• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Spritualitas Pada Suku Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Spritualitas Pada Suku Jawa"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

SARI AMANDA

081301112

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

SARI AMANDA

081301112

FAKULTAS PSIKOLOGI

(3)

GAMBARAN SPIRITUALITAS PADA SUKU JAWA

Adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini penulis kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini penulis bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai peraturan yang ada.

Medan, 23 Agustus 2013

SARI AMANDA

(4)

ABSTRAK

Suku Jawa merupakan suku terbesar yang berada di Indonesia. Suku Jawa memiliki salah satu identitas, yaitu mempertahankan spiritualitas. Salah satu penelitian dari Wijayanti dan Nurwianti (2010) menunjukkan bahwa spiritualitas merupakan salah satu kekuatan karakter orang Jawa yang paling kuat. Endaswara (2010) menyatakan, seiring dengan adanya arus globalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi yang semakin pesat, cepat atau lambat mempengaruhi sikap, cara hidup, dan pola pikir orang Jawa, termasuk dalam hal spiritualitas. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran spiritualitas suka Jawa yang berkembang saat ini.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Responden dalam penelitian ini berjumlah tiga orang. Prosedur pengambilan responden menggunakan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam dan observasi sebagai metode pendukung. Penelitian ini dilakukan di Kota Madya Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden memenuhi kebutuhan spiritualitasnya melalui melaksanakan tradisi spiritualitas Jawa dan menjalankan ajaran agama yang dianut oleh tiap responden. Responden 1 menyatakan bahwa ia menjalankan tradisi spiritualitas yang sesuai dengan ajaran agama yang dianut, namun pernyataan tersebut tidak konsisten karena ia juga menjalankan tradisi yang bertolak belakang dengan ajaran agamanya. Responden 2 memenuhi spiritualitas melalui ajaran agama dan tradisi spiritualitas. Namun, responden 2 cenderung memenuhi kebutuhan spiritualitas melalui ajaran agama, hanya sedikit tradisi spiritualitas yang dijalankannya. Responden 3 menjalankan secara seimbang antara tradisi spiritualitas Jawa dan ajaran agamanya, karena ia menganggap kedua hal tersebut sejalan. Faktor agama dan budaya memberikan kontribusi terbesar dalam mempengaruhi spiritualitas responden.

(5)

ABSTRACT

The Javanese are the largest tribe in Indonesia. They have one identity, is to maintain spirituality. One study by Wijayanti and Nurwianti (2010) suggests that spirituality is one of the most powerful characters of the Javanese. Endaswara (2010) states, along with the globalization, developments of science, technology, rapidly increasing communication,sooner or later they will affect attitudes, ways of life, and the mindset of the Javanese, including in terms of spirituality. Therefore, this study aims to see the picture of spirituality of the Javanese that is developing at this time.

This study is a qualitative research with descriptive method. Respondents in this study were three people. The respondents selection procedure uses operational constructs (theory-based/operational construct sampling). Data were collected by in-depth interviews and observation as supporting methods. The research was conducted in Medan.

The results showed that all of the three respondents fulfill the needs of their spirituality by implementing Javanese spirituality tradition and following religious teachings that each repondent has. Respondent 1 stated that he practices the spiritual traditions in accordance with the religion teachings, but somehow the statement is inconsistent because he also practices traditions that contrary to his religion teachings. Respondent 2 fulfills his spirituality through religious teachings and spiritual traditions. However, he tends to fulfill the needs ofhis spirituality through religion teachings, with less spiritual traditions. Respondent 3 practices equally between Javanese spirituality tradition and religious teachings, because he believes both of them are in the same direction. Therefore religious and cultural factors give the biggest contribution in influencing respondents spirituality.

(6)

karunia dan kekuatan dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusun skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi USU Medan.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU 2. Ibu Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si, psikolog, selaku dosen pembimbing

yang selalu memberikan arahan dalam proses pengerjaan skripsi ini

3. Ibu Rahma Fauzia, M.Psi, psikolog dan Ibu Meutia Nauly, M.Si, psikolog, selaku dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan banyak saran dan masukan yang sangat berarti bagi penulis sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik

4. Ibu Siti Zahreni, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan

5. Seluruh staff pengajar dan staff pegawai Fakultas Psikologi USU

(7)

telah mendoakan, memberi semangat, dan selalu membantu penulis selama tinggal di Medan

9. Sahabat-sahabat semasa perkuliahan, Nana, Lili, Mina, Tya, Tika, Ajeng, Rahma, Nischa, Kiki, Una, Fiqih yang selalu membantu, memberi semangat dan keceriaan selama masa kuliah, semoga persahabatan ini terus terjalin selamanya

10. Sahabat-sahabat terbaik, Vera, Gape, Ika, Weli, Dian, Sahara, Karina, dan Ridho yang selalu membantu dan memberi semangat

11. Sahabat sesama pejuang skripsi, Christina dan Eges yang selalu berbagi suka dan duka selama proses skripsi

12. Teman-teman angkatan 2008 yang selalu mendukung dan menghibur selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini. Terima kasih untuk segala kebersamaan dan keceriaan kita selama ini.

13. Ketiga responden dalam penelitian ini. Terima kasih karena telah bersedia meluangkan waktu untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

14. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Bantuan yang telah diberikan sangat berarti bagi penulis.

(8)

Penulis,

(9)

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teoritis ... 10

2. Manfaat Praktis ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORI A. Spiritualitas ... 12

1. Definisi Spiritualitas ... 12

2. Dimensi Spiritualitas ... 13

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas ... 16

B. Suku Jawa ... 18

1. Definisi Suku Jawa ... 18

2. Hakekat Pokok Suku Jawa ... 19

3. Karakter Orang Jawa ... 20

C. Dinamika Spiritualitas pada Suku Jawa ... 21

(10)

1. Karakteristik Responden ... 25

2. Jumlah Responden Penelitian ... 25

3. Prosedur Pengambilan Responden ... 26

4. Lokasi Penelitian ... 26

C. Metode Pengambilan Data ... 26

1. Wawancara ... 27

2. Observasi ... 27

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 28

1. Alat Perekam (Tape Recorder) ... 28

2. Pedoman Wawancara ... 28

E. Kredibilitas Penelitian ... 29

F. Prosedur Penelitian ... 30

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 30

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 31

3. Tahap Pencatatan Data ... 32

4. Tahap Analisa Data ... 32

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data I ... 35

1. Riwayat Responden ... 35

2. Hasil Observasi ... 35

a. Wawancara 1 ... 35

b. Wawancara 2 ... 37

c. Wawancara 3 ... 39

3. Analisa Data ... 40

a. Latar Belakang Responden ... 40

(11)

a. Wawancara 1 ... 59

b. Wawancara 2 ... 61

3. Analisa Data ... 62

a. Latar Belakang Responden ... 62

b. Gambaran Spiritualitas Suku Jawa ... 63

4. Pembahasan ... 76

C. Deskripsi Data III ... 81

1. Riwayat Responden ... 81

2. Hasil Observasi ... 81

a. Wawancara 1 ... 81

b. Wawancara 2 ... 83

3. Analisa Data ... 85

a. Latar Belakang Responden ... 85

b. Gambaran Spiritualitas Suku Jawa ... 86

4. Pembahasan ... 97

D. Analisa Antar Responden dan Pembahasan ... 101

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 112

B. Saran ... 113

1. Saran Metodologis ... 113

2. Saran Praktis ... 113

(12)

Tabel 4.1. Tempat dan Waktu Wawancara ... 34

Tabel 4.2. Gambaran Spiritualitas Suku Jawa Pada Responden 1 ... 52

Tabel 4.3. Gambaran Spiritualitas Suku Jawa Pada Responden 2 ... 74

Tabel 4.4. Gambaran Spiritualitas Suku Jawa Pada Responden 3 ... 95

Tabel 4.5. Analisa Identitas Diri Ketiga Responden ... 101

(13)

ABSTRAK

Suku Jawa merupakan suku terbesar yang berada di Indonesia. Suku Jawa memiliki salah satu identitas, yaitu mempertahankan spiritualitas. Salah satu penelitian dari Wijayanti dan Nurwianti (2010) menunjukkan bahwa spiritualitas merupakan salah satu kekuatan karakter orang Jawa yang paling kuat. Endaswara (2010) menyatakan, seiring dengan adanya arus globalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi yang semakin pesat, cepat atau lambat mempengaruhi sikap, cara hidup, dan pola pikir orang Jawa, termasuk dalam hal spiritualitas. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran spiritualitas suka Jawa yang berkembang saat ini.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Responden dalam penelitian ini berjumlah tiga orang. Prosedur pengambilan responden menggunakan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam dan observasi sebagai metode pendukung. Penelitian ini dilakukan di Kota Madya Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden memenuhi kebutuhan spiritualitasnya melalui melaksanakan tradisi spiritualitas Jawa dan menjalankan ajaran agama yang dianut oleh tiap responden. Responden 1 menyatakan bahwa ia menjalankan tradisi spiritualitas yang sesuai dengan ajaran agama yang dianut, namun pernyataan tersebut tidak konsisten karena ia juga menjalankan tradisi yang bertolak belakang dengan ajaran agamanya. Responden 2 memenuhi spiritualitas melalui ajaran agama dan tradisi spiritualitas. Namun, responden 2 cenderung memenuhi kebutuhan spiritualitas melalui ajaran agama, hanya sedikit tradisi spiritualitas yang dijalankannya. Responden 3 menjalankan secara seimbang antara tradisi spiritualitas Jawa dan ajaran agamanya, karena ia menganggap kedua hal tersebut sejalan. Faktor agama dan budaya memberikan kontribusi terbesar dalam mempengaruhi spiritualitas responden.

(14)

ABSTRACT

The Javanese are the largest tribe in Indonesia. They have one identity, is to maintain spirituality. One study by Wijayanti and Nurwianti (2010) suggests that spirituality is one of the most powerful characters of the Javanese. Endaswara (2010) states, along with the globalization, developments of science, technology, rapidly increasing communication,sooner or later they will affect attitudes, ways of life, and the mindset of the Javanese, including in terms of spirituality. Therefore, this study aims to see the picture of spirituality of the Javanese that is developing at this time.

This study is a qualitative research with descriptive method. Respondents in this study were three people. The respondents selection procedure uses operational constructs (theory-based/operational construct sampling). Data were collected by in-depth interviews and observation as supporting methods. The research was conducted in Medan.

The results showed that all of the three respondents fulfill the needs of their spirituality by implementing Javanese spirituality tradition and following religious teachings that each repondent has. Respondent 1 stated that he practices the spiritual traditions in accordance with the religion teachings, but somehow the statement is inconsistent because he also practices traditions that contrary to his religion teachings. Respondent 2 fulfills his spirituality through religious teachings and spiritual traditions. However, he tends to fulfill the needs ofhis spirituality through religion teachings, with less spiritual traditions. Respondent 3 practices equally between Javanese spirituality tradition and religious teachings, because he believes both of them are in the same direction. Therefore religious and cultural factors give the biggest contribution in influencing respondents spirituality.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Spiritualitas merupakan salah satu bagian dari kekuatan karakter individu, di mana kekuatan karakter merupakan trait positif yang ditampilkan melalui pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang. Kekuatan karakter merupakan karakter baik yang mengarahkan dan membantu individu dalam proses pencapaian keutamaan, demikian halnya spiritualitas. Spiritualitas dalam artian mengacu pada kepercayaan dan praktik yang didasarkan pada keyakinan bahwa ada dimensi

transcendent (nonfisik) dalam kehidupan. Spiritual bersifat universal. Meskipun konten dari spiritual bervariasi, namun semua budaya memiliki konsep akhir,

(16)

harus religius untuk menjadi spiritual (Hendrawan, 2009). Namun, yang harus dipahami adalah agama merupakan ekspresi dari spiritualitas (Jewell, 2004).

Setiap manusia memiliki dimensi spiritualitas dalam dirinya dan setiap orang juga memiliki kebutuhan untuk menyalurkan spiritualitasnya (Berman dan Snyder, 2012). Penelitian menunjukkan bahwa kegiatan spiritualitas memberikan manfaat pada lansia di Australia terhadap persepsi dukungan sosial (Moxey dkk, 2010). Penelitian Mann dkk (2008) menunjukkan bahwa spiritualitas berhubungan dalam mengurangi kecemasan pada wanita hamil. Penelitian Ironson, Stuetzle, dan Fletcher (2006) menunjukkan bahwa meningkatnya spiritualitas setelah diagnosa HIV dapat memperlambat perkembangan penyakit. Selain itu penelitian yang dilakukan MacGillivray, Sumsion, dan Nicholls (2006) juga menunjukkan bahwa spiritualitas penting untuk kesehatan mental remaja.

(17)

Mempertahankan spiritualitas merupakan salah satu identitas dari budaya Jawa (Santosa, 2011).

Suku Jawa adalah suku terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Suku Jawa berjumlah sekitar 90 juta atau setidaknya, 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Suku Jawa berasal dari pulau Jawa dan terutama ditemukan di provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Selain di ketiga provinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki budaya tradisional yang sudah cukup tua di Indonesia dan dianut secara turun temurun (Gauthama & Alkadri, 2003).

(18)

Sejarah menunjukkan bahwa pada awalnya budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh agama Hindu, agama ini berkembang di Jawa jauh sebelum adanya agama lain sehingga banyak dari tradisi agama Hindu yang kemudian diadaptasi menjadi budaya Jawa. Pada tahap berikutnya, Islam masuk ke pulau Jawa, nilai-nilai dalam agama terbesar di Indonesia ini turut pula mewarnai budaya Jawa (Mulyana, 2006).

Tradisi orang Jawa bersumber dari ajaran agama yang diberi hiasan budaya daerah, karenanya orientasi kehidupan rohani orang Jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyangnya (Purwadi, 2007). Hal ini juga didukung oleh pernyataan Bapak Budi Agung Prayoga (49 tahun), yang merupakan keturunan asli keraton Surakarta:

“Almarhum dan almarhumah buyut masih ngajarin semua tradisi yang harus dilakukan dari kita bayi sampai tua karena buat leluhur kami tradisi itu penting”

(Komunikasi Personal, Minggu , 02/12/2012) Proses masuknya agama lain di Jawa juga tidak terlepas dari tradisi leluhur yang masih menganut agama Hindu, seperti tembang ilir-ilir, melalui tembang ini

walisanga mencoba menanamkan Islam secara halus dan estetis (Endraswara, 2010).

(19)

dalam melakukan pemenuhan spiritualitasnya (Endraswara, 2010). Adat istiadat tradisional Jawa dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh ketenteraman hidup lahir batin dalam rangka memenuhi kebutuhan spiritualnya (Purwadi, 2007). Ada beberapa kegiatan “mistis” yang ditempuh untuk memenuhi spiritualitasnya

(Endraswara, 2010). Contohnya menjelang bulan Ramadhan masih banyak masyarakat yang suka mandi keramas ke berbagai sumber air, sendang, atau telaga yang legendaris. Pada malam-malam tertentu, misalnya Selasa Kliwon dan

Jumat Kliwon, banyak orang Jawa yang melakukan ziarah ke berbagai petilasan

yang akrab dengan pribadi dan kepercayaannya (Santosa, 2011). Bahkan, dalam penelitian Purnama (2008) mengenai budaya spiritual di lingkungan makam Sultan Maulana Yusuf dinyatakan bahwa dari berbagai suku yang tinggal di sekitar makam, suku Jawa merupakan suku terbesar yang melakukan ziarah ke makam tersebut. Dalam penelitian tersebut juga dinyatakan spiritualitas suku Jawa yang lebih tinggi dibandingkan suku Sunda dan Minangkabau. Hal ini tentunya menjadi ciri khas dari suku Jawa. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Bapak Budi Agung Prayoga:

“Iya, biasanya buat sesajen dan acara untuk orang meninggal, kan ada pengajian 7 hari, 40 hari, sama 100 hari, manfaatnya dari sisi agama, untuk mendoakan almarhum biar jalannya lapang”

(20)

adanya roh adikodrati, yang paling tinggi (paling berkuasa) mengatur kehidupan manusia. Tidak mengherankan jika dalam sistem kepercayaan lokal, panutan mereka adalah dukun atau pawang. Sosok tersebut dipercaya mampu berkomunikasi dengan roh-roh yang dipercaya dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap kehidupan dan lingkungan. Selain itu, dukun juga dipercaya memiliki kekuatan batin yang tinggi sehingga mampu membantu menangani berbagai masalah individual dan sosial di lingkungan.

Ada beberapa tradisi spiritualitas Jawa yang dipercaya dapat melindungi dan memberikan kekuatan terhadap orang Jawa, seperti menyimpan benda-benda bertuah, seperti keris, pusaka, batu azimat,dan batu akik. Pemberian sesaji kepada roh-roh, bekerjasama dengan roh-roh. Primbon yang konon membuat ramalan mengenai bermacam aspek kehidupan manusia juga dipercayai orang Jawa (Santosa, 2012)

Keberagaman nilai-nilai agama maupun budaya di Jawa mengakibatkan terjadinya pengelompokan sejumlah aliran, keyakinan, dan pemikiran tentang sejumlah ide dasar spiritualisme (Mulyana, 2006). Selain itu, terjadi juga penggabungan tradisi budaya dengan syariat agama (Soedarsono & Hadi dalam Mulyana, 2006). Contohnya adalah Kejawen atau agama batin, penganut Kejawen

memiliki dan mengakui keyakinan agama tertentu namun tidak menunjukkan kesungguhannya dalam beragama (Mulyana, 2006). Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Budi Agung Prayoga:

(21)

kesialan. Kejawen itu bukan agama tapi kepercayaan, mereka yang kejawen nggak menganut agama apapun tapi mantra-mantra mereka ada campuran bahasa Jawa dan doa-doa islam”

(Komunikasi Personal, Minggu , 18/11/2012) Orang-orang Jawa melaksanakan agamanya bercampur dengan keyakinan-keyakinan Jawa atau agama lain. Kecintaannya kepada identitas Kejawen tidak luntur oleh dogma ajaran apapun, bahkan agama yang secara resmi dianutnya sendiri. Oleh karena itu, orang Jawa penganut Islam, Kristen, Katolik memiliki sikap spiritualisme yang relatif sama (Jong dalam Mulyana, 2006).

Selosoemardjan (dalam Santosa, 2012) berpendapat, munculnya aliran kepercayaan di Jawa karena pada umumnya orang Jawa cenderung untuk mencari keselarasan dengan lingkungan dan hati nuraninya, di mana untuk mewujudkan dorongan tersebut mereka sering melakukannya dengan cara-cara metafisik.

Setiap orang mempunyai kepercayaan, keyakinan, dan pandangan pribadi yang berasal dari agama, budaya, adat istiadat, serta ilmu pengetahuan yang didapatnya. Nilai-nilai kepercayaan tersebut perlu dimiliki karena akan menjadi pedoman hidup serta acuan membentuk sifat perilaku masing-masing. Maka dari itu, baik dalam mewujudkan cita-cita hidup, mendapatkan rezeki untuk menyejahterakan keluarga, serta mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi, mereka menggunakan cara atau strategi sesuai dengan keyakinan masing-masing (Santosa, 2011). Hal ini juga didukung oleh ungkapan Bapak Budi Agung Prayoga:

(22)

memelihara pusaka karena dipercaya setiap pusaka ada penunggu yang buat kita tambah sakti. Ritual itu biasanya dilakuin pas bulan Rajab, Syawal, dan Syafar”

(Komunikasi Personal, Minggu , 21/10/2012) “Bapak melakukan tradisi spiritualitas karena bapak sekeluarga masih keluarga keraton, jadi harus melakukan, udah kodratnya hidup kayak gitu, rasanya sih enak-enak aja mbak, sama enaknya kayak kita tiap hari ibadah”

(Komunikasi Personal, Minggu , 02/12/2012) Merupakan suatu keasyikan tersendiri untuk mengamati aspek-aspek sosio-budaya pada masyarakat jawa yang religius dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dalam tatanan kehidupan. Akan tetapi, bila diamati lebih jauh ke dalam kehidupan sehari-hari, maka terasa bahwa perubahan-perubahan mendasar sedang berlangsung di dalam sebuah lembaga yang disebut keluarga inti dan kemudian meluas ke dalam masyarakat. Ikatan-ikatan yang ada dalam masyarakat mulai tampak mengendur (Gauthama & Alkadri, 2003).

Koentjaraningrat (dalam Gauthama & Alkadri 2003) mengatakan suku bangsa Jawa saat ini lebih berani mengambil sikap untuk keluar dari tatanan dan atmosfir ke-jawa-an keluarganya termasuk dalam hal spiritualitas. Seperti yang diungkapkan Bapak Budi Agung Prayoga berikut:

“Ada yang mulai meninggalkan tradisi, kayak contohnya melekan pas malam jumat, puasa mutih, dikarenakan sudaya ada budaya modern. Itu biasanya dikalangan orang yang tinggal di kota dan bukan turunan Jawa murni. Kalau yang turunan Jawa murni dan tinggal di desa masih ngelakuin itu. Sebenarnya semua tradisi spiritual Jawa itu dilakukan disemua kalangan orang Jawa, cuma kalau di keluarga keraton lebih rinci, persiapan dan upacaranya lebih detail”

(23)

Arus globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi semakin pesat, cepat atau lambat telah mempengaruhi sikap, cara hidup, dan pola pikir orang Jawa (Endraswara, 2010).

“Iya sering ada omongan orang-orang, contohnya “kolot banget sih keluarga kamu, zaman kayak gini masih aja nurut sama aturan kayak gitu”, sebenernya sakit hati juga sih tapi namanya juga udah tradisi kehidupan sehari-hari”

(Komunikasi Personal, Minggu , 02/12/2012) “Globalisasi ini juga ada manfaatnya, banyak orang jadi tertarik sama tradisi spiritual Jawa, jadi orang nggak salah paham lagi karena awalnya menganggap tradisi itu mengesampingkan tuhan”

(Komunikasi Personal, Minggu , 02/12/2012) Perubahan zaman tersebut, tentunya mempengaruhi spiritualitas orang Jawa. Ada beberapa tradisi spiritualitas yang hilang seiring modernisasi zaman. Pola pikir orang Jawa tentunya sudah semakin berubah. Hal tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Gambaran Spiritualitas pada Suku Jawa.”

B. PERUMUSAN MASALAH

Adapun pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran spiritualitas pada suku Jawa saat ini?

C. TUJUAN PENELITIAN

(24)

D. MANFAAT PENELITIAN

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memperoleh manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi ilmu Psikologi khususnya Psikologi Klinis, terutama mengenai spiritualitas.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dalam penelitian ini, antara lain:

a. Memberikan gambaran spiritualitas secara umum, sehingga dapat dijadikan bahan perbandingan bagi suku lainnya.

b. Memberikan wawasan bagi suku Jawa mengenai kegiatan spiritual yang mereka jalani

c. Masukan bagi peneliti yang tertarik untuk mengembangkan penelitian berikutnya mengenai spiritualitas dan suku Jawa

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I : Pendahuluan

(25)

Bab II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis yang berhubungan dengan fokus penelitian, antara lain mengenai spiritualitas dan Suku Jawa, diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian Bab III : Metodologi Penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisi tentang pendekatan kualitatif, responden penelitian, metode pengumpulan data, kredibilitas penelitian, dan prosedur penelitian. Bab IV : Analisa dan Pembahasan

Bab ini berisi deskripsi data meliputi riwayat responden, rangkuman hasil observasi dan wawancara, analisa data dan pembahasan setiap responden berdasarkan dengan teori yang berkaitan, dan analisa antar responden.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SPIRITUALITAS

1. Definisi Spiritualitas

Menurut Berdyaev dan Macquarrie (dalam Peterson & Seligman, 2004) spiritualitas berasal dari kata latin spiritus, yang berarti nafas kehidupan, di berbagai momen sejarah, dan dalam konteks budaya yang berbeda, kata spiritus

memiliki sinonim kebijaksanaan, kecerdasan, kapasitas untuk berpikir, dan jiwa atau kekuatan hidup nonfisik.

Spiritualitas dalam artian mengacu pada kepercayaan dan praktik yang didasarkan pada keyakinan bahwa ada dimensi nonfisik (transcendent) dalam kehidupan. Spiritualitas menggambarkan hubungan antara manusia dan tuhan dan berbagai kebajikan yang dihasilkan dari hubungan tersebut. Kebajikan tersebut diyakini secara nyata dalam mencapai prinsip dalam kehidupan dan kebaikan dalam kehidupan (Peterson & Seligman, 2004).

(27)

Defenisi yang digunakan dalam penelitian ini, spiritualitas merupakan suatu kepercayaan yang mengacu pada adaanya dimensi nonfisik (transcendent) yang berhubungan dengan perasaan akan tujuan, makna, dan perasaan terhubung dengan orang lain.

2. Dimensi Spiritualitas

Sembilan dimensi spiritualitas (Elkin dkk, 1988), yaitu: a. Dimensi transenden (Transcendent dimension)

Percaya dengan adanya dimensi transenden dalam kehidupan. Inti dari keyakinan ini berupa kepercayaan terhadap Tuhan atau apapun yang dipersepsikan oleh individu sebagai sosok transenden ataupun sesuatu yang lebih besar dari diri seorang individu. Ada hal yang lebih daripada yang terlihat, di mana yang tidak terlihat itu bermanfaat bagi seorang individu. Individu dengan spiritual tinggi juga memiliki pengalaman dengan dimensi transenden, di mana Maslow menyebutnya dengan pengalaman tertinggi (peak experiences). Dalam hal ini sejalan dengan keyakinan orang Jawa yang memiliki pandangan bahwa dimensi transenden dalam kehidupannya adalah Tuhan (Santosa, 2011).

b. Makna dan tujuan dalam hidup (Meaning and purpose in life)

(28)

dan harus dipersiapkan sedini mungkin, yaitu kehidupan langgeng (abadi) diakhirat nanti (Santosa, 2011)

c. Misi hidup (Mission in life)

Adanya panggilan yang harus dipenuhi, rasa tanggung jawab pada kehidupan, panggilan untuk menjawab, menyelesaikan misi, atau dibeberapa kasus dalam memenuhi takdir. Individu memiliki metamotivasi yang berarti mereka dapat memecah misi hidupnya dan memenuhi misi tersebut. Semua orang Jawa memiliki misi hidup untuk menjaga kehidupannya dan keluarganya agar tetap aman, damai, tenang, sejahtera, dan bahagia lahir batin (Santosa, 2011). d. Kesakralan hidup (Sacredness of life)

Hidup harus diresapi dengan kesakralan dan pengalaman tentang rasa kagum, rasa hormat, bahkan dalam setting di luar agama. Pandangan akan hidup tidak lagi dikotomi seperti pemisahan antara yang sakral dan yang sekuler, suci dan duniawi, namun percaya bahwa semua aspek kehidupan sifatnya suci dan kesakralan ada di dalamnya. Orang Jawa memandang kekuatan yang sakral melalui menggabungkan kekuatan lahir dan batin dalam mencapai cita-cita dan tujuan hidup yang diharapkan (Santosa, 2011).

e. Nilai-nilai material (Material values)

(29)

Orang Jawa memiliki kepercayaan bahwa bersama orang lainlah setiap manusia menjalani kehidupan di dunia, serta dari orang lain pula ia mendapatakn rezeki. Realitasnya, setiap rezeki bukan jatuh dari langit, melainan ada pihak-pihak yang menjadi lantaran (saluran), oleh sebab itu, dia harus dapat mengamalkan semangat hidup tolong menolong, bahu-membahu, membalas budi baik, karena banyak hal di dunia tidak dapat dikerjakan (diselesaikan) sendiri sehingga memerlukan bantuan orang lain. Sejalan dengan ungkapan orang Jawa mung saderma anggadhuh peparinge Gusti Kang Akarya Jagad, yang memiliki arti “semuanya

hanya anugerah, atau titipan” (Santosa, 2011).

f. Altruisme (Altruism)

Adanya tanggung jawab bersama dari masing-masing orang untuk saling menjaga sesama (brother’s keepers), baik dari rasa sakit dan penderitaan. Tidak ada manusia yang dapat berdiri sendiri, manusia terikat satu sama lain sehingga bertanggung jawab atas sesamanya. Keyakinan ini sering dipicu oleh kesadaran mereka akan penderitaan orang lain. Nilai humanisme ini diikuti oleh adanya komitmen untuk melakukan tindakan nyata sebagai perwujudan cinta pada sesama. Berbuat baik dan benar di dunia menjadi orientasi penting dalam kehidupan orang Jawa, karena amal baik itulah yang akan menjadi bekal ke akhirat dalam memperoleh surga (Santosa, 2011).

g. Idealisme (Idealism)

(30)

berkomitmen terhadap sikap ideal yang tinggi dan mengaktualisasinya melalui potensi positif dalam semua aspek kehidupannya. Masyarakat Jawa memiliki cita-cita hidup yang ideal, baik dalam konteks pribadi, sosial, maupun spiritualitas, sehingga berupaya untuk selalu menyeimbangkan idealismenya di setiap aspek kehidupan (Santosa, 2011).

h. Kesadaran akan peristiwa tragis (Awareness of the tragic)

Menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa tragedi terjadi dalam eksistensi manusia. Peduli terhadap rasa sakit, penderitaan atau kematian. Kesadaran ini memberikan pengalaman spiritual yang mendalam dan memaknai hidup dengan lebih serius. Kesadaran akan peristiwa tragis juga meningkatkan kesenangan spiritualitas seseorang, pengetahuan, dan makna kehidupan. Dalam kehidupan suku Jawa, tragedi dianggap sebagai pengingat untuk selalu dekat dengan Sang Pencipta (Mulyana, 2006).

i. Manfaat (Beneficial manifestations (fruit) of spirituality)

Individu menilai spiritualitas merupakan buah dari kehidupan. Spiritualitas yang nyata terlihat dari efek spiritualitasnya, dan biasanya dikaitkan dengan hubungannya terhadap diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan, dan apapun yang dipersepsikannya sebagai aspek transenden. Berbagai ritual yang dijalankan masyarakat Jawa mendatangkan keberkahan bagi hidup mereka (Mulyana, 2006).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

(31)

a. Tahapan Perkembangan

Setiap individu berbeda dalam pemenuhan spiritualitas sesuai dengan usia, jenis kelamin, agama, dan kepribadian individu. Spiritualitas merupakan bagian dari kehidupan manusia dan berhubungan dengan proses perubahan dan perkembangan pada manusia.

b. Budaya

Setiap budaya berbeda dalam bentuk pemenuhan spiritualitas. Budaya dan spiritualitas menjadi dasar sesorang dalam melakukan sesuatu dan menjalani cobaan atau masalah dalam hidup dengan seimbang.

c. Keluarga

Keluarga sangat berperan dalam perkembangan spiritualitas individu. Keluarga adalah tempat pertama kali individu mendapatkan pengalaman dan pandangan hidup. Melalui keluarga, individu belajar tentang Tuhan, kehidupan, dan diri sendiri. Keluarga memiliki peran yang penting dalam memenuhi kebutuhan spiritualitas, dikarenakan keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari dengan individu.

d. Agama

(32)

e. Pengalaman Hidup

Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif mempengaruhi spiritualitas seseorang. Pengalaman hidup mempengaruhi seseorang dalam mengartikan secara spiritual terhadap kejadian yang dialaminya. Pengalaman hidup yang menyenangkan dapat menyebabkan seseorang bersyukur atau tidak bersyukur.

f. Krisis dan Perubahan

Krisis dan perubahan dapat menguatkan spiritualitas pada seseorang. Krisis sering dialami seseorang ketika menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan kematian. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dialami seseorang merupakan pengalaman spiritualitas yang bersifat emosional.

B. SUKU JAWA

1. Definisi Suku Jawa

Dari sudut antropologi yang disebut suku Jawa adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Jawa, bertempat tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari daerah-daerah tersebut (Gauthama dan Alkadri, 2003).

(33)

Defenisi yang digunakan dalam penelitian ini, suku Jawa merupakan orang-orang yang merupakan keturunan Jawa dari generasi sebelumnya.

2. Hakekat Pokok Suku Jawa

Gauthama dan Alkadri (2003) menyatakan masyarakat suku Jawa memiliki sistem orientasi nilai budaya yang terdiri dari lima hakekat pokok, yaitu:

a. Hakekat hidup

Pandangan orang Jawa tentang hakekat hidup sangat dipengaruhi oleh pengalamannya di masa lalu dan konsep-konsep religius yang bernuansa mistis. Hakekat hidup ini terlihat pada berbagai falsafah hidup yang menunjukkan sikap pasrah kepada Yang Maha Kuasa.

b. Hakekat kerja

Masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di perdesaan maupun perkotaan jarang memikirkan hakekat kerja dan usaha, mereka hanya tahu bahwa mereka harus terus berikhtiar dan bekerja. Bagi mereka, bekerja itu memang sudah merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup. Sedangkan bagi masyarakat kelas menengah dan kelas atas memiliki tujuan dari hakekat kerja, sehingga segala usaha yang dijalankannya selalu dihubungkan dengan hasil yang diharapkan.

c. Hakekat waktu

(34)

kegiatan, atau lebih dikenal dengan sebutan petungan, selain itu hakekat waktu juga berhubungan dengan kemampuan meramalkan berbagai hal yang berkaitan dengan siklus kehidupan maupun watak seseorang yang disebut dengan pasaran. d. Hakekat hubungan manusia dengan sesamanya

Masyarakat Jawa menghendaki hidup yang selaras dan serasi dengan pola pergaulan saling menghormati. Hidup yang saling menghormati akan menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di luar rumah tangga (masyarakat). Dua prinsip yang paling menentukan dalam pola pergaulan masyarakat Jawa adalah rukun dan hormat.

e. Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya

Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya tidak terlepas dari pandangan hidup masyarakat Jawa yang mengharuskan manusia mengusahakan keselamatan dunia beserta segala isisnya agar tetap terpelihara dan harmonis.

3. Karakter Orang Jawa

Santosa (2011) orang Jawa memiliki 10 karakter, yaitu sebagai berikut: a. Orang Jawa suka menyatakan segala sesuatu dengan tidak langsung. Orang

Jawa cenderung bersikap semu atau terselubung, penuh simbol, suka menyampaikan kata-kata tersamar. Setiap orang yang datang (tamu) selalu diterima dengan muka manis.

(35)

c. Terbuka dan mudah melakukan hubungan, komunikasi, pergaulan dengan siapapun. Hidupnya rukun, semangat kebersamaannya (gotong royong) tinggi, dan sedapat mungkin berusaha menghindari perselisihan (konflik).

d. Suka prihatin dan menjalani laku olah batin. Orang Jawa memiliki semangat besar untuk bertapa (menjalani asketisme) atau laku prihatin.

e. Memiliki sifat rela

f. Memiliki kesetiaan tinggi dalam mengabdi atau melakukan kerjasama.

g. Berbudi luhur, mengutamakan pertimbangan baik buruk, serta kepantasan dalam berbuat maupun di dalam menilai berbagai realitas yang ditemui

h. Memiliki religiusitas tinggi sesuai dengan kepercayaan batin yang dianutnya i. Tindak perbuatannya cenderung hati-hati

j. Memiliki perhatian dan kepercayaan tinggi hubungannya dengan alam gaib (metafisika). Terbukti dengan masih maraknya praktik perdukunan, paranormal, ramalan, ziarah ke makam leluhur, yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat Jawa

C. DINAMIKA SPIRITUALITAS PADA SUKU JAWA

(36)

Setiap manusia memiliki kebutuhan untuk menyalurkan dan memenuhi spiritualitasnya (Berman dan Snyder, 2012), termasuk orang Jawa. Dalam memenuhi kebutuhan spiritualitasnya, orang Jawa harus memenuhi dimensi spiritulitas yang disesuaikan dengan pandangan spiritualitas dari budaya Jawa, sejumlah kepercayaan animisme-dinamisme masih tampak mewarnai adat tradisi Jawa hingga kini, seperti ritual selamatan, kepercayaan terhadap benda-benda bertuah, pemberian sesaji, kerjasama dengan roh-roh dari alam gaib, adanya primbon yang memuat ramalan mengenai bermacam aspek kehidupan manusia, lahirnya permainan (dan kesenian) yang melibatkan roh-roh dari alam gaib, dan munculnya bermacam mitos dalam adat tradisi Jawa. Nilai-nilai kepercayaan tersebut tampak masih sangat sederhana karena hanya bersumber dari naluri, intuisi, pengetahuan, pengalaman hidup, serta interaksinya dengan masyarakat dan alam lingkungan (Santosa, 2012).

Berdasarkan preeliminary research, didapatkan data bahwa beberapa kalangan masih melaksanakan tradisi spiritualitas Jawa, seperti kalangan keraton dan para tetua suku Jawa, namun untuk kalangan yang lebih muda, hanya beberapa tradisi spiritualitas saja yang dijalankan, seperti ritual-ritual saat selamatan. Akan tetapi, ada yang tidak menjalankan tradisi spiritualitas sama sekali. Mereka menganggap tradisi spiritulitas Jawa sudah kuno dan beberapa tidak masuk akal, sehingga mereka menjalankan spiritualitas melalui ajaran agama yang mereka anut saja.

(37)
(38)

D. KERANGKA BERPIKIR

Spiritualitas Suku Jawa

Kegiatan spiritualitas Jawa =

Budaya + Agama Faktor-faktor yang

mempengaruhi spiritualitas

1. Perkembangan 2. Budaya

3. Keluarga 4. Agama

5. Pengalaman Hidup 6. Krisis dan Perubahan

Dimensi Spiritualitas

1. Dimensi transenden (Transcendent dimension)

2. Makna dan tujuan dalam hidup (Meaning and purpose in life) 3. Misi hidup (Mission in life)

4. Kesakralan hidup (Sacredness of life) 5. Nilai-nilai material (Material values) 6. Altruisme (Altruism)

7. Idealisme (Idealism)

(39)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. PENDEKATAN KUALITATIF

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode case study

dalam penelitian ini. Poerwandari (2009) menyatakan dengan menggunakan metode kualitatif peneliti dapat mempelajari isu-isu tertentu secara mendalam dan mendetail. Hal tersebut sesuai dengan tujuan peneliti untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas dan mendalam berkaitan dengan gambaran spiritualitas pada suku Jawa.

B. RESPONDEN PENELITIAN

1. Karakteristik Responden

Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini adalah: a. Merupakan individu keturunan suku Jawa (ayah dan ibu)

b. Berada dalam tahapan perkembangan minimal dewasa awal c. Pernah bergabung dengan komunitas budaya Jawa

2. Jumlah Responden Penelitian

(40)

3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Responden dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (Patton dalam Poerwandari, 2009). Prosedur pengambilan responden ini dilakukan agar responden benar-benar mewakili fenomena penelitian.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Madya Medan. Pemilihan daerah ini memberikan kemudahan dalam menemukan responden dan memudahkan proses penelitian karena peneliti berdomisili di daerah tersebut. Hal ini mengingat bahwa pendekatan kualitatif memerlukan lebih dari satu kali pertemuan dan wawancara. Tempat pelaksanaan wawancara disesuaikan dengan kemauan responden, dengan syarat responden merasa aman dan nyaman dengan keberadaannya dalam mengungkap hal-hal mengenai dirinya.

C. METODE PENGAMBILAN DATA

(41)

1. Wawancara

Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2009) wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Jenis wawancara yang digunakan dalam wawancara adalah wawancara dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara, peneliti dilengkapi pedoman wawancara umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput. Wawancara dilakukan dalam bentuk wawancara mendalam yakni peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara utuh dan mendalam (Patton dalam Poerwandari, 2009).

2. Observasi

(42)

D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Purwandari (2009) menyatakan sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk itu diperlukan instrumen atau alat bantu penelitian untuk membantu peneliti dalam pengumpulan data. Alat bantu yang digunakan dalam pengumpulan data adalah tape recorder

dan pedoman wawancara.

1. Alat Perekam (Tape Recorder)

Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Selain itu, peneliti dapat lebih mudah melakukan observasi selama wawancara berlangsung. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari responden.

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2009). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara berupa

(43)

Tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan hal lain yang masih berhubungan dengan topik penelitian agar wawancara tidak berjalan dengan kaku namun data yang didapatkan lebih lengkap dan akurat.

E. KREDIBILITAS PENELITIAN

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk mengganti konsep validitas, dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Deskipsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibiltas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2009).

Adapun upaya peneliti untuk meningkatkan kredibilitas penelitian ini antara lain:

1. Memilih responden yang sesuai dengan karakteristik responden pada penelitian ini yaitu individu dewasa yang merupakan suku Jawa.

(44)

3. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat. Pernyataan responden yang ambigu atau kurang jelas akan ditanyakan kembali (probing) saat wawancara atau pertemuan berikutnya. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang akurat. 4. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses

pengumpulan data, dan strategi analisisnya.

5. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali data untuk menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.

F. PROSEDUR PENELITIAN

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melakukan penelitian yaitu:

a. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan dengan spiritualitas dan suku Jawa

b. Menyusun pedoman wawancara

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori untuk menjadi pedoman wawancara.

c. Persiapan untuk pengumpulan data

(45)

ditentukan. Setelah mendapatkannya, peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti membuat janji bertemu dengan responden dan berusaha membangun rapport yang baik dengan responden. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian menentukan dan menyepakati waktu untuk pertemuan selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti mengambil data penelitian yakni mulai menghubungi responden yang telah bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Peneliti meminta kesediaan responden untuk diwawancarai melalui surat pernyataan yang telah disiapkan. Setiap kali melakukan wawancara, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara dengan responden.

(46)

3. Tahap Pencatatan Data

Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Selanjutnya, peneliti membuat koding sesuai dengan teori yang digunakan. Hasil koding akan membantu peneliti dalam menganalisa dan menginterpretasi data yang diperoleh dari masing-masing responden. Setelah koding selesai dilakukan, peneliti kemudian menganalisis dan membahas data yang diperoleh.

4. Tahap Analisis Data

Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif adalah berupa kata-kata. Untuk itu perlu dilakukan analisis data. Analisis data adalah proses merinci secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bentuan pada tema dan ide itu (Bogdan & Taylor dalam Moleong, 2002). Untuk melakukan analisis berdasarkan data tersebut dibutuhkan kehati-hatian agar tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Menurut Poerwandari (2007) proses analisis data adalah sebagai berikut:

a. Organisasi data secara rapi, sistematis, dan selengkap mungkin untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisa yang dilakukan, serta menyimpan data dan analisa yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.

(47)

mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari dengan lengkap. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya peneliti yang berhak (dan bertanggung jawab) memilih cara koding yang dianggap paling efektif bagi data yang diperolehnya.

c. Pengujian terhadap dugaan, berkaitan erat dengan upaya mencari kejelasan yang berbeda mengenai data yang sama. Peneliti harus mengikutsertakan berbagai perspektif untuk memungkinkan keluasan analitis serta memeriksa bias-bias yang tdak disadari.

d. Strategi analisa, proses analisa dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata subjek maupun konsep yang dipilih atau dikembangkan peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisa.

(48)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian gambaran spiritualitas suku Jawa. Dalam bab ini akan diuraikan riwayat masing-masing responden, hasil observasi, analisa data hasil wawancara dan pembahasan terhadap data-data yang telah diperoleh tersebut.

Berikut ini tempat dan waktu dilakukannya wawancara pada ketiga responden penelitian ini:

Tabel 1. Tempat dan Waktu Wawancara

Hari/Tanggal Waktu Tempat

Responden 1

Jumat, 8 Maret 2013 Pukul 17.25 – 18.15 WIB

Rumah Responden Rabu, 20 Maret 2013 Pukul 17.05 – 18.17 WIB

Rabu, 27 Maret 2013 Pukul 17.17 – 18.20WIB Responden

2

Senin, 22 April 2013 Pukul 20.05 – 21.03WIB Rumah Responden Selasa, 30 April 2013 Pukul 19.23 – 20.53WIB

Responden 3

Sabtu, 15 Juni 2013 Pukul 16.02 – 17.01WIB

Coffe Shop

(49)

A.DESKRIPSI DATA I

1. Riwayat Responden

Nama : Andi (bukan nama sebenarnya)

Umur : 58 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Pendidikan Terakhir : SMP Pekerjaan : Wiraswasta

Agama : Islam

Status : Menikah

2. Hasil Observasi

a. Wawancara 1

Sebelum dilakukan wawancara 1, peneliti telah membuat janji terlebih dahulu dengan Pak Andi. Pak Andi bersedia diwawancara pada tanggal 8 Maret 2013 pada pukul 16. 30 WIB di kebun yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya. Namun, dikarenakan pada hari itu hujan deras, wawancara diundur menjadi pukul 17.25 WIB. Setelah hujan reda, peneliti langsung menuju kebun. Saat menuju kebun, peneliti melewati rumah Pak Andi yang berada tepat di pangkal gang. Pak Andi melihat peneliti yang sedang lewat dan langsung memanggil peneliti sehingga peneliti tidak sampai ke kebun Pak Andi. Pak Andi meminta agar wawancara dilakukan di rumahnya saja.

(50)

muda. Tepat di sebelah kiri pintu masuk tersusun kursi panjang berhadapan, diantaranya terdapat sebuah meja kaca dengan asbak rokok diatasnya, ada sebuah kursi untuk satu orang di ujung kiri. Di belakang susunan kursi tersebut, tepatnya di pojokan terlihat meja kecil dan terdapat vas bunga diatasnya berisi bunga mawar merah tiruan. Di sebelah kanan pintu ada ruangan yang ditutup dengan tirai dan disebelahnya ada lorong menuju panglong yang berada tepat di sebelah kanan rumah Pak Andi. Terdapat beberapa lukisan di ruangan tersebut. Pak Andi mempersilahkan peneliti duduk, peneliti duduk berhadapan dengan Pak Andi. Pak Andi duduk menghadap ke arah pintu.

Pak Andi merupakan seorang pria yang berbadan kurus dengan berat badan lebih kurang 60 kg dengan tinggi badan sekitar 175 cm. Pak Andi berambut cepak dan terlihat memiliki uban. Pak Andi memiliki kulit yang cukup gelap. Hari itu Pak Andi mengenakan kaos oblong berwarna coklat muda dengan celana pendek selutut berwarna biru.

(51)

tersebut. Pak Andi terlihat sangat bersemangat dalam menjawab pertanyaan, terlihat dari nada suara yang terdengar mengeras pada jawaban-jawaban tertentu sambil menggerakkan tangan dan beberapa kali tertawa oleh leluconnya sendiri. Pak Andi juga mengabaikan suara handphone miliknya yang terdengar berdering dua kali selama wawancara. Pada pertengahan wawancara, Pak Andi meminta izin untuk menyalakan rokoknya. Dikarenakan hari sudah mulai gelap dan terdengar suara tarahim dari masjid, peneliti memutuskan untuk mengakhiri wawancara. Peneliti kembali membuat janji untuk melakukan wawancara kedua. Setelah sepakat kapan akan dilakukan wawancara kedua, peneliti pamit pulang kepada Pak Andi.

b. Wawancara 2

(52)

rumahnya dikarenakan kebun tersebut sedang ramai dan tidak memungkinkan untuk dilakukan wawancara.

Pak Andi mengenakan kaos berkerah berwarna merah dan celana pendek coklat selutut, terlihat agak kotor akibat bercak tanah dari kebun. Wawancara kali ini dilakukan di panglong tepat di samping rumah Pak Andi. Panglong tersebut cukup luas, lebih kurang 7 x 10 meter, terdapat banyak balok kayu dan berbagai alat untuk mengolah kayu tersebut. Tidak ada pintu, hanya ada pagar tinggi yang menutupi ruangan tersebut. Ruangan tersebut cukup nyaman, karena semua benda tersusun rapi disetiap sisi ruangan. Di ujung ruangan terdapat beberapa kursi kayu. Beberapa kursi yang awalnya menghadap pagar disusun Pak Andi berhadapan dan menaruh sebuah meja kecil diantara kami. Pak Andi meminta wawancara segera dimulai.

(53)

c. Wawancara 3

Wawancara ketiga dilakukan di rumah Pak Andi. Peneliti sampai ke rumah Pak Andi ketika ia baru saja pulang dari kebun, sehingga bersamaan memasuki rumahnya. Pak Andi memilih melakukan wawancara di panglong lagi. Seperti sebelumnya, panglong tersebut terlihat rapi. Pak Andi mempersilahkan peneliti duduk ditempat yang sama dengan wawancara kedua, hanya saja pada wawancara ketiga ini menggunakan kursi berwarna merah yang masih sangat terasa aroma catnya. Peneliti dan Pak Andi duduk berhadapan dengan meja kecil diantaranya sebagai tempat alat perekam, rokok, dan mancis milik Pak Andi.

Pak Andi mengenakan kaos tangan panjang berwarna merah dengan kerah berwarna hitam, celana selutut berwarna coklat dengan bercak tanah dari kebun, menggunakan topi hitam dan sepatu boots hijau tua selutut sehingga seluruh bagian kaki Pak Andi tertutup.

(54)

mengganggu, namun Pak Andi tetap dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peneliti dengan baik. Peneliti juga tidak perlu mengulang-ulang pertanyaan, karena ketika Pak Andi meminta menunda pertanyaan, ia masih ingat pertanyaan sebelumnya yang diberikan. Sesekali Pak Andi merubah posisi duduknya, hal ini dikarenakan untuk mengurangi arah asap rokok agar tidak mengenai peneliti. Wawancara berakhir ketika ada tamu Pak Andi yang datang dan secara kebetulan pertanyaan dari peneliti telah selesai. Peneliti berterima kasih dan pamit kepada Pak Andi.

3. Analisa Data

a. Latar Belakang Responden

(55)

sudah menikah, dan anak laki-laki sulungnya menikah dengan seorang wanita Jawa juga.

Pak Andi memiliki kebun di dekat rumahnya yang ia kelola dan menjual hasil kebun tersebut. Pak Andi merupakan ketua perkumpulan seni Kuda Lumping di daerah tempat tinggalnya. Selain itu Pak Andi juga bergabung dengan organisasi Pujakesuma. Pak Andi aktif dalam organisasi tersebut sampai saat ini. Pak Andi juga merupakan orang yang dituakan di daerahnya. Setiap ada acara yang berbau budaya, Pak Andi selalu diundang hadir untuk menjadi salah satu pengisi acara, bahkan terkadang diundang ke daerah lain di seputar Sumatera Utara.

b. Gambaran Spiritualitas Suku Jawa

Pak Andi yang merupakan penganut agama Islam menganggap sosok transenden dalam kehidupannya adalah Allah. Pak Andi berhubungan dengan Allah melalui menjalankan perintah agama. Namun, terkadang Pak Andi tidak menjalankan perintah tersebut sepenuhnya.

“..sesuai dengan syariat yang dianut, cuma ya maaf aja namanya manusia ya labil, kadang-kadang ya bisa dapat lima waktu dikerjakan semua, tapi ya insyaallah yang pastinya dua waktu dapat, maghrib dengan subuh ya

Alhamdulillahdapat”

(W.A.W1; 19-26)

(56)

tradisi tersebut seharusnya dijalankan juga, seperti tradisi saat pernikahan, kehamilan, dan kematian. Pada acara pernikahan selalu dibuat tumpengan dan bubur merah putih sebagai ucapan syukur kepada Sang Pencipta dan untuk mengingat asal manusia, pada saat kehamilan dibuat acara tingkepan sebagai bentuk doa untuk sang anak yang berada dalam kandungan, dan pada saat kematian dibuatlah siur tanah sebagai bentuk amal dari seseorang yang meninggal. Ketiga tradisi tersebut memiliki tujuan untuk mendekatkan manusia dengan Allah. Pak Andi juga menganggap banyak keterkaitan antara tradisi Jawa dengan perintah agama. Hampir setiap tradisi Jawa memiliki makna yang sama dengan perintah agama. Menurutnya segala tradisi Jawa bersumber dari ajaran agamanya, yaitu Islam.

“..dzikir itu sama juga, karena di adat Jawa itu juga dzikir itu kan, artinya

dzikir kan satu yang dipikir gitu ya, dzi itu satu, siji kalau bahasa Jawanya, jadi kita apapun itu mengarah kesana, jadi mungkin kalau diajaran Islam ya yang pernah di pelajarin dulu kan Subhanallah ataupun Lailahaillallah, kalau orang Jawa cukup Allah Allah Allah itu terus..”

(W.A.W1; 31-41)

“..Jawa sama Islam itu gak jauh, cuma anggap ajalah Jawa itu gak punya sertifikat..”

(W.A.W2; 151-153)

(57)

inginkan ketika kita meminta kepada Allah. Oleh karena itu, Pak Andi selalu meminta kepada Allah ketika ia membutuhkan sesuatu.

“Jangan terlalu ngejar kali gitu, tapi tetap diupayakan, maksudnya, kalau umpamanya pun belom tercapai jangan menyerah, saya berpedoman gini, Allah SWT itu malu kalau kita minta terus gak dikasi, tapi kita alangkah sombongnya kalau nggak minta..”

(W.A.W1; 270-277)

Pak Andi merasa hampir semua tujuan hidupnya sudah terpenuhi. Anak-anaknya sudah menempuh pendidikan lebih tinggi darinya yang hanya lulusan SMP. Selama berumah tangga Pak Andi tidak penah kekurangan untuk membiaya kehidupannya dan keluarga. Pak Andi bahkan sudah menikahkan ketiga anaknya dan membuat pesta pernikahan untuk ketiga anaknya. Hanya saja, diusianya yang semakin tua Pak Andi berharap agar tetap diberikan kesehatan dan semangat oleh Allah. Pak Andi berharap dengan selalu sehat dan semangat ia dapat terus mencari rezeki untuk kehidupannya.

“waktu uwak ulang tahun 2012, masih ingat kata-katanya, dia sms bilang “pa selamat ulang tahun, semoga panjang umur”. Saya tolak yang panjang umur, terimakasih saya bilang, tapi jangan doakan panjang umur, cuma cita-cita saya yang ke depan semoga saya diberikan kesehatan, sepanjang umur masih ada, saya mau punya semangat untuk berusaha, yang penting kan kalau rezeki diberkahi pasti cukup”

(W.A.W1; 309-321)

(58)

yaitu beribadah. Untuk misi yang kedua tersebut, Pak Andi merasa belum sepenuhnya mampu melakukan, terlalu banyak godaan untuk melalaikan ibadah tersebut. Namun, Pak Andi mulai mencoba menjalankan misi hidup keduanya tersebut secara perlahan. Pak Andi percaya ketika sudah mencoba untuk melakukan, nantinya akan terbiasa dan ibadahnya akan semakin baik.

“Ada dua sebenarnya, jaga keluarga sama jalankan perintah Allah, kalau udah dipenuhi duanya udah tenang la uwak dipanggil Tuhan”

(W.A.W1; 327-330)

Untuk memenuhi kedua misi tersebut, Pak Andi selalu berusaha dan mencoba selalu menanamkan kedua hal tersebut di dalam hatinya agar tidak terlupakan. Pak Andi juga memenuhi misi hidup tersebut dengan selalu berdoa kepada Allah agar selalu diingatkan dan dipermudah jalannya untuk memenuhi kedua misi tersebut.

“Ya saya selalu berusaha dan menanamkannya dalam hati, selama mau berusaha pasti dimudahkan jalannya sama Tuhan, tapi jangan lupa berdoa, kalau kita berdoa kan pasti selalu dekat dengan Tuhan, kalau udah dekat pasti dibantu sama Tuhan”

(W.A.W1; 354-361)

(59)

“..segalanya harus kita hormati, mau itu manusia, alam, budaya, maupun benda-benda, karena pada dasarnya semua itu sakral, kalau kita gak hormati semua itu gimana hidup kita tetap suci, tetap sakral”

(W.A.W1; 367-373)

Pak Andi selalu berupaya untuk menjaga kesakralan hidupnya. Pak Andi berpendapat bahwa individu harus menjaga kesakralan dalam hidupnya seperti menyayangi kedua orangtuanya. Orangtua merupakan sosok yang paling disayangi setiap manusia di dunia, begitupula kesakralan hidup, setiap manusia harus mampu menjaganya.

Dalam budaya Jawa sendiri ada tradisi-tradisi yang dianggap mampu menjaga kesakralan hidup manusia, namun, Pak Andi tidak melakukan tradisi-tradisi tersebut. Pak Andi menganggap tradisi-tradisi-tradisi-tradisi tersebut lebih tepat dilakukan dengan tujuan lain. Pak Andi lebih memilih usaha-usaha nyata dalam menjaga kesakralan hidupnya seperti menghormati anak yatim dengan cara memberikan santunan kepada anak-anak tersebut.

“..menjaganya ya harus hormat menghormati sama semua yang ada di dunia aja, itu aja nya, kalau umpamanya buat tradisi-tradisi kayak sesajen gitu kan hanya untuk syukuran, kalau sekarang ya lebih bagus undang anak yatim”

(W.A.W1; 398-404)

Pak Andi memandang setiap manusia membutuhkan nilai material. Setiap manusia juga tidak akan pernah puas akan nilai material yang dimilikinya, bahkan ketika manusia tersebut memiliki banyak materi, tetap saja akan merasa kekurangan. Berapapun nilai material yang dimiliki, sekalipun hanya sedikit, harus bersyukur akan nilai material tersebut.

(60)

pegawai perusahaan, namun Pak Andi mengundurkan diri ketika merasa sudah tidak mampu lagi. Pak Andi mencoba menekuni hobi bertaninya yang sekarang sukses, Pak Andi juga dapat membuka tempat kursus bahasa Inggris dari hasil bertani tersebut. Pak Andi percaya semua ini didapatkannya melalui kemampuan yang dimilikinya

Pak Andi juga memiliki prinsip ketika memiliki nilai material yang diperoleh melalui cara yang tidak baik, seperti judi, maka nilai material tersebut tidak boleh digunakan untuk menghidupi keluarga. Nilai material seperti ini biasanya hanya digunakan Pak Andi untuk dirinya sendiri saja.

“Ini saya jujur aja ya, namanya duit manusia ya kan, saya juga pernah ikut -ikutan judi sama lotre-lotre gitu dulu tapi ya hasilnya gak pernah saya kasi ke rumah, paling untuk jajan-jajan saya aja..”

(W.A.W1; 453-458)

Pak Andi mensyukuri nilai material yang dimilikinya melalui berbagi terhadap sesama dan selalu mengeluarkan zakat kepada yang membutuhkan. Dengan melakukan hal-hal tersebut Pak Andi merasa nilai materi yang dimilikinya akan selalu dilipatgandakan oleh Allah.

Pak Andi memandang setiap tradisi Jawa pada dasarnya memiliki nilai kebaikan. Ketika individu menjalankan tradisi Jawa maka ia akan memperoleh nilai kebaikan dari tradisi tersebut. Seperti melakukan tumpengan dalam mengucap syukur, Pak Andi merasa dapat membagi kebahagiannya melalui makanan-makanan yang dibagikan kepada orang-orang yang menghadiri acara tersebut, terlepas dari makna tumpeng yang sebenarnya.

(61)

(W.A.W2; 501-506)

Tolong menolong merupakan nilai kebaikan yang paling utama dari semua tradisi Jawa. Menurut Pak Andi, nilai kebaikan dari tolong menolong itu juga sudah mencakup dari nilai kebaikan lainnya. Dengan melakukan tolong menolong, secara tidak langsung individu juga telah memberikan nilai kebaikan lainnya, seperti memberikan kasih sayang kepada sesama. Secara tidak langsung tradisi Jawa mengajarkan Pak Andi untuk berkomitmen untuk selalu berbuat kebaikan kepada sesamanya.

“..tapi intinya kalau di Jawa itu ya tolong menolong itu, itu yang paling utama, karena gak bisa kita hidup sendiri di dunia ini, udah mencakup semua la ditolong menolong itu, kayak misalnya nilai kasih sayang kan dapat juga dari situ”

(W.A.W2; 520-526)

Pak Andi memiliki idealisme tersendiri dalam menjalankan tradisi Jawa. Pak Andi berkomitmen dalam menjalankan tradisi yang dianggap sesuai dengan kepercayaannya. Seperti tradisi-tradisi saat pernikahan, kelahiran, dan kematian, Pak Andi menganggap tradisi-tradisi yang dilakukan pada momen tersebut memang tepat dilakukan dan sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Ketika ada tradisi-tradisi yang dianggap tidak sesuai maka Pak Andi memilih untuk tidak melaksanakannya. Seperti tradisi memandikan benda pusaka. Pak Andi merasa tradisi tersebut tidak sesuai dengan keyakinan yang dimilikinya. Pak Andi takut ketika melakukan tradisi tersebut akan berdampat tidak baik terhadap keluarganya.

(62)

(W.A.W3; 301-309)

Dalam hidup Pak Andi, ia pernah mengalami suatu peristiwa yang dianggap olehnya sangat tragis. Pak Andi mengalami “kebingungan” dalam hidupnya. Pak Andi merasa bingung terhadap semua yang ada di dalam hidupnya. Hal tersebut berdampak cukup fatal. Pak Andi tidak bisa bekerja, selera makan Pak Andi juga berkurang secara drastis. Hal ini juga berlangsung selama 2 tahun. Pak Andi menyatakan “kebingungan” ini berawal dari mimpi. Pak Andi mimpi sedang berada dalam suatu pertarungan dan ia mengalami kekalahan dalam pertarungan tersebut. Sejak saat itu Andi merasa mengalami “kebingungan” dalam hidupnya. “Kebingungan” yang dialami Pak Andi juga ditandai dengan tidak

ingin melakukan aktivitas apapun.

Pak Andi mencoba mengatasi “kebingungan” ini dengan berobat ke “orang pintar”. Karena “kebingungan” ini terjadi dua kali dalam hidup Pak Andi, ia mendatangi dua “orang pintar” berbeda yang dianggapnya dapat menyembuhkan

kebingungan yang ia alami. Setelah kesembuhan pertama terjadi, tidak beberapa lama Pak Andi mengalami “kebingungan” untuk kedua kalinya. Pertama kali terjadi pada tahun 1993, Pak Andi sembuh pada awal tahun 1995 dan sakit kembali pada akhir tahun 1995.

Penyebab dari “kebingungan” yang dialami oleh Pak Andi dinyatakan “orang pintar” karena ada seseorang yang iri terhadap kesuksesan dagang Pak

Gambar

Tabel 1. Tempat dan Waktu Wawancara
Tabel 2. Gambaran Spiritualitas Suku Jawa pada Responden 1
Tabel 3. Gambaran Spiritualitas Suku Jawa pada Responden 2
Tabel 4. Gambaran Spiritualitas Suku Jawa pada Responden 3
+3

Referensi

Dokumen terkait

Ketika gangguan hubung singkat ke tanah muncul di dekat titik netral generator sinkron, tegangan harmonisa ketiga akan naik dan bernilai sama dengan total harmonisa ketiga

Menjadi seorang single parent bagi ketiga anaknya bukanlah hal yang mudah untuk dijalani oleh S, apalagi ketika ditinggal oleh suaminya, S harus banting tulang.. untuk

Seseorang akan mudah untuk melakukan konformitas ketika kelompok mayoritas adalah orang-orang yang disukai atau pada orang- orang yang dekat dan lekat dengan remaja..

Ketika orang percaya dipenuhi Roh Kudus, mereka tidak lagi focus padahal -hal yang lahiriah, mereka pentingkan Tuhan, tidak menganggap harga diri adalah sesuatu yang mahal..

Kunci dari keberhasilan mengkombinasikan bekerja dan menyusui adalah percaya diri, ibu harus percaya diri bahwa produksi ASInya cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi meskipun

Oma merasa Tuhan Yesus itu baik, walaupun sekarang Oma disini gak punya keluarga dekat tapi Oma masih diberi kesempatan sama Tuhan Yesus untuk bisa bertahan hidup

Muhammadiyah bergelayut antara memegang praktik (mitos) tersebut dan tetap percaya akan takdir tuhan. Ketiga, pemaknaan literal terhadap teks “jangan tidur di atas kasur”

Oma merasa Tuhan Yesus itu baik, walaupun sekarang Oma disini gak punya keluarga dekat tapi Oma masih diberi kesempatan sama Tuhan Yesus untuk bisa bertahan hidup di