• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi - Efikasi Diri dan Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi - Efikasi Diri dan Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2013), diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Menurut Lewis et al. (2011) menyebutkan bahwa diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang berkaitan dengan defisiensi insulin atau resistensi insulin baik relatif atau absolut atau karena keduanya yang ditandai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sehingga gula darah tubuh mengalami kenaikan (hiperglikemia). Lanywati (2011) juga menjelaskan bahwa penyakit diabetes melitus, kencing manis atau penyakit gula, merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan menahun terutama pada sistem metabolisme karbohidrat, lemak, dan juga protein dalam tubuh. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat dapat disimpulkan bahwa diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah karena tubuh sedikit atau tidak mampu memproduksi insulin.

2.1.2. Klasifikasi

Menurut ADA (2014), diabetes dapat diklasifikasikan ke dalam empat

(2)

menyebabkan kekurangan insulin absolut); Diabetes tipe 2 (karena kerusakan progresif sekretorik insulin akibat resistensi insulin); Tipe diabetes tertentu karena

penyebab lain, misalnya; defek genetik pada fungsi sel- (beta), defek genetik

pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik), dan yang disebabkan oleh obat atau kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ); Diabetes melitus gestasional (diabetes yang didiagnosis selama kehamilan dan belum menjadi penyakit diabetes secara pasti). 2.1.3. Faktor Risiko

Menurut PERKENI (2011), faktor risiko diabetes tipe 2 terdiri dari faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi dan yang bisa dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi antara lain; Ras dan etnik, riwayat keluarga dengan diabetes, umur (risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya umur, umur >45 tahun harus dilakukan pemeriksaan diabetes), riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah menderita diabetes gestasional, riwayat lahir dengan berat badan rendah kurang dari 2,5 kg (bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan berat badan normal).

(3)

(PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin, penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, penyakit jantung koroner (PJK), atau Peripheral

Arterial Diseases (PAD) (PERKENI, 2011). 2.1.4. Patofisiologi

(4)

sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian glukosa oral dan lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan dikompensasi pada fase lambat, dimana sekresi insulin pada diabetes melitus tipe 2 terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal. Meskipun telah terjadi kompensasi, tetapi kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi hiperglikemia yang ada atau terjadi defisiensi relatif yang menyebabkan keadaan hiperglikemi sepanjang hari.

(5)

2.1.5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis tergantung pada tingkat hiperglikemia pasien. Manifestasi klinis klasik dari semua jenis penyakit diabetes mencakup "tiga P" yaitu; poliuria, polidipsia, dan polifagia. Poliuria (peningkatan urinasi) dan polidipsia (peningkatan rasa haus) terjadi sebagai akibat dari hilangnya cairan yang berlebihan berhubungan dengan diuresis osmotik. Pasien juga mengalami polifagia (peningkatan nafsu makan) akibat dari keadaan katabolik yang disebabkan oleh defisiensi insulin dan pemecahan protein dan lemak. Gejala lainnya yaitu kelemahan dan kelelahan, perubahan fungsi penglihatan secara mendadak, kesemutan atau mati rasa pada tangan atau kaki, kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuh, dan infeksi berulang. Pada diabetes tipe 1 dapat terjadi kehilangan berat badan secara tiba-tiba, mual, muntah atau sakit perut jika pasien telah mengalami ketoasidosis diabetik (Smeltzer & Bare, 2010).

2.1.6. Diagnosis

Diabetes didiagnosis berdasarkan kriteria glukosa plasma (ADA, 2014). Seseorang didiagnosis diabetes jika; 1) Nilai glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori setidaknya 8 jam. 2) Nilai glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral 75 gr (TTGO) ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L). Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskan oleh WHO tahun 1994, menggunakan beban glukosa yang mengandung setara dengan 75 gram glukosa anhidrat yang dilarutkan dalam air. 3) International

Expert Committee menambahkan tes hemoglobin-glikosilat/A1c sebagai pilihan

(6)

HbA1C ≥6,5%). Tes ini harus dilakukan di laboratorium yang menggunakan

metode yang bersertifikat NGSP (National Glycohemoglobin Standardization

Program) dan standar untuk uji DCCT (Diabetes Control and Complications Trial). Tanpa adanya hiperglikemia yang tegas, maka hasil dari ke tiga pemeriksaan di atas harus dikonfirmasi dengan tes ulang. 4) Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia, dilakukan tes glukosa plasma acak (sewaktu) ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L).

2.1.7. Penatalaksanaan

Pengelolaan penyakit diabetes tipe 2 dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), ada empat pilar penatalaksanaan pada penderita diabetes tipe 2 yaitu edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis (PERKENI, 2011). 1) Edukasi

(7)

keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.

2) Terapi Nutrisi Medis

(8)

3) Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun, harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk penderita yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi diabetes, maka intensitas latihan jasmani dapat dikurangi. Penderita dianjurkan untuk menghindari kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.

4) Intervensi farmakologis

(9)

absorbsi glukosa, seperti penghambat glikosidase alfa, dan DPP-IV (dipeptidyl

peptidase-4) inhibitor. 2.1.8. Komplikasi

Diabetes merupakan penyakit yang sangat berpotensi terhadap terjadinya berbagai komplikasi berat. Berikut ini diuraikan komplikasi yang terkait dengan diabetes.

1) Komplikasi Akut

(10)

2) Komplikasi Kronik

Permana (2009) menguraikan komplikasi kronis pada diabetes berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu: komplikasi mikrovaskular, komplikasi makrovaskular, dan komplikasi neurologis. Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler yang terdiri dari retinopati diabetik dan nefropati diabetik. Retinopati diabetik dibagi dalam 2 kelompok, yaitu retinopati non proliferatif dan proliferatif. Retinopati non proliferatif merupakan stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan retinopati proliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada nefropati diabetik ditandai dengan adanya proteinuria persisten (>0,5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi. Kerusakan ginjal yang spesifik pada diabetes mengakibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos ke dalam kemih (albuminuria). Akibat dari nefropati diabetik tersebut dapat menyebabkan kegagalan ginjal yang progresif.

(11)

faktor resiko mortalitas kardiovaskular, di mana peninggian kadar insulin menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. Kadar insulin puasa >15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular (Permana, 2009).

Neuropati diabetik mengacu pada sekelompok penyakit yang mempengaruhi semua jenis saraf, termasuk perifer (sensorimotor), otonom, dan saraf tulang belakang. Gejala klinis beragam dan tergantung pada lokasi sel-sel saraf yang terkena (NIDDK, 2008; Smeltzer & Bare 2010). Neuropati pada umumnya berupa polineuropati diabetik yang merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes, dan lebih dari 50% dari penderita diabetes mengalami komplikasi tersebut. Manifestasi klinis dapat berupa gangguan sensorik, motorik, dan otonom. Proses terjadinya neuropati biasanya progresif di mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau baal. Area yang biasanya mengalami neuropati adalah serabut saraf tungkai atau lengan (Permana, 2009).

2.2. Efikasi Diri

2.2.1. Definisi Efikasi Diri

(12)

menentukan bagaimana seseorang merasa, berfikir, memotivasi dirinya dan berperilaku. Efikasi diri terbentuk melalui empat proses utama yaitu kognitif, motivasi, afektif dan proses seleksi. Pender (2004; dalam Tomey & Alligood, 2006) menjelaskan efikasi diri adalah penilaian kemampuan personal untuk mengatur dan menjalankan perilaku promosi kesehatan.

Efikasi diri merupakan keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk mengelola penyakit kronis secara mandiri, karena menentukan seseorang apakah akan memulai atau tidak untuk melakukan perawatan dirinya (Holman & Lorig, 1992; Nyunt et al., 2010). Dan berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya dalam mengatur dan melaksanakan kegiatan yang mendukung kesehatannya berdasarkan pada tujuan dan harapan yang diinginkan.

2.2.2. Sumber Efikasi Diri

Bandura (1995) menyatakan bahwa efikasi diri dapat diperoleh, dipelajari, dan dikembangkan dari empat sumber informasi. Pada dasarnya, keempat sumber tersebut adalah stimulasi atau kejadian yang dapat memberikan inspirasi atau pembangkit positif untuk berusaha menyelesaikan tugas atau masalah yang dihadapi. Adapun sumber-sumber efikasi diri tersebut adalah:

(13)

Pengalaman keberhasilan individu ini meningkatkan ketekunan dan kegigihan dalam berusaha mengatasi kesulitan, sehingga dapat mengurangi kegagalan. 2) Vicarious experience (Pengalaman orang lain), yaitu mengamati perilaku dan

pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu. Melalui model ini efikasi diri individu dapat meningkat, terutama jika ia merasa memiliki kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang menjadi subyek belajarnya. Ia akan mempunyai kecenderungan merasa mampu melakukan hal yang sama. Meningkatnya efikasi diri individu ini dapat meningkatkan motivasi untuk mencapai suatu prestasi. Peningkatan efikasi diri ini akan menjadi efektif jika subyek yang menjadi model tersebut mempunyai banyak kesamaan karakteristik antara individu dengan model, kesamaan tingkat kesulitan tugas, kesamaan situasi dan kondisi, serta keanekaragaman yang dicapai oleh model.

3) Verbal persuasion (Persuasi verbal). Pada persuasi verbal, individu diarahkan dengan saran, nasihat, dan bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan-kemampuan yang dimiliki yang dapat membantu mencapai tujuan yang diinginkan. Individu yang diyakinkan secara verbal cenderung akan berusaha lebih keras untuk mencapai suatu keberhasilan. Dalam kondisi yang menekan dan kegagalan terus-menerus, pengaruh sugesti akan cepat lenyap jika mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan.

(14)

mendalam, dan keadaan fisiologis yang lemah yang dialami individu akan dirasakan sebagai suatu isyarat akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan. Individu akan mendasarkan informasi mengenai kondisi fisiologis mereka untuk menilai kemampuannya. Ketegangan fisik dalam situasi yang menekan dipandang individu sebagai suatu tanda ketidakmampuan karena hal itu dapat melemahkan perfomansi kerja individu. Karena itu, efikasi diri tinggi biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stres dan kecemasan. Sebaliknya, efikasi diri yang rendah ditandai oleh tingkat stres dan kecemasan yang tinggi pula.

2.2.3. Proses Pembentukan Efikasi Diri

Menurut Bandura (1995), proses psikologis dalam efikasi diri yang turut berperan dalam diri manusia ada 4 yakni proses kognitif, motivasional, afeksi dan proses pemilihan/seleksi.

1) Proses kognitif

(15)

membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannnya dan semakin kuat komitmen individu terhadap tujuannya.

2) Proses motivasi

(16)

3) Proses afektif

Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi emosional. Keyakinan individu akan koping mereka turut mempengaruhi tingkat stres dan depresi seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit. Persepsi efikasi diri tentang kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan penting dalam timbulnya kecemasaan. Individu yang percaya akan kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan hal-hal yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung mengalami tingkat kecemasan yang tinggi, selalu memikirkan kekurangan mereka, memandang lingkungan sekitar penuh dengan ancaman, membesar-besarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang sebenarnya jarang terjadi.

4) Proses seleksi

Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu turut mempengaruhi efek dari suatu kejadian. Individu cenderung menghindari aktivitas dan situasi yang diluar batas kemampuan mereka. Bila individu merasa yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung tidak menghindari situasi tersebut. Dengan adanya pilihan yang dibuat, individu kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat, dan hubungan sosial mereka. 2.2.4. Dimensi Efikasi Diri

Bandura (1997) mengungkapkan bahwa perbedaan efikasi diri pada setiap individu terletak pada tiga dimensi, yaitu: magnitude (tingkat kesulitan tugas),

(17)

mempunyai implikasi penting di dalam kinerja individu yang secara lebih jelas dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Magnitude (tingkat kesulitan tugas), yaitu masalah yang berkaitan dengan derajat kesulitan tugas individu. Komponen ini berimplikasi pada pemilihan perilaku yang akan dicoba individu berdasarkan ekspektasi efikasi pada tingkat kesulitan tugas. Individu akan berupaya melakukan tugas tertentu yang ia persepsikan dapat dilaksanakannya dan ia akan menghindari situasi dan perilaku yang ia persepsikan di luar batas kemampuannya.

2) Strength (kekuatan keyakinan), yaitu aspek yang berkaitan dengan kekuatan keyakinan individu atas kemampuannya. Pengharapan yang kuat dan mantap pada individu akan mendorong untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan walaupun mungkin belum memiliki pengalaman-pengalaman yang menunjang. Sebaliknya, pengharapan yang lemah dan ragu-ragu akan kemampuan diri akan mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak menunjang. Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan tingkat dimensi, yaitu semakin tinggi tingkat kesulitan tugas, semakin lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.

(18)

2.2.5. Efikasi Diri pada Diabetes

Menurut Bandura (1997), efikasi diri adalah jembatan antara mengetahui apa yang harus dilakukan dan benar-benar melakukannya. Selain itu, efikasi diri juga menjadi dasar untuk meningkatkan efektivitas pendidikan diabetes karena berfokus pada perubahan perilaku (Van der Bijl & Shortridge-Baggett, 2001; Wu et al., 2007). Efikasi diri merupakan keyakinan individu tentang kemampuan pribadi terhadap kinerja perilaku. Dalam hal manajemen diri diabetes, efikasi diri adalah keyakinan pasien terhadap kemampuannya untuk melakukan berbagai perilaku manajemen diri diabetes (Al-Khawaldeh, Al-Hassan & Froelicher, 2012). Efikasi diri adalah prediktor kuat terhadap perilaku manajemen diri diabetes, seseorang yang hidup dengan diabetes yang memiliki tingkat efikasi diri yang lebih tinggi akan berpartisipasi dalam perilaku pengelolaan diri diabetes yang lebih baik (Hunt et al., 2012).

2.2.6. Pengukuran Efikasi Diri pada Diabetes Tipe 2

(19)

2.3. Manajemen Diri

2.3.1. Definisi Manajemen Diri

Di dalam literatur, manajemen diri (self-management) juga disebut dengan perawatan diri (self-care) telah didefinisikan dalam beberapa cara tergantung pada fokus disiplin (yaitu, sosiologi, fisiologi, ekologi, medis, atau terkait dengan perawatan atau promosi kesehatan) (Weiler & Crist, 2007). Manajemen diri mengacu pada pelaksanaan tugas-tugas dimana seseorang harus berusaha untuk hidup dengan baik dengan satu atau lebih kondisi kronis. Tugas ini juga ternasuk dalam mendapatkan kepercayaan untuk menangani manajemen medis, manajemen peran, dan manajemen emosional (Adams, Greiner & Corrigan, 2004).

2.3.2. Manajemen Diri pada Diabetes

Manajemen diri pada diabetes merupakan seperangkat perilaku yang dilakukan oleh individu dengan diabetes untuk mengelola kondisi mereka, termasuk minum obat, mengatur diet, melakukan latihan fisik, pemantauan glukosa darah mandiri, dan mempertahankan perawatan kaki (Xu et al., 2010). Manajemen diri pada diabetes juga didefinisikan sebagai perilaku manajemen diri yang mencakup pengaturan pola makan, olahraga, pemantauan glukosa darah secara mandiri, dan minum obat, yang secara keseluruhan berhubungan dengan perbaikan yang signifikan dalam mengontrol status metabolik (Jones et al., 2003; Sousa et al., 2005; Hunt et al., 2012).

(20)

1) Pengaturan pola makan (diet)

Diet merupakan faktor utama dalam mengontrol diabetes, yang melibatkan pengendalian berat badan dan perencanaan makan yang sehat (Harris et al., 2012). Pasien dengan diabetes tipe 2 harus dimotivasi untuk menerapkan perubahan pola hidup yang lebih sehat (Amod et al., 2012). Rekomendasi diet bagi penderita diabetes mirip dengan rekomendasi untuk masyarakat umum, misalnya mengurangi gula, lemak jenuh, dan asupan garam (Dyson, 2002; Nair, 2007). Meskipun setiap orang memiliki kebutuhan yang sama untuk nutrisi dasar, pasien diabetes akan membutuhkan diet yang lebih terstruktur untuk mencegah hiperglikemia (Lemone & Burke, 2004; Nair, 2007). Diet yang direkomendasikan untuk pasien diabetes tipe 2 sebagai berikut (Amod et al., 2012):

a) Mengikuti perencanaan makan yang sehat dan seimbang, yaitu; mengkonsumsi berbagai buah dan sayuran segar setiap hari, hindari jus buah, mengkonsumsi produk susu rendah lemak dan minuman kedelai yang diperkaya dengan kalsium, mengkonsumsi ikan setidaknya dua kali per minggu, gunakan alternatif pengganti daging seperti kacang-kacangan, kedelai dan tahu, dan batasi mengkonsumsi produk olahan.

(21)

sukrosa hingga 10% per hari dapat diterima, dan penggunaan pemanis buatan dikonsumsi dalam batas harian yang ditetapkan oleh FDA.

c) Protein harus mencukupi 15-20% dari total asupan energi.

d) Asupan lemak harus dibatasi <35% dari total asupan energi. Asupan lemak jenuh harus dibatasi <7% dari total asupan energi, asupan lemak

polysaturated harus dibatasi <10% dari total asupan energi, meminimalkan asupan lemak trans, dan mengkonsumsi lemak tidak jenuh tunggal dan asam lemak omega-3 yang berasal dari tumbuhan dan ikan.

e) Garam. Sumber utama natrium dalam makanan adalah garam yang terkandung dalam makanan kemasan dan makanan olahan. Kurangi diet natrium hingga <2300 mg per hari dapat membantu mengontrol tekanan darah.

f) Vitamin dan mineral. Suplemen vitamin dan mineral mungkin diperlukan pada kelompok-kelompok tertentu seperti; lansia, wanita hamil dan menyusui, suplemen antioksidan seperti vitamin E, vitamin C, dan beta karoten, tidak dianjurkan, karena tidak cukup bukti keberhasilan dan keamanan jangka panjang, akan tetapi suplemen dapat dipertimbangkan pada penderita diabetes yang merokok.

2) Latihan fisik

(22)

mempertimbangkan adaptasi latihan terhadap adanya komplikasi diabetes. Aktifitas fisik dapat menurunkan resistensi insulin, dan memungkinkan untuk penggunaan insulin yang lebih baik (DeCoste & Scott, 2004). Aktifitas latihan fisik yang direkomendasikan pada pasien diabetes tipe 2 yaitu melakukan latihan fisik selama 30 menit setiap hari. Jenis latihan yang dapat dilakukan seperti berjalan, jogging, berenang, atau membersihkan taman (DCD, 1999; DeCoste & Scott, 2004). Latihan fisik dapat membantu meningkatkan sirkulasi, tonus otot, dan mengurangi berat badan (Caterson, 2005; Nair, 2007), serta meningkatkan penyerapan glukosa dalam sel otot (Pullen, 2000; Nair, 2007), sehingga membantu menurunkan kadar glukosa darah (Nair, 2007).

3) Medikasi

(23)

4) Monitoring gula darah mandiri

Monitoring gula darah mandiri merupakan bagian penting dalam manajemen diri pasien dengan diabetes, dan disarankan pada pasien diabetes yang menggunakan terapi obat oral. Monitoring gula darah mandiri bertujuan untuk mencapai penurunan HbA1c dengan tujuan utama mengurangi risiko komplikasi, mengidentifikasi adanya hipoglikemia (IDF, 2012), mempertahankan kadar glukosa darah pada 4-6 mmol/L sebelum makan (preprandial) dan tidak di atas 10 mmol/L dua jam setelah makan (postprandial) (Diabetes UK, 2006; Nair, 2007). Monitoring gula darah mandiri didasarkan pada kebutuhan individu, jadwal, dan penggunaan data yang direncanakan. Monitoring gula darah mandiri efektif dalam meningkatkan kontrol glikemik pada individu dengan diabetes tipe 2 yang tidak menggunakan insulin (Welschen et al, 2005; Hirsch et al, 2008).

Pasien dengan diabetes tipe 2 non-insulin direkomendasikan untuk memonitoring kadar gula darah mandiri setidaknya sekali dalam sehari (Hirsch et al., 2008). Pada pasien diabetes tipe 2 yang menggunakan insulin, dapat melakukan monitoring gula darah pre dan post prandial untuk membantu menentukan penyesuaian insulin yang digunakan. Pada pasien diabetes tipe 2 yang tidak menggunakan insulin, dapat melakukan monitoring gula darah post prandial untuk mengevaluasi status glikemik yang disebabkan oleh diet atau aktivitas fisik (DeCoste & Scott, 2004). Pedoman International Diabetes

(24)

berkelanjutan untuk membantu pasien untuk lebih memahami kondisi mereka, berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan pengobatan, dan memodifikasi perilaku perawatan dan obat-obatan yang diperlukan (IDF, 2012).

Monitoring glukosa darah mandiri memberikan informasi mengenai efek terapi, diet dan aktivitas fisik. Pernyataan dari ADA (2009, dalam CPG on

Management T2DM, 2009) merekomendasikan bahwa monitoring glukosa darah mandiri harus dilakukan 3 atau 4 kali sehari untuk pasien menggunakan suntikan insulin atau terapi pompa insulin. Untuk pasien yang menggunakan suntikan insulin tidak sering, terapi non-insulin atau terapi nutrisi medis saja, monitoring glukosa darah mandiri mungkin berguna dalam mencapai kontrol glikemik.

(Sumber: ADA, 2009; CPG on Management T2DM, 2009) 5) Perawatan kaki

(25)

setiap hari (Clapham, 1997; Aalaa et al., 2012). Misalnya, perawat dapat menganjurkan pasien untuk melaksanakan serangkaian aturan sederhana untuk membantu mencegah kekambuhan ulkus kaki atau, seperti memeriksa sepatu sebelum memakainya, menjaga kaki bersih dan perawatan kulit dan kuku berkelanjutan. Pelatihan tentang memilih sepatu yang tepat juga sangat penting (Ramachandran, 2004; Aalaa et al., 2012).

2.3.3. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Manajemen Diri pada Diabetes Tipe 2

1) Umur. Penderita diabetes yang lebih tua memiliki tingkat manajemen diri yang lebih tinggi pada diet, olahraga, dan perawatan kaki daripada individu yang lebih muda (Xu, Pan & Liu, 2010). Penderita diabetes yang lebih tua dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga akan lebih baik dalam perawatan diri daripada orang tua yang buta huruf (Bai, Chiou & Chang, 2009).

(26)

yang berhubungan dengan diet, aktivitas fisik, dan pemeriksaan gula darah mandiri (Xu, Pan & Liu, 2010).

3) Pekerjaan. Penderita diabetes yang bekerja memiliki tingkat manajemen diri lebih rendah untuk latihan fisik daripada penderita yang tidak bekerja. Penderita diabetes yang lebih muda yang bekerja bisa memiliki jadwal dan tanggung jawab yang sangat banyak, membuat perilaku manajemen diri diabetesnya menjadi prioritas rendah bagi mereka (Xu, Pan & Liu, 2010). 4) Efikasi diri. Seseorang yang hidup dengan diabetes tipe 2 yang memiliki

tingkat efikasi diri yang lebih tinggi lebih berpartisipasi dalam perilaku manajemen diri diabetes. Efikasi diri yang lebih tinggi lebih mungkin untuk menunjukkan pengaturan diet secara optimal, olahraga, monitoring glukosa darah mandiri, dan perawatan kaki (Sarkar, Fisher & Schillinger, 2006; Xu et al., 2008; Hunt et al., 2012).

5) Lamanya menderita diabetes. Seseorang dengan durasi penyakit lebih lama memiliki pengalaman dalam mengatasi penyakit mereka dan melakukan perilaku perawatan diri yang lebih baik (Wu et al., 2007). Seseorang yang telah didiagnosis dengan diabetes bertahun-tahun dapat menerima diagnosis penyakitnya dan rejimen pengobatannya, serta memiliki adaptasi yang lebih baik terhadap penyakitnya dengan mengintegrasikan gaya hidup baru dalam kehidupan mereka sehari-hari (Xu, Pan & Liu, 2010).

(27)

dari teman dan keluarga. Pasien diabetes tipe 2 melakukan perilaku perawatan diri yang lebih baik ketika mereka menerima dukungan dari keluarga dan teman-temannya (Bai, Chiou & Chang, 2009).

7) Asuransi. Penderita diabetes yang tidak memiliki asuransi kesehatan biasanya memiliki perilaku kurang baik dalam minum obat dan memantau kadar glukosa darah mereka secara teratur (Xu, Pan & Liu, 2010).

8) Komunikasi antara pasien dan provider. Tujuan utama komunikasi antara pasien dan provider adalah untuk bertukar informasi tentang penyakit dan perawatannya. Sebuah gaya komunikasi yang positif dapat meningkatkan pemahaman pasien dan mengingat informasi tentang penyakit (Ong et al., 1995; Xu et al., 2008). Interaksi antara pasien dan provider dapat memperkuat kepercayaan pasien dan dapat mempengaruhi hasil kesehatan (Kaplan, Greenfield & Ware, 1989; Xu et al., 2008). Komunikasi antara pasien dan provider yang lebih baik dapat membantu membangun hubungan saling percaya, dan menjadi landasan bersama untuk mempromosikan manajemen diri pasien dengan diabetes (Xu et al., 2008).

(28)

sering memiliki kecenderungan untuk menunjukkan kontrol glikemik yang buruk (Goudswaard et al.; Lee, Ahn & Kim, 2009). Pasien yang telah menerima pendidikan tentang perawatan kaki diabetes dan pemeriksaan kaki oleh spesialis secara signifikan lebih mungkin untuk memeriksa kaki mereka secara teratur dan cenderung untuk mematuhi pedoman perawatan diabetes, serta menjaga kadar glukosa darah dalam tingkat optimal daripada pasien yang menerima perawatan dari dokter umum (De Berardis et al., 2005; Lee, Ahn & Kim, 2009)

10) Bahasa dan budaya. Keterbatasan bahasa dan budaya pada materi pendidikan manajemen diri pada diabetes yang tepat dan program yang tersedia untuk pasien dengan diabetes, misalnya pada etnis Cina-Amerika. Kebanyakan program pendidikan manajemen diri pada diabetes tersedia dalam bahasa Inggris dan didasarkan pada budaya Barat, seperti jenis pilihan makanan dan membaca label, sehingga menyulitkan pasien diabetes Cina-Amerika untuk mengikuti program tersebut (Xu, Pan & Liu, 2010).

(29)

2.3.4. Pengukuran manajemen diri pada diabetes Tipe 2

Manajemen diri pada diabetes tipe 2 diukur dengan menggunakan kuesioner Summary of Diabetes Self Care Activities-Revised (SDSCA). Instrumen ini merupakan self-report manajemen diri secara singkat pada diabetes yang terdiri dari item-item pertanyaan untuk menilai aspek perawatan pada diabetes diantaranya; diet umum, diet khusus, olahraga, pemeriksaan glukosa darah, perawatan kaki, dan merokok (Toobert, Hampson & Glasgow, 2000).

2.4. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan landasan teori self-care dari Dorothea E. Orem (1991) dan teori self-efficacy dari Albert Bandura (1994) sebagai dasar untuk pengembangan kerangka konsep penelitian untuk efikasi diri dan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.

2.4.1. Orem’s Self-Care Theory

Teori model yang diperkenalkan Dorothea E. Orem adalah Self Care

(30)

Pasien membutuhkan pendidikan, motivasi, keterampilan praktik dan kemampuan mental untuk dapat mengatur dan melakukan perawatan diri mereka. Keterampilan ini dapat berkembang melalui instruksi dari para profesional perawatan kesehatan serta dengan mempraktekkan perawatan diri.

Gambar 2.1. Conceptual Structure of the Self-Care Deficit Theory of Nursing

Untuk memahami tentang teori self-care, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai konsep dasar perawatan diri (self-care), kemampuan perawatan diri (self-care agency), terapi kebutuhan perawatan diri (therapeutic self-care

demand), dan syarat perawatan diri (self-care requisites). Perawatan diri ( self-care) adalah pelaksanan aktivitas individu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dalam mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraan. Jika perawatan diri dapat dilakukan dengan efektif, maka dapat membantu individu dalam mengembangkan potensi dirinya. Kemampuan perawatan diri (self-care

(31)

tindakan perawatan diri dalam mempertahankan hidup, kesehatan, dan kesejahteraan. Kemampuan ini berkaitan dengan faktor pengkondisian perawatan diri (basic conditioning factor), yang terdiri dari faktor usia, jenis kelamin, status kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem perawatan kesehatan, kebiasaan keluarga, pola hidup, faktor lingkungan dan keadaan ekonomi. Terapi kebutuhan perawatan diri (therapeutic self-care demand), yaitu semua tindakan perawatan diri yang harus dilakukan oleh individu pada suatu titik waktu untuk menjaga kesehatan dan meningkatkan kesejahteraan. Serta syarat perawatan diri yang dibutuhkan (self-care requisites), yaitu tujuan yang ingin dicapai melalui perawatan diri (Orem, 1991; Tomey & Alligood, 2006).

2.4.2. Bandura’s Self-Efficacy Theory

(32)

menunjukkan bahwa pasien memiliki keyakinan diri terhadap kemampuannya dalam melakukan perawatan dirinya. Oleh karena itu, landasan teori ini digunakan sebagai kerangka berfikir dalam memahami efikasi diri pasien terhadap kemampuannya untuk mengontrol penyakit diabetesnya dan melakukan aktivitas perawatan dirinya.

2.5. Kerangka Teori

Gambar 2.2. Kerangka teori

(33)

Gambar 2.2. di atas menjelaskan bahwa diabetes merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia, yang dapat disebabkan oleh faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Penatalaksanaan pasien secara tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi diabetes akibat hiperglikemia yang tidak terkontrol. Tugas utama pasien diabetes untuk mencegah komplikasi tersebut adalah menerapkan manajemen diri diabetes dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam pengaturan makanan, olah raga teratur, minum obat secara teratur, memonitor gula darah secara mandiri, serta melakukan perawatan kaki. Dan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan manajemen diri diabetes adalah efikasi diri pasien terhadap kemampuannya untuk melakukan aktivitas perawatan dirinya sehari-hari, dan dari waktu ke waktu. Dengan efikasi diri yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan perilaku manajemen diri yang baik, sehingga dapat mencapai hasil akhir yang maksimal, baik dalam mengontrol status glikemik dan mencegah serta meminimalkan terjadinya komplikasi akibat diabetes.

Dalam penelitian ini, teori self-care dari Dorothea E. Orem (1991) dan teori self-efficacy dari Albert Bandura (1994) digunakan oleh peneliti sebagai kerangka berfikir untuk memahami konsep perawatan diri yang harus dilakukan pasien secara mandiri. Teori self-care dari Orem terdiri dari; self-care, self-care

(34)

maka pasien harus memiliki kemampuan atau kekuatan, hal ini juga dapat meningkatkan efikasi dirinya; terkait dengan teori therapeutic self-care demand, bahwa pasien diabetes harus melakukan semua tindakan perawatan diri diabetes yang terdiri dari pengaturan makan, latihan fisik, minum obat, pemantauan gula darah, dan perawatan kaki; dan terkait dengan teori self-care requisites, bahwa tujuan yang dapat dicapai dari perawatan dirinya yaitu mencegah dan meminimalkan komplikasi, status glikemik terkontrol, serta peningkatan kualitas hidup.

2.6. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep pada penelitian ini menggambarkan keterkaitan antar variabel penelitian. Keterkaitan antar variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada kerangka konsep berikut:

(35)

Gambar

Gambar 2.1. Conceptual Structure of the Self-Care Deficit Theory of Nursing
Gambar 2.2. Kerangka teori
Gambar 2.3. Kerangka konsep penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Para PNS lingkungan Kecamatan dan Kelurahan wajib apel pagi setiap hari senin di Halaman Kantor Kecamatan Kebayoran Baru, dan akan diberikan teguran kepada yang tidak ikut apel

Achmad Wardi - Badan Wakaf Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Dompet Dhuafa Republika sebagai pengelola RS - Masyarakat dhuafa (gratis disubsidi dana zakat).

Mengingat permasalahan yang telah dikemukakan ternyata persepsi konsumen tentang negara asal suatu merek sangatlah penting dalam menimbulkan minat pembelian suatu produk

Pengertian respirasi secara umum merupakan salah satu gejala fisiologis makhluk hidup untuk memperoleh energi dengan cara pembongkaran sari makanan

Berdasarkan penelitian tentang “Penerapan Pembelajaran Berbasis E- Learning dalam Mempersiapkan Generasi Milenial di Era 4.0” maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

Lingkup pekerjaan : Melakukan inventarisasi data infrastruktur industri pengguna energi panas bumi, melakukan evaluasi terhadap data yang terkumpul dan selanjutnya

Adanya variasi waktu penahanan yang diberikan pada briket batok kelapa muda pada proses pirolisis fluidisasi bed menggunakan media gas argon, mampu memperbaiki

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena dengan rahmat dan karunia-Nya tesis yang berjudul “ANALISIS TENTANG KONSOLIDASI TANAH PADA DESA