• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas ekstrak daun tapak dara (Catharanthus roseus) sebagai larvasida nyamuk culex quinquefasciatus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas ekstrak daun tapak dara (Catharanthus roseus) sebagai larvasida nyamuk culex quinquefasciatus"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN TAPAK DARA

(Catharanthus roseus) SEBAGAI LARVASIDA NYAMUK Culex

quinquefasciatus

ROFINDRA ROHANANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Efektivitas Ekstrak Daun Tapak Dara (Catharanthus roseus) sebagai Larvasida Nyamuk Culex quinquefasciatus” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013 Rofindra Rohananto

NIM B04080092

(4)

ABSTRAK

ROFINDRA ROHANANTO. Efektivitas Ekstrak Daun Tapak Dara (Catharanthus roseus) sebagai Larvasida Nyamuk Culex quinquefasciatus.

Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan SUPRIYONO.

Nyamuk merupakan serangga pengisap darah yang berkaitan dengan penyakit manusia karena peranannya sebagai vektor biologis. Penggunaan zat sintetik sebagai pengendalian nyamuk menyebabkan terjadinya resistensi terhadap senyawa ini dan toksik terhadap manusia dan hewan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur kemampuan dan efektivitas ekstrak daun tapak dara (Catharanthus roseus) terhadap mortalitas larva nyamuk Culex quinquefasciatus. Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari - Agustus 2013. Penelitian ini dilakukan dua tahap, tahap pertama pengujian fitokimia dan ekstraksi; kemudian pengujian terhadap larva. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematian larva Cx. quinquefasciatus sebanyak 47% pada konsentrasi 2000 ppm setelah 24 jam paparan. Peningkatan mortilitas larva seiring dengan peningkatan konsentrasi dan durasi paparan. Nilai LC50 Cx. quinquefasciatus adalah 3469 ppm. Berdasarkan nilai LC50 ekstrak daun tapak dara kurang efektif terhadap mortalitas larva Cx. quinquefasciatus.

Kata kunci : Catharanthus roseus, Culex quinquefasciatus, larvasida

ABSTRACT

ROFINDRA ROHANANTO. Effectiveness of Tapak Dara (Catharanthus roseus) Leaf Extract as Mosquito Larvicide Againts Culex quinquefasciatus. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI and SUPRIYONO.

Mosquitoes are blood-sucking insects related to human disease because its

role as a biological vectors. The control of mosquitoe’s that using a synthetic substance leads to resistance and toxic to human and animals. This research was conducted to measured the activity and effectivity of tapak dara (Catharanthus

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN TAPAK DARA

(Catharanthus roseus) SEBAGAI LARVASIDA NYAMUK Culex

quinquefasciatus

ROFINDRA ROHANANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Penelitian : Efektivitas Ekstrak Daun Tapak Dara (Catharanthus roseus) sebagai Larvasida Nyamuk Culex quinquefasciatus

Nama : Rofindra Rohananto

NIM : B04080092

Disetujui oleh

Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MS Pembimbing I

drh Supriyono Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari - Agustus 2013 ini ialah larvasida biotik, dengan judul Efektivitas Ekstrak Daun Tapak Dara (Catharanthus roseus) sebagai Larvasida Nyamuk Culex quinquefasciatus.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr drh Hj Upik Kesumawati Hadi, MS dan Bapak drh Supriyono selaku pembimbing yang telah banyak memberi masukan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf Laboratorium Entomologi FKH IPB yang telah membantu selama perjalanan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda, Ibunda, kakakku dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga berterima kasih kepada teman-teman Avenzoar FKH45, teman satu kost Wisma Biru dan patner kerja PKM yakni Jamaludin dan Smita.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Tapak Dara (Catharanthus roseus) 2

Nyamuk Culex quinquefasciatus 4

METODE 8

Waktu dan Tempat 8

Persiapan Daun Tapak Dara 8

Ekstraksi 8

Uji Fitokimia 8

Persiapan Larva Nyamuk 9

Uji Aktivitas Larvasida 10

Analisis Data 10

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Hasil 11

Pembahasan 13

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 15

LAMPIRAN 18

(11)

DAFTAR TABEL

1 Hasil uji kualitatif fitokimia ekstrak etanol 70% daun tapak dara 11 2 Efektivitas ekstrak daun tapak dara terhadap mortalitas larva nyamuk

Cx. quinquefasciatus 12

DAFTAR GAMBAR

1 Tapak dara (Catharanthus roseus) 3

2 Siklus hidup Cx. quinquefasciatus 6

3 Persiapan Daun Tapak Dara 8

4 Uji Fitokimia 9

5 Persiapan Larva Nyamuk 10

6 Pengujian Larvasida 11

7 Nilai LC50 dan LC90 hasil dari analisis probit ekstrak daun tapak dara terhadap larva Cx. quinquefasciatus pada pengamatan 24, 48 dan 72

jam setelah pemaparan 13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data Uji Aktivitas Larvasida Cx. quinquefasciatus 18 2 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (taraf nyata 5%)

persentase kematian larva Cx. quinquefasciatus pada paparan 24 jam 19 3 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (taraf nyata 5%)

persentase kematian larva Cx. quinquefasciatus pada paparan 48 jam 20 4 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (taraf nyata 5%)

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Nyamuk Culex quinquefasciatus adalah contoh nyamuk rumah dengan aktifitas di malam hari. Nyamuk ini menyukai darah manusia dan hewan. Nyamuk ini tersebar di daerah tropis dan subtropis. Nyamuk ini umumnya berwarna coklat dan aktifitas mengisap darah pada malam hari dan puncaknya pada jam 22.00 – 02.00 WIB (Hadi dan Koesharto 2006).

Nyamuk Cx. quinquefasciatus berperan sebagai vektor penyakit filariasis (kaki gajah) dan Japanesse encephalitis (JE). Filariasis merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh cacing mikrofilaria. Penyakit ini dapat menyebabkan kecacatan, psikososial, dan penurunan produktivitas penderita serta lingkungannya. Hasil survei tahun 2009 tercatat sebanyak 40 juta orang mengandung mikrofilaria di 386 Kabupaten/Kota di Indonesia. Penyakit ini menimbulkan dampak kerugian ekonomi yang sangat besar (Kemenkes 2012).

Japanesse encephalitis merupakan penyakit viral yang menyebabkan ensefalitis (radang otak) pada manusia terutama anak-anak dan ternak. Kasus kematian yang disebabkan oleh penyakit ini sekitar 20 - 50% (Tsai 2000). Kasus JE dikonfirmasi positif sebanyak 67 kasus di Indonesia pada tahun 2005 (PATH 2006). Kasus JE dan filariasis dapat dikendalikan dengan memutus daur hidup nyamuk tersebut. Upaya pengendalian populasi nyamuk saat ini lebih banyak menggunakan insektisida sintetik. Masalah yang muncul dari penggunaan zat sintetik menyebabkan terjadinya resistensi nyamuk terhadap senyawa tersebut. Efek lain dari penggunaan insektisida sintetik adalah toksik terhadap manusia dan hewan. Amakye (2005) melaporkan penggunaan temephos menyebabkan kematian fauna non-target dan residu di Sungai Musola Republik Equator.

Penggunaan bahan alami dari tanaman sebagai insektisida biotik adalah cara alternatif yang aman dalam pengendalian nyamuk. Lebih dari 2400 jenis tanaman yang termasuk ke dalam 255 famili dilaporkan mengandung bahan pestisida. Selasih, germanium dan zodia adalah contoh tanaman pengusir nyamuk karena memiliki aroma yang khas. Tanaman tersebut mengandung senyawa, antara lain metil eugenol dan beberapa unsur mikro Iainnya, seperti linalool, terpincol, eugenol, sincol, geraniol (Kardinan 2001, 2005).

Tanaman yang berpotensi sebagai larvasida adalah tapak dara (Catharanthus roseus). Tapak dara dikenal sebagai tanaman hias karena bunganya yang indah sehingga banyak ditanam di pekarangan rumah. Tanaman tapak dara mempunyai berbagai senyawa aktif seperti golongan alkaloid (seperti vinblastin, vinkristin, vinceine), tanin dan triterpenoid (Hariana 2008). Eufrocinio et al. (2002) melaporkan kombinasi antara tapak dara dan Trichoderma harzianum bersifat antimikroba terhadap gram positif. Tapak dara juga diketahui sebagai insektisida biotik larva Spodoptera exigua dengan titik tangkap kerja sebagai penghambat makan (Luijendijk et al. 1996).

(13)

2

ilmiah ekstrak daun tapak dara perlu dilakukan sebagai larvasida nyamuk Cx. quinquefasciatus.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mengukur kemampuan dan efektivitas ekstrak daun tapak dara (Catharanthus roseus) terhadap mortalitas larva nyamuk Cx. quinquefasciatus.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah ekstrak daun tapak dara (Catharanthus roseus) dapat dimanfaatkan sebagai larvasida biotik yang ramah lingkungan dalam mengendalikan larva nyamuk Cx. quinquefasciatus.

TINJAUAN PUSTAKA

Tapak Dara (Catharanthus roseus)

Tapak dara (Catharanthus roseus) merupakan satu di antara jenis tanaman hias yang memiliki nama sinonim Vinca rosea, Ammocalis rosea, atau Lochnera rosea. Nama umum bahasa inggrisnya adalah cape periwinkle atau rose periwinkle. Tapak dara dikenal di Indonesia dengan berbagai nama, diantaranya adalah kembang serdadu, kembang tembaga, atau kembang sari cina. Klasifikasi tanaman tapak dara adalah:

Dunia : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Gentianales Famili : Apocynacaeae Genus : Catharanthus

Spesies : Catharanthus roseus

(14)

3

Kandungan Daun Tapak Dara

Kandungan senyawa aktif tapak dara sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, geografis, dan unsur hara di dalam tanah. Oleh karena itu, kandungan bahan aktif ekstrak dapat berbeda-beda di setiap daerah. Tanaman tapak dara banyak mengandung senyawa aktif seperti golongan alkaloid (seperti vinblastin, vinkristin, vinceine), tanin dan triterpenoid (Hariana 2008). Alkaloid diklasifikasikan menurut kesamaan sumber asal molekulnya (precursors) dan metabolisme pathway (metabolic pathway) yang dipakai untuk membentuk molekul itu. Golongan alkaloid hingga sekarang dikenal sekitar 10.000 senyawa dengan struktur sangat beragam (Harborne 1996). Senyawa alkaloid dari tanaman ini berperan sebagai pengobatan kanker dan bersifat depresan.

Saponin adalah metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam, terdiri atas gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin. Senyawa ini digunakan untuk pembasmi hama tertentu dan bersifat racun bagi binatang berdarah dingin. Sifat-sifat saponin yaitu berasa pahit, berbusa dalam air, mempunyai sifat detergen yang baik dan anti eksudatif. Saponin mempunyai aktifitas dapat menghemolisis sel darah merah dan anti inflamasi (Harborne 1996).

Flavonoid adalah senyawa terdiri atas dari 15 atom karbon terdapat di sel epidermis dan sebagian tersimpan di vakuola sel. Tiga kelompok yang umum dipelajari, yaitu antosianin, flavonol dan flavon. Antosianin adalah pigmen berwarna yang umumnya terdapat di bunga berwarna merah, ungu dan biru (Harborne 1996).

Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terbentuk dengan kondensasi turunan flavonoid. Tanin bersifat menyamak kulit atau mempresipitasi gelatin dari cairan dan dikenal sebagai astringensi. Senyawa ini mampu berikatan dengan protein dan terbentuk kompleks tanin - protein yang larut dan tidak larut (Giner dan Cannas 2001).

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yaitu nisbi rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau

(15)

4

asam karboksilat. Senyawa triterpenoid jika bergabung dengan saponin dapat menghambat pertumbuhan kanker (Shibata 2001).

Arti Penting Tapak Dara

Tanaman tapak dara diketahui banyak mengandung senyawa alkaloid, terutama vinscristine dan vinblastine (senyawa tunggal alkaloid). Vinscristine merupakan senyawa yang berperan dalam menghambat mitosis sel pada fase matafase, sedangkan vinblastine berperan sebagai zat anti metabolik. Kedua senyawa ini yang digunakan sebagai pengobatan kanker dan mengatur perubahan sulfat di dalam darah (Gamal et al. 2011). Kombinasi antara tapak dara dan Trichoderma harzianum mampu menghambat pertumbuhan beberapa bakteri, seperti Eschericia, Staphylococcus dan Pseudomonas (Eufrocinio et al. 2002).

Daun tapak dara efektif digunakan sebagai larvasida biotik dalam pengendalian larva instar III dan IV Ae. aegypti di India. Mortalitas nyamuk menunjukkan sebesar 77% setelah 24 jam pemaparan pada konsentrasi 250 ppm (Logaswamy dan Remia 2009). Sejauh ini penggunaan daun tapak dara sebagai larvasida biotik terhadap larva Cx. quinquefasciatus belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu pengujian lebih lanjut pada daun tapak dara perlu dilakukan untuk mendapat senyawa yang berpotensi sebagai sebagai larvasida Cx. quinquefasciatus.

Nyamuk Culex quinquefasciatus

Morfologi Dewasa dan Siklus Hidup

Nyamuk Cx. quinquefasciatus termasuk kedalam subfamili Culicinae. Nyamuk ini memiliki panjang dengan ukuran 3-6 mm dengan warna coklat pucat pada toraks dan abdomen. Kepala nyamuk ini mempunyai bentuk agak membulat, hampir seluruh kepala diliputi oleh sepasang mata majemuk yang hampir bersentuhan. Panjang ukuran mulut nyamuk betina disesuaikan untuk menusuk dan mengisap darah. Bagian mulut ini terdiri atas labium bagian bawah yang mempunyai saluran dan bagian atas terdiri atas labrum - epifaring, hipofaring, sepasang mandibula dan maksila bergigi (Hadi dan Koesharto 2006).

Antenanya berukuran panjang dan langsing yang terdiri atas 15 segmen. Menurut Bill et al. (2009) antena nyamuk berperan sebagai organ utama olfaktori. Antena Cx. quinquefasciatus memiliki 5 tipe morfologi sensilla, antara lain 1) sepasang sensilla coeloconica yang terdapat di ujung distal antena, 2) sensilla chaetica berukuran panjang dan pendek yang terdapat di seluruh segmen antena, 3) sensilla ampullace banyak ditemukan di proksimal dari flagela antena, 4) tipe sensilla grooved pegs yang terdapat di sepanjang flagela dan 5) tipe sensilla trichodea terdapat di seluruh flagela antena.

(16)

5 lansing (Guimaraes et al. 2000). Seluruh kaki berwarna gelap, kecuali pada bagian persendian dan femur (Russel 1996).

Sepasang sayap dan halter muncul dari samping toraks yang merupakan alat keseimbangan saat terbang. Posterior dari toraksnya terdapat skutelum yang berbentuk trilobus. Perut Cx. quinquefasciatus berwarna gelap di setiap segmen dan bagian ventral berwarna pucat sampai bagian lateral. Bagian posterior perut 2 sersi caudal yang berukuran kecil pada nyamuk betina, sedangkan jantan memiliki organ seksual yang disebut hipopigium (Hadi dan Koesharto 2006).

Nyamuk Cx. quinquefasciatus mengalami metamorfosis sempurna di dalam siklus hidupnya. Cx. quinquefasciatus mampu meletakan telurnya 100-400 butir secara berkelompok di atas permukaan air dan berbentuk seperti rakit sehingga mampu mengapung. Telur akan menetas yang kontak dengan air dalam kurun waktu 1 - 2 hari pada suhu 30 C. Larva mengalami 4 kali pergantian kulit (instar) dan kemudian berubah menjadi pupa. Pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi oleh faktor suhu, makanan dan hewan predator. Larva dapat tumbuh dalam kurun waktu 7 hari pada suhu 27 C. Larva yang diberi ekstrak hati dan vitamin B komplek dapat tumbuh sekitar 4 – 8 hari pada suhu 28 C (Hadi dan Koesharto 2006).

Pupa merupakan stadium terakhir dari larva nyamuk dengan bentuk oval

yang berada di dalam air. Stadium ini tidak memerlukan makanan dan terjadi pembentukan sayap. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi nyamuk dewasa sekitar 2 - 3 hari, tetapi dapat diperpanjang hingga 10 hari pada suhu rendah, bahkan tidak berkembang pada suhu dibawah 10 C. Nyamuk dewasa jantan umumnya dapat bertahan hidup selama 6 - 7 hari dan makanannya adalah cairan tumbuhan atau nektar, sedangkan betina mengisap darah manusia atau hewan dan dapat bertahan mencapai 2 minggu. Darah ini dibutuhkan untuk produksi telur (Hadi dan Koesharto 2006).

Habitat dan Perilaku Mengisap Darah

Cx. quinquefasciatus adalah contoh nyamuk rumah yang sering ditemukan di dalam maupun di luar rumah. Hasil penangkapan nyamuk Cx. quinquefasciatus pada jam 21.00 - 24.00 WIB dengan metode bare leg collection (BLC) menunjukkan persentase sebesar 98,82% yang dilakukan di Komplek Perumahan Pegawai IPB daerah Cikampak Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor (Ginanjar 2011). Taviv (2005) melaporkan populasi nyamuk ini paling banyak tertangkap selama bulan Februari – Juli di Desa Segara Kembang Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKU) Sumatera Selatan dengan persentase sebesar 28,3. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan Desa Segara Kembang berupa kebun durian, karet, duku dan damar.

(17)

6

quinquefasciatus mengisap darah meningkat pada suhu 26 - 29 C di perumahan sekitar Kampus Universitas Sebelas Maret. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya metabolisme nyamuk, jika suhu diatas 35 C tubuh nyamuk akan mengalami dehidrasi melaui trakea sehingga populasi nyamuk terbatas.

Nyamuk betina yang sudah mengisap darah akan beristrahat selama 2- 3 hari. Nyamuk ini menyukai tempat istirahat yang gelap dan lembab juga sedikit berangin di dalam rumah, contohnya di kamar tidur, kamar mandi maupun ruang dapur, sedangkan di luar rumah beristrahat di kaleng dan ban bekas. Tempat berkembang biaknya diberbagai tempat baik air bersih maupun air kotor, contohnya selokan terbuka, genangan air dan kolam ikan. Air menggenang dan kotor merupakan tempat potensial untuk perkembangan telur dan larva Cx. quinquefasciatus. Satriyo (2009) melaporkan Cx quinquefasciatus tertangkap sebesar 63,87% pada kondisi tersebut di Desa Babakan Dramaga. Novianto (2007) melaporkan larva Cx. quinquefasciatus dapat tumbuh baik pada selokan dengan kandungan organik limbah rumah tangga di perumahan padat sekitar kampus Universitas Sebelas Maret.

Nyamuk ini bersifat antropozoofilik, yang berarti dapat berkembang biak dalam lingkungan pemukiman ataupun dekat dengan hewan. Taviv (2005) melaporkan nyamuk tertangkap sebanyak 739 ekor di perumahan warga yang dekat dengan peternakan kerbau di Desa Segara Kembang Kabupaten OKU Sumatera Selatan.

4. Nyamuk dewasa

3. Pupa

2. Larva 1. Telur

(18)

7

Arti Penting Nyamuk Cx. quinquefasciatus

Cx. quinquefasciatus berperan dalam transmisi agen secara biologi yang menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan. Beberapa penyakit penting yang ditularkan oleh nyamuk ini diantaranya Japanesse encephalitis (JE) dan filariasis (kaki gajah). Pada beberapa kasus, nyamuk ini berperan sebagai vektor Dirofilaria immitis (cacing jantung pada anjing). Japanesse encephalitis satu di antara penyakit berasal dari hewan dan ditularkan ke manusia (zoonosis) melalui gigitan Cx. quinquefasciatus. Japanesse encephalitis adalah penyakit viral yang menyerang susunan saraf dan menyebabkan peradangan otak pada manusia dan hewan. Kasus kematian yang disebabkan oleh penyakit ini sekitar 20 - 50% dengan masa inkubasi 4 - 14 hari. Kasus yang terjadi pada anak usia 1 - 15 tahun sekitar 20% dapat sembuh dari penyakit ini, tetapi menimbulkan cacat mental dan fisik (CDC 2010). Penyakit ini endemik di daerah Asia diperkirakan ada 35.000 kasus di Asia setiap tahun (Endy dan Nisalak 2002). Penyebarannya mulai dari Jepang, Filipina, Taiwan, Korea, China, Thailand, Malaysia, Indonesia serta India. Kasus JE dikonfirmasi positif sebanyak 67 kasus di Indonesia pada tahun 2005 (PATH 2006). Bali merupakan hiperendemik penyakit JE, kasus yang terjadi mencapai 36% (Bahri dan Sendow 2005). Kasus penyakit ini akan meningkat pada musim hujan, hal ini ditunjukkan dari isolasi virus JE pada nyamuk Culex di berbagai wilayah Indonesia. Winarno (2005) melaporkan bahwa virus JE berhasil diisolasi dari beberapa spesies nyamuk Culex di Indonesia diantaranya di Bogor, Jakarta, Semarang, Lombok dan Pontianak. Penyebaran ke seluruh wilayah Indonesia disebabkan oleh unggas dan kalelawar (carier) yang terinfeksi oleh virus JE dan babi merupakan amplifier penyakit ini.

Penyakit lainnya yang ditularkan oleh nyamuk ini adalah filariasis atau kaki gajah. Filariasis di Indonesia disebabkan oleh 3 spesies cacing, yaitu Brugia malayi, Wucheria bancrofti dan Brugia timori. Cacing tersebut hidup dalam saluran dan kelenjar getah bening. Manifestasi gejala akut berupa demam berulang 3 - 5 hari dan peradangan pada kelenjar dan saluran getah bening. Stadium lanjut menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal dan hidupnya bergantung pada orang lain (Palumbo 2008). Daerah endemis filariasis adalah dataran rendah, terutama di pedesaan, persawahan, rawa-rawa, dan hutan (Depkes 2009).

(19)

8

ini juga berperan sebagai vektor filariasis pada anjing dengan prevalensi 7,7% di Jawa dan Bali (Manalu 2008; Hadi dan Koesharto 2006). Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kejadian dirofilariasis adalah populasi anjing reservoir, potensi nyamuk sebagai vektor, serta kondisi daerah yang mendukung kejadian dirofilariasis (Karmil 2002).

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini berlangsung selama Februari - Agustus 2013 dan dilakukan dua tahap. Tahap pertama mengekstraksi daun tapak dara yang dilakukan di Laboratorium Farmakologi Anatomi Farmakologi dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, sedangkan tahap kedua pengujian larvasida dilakukan di Laboratorium Entomologi Kesehatan Departemen IPHK FKH IPB.

Persiapan Daun Tapak Dara

Sampel yang digunakan adalah daun tapak dara dengan tidak membedakan pemilihan daun muda atau tua. Daun ini diperoleh di Cangkurawok, Kota Bogor. Daun yang diperoleh dicuci terlebih dahulu dan dipisahkan antara batang dan daun, kemudian disortir untuk mendapatkan daun yang baik. Daun tersebut dikeringkan menggunakan oven pada suhu 45 C selama 3 hari dan digiling.

Ekstraksi

Serbuk daun tapak dara kering diekstraksi dengan etanol 70% secara maserasi. Daun tersebut diaduk setiap jam selama 3 hari. Remaserasi dilakukan hingga filtrat tidak berwarna hijau lagi. Ekstrak kemudian disaring dan dipekatkan dengan evaporator.

Gambar 3 Daun Tapak Dara (a), Pengeringan Daun (b), Serbuk Daun (c)

(20)

9

Uji Fitokimia (metode Harborne)

Uji Alkaloid

Sebanyak 1 gram serbuk daun tapak dara dilarutkan dalam 10 ml kloroform dan 4 tetes NH4OH kemudian disaring dan filtratnya dimasukkan ke dalam tabung reaksi tertutup. Ekstrak kloroform dalam tabung reaksi dikocok dengan 6 ml H2SO4 2 M dan lapisan asamnya dipisahkan ke dalam tabung reaksi yang lain. Lapisan asam ini diteteskan pada lempeng tetes dan ditambahkan pereaksi Meyer, Wagner, dan Dragendorf. Adanya kandungan alkaloid ditunjukkan dengan adanya perubahan warna berturut-turut dari putih, merah jingga hingga coklat.

Uji Saponin dan Flavonoid

Sebanyak 1 gram serbuk daun tapak di masukkan ke dalam gelas piala kemudian ditambahkan 100 ml air panas dan didihkan selama 5 menit. Setelah itu, disaring dan filtratnya digunakan untuk pengujian. Uji saponin, 10 ml filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi tertutup kemudian dikocok selama 10 detik dan dibiarkan selama 10 menit. Adanya saponin ditunjukkan dengan terbentuknya buih yang stabil. Sebanyak 10 ml filtrat yang lain ditambahkan 0.5 gram serbuk Mg, 2 ml alkohol klorhidrat (campuran HCl 37% dan etanol 95% dengan perbandingan 1:1), dan 20 ml alkohol kemudian dikocok dengan kuat. Terbentuknya warna merah, kuning dan jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid.

Uji Tanin

Sebanyak 5 gram sampel dilarutkan dalam akuades kemudian dipanaskan selama 5 menit, lalu disaring dengan menggunakan kertas saring. Sebanyak 5 ml filtrat hasil penyaringan ditambahkan 3 tetes FeCl3 10%. Terbentuknya warna biru tua atau hitam kehijauan menunjukkan terdapat senyawa tanin.

Uji Triterpenoid dan Steroid

Sebanyak 2 gram sampel dilarutkan dengan 25 mL etanol dan disaring kedalam pinggan porselin kemudian diuapkan sampai kering. Residu ditambahkan 1 ml dietil eter dan dihomogenasikan. Selanjutnya ekstrak dipindahkan ke dalam lempeng tetes lalu ditambahkan 1 tetes anhidrida asam asetat dan 1 tetes H2SO4 pekat. Warna merah atau ungu menunjukkan kandungan triterpenoid sedangkan warna hijau atau biru menunjukkan kandungan steroid.

Gambar 4 Uji Alkaloid (a), Uji Saponin (b)

(21)

10

Persiapan Larva Nyamuk

Koloni nyamuk Cx. quinquefasciatus diperoleh dari Laboratorium Entomologi Kesehatan IPHK FKH IPB. Koloni nyamuk dewasa ditempatkan ke dalam kandang nyamuk. Nyamuk diberikan air gula 10% sebagai makanan. Nyamuk betina diberikan makan berupa darah marmut. Marmut diletakkan ke dalam kandang jepit sebagai handling. Bulu marmut dicukur di bagian punggung dan dimasukkan ke dalam kandang nyamuk. Nyamuk betina yang telah mengisap akan bertelur.

Telur Cx. quinquefasciatus yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam nampan yang diisi air sebanyak 800 ml. Telur tersebut akan menetas dan menjadi larva instar I sekitar 24 jam atau lebih. Instar dua berkembang setelah 2 - 3 hari telur menetas, instar tiga terjadi setelah 3 - 4 hari telur menetas. Larva tersebut akan tumbuh menjadi pupa selama 6 - 7 hari. Larva tersebut diberi makan berupa pelet ikan atau rebusan hati ayam. Penelitian ini menggunakan larva instar III, karena memiliki ketahanan dan fisiologi tubuh yang siap terhadap cekaman lingkungan

Uji Aktivitas Larvasida

Ekstrak kasar dilarutkan dalam pelarut air dan diencerkan untuk mendapatkan konsentrasi tertentu. Pengujian dilakukan dengan menggunakan konsentrasi 0, 125, 250, 500, 1000, dan 2000 ppm untuk ekstrak etanol. Kontrol positif menggunakan senyawa temephos dengan konsentrasi 1 ppm sedangkan kontrol negatif menggunakan air. Larva instar III Cx. quinquefasciatus sebanyak 20 ekor dimasukan ke dalam gelas plastik yang berisi larutan ekstrak tapak dara sebanyak 200 ml. Pengamatan kematian larva dilakukan pada 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan.

Gambar 5 Larva instar 1 (a), Larva Instar 3 (b)

(22)

11

Analisis Data

Pengujian aktivitas Larvasida dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan analisis probit. Percoban ekstrak daun tapak dara dilakukan dengan lima perlakuan pada konsentrasi 0, 125, 250, 500, 1000, dan 2000 ppm dan kontrol positif pada larva instar III Cx. quinquefasciatus. Percobaan dilakukan dengan tiga kali ulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Ekstraksi dan Fitokimia Ekstrak Daun Tapak Dara

Hasil ekstrak daun tapak dara diperoleh 12 gram dari berat kering 160 gram, sehingga rendemen yang diperoleh sebesar 7.5% (berat kering/berat ekstrak). Ekstrak tersebut dilakukan uji fitokimia secara kualitatif terhadap senyawa alkaloid, saponin, tanin, flavonoid, triterpenoid, steroid dan glikosida. Hasil uji kualitatif fitokimia ekstrak daun tapak dara ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil uji kualitatif fitokimia ekstrak etanol 70% daun tapak dara

Jenis pengujian fitokimia Hasil pengujian

Alkaloid ++++

Saponin +++

Tanin ++++

Flavonoid ++

Triterpenoid ++++

Steroid +++

Glikosida ++

(23)

12

Efektivitas Ekstrak Daun Tapak Dara terhadap Mortalitas larva Cx. quinquefasciatus.

Hasil pengamatan efektivitas ekstrak daun tapak dara terhadap mortalitas larva nyamuk Cx. quinquefasciatus menunjukkan bahwa konsentrasi 125, 250, 500 ppm tidak berbeda nyata pada 24, 48, 72 jam setelah pemaparan. Hasil pengamatan pada konsentrasi 1000 dan 2000 menunjukkan perbedaan nyata pada jam 48 dan 72 setelah pemaparan, akan tetapi pada konsentrasi 1000 ppm pada 24 jam setelah pemaparan tidak menunjukkan perbedaan nyata dengan konsentrasi 125, 250, 500 ppm. Hasil efektivitas daun tapak dara ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Efektivitas ekstrak daun tapak dara terhadap mortalitas larva Cx. quinquefasciatus.

Konsentrasi (ppm)

Mortalitas (%)

24 jam 48 jam 72 jam

125 5c 13.3d 18.33c

250 5c 15d 18.33c

500 5c 11.67d 18.33c

1000 15c 30c 58.33b

2000 46.7b 71.67b 85a

Kontrol positif

(Temephos) 100a 100a 100a

Kontrol negative 0c 0e 0d

Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (p<0.05).

LC50 dan LC90 Ekstrak Daun Tapak Dara terhadap larva Cx.

quinquefasciatus.

(24)

13

Gambar 7 Nilai LC50 dan LC90 hasil dari analisis probit ekstrak daun tapak dara terhadap larva Cx. quinquefasciatus pada pengamatan 24, 48 dan 72 jam setelah pemaparan

Pembahasan

Pengaruh pemberian ekstrak daun tapak dara terhadap mortalitas larva Cx. quinquefasciatus pada konsentrasi 125, 250 dan 500 ppm menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% pada 24, 48, 72 jam setelah pemaparan, sedangkan pada konsentrasi 1000 dan 2000 ppm pada 48 dan 72 jam setelah pemaparan menunjukkan perbedaaan nyata (p<0.05). Hal ini menunjukkan setiap bertambahnya konsentrasi dan lama pemaparan menyebabkan peningkatan mortalitas terhadap larva Cx. quinquefasciatus. Rendahnya mortalitas larva Cx. quinquefasciatus pada konsentrasi 125, 250 dan 500 ppm disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kandungan senyawa tapak dara dan kondisi fisiologis larva. Tapak dara banyak mengandung triterpenoid, tanin dan alkaloid dari hasil uji fitokimia. Senyawa triterpenoid dan alkaloid bekerja sinergis menghambat pertumbuhan sel larva nyamuk Cx. quinquefasciatus dengan titik tangkap kerja menghambat mitosis sel. Senyawa ini juga berperan merangsang kelenjar endokrin untuk menghasilkan hormon juvenil, peningkatan hormon tersebut menyebabkan kegagalan metamorfosis sehingga kematian abnormal pada larva nyamuk akibat kegagalan eklosi (Aminah 1995). Selain itu efek dari tapak dara bersifat neurotoksik, selama pengamatan terlihat adanya penurunan gerakan larva nyamuk Cx. quinquefasciatus. Ayesha et al. (2011) melaporkan ekstrak tapak dara yang diberikan pada Pherithema posthuma (cacing tanah) dewasa sebesar 200 g/ml secara in-vitro menunjukkan efek paralisis (neurotoksik). Sementara itu Gamal et al. (2011) menunjukkan bahwa pemberian vinscristin (senyawa alkaloid murni tapak dara) pada Rattus norvegicus (tikus got) dengan dosis 150 g/kg 3 kali seminggu menyebabkan paralisis.

(25)

14

pemaparan menyebabkan kematian 96,7%, sedangkan ekstrak tapak dara menyebabkan kematian larva sebesar 15%. Sementara itu Logaswamy dan Remia (2009) melaporkan ekstrak tapak dara masih rentan terhadap larva instar 4 nyamuk Ae. aegypti dengan kematian 77% pada konsentrasi 250 ppm setelah 24 jam pemaparan. Hal ini menunjukkan setiap spesies memiliki perbedaan sensitifitas terhadap suatu senyawa pada tumbuhan, selain itu kemungkinan kedua tanaman tersebut mempunyai kandungan saponin dengan aktifitas yang berbeda terhadap mortalitas larva nyamuk. Chapagain dan Wiesman (2005) melaporkan bahwa saponin dengan struktur ikatan metyl dan gula silosa yang didapat dari ekstrak buah Balanites aegyptica menunjukkan kematian 100% pada larva nyamuk Cx. pipiens dengan konsentrasi 275 ppm.

Kemungkinan lain penyebab tahannya larva Cx. quinquefasciatus terhadap larvasida adalah kondisi fisiologi larva. Larva yang digunakan untuk pengujian larvasida adalah larva yang berasal dari Penang Malaysia dengan generasi ke-106 (F106). Hal ini menunjukkan kemungkinan terjadi toleran larva Cx. quinquefasciatus terhadap senyawa larvasida. Ahmad et al. (2005) melaporkan berdasarkan nilai LC50 tingkat perkembangan resistensi larva Culex generasi 30 (F30) meningkat terhadap senyawa temephos di Malaysia dibandingkan dengan larva Ae. agypty dan Ae. Albopictus.

Kusbaryanto (2001) melaporkan bahwa penggunaan insektisida golongan organofosfat dalam pengendalian nyamuk sudah dilakukan sejak tahun 1974 di kabupaten Sleman, Yogyakarta. Adanya kecenderungan resistensi terhadap insektisida tersebut ditunjukkan dari peningkatan enzim esterase pada larva Cx. quinquefasciatus. Resistensi ini juga disebabkan karena tempat perindukan nyamuk Cx. quinquefasciatus di air kotor dan secara tidak langsung sering terpapar dengan insektisida golongan organofosfat dengan konsentrasi rendah. Boesri dan Boewono (2008) melaporkan nyamuk Cx. quinquefasciatus lebih lama bertahan selama 28 menit didalam ruangan dibandingkan dengan Ae. aegypti yang dapat bertahan selama 17 menit terhadap pengasapan malathion (pelarut solar)

dengan konsentrasi 1000 g/l.

Nilai LC50 adalah konsentrasi dari suatu bahan yang menyebabkan 50% populasi mengalami kematian, sedangkan nilai LC90 adalah 90% populasi mengalami kematian. Nilai LC50 yang diperoleh dari pengujian larvasida ekstrak tapak dara terhadap larva Cx. quinquefasciatus adalah 3.469.70 ppm (berkisar antara 2000 sampai 3500 ppm) pada 24 jam setelah pemaparan, sedangkan nilai LC90 adalah 26.180 ppm. Suatu ekstrak kasar memiliki potensi bioaktif apabila nilai LC50-nya kurang dari 1000 ppm (Andriani 2008). Nilai LC50 tapak dara tersebut masih jauh di bawah nilai standar. Kondisi ini disebabkan ekstrak kasar masih banyak mengandung komponen senyawa yang perlu dipisahkan lebih lanjut untuk mendapat senyawa aktif tunggal (murni) dan daya tahan spesies terhadap senyawa tertentu.

(26)

15 kompleks, baik dengan protein maupun polisakarida sehingga nonaktifnya enzim pencernaan (Chandra dan Gosh 2006).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ekstrak etanol dari daun tapak dara (Catharanthus roseus) kurang efektif terhadap Cx. quinquefasciatus pada kosenterasi 2000 ppm. Nilai LC50 Cx. quinquefasciatus adalah sebesar 3500 ppm.

Saran

Pengujian fraksi bertingkat perlu dilakukan pada tapak dara untuk mendapat senyawa tunggal aktif dan menambahkan bahan sinergis lain yang dapat meningkatkan efektivitas larvasida.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad NW, Azirun MS, Hamdan H, Lim LH. 2005. Insecticide resistance development in Culex quinquefasciatus, Aedes aegypti and Aedes albopictus larvae against malathion, permethrin and temephos. Trop Biomed. 22(1): 45–52.

Amakye JS. 2005. Effect of Temephos 2OEC on non-target Saxicolous Fauna of a Tropical African Island River at first treatment. W Afr J Appl Ecol. 7(1): 109. Aminah SN. 1995. Evaluasi tiga jenis tumbuhan sebagai insektisida dan repelen

terhadap nyamuk di laboratorium [tesis]. Bogor (ID): Fakultas Kedoketeran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Andriani A. 2008. Uji potensi larvasida fraksi ekstrak daun Clinacanthus nutans L. terhadap larva instar III nyamuk Aedes aegypti [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Assidiqi MJ. 2012. Efektivitas ekstrak daun sambang colok (aerva sanguinolenta) sebagai larvasida nyamuk Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ayesha T, Joy H, Krishna V, Nikkita C, Saloni B, Simi J, Swati A, Vedamurthy AB. 2011. Evaluation of In-vitro Anthelminthic Activity of Catharanthus roseus Extract. IJPSD. 3(3): 211-213.

Bahri S, Sendow I. 2005. Perkembangan Japanasse Encaphalitis di Indonesia. Balai Penelitian Veteriner. Bogor. Wartazoa. 5(3): 111-117.

(27)

16

Boesri H, Boewono DT. 2008. Pengendalian nyamuk Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus dengan penyemprotan sistem pengasapan (thermal fogging) menggunakan insektisida Laden 500 EC. J Vektora. 1(1): 47-56. [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2010. Japanese encephalitis

[internet]. [diunduh 9 SEP 2012]. Tersedia di: http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/jencephalitis.html.

Chandra G, Ghosh A. 2006. Biocontrol efficacy of Cestrum diurnum (L.) (Solanales: Solanaceae) against the larval forms of Anopheles stephensi. J Nat Prod Res. 20:371-379.

Chapagain BP, Wiesman Z. 2005. Larvicidal effects of aqueous extracts of Balanites aegyptiaca (desert date) against the larvae of Culex pipiens mosquitoes. Afr J Biotech. 4:1351-1354.

[Depkes] Departemen Kesehatan. 2009. Filariasis (Penyakit kaki gajah). Jakarta: Direktorat Jendral P2PL.

Djaja IM, Juriastuti P, Kartika M, Susanna D. 2010. Faktor resiko kejadian filariasis di Kelurahan Jati Sampurna. Makara Kesehatan. 14(1): 31-36. Endy TP, Nisalak A. 2002. Japanese encephaltis virus: ecology and epidemiology.

[ulas topik]. 267: 11-47.

Eufrocinio C, Fukusaki E, Kajiyama S, Kobayashi A, Marfori. 2002. Trichosetin, a novel tetramic acid antibiotic produced in dual culture of Trichoderma harzianum and Catharanthus roseus Callus. Z Naturforsch. 57 (5-6) : 465-70.

Gamal El-Dini, Kassem, Lobna A, Maha M., Nadia A. Yassin. 2011. Mechanisms of vincristine-induced neurotoxicity: Possible reversal by erythropoietin. Drug Discov Ther. 5(3):136-143. DOI: 10.5582/ddt.v5.3.136.

Ginanjar RA. 2011. Densitas dan perilaku nyamuk (diptera: Culicidae) di Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Giner C, Cannas A. 2001. Tannins: Chemical structural the struktur of hydrolysable tannins [internet]. [diunduh tanggal 20 Mei 2013]. Tersedia pada:

http://www.ansci.cornell.edu/plant/toxicagents/tannin/image/int.big.gif. cornert university.

Guimaraes AE, Gentile C, Lopes CM, de Mello RP. 2000. Ecology of mosquitoes (Diptera: Culicidae) in Areas of Serra do Mar State Park, State of Sao Paulo, Brazil. III – Daily Biting Rhythms and Lunar Cycle Influence. Mem Inst Oswaldo Cruz. 95(6): 753-760.

Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Nyamuk. (Dalam) SH Sigit dan UK Hadi. (Ed) Hal 23-51. Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Unit Kajian Pengendalian Hama Pemukiman. FKH-IPB. Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia. Edisi ke-2. Terjemahan Kosasih &

Padmawinata. Penerbit ITB: Bandung.

Hariana A. 2008. Tanaman Obat dan Khasiatnya Seri III. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

(28)

17 Kardinan A. 2001. Pestisida Biotik Ramuan dan Aplikasi. Jakarta (ID): Penebar

Swadaya.

Kardinan A. 2003. Tanaman Obat Penggempur Kanker. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.

Kusbaryanto. 2001. Deteksi resistensi insektisida malathion dengan teknik noda kertas saring pada larva Culex quinquefasciatus say (Diptera : Culicidae) di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.

Logaswamy S, Remia KM. 2009. Larvicidal efficacy of leaf extract of two botanicals against the mosquito vector Aedes aegypti (Diptera: Ciilicidae). Ind J Natl Prod Res. l(2): 208-212.

Luijendijk TJ, Van der Meidjen E, Verpoter R. 1996. Involvement of strictasidine as a defensive chemical in Cathrantus roseus. J Chem Ecol. 22(8): 1355-1366.

Manalu RM. 2008. Faktor risiko manajemen pemeliharaan anjing terhadap kejadian infeksi Dirofilaria immitis di wilayah pulau Jawa dan Bali [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Novianto IK. 2007. Kemampuan hidup larva Culex quinquefasciatus pada habitat limbah cair rumah tangga [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret.

Palumbo E. 2008. Filariasis: diagnosis, treatment and prevention. Acta Biomed. 79: 106-109.

[PATH] Program for Appropriate Technology in Health. 2006. Japanese encephalitis surveillance in Indonesia: current status and activities.

Russel RC. 1996. A colour photo atlas of mosquitoes of Southeastern Australia. Medical Entomology, Westmead Hospital.

Satriyo DM. 2009. Jenis dan fluktuasi nyamuk serta pengaruh antinyamuk liquid vaporizer terhadap nyamuk yang mengisap darah pada malam hari di desa babakan kecamatan darmaga [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Shibata S. 2001.Chemistry and cancer preventing activities of ginseng saponins

and some related triterpenoid compounds. J Korea Med Sci. 16(1): 28-37. Taviv Y. 2005. Fauna nyamuk di Desa Sagara Kembang Kecamatan Lengketi,

OKU, Sumatra Selatan [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Tsai TF. 2000. New initiatives for control of Japanese encephalitis by vaccination. Report of WHO/CVI meeting, Bangkok, Thailand. Vaccine. 18: 1-25.

[WHO] World Health Organization. 2008. Lymphatic Filariasis [internet]. [diunduh 5 Juni 2013]. Tersedia pada: http://www.who.com.

Winarno. 2005. Vektor Japanese encephalitis di Indonesia.Workshop and training surveilans JE di rumah sakit. Jakarta: 17-19 Februari 2005. 4 hlm.

(29)

18

LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Uji Aktivitas Larvasida Cx. quinquefasciatus

Konsentrasi (ppm) Mortalitas (%)

24 jam 48 jam 72 jam

125 5 13 18

250 5 15 18

500 5 12 18

1000 15 30 58

2000 47 72 85

Abate 100 100 100

Konsentrasi (ppm) Rataan

24 jam 48 jam 72 jam

125 1 3 4

250 1 3 4

500 1 2 4

1000 3 6 12

2000 9 14 17

Abate 20 20 20

Lampiran 2 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (taraf nyata 5%) persentase kematian larva Cx. quinquefasciatus pada paparan 24 jam

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:nilai Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 962.286a 6 160.381 18.608 .000

Intercept 535.048 1 535.048 62.077 .000

perlakuan 962.286 6 160.381 18.608 .000

Error 120.667 14 8.619

(30)

19

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:nilai Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 962.286a 6 160.381 18.608 .000

Intercept 535.048 1 535.048 62.077 .000

perlakuan 962.286 6 160.381 18.608 .000

Error 120.667 14 8.619

Total 1618.000 21

Corrected Total 1082.952 20 a. R Squared = .889 (Adjusted R Squared = .841)

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai signifikansi perlakuan lebih kecil dari pada nilai p=0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata. Oleh karena itu perlu dilakukan uji lanjut Duncan. Berikut tabel hasil uji lanjut Duncan.

Nilai Duncan

perlakuan N

Subset

1 2 3

kontrol 3 .00

125 3 1.00

250 3 1.00

500 3 1.00

1000 3 3.00

2000 3 9.33

abate 3 20.00

Sig. .275 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 8.619.

(31)

20

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable nilai

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model

987.810a 6 164.635 26.801 .000

Intercept 1001.190 1 1001.190 162.984 .000

perlakuan 987.810 6 164.635 26.801 .000

Error 86.000 14 6.143

Total 2075.000 21

Corrected Total 1073.810 20 a. R Squared = .920 (Adjusted R Squared = .886)

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai signifikansi perlakuan lebih kecil dari pada nilai p=0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata. Oleh karena itu perlu dilakukan uji lanjut Duncan. Berikut tabel hasil uji lanjut Duncan.

Nilai

Duncan

perlakuan N

Subset

1 2 3 4 5

kontrol 3 .00

250 3 2.67

500 3 2.67

125 3 3.00

1000 3 6.67

2000 3 16.33

6 2 20.00

Sig. 1.000 .790 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 1.897.

(32)

21

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:nilai

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model

1070.571a 6 178.429 55.925 .000

Intercept 1525.762 1 1525.762 478.224 .000

perlakuan 1070.571 6 178.429 55.925 .000

Error 44.667 14 3.190

Total 2641.000 21

Corrected Total 1115.238 20 a. R Squared = .960 (Adjusted R Squared = .943)

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai signifikansi perlakuan lebih kecil dari pada nilai p=0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata. Oleh karena itu perlu dilakukan uji lanjut Duncan. Berikut tabel hasil uji lanjut Duncan.

nilai

Duncan

perlakuan N

Subset

1 2 3 4

kontrol 3 .00

125 3 3.67

250 3 3.67

500 3 3.67

1000 3 11.67

2000 3 17.00

abate 3 20.00

Sig. 1.000 1.000 1.000 .059

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

(33)

22

RIWAYAT HIDUP

Penulis, dilahirkan di Palembang pada tanggal 12 Februari 1990 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, anak dari pasangan Parna dan Nur Hayati.

Pendidikan formal penulis sampai dengan tingkat SMA diselesaikan di Kayuagung Kabupaten OKI Sumatera Selatan, yaitu SDN 14 Kayuagung pada tahun 2001, SMPN 1 Kayuagung pada tahun 2004 dan SMAN 1 Kayuagung. Penulis lulus dari SMA dan pada tahun yang sama diterima di jurusan Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur USMI pada tahun 2008.

Gambar

Gambar 1 Tapak dara (Catharanthus roseus) (Dok pribadi).
Gambar 2
Gambar 3 Daun Tapak Dara (a), Pengeringan Daun (b), Serbuk Daun (c)
Gambar 4 Uji Alkaloid (a), Uji Saponin (b)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Bunga tapak dara (Catharanthus roseus) mempunyai kandungan kimia yang dapat digunakan sebagai insektisida alami yaitu geraniol dan sitronellol.Geraniol

Pengaruh Ekstrak Daun Serai Wangi (Chymbopogon nardus) terhadap Tingkat Mortalitas Larva Nyamuk Aedes aegypti.. Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Penelitian ini bertujuan menguji komponen fitokimia dan aktivitas antikalkuli ekstrak air daun tapak dara bunga putih secara in vitro terhadap peluruhan kalsium oksalat

Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak etanol daun tapak dara yang optimum dalam menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus pyogenes

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius) sebagai larvasida terhadap larva Culex sp.. Metode

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas daya larvasida nabati biji sirsak (Annona muricata Linn) terhadap larva nyamuk Culex quinquefasciatus Say.. Sebanyak 240

1) Mengetahui potensi ekstrak etanolik daun tapak dara sebagai alternatif pengganti kolkhisin dalam menginduksi poliploidisasi tanaman ekaliptus. 2) Mengetahui

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN GEMITIR Tagetes erecta SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP MORTALITAS LARVA NYAMUK Aedes aegypti SKRIPSI Oleh : DEVITA ANISA DWIPAYANA NPM : 19820005