• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efikasi Diri dan Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efikasi Diri dan Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

EFIKASI DIRI DAN MANAJEMEN DIRI

PADA PASIEN DIABETES TIPE 2

TESIS

Oleh

NENENG ASTUTI

127046012 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

EFIKASI DIRI DAN MANAJEMEN DIRI

PADA PASIEN DIABETES TIPE 2

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Oleh

NENENG ASTUTI

127046012 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)
(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 27 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sutomo Kasiman., SpPD., SpJP Anggota : 1. Rosina Tarigan, S.Kp., M.Kep., SpKMB

(5)
(6)

Judul Tesis : Efikasi Diri dan Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2

Nama Mahasiswa : Neneng Astuti

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Diabetes tipe 2 merupakan penyakit kronis yang membutuhkan manajemen diri

diabetes lebih lanjut untuk mencegah komplikasi akut dan mengurangi risiko

komplikasi jangka panjang. Efikasi diri dan manajemen diri pada pasien diabetes

tipe 2 merupakan dua komponen penting sebagai dasar untuk meningkatkan

kemandirian pasien dalam mengelola penyakitnya, mencegah komplikasi terkait

diabetes dan mempertahankan kualitas hidup. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui hubungan antara efikasi diri dengan manajemen diri pada pasien

diabetes tipe 2. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif korelasi

dengan pendekatan desain cross-sectional, yang dilaksanakan di RSUD Dr.

Pirngadi Medan. Sampel penelitian adalah pasien diabetes tipe 2 yang berjumlah

92 orang yang diambil dengan teknik convenience sampling, dan menggunakan

kuesioner sebagai instrumen penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat

(7)

diabetes tipe 2 (r=0,412, p<0,05), semakin tinggi tingkat efikasi diri pasien maka

semakin baik perilaku manajemen diri diabetesnya. Diharapkan pada institusi

pendidikan dan pelayanan keperawatan, serta penelitian keperawatan agar dapat

mengembangkan metode edukasi yang komprehensif untuk meningkatkan efikasi

diri dan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.

(8)

Thesis Title : Self-efficacy and Self-management in Patients with Type 2 Diabetes

Name : Neneng Astuti

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Type 2 diabetes is a chronic disease which needs further diabetes

self-management to prevent acute complications and to decrease the risk of long-term

complications. Self-efficacy and self-management in patients with type 2 diabetes

consists of two important components as the basis for improving patients’

independence in managing their illness, preventing diabetes related complications

and maintaining the quality of life. The objective of the research was to determine

the relationship between self-efficacy with self-management in patients with type

2 diabetes. This study used a quantitative correlation method with cross-sectional

design, it was conducted in Dr. Pirngadi General Hospital, Medan. The samples

were 92 patients with type 2 diabetes, taken by using convenience sampling

technique, the data were analyzed by distributing questionnaires as the instrument

of the research. The results of this study showed that there was significant

(9)

diabetes (r=0.412, p<0.05), patients with higher levels of efficacy will perform

better diabetes self-management. It is recommended that nursing education,

nursing practice, and nursing research, should develop comprehensive education

method in order to improve self-efficacy and self-management in patients with

type 2 diabetes.

(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur selalu dipanjatkan kehadirat Allaah SWT yang

senantiasa melimpahkan rahmad dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis dengan judul “Efikasi Diri dan Manajemen Diri pada Pasien

Diabetes Tipe 2”, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di

Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Peminatan Keperawatan Medikal

Bedah Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga

kepada Bapak Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD., SpJP selaku Pembimbing I dan

Ibu Rosina Tarigan, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB selaku Pembimbing II, yang telah

memberikan arahan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan

membantu proses penyelesaian tesis ini, terutama kepada yang terhormat:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara,

2. Bapak Setiawan, S.Kp., MNS., PhD., selaku Ketua Program Studi Magister

Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara,

3. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan,

4. Ibu Dr. Ir. Evawany Yunita Aritonang, M.Si selaku Penguji I, dan Ibu Yesi

Ariani, S.Kep., Ns., M.Kep selaku Penguji II,

5. Seluruh staf dosen dan pegawai di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

(11)

6. Keluarga tercinta, Ayahanda (Alm.), Ibunda, Kakanda dan Abanganda,

7. Keluarga besar, teman dan sahabat di Fakultas MIPA dan Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Riau, Pekanbaru,

8. Seluruh teman sejawat angkatan 2012/2013 Program Studi Magister Ilmu

Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna,

sehingga masukan serta saran sangat diharapkan untuk perbaikan tesis ini di masa

yang akan datang.

Medan, 27 Agustus 2014

Penulis,

(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Neneng Astuti

Tempat / Tanggal Lahir : Dolok Ilir / 6 September 1982

Alamat Kantor : Universitas Muhammadiyah Riau Kampus 2

Jl. Tuanku Tambusai No. 01 Pekanbaru

No. HP / e-mail : 081378573169 / go_ners@yahoo.com

Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

(13)

Riwayat Pekerjaan :

Maret 2007 – Mei 2008 : Dosen Tetap di Akademi Keperawatan Salma Siak

Poltekkes Dep. Kes Riau

Juni 2008 – Sekarang : Dosen Tetap di Program Studi DIII Keperawatan

Fakultas MIPA dan Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Riau

Seminar “Aplikasi Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan Pengembangan

Pengetahuan Bidang Kesehatan”, 18 Desember 2012, Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara, sebagai peserta.

WorkshopMenganalisis Data Kualitatif dengan Metode Content Analysis dan

Software Weft-qda”, 18 Desember 2012, Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara, sebagai peserta.

Seminar Keperawatan “Pendekatan Holistik Keperawatan pada Perawatan

Stoma”, 6 Januari 2013, Asri Wound Care Clinic and Home Care

Management, sebagai peserta.

Seminar Keperawatan “Nursing Leadership Menyongsong ASEAN Community

2015”, 30 Januari 2013, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera

Utara, sebagai peserta.

Medan International Nursing ConferenceThe Application of Caring Science in

Nursing Education, Advanced Research and Clinical Practice”, 1-2 April

(14)

DAFTAR ISI

2.2.3. Proses Pembentukan Efikasi Diri ... 23

2.2.4. Dimensi Efikasi Diri ... 25

2.2.5. Efikasi Diri pada Diabetes ... 27

2.2.6. Pengukuran Efikasi Diri pada Diabetes Tipe 2 ... 27

2.3.Manajemen Diri ... 28

2.3.1. Definisi Manajemen Diri ... 28

2.3.2. Manajemen Diri pada Diabetes ... 28

2.3.3. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Manajemen Diri pada Diabetes Tipe 2 ... 24

2.3.4. Pengukuran Manajemen Diri pada Diabetes Tipe 2 ... 38

2.4.Landasan Teori ... 38

2.5.Kerangka Teori ... 41

(15)

Halaman

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 45

3.1.Jenis Penelitian ... 45

3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

3.3.Populasi dan Sampel Penelitian ... 47

3.4.Variabel dan Definisi Operasional ... 51

3.5.Metode Pengukuran Data ... 53

3.6.Metode Analisis Data ... 54

3.7.Pertimbangan Etik ... 59

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 60

4.1.Analisis Univariat ... 60

4.1.1. Karakteristik Responden ... 60

4.1.2. Efikasi Diri ... 62

4.1.3. Manajemen Diri ... 62

4.2.Analisis Bivariat ... 63

4.2.1. Hubungan antara Efikasi Diri dengan Manajemen Diri .. 63

4.2.2. Hubungan antara Karakteristik Responden dengan Manajemen Diri ... 64

4.3.Analisis Multivariat ... 66

BAB 5. PEMBAHASAN ... 69

5.1.Efikasi Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2 ... 69

5.2.Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2 ... 72

5.3.Hubungan antara Efikasi Diri dengan Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2 ... 78

5.4.Hubungan antara Karakteristik Responden dengan Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2 ... 79

5.5.Keterbatasan Penelitian ... 88

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

6.1.Kesimpulan ... 89

6.2.Saran ... 89

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1. Definisi Operasional ... 51

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden ... 61

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Efikasi Diri ... 62

Tabel 4.3. Distribusi Responden berdasarkan Manajemen Diri ... 63

Tabel 4.4. Analisis Hubungan antara Efikasi Diri dengan Manajemen Diri . 63 Tabel 4.5. Analisis Hubungan antara Karakteristik Respoden dengan Manajemen Diri ... 65

Tabel 4.6. Analisis Regresi Linier Ganda antara Efikasi Diri, Pendidikan, Pekerjaan, dan Pendidikan Kesehatan tentang Diabetes dengan Manajemen Diri ... 67

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Conceptual Structure of the Self-Care Deficit Theory of

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(19)

Thesis Title : Self-efficacy and Self-management in Patients with Type 2 Diabetes

Name : Neneng Astuti

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Type 2 diabetes is a chronic disease which needs further diabetes

self-management to prevent acute complications and to decrease the risk of long-term

complications. Self-efficacy and self-management in patients with type 2 diabetes

consists of two important components as the basis for improving patients’

independence in managing their illness, preventing diabetes related complications

and maintaining the quality of life. The objective of the research was to determine

the relationship between self-efficacy with self-management in patients with type

2 diabetes. This study used a quantitative correlation method with cross-sectional

design, it was conducted in Dr. Pirngadi General Hospital, Medan. The samples

were 92 patients with type 2 diabetes, taken by using convenience sampling

technique, the data were analyzed by distributing questionnaires as the instrument

of the research. The results of this study showed that there was significant

(20)

diabetes (r=0.412, p<0.05), patients with higher levels of efficacy will perform

better diabetes self-management. It is recommended that nursing education,

nursing practice, and nursing research, should develop comprehensive education

method in order to improve self-efficacy and self-management in patients with

type 2 diabetes.

(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Penyakit tidak menular saat ini sudah menjadi masalah kesehatan

masyarakat secara global, regional, nasional dan lokal. Salah satu penyakit tidak

menular yang menyita banyak perhatian adalah diabetes melitus (Depkes RI,

2013). Diabetes melitus, atau sering hanya disebut dengan diabetes, adalah

penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak mampu lagi memproduksi

insulin, atau ketika tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkan (IDF,

2013). Diabetes tipe 2 merupakan jenis yang paling umum dari diabetes, yang

mencapai 90-95% dari seluruh penderita diabetes. Diabetes tipe 2 disebut juga

dengan diabetes yang tidak bergantung pada insulin (Non-Insulin Dependent

Diabetes), yang umumnya disebabkan oleh resistensi insulin atau defek sekresi

insulin dengan defisiensi insulin relatif (ADA, 2013).

Ketidakmampuan memproduksi insulin atau penggunaannya yang tidak

efektif menyebabkan kadar glukosa menumpuk di dalam darah atau dikenal

sebagai hiperglikemia, dan kadar glukosa yang tinggi tersebut akan

mempengaruhi terjadinya kerusakan pada tubuh serta kegagalan berbagai organ

dan jaringan (IDF, 2013). Diabetes yang sering tidak terkontrol dapat

mengakibatkan komplikasi seperti penyakit jantung, stroke, tekanan darah tinggi,

kebutaan, penyakit ginjal, penyakit sistem saraf, amputasi kaki, dan kematian

(22)

Penyakit diabetes selain karena faktor keturunan, juga disebabkan pola

hidup yang salah atau pola makan yang sudah berubah, aktifitas yang kurang dan

faktor lingkungan tidak baik, sehingga penyakit tersebut semakin sulit untuk

diobati. Faktor lingkungan seperti promosi makanan atau banyaknya fast food,

karena mengkonsumsi makanan yang berlebih, kurangnya aktifitas, juga

menyebabkan prevalensi diabetes menjadi tinggi dengan persentase sekitar

60%-70% (Lindarto, 2013b).

Selain menimbulkan banyak keluhan bagi penderitanya, diabetes juga

sangat berpotensi menimbulkan komplikasi yang berat, yang membuat penderita

tidak mampu lagi beraktivitas atau bekerja seperti biasa, dan memberikan beban

bagi keluarga, dan merupakan penyakit yang paling merugikan dari segi ekonomi,

karena memerlukan perawatan dan pengobatan seumur hidup (Kwek, 2013). Oleh

karena tingginya angka kesakitan dan kematian yang berkaitan dengan diabetes,

maka peningkatan jumlah penduduk yang menderita penyakit ini telah menjadi

masalah kesehatan yang serius dan merupakan beban ekonomi utama dalam

sistem pelayanan kesehatan (PKM-Nusapenida, 2012).

Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) ditemukan

bahwa jumlah penderita diabetes tipe 2 meningkat setiap tahunnya di setiap

negara. Pada tahun 2013, ditemukan sebanyak 382 juta orang menderita diabetes,

diabetes menyebabkan 5,1 juta kematian dan penderita diabetes meninggal setiap

enam detik. Pada tahun 2035 penderita diabetes diperkirakan akan meningkat

(23)

negara di dunia dengan penderita diabetes terbesar di bawah negara Cina, India,

Amerika Serikat, Brazil, Rusia dan Mexico (IDF, 2014).

Peningkatan kasus diabetes juga terjadi sangat pesat di kawasan ASEAN.

Prevalensi penyakit diabetes di ASEAN saat ini sekitar 8,7%, dan terdapat 51%

penderita yang tidak mengetahui dirinya mengidap diabetes. Prevalensi penyakit

diabetes di Indonesia secara nasional pada tahun 2013 yaitu 5,7%, atau sekitar 10

juta orang yang terkena diabetes dan 18 juta lainnya terancam diabetes (Subekti,

2013). Kasus yang terbanyak dari populasi diabetes di Indonesia adalah diabetes

tipe 2 yang mencapai 90%, dan pada tahun 2030 Indonesia diperkirakan akan

memiliki penyandang diabetes sebanyak 21,3 juta jiwa (Depkes RI, 2013).

Penderita diabetes di Sumatera Utara juga meningkat setiap tahunnya. Pada tahun

2013, Sumatera Utara memiliki prevalensi diabetes sebesar 5,3% atau hanya 0,4%

di bawah rata-rata nasional. Meskipun demikian, prevalensi ini harus diwaspadai

karena penderita yang telah mengetahui memiliki diabetes sebelumnya hanya

sebesar 26%, sedangkan sekitar 74% yang tidak mengetahui bahwa mereka telah

menderita diabetes (Lindarto, 2013a).

Diabetes juga merupakan penyakit yang paling banyak diderita pasien

yang berkunjung ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan selama

Bulan April 2011. Dari data jumlah kunjungan rawat jalan di rumah sakit tersebut

pada bulan April 2011 mencapai 4730 orang. Dari data tersebut jumlah penyakit

yang mendominasi adalah diabetes yaitu mencapai 1404 kunjungan dan jumlah

(24)

Berdasarkan data Rekam Medik pada tahun 2013, jumlah penderita diabetes tipe 2

baik di Poliklinik Endokrin dan di Ruang Rawat Inap mencapai 957 orang.

Seseorang dengan penyakit kronis akan mengalami perubahan secara

dramatis dalam kegiatan sehari-hari, dan diharapkan dapat melakukan kegiatan

manajemen diri untuk membantu menghindari komplikasi terkait penyakit dan

mempertahankan kualitas hidup. Manajemen diri merupakan seperangkat

keterampilan perilaku yang dilakukan dalam mengelola penyakit secara mandiri

(Goodall & Halford 1991; Wu et al., 2007), dan merupakan landasan manajemen

perawatan kronis, sehingga pasien dapat belajar dan mempraktekkan keterampilan

untuk melanjutkan hidup dengan kondisi emosional yang baik dalam menghadapi

penyakit kronis (Yoo et al., 2011).

Diabetes merupakan penyakit kronis yang membutuhkan manajemen diri

diabetes sebagai komponen penting bagi setiap individu dalam pengelolaan

penyakitnya dan merupakan hal terpenting untuk mengendalikan dan mencegah

komplikasi diabetes (Xu et al., 2008). Perilaku manajemen diri yang harus

dilakukan oleh penderita diabetes mencakup mengatur pola makan, latihan fisik,

minum obat, pemantauan glukosa darah, dan perawatan kaki (Shamoon et al.,

1993; Xu et al, 2008). Keberhasilan manajemen diri diabetes bergantung pada

aktivitas perawatan diri individu untuk mengontrol gejala dan menghindari

komplikasi. Jika kegiatan perawatan diri dilakukan secara teratur, maka dapat

mencegah komplikasi yang timbul akibat diabetes (Wu et al., 2007).

Manajemen diri pada diabetes merupakan tugas yang menantang yang

(25)

(Bean; Cundy & Petrie, 2007). Perilaku dalam mengontrol diabetes ini sangat

penting, akan tetapi perilaku manajemen diri tidak dilakukan secara konsisten oleh

pasien diabetes (Xu et al., 2008). Pasien diabetes yang mendapatkan pengetahuan

tentang manajemen perawatan diri untuk penyakitnya, juga sulit melakukan

perubahan perilaku dan gaya hidup (Rapley & Fruin, 1999; Wu et al., 2007).

Pasien tidak selalu menerapkan perubahan perilaku yang diinginkan (Sharoni &

Wu, 2012), dan banyak penderita diabetes yang tidak terlibat dalam semua praktik

manajemen diri (Sarkar, Fisher & Schillinger, 2006; Xu et al., 2008; Hunt et al.,

2012; Al-Khawaldeh, Al-Hassan & Froelicher, 2012).

Dasar kesuksesan dalam manajemen perawatan diri dari penyakit apapun

adalah efikasi diri. Bandura (1994) menjelaskan bahwa efikasi diri adalah

keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mencapai suatu tingkat

kinerja yang mempengaruhi setiap peristiwa dalam hidupnya. Efikasi diri

menentukan bagaimana seseorang merasa, berpikir, memotivasi diri, dan

berperilaku dari waktu ke waktu (Beckerle & Lavin, 2013). Konsep efikasi diri

juga digambarkan sebagai rasa kontrol pribadi atas perubahan yang diinginkan

atau keyakinan bahwa individu dapat mencapai perilaku tertentu. Berkaitan

dengan manajemen diri, efikasi diri mencerminkan keyakinan kemampuan pasien

untuk mengatur dan mengintegrasikan perilaku manajemen diri baik terhadap

fisik, sosial, dan emosional guna menciptakan solusi dalam menghadapi masalah

pada kehidupan sehari-hari (Yoo et al., 2011).

Teori efikasi diri memberikan alasan ilmiah sebagai strategi yang memiliki

(26)

untuk melakukan perubahan perilaku (Wu et al., 2007). Definisi ini menjelaskan

bahwa efikasi diri individu berhubungan dengan situasi dan tugas tertentu, seperti

manajemen perawatan diri pada diabetes tipe 2 (Lenz & Shortridge-Baggett 2002;

Sharoni & Wu, 2012). Efikasi diri telah terbukti menjadi faktor penting dalam

perilaku kesehatan promotif (Bandura, 1995), dan merupakan faktor penting yang

mempengaruhi perilaku perawatan diri pada pasien dengan diabetes tipe 2 (Hunt

et al., 2012).

Sejumlah artikel yang diterbitkan secara internasional menunjukkan bahwa

efikasi diri merupakan prediktor kuat yang berperan penting dalam manajemen

diri pada pasien dengan diabetes tipe 2, efikasi diri yang kuat akan berhubungan

positif terhadap partisipasi dalam perilaku manajemen diri pada diabetes (Sarkar,

Fisher & Schillinger, 2006; Bean, Cundy & Petrie, 2007; Wu et al., 2007; Xu et

al., 2008; Lee, Ahn & Kim., 2009; Hunt et al., 2012; Sharoni & Wu, 2012;

Al-Khawaldeh, Al-Hassan & Froelicher, 2012; Gao et al., 2013).

Di Indonesia masih banyak penyandang diabetes yang belum terdiagnosis,

hanya dua pertiga saja dari yang terdiagnosis yang menjalani pengobatan, baik

non farmakologis maupun farmakologis. Dari jumlah pasien yang menjalani

pengobatan tersebut hanya sepertiganya saja yang terkendali dengan baik

(PERKENI, 2011). Hasil penelitian dari Kusniyah, Nursiswati, & Rahayu (2010)

menyimpulkan bahwa pasien diabetes tipe 2 masih memiliki tingkat self-care

yang rendah. Hasil penelitian dari Kusniawati (2011) juga menyimpulkan bahwa

aktivitas perawatan diri pasien diabetes tipe 2 masih rendah pada monitoring gula

(27)

Dalam perawatan diabetes, perawatan kolaboratif antar disiplin oleh

praktisi pelayanan primer bekerja sama dengan perawat, ahli gizi, ahli endokrin,

dan spesialis lainnya dapat meningkatkan status kesehatan pasien diabetes

(Wagner et al., 2001; Siminerio et al., 2007). Perawat merupakan salah satu

penyedia layanan kesehatan yang secara aktif terlibat dalam pencegahan dan

deteksi dini diabetes dan komplikasinya, serta berusaha membantu mengurangi

masalah pasien baik dari aspek fisik, emosional, mental, sosial-budaya dan

spiritual (Aalaa et al., 2012). Oleh sebab itu, penting bagi perawat untuk

memahami konsep efikasi diri dan manajemen diri pada pasien diabetes, sehingga

dapat meningkatkan kompetensi perawat dalam melakukan asuhan keperawatan

secara holistik khususnya pada pasien diabetes tipe 2.

1.2.Permasalahan

Efikasi diri dan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2 merupakan dua

komponen penting sebagai dasar untuk meningkatkan kemandirian pasien dalam

mengelola penyakitnya, mencegah komplikasi terkait diabetes dan

mempertahankan kualitas hidup. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa

perilaku manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2 masih belum optimal, dan

efikasi diri merupakan faktor paling kuat yang menentukan seseorang untuk

melakukan manajemen diri diabetes. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti

ingin menganalisis lebih jauh hubungan antara efikasi diri dengan manajemen diri

(28)

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara

efikasi diridengan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk:

1) Mengidentifikasi efikasi diri pada pasien diabetes tipe 2,

2) Mengidentifikasi manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2,

3) Menganalisis hubungan antara efikasi diri dengan manajemen diri pada pasien

diabetes tipe 2,

4) Menganalisis hubungan antara karakteristik responden dengan manajemen diri

pada pasien diabetes tipe 2.

1.4.Hipotesis

Hipotesis merupakan sebuah pernyataan prediksi atau penjelasan tentatif

tentang keterkaitan antara dua variabel atau lebih (Polit & Beck, 2012). Hipotesis

dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara efikasi diri dengan

(29)

1.5.Manfaat Penelitian

1.5.1. Bagi Pendidikan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan rujukan ilmiah bagi

perawat pendidik dan mahasiswa keperawatan untuk meningkatkan pengetahuan

yang berkaitan dengan konsep efikasi diri dan manajemen diri pada diabetes tipe

2, sehingga dapat mengembangkan dan meningkatkan kualitas asuhan

keperawatan pada pasien dengan diabetes tipe 2.

1.5.2. Bagi Pelayanan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan para perawat

praktisi dan perawat edukasi diabetes dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan

secara holistik, berkolaborasi dengan pasien dan tim kesehatan lainnya dalam

mengaplikasikan praktik asuhan keperawatan untuk meningkatkan efikasi diri dan

manajemen diri pada pasien dengan diabetes tipe 2.

1.5.3. Bagi Penelitian Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah riset keperawatan dan

memfasilitasi para peneliti keperawatan untuk mengeksplorasi dan

mengembangkan riset keperawatan yang berguna bagi pengembangan manajemen

(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2013), diabetes melitus

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

kedua-duanya. Menurut Lewis et al. (2011) menyebutkan bahwa diabetes melitus

merupakan penyakit kronis yang berkaitan dengan defisiensi insulin atau

resistensi insulin baik relatif atau absolut atau karena keduanya yang ditandai

dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sehingga gula

darah tubuh mengalami kenaikan (hiperglikemia). Lanywati (2011) juga

menjelaskan bahwa penyakit diabetes melitus, kencing manis atau penyakit gula,

merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan menahun

terutama pada sistem metabolisme karbohidrat, lemak, dan juga protein dalam

tubuh. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat dapat disimpulkan bahwa

diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan

peningkatan kadar gula dalam darah karena tubuh sedikit atau tidak mampu

memproduksi insulin.

2.1.2. Klasifikasi

Menurut ADA (2014), diabetes dapat diklasifikasikan ke dalam empat

(31)

menyebabkan kekurangan insulin absolut); Diabetes tipe 2 (karena kerusakan

progresif sekretorik insulin akibat resistensi insulin); Tipe diabetes tertentu karena

penyebab lain, misalnya; defek genetik pada fungsi sel- (beta), defek genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik), dan yang

disebabkan oleh obat atau kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau

setelah transplantasi organ); Diabetes melitus gestasional (diabetes yang

didiagnosis selama kehamilan dan belum menjadi penyakit diabetes secara pasti).

2.1.3. Faktor Risiko

Menurut PERKENI (2011), faktor risiko diabetes tipe 2 terdiri dari faktor

risiko yang tidak bisa dimodifikasi dan yang bisa dimodifikasi. Faktor risiko yang

tidak bisa dimodifikasi antara lain; Ras dan etnik, riwayat keluarga dengan

diabetes, umur (risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring

dengan meningkatnya umur, umur >45 tahun harus dilakukan pemeriksaan

diabetes), riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram atau

riwayat pernah menderita diabetes gestasional, riwayat lahir dengan berat badan

rendah kurang dari 2,5 kg (bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai

risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan berat badan normal).

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu; berat badan lebih (IMT >23

kg/m2), kurangnya aktivitas fisik, hipertensi (>140/90 mmHg), dislipidemia

(HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL), diet yang tidak sehat

(unhealthy diet), diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan

risiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa dan diabetes tipe 2. Faktor lain

(32)

(PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin, penderita

sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau

glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit

kardiovaskular, seperti stroke, penyakit jantung koroner (PJK), atau Peripheral

Arterial Diseases (PAD) (PERKENI, 2011).

2.1.4. Patofisiologi

Diabetes tipe 2 merupakan suatu kelainan dengan karakteristik utama

adalah terjadinya hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum jelas,

faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang penting dalam munculnya

diabetes tipe 2. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor

lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktifitas fisik, obesitas, dan

tingginya kadar asam lemak bebas. Mekanisme terjadinya diabetes tipe 2

umumnya disebabkan karena resistensi terhadap insulin atau defek sekresi insulin.

Resistensi terhadap insulin terjadi disebabkan oleh penurunan kemampuan

hormon insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target perifer

(terutama pada otot dan hati). Untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal

dibutuhkan kadar insulin plasma yang lebih tinggi. Pada orang dengan diabetes

tipe 2, terjadi penurunan pada penggunaan maksimum insulin, yaitu lebih rendah

30-60% daripada orang normal. Resistensi terhadap kerja insulin menyebabkan

terjadinya gangguan penggunaan insulin oleh jaringan-jaringan yang sensitif dan

meningkatkan pengeluaran glukosa hati. Kedua efek ini memberikan kontribusi

terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Kelainan yang juga khas pada diabetes tipe

(33)

sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian glukosa oral dan

lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan dikompensasi pada fase

lambat, dimana sekresi insulin pada diabetes melitus tipe 2 terlihat lebih tinggi

dibandingkan dengan orang normal. Meskipun telah terjadi kompensasi, tetapi

kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi hiperglikemia yang ada atau terjadi

defisiensi relatif yang menyebabkan keadaan hiperglikemi sepanjang hari.

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas

diabetes tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk

mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya.

Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe 2. Meskipun

demikian, diabetes tipe 2 yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut

lainnya yang dinamakan sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non-Ketotik

(HHNK). Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama

bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi.

Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan, seperti;

kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama-lama

sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat

tinggi). Salah satu konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit diabetes selama

bertahun-tahun adalah terjadinya komplikasi diabetes jangka panjang (misalnya,

kelainan mata, neuropati perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi

(34)

2.1.5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis tergantung pada tingkat hiperglikemia pasien.

Manifestasi klinis klasik dari semua jenis penyakit diabetes mencakup "tiga P"

yaitu; poliuria, polidipsia, dan polifagia. Poliuria (peningkatan urinasi) dan

polidipsia (peningkatan rasa haus) terjadi sebagai akibat dari hilangnya cairan

yang berlebihan berhubungan dengan diuresis osmotik. Pasien juga mengalami

polifagia (peningkatan nafsu makan) akibat dari keadaan katabolik yang

disebabkan oleh defisiensi insulin dan pemecahan protein dan lemak. Gejala

lainnya yaitu kelemahan dan kelelahan, perubahan fungsi penglihatan secara

mendadak, kesemutan atau mati rasa pada tangan atau kaki, kulit kering, lesi kulit

atau luka yang lambat sembuh, dan infeksi berulang. Pada diabetes tipe 1 dapat

terjadi kehilangan berat badan secara tiba-tiba, mual, muntah atau sakit perut jika

pasien telah mengalami ketoasidosis diabetik (Smeltzer & Bare, 2010).

2.1.6. Diagnosis

Diabetes didiagnosis berdasarkan kriteria glukosa plasma (ADA, 2014).

Seseorang didiagnosis diabetes jika; 1) Nilai glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL

(7,0 mmol/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori setidaknya 8

jam. 2) Nilai glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral 75 gr

(TTGO) ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L). Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskan

oleh WHO tahun 1994, menggunakan beban glukosa yang mengandung setara

dengan 75 gram glukosa anhidrat yang dilarutkan dalam air. 3) International

Expert Committee menambahkan tes hemoglobin-glikosilat/A1c sebagai pilihan

(35)

HbA1C ≥6,5%). Tes ini harus dilakukan di laboratorium yang menggunakan

metode yang bersertifikat NGSP (National Glycohemoglobin Standardization

Program) dan standar untuk uji DCCT (Diabetes Control and Complications

Trial). Tanpa adanya hiperglikemia yang tegas, maka hasil dari ke tiga

pemeriksaan di atas harus dikonfirmasi dengan tes ulang. 4) Pada pasien dengan

gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia, dilakukan tes glukosa

plasma acak (sewaktu) ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L).

2.1.7. Penatalaksanaan

Pengelolaan penyakit diabetes tipe 2 dimulai dengan pengaturan makan

dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa

darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat

hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO

dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.

Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat,

berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera

diberikan. Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), ada

empat pilar penatalaksanaan pada penderita diabetes tipe 2 yaitu edukasi, terapi

nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis (PERKENI, 2011).

1) Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku

telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan

partisipasi aktif dari pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan

(36)

keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan

upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan

gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien,

sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri,

setelah mendapat pelatihan khusus.

2) Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan

diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara

menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain, serta

pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM

sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan

makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk

masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan

kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu

ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan

jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa

darah atau insulin. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari; karbohidrat

yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi, asupan lemak dianjurkan

sekitar 20-25% kebutuhan kalori, protein dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan

energi, anjuran asupan natrium tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7

gram (1 sendok teh garam dapur), dianjurkan mengkonsumsi cukup serat ±25

gr/hari, dan pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman

(37)

3) Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali

seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam

pengelolaan diabetes tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,

menggunakan tangga, berkebun, harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain

untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki

sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan

jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan

kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya

disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk penderita yang

relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah

mendapat komplikasi diabetes, maka intensitas latihan jasmani dapat dikurangi.

Penderita dianjurkan untuk menghindari kebiasaan hidup yang kurang gerak atau

bermalas-malasan.

4) Intervensi farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum

tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Obat-obatan yang

digunakan untuk penderita diabetes tipe 2 yaitu obat hipoglikemik oral (OHO),

insulin, dan terapi kombinasi. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5

golongan, antara lain; pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue), seperti

sulfonilurea dan glinid; peningkat sensitivitas terhadap insulin, seperti metformin

(38)

absorbsi glukosa, seperti penghambat glikosidase alfa, dan DPP-IV (dipeptidyl

peptidase-4) inhibitor.

2.1.8. Komplikasi

Diabetes merupakan penyakit yang sangat berpotensi terhadap terjadinya

berbagai komplikasi berat. Berikut ini diuraikan komplikasi yang terkait dengan

diabetes.

1) Komplikasi Akut

Ada tiga komplikasi utama diabetes akut yang berhubungan dengan

ketidakseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka pendek yaitu, Ketoasidosis

Diabetik (KAD), Status Hiperglikemik Hiperosmolar (SHH), dan hipoglikemia.

KAD merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan

kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda

dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat

(300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap. Pada kondisi SHH terjadi

peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan

gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma

keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat. Dan pada hipoglikemia

ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL. Gejala

hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak keringat,

gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran

(39)

2) Komplikasi Kronik

Permana (2009) menguraikan komplikasi kronis pada diabetes berkaitan

dengan gangguan vaskular, yaitu: komplikasi mikrovaskular, komplikasi

makrovaskular, dan komplikasi neurologis. Komplikasi mikrovaskular terjadi

akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler yang terdiri

dari retinopati diabetik dan nefropati diabetik. Retinopati diabetik dibagi dalam 2

kelompok, yaitu retinopati non proliferatif dan proliferatif. Retinopati non

proliferatif merupakan stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma,

sedangkan retinopati proliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh

darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada nefropati diabetik

ditandai dengan adanya proteinuria persisten (>0,5 gr/24 jam), terdapat retinopati

dan hipertensi. Kerusakan ginjal yang spesifik pada diabetes mengakibatkan

perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein

dapat lolos ke dalam kemih (albuminuria). Akibat dari nefropati diabetik tersebut

dapat menyebabkan kegagalan ginjal yang progresif.

Komplikasi makrovaskular pada diabetes terjadi akibat aterosklerosis dari

pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma.

Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun dapat muncul lebih cepat,

lebih sering terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis menunjukkan

bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular dan penderita diabetes

meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal. Komplikasi makroangiopati

umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar gula darah yang baik.

(40)

faktor resiko mortalitas kardiovaskular, di mana peninggian kadar insulin

menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. Kadar insulin puasa >15

mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat.

Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan

penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular (Permana, 2009).

Neuropati diabetik mengacu pada sekelompok penyakit yang

mempengaruhi semua jenis saraf, termasuk perifer (sensorimotor), otonom, dan

saraf tulang belakang. Gejala klinis beragam dan tergantung pada lokasi sel-sel

saraf yang terkena (NIDDK, 2008; Smeltzer & Bare 2010). Neuropati pada

umumnya berupa polineuropati diabetik yang merupakan komplikasi yang sering

terjadi pada penderita diabetes, dan lebih dari 50% dari penderita diabetes

mengalami komplikasi tersebut. Manifestasi klinis dapat berupa gangguan

sensorik, motorik, dan otonom. Proses terjadinya neuropati biasanya progresif di

mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau baal.

Area yang biasanya mengalami neuropati adalah serabut saraf tungkai atau lengan

(Permana, 2009).

2.2. Efikasi Diri

2.2.1. Definisi Efikasi Diri

Konsep efikasi diri telah dikembangkan oleh Albert Bandura sebagai teori

sosial kognitif pada tahun 1977. Bandura (1994) menjelaskan bahwa efikasi diri

adalah keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk mencapai suatu

(41)

menentukan bagaimana seseorang merasa, berfikir, memotivasi dirinya dan

berperilaku. Efikasi diri terbentuk melalui empat proses utama yaitu kognitif,

motivasi, afektif dan proses seleksi. Pender (2004; dalam Tomey & Alligood,

2006) menjelaskan efikasi diri adalah penilaian kemampuan personal untuk

mengatur dan menjalankan perilaku promosi kesehatan.

Efikasi diri merupakan keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk

mengelola penyakit kronis secara mandiri, karena menentukan seseorang apakah

akan memulai atau tidak untuk melakukan perawatan dirinya (Holman & Lorig,

1992; Nyunt et al., 2010). Dan berdasarkan beberapa definisi di atas dapat

disimpulkan bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang akan kemampuan

dirinya dalam mengatur dan melaksanakan kegiatan yang mendukung

kesehatannya berdasarkan pada tujuan dan harapan yang diinginkan.

2.2.2. Sumber Efikasi Diri

Bandura (1995) menyatakan bahwa efikasi diri dapat diperoleh, dipelajari,

dan dikembangkan dari empat sumber informasi. Pada dasarnya, keempat sumber

tersebut adalah stimulasi atau kejadian yang dapat memberikan inspirasi atau

pembangkit positif untuk berusaha menyelesaikan tugas atau masalah yang

dihadapi. Adapun sumber-sumber efikasi diri tersebut adalah:

1) Mastery Experiences (Pengalaman keberhasilan). Sumber informasi ini

memberikan pengaruh besar pada efikasi diri individu karena didasarkan pada

pengalaman-pengalaman pribadi individu secara nyata yang berupa

keberhasilan dan kegagalan. Pengalaman keberhasilan akan menaikkan

(42)

Pengalaman keberhasilan individu ini meningkatkan ketekunan dan kegigihan

dalam berusaha mengatasi kesulitan, sehingga dapat mengurangi kegagalan.

2) Vicarious experience (Pengalaman orang lain), yaitu mengamati perilaku dan

pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu. Melalui model ini

efikasi diri individu dapat meningkat, terutama jika ia merasa memiliki

kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang

menjadi subyek belajarnya. Ia akan mempunyai kecenderungan merasa

mampu melakukan hal yang sama. Meningkatnya efikasi diri individu ini

dapat meningkatkan motivasi untuk mencapai suatu prestasi. Peningkatan

efikasi diri ini akan menjadi efektif jika subyek yang menjadi model tersebut

mempunyai banyak kesamaan karakteristik antara individu dengan model,

kesamaan tingkat kesulitan tugas, kesamaan situasi dan kondisi, serta

keanekaragaman yang dicapai oleh model.

3) Verbal persuasion (Persuasi verbal). Pada persuasi verbal, individu diarahkan

dengan saran, nasihat, dan bimbingan sehingga dapat meningkatkan

keyakinannya tentang kemampuan-kemampuan yang dimiliki yang dapat

membantu mencapai tujuan yang diinginkan. Individu yang diyakinkan secara

verbal cenderung akan berusaha lebih keras untuk mencapai suatu

keberhasilan. Dalam kondisi yang menekan dan kegagalan terus-menerus,

pengaruh sugesti akan cepat lenyap jika mengalami pengalaman yang tidak

menyenangkan.

4) Physiological and emotional state (Keadaan fisiologis dan psikologis), yaitu

(43)

mendalam, dan keadaan fisiologis yang lemah yang dialami individu akan

dirasakan sebagai suatu isyarat akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan.

Individu akan mendasarkan informasi mengenai kondisi fisiologis mereka

untuk menilai kemampuannya. Ketegangan fisik dalam situasi yang menekan

dipandang individu sebagai suatu tanda ketidakmampuan karena hal itu dapat

melemahkan perfomansi kerja individu. Karena itu, efikasi diri tinggi

biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stres dan kecemasan. Sebaliknya,

efikasi diri yang rendah ditandai oleh tingkat stres dan kecemasan yang tinggi

pula.

2.2.3. Proses Pembentukan Efikasi Diri

Menurut Bandura (1995), proses psikologis dalam efikasi diri yang turut

berperan dalam diri manusia ada 4 yakni proses kognitif, motivasional, afeksi dan

proses pemilihan/seleksi.

1) Proses kognitif

Proses kognitif merupakan proses berfikir, termasuk pemerolehan,

pengorganisasian, dan penggunaan informasi. Kebanyakan tindakan manusia

bermula dari sesuatu yang dipikirkan terlebih dahulu. Individu yang memiliki

efikasi diri yang tinggi lebih senang membayangkan tentang kesuksesan.

Sebaliknya individu dengan efikasi dirinya rendah lebih banyak membayangkan

kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya kesuksesan. Bentuk

tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan diri. Semakin

(44)

membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannnya dan semakin kuat komitmen

individu terhadap tujuannya.

2) Proses motivasi

Kebanyakan motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif. Individu

memberi motivasi/dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan

melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kepercayaan akan kemampuan

diri dapat mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan

yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa

tahan mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam

menghadapi kegagalan. Ada tiga teori yang menjelaskan tentang proses motivasi.

Teori pertama adalah causal attributions (atribusi penyebab). Teori ini fokus pada

sebab-sebab yang mempengaruhi motivasi, usaha, dan reaksi-reaksi individu.

Individu yang memiliki efikasi diri tinggi bila mengahadapi kegagalan cenderung

menganggap kegagalan tersebut diakibatkan usaha-usaha yang tidak cukup

memadai. Sebaliknya, individu yang efikasi dirinya rendah, cenderung

menganggap kegagalanya diakibatkan kemampuan mereka yang terbatas. Teori

kedua, outcomes experience (harapan akan hasil), yang menyatakan bahwa

motivasi dibentuk melalui harapan-harapan. Biasanya individu akan berperilaku

sesuai dengan keyakinan mereka tentang apa yang dapat mereka lakukan. Teori

ketiga, goal theory (teori tujuan), dimana dengan membentuk tujuan terlebih

(45)

3) Proses afektif

Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi

emosional. Keyakinan individu akan koping mereka turut mempengaruhi tingkat

stres dan depresi seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit. Persepsi

efikasi diri tentang kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan

penting dalam timbulnya kecemasaan. Individu yang percaya akan

kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan hal-hal

yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung

mengalami tingkat kecemasan yang tinggi, selalu memikirkan kekurangan

mereka, memandang lingkungan sekitar penuh dengan ancaman,

membesar-besarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang sebenarnya

jarang terjadi.

4) Proses seleksi

Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu turut

mempengaruhi efek dari suatu kejadian. Individu cenderung menghindari

aktivitas dan situasi yang diluar batas kemampuan mereka. Bila individu merasa

yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung

tidak menghindari situasi tersebut. Dengan adanya pilihan yang dibuat, individu

kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat, dan hubungan sosial mereka.

2.2.4. Dimensi Efikasi Diri

Bandura (1997) mengungkapkan bahwa perbedaan efikasi diri pada setiap

individu terletak pada tiga dimensi, yaitu: magnitude (tingkat kesulitan tugas),

(46)

mempunyai implikasi penting di dalam kinerja individu yang secara lebih jelas

dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Magnitude (tingkat kesulitan tugas), yaitu masalah yang berkaitan dengan

derajat kesulitan tugas individu. Komponen ini berimplikasi pada pemilihan

perilaku yang akan dicoba individu berdasarkan ekspektasi efikasi pada

tingkat kesulitan tugas. Individu akan berupaya melakukan tugas tertentu

yang ia persepsikan dapat dilaksanakannya dan ia akan menghindari situasi

dan perilaku yang ia persepsikan di luar batas kemampuannya.

2) Strength (kekuatan keyakinan), yaitu aspek yang berkaitan dengan kekuatan

keyakinan individu atas kemampuannya. Pengharapan yang kuat dan mantap

pada individu akan mendorong untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan

walaupun mungkin belum memiliki pengalaman-pengalaman yang

menunjang. Sebaliknya, pengharapan yang lemah dan ragu-ragu akan

kemampuan diri akan mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang

tidak menunjang. Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan tingkat

dimensi, yaitu semakin tinggi tingkat kesulitan tugas, semakin lemah

keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.

3) Generality (generalitas), yaitu hal yang berkaitan dengan luas cakupan

tingkah laku diyakini oleh individu mampu dilaksanakan. Keyakinan individu

terhadap kemampuan dirinya bergantung pada pemahaman kemampuan

dirinya, baik yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu maupun

(47)

2.2.5. Efikasi Diri pada Diabetes

Menurut Bandura (1997), efikasi diri adalah jembatan antara mengetahui

apa yang harus dilakukan dan benar-benar melakukannya. Selain itu, efikasi diri

juga menjadi dasar untuk meningkatkan efektivitas pendidikan diabetes karena

berfokus pada perubahan perilaku (Van der Bijl & Shortridge-Baggett, 2001; Wu

et al., 2007). Efikasi diri merupakan keyakinan individu tentang kemampuan

pribadi terhadap kinerja perilaku. Dalam hal manajemen diri diabetes, efikasi diri

adalah keyakinan pasien terhadap kemampuannya untuk melakukan berbagai

perilaku manajemen diri diabetes (Al-Khawaldeh, Al-Hassan & Froelicher, 2012).

Efikasi diri adalah prediktor kuat terhadap perilaku manajemen diri diabetes,

seseorang yang hidup dengan diabetes yang memiliki tingkat efikasi diri yang

lebih tinggi akan berpartisipasi dalam perilaku pengelolaan diri diabetes yang

lebih baik (Hunt et al., 2012).

2.2.6. Pengukuran Efikasi Diri pada Diabetes Tipe 2

Pengembangan instrumen Diabetes Management Self-efficacy Scale

(DMSES) Dutch/English Version untuk pasien diabetes tipe 2 telah dilakukan

oleh Bijl., Poelgeest-Eeltink, & Shortridge-Baggett (1999) yang terdiri dari 20

item pertanyaan untuk mengukur efikasi diri terhadap manajemen diri pada pasien

tipe 2. Skala ini juga telah dikembangkan dalam versi Australia/Inggris oleh

McDowell et al. (2005), dan dalam versi Inggris oleh Sturt, Hearnshaw dan

Wakelin (2010). Instrumen (DMSES) Dutch/English Version juga telah

(48)

2.3. Manajemen Diri

2.3.1. Definisi Manajemen Diri

Di dalam literatur, manajemen diri (self-management) juga disebut dengan

perawatan diri (self-care) telah didefinisikan dalam beberapa cara tergantung pada

fokus disiplin (yaitu, sosiologi, fisiologi, ekologi, medis, atau terkait dengan

perawatan atau promosi kesehatan) (Weiler & Crist, 2007). Manajemen diri

mengacu pada pelaksanaan tugas-tugas dimana seseorang harus berusaha untuk

hidup dengan baik dengan satu atau lebih kondisi kronis. Tugas ini juga ternasuk

dalam mendapatkan kepercayaan untuk menangani manajemen medis, manajemen

peran, dan manajemen emosional (Adams, Greiner & Corrigan, 2004).

2.3.2. Manajemen Diri pada Diabetes

Manajemen diri pada diabetes merupakan seperangkat perilaku yang

dilakukan oleh individu dengan diabetes untuk mengelola kondisi mereka,

termasuk minum obat, mengatur diet, melakukan latihan fisik, pemantauan

glukosa darah mandiri, dan mempertahankan perawatan kaki (Xu et al., 2010).

Manajemen diri pada diabetes juga didefinisikan sebagai perilaku manajemen diri

yang mencakup pengaturan pola makan, olahraga, pemantauan glukosa darah

secara mandiri, dan minum obat, yang secara keseluruhan berhubungan dengan

perbaikan yang signifikan dalam mengontrol status metabolik (Jones et al., 2003;

Sousa et al., 2005; Hunt et al., 2012).

Seseorang dengan diabetes perlu mengetahui pemahaman dalam

pengelolaan penyakitnya. Tugas-tugas dalam manajemen diri yang diperlukan

(49)

1) Pengaturan pola makan (diet)

Diet merupakan faktor utama dalam mengontrol diabetes, yang melibatkan

pengendalian berat badan dan perencanaan makan yang sehat (Harris et al., 2012).

Pasien dengan diabetes tipe 2 harus dimotivasi untuk menerapkan perubahan pola

hidup yang lebih sehat (Amod et al., 2012). Rekomendasi diet bagi penderita

diabetes mirip dengan rekomendasi untuk masyarakat umum, misalnya

mengurangi gula, lemak jenuh, dan asupan garam (Dyson, 2002; Nair, 2007).

Meskipun setiap orang memiliki kebutuhan yang sama untuk nutrisi dasar, pasien

diabetes akan membutuhkan diet yang lebih terstruktur untuk mencegah

hiperglikemia (Lemone & Burke, 2004; Nair, 2007). Diet yang direkomendasikan

untuk pasien diabetes tipe 2 sebagai berikut (Amod et al., 2012):

a) Mengikuti perencanaan makan yang sehat dan seimbang, yaitu;

mengkonsumsi berbagai buah dan sayuran segar setiap hari, hindari jus buah,

mengkonsumsi produk susu rendah lemak dan minuman kedelai yang

diperkaya dengan kalsium, mengkonsumsi ikan setidaknya dua kali per

minggu, gunakan alternatif pengganti daging seperti kacang-kacangan,

kedelai dan tahu, dan batasi mengkonsumsi produk olahan.

b) Karbohidrat harus mencukupi 45-60% dari total asupan energi. Pemantauan

asupan karbohidrat dapat dilakukan dengan menghitung karbohidrat, atau

melakukan pertukaran atau memperkirakan jumlah karbohidrat bagi yang

berpengalaman, batasi gula alkohol (maltitol, manitol, sorbitol, laktitol,

isomalt, xylitol) <10 gr per hari, batasi total asupan fruktosa sekitar 60 gr per

(50)

sukrosa hingga 10% per hari dapat diterima, dan penggunaan pemanis buatan

dikonsumsi dalam batas harian yang ditetapkan oleh FDA.

c) Protein harus mencukupi 15-20% dari total asupan energi.

d) Asupan lemak harus dibatasi <35% dari total asupan energi. Asupan lemak

jenuh harus dibatasi <7% dari total asupan energi, asupan lemak

polysaturated harus dibatasi <10% dari total asupan energi, meminimalkan

asupan lemak trans, dan mengkonsumsi lemak tidak jenuh tunggal dan asam

lemak omega-3 yang berasal dari tumbuhan dan ikan.

e) Garam. Sumber utama natrium dalam makanan adalah garam yang

terkandung dalam makanan kemasan dan makanan olahan. Kurangi diet

natrium hingga <2300 mg per hari dapat membantu mengontrol tekanan

darah.

f) Vitamin dan mineral. Suplemen vitamin dan mineral mungkin diperlukan

pada kelompok-kelompok tertentu seperti; lansia, wanita hamil dan

menyusui, suplemen antioksidan seperti vitamin E, vitamin C, dan beta

karoten, tidak dianjurkan, karena tidak cukup bukti keberhasilan dan

keamanan jangka panjang, akan tetapi suplemen dapat dipertimbangkan pada

penderita diabetes yang merokok.

2) Latihan fisik

Latihan fisik merupakan faktor penting dalam mengelola diabetes dan

mengontrol kadar glukosa darah yang lebih baik. Sebelum meningkatkan pola

aktivitas fisik dari yang biasanya, pasien diabetes harus melakukan pemeriksaan

(51)

mempertimbangkan adaptasi latihan terhadap adanya komplikasi diabetes.

Aktifitas fisik dapat menurunkan resistensi insulin, dan memungkinkan untuk

penggunaan insulin yang lebih baik (DeCoste & Scott, 2004). Aktifitas latihan

fisik yang direkomendasikan pada pasien diabetes tipe 2 yaitu melakukan latihan

fisik selama 30 menit setiap hari. Jenis latihan yang dapat dilakukan seperti

berjalan, jogging, berenang, atau membersihkan taman (DCD, 1999; DeCoste &

Scott, 2004). Latihan fisik dapat membantu meningkatkan sirkulasi, tonus otot,

dan mengurangi berat badan (Caterson, 2005; Nair, 2007), serta meningkatkan

penyerapan glukosa dalam sel otot (Pullen, 2000; Nair, 2007), sehingga

membantu menurunkan kadar glukosa darah (Nair, 2007).

3) Medikasi

Bagi penderita diabetes tipe 2, kontrol glikemik dapat dipertahankan

dengan intervensi non-farmakologis seperti diet, latihan fisik, dan monitoring gula

darah mandiri. Namun, sebagian besar penderita diabetes tipe 2 memerlukan

pengobatan dengan farmakologi (DeCoste & Scott, 2004). Diabetes tipe 2 dapat

diobati dengan obat tunggal atau kombinasi obat oral dan insulin. Setiap obat

diberikan untuk salah satu ketidaknormalan kadar gula darah dan kombinasi

dengan perawatan medis yang dapat menormalkan kadar gula darah. Jika terapi

oral tidak bekerja, maka terapi insulin satu-satunya cara untuk mengontrol kondisi

hiperglikemia. Insulin hanya akan digunakan jika nilai HbA1c lebih dari 6,5%

setelah terapi oral maksimal. Insulin harus dikombinasi dengan terapi oral untuk

mengurangi risiko hipoglikemia dan peningkatan berat badan (Garber et al., 2002;

(52)

4) Monitoring gula darah mandiri

Monitoring gula darah mandiri merupakan bagian penting dalam

manajemen diri pasien dengan diabetes, dan disarankan pada pasien diabetes yang

menggunakan terapi obat oral. Monitoring gula darah mandiri bertujuan untuk

mencapai penurunan HbA1c dengan tujuan utama mengurangi risiko komplikasi,

mengidentifikasi adanya hipoglikemia (IDF, 2012), mempertahankan kadar

glukosa darah pada 4-6 mmol/L sebelum makan (preprandial) dan tidak di atas 10

mmol/L dua jam setelah makan (postprandial) (Diabetes UK, 2006; Nair, 2007).

Monitoring gula darah mandiri didasarkan pada kebutuhan individu, jadwal, dan

penggunaan data yang direncanakan. Monitoring gula darah mandiri efektif dalam

meningkatkan kontrol glikemik pada individu dengan diabetes tipe 2 yang tidak

menggunakan insulin (Welschen et al, 2005; Hirsch et al, 2008).

Pasien dengan diabetes tipe 2 non-insulin direkomendasikan untuk

memonitoring kadar gula darah mandiri setidaknya sekali dalam sehari (Hirsch et

al., 2008). Pada pasien diabetes tipe 2 yang menggunakan insulin, dapat

melakukan monitoring gula darah pre dan post prandial untuk membantu

menentukan penyesuaian insulin yang digunakan. Pada pasien diabetes tipe 2

yang tidak menggunakan insulin, dapat melakukan monitoring gula darah post

prandial untuk mengevaluasi status glikemik yang disebabkan oleh diet atau

aktivitas fisik (DeCoste & Scott, 2004). Pedoman International Diabetes

Federation tentang monitoring gula darah mandiri untuk diabetes tipe 2

non-insulin diobati tipe 2 merekomendasikan bahwa monitoring gula darah mandiri

(53)

berkelanjutan untuk membantu pasien untuk lebih memahami kondisi mereka,

berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan pengobatan, dan

memodifikasi perilaku perawatan dan obat-obatan yang diperlukan (IDF, 2012).

Monitoring glukosa darah mandiri memberikan informasi mengenai efek

terapi, diet dan aktivitas fisik. Pernyataan dari ADA (2009, dalam CPG on

Management T2DM, 2009) merekomendasikan bahwa monitoring glukosa darah

mandiri harus dilakukan 3 atau 4 kali sehari untuk pasien menggunakan suntikan

insulin atau terapi pompa insulin. Untuk pasien yang menggunakan suntikan

insulin tidak sering, terapi non-insulin atau terapi nutrisi medis saja, monitoring

glukosa darah mandiri mungkin berguna dalam mencapai kontrol glikemik.

(Sumber: ADA, 2009; CPG on Management T2DM, 2009)

5) Perawatan kaki

Kaki diabetes dianggap sebagai komplikasi umum dari diabetes. Pasien

dengan risiko ulkus kaki, harus memahami dasar-dasar perawatan kaki. Beberapa

studi menunjukkan bahwa intervensi pendidikan bagi pasien tentang perawatan

kaki sangat efektif dalam pencegahan ulkus kaki diabetik (Spollett, 1998;

Culleton, 1999; Viswanathan et al., 2005; Aalaa et al., 2012). Perawat dapat

(54)

setiap hari (Clapham, 1997; Aalaa et al., 2012). Misalnya, perawat dapat

menganjurkan pasien untuk melaksanakan serangkaian aturan sederhana untuk

membantu mencegah kekambuhan ulkus kaki atau, seperti memeriksa sepatu

sebelum memakainya, menjaga kaki bersih dan perawatan kulit dan kuku

berkelanjutan. Pelatihan tentang memilih sepatu yang tepat juga sangat penting

(Ramachandran, 2004; Aalaa et al., 2012).

2.3.3. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Manajemen Diri pada Diabetes Tipe 2

1) Umur. Penderita diabetes yang lebih tua memiliki tingkat manajemen diri

yang lebih tinggi pada diet, olahraga, dan perawatan kaki daripada individu

yang lebih muda (Xu, Pan & Liu, 2010). Penderita diabetes yang lebih tua

dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga akan lebih baik dalam

perawatan diri daripada orang tua yang buta huruf (Bai, Chiou & Chang,

2009).

2) Tingkat pendidikan. Seseorang dengan pendidikan tinggi umumnya memiliki

pemahaman yang baik tentang pentingnya perilaku perawatan diri dan

memiliki keterampilan manajemen diri yang lebih baik untuk menggunakan

informasi peduli diabetes yang diperoleh melalui berbagai media

dibandingkan dengan tingkat pendidikan rendah (Bai, Chiou & Chang, 2009).

Seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat

manajemen diri yang lebih tinggi terhadap diet, olahraga, dan pemeriksaan

Gambar

Gambar 2.1. Conceptual Structure of the Self-Care Deficit Theory of Nursing
Gambar 2.2. Kerangka teori
Gambar 2.3. Kerangka konsep penelitian
Tabel 3.1. Definisi Operasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adanya pengaruh latihan pasrah diri terhadap kadar gula darah pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hasil uji paired T test terhadap kelompok intervensi di dapatkan nilai sig

Penelitian lainnya, metaa- nalisis menyatakan bahwa pemberdayaan petugas pelayanan kesehatan kepada penderita diabetes dan pemberdayaan diri diabetes menunjukkan hasil posi-

Management T2DM, 2009) merekomendasikan bahwa monitoring glukosa darah mandiri harus dilakukan 3 atau 4 kali sehari untuk pasien menggunakan suntikan insulin atau terapi pompa

Efikasi diri pasien diabetes mellitus tipe 2 berfokus kepada keyakinan pasien untuk mampu melakukan prilaku yang dapat mendukung perbaikan penyakitnya dan

Tabel 4.3 Data Rerata Efikasi Diri Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Sesudah Perlakuan dan Follow Up di Puskesmas Sering 2014

Hubungan antara Motivasi dengan Efikasi Diri Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (76,4%) responden memiliki motivasi yang kurang dalam perawatan DM.. Hal ini

Beberapa aspek dalam self- management diabetes dapat memengaruhi kadar gula darah, seperti pengaturan pola makan yang berfungsi untuk menekan asupan karbohidrat, lemak

PEMBAHASAN Gambaran Efikasi Diri Pasien Diabetes Mellitus di Puskesmas Kabupaten Padang Pariaman Berdasarkan hasil penelitian ditemukan responden yang memiliki efikasi diri baik