• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan model matematik proses dekafeinasi biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan model matematik proses dekafeinasi biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

BIJI KOPI ROBUSTA DALAM REAKTOR KOLOM TUNGGAL

SUKRISNO WIDYOTOMO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Pengembangan Model Matematik Proses Dekafeinasi Biji Kopi Robusta Dalam Reaktor Kolom Tunggal adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 19 Agustus 2011

(3)

decaffeination process in a single column reactor. Under the supervision of HADI K. PURWADARIA, ATJENG M SYARIEF, and SUPRIHATIN

Consumers drink coffee not as nutrition source, but as refreshment drink. For coffee consumers who have high tolerance for caffeine, coffee may warm up and refresh their bodies. However high caffeine content in coffee beans may cause health problems to consumers who are susceptible to caffeine. One of the efforts for coffee market expantion is product diversification to decaffeinated coffee. The general objective of this research was to optimize decaffeination process of robusta coffee in single column reactor with leaching method. The specific objectives of this research were to study process characteristic of Robusta coffee decaffeination in single column reactor using acetic acid as solvent, to develop mathematical model for predicting decaffeination time with leaching method, and to optimize process decaffeination of robusta coffee using developed model.

Temperature (T) and concentration (c) of solvents were both variables analysed in decaffeination process. Mathematical model validation was checked by comparing prediction time (t-predict) versus observation time (t-obsr). Mathematical model was valid if

the result showed that determination coefficient value (R2) > 0.75.

Coffee decaffeination was processed using vertical single column reactor. A simple mathematic model for caffeine kinetic description during the extraction process (leaching) of coffee bean was developed. A non-steady diffusion equation coupled with a macroscopic mass transfer equation for solvent was developed and then solved analytically. The kinetic of caffeine extraction from coffee bean was expressed by:

 solvent temperature (K), and cAS was caffeine content at-t (%).

In the first step of decaffeination process, coffee beans was steamed during 1.5 hours using water vapour, and continued with leaching process using acetic acid, effluent of fermented cocoa beans, and tertiary solution of fermented cocoa pulp as solvents. Linier regression analysis showed that t-obsr = 0.8914. t-predict + 0.5045 with R2 0.9326 for acetic

acid, t-obsr = 0.771.t-predict + 2.8137 with R2 0.9556 for effluent of fermented cocoa beans,

and t-obsr = 0.8825.t-predict + 2.8354 with R2 0.7727 tertiary solution of fermented cocoa pulp

as solvents. Response Surface Methodology (RSM) showed that optimum condition for coffee beans decaffeination was 0.4976%/hours decaffeination rate and 4.99 hours decaffeination time with 100oC solvent temperature and 69% solvent concentration using acetic acid as solvent; 0.3426%/hours decaffeination rate and 5.68 hours decaffeination time with 100oC solvent temperature and 55% solvent concentration using effluent of fermented cocoa beans as solvents; and 0.3016%/hours decaffeination rate and 6.57 hours decaffeination time with 100oC solvent temperature and 70% solvent concentration using tertiary solution of fermented cocoa pulp as solvent.

The developed mathematical model can be used in designing single column reactor for coffee decaffeination process, to predict decaffeination time and rate, and decaffeination process in optimum condition using acetic acid, effluent of fermented cocoa beans, and tertiary solution of fermented cocoa pulp.

Keywords: robusta coffee, mathematical model, decaffeination process, single column

(4)

ABSTRAK

SUKRISNO WIDYOTOMO. Pengembangan Model Matematik Proses Dekafeinasi Biji Kopi Robusta Dalam Reaktor Kolom Tunggal, di bawah bimbingan HADI K. PURWADARIA, ATJENG M SYARIEF, dan SUPRIHATIN

Kopi diminum oleh konsumen bukan sebagai sumber nutrisi melainkan sebagai minuman penyegar. Untuk penikmat kopi yang memiliki toleransi tinggi, kafein akan membuat tubuh menjadi lebih segar dan hangat. Tingginya kadar kafein di dalam biji kopi diduga dapat menyebabkan keluhan terutama bagi penikmat kopi yang memiliki toleransi rendah terhadap kafein. Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan optimasi proses dekafeinasi biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal dengan metode pengurasan (leaching). Tujuan khusus penelitian adalah karakterisasi proses dekafeinasi biji kopi robusta dengan pelarut asam asetat dalam reaktor kolom tunggal, pengembangan model matematik pendugaan waktu proses dekafeinasi biji kopi robusta dengan metode pengurasan (leaching), optimasi laju pelarutan kafein biji kopi robusta dengan menggunakan model matematik yang dikembangkan.

Suhu (T) dan konsentrasi pelarut (c) adalah variabel yang diteliti dalam proses dekafeinasi. Validasi dilakukan dengan membandingkan data waktu proses prediksi (t-prediksi) yang diperoleh

dari hasil model matematik yang dibangun dengan data waktu proses observasi (t-observasi) yang

diperoleh dari hasil percobaan. Model simulasi dikatakan valid apabila diperoleh nilai koefisien determinasi (R2)>0.75.

Proses dekafeinasi biji kopi dilakukan dalam reaktor kolom tunggal berbentuk silinder tegak. Model matematik untuk menggambarkan kinetika kafein selama proses ekstraksi (pengurasan) dalam biji kopi telah dikembangkan. Persamaan difusi pada kondisi tak mantap (non

steady) yang berkaitan dengan persamaan perpindahan massa makroskopik untuk pelarut telah

dikembangkan dan diselesaikan secara analitis. Kinetika ekstraksi kafein dari dalam biji kopi dapat diekspresikan dengan persamaan berikut :



Dalam hal ini d adalah diameter biji kopi (m), c adalah konsentrasi pelarut (%), T adalah suhu pelarut (K), dan cAS adalah kadar kafein yang pada kondisi-t (%).

Pada tahap awal dekafeinasi dilakukan proses pengukusan biji kopi selama 1.5 jam dengan media uap air, dan dilanjutkan dengan proses pelarutan kafein dengan senyawa asam asetat teknis, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao. Garis linier regresi yang terbentuk dari validasi model matematik dengan pelarut asam asetat, limbah fermentasi biji kakao, dan pelarut tersier pulpa kakao masing-masing adalah t-obsr = 0.8914. t-pred + 0.5045 dengan R

0.7727. Hasil analisis RSM menunjukkan bahwa kondisi optimum proses dekafeinasi dengan pelarut asam asetat diperoleh pada suhu dan konsentrasi pelarut masing-masing 100oC dan 69% dengan laju dan waktu pelarutan kafein masing-masing 0.4976%/jam dan 4.99 jam; dengan limbah cair fermentasi biji kakao pada suhu dan konsentrasi pelarut masing-masing 100oC dan 55% dengan laju dan waktu pelarutan kafein masing-masing 0.3426%/jam, dan 5.68 jam, dan dengan pelarut tersier pada suhu dan konsentrasi pelarut masing-masing 100oC dan 70% dengan laju dan waktu pelarutan kafein masing-masing 0.3016%/jam dan 6.57 jam.

Model matematika yang terbentuk dapat digunakan dalam perancangan reaktor kolom tunggal untuk proses dekafeinasi, memprediksi waktu dan laju proses dekafeinasi biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal, serta melakukan proses produksi kopi rendah kafein pada kondisi optimum proses yang telah ditetapkan dengan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao.

(5)
(6)

yang terdapat di dalam pelarut tersier hasil fermentasi pulpa kakao diprediksi didominasi oleh senyawa etanol, dan asam asetat. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan pemanfaatan limbah cair fermentasi biji kakao dan pulpa kakao sebagai pelarut kafein dalam biji kopi antara lain meningkatkan nilai ekonomi limbah cair dan pulpa, meningkatkan pendapatan petani kopi dan kakao, produk yang dihasilkan tidak memberikan dampak negatif bagi kesehatan manusia, dan menekan serendah mungkin dampak negatif limbah pengolahan kakao ke lingkungan.

Pada penelitian ini dilakukan pengembangan model matematik proses dekafeinasi biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal. Tujuan spesifik adalah sebagai berikut :

1. Karakterisasi proses dekafeinasi biji kopi robusta dengan pelarut asam asetat dalam reaktor kolom tunggal

2. Pengembangan model matematik pendugaan waktu proses dekafeinasi biji kopi robusta dengan metode pencucian (leaching)

3. Optimasi laju pelarutan kafein biji kopi robusta dengan menggunakan model matematik yang dikembangkan

(7)

menggambarkan kinetika kafein selama proses ekstraksi (pengurasan) dalam biji kopi telah dikembangkan. Persamaan difusi pada kondisi tak mantap (non steady) yang berkaitan dengan persamaan perpindahan massa makroskopik untuk pelarut telah dikembangkan dan diselesaikan secara analitis. Kinetika ekstraksi kafein dari dalam biji kopi dapat diekspresikan dengan persamaan berikut :

t

Difusivitas massa internal kafein dapat diprediksi dari model untuk digunakan dengan menggunakan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persamaan yang terbentuk mampu menerangkan kinetika proses ekstraksi kafein dari biji kopi. Nilai difusivitas kafein (Dk) biji kopi dengan pelarut asam asetat

Model matematik untuk memprediksi waktu pelarutan (t-0,3) senyawa kafein dari kondisi awal cA0 sampai 0.3% dalam biji kopi adalah,



(8)

kafein 0.3% bk diperoleh setelah proses pelarutan berlangsung selama 4 jam jika menggunakan konsentrasi pelarut 100%, dan 7 jam jika menggunakan konsentrasi pelarut 10%.

Validasi model yang terbentuk dengan menggunakan senyawa asam asetat menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) dari grafik nilai koefisien laju pelarutan observasi terhadap prediksi dan waktu dekafeinasi observasi terhadap prediksi masing-masing sebesar 0.9328 dan 0.9326.

Validasi model yang dilakukan dengan metode test-run berdasarkan matrik perlakuan RSM dengan menggunakan pelarut limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) dari grafik waktu dekafeinasi observasi terhadap prediksi masing-masing sebesar 0.9556 dan 0.7727.

Laju pelarutan kafein dan waktu observasi optimum dengan pelarut asam asetat sebesar 0.497%/jam dan 4.99 jam diperoleh pada suhu dan konsentrasi pelarut masing-masing 100oC dan 69%. Pada kondisi tersebut diperoleh seduhan kopi rendah kafein dengan nilai aroma, flavor, body dan bitterness masing-masing sebesar 3.2; 2.7; 2.8; dan 1.6; sedangkan nilai finish appreciation (FA) sebesar 2.8. Laju pelarutan kafein optimum sebesar 0.3426%/jam diperoleh pada waktu 5.68 jam proses dekafeinasi dengan menggunakan pelarut limbah cair fermentasi biji kakao pada suhu 100oC dan konsentrasi pelarut 55%. Pada kondisi tersebut diperoleh seduhan kopi rendah kafein dengan nilai aroma, flavor, body dan

bitterness masing-masing sebesar 3; 2.4; 2.5; dan 1.8; serta nilai finish

appreciation (FA) sebesar 2.7. Dengan menggunakan pelarut tersier pulpa kakao,

laju pelarutan kafein optimum diperoleh sebesar 0.3016%/jam pada waktu 6.57 jam proses, suhu 100oC dan konsentrasi pelarut 70%. Pada kondisi tersebut diperoleh seduhan kopi rendah kafein dengan nilai aroma, flavor, body dan

bitterness masing-masing sebesar 3.1; 2.5; 2.7; dan 1.5; serta nilai finish

appreciation (FA) sebesar 2.6.

(9)

dengan laju pelarutan kafein 0.497%/jam pada suhu dan konsentrasi pelarut masing-masing 100oC dan 69%, dan lama proses 4.99 jam.

Saran yang dapat disampaikan untuk pengembangan lanjut penelitian dekafeinasi biji kopi dalam reaktor kolom tunggal adalah :

1. Penerapan model matematika disarankan untuk disain proses dekafeinasi kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal menggunakan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao, dan larutan tersier hasil fermentasi pulpa kakao.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang mempelajari pengaruh tingkat pengembangan volume biji kopi pada berbagai tekanan pengukusan terhadap penurunan kadar kafein dan cita rasa mutu kopi rendah kafein yang dihasilkan. 3. Kajian peningkatan skala proses produksi limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao perlu dilakukan agar diperoleh kondisi proses yang spesifik dengan mutu yang konsisten.

(10)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(11)

BIJI KOPI ROBUSTA DALAM REAKTOR KOLOM TUNGGAL

SUKRISNO WIDYOTOMO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Judul Disertasi : Pengembangan Model Matematik Proses Dekafeinasi Biji Kopi Robusta Dalam Reaktor Kolom Tunggal

Nama : Sukrisno Widyotomo NIM : F161050021

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi K. Purwadaria, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. Atjeng M. Syarief, M.SAE Prof. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Eng

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Pascasarjana Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Keteknikan Pertanian

Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(13)

Penguji Luar Komisi

I. Pada Ujian Tertutup

1. Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB 2. Dr. Leopold Oscar Nelwan, S.TP, M.Si

Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB

II. Pada Ujian Terbuka

1. Dr. Ir. Astu Unadi, M.Eng

Kepala Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Badan Litbang Pertanian 2. Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Agr

(14)

PRAKATA

Alhamdulillahirobbil’aalamiin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah proses dekafeinasi kopi, dengan judul Pengembangan Model Matematik Proses Dekafeinasi Biji Kopi Robusta Dalam Reaktor Kolom Tunggal.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia yang telah memberi ijin untuk menunaikan tugas belajar program S3 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

2. Prof. Dr. Ir. Hadi K. Purwadaria, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing disertasi dan telah memberikan bimbingan untuk menyelesaikan disertasi.

3. Prof. Dr. Ir. Atjeng M. Syarief, M.SAE selaku anggota komisi pembimbing disertasi dan telah memberikan bimbingan untuk menyelesaikan disertasi.

4. Prof. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl-Eng selaku anggota komisi pembimbing disertasi dan telah memberikan bimbingan untuk menyelesaikan disertasi.

5. Dr. Ir. Astu Unadi, M.Eng; Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc; Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Agr dan Dr. Leopold Oscar Nelwan, S.TP, M.Si selaku penguji luar komisi atas kesempatan waktu dan saran-saran yang telah diberikan untuk perbaikan disertasi 6. Keluargaku tercinta, istriku Kristi Puji Widayanti, S.TP dan ketiga putra-putriku

Amartia Safira Nur Shabrina, Anindya Nabila Nur Haniya dan Adyatma Farhanditya Nur Hafizhan Widyotomo atas doa, dorongan semangat dan kasih sayangnya selama menempuh studi S3.

7. Orang tua dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya

8. Keluarga besar Kelompok Peneliti Pascapanen Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia

9. Rekan-rekan semua yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu atas semua bantuannya.

Penulis menyadari bahwa proses masih panjang, dan disertasi ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(15)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Juli 1970 sebagai anak kedua dari pasangan Sumarno dan Suryati. Penulis menikah dengan Kristi Puji Widayanti, S.TP dan dikaruniai 3 orang anak, yaitu Amartia Safira Nur Shabrina, Anindya Nabila Nur Haniya dan Adyatma Farhanditya Nur Hafizhan Widyotomo.

Pendidikan sarjana ditempuh di Progam Studi Teknik Pertanian, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, lulus pada tahun 1996. Pada tahun 2000 mendapatkan kesempatan menempuh program magister pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian, Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa ARMP-II, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Republik Indonesia tahun anggaran 2000-2002. Program magister diselesaikan di bulan September 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2005.

Penulis bekerja sebagai staf Peneliti di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur sejak tahun 1997 dengan jabatan saat ini sebagai Peneliti Madya. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah rekayasa proses dan alat mesin pengolahan kopi dan kakao.

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kopi diminum oleh konsumen bukan sebagai sumber nutrisi melainkan sebagai minuman penyegar. Untuk penikmat kopi yang memiliki toleransi tinggi, kafein akan membuat tubuh menjadi lebih segar dan hangat. Tingginya kadar kafein di dalam biji kopi diduga dapat menyebabkan keluhan terutama bagi penikmat kopi yang memiliki toleransi rendah terhadap kafein. Salah satu upaya peningkatan nilai tambah kopi dan konsumsi domestik kopi Indonesia adalah melalui diversifikasi produk biji kopi menjadi kopi rendah kafein.

Dekafeinasi merupakan suatu proses pengurangan kandungan kafein di dalam suatu bahan pertanian. Penelitian yang berkaitan dengan proses dekafeinasi biji kopi telah banyak dilakukan (Katz, 1997; Sivertz & Desroiser, 1979; Cahyono, 1987; Ratna & Anisah, 2000; Rusmantri, 2002). Selama ini teknologi proses dekafeinasi bersumber dari teknologi impor baik dari aspek hardware maupun software-nya. Aturan paten menyebabkan metode dan karakteristik proses, serta mutu produk akhir yang dihasilkan dari proses dekafeinasi dengan pelarut organik seperti etil asetat tidak dapat dipublikasikan untuk umum. Hal tersebut menyebabkan harga kopi rendah kafein di dalam negeri menjadi sangat mahal dan kemungkinan berdampak pada menurunnya minat untuk minum kopi.

(17)

kafein dengan cita rasa seduhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan pelarut air pada suhu 100oC (Widyotomo et al., 2009).

Salah satu tahapan penting dalam proses pengolahan primer kakao sebagai penghasil bahan baku dengan standar mutu yang telah ditetapkan untuk diolah menjadi makanan dan minuman cokelat adalah fermentasi. Fermentasi bertujuan untuk membentuk cita rasa khas cokelat dan mengurangi rasa pahit serta sepat yang ada di dalam biji kakao. Lendir atau pulpa kakao mengandung senyawa gula antara 8-14%, dan air 80-90% (Wood & Lass, 1985). Selama proses fermentasi biji kakao terbentuk senyawa asam asetat. Senyawa asam asetat sampai pada batas tertentu diperlukan dalam proses pembentukan cita rasa cokelat. Jumlah asam asetat yang berlebihan selama proses fermentasi akan menimbulkan cita rasa asing yang tidak disukai konsumen (Biehl, 1989).

Limbah cair fermentasi biji kakao merupakan salah satu alternatif sumber pelarut organik yang dapat digunakan dalam proses dekafeinasi biji kopi. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa limbah cair yang dihasilkan selama proses fermentasi biji kakao dalam peti kayu berkapasitas 40 kg/batch mencapai 15% (b/b). Fermentasi biji kakao dalam peti fermentasi berkapasitas 625 kg/batch (shallow boxess) selama 5 hari dengan pembalikan dilakukan satu kali setelah 48 jam proses berlangsung akan menghasilkan limbah cair sebanyak 20% (Mulato, 2001).

Ketebalan lapisan pulpa sangat berperan pada pembentukan senyawa asam selama proses fermentasi berlangsung (Lopez & Pasos, 1984). Pengurangan pulpa diperlukan jika biji diselimuti lebih dari 0.6 ml pulpa (Meyer et al., 1989; Biehl, 1989). Penelitian teknik prapengolahan biji kakao dengan metode pengurangan pulpa secara mekanis untuk mempersingat waktu fermentasi dan menurunkan tingkat kemasaman biji telah dilakukan oleh Atmawinata et al. (1998). Pemerasan pulpa secara mekanis memberikan beberapa keuntungan antara lain proses pengurangan lendir dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, dan pulpa hasil pemerasan terkonsentrasi pada satu tempat sehingga memudahkan dalam penanganan proses selanjutnya.

(18)

3

yang terdapat di dalam pelarut tersier hasil fermentasi pulpa kakao diprediksi didominasi oleh senyawa etanol, dan asam asetat (Purwadaria et al, 2007; 2008). Kadar etanol dan asam asetat yang dihasilkan dari proses fermentasi pulpa kakao masing-masing 9.1-13.5% (v/v), dan 2.6-7.8% (v/v) tergantung pada suhu, aerasi dan waktu fermentasi (Pairunan, 2009; Haumasse, 2009; Asep, 2008). Aplikasi metode fermentasi pulpa kakao untuk menghasilkan pelarut tersier skala laboratorium masih terkendala jika dilakukan pada skala praktek di lapangan karena diperlukan scalling up peralatan dan proses serta uji kelayakan yang lebih mendalam. Pengembangan proses fermentasi pulpa kakao menjadi larutan tersier pulpa kakao harus terus dilakukan sampai diperoleh tahapan yang sederhana sehingga dapat diterapkan dengan mudah pada skala praktek di lapangan (Widyotomo et al., 2011; Widyotomo, 2008).

Limbah cair fermentasi biji kakao dan larutan tersier pulpa kakao didominasi oleh senyawa organik yang dapat digunakan sebagai pelarut kafein dari biji kopi. Dampak positif yang diperoleh antara lain meningkatkan nilai ekonomi pulpa kakao, meningkatkan pendapatan petani kopi dan kakao, produk yang dihasilkan tidak memberikan dampak negatif bagi kesehatan manusia, dan menekan serendah mungkin dampak negatif limbah pengolahan kakao ke lingkungan.

Dekafeinasi kopi merupakan proses ekstraksi padat-cair, dimana kafein berpindah dari matrik padatan biji kopi ke pelarut. Representasi matematika dari proses tersebut masih sangat terbatas untuk memperkirakan difusi kafein dari dalam biji kopi dengan menggunakan solusi analitik hukum Fick kedua pada koordinat bundar dan dengan asumsi kondisi batas yang tetap (Bichsel, 1979; Hulbert et al., 1998; Spiro & Selwood, 1984; Udaya-Sankar et al., 1983). Kajian model matematik kinetika dekafeinasi dari dalam biji kopi dengan metode perebusan alami dan konveksi paksa menggunakan pelarut air pada suhu 90oC telah dilakukan oleh Espinoza-Perez et al. (2007).

(19)

sangat diperlukan metode penentuan waktu pelarutan yang tepat agar proses dapat berlangsung lebih efisien. Pemanfaatan limbah cair fermentasi biji kakao, dan larutan tersier pulpa kakao sebagai pelarut kafein belum pernah dilakukan. Selain itu, penggunaan limbah cair pengolahan kakao tersebut akan berdampak positif pada sistem pengelolaan kakao nihil limbah (zero waste). Sinergi yang terjalin dengan baik antara komoditas kopi dan kakao akan memberikan nilai tambah, dan daya saing produk kedua komoditas tersebut yang lebih besar di pasaran.

Penelitian ini akan membahas pengembangan model matematik untuk memprediksi waktu dan laju pelarutan kafein dari dalam biji kopi dengan menggunakan reaktor kolom tunggal. Kajian proses dekafeinasi biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal tersebut ditekanan pada penggunaan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan larutan tersier pulpa kakao. Proses dekafeinasi berlangsung dalam dua tahapan utama, yaitu pengembangan volume biji dengan metode pengukusan (steaming) dan pelarutan kafein dari dalam biji kopi dengan metode pengurasan (leaching).

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan optimasi proses dekafeinasi biji kopi robusta dalam reaktor kolom tunggal berdasarkan model pelarutan kafein dengan metode pengurasan (leaching).

Tujuan spesifik dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Karakterisasi proses dekafeinasi biji kopi robusta dengan pelarut asam asetat dalam reaktor kolom tunggal

2. Pengembangan model matematik pendugaan waktu proses dekafeinasi biji kopi robusta dengan metode pengurasan (leaching)

(20)

5

Manfaat Penelitian

(21)

Produksi, Harga dan Konsumsi Kopi Dunia

Kopi merupakan salah satu minuman penyegar yang sangat populer di dunia yang dikonsumsi bukan sebagai sumber nutrisi tetapi terkait dengan cita rasa dan aroma yang khas. Aspek mutu yang berhubungan dengan sifat fisik, kimiawi, kontaminasi dan kebersihan biji kopi harus diawasi secara ketat karena berpengaruh pada cita rasa, dan kesehatan konsumen.

Sebagai salah satu produsen kopi terbesar di dunia, Brasil memiliki peranan yang cukup dominan dalam perdagangan kopi sehingga sampai batas tertentu memiliki peranan yang signifikan dalam penentuan harga kopi dunia (Susila, 1999). Pada tahun 2008, produksi kopi Brasil mencapai 2315 ribu ton yang diikuti oleh Vietnam, Colombia, Indonesia dan India masing-masing sebesar 1018 ribu ton, 769 ribu ton, 361 ribu ton dan 277 ribu ton (Gambar 1).

Perdagangan dan perkembangan industri kopi dunia, sedang dan akan terus mengalami perubahan sebagai akibat liberalisasi perdagangan yang berpangkal dari

General Agreement on Tariff and Trade (GATT) Putaran Uruguay yang

ditandatangani pada tanggal 15 Desember 1993. Secara garis besar perubahan produksi atau stok akan segera diikuti oleh perubahan harga. Perubahan harga umumnya tidak secara cepat dapat diikuti dan direspon dengan baik oleh perubahan produksi atau konsumsi.

(22)

8

masing-masing sebesar 86.6 US cent/lb dan 106 US cent/lb, sedangkan harga terrendah masing-masing sebesar 27.5 US cent/lb dan 65.3 US cent/lb (Gambar 2).

!

!

!

"

# $ ! "

Gambar 1. Negara utama produsen kopi di dunia (AEKI, 2010)

%% %%% & ' %

(

)

*

+

,

-. /

Gambar 2. Harga kopi Arabika dan Robusta di pasar New York (ICO, 2010)

(23)

'

Gambar 3. Konsumsi dan produksi kopi dunia (AEKI, 2010)

Produksi, Harga dan Konsumsi Kopi Indonesia

Kopi merupakan salah satu penghasil sumber devisa Indonesia, dan memegang peranan penting dalam pengembangan industri perkebunan. Dalam kurun waktu 20 tahun luas areal dan produksi perkebunan kopi di Indonesia, khususnya perkebunan kopi rakyat mengalami perkembangan yang sangat signifikan (Gambar 4). Produksi kopi memiliki keterkaitan yang kuat dengan jumlah luas tanaman menghasilkan (Susila, 1999). Pada tahun 1980, luas areal dan produksi perkebunan kopi rakyat masing-masing sebesar 663 juta hektar dan 276 juta ton, dan pada tahun 2009 terjadi peningkatan luas areal dan produksi yang cukup signifikan masing-masing sebesar 1241 juta hektar dan 676 juta ton (Ditjendbun, 2010).

1 ! !

(24)

10

Perkembangan luas areal dan produksi juga terjadi pada perkebunan negara maupun swasta nasional, namun dengan laju pertumbuhan yang masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan perkembangan perkebunan kopi rakyat (Gambar 4). Peningkatan luas areal terjadi pada tahun 1998 sebesar 85 ribu hektar, namun luasan tersebut kembali menurun pada tahun-tahun berikutnya sampai pada kisaran luas lahan 50-60 ribu hektar sampai dengan tahun 2009.

Pada tahun 1975, ekspor kopi Indonesia sebesar 128 401 ton dengan nilai USD 777.53 per ton biji kopi. Walaupun terjadi peningkatan jumlah ekspor yang terjadi pada tahun 2005 sebesar 445 829 ton, namun nilai jual biji kopi pada tahun tersebut sebesar USD 1130.11 per ton biji kopi masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai jual biji kopi pada tahun 1977 dengan nilai USD 3737.02 per ton biji kopi (Ditjenbun, 2010). Zuhri (2010) melaporkan bahwa pada tahun 2009, volume ekspor kopi Indonesia mencapai 410 000 ton dengan nilai US$ 777 juta, lebih rendah jika dibandingkan dengan volume ekspor tahun 2008 yang mencapai 469 000 ton dengan nilai US$ 991 juta. Lebih lanjut Yusianto et al. (2005) melaporkan bahwa ekspor kopi Arabika Indonesia mencapai 28 ribu ton/tahun atau hanya 8.28% dari total ekspor kopi Indonesia.

Delapan puluh dua persen luasan areal perkebunan kopi Indonesia didominasi oleh kopi jenis Robusta, sedangkan sisanya sebesar 18% berupa kopi Arabika. AEKI (2010) melaporkan bahwa pada tahun 2003-2007 total ekspor kopi Arabika Indonesia mencapai 255 ribu ton dengan nilai US$ 553 juta, dan 1177 ribu ton dengan nilai US$ 1145 juta (Gambar 5). Harga kopi Robusta di pasaran domestik maupun internasional lebih murah jika dibandingkan dengan kopi Arabika (Gambar 6), kendati volume Arabika di pasar dunia mencapai 70%, sedangkan kopi Robusta hanya 30%. Berbeda dengan kondisi di Indonesia, produksi kopi Robusta mencapai 80%, sedangkan Arabika hanya 20% dari total produksi kopi (Barani, 2009).

(25)

bermutu grade VI yang mulai dilarang diperdagangkan di pasar internasional berdasarkan resolusi ICO (International Coffee Organization) No.147.

& &

*+2 *+2

/ .

& '

Gambar 5. Volume dan nilai ekspor kopi Indonesia (AEKI,2010)

( ) ! !

& '

.

/

!

-)

/

/

!

-)

. /

Gambar 6. Harga kopi Arabika dan Robusta di pasar domestik

(26)

12

tahun. Sedangkan tingkat konsumsi kopi penduduk Jepang 5 kg/jiwa pertahun, dan Brazil 4-5 kg/jiwa per tahun. Negara lain dengan tingkat konsumsi 1-3.5 kg per kapita per tahun antara lain Eropa Timur, Kanada, Inggris, dan Jepang (USDA, 2000). Dewasa ini kalangan pengusaha kopi memperkirakan tingkat konsumsi kopi di Indonesia telah mencapai 800 gram/kapita/tahun, dan dalam kurun waktu 20 tahun ke depan diperkirakan konsumsi kopi telah mencapai 1300 gram/kapita/tahun (Indonesian Business Today, 2010).

Peningkatan luas areal dan produksi kopi Indonesia yang didominasi oleh kopi Robusta dari perkebunan rakyat serta peluang pasar dunia merupakan potensi besar dalam peningkatan kesejahteraan petani Indonesia. Resistensi produk terhadap fluktuasi harga pasar kopi internasional perlu ditingkatkan dengan pengembangan diversifikasi produk kopi yang memberikan bernilai tambah. Bahan baku yang tersedia cukup dan relatif murah serta semakin banyaknya produk impor di pasaran domestik, upaya diversifikasi kopi perlu segera dilakukan dengan memanfaatkan teknologi dan sumber daya lokal agar memiliki harga produk yang kompetitif dan bernilai tambah. Jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah, harga produk yang lebih terjangkau pada level menengah ke bawah, semakin meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara ke daerah wisata Indonesia, dan segmen pasar penikmat kopi yang rentan terhadap kafein belum dapat menikmati kopi karena alasan kesehatan merupakan potensi serapan pasar produk kopi di dalam negeri.

Kopi Rendah Kafein

Paradigma baru penikmat dan peminum kopi adalah sebagai minuman yang dapat memberikan rasa nikmat, segar dan menyehatkan. Kesadaran manusia terhadap kesehatan berdampak pada penurunan minat untuk mengkonsumsi kopi. Kopi mengandung kafein yang diduga mempunyai efek yang kurang baik bagi kesehatan, terutama bagi penikmat kopi yang rentan terhadap kafein (Ensminger

et al., 1995; Dua, 2000; Wahyuni, 2005). Bagi penikmat kopi yang memiliki

(27)

Kopi bubuk dapat dikatakan rendah kafein jika memiliki kadar kafein antara 0.1-0.3% (Charley & Weaver, 1998). Ditjenbun (2010) melaporkan bahwa pada tahun 2008 volume ekspor Indonesia untuk biji kopi rendah kafein, dan bubuk kopi rendah kafein masing-masing sebesar 33 ton dan 185 ton dengan nilai US$ 99 ribu dan US$ 652 ribu. Sedangkan volume dan nilai impor produk yang sama masing-masing sebesar 4 ton biji kopi rendah kafein bernilai US$ 16 ribu, dan 19 ton bubuk kopi rendah kafein bernilai US$ 46 ribu (Gambar 7).

*+2 *+2

$ ! !

3 , 4 0 ! 0 ! , 4

Gambar 7. Nilai ekspor-impor kopi rendah kafein tahun 2008 (Ditjendbun, 2010)

Salah satu upaya strategi untuk mengurangi ketergantungan pasar komoditas kopi primer terhadap rendahnya harga di pasaran luar negeri adalah perluasan pasar melalui pendekatan pengembangan diversifikasi produknya. Pengembangan diversifikasi produk kopi dinilai akan memberikan insentif ekonomis bagi negara antara lain peningkatan nilai tambah yang lebih besar pada produk-produk pertanian, peluang lapangan kerja di pedesaan, pengembangan industri terkait dan peningkatan konsumsi per kapita di dalam negeri yang saat ini masih rendah.

Nilai tambah dapat diperoleh dengan cara mengkonversi biji kopi asalan yang semula bernilai Rp. 9 000,- - Rp. 12 000,-/kg menjadi produk kopi rendah kafein. Kopi rendah kafein impor tersedia di Indonesia, tetapi harganya tidak terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah. Selama ini teknologi proses dekafeinasi bersumber dari teknologi impor baik dari aspek hardware dan

software-nya. Hal tersebut menyebabkan harga kopi rendah kafein di dalam negeri

(28)

14

kopi. Hasil survey di pasaran lokal menunjukkan bahwa harga 100 g kopi instan rendah kafein sebesar Rp. 76 500,-.

Daya saing yang lebih tinggi akan dimiliki oleh kopi rendah kafein produk lokal jika dibandingkan dengan produk impor karena bahan baku tersedia cukup banyak dan murah, proses produksi semaksimal mungkin memanfaatkan sumber daya lokal, nilai tambah lain dapat diperoleh berupa senyawa kafein, dan memperluas pasar dengan memberikan alternatif bagi peminum kopi yang rentan terhadap kafein.

Dekafeinasi Kopi

Biji kopi atau sering disebut sebagai kopi beras (green beans) dalam dunia perdagangan merupakan bentuk akhir dari proses pengolahan primer (Clarke & Macrae, 1989). Kafein (C8H10N4O2) atau 1.3.7-trimetil-2.6 dioksipurin merupakan

salah satu senyawa alkaloid yang sangat penting yang terdapat di dalam biji kopi. Kafein yang terkandung di dalam biji kopi kering Robusta dan Arabika masing-masing sebesar 1.16-3.27% bobot kering, dan 0.58-1.7% bobot kering. Sedangkan kafein yang terkandung di dalam biji kopi sangrai sebesar 2% bobot kering untuk kopi Robusta, dan 1% bobot kering untuk kopi Arabika (Clifford, 1985; Wilbaux, 1963; Spiller, 1999). Clarke & Macrae (1989), dan Sivetz & Desroiser (1979) melaporkan bahwa kafein tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma kopi, dan hanya memberikan rasa pahit sekitar 10-30% dari seduhan kopi (Morton, 1984). Johnson & Peterson (1974) melaporkan bahwa kafein dalam kondisi murni berupa serbuk putih berbentuk kristal prisma hexagonal, dan merupakan senyawa tidak berbau, serta berasa pahit (Sivetz & Desroiser, 1979).

(29)

mudah bereaksi dengan asam membentuk garam yang larut dalam air dan alkohol (Macrae, 1985).

Kafein yang bereaksi dengan basa akan membentuk presipitat garam. Presipitat yang tidak larut juga terbentuk jika kafein bereaksi dengan garam dari logam berat seperti Hg dan Pt (Hadiyanto, 1994). Kafein dapat berkaitan dengan potasium klorogenat menjadi garam klorogenat secara kompleks yang memiliki sifat tidak larut dalam air (Mabbett, 1999). Kafein berbentuk dasar heterosiklis yang memiliki sifat pharmakologi (Sivetz & Desrosier, 1979). Rumus bangun kafein dapat dilihat pada Gambar 8, dan keberadaan kafein terdeteksi di dalam sitoplasma disekitar lipid (Gambar 9).

Gambar 8. Rumus bangun kafein (C8H10N4O2) (Clarke & Macrae, 1989)

Gambar 9. Keberadaan kafein terdeteksi sebagai spot-spot kecil (↑↑↑↑) dalam sitoplasma di sekitar lipid (Clifford & Willson, 1985).

(30)

16

dan selanjutnya larut dalam air. Kafein yang terdapat di dalam sitoplasma dalam keadaan bebas (Sivetz & Desroiser, 1979), sedang selebihnya terdapat dalam kondisi terikat sebagai senyawa alkaloid dalam bentuk senyawa garam komplek kalium klorogenat dengan ikatan ionik (Clifford, 1985). Ikatan komplek ini menyebabkan kafein tidak dapat bergerak bebas di dalam jaringan biji kopi (Baumann et al., 1993; Horman & Viani, 1971). Pengaruh energi panas dapat menyebabkan ikatan tersebut terputus sehingga mudah larut dalam air.

Pada industri pangan, proses dekafeinasi dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut air, organik, dan anorganik (Toledo, 1999). Katz (1997) melaporkan bahwa proses dekafeinasi pertama kali dilakukan di Jerman pada tahun 1990 dengan menggunakan pelarut kloroform, benzene, dan metil klorida. Namun pelarut tersebut ternyata dapat bersifat racun (toksik). Proses dekafeinasi yang dilakukan di Swiss menggunakan pelarut air yang dibuat jenuh dengan gula dari peptida.

Daya larut kafein dalam pelarut sintetik relatif tinggi, namun dengan alasan harga, potensi polusi lingkungan, dan pengaruh negatif terhadap kesehatan menyebabkan pelarut sintetik harus digunakan secara cermat (Clarke & Macrae, 1989; Katz, 1997). Sivertz & Desroiser (1979) melaporkan bahwa proses dekafeinasi telah dilakukan dengan pelarut organik seperti metilen klorida, 1.2-diklor etana, asam karboksilat 5-hidroksi triptamida, mono-diester gliserol-tri asetat, ester polihidrik alkohol, asam karboksilat, di-tri klor etana, asam asetat, ester etilen, triklortrifluroetan, PE, n-heksan, dan flouronasi-HC. Sedangkan proses dekafeinasi dengan pelarut anorganik dilakukan dengan menggunakan CO2

cair, gas NO2, gabungan air dan CO2 cair.

(31)

sebesar 0.57% dalam proses dekafeinasi dengan pelarut alkali (NaOH) 0.6% adalah selama 15 menit (Spiller, 1999).

Kelarutan kafein dalam air maupun dalam pelarut organik akan meningkat dengan naiknya suhu. Kelarutan kafein dalam air pada berbagai suhu dapat dilihat pada Gambar 10. Spiller (1999) melaporkan bahwa kafein juga dapat larut dalam suasana alkalis, dan kelarutan kafein akan meningkat pada pH di atas 6. Rusmantri (2002) melaporkan bahwa dengan semakin tinggi suhu perebusan yang digunakan dalam proses dekafeinasi, maka akan semakin tinggi pula tingkat pelarutan kafein. Perebusan pada suhu 100°C dengan pH pelarut 8 akan dapat menurunkan kafein dalam kopi bubuk sebesar 70.32%, tetapi pada pH pelarut 9 penurunan kafein lebih rendah yaitu 55.89%. Senyawa alkali yang digunakan untuk memberikan kondisi basa berupa air kapur, dan larutan kapur tersebut memiliki sifat penghambat rambatan panas, sehingga pada perlakuan pH pelarut 9 maka proses dekafeinasi menjadi kurang efektif.

Gambar 10. Kurva kelarutan kafein dalam air (Macrae, 1985; Spiller, 1999)

Reaktor Kolom Tunggal

(32)

18

Penelitian proses dekafeinasi biji kopi dalam reaktor kolom tunggal secara intensif telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (Widyotomo et al., 2009; Purwadaria et al., 2007, 2008; Mulato et al., 2004). Reaktor kolom tunggal terdiri dari dua komponen utama. Komponen pertama adalah kompartemen untuk menempatkan biji kopi yang akan diproses, dan dihubungkan langsung dengan komponen kedua, yaitu kompartemen pembangkit uap air panas pada tahapan pengukusan (steaming) yang sekaligus sebagai tempat senyawa pelarut pada tahapan pelarutan (leaching). Proses dekafeinasi dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama adalah pengukusan biji kopi di dalam kolom pada suhu 100°C selama beberapa menit. Tahap berikutnya adalah pelarutan kafein dari dalam biji kopi yang telah mengembang dengan menyemprotkan pelarut pada tumpukan biji kopi dengan pelarut air pada suhu 100oC (Mulato et al., 2004), atau sirkulasi pelarut yang dijaga secara kontinu dengan menggunakan pompa sirkulasi (Widyotomo et

al., 2009).

Teknik dekafeinasi dengan menggunakan pelarut air memiliki beberapa keuntungan, antara lain : rata-rata hasil ekstraksi cukup tinggi, kafein yang diperoleh lebih murni, dan penggunaan panas lebih rendah. Apabila dekafeinasi dengan menggunakan uap air, maka harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kontak langsung antara uap air dengan udara luar. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadinya oksidasi (Sivetz & Desroiser, 1979). Dekafeinasi biji kopi dalam reaktor kolom tunggal telah dilakukan dengan ratio berat biji kopi dan pelarut air sebesar 1 : 2. Kadar kafein dalam biji kopi yang semula 2.46 % turun menjadi 0.45 % setelah proses berlangsung 6 jam. Pemanasan lanjut mampu menurunkan kadar kafein sampai 0.30 %, namun cita rasa dan aroma seduhan kopinya juga berubah negatif secara signifikan (Mulato et

al., 2004; Lestari, 2004).

(33)

Cita rasa biji kopi rendah kafein yang dihasilkan lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan pelarut air (Widyotomo et al., 2010)

Limbah Cair Pengolahan Kakao

Indonesia merupakan salah satu produsen utama kakao di dunia setelah Ghana dan Pantai Gading. Pada tahun 2005, areal perkebunan kakao Indonesia telah mencapai 1 167 046 ha dengan produksi sebanyak 748 828 ton biji kakao kering. Pada tahun 2006 diperkirakan akan naik menjadi 1 191 742 ha dengan produksi 779 474 ton biji kakao kering (Ditjendbun, 2010). Adanya program Gerakan Nasional Pengembangan Tanaman dan Mutu Kakao, maka produksi kakao Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Mataserv, 2010). Dampak negatif limbah pengolahan yang muncul perlu dikelola dengan baik agar tidak merusak lingkungan, namun memberikan manfaat positif terhadap petani kakao Indonesia.

Standar Prosedur Operasional penanganan biji kakao menyebutkan bahwa fermentasi harus dilaksanakan dengan benar agar diperoleh mutu bahan baku makanan dan minuman cokelat yang baik (Rohan, 1963; Wahyudi, 1988; Clapperton, 1990; Wahyudi, 2003; Ditjen PPHP, 2006; Widyotomo & Mulato, 2007). Lapisan lendir atau pulpa yang menyelimuti permukaan biji kakao basah mengandung senyawa gula antara 8-14%, dan air 80-90% (Wood & Lass, 1985). Proses fermentasi akan berjalan dengan baik jika tersedia cukup oksigen, dan akan muncul panas yang merupakan hasil oksidasi senyawa gula di dalam pulpa.

Reaksi dalam proses fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Mikroba memanfaatkan senyawa gula tersebut sebagai media tumbuh sehingga lapisan pulpa terurai menjadi cairan yang encer dan keluar lewat lubang-lubang di dasar dan dinding peti fermentasi (Rohan, 1963). Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula paling

sederhana, melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (2C2H5OH) dan berlanjut

menjadi asam asetat (CH3COOH). Fermentasi biji kakao dalam peti fermentasi

(34)

20

) (

) (

)

( 2 5 3

6 12

6H O glukosa C H OH ethanol CH COOH asamasetat

COksidasi → Oksidasi →

Fermentasi pulpa kakao secara langsung telah dilakukan pada skala labortorium. Usaha memperoleh pulpa dari permukaan biji kakao dapat dilakukan secara mekanis, dan beberapa keuntungan yang dapat diperoleh antara lain pengurangan pulpa dapat dilakukan lebih cepat, tingkat pengurangan pulpa dapat ditentukan dengan lebih teliti, tidak memerlukan lahan yang luas, dan pulpa hasil pengurangan terkumpul dalam suatu wadah sehingga mudah diolah menjadi produk lain yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi (Atmawinata et al, 1998).

Fermentasi pulpa kakao menjadi etanol dengan sistem fed-batch dalam bioreaktor selama 144 jam dengan variasi konsentrasi gula antara 16-28% (b/v) menghasilkan etanol antara 9.15-12.74% (v/v). Fermentasi pulpa kakao dengan sistem batch dalam bioreaktor dengan penambahan gula sebanyak 28% (b/v) selama 120 jam menghasilkan etanol sebanyak 13.46% (v/v). Pada fase eksponensial fermentasi pulp kakao oleh Saccharomyces cerevisiae dihasilkan laju spesifik pertumbuhan (µ) 0.0318/jam (Petrus, 2008). Fermentasi pulpa kakao secara batch dengan penambahan konsentrasi gula 15% dan penggunaan ragi roti 20% akan menghasilkan alkohol 10%. Dengan perlakuan aerasi, kadar asam asetat 4.3% akan diperoleh setelah 14 hari, dan kadar asam asetat 2.6% akan diperoleh setelah 21 hari tanpa aerasi (Haumasse, 2009). Produksi asam asam asetat sebesar 7.8% dihasilkan dari substrat etanol hasil fermentasi alkohol pada medium pulpa kakao secara kultur fed-batch (Pairunan, 2009).

(35)

Difusi Massa Dalam Proses Pelarutan Kafein

Pada proses perpindahan massa air dalam proses pengeringan bahan pertanian dapat dikelompokkan menjadi periode laju pengeringan konstan, dan periode pengeringan menurun. Periode laju pengeringan konstan terjadi ketika hambatan internal terhadap perpindahan air lebih kecil daripada hambatan eksternal perpindahan uap air pada permukaan bahan. Perpindahan air tersebut dikendalikan melalui mekanisme konveksi. Selama periode pengeringan menurun hambatan internal perpindahan air lebih besar daripada hambatan eksternal. Perpindahan tersebut dikendalikan oleh mekanisme difusi. Proses perpindahan massa tersebut sama dengan pelarutan senyawa kafein dari dalam biji kopi yang dikendalikan dengan mekanisme difusi (Gambar 12).

Difusi molekuler adalah perpindahan molekul dari komponen campuran yang dipengaruhi perbedaan konsentrasi dalam suatu sistem fluida. Pada sistem phase tunggal, laju perpindahan massa yang disebabkan adanya difusi molekular dijabarkan dalam hukum difusi Fick (Doran, 1995; Crank, 1975; Bichsel, 1979; Hulbert et al., 1998; Spiro & Selwood, 1984; Udaya-Sankar et al., 1983).

Gambar 11. Gradien konsentrasi komponen A berpindah melalui luasan area Ap

dy c D A N dt

c A

AB p

A

A= =− ∂

(2.1)

(36)

22

Ap adalah luas penampang perpindahan massa (m2), DAB adalah koefisien difusi biner atau difusivitas komponen A dalam campuran (m2/det), cA konsentrasi komponen A (g.mol/m3), y adalah jarak, dan ∂cA/dy adalah perubahan konsentrasi komponen A dalam jarak y. Koefisien difusi berubah tergantung pada bentuk geometri dan volume partikel/bahan (Ghosh et al., 2004).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui nilai difusivitas kopi pada beberapa kondisi proses. Sfredo et al. (2005) melaporkan bahwa diffusivitas efektif air pada buah kopi yang dikeringkan dengan pengering tipe tray getar adalah antara 0.1– 1×10−10 m2/detik pada suhu 45 °C, dan antara 0.3 – 3×10−10 m2/detik pada suhu 60 °C.

Bichsel (1979) melaporkan bahwa pada kondisi percobaan optimum dekafeinasi diperoleh nilai difusivitas dalam biji kopi Robusta antara 0.5–1.3×10-6 cm2/detik. Anderson et al. (2003) melakukan penelitian kinetika difusi karbon-dioksida biji kopi dan kopi sangrai dengan menggunakan hukum Fick pada kondisi tak-tunak (unsteady state). Diffusivitas efektif rata-rata sebesar 5.30×10−13 m2/detik dari kisaran nilai 3.05–10.37×10−13 m2/detik. Nilai tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai diffusivitas yang diperoleh Bichsel (1979) dan Spiro & Chong (1997) yaitu 2–20×10−11 m2/detik untuk diffusi kafein di dalam biji kopi selama proses dekafeinasi.

Dekafeinasi kopi merupakan proses ekstraksi phase padat-cair, yaitu perpindahan senyawa kafein dari matrik padatan biji kopi ke pelarut. Representasi matematika dari proses dekafeinasi biji kopi masih sangat terbatas untuk memperkirakan difusi kafein dengan menggunakan solusi analitik hukum Fick kedua (Bichsel, 1979; Hulbert et al., 1998; Spiro & Selwood, 1984; Udaya-Sankar

et al., 1983). Persamaan yang digunakan untuk memprediksi perubahan

konsentrasi kafein di dalam biji kopi berbentuk bulat selama proses perpindahan massa kafein adalah :

(37)

adalah difusivitas massa (m2/detik), t adalah waktu proses (detik), dan R adalah jari-jari equivalen biji (m).

Espinoza-Espinoza-Perez et al. (2007) melakukan pengembangan model matematika kinetika kafein selama proses ekstraksi phase padat-cair dalam biji kopi dengan asumsi bentuk lempeng (slab). Persamaan yang digunakan untuk memprediksi perubahan konsentrasi kafein di dalam biji selama proses dekafeinasi adalah : konsentrasi kafein interface (g/m3), cβ0 adalah konsentrasi kafein awal (g/m3), Dβ adalah difusivitas massa (m2/detik), ass adalah specific surface perpindahan massa

(m2/m3), ε adalah fraksi volume pelarut, t adalah waktu proses (detik), dan Ld adalah karakteristik panjang diffusi (m).

Perubahan Senyawa Kimia

Pelarutan senyawa kafein biji kopi dalam reaktor kolom tunggal dilakukan dengan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao yang didominasi oleh air dan senyawa alhokol, dan asam asetat. Kafein adalah senyawa organik yang memiliki rumus kimia C8H10N4O2 atau nama

kimia lain 1.3.7 trimetil 2.6 dioksipurin dengan massa molekul 194 (Ensminger et

al., 1995).

(38)

24

energi panas dapat menyababkan ikatan tersebut terputus sehingga kafein mudah larut dalam pelarut.

Berkurangnya kadar asam klorogenat selain merupakan indikasi menurunnya jumlah kafein dalam biji kopi juga akan berpengaruh pada citarasa seduhan kopinya. Oleh karena komposisi senyawa kimia di dalam biji kopi telah berubah, maka nilai uji citarasa biji kopi hasil proses dekafeinasi berubah dan mengalami penurunan (Mulato et al., 2004). Dengan semakin lama proses pemanasan, maka biji kopi akan semakin mengembang sehingga akan membantu proses pelarutan kafein yang berada di dalam sitoplasma dan dinding sel.

Asam klorogenat merupakan salah satu antioksidan yang terdapat di dalam biji kopi dan merupakan turunan dari 5-coffeoyllquuuc acid dengan cinamic acid,

o-hydroksinamic acid, p-hidroksinarnic acid, caffeic acid, ferulic acid, isoferulic

acid, dan sinapic acid (asam cinnamat, asam o-hidroksicinamat, asam

p-hidroksicinamat, asam kaffeat, asam ferrulat, asam isoferulat, dan asam sinapat). Asam klorogenat merupakan salah satu komponen yang memberikan kontribusi terhadap sifat keasaman pada minuman kopi. Kadar asam klorogenat pada biji kopi Arabika bervariasi antara 6 - 7%, sedangkan pada Robusta sekitar 7-11%. Kadar asam klorogenat di dalam biji kopi meningkat seiring dengan peningkatan kadar kafein (Anonim, 2008; NFA, 2007; Ky et al., 2001).

Perlakuan panas selama proses dekafeinasi mengakibatkan asam klorogenat mengalami hidrolisa menjadi senyawa dengan berat molekul yang lebih rendah, kemudian diikuti dengan dekomposisi asam klorogenat menjadi senyawa organik lain dan mempunyai sifat mudah terlarut dalam pelarut (Koeing, 1980). Hal tersebut menyebabkan kadar asam klorogenat dalam biji kopi turun secara bertahap selama berlangsungnya proses dekafeinasi dengan pola penurunan mirip yang terjadi dengan penurunan kadar kafein (Widyotomo et al., 2009; Mulato et

(39)

PENDEKATAN TEORITIK

Model Perpindahan Massa Kafein

Perpindahan massa kafein yang terjadi selama proses pelarutan berlangsung secara difusi. Model perpindahan massa kafein dari dalam biji kopi diturunkan berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut :

1. Biji kopi berbentuk bulat (spherical) dan perpindahan massa kafein terjadi sepanjang jari-jari (r)

2. Perpindahan massa kafein terjadi hanya secara difusi dari dalam ke permukaan biji kopi

3. Sifat perpindahan massa kafein yang terjadi diasumsikan seragam

4. Proses difusi dapat digambarkan dengan menggunakan hukum Fick dengan difusivitas efektif yang tetap

5. Biji kopi memiliki sifat yang homogen dan selalu pada kondisi mantap (steady

state)

Difusivitas Massa Kafein

Proses pelarutan kafein dari dalam biji kopi dapat dianalogkan sebagai suatu proses pelepasan air pada proses pengeringan. Perpindahan senyawa kafein dari dalam massa bahan berbentuk bulat (spherical) memiliki hambatan internal yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan hambatan eksternal sehingga laju perpindahan massa kafein dapat diperkirakan dengan persamaan difusi dengan difusivitas efektif yang tetap (Espinoza-Perez et al., 2007).

Hukum Fick kedua yang mempresentasikan difusi kafein untuk koordinat bundar (sphecrical) sebagai berikut :

(40)

26

Asumsi-asumsi yang harus diambil meliputi simetri radial, dan tidak terjadi degradasi di dalam butiran biji kopi. Kondisi batas di pusat (r = 0) dan

dengan nol, maka kondisi awalnya adalah :

R r c c

t=0, A= A0,0≤ ≤ (3.5)

Pelarutan Kafein Dari Dalam Biji Kopi

Dekafeinasi kopi merupakan proses ekstraksi padat-cair, dan konsentrasi kafein terlarut sangat tergantung pada waktu proses. Model mekanistik untuk ekstraksi kafein harus meliputi perhitungan difusi kafein di dalam biji biji, konveksi kafein pada kondisi batas pelarut dan padatan dalam hal ini permukaan biji kopi, dan hubungan kesetimbangan yang terjadi antara konsentrasi kafein dalam biji kopi dan pelarut (Espinoza-Perez et al., 2007). Selain bentuk bulat

(sperichal) dan lempeng (slab), biji kopi dapat diasumsikan dalam bentuk

elipsoidal. Namun, model matematika kinetika kafein selama proses ekstraksi phase padat-cair dalam biji kopi dengan asumsi bentuk elipsoidal belum pernah dilakukan.

Solusi analitis untuk profil konsentrasi keadaan tak mantap (unsteady

state) cA (r, t) diperoleh dengan teknik pemisahan variabel (Gambar 12). Rincian

solusi analitik dalam koordinat bundar adalah sebagai berikut (Crank, 1975; Saravacos & Maroulis, 2001; Welty et al., 2001) :

( )

. . . 0, 0,1,2,...

Keadaan batas menggunakan persamaan berikut adalah di pusat butiran bundar (r = 0), konsentrasinya adalah :

(41)

Setelah solusi analitik untuk profil konsentrasi diketahui, maka dapat dilakukan perhitungan laju pelepasan kafein dan jumlah kumulatif pelepasan kafein per satuan waktu. Laju pelepasan kafein, WA, adalah hasil kali fluks di

permukaan biji kopi (r = R) dan luas permukaan biji kopi yang berbentuk bundar (Welty et al., 2001; Bird et al., 1960).

Diferensiasikan profil konsentrasi, cA(r,t), terhadap koordinat radial r, tetapkan r = R, dan masukkan kembali ke dalam persamaan di atas untuk WA(t),

maka akan diperoleh :

Persamaan di atas menunjukkan bahwa laju pelepasan kafein makin lama akan semakin kecil dengan waktu yang makin bertambah sampai semua kafein yang terdapat di dalam biji kopi terlarut, dimana pada tahap tersebut WA akan

menuju nol.

Jumlah awal kafein (mA0) yang terdapat di dalam biji kopi adalah hasil kali konsentrasi kafein awal (cA0) dan volume (V) biji kopi,

3

Jumlah kumulatif kafein yang dilepaskan dari dalam biji kopi terhadap waktu adalah integral dari laju pelepasan kafein terhadap waktu.

Integrasi persamaan di atas akan menghasilkan persamaan sebagai berikut (Anderson et al., 2003; Crank, 1975):

(42)

28

Profil pelepasan kafein sangat dipengaruhi parameter tak berdimensi

Dk.t/R2 dan jika parameter Dk dianggap tetap, maka parameter desain enjineering kritis yang dapat dimanfaatkan adalah jari-jari biji kopi R. Jika nilai jari-jari R besar, maka laju pelepasan kafein akan berkurang.

Gambar 12. Pelepasan kafein dari dalam biji kopi

Model Keseluruhan Proses Dekafeinasi

Metode yang dapat digunakan untuk mengeluarkan (ekstraksi) satu komponen campuran dari zat padat dapat digolongkan dalam dua kategori. Kategori pertama adalah pengurasan (leaching) atau ekstraksi zat padat (solid

extraction), dan digunakan untuk melarutkan zat yang dapat larut dari

campurannya dengan zat padat yang tak dapat larut. Kategori kedua adalah ekstraki zat cair (liquid extraction) yang digunakan untuk memisahkan dua zat cair yang saling bercampur dengan menggunakan suatu pelarut yang melarutkan salah satu zat dalam campuran tersebut lebih banyak dari yang lain. Pengurasan tidak jauh berbeda dengan pengurasan zat padat hasil ekstraksi. Pada proses pengurasan, kuantitas zat mampu larut (soluble) yang dapat dikeluarkan umumnya lebih banyak dibandingkan dengan proses pengurasan filtrasi biasa, dan dalam operasi pengurasan sifat-sifat zat padat mungkin akan mengalami perubahan (Geankoplis, 1983).

(43)

dapat dilakukan dalam sistem batch maupun kontinyu. Pengurasan hamparan padat stasioner (tidak bergerak) dilaksanakan di dalam tangki yang memiliki dasar berlubang yang berfungsi untuk mendukung zat padat tetapi masih dapat melewatkan pelarut keluar (McCabe et al., 1999).

Geankoplis (1983) melaporkan bahwa persamaan untuk menentukan laju pengurasan (leaching) adalah sebagai berikut :

(

A A

)

Persamaan (3.15) adalah bentuk sederhana dari persamaan (3.12) dan akan terbukti mampu menggambarkan kinetika proses ekstraksi sistem padatan-cairan dalam hal ini larutan kafein-biji kopi dimana kafein akan diekstrak dari biji kopi. Dalam persamaan (3.15) V adalah volume pelarut (m3), cA0 adalah kadar kafein awal (% bk), cA adalah kadar kafein yang diinginkan (0.1 atau 0.3%), cAS adalah kadar kafein pada kondisi-t (% bk), Ap adalah luas permukaan (m2), dan t adalah waktu proses (detik).

Penyelesaian persamaan tersebut secara analitis untuk memprediksi waktu pelarutan kafein (t-prediksi) dalam biji kopi adalah sebagai berikut (Espinoza-Perez

et al., 2007; Doran, 1995): suhu pelarut (T) yang secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

(

konsentrasipelarut suhupelarut

)

(44)

30

ln.kL = y ln.c = x1 1/T = x2

ln.g = d −Ea/Rg=b maka bentuk persamaan liniernya adalah :

E

Pada persamaan di atas nilai kesalahan (E) merupakan selisih antara harga y pengamatan dengan harga pendekatanyang diprediksikan dari persamaan linier untuk memperoleh ketepatan persamaan prediksi dengan cara meminimalkan kuadratnya.

Nilai laju pelarutan kafein (kf) dari persamaan (3.17) dapat ditentukan dengan metode grafik (Sutarsih et al., 2009) menggunakan persamaan sebagai berikut :

(

k t

)

a R

cA. g= .exp− f. (3.20)

Gradien dari ploting ln cA.Rg terhadap waktu (t) merupakan laju pelarutan

kafein (kf).

Nilai difusivitas (Dk) dan koefisien perpindahan massa (kL) dapat dihitung dengan persamaan berikut,

Persamaan (3.21) menunjukkan bahwa selain parameter konsentrasi (c), nilai difusivitas kafein ditentukan oleh parameter suhu (T). Proses pelarutan kafein dari dalam biji kopi diasumsikan berlangsung pada suhu yang seragam dari titik pusat biji kopi sampai pada permukaan biji.

Validasi Model Matematik

Laju pelarutan (kf) kafein dari berbagai konsentrasi dan suhu pelarut dianalisis dengan menggunakan multiregresi/regresi ganda software SPPS

(Statistical Product and Service Solution) untuk menentukan nilai konstanta pada

(45)

(prediksi) dalam reaktor kolom tunggal. Validasi model dilakukan dengan cara menghitung nilai koefisien determinasi (R2). Nilai R2 berkisar antara 0 dan 1. Jika nilai R2 mendekati 1 berarti keandalan data prediksi semakin baik, dan model matematik yang dibentuk dinyatakan valid.

Optimasi Proses Dengan Response Surface Methodology (RSM)

Aplikasi RSM untuk optimasi proses telah banyak dilakukan, di antaranya untuk proses penyangraian biji kakao (Misnawi et al., 2005), proses coating cokelat (Ghosh et al., 2004), sifat aerodinamik buah dan biji kopi (Afonso-Junior

et al., 2007), dan optimasi proses penyangraian biji kopi robusta (Mendes et al.,

2001).

Optimasi proses pelarutan kafein dari dalam biji kopi Robusta dengan menggunakan reaktor kolom tunggal dilakukan dengan menggunakan rancangan

Response Surface Methodology (RSM) software Echip 6.0. Kondisi optimum

(46)

METODOLOGI PENELITIAN

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga jenis bahan utama, yaitu :

1. Biji kopi pasar jenis Robusta tingkat mutu IV (Gambar 13) yang berasal dari kebun percobaan Kaliwining yang berlokasi di Kabupaten Jember, Jawa Timur dengan ketinggian tempat 45 m dpl, dan beriklim C-D menurut klasifikasi Schmit & Ferguson. Metode pengolahan yang diterapkan oleh kebun percobaan Kaliwining adalah pengolahan kering (dry process) dengan kadar air biji kering antara13-14%.

2. Air

3. Larutan asam asetat teknis dengan konsentrasi 10%, 30%, 50%, 80% dan 100%.

4. Buah kakao jenis lindak yang sehat dan telah matang (Gambar 14)

Alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah :

(47)

2. Alat pendukung terdiri dari seperangkat komputer untuk membangun model matematik dan optimasi proses dekafeinasi, data acquisition FLUKE dengan sensor Ni-Cr Ni tipe K yang berfungsi sebagai pencatu suhu dilengkapi seperangkat komputer dengan penyimpan data, jangka sorong, jam kendali (stopwatch), pH meter, gelas ukur, Gas Chromatography, oven, timbangan analitis dan lain-lain.

Gambar 13. Biji kopi (green beans) jenis Robusta

Gambar 14. Buah kakao jenis lindak (bulk cocoa)

(a) (b)

(48)

35

(49)

Gambar 17. Reaktor kolom tunggal

Prosedur Produksi Limbah Cair Fermentasi Biji Kakao dan Pelarut Tersier Pulpa Kakao

Tahapan produksi limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao ditampilkan pada Gambar 18. Deskripsi prosedur produksi limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao adalah sebagai berikut : Limbah cair fermentasi biji kakao

(50)

37

diambil setelah proses fermentasi selesai. Tahapan proses ditampilkan pada Gambar 18. Analisis laboratorium menunjukkan bahwa limbah cair hasil fermentasi biji kakao mengandung senyawa asam asetat sebesar 1.32% (v/v). Pelarut tersier pulpa kakao

Pelarut tersier pulpa kakao diperoleh melalui tahapan proses sebagaimana ditampilkan pada Gambar 18. Buah kakao lindak hasil panen yang sehat dan telah matang dipecah (Gambar 14), selanjutnya biji kakao basah dipisahkan dari bagian kulit buah dan plasentanya (Gambar 15.a). Pulpa atau lendir yang menempel dipermukaan biji basah dipisahkan dari bagian bijinya dengan menggunakan mesin pemeras lendir (cocoa depulper) (Atmawinata et al., 1998). Pulpa kakao (Gambar 15.b) sebanyak 20 kg diperam dalam wadah bersih selama 48 jam, kemudian dilakukan pengadukan. Pemeraman pulpa dilanjutkan selama 72 jam, kemudian ditambahkan larutan H2SO4 pekat sebanyak 0.05% (v/v) dan

pengadukan dilakukan untuk meratakan pencampuran larutan H2SO4 dalam pulpa

(51)

! "# $%$&' ()(

"

(52)

39

Prosedur Penentuan Proses Dekafeinasi Biji Kopi Robusta Dalam Reaktor Kolom Tunggal

Tahapan ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pascapanen, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Proses dekafeinasi dilakukan terhadap biji kopi (green beans) Robusta tingkat mutu IV yang telah dikelompokkan dalam beberapa ukuran, dipisahkan dari kotoran dan benda asing lainnya. Dengan menggunakan mesin sortasi (Widyotomo & Mulato, 2005), biji kopi dikelompokkan dalam beberapa ukuran sebagai berikut ; A1) diameter (δ) lebih

besar dari 7.5 mm; A2) diameter (δ) lebih besar dari 6.5 mm dan lebih kecil atau

sama dengan 7.5 mm; A3) diameter (δ) lebih besar dari 5.5 mm dan lebih kecil

atau sama dengan 6.5 mm; dan A4) diameter (δ) lebih besar dari dan sama dengan

5.5 mm.

Proses dekafeinasi dalam reaktor kolom tunggal dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama adalah proses pengukusan (steaming) biji kopi (green

beans) dengan menggunakan uap air panas pada suhu 100oC (Gambar 19) di

dalam reaktor kolom tunggal (Gambar 16 dan 17). Proses pengukusan dilakukan terhadap biji kopi yang telah dikelompokkan berdasarkan ukuran tertentu, yaitu A1, A2, A3 dan A4. Proses pengukusan dinyatakan selesai jika selama proses

(53)

* +

,-, ."." "./,0 /.". ≤

1 ≤ 1 ≤

,2 , ,3 ,

Gambar 19. Diagram alur pegukusan (steaming) biji kopi dengan uap air, dan karakterisasi fisik biji kopi pasca pengukusan

(54)

41

jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam, 6 jam, 7 jam, 8 jm, 9 jam, 10 jam, dan 11 jam. Pengamatan waktu pelarutan kafein dari dalam biji kopi dilakukan setiap interval 1 jam sampai diperoleh kadar kafein akhir dalam biji kopi sebesar 0.3% bk. Analisis energi dari proses dekafeinasi biji kopi dilakukan dari proses pelarutan dengan menggunakan senyawa asam asetat.

Gambar 20. Tahapan penelitian prosedur penentuan proses dekafeinasi Langkah pengoperasian reaktor kolom tunggal untuk proses dekafeinasi adalah sebagai berikut :

1. Kompartemen kedua diisi dengan air bersih sebanyak 6 liter 2. Kompartemen pertama diisi dengan biji kopi sebanyak 6 kg 3. Reaktor ditutup rapat

4. Kompor bertekanan (burner) berbahan bakar LPG sebagai sumber panas proses dekafeinasi dihidupkan

5. Suhu air dikondisikan pada nilai 100oC dengan cara mengendalikan panas yang dihasilkan dari kompor bertekanan

Gambar

Gambar 11. Gradien konsentrasi komponen A berpindah melalui luasan area Ap
Gambar 15 (a) Biji kakao basah, dan (b) pulpa (lendir) kakao
Gambar 16. Sketsa dan ukuran dimensi reaktor kolom tunggal
Gambar 17. Reaktor kolom tunggal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Angket adalah kumpulan dari pertanyaan yang disajikan secara tertulis kepada sesorang (responden), dan cara menjawab juga dilakukan secara tertulis. Angket atau

Hasil penelitian ini telah sampai pada kesimpulan bahwa baik secara keseluruhan, pada masing-masing kategori KAM, maupun pada sekolah level atas (SMPN 12) dan sekolah

"ebenarnya tidak dapat ditentukan se+ara pasti, tergantung dari sensiti'tas seseorang! :osis terke+il yang pernah dilaporkan yang dapat menyebabkan kematian adalah sebesar

Inti Indosawit Subur PMKS Tungkal Ulu yaitu agar senantiasa dilakukan perawatan berkala terhadap seluruh mesin dan peralatan yang digunakan dalam proses produksi agar

sebagai penopang tubuh, dalam posisi ini operator dapat dengan mudah mengangkat beban, tetapi, dengan posisi ini juga, operator memiliki kekurangan dalam posisi

Saya yakin jika Bait Allah itu diperbandingkan… dengan Vatikan, Vatikan akan terlihat seperti pemakaman. Oh! Memang sudah begitu, bukan? Tapi bagaimana dengan Natal yang

Arenosol : Tanah dengan tekstur kasar (pasir), terdiri dari bahan albik yang terdapat pada kedalaman 50 cm atau lebih, mempunyai sifat-sifat sebagai horison argilik,

Berdasarkan gambaran proses pembelajaran tersebut, maka hasil dari observasi kelas yaitu bahwa sebagian siswa tidak memperhatikan dan mendengarkan penjelasan dari guru serta