukuran sedang, bentuk daunnya sedang dan pertumbuhannya lambat, lingkungannya dingn dan berkabut, ketinggiannya berkisar antara 1500 sampai dengan 2400 meter

dan

permukaan laut.

3. Sub Alpin : Pada zonasi ini, terdiri

dan

dua lapis yaitu pohon dan bunga, daunnya kecil, tumbuhan tumbuh sangat lambat dan pohonnya pendek. Lingkungannya dingin dan berkabut, tetapi sinar matahari sangat keras, tanah tidak terlalu kaya akan mineral. Ketinggiannya berkisar antara 2400 sampai dengan 3019 meter dari permukaan laut.
(136)
(137)

Selain Gubernur Jenderal Rafles dan Carl Pehr Thumberg, ilmuwan lain yang juga pernah melakukan penelitian di kawasan Taman Nasional Gede Pangrango adalah Reindardt (penemu kebun raya Bogor) pada tahun 1 8 19, Kuhl dan van Haselt pada bulan Agustus 182 1, Thomas Junghun (botaniwan Jerman) pada bulan April tahun 1 839, Alfied R Walace pada tahun 1 86 1 serta CGGJ van Steenis botaniawan Belanda yang menulis buku terkenal berjudul "The Mountain Flora of Java" setelah mengunjung kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Pemerintah menyadari bahwa kawasan disekitar Gunung Gede dan Pangrango mempunyai fungsi utama sebagai penyangga ekosistem bagi kawasan disekitarnya, serta mempunyai fungsi tambahan sebagai sarana pendidikan

dan

rekreasi, maka pada tanggal 6 Maret 1980, kawasan disekitar gunung Gede dan Pangrango ditetapkan sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

B.

Lingkungan Fisik Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

B.1. Tipe Tanah

Berdasarkan peta tanah tinjau Provinsi Jawa Barat skala 1 : 250.000 dari lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1966, jenis tanah di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terdiri dari :

1. Jenis regosol dan litosol pada lereng pegunungan yang lebih tinggi

dan

berasal clan lava dan batuan hasil kegatan gunung berarpi. Jenis tanah ini tergolong sangat peka terhadap erosi.

2. Jenis tanah asosiasi andosol dan regosol pada lereng-lereng pegunungan yang lebih rendah, tergolong agak peka sampai peka terhadap erosi. Jenis tanah ini telah mengalami pelapukan lanjut.

(138)

merupakan jenis tanah yang paling dominan serta tergolong agak peka terhadap erosi.

B.2. Tipe Iklim

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan daerah beriklim tropis dengan curah hujan berkisar antara 3000-4000 mrnltahun. Musim hujan te rjadi pada bulan Oktober- Mei dengan curah hujan bulanan rata-rata 200 mm, sedangkan pada bulan Desember-Maret, curah hujan rata-rata dapat mencapai 400 mm. Musim kemarau terjadi pada bulan Juni-September, dengan curah hujan rata-rata 100 mm. Berdaswan klasifikasi iklim yang dibuat oleh Schmidt

dan

Ferguson, tipe iklim di kawasan ini termasuk ke dalam tipe A dengan nilai Q berkisar antara 5% sampai 9%.

Temperatur di Cibodas berkisar antara 18 sampai 10 "C pada siang hari clan pada malam

hari

dapat berkisar antara 0 sampai 5 "C. Kelembaban udara relatif sepanjang tahun berkisar antara 80% sampai dengan 90%. Secara umum, angin yslng bertiup di kawasan ini merupakan angin muson yang berubah arah menurut musim. Pada bulan Desember sampai Maret, angin bertiup dari arah barat daya dengan kecepatan yang cukup tinggi dan sering kali mengakibatkan kerusakan hutan. Sedangkan pada musim kemarau, angin bertiup dari arah timur laut dengan kecepatan yang agak rendah.

B.3. Bentuk Topografi

(139)

B.4.

Bentuk Geologi

Gunung Gede dan Gunung Pangrango merupakan bagian dari alur gunung berapi yang membujur dm Sumatera, Jawa sampai Nusa Tenggara. Rangkaian gunung ini terbentuk sebagai akibat dari pergerakan lapisan kulit burni secara terus- menerus selama periode aktivitas geologi yang tidak stabil, yaitu pada periode quartener. Secara urnum, lapisan batuan yang terdapat di daerah ini merupakan batuan vulkanik seperti andesit, tuff, basal, lava breksi, breksi mekanik dan piroklasik. Lapisan dasar dari batun ini terdiri dari batuan non vulkanik yang lebih

tua.

B.5.

Sistem Hidrologi

Sungai-sungai yang terdapat di &lam kawasn Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, secara umum membentuk pola radial. Berdasarkan data yang tersedia, terdapat 50 sungai dan anak sungai yang berhulu di kawasan ini. Hal ini menyebabkan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ditetapkan sebagai kawasan konservasi yaitu dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem khususnya sebagai penyangga sistem kehidupan yaitu dalam menyedialcan air permukaan maupun air bawah tanah. Laju aliran dari sungai-sungai yang ada, sepanjang tahun relatif stabil.

Di daerah Gunung Gede, terdapat dua buah lubang yang merupakan penampung air pada saat hujan lebat. Air yang terkumpul, kemudian membentuk aliran kecil di bawah permukaan melalui lapisan pasir yang berporositas tinggi dan selanjutnya mengalir ke dasar kawah yang kemudian muncul sebagai aliran air panas dengan suhu

+

75 "C di lereng utara Gunung Gede pada ketianggian 21 50 meter dari permukaan laut. Adapun beberapa sungai penting yang berhulu di Taman Nasional Gede Pangrango antara lain:
(140)

2. Sungai Cisarua dan Cinagara yang mengalir ke arah barat daya yang merupakan sumber utama sungai Ciliwung dan Kali Angke yang bermuara di laut jawa.

3. Sungai Cikundur dan Cianjur Leutik yang mengalir ke arah timur dan bermuara di sungai Citarum.

C. Spesies Tumbuhan dan Hewan pada Taman Nasional Gede Pangrango C.1. Spesies Tumbuhan

Spesies tumbuhan yang ada pada kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango jumlah dan jenisnya bervariasi sesuai dengan zonasi yang ada. Adapun species tumbuhan yang paling sering dijumpai adalah Walen (Ficus ribes), Pasang (Lithocarpus pseudomollucus), Kondang (Ficus variegata), Pandan (Padamus percolun), Hunyurbuut (Kadsura scandens), Beleketebe (Sloanea sigzin), Rotan

(141)

ordoriferum), Gandasoli (Hedychiurn roxburghii), Lumut merah (Sphagnum gedeanum).

C.2. Spesies Hewan

(142)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Taman Nasional

Taman Nasional secara harafiah berarti bahwa suatu taman yang dimiliki clan dikelola secara nasional karena pada Taman Nasional tersebut terdapat keunikan- keunikan tertentu yang menjadi kebangaan secara nasional. Adanya Taman Nasional pada setiap negara menunjukkan bahwa pemerintah masing-masing negara ingin mengkonservasi suatu kawasan konservasi, dmana pada kawasan konservasi tersebut terdapat spesies tumbuhan, hewan atau juga ekosistem yang unik dan keunikan tersebut dapat menjadi kebanggaan secara nasional.

Jumlah dan luas Taman Nasional pada setiap negara bervariasi. Untuk Negara Indonesia, jumlah Taman Nasional yang ada mencapai 40 buah Taman Nasional

baik

berupa Tarnan Nasional Darat maupun Taman Nasional Laut dengan luas keseluruhan mencapai 11 juta hektar, dimana pada setiap Tarnan Nasional terdapat spesies tumbuhan, hewan dan juga ekosistem yang unik, dan keunikan tersebut tidak terdapat di negara lain.

Untuk kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, ada beberapa spesies tumbuhan, hewan dan juga ekosistem yang unik serta menjadl kebanggaan nasional, misalnya elang jawa (Spzzaetus bartelsi), owa jawa (Hylobates moloch), lumut merah (Sphagnum gedeanum), danau telaga biru, gua lalay, puncak gunung gede, puncak gunung pangrango serta alun-alun surya kencana.

(143)

Walaupun di dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, telah ditetapkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi termasuk Taman Nasional tetap dilakukan oleh Pemerintah Pusat, tidak berarti bahwa daerah tidak boleh terlibat dalam pengelolaan Taman Nasional karena bagaimana pun juga, komponen penyusun suatu bangsa atau negara adalah daerah. Sebagai komponen penyusun suatu bangsa atau negara, daerah merasakan secara langsung manfaat keberadaan Taman Nasional. Oleh sebab itu, pemerintah daerah juga semestinya diberi tanggung jawab untuk mengelola Tarnan Nasional yang berada di dalam wilayah administratif mereka.

Pemberian kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengelola Taman Nasional yang berada di dalam wilayah administratif mereka tidak berarti bahwa Taman Nasional akan berubah statusnya menjadi Taman Daerah. Karena hakekat dari keberadaan Taman Nasional adalah sebagai suatu Taman yang mempunyai keunikan-keunikan tertentu dimana keunikan-keunikan tersebut tidak terdapat di negara lain clan keunikan-keunikan tersebut menjadi kebangaan secara Nasional.

B.

Unit Pengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

B.1. Struktur Organisasi

Stnrktur organisasi Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango menggunakan struktur organisasi yang ditetapkan oleh menteri Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 2002, yaitu Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 185lKPTS-IU2002 TANGGAL 10 JUNI 2002. Adapun bentuk struktur organisasi Balai Taman Nasional Gede Pangrango berdasarkan swat keputusan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.1. Uraian mum tentang kedudukan, tugas serta h g s i dari masing-masing unit kerja tersebut adalah sebagai berikut:

(144)

dan

melaksanakan kerja sama dengan instansi terkait dalam rangka menjaga kelestarian kawasan serta berupaya meningkatkan kesejahtem masyarakat di sekitar kawasan.

Kepala Sub Bagian Tata Usaha bertugas untuk melakukan urusan kepegawaian, keuangan, tata persuratan, perlengkapan, kearsipan, rumah tangga, koordinasi bahan rencana dan program, penyiapan bahan evaluasi dan pelaporan Balai.

Kepala Seksi Konservasi Wilayah (I, I1 dan 111) bertugas untuk melakukan penyusunan rencana, program dan evaluasi, pengelolaan, pengawetan, dan pemanfaatan lestari, perlindungan, pengamanan dan penanggulangan kebakaran kawasan, promosi dan informasi, bina wisata alam dan cinta alam, penyuluhan konservasi surnberdaya alam dan ekosisternnya, serta kerjasarna di bidang pengelolaan Taman Nasional, dan pelaksanaan urusan tata usaha di masing-masing wilayah konservasi.

Kelompok Tenaga Fungsional ada empat yaitu (1) tenaga kerja fungsional bidang Konservasi Hutan dan Lingkungan yang mempunyai tugas melakukan konservasi terhadap hutan dan lingkungan, (2) tenaga kerja fungsional bidang Konservasi Jenis dan Sumberdaya Alam Hayati yang bertugas melakukan konservasi terhadap jenis dan sumberdaya alam hayati, (3) tenaga kerja fungsional bidang Bina Wisata Alam yang bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan wisata alam, dan (4) tenaga kerja fungsional bidang Polisi KehutanadJagawana yang bertugas untuk mengamankan kawasan Taman Nasional terhadap gangguan dari luar.

(145)

pemerintah pusat dalam

hal

ini Departemen Kehutanan. Mekanisme ini, jelas

tidak

sesuai dengan semangat dan jiwa otonomi. Selain itu, dengan tidak adanya sistem pertanggung jawaban dan koordinasi antara pihak pengelola Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan pemerintah daerah setempat, telah menyebabkan pihak pengelola Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan mudah mengabaikan kritik dan masukkan yang diberikan oleh pemerintah daerah setempat.

Walaupun demiluan, ada beberapa kemajuan dalam keputusan Menteri Kehutanan tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional yaitu kepala seksi konservasi wilayah diberi kewenangan untuk melakukan penyusunan rencana, program dan evaluasi, pengelolaan, pengawetan, dan pemanfaatan lestari, perlindungan, pengamanan dan penanggulangan kebakaran kawasan, promosi

dan

informasi, bina wisata alam dan cinta alam, penyuluhan konservasi surnberdaya darn dan ekosistemnya, serta kerjasama di bidang pengelolaan Taman Nasional,

d m

pelaksanaan urusan tata usaha di masing-masing wilayah konservasi.
(146)
[image:146.797.70.664.39.466.2]

Gambar 5.1 Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (SK MENHUT NO 6 186 IKPTS-1112002 TANGGAL 10 JUNI 2002)

Kepala Balai

Kepala Sub Bagian Tata Usaha

*

Kepala Seksi Konservasi Wilavah III (Selabintana) Kepala Seksi Konsemasi

Wilayah I (Gn Putri)

Kepala Seksi Konservasi Wilayah 11 (Bodogol)

Pos Polisi Kehutanan

1. Cibodas

2. Gn Putri 3. Gedeh

Pos Polisi Pos Polisi

2. Cimande 2. Selabintana

3. Cisarua 3. Cimungkat

Kelompok Tenaga Fungsional

1. TK Bidang Konsewasi Hutan dan Lingkungan.

2. TK Bidang Konservasi Jenis dan Sumber Daya Alam Hayati 3. TK Bidang Bina Wisata Alam

(147)
[image:147.795.73.674.62.473.2]

Gambar 5.2 Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

(SKPT MENHUT NO 185 KPTSl1997 TANGGAL 3 1 MARET 1997)

Kepala Balai

Kepala Sub Bagian Tata Usaha

konservasi

Kelornpok Tenaga Fungsional

I . TK Bidang Konsemasi Hutan dan Lingkungan.

2. TK Bidang Konservasi Jenis dan Sumber Daya Alam Hayati 3. TK Bidang Bina Wisata Alam

4. Polisi Kehutanan Kepala SSW Bodogol Kepala SSW ,

Selabintana Kepala SSW

Gn Putri

-

Pos Polisi Kehutanan

1. Bodogol 2. Cimande 3. Cisarua Pos Polisi

Kehutanan

1. Cibodas 2. Gn Puti

3. Gedeh

I

u

-

Pos Polisi Kehutanan

(148)

B.2.

Program Kerja

Dalam rangka mengembangkan pengelolaan Taman Nasional Gede Pangrango, pimpinan Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango telah membuat enam program kerja sebagai berikut :

1. Meningkatkan upaya pengelolaan kawasan dan sumberdayanya antara lain pngumpulan data dan informasi tentang potensi, operasi pengamanan kawasan, pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana, pembagian zonasi serta penyusunan rencana pengelolaan tarnan nasional. 2. Meningkatkan kemarnpuan aparatur dan organisasi, melalui pendidikan

yang dilakukan oleh taman nasional sendiri serta pada lembaga pendidikan formal.

3. Peningkatan peranan (pemanfaatan) untuk meningkatkan potensi sumberdaya yang ada dalarn kawasan melalui penambahan fasilitas penunjang bagi pengunjung serta penanaman tanaman prodd&f pada kawasan tepi sehingga memudahkan pengamatan jika terjadi gangguan pada taman nasional.

4. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar, melalui kerjasama dengan instansi terkait, misalnya Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dll. 5. Meningkatkan apresiasi dan kepedulian masyarakat urnum, melalui

penyuluhan, sarasehan, pendidikan kader konservasi dan lain lain.

(149)

Upaya pihak pengelola Taman Nasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang mendiami kawasan sekitar Taman Nasional juga belum mencapai sasarannya. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kehidupan masyarakat sekitar kawasan yang masih rendah yaitu 83% dari setiap keluarga yang ada, berpendapatan kurang dari dua ratus lima puluh ribu rupiah. Selain itu, upaya pihak pengelola Balai Taman Nasional untuk meningkatkan apresiasi dan kepedulian masyarakat melalui pendidikan, sarasehan dan penyuluhan juga dapat dikatakan beluni mencapai hasil yang optimal. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya gangguan yang dialami oleh Tarnan Nasional dimana sebagian besar gangguan dilakukan oleh masyarakat ymg

mendiami kawasan sekitar Tarnan Nasional.

B.3. Jumlah Pegawai

Jumlah pegawai yang bekerja di Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah sebanyak 125, orang terdiri dari 11 8 orang pegawai negeri dan 7 orang pegawai honorer. Gambaran yang lebih jelas tentang tingkat pendidikan para pegawai yang bekerja di Balai Taman Nasional Gede Pangrango, dapat dilihat pada Tabel 5.1

Tabel 5.1 Komtmsisi Perrawai TNGGP berdasarkan tingkat uendidlkan No.

1.

T o t a l 125

1

l00,O

]

Sumber : Balai Taman Nasional Gede Pangrango tahun 2001 2.

3. 4. 5. 6.

Jika ditinjau dari segi pendidikan para pegawai yang beke rja di Balai Tarnan Tingkat Pendidikan

S2

Nasional Gunung Gede Pangrango, dapat dikatakan bahwa tingkat pendidlkan para S1

Sarjana Muda SLTA

SLTP SD

pegawai yang bekerja di Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, belum Jumlah Pegawai

1

Prosentase (%)

0.8 19

3 8 1

(150)

mencapai tingkat yang optimal karena hanya sedikit pegawai yang mempunyai tingkat pendidikan sarjana muda, sarjana dan master (hanya 23 pegawai atau 17,6%). Sedangkan selebihnya adalah pegawai dengan tingkat pendidikan SLTA ke bawah (102 pegawai atau 82,4%). Padahal Taman Nasional mempunyai tugas dan fungsi pokok untuk melestarikan keanekaragaman hayati yang ada di dalam kawasan tersebut. Oleh sebab itu, idealnya proporsi tingkat pendidikan pegawai yang beke rja di Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango antara lulusan perguruan tinggi (sarjana, master dan doktor) dengan lulusan SLTA ke bawah adalah 1 : 1 atau 50%.

Pegawai Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang berjumlah

Gambar

gambar 2.1 dan gambar 2.2.
Gambar 2.1 Struktur Organisasi Departemen Kehutanan secara urnum berdasarkan
Gambar 2.2 Struktur organisasi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departenen Kehutanan
Gambar 5.1 Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (SK MENHUT NO 6 186 IKPTS-1112002 TANGGAL 10 JUNI 2002)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kondisi eksisting, kualitas estetika, karakter kualitas ekologi, dan pengelolaan lanskap Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Terhadap Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat di Wilayah Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen

Kegiatan eksplorasi dan pengoleksian biji dilakukan di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Kabupaten Cianjur meliputi empat resort yaitu Resort

Hasil bioakustik di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang dapat dianalisis berjumlah enam file rekaman suara tonggeret dan enam file rekaman suara

Dalam penyampaian publikasi untuk sebuah informasi film dokumenter mengenai teknis pendakian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango selain kepada pengunjung yang

BAGUS ARY WIBOWO. Strategi Pengendalian Kebakaran Hutan di Taman Nasional. Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA.

Berdasarkan hasil penelitian dari bulan November 2011 - Maret 2012 dikawasan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango diperoleh 66

(2007) menunjukkan bahwa terdapat 18 jenis Anura di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), sedangkan khusus di Sungai Cibeureum terdapat enam jenis Anura. Penelitian