• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Penguasaan Lahan Sawah dengan Pendapatan Usahatani Padi (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Penguasaan Lahan Sawah dengan Pendapatan Usahatani Padi (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi)"

Copied!
386
0
0

Teks penuh

(1)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2011), peranan penting sektor pertanian dalam arti luas (Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan) dapat terlihat dari kontribusinya terhadap nilai PDB, atas dasar harga berlaku tahun 2010 PDB pertanian sebesar 985,1 triliun rupiah atau sebesar 15,33 persen terhadap total nilai PDB. Selain itu, sektor pertanian juga mampu menyerap tenaga kerja sebesar 41.494.941 jiwa atau sebesesar 38,35 persen terhadap total nilai tenaga kerja1. Peran penting sektor pertanian lainnya dapat terlihat dari sumbangannya terhadap devisa negara. Total devisa yang diperoleh dari kegiatan ekspor pertanian di tahun 2008 mampu mencapai US$ 17.979.58 juta2.

Salah satu produk pertanian strategis Indonesia yang menjadi komoditi utama ketahanan pangan nasional adalah padi. Padi merupakan sumber makanan pokok mayoritas penduduk Indonesia, ketersediannya sangat tergantung pada dinamika produksi dan konsumsi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2010), produksi padi dari tahun 2008-2010 mengalami peningkatan sebesar 9,37 persen. Pada tahun 2010, produksi padi sebesar 65.980.670 ton Gabah Kering Giling (GKG), dengan tingkat rendemen sebesar 0,6 jumlah ketersediaan gabah tersebut diperkirakan setara dengan 39.588.402 ton beras. Untuk melihat dinamika kebutuhan beras nasional, dapat didekati dari tingkat konsumsi beras per kapita. Menurut Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik (BPS), Subagio Dwijosumono, asumsi konsumsi beras per kapita per tahun rakyat Indonesia sebanyak 139,15 kg3. Oleh karena itu, untuk mencukupi kebutuhan konsumsi 237.556.363 jiwa penduduk Indonesia, diperlukan beras sebanyak 38 juta ton. Sekilas berdasarkan perhitungan angka angka statistik tersebut, terlihat bahwa Indonesia sebetulnya mengalami surplus beras. Akan tetapi dengan melihat fakta

1

Badan Pusat Statistik. 2010. Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 dan 2010.

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06&notab=3. [26 Maret 2011].

2

Kementrian Pertanian. 2010. Rancangan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. http://agribisnis.deptan.go.id/organisasi/renstra_Ditjen_PPHP.pdf. [28 Maret 2011].

3

Berita Terbaru. 2011. BPS: Jika dihitung, Indonesia Surplus Beras 4 Juta Ton.

(2)

2

adanya impor beras yang jumlahnya relatif besar dan kelangkaan beras di penghujung tahun 2010, mengindikasikan kenyataan sebaliknya, bahwa ketersediaan beras nasional Indonesia belum aman dan masih tergantung pada impor luar negeri.

Keragaan ekspor dan impor beras Indonesia dapat terlihat pada Tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut, impor beras di tahun 2008 mencapai 289.689,411 ton. Namun, pada tahun 2009 jumlah tersebut menurun 13,5 persen menjadi sebesar 250.473,149 ton. Pada tahun 2010 impor beras kembali mengalami penurunan sebesar 31,6 persen menjadi sebesar 171.442,022 ton. Akibat kelangkaan beras di akhir tahun 2010, pada tahun 2011 ini, pemerintah telah mengeluarkan izin impor beras sebanyak 1,5 juta ton untuk mencukupi stok Badan Urusan Logistik (Bulog)4. Terakhir Indonesia mengimpor beras dalam jumlah besar pada tahun 1998 sebesar 5,8 juta ton dan 4 juta ton pada tahun 1999 dengan rata-rata impor sebesar 2 juta ton/tahun5. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara importer beras terbesar di dunia dan menunjukkan rentannya kemandirian pangan,

padahal sejarah mencatat pada tahun 1984 Indonesia mampu mendapatkan

penghargaan oleh Badan Pangan Sedunia (FAO) karena dinilai telah berhasil memenuhi kebutuhan pangan nasional (swasembada beras).

Tabel 1. Ekspor-Impor Beras Indonesia Tahun 2008 -2011

Sumber : Badan Pusat Statistik (2010) Ket : *) Rencana Impor Bulog 2011

4

Berita Terbaru. 2011. BPS: Jika dihitung, Indonesia Surplus Beras 4 Juta Ton.

http://www.berita-terbaru.com/berita-nasional/bps-thn-2011-seharusnya-beras-surplus-4jt-ton-tapi-kemana-yah-larinya-ayo-tebak.html. [29 Maret 2011].

5

Husodo SY. 2003. Membangun Kemandirian di Bidang Pangan: Suatu Kebutuhan bagi Indonesia. Jurnal Ekonomi Rakyat Artikel - Th. II - No. 6.

http://www.ekonomirakyat.org/edisi_18/artikel_3.htm. [16 April 2011]

Tahun Ekspor

(Ton)

Laju Ekspor (%)

Impor (Ton)

Laju Impor (%)

2008 722,364 289.689

2009 2.344,057 224,5 250.473 -13,5

2010 203,284 -91,3 171.442 -31,6

(3)

3

Salah satu upaya mengurangi impor beras adalah dengan peningkatan produksi padi. Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu intensifikasi dan ektensifikasi. Salah satu hambatan program intensifikasi maupun ekstensifikasi adalah adanya alih fungsi (konversi) lahan pertanian. Masalah ini muncul seiring dengan semakin tinggi dan bertambahnya kebutuhan dan permintaan terhadap lahan, khususnya dari sektor non pertanian seperti sektor perumahan, sebagai dampak kegiatan pembangunan.

Salah satu sumber data yang menjadi acuan dalam menjelaskan terjadinya konversi lahan adalah Sensus Pertanian (SP) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik. SP dilakukan secara periodik setiap 10 tahun sekali, mulai 1973, 1983, 1993, dan 2003. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian yang sudah dilakukan selama tiga dekade terakhir, yaitu pada tahun 1983, 1993, dan 2003 oleh Badan Pusat Statistik (Tabel 2), selama periode 1983-1993 konversi lahan pertanian mencapai 1.280.268 ha, dan sebagian besar terjadi di Jawa (79,3 persen). Pada dasawarsa berikutnya (1993-2003), besaran konversi lahan pertanian relatif tidak mengalami perubahan yang berarti, yaitu sebesar 1.264.140 ha, dan sebagian besar terjadi di Sumatera (92,3 persen). Sejalan dengan dinamika pembangunan, sebaran konversi lahan pertanian cenderung mengalami pergeseran dari Jawa ke luar Jawa terutama Sumatera.

Tabel 2. Konversi Lahan Pertanian di Indonesia, 1983-2003 (Hektar)

Wilayah Total lahan pertanian Konversi lahan

SP 19831)

SP 19932)

SP 20033)

1983-1993 1993-2003

Jawa 5.422.449 4.407.029 4.019.887 -1.015.420 -387.142

Bali & Nusa

Tenggara 1.208.164 1.060.218 1.095.551 -147.946 +35.293

Sumatera 5.668.811 5.416.601 4.249.706 -252.210 -1.166.895 Sulawesi 1.637.811 1.772.444 2.184.508 +134.693 +412.064 Kalimantan 2.222.153 2.191.596 2.096.230 -30.557 -95.357

Maluku 378.662 400.339 351.970 +21.717 -48.369

Irian Jaya 166.322 175.777 142.043 +9.455 -33.734

INDONESIA 16.704.272 15.424.004 16.704.272 -1.280.268 -1.264.140

Sumber: Badan Pusat Statistik 2004, diacu dalam Lokollo et al. 2007 1) Sensus Pertanian Seri J3, 1983

2) Sensus Pertanian Seri J3, 1993 3) Sensus Pertanian Seri A3, 2003

(4)

4

pengurangan sebanyak 1.402.562 ha atau sebanyak 70.128,1 ha/tahun. Konversi lahan pertanian ke non pertanian berdasarkan ketentuan UUPA No 5 Tahun 1960 dibenarkan jika dalam waktu yang bersamaan terjadi pencetakan lahan pertanian baru yang disesuaikan dengan kualitas lahannya. Minimnya program pencetakan lahan baru, menyebabkan dampak utama konversi lahan adalah berkurangnya produksi pertanian. Seberapa besar dampak kehilangan ini dapat digambarkan dengan ilustrasi jika semua luas areal pertanian yang hilang tersebut dimanfaatkan untuk budidaya padi. Dengan asumsi intensitas pertanaman (IP) sebesar 150, produktifitas padi sebesar 5,6 ton/ha serta rendemen gabah-padi sebesar 60 persen, maka konversi lahan telah mengurangi potensi gabah sebesar 589.076,04 ton gabah/tahun atau 353.445,62 ton beras/tahun, dengan harga beras medium saat ini sebesar Rp 6000/kg, maka nilai kehilangan beras diperkirakan sebesar 2,12 triliun rupiah/tahun.

Oleh karena itu, pengendalian laju konversi sangat penting dilakukan untuk tercapainya ketersediaan beras nasional. Jika konversi terus berlangsung dan upaya untuk melaksanakan ekstensifikasi tidak terwujud atau terkendala, maka produksi gabah atau beras nasional akan semakin berkurang. Upaya pengendalian konversi lahan pertanian tersebut menjadi cukup mendesak mengingat pertumbuhan produksi beras akhir-akhir ini mengalami stagnasi akibat terkendala oleh kejenuhan teknologi.

(5)

5

bioenergi yang berdampak terhadap menurunnya ketersediaan pangan yang berimplikasi terhadap peningkatan harga pangan secara umum; dan (e) mengimbangi pertumbuhan penduduk Indonesia yang selalu bernilai positif (Surya 2011).

Selain adanya konversi lahan pertanian, ketersediaan gabah atau beras juga dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penguasaan lahan sawah oleh rumah tangga petani padi. Tabel 3 menyajikan data SP 1983, 1993 dan 2003 mengenai jumlah rumah tangga pertanian (RTP) penggunaan lahan berdasarkan luas lahan yang dikuasai. Berdasarkan tabel tersebut terlihat jumlah rumah tangga petani pengguna lahan yang < 0,49 ha mengalami peningkatan yang cukup besar. Jika pada tahun 1983 jumlahnya sebanyak 7,600,964 RTP, maka pada tahun 2003 jumlahnya menjadi 14,064,589 RTP. Dengan demikian kenaikan jumlah RTP luas lahan < 0,49 ha selama 20 tahun sebesar 85,04 persen. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui rata-rata kepemilikan lahan petani pada tahun 1983 sebesar 0,23 ha dan kepemilikan ini semakin kecil karena di tahun 2003 menjadi 0,07 ha. Berkurangnya lahan yang dikuasi oleh petani mengindikasikan kesejahteraan petani semakin berkurang.

Tabel 3. Jumlah RTP Pengguna Lahan Menurut Luas Lahan yang Dikuasai di Indonesia pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003.

Luas Lahan (ha) 1983 1993 2003

RTP Luas Lahan (Ha) RTP Luas Lahan (Ha) RTP Luas Lahan (Ha) < 0.49 7,600,964 1,767,400 9,580,885 830,385 14,064,589 972,842

44.50 18.92 45.29 4.95 56.47 4.94

0.5-0.99 4,000,264 2,655,352 4,373,203 3,906,272 4,578,053 4,581,431

23.42 28.42 20.67 23.29 18.38 23.29

1-1.99 3,179,270 4,087,770 4,422,493 4,253,652 3,460,406 4,988,852

18.61 43.75 20.90 25.36 13.89 25.36

> 2 2,298,818 833,172 2,779,390 7,784,770 2,801,627 9,130,287

13.46 8.92 13.14 46.41 11.25 46.41

17,079,403 9,343,785 21,156,058 16,775,133 24,904,764 19,673,466 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber: Badan Pusat Statistika 2004, diacu dalam Lokollo et al. 2007

(6)

6

petani pun semakin berkurang. Dilihat dari perspektif penguasaan lahan, salah satu upaya yang akan dilakukan oleh petani untuk mempertahankan kehidupannya pada kondisi pendapatan petani semakin berkurang adalah dengan cara meningkatkan penguasaan lahan. Penguasaan lahan oleh petani dapat dilakukan dengan cara membeli, menyakap, menyewa, dan meminjam. Mengingat profil petani Indonesia yang sebagian besar merupakan kelompok berpendapatan rendah, maka upaya penguasaan lahan yang paling banyak dilakukan oleh petani adalah dengan cara menyakap, menyewa dan meminjam.

1.2. Perumusan Masalah

Pembangunan pertanian di Indonesia dihadapkan pada berbagai perubahan kondisi sosial ekonomi petani dan usaha pertanian di perdesaan. Beberapa perubahan yang juga menjadi permasalahan dalam pembangunan pertanian di Indonesia, antara lain: (1) semakin meningkatnya Rumah Tangga Petani, sementara pengusahaan dan penguasaan lahan pertanian per keluarga petani semakin kecil, yang diakibatkan karena tingginya laju konversi lahan ke penggunaan non pertanian; (2) Tenaga kerja pertanian didominasi oleh tenaga kerja usia tua serta tidak tertariknya tenaga kerja muda dan berpendidikan tinggi untuk bekerja di sektor pertanian; (3) Ada kecenderungan menurunnya penggunaan berbagai input produksi (pupuk dan pestisida) disebabkan daya beli dan nilai tukar petani yang makin menurun; dan (4) Peranan sektor pertanian pada PDB semakin menurun, namun tidak diikuti oleh menurunnya penyerapan tenaga kerja. Hal ini menyebabkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian relatif rendah dibanding sektor non pertanian sehingga pendapatan rumah tangga petani yang diperoleh rendah (Lokollo

et al. 2007).

(7)

7

dengan semakin kecilnya kepemilikan lahan pertanian akan berpengaruh terhadap semakin kecilnya pendapatan petani?”.

Status lahan pertanian dapat dilihat berdasarkan penguasaan dan pengusahaan lahan. Penguasaan lahan diartikan sebagai lahan yang dikuasai oleh petani dan dilakukan melalui pembelian lahan, sakap, sewa, gadai, dan pinjam. Akan tetapi tidak semua lahan yang dikuasi tersebut diusahakan oleh petani. Besar kecilnya penguasaan dan pengusahaan lahan pertanian dapat berhubungan dengan pendapatan rumah tangga petani, tergantung pada struktur mata pencaharian rumah tangga petani. Kesimpulanpenelitian yang dilakukan oleh Supriyati, Saptana, dan Supriyatna Y (2003) tentang “Hubungan Penguasaan Lahan dan Pendapatan Rumah Tangga di Perdesaan”, memberikan gambaran sebegai berikut ini: pertama, jika mata pencaharian rumah tangga petani di dominasi dari sektor pertanian, maka terjadi pola hubungan yang positif antara penguasaan lahan dengan pendapatan petani. Kedua, jika mata pencaharian rumah tangga petani di dominasi dari sektor non pertanian, maka terjadi hubungan yang negatif antara penguasaan lahan dengan pendapatan petani. Dengan demikian, konsep yang tepat untuk menggambarkan hubungan antara status lahan dan pendapatan petani bukan dengan konsep penguasaan lahan melainkan dengan konsep pengusahaan lahan.

Fenomena semakin kecilnya kepemilikan lahan oleh petani diindikasikan hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kota Sukabumi. Sebagai salah satu kota di Propinsi Jawa Barat, dinamika penguasaan lahan rumah tangga petani di Kota Sukabumi menarik untuk dikaji dengan pertimbangan sebagai berikut ini :

(8)

8

lahan, mengingat rata rata kepemilikan lahannya yang tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Cianjur.

2. Berdasarkan laporan dari Bank Indonesia tahun 2010, dibandingkan dengan

kota lainnya di Jawa Barat seperti Kota Bogor, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, dan Kota Tasikmalaya, maka inflasi untuk sektor perumahan di Kota Sukabumi adalah yang paling tinggi, yaitu sebesar 11,32 persen6. Mencermati angka inflasi tersebut terlihat bahwa prospek industri perumahan di Kota Sukabumi sangat baik, terlebih setelah lesunya industri perumahan di Kota Depok dan Bekasi yang ditandai dengan nilai inflasi yang negatif. Membaiknya prospek industri perumahan di Kota Sukabumi akan mengakibatkan besarnya permintaan akan lahan, sehingga dengan kata lain permintaan lahan yang tinggi akan memicu terjadinya konversi lahan.

3. Konversi di Kota Sukabumi secara tidak langsung akan mempengaruhi pola

distribusi penguasaan dan pengusahaan lahan oleh rumah tangga petani. Pola distribusi penguasaan lahan selanjutnya akan berhubungan dengan pendapatan rumah tangga petani.

Tabel 4. Luas Wilayah, Jumlah Petani, dan Luas Sawah Irigasi Desa Tiap Kecamatan 2007

No Kecamatan Luas

(Km2)

Jumlah Petani

Luas Lahan Sawah

Luas Panen Bersih (ha)

Produkti-fitas Padi (ton/ha)

Produksi Padi (ton)

1 Baros 6,11 2.114 289,60 707,75 8,22 5.817,71

2 Citamiang 4,04 661 79,41 279,30 7,62 2.128,27

3 Warudoyong 7,60 1.762 25,99 690,65 7,15 4.938,15

4 Gunung Puyuh 5,50 2.315 14,70 482,60 8,13 3.925,47

5 Cikole 7,08 535 10,98 387,60 7,12 2.759,71

6 Lembursitu 8,90 3.100 344,70 641,25 8,10 5.194,13

7 Cibeureum 8,77 2.325 505,44 895,85 7,32 6.557,62

Sumber: Kota Sukabumi dalam Angka (2008)

6

(9)

9

Secara administratif, Kota Sukabumi terbagi menjadi 7 (tujuh) kecamatan, yaitu Kecamatan Baros, Citamiang, Warudoyong, Gunung Puyuh, Cikole, Lembursitu, dan Cibeureum. Tabel 4 menyajikan luas wilayah, jumlah petani, luas sawah irigasi desa, luas panen bersih, produktifitas padi dan produksi padi di tiap tiap kecamatan. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa dari luas wilayah, Kecamatan Lembursitu paling luas dibandingkan kecamatan lainnya, selain itu jumlah petani di Kecamatan Lembursitu pun paling banyak, akan tetapi jika dilihat dari luas areal sawah irigasi desa, Kecamatan Cibeureum merupakan kecamatan yang paling luas areal sawah irigasinya.

Jika dikaitkan dengan isu ketimpangan penguasaan lahan, maka kajian terhadap Kecamatan Lembursitu akan lebih menarik dibandingkan dengan kecamatan lainnya, dengan jumlah petani yang relatif banyak, akan tetapi luas panen bersih tanaman padi yang tidak sebesar Kecamatan Cibeureum dan Warudoyong, maka diperkirakan bahwa rata-rata penguasaan lahan sawah petani di Kecamatan Lembursitu relatif kecil jika dibandingkan dengan Cibeureum dan Warudoyong. Gejala awal konversi akan terlihat dari perpindahan hak milik yang mengakibatkan ketimpangan pola distribusi lahan. Dengan rata-rata kepemilikan lahan yang kecil, maka diperkirakan pola distribusi penguasaan lahan di Kecamatan Lembursitu relatif timpang. Kondisi ini dapat mengakibatkan terhadap perubahan struktur petani yang didominasi oleh kelompok petani penggarap.

Kelurahan Situmekar merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Lembursitu Kota Sukabumi yang memiliki potensi dalam menghasilkan padi sawah. Luas areal lahan sawah berdasarkan jenis pengairan di Kelurahan Situmekar mencapai 63,330 ha (40,84 % dari luas Kelurahan Situmekar sebesar 155,040 ha). Meskipun sistem irigasi yang digunakan hanyalah sistem irigasi sederhana, namun kelurahan ini mampu menghasilkan kualitas padi sawah terbaik dibandingkan dengan kelurahan-kelurahan lain yang ada di Kecamatan Lembursitu, karena letaknya yang paling dekat dengan sumber air yaitu dekat dengan Sungai Cikadulawang.

(10)

10

rata-rata penguasaan lahan dan adanya gap pendapatan antara petani pemilik lahan dengan petani bukan pemilik lahan terjadi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi. Berdasarkan hasil pendataan penyuluh pertanian kota Sukabumi tahun 2009, rata-rata penguasaan lahan sawah di Kelompok Tani Harum IV, baik berdasarkan pengelompokan lahan milik dan bukan milik (sewa, bagi hasil/sakap, gadai, dan pinjam) adalah sebesar 0,09 ha/petani dengan jumlah petani sebanyak 32 orang. Selain itu berdasarkan hasil pendataan penyuluh pertanian (2008), terdapat gap yang cukup besar pada rata-rata tingkat pendapatan usahatani/ha/tahun antara petani lahan milik dan petani bukan milik, yaitu masing-masing sebesar Rp 8.250.000,00 dan Rp 3.987.750,00, sehingga diperkirakan kecenderungan pendapatan yang diperoleh antara petani lahan milik dan bukan milik masing masing sebesar Rp 618.750,00 per bulan dan Rp 299.081,25 per bulan. Hal ini tentu saja jauh dari standar upah minimum regional (UMR) atau ukuran kesejahteraan di wilayah manapun.

Kecilnya pendapatan dari usahatani padi di Kelompok Tani Harum IV, mengakibatkan RTP mencari pekerjaan lain di luar usahataninya untuk melindungi mereka dari tingkat kesejahteraan yang semakin menurun. Menurut Handewi et al. (2002) peranan pendapatan yang berasal dari usahatani padi pada berbagai strata penguasaan lahan sawah diperkirakan hanya dapat mengatasi 21 persen hingga 38 persen terhadap keseluruhan pengeluaran rumah tangga sehingga petani padi harus meningkatkan luasan penguasaan lahan sawahnya apabila ingin mengatasi pengeluaran rumah tangganya dan tetap fokus dalam usahatani padi.

(11)

11

sektor pertanian atau tergantung pada sektor non pertanian. Dengan demikian berdasarkan uraian permasalahan, penulis mencoba untuk merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut ini:

1) Bagaimana pola distribusi penguasaan lahan petani padi di Kelompok Tani

Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi?

2) Apakah terdapat perbedaan pendapatan usahatani padi sawah berdasarkan

status penguasaan lahan sawahnya di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi?

3) Apakah terdapat hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan

pendapatan usahatani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi?

4) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah petani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini, yaitu:

1) Menganalisis pola distribusi penguasaan lahan petani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi.

2) Menganalisis pendapatan usahatani padi sawah berdasarkan status

penguasaan lahan sawahnya di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi.

3) Menganalisis hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan

pendapatan usahatani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi.

4) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah

(12)

12 1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: (1) penulis sebagai sarana pembelajaran dan penerapan ilmu; (2) petani sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam melakukan penguasaan lahan di Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi; (3) pihak penyuluh pertanian sebagai bahan informasi dan evaluasi program yang akan datang; (4) pemerintah dalam upaya penyusunan strategi dan kebijakan pertanian yang lebih baik; dan (5) peneliti lain yang ingin mengembangkan penelitian ini pada tahap berikutnya.

1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan dengan lingkup regional yaitu Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi, Propinsi Jawa Barat dengan padi sawah sebagai komoditi yang akan diteliti. Petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah petani padi sawah yang tergabung dalam Kelompok Tani Harum IV.

Objek penelitian ini meliputi penguasaan lahan yang dibedakan berdasarkan statusnya serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan dalam penelitian ini adalah status penguasaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap), umur, pendidikan, pengalaman bertani, jumlah tanggungan keluarga, jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian, jumlah hari kerja, jumlah organisasi yang diikuti, interaksi pertemuan di kelompok tani, hutang, aset, luas lahan sawah yang dikuasai, luas lahan milik, produktivitas padi, biaya usahatani, penerimaan usahatani, dan pendapatan usahatani.

(13)

13

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan

Menurut Wiradi (2008) dalam tulisannya tentang “Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria”, istilah land tenure dan land tenancy sebenarnya merupakan dua sejoli, namun pengertian atau bidang yang diartikan oleh masing-masing istilah tersebut dalam penggunannya agak berbeda. Kata land memang sudah jelas yaitu tanah, sedangkan kata tenure berasal dari kata dalam bahasa latin

tenere yang mencakup arti: memelihara, memegang, memiliki. Oleh karena itu,

land tenure memperoleh arti: hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah land tenure biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang pokok-pokok umumnya adalah mengenai status hukum dari penguasaan tanah seperti hak milik, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Uraian itu menunjukkan kepada pendekatan juridis. Artinya penelaahannya biasanya bertolak dari sistem yang berlaku yang mengatur kemungkinan penggunaan, mengatur syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapan itu dapat berlangsung.

Kata land tenancy secara etimologis adalah saudara kembar dari kata land tenure. Sebab, kata tenant mempunyai arti: orang yang memiliki, memegang, menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu. Tetapi, suatu uraian yang menggunakan istilah ini biasanya menunjuk kepada pendekatan ekonomis. Artinya, penelaahannya meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah. Objek penelaahan itu biasanya berkisar di sekitar pembagian hasil antara pemilik dan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-investasi, besarnya nilai sewa, dan sebagainya.

Di Indonesia, nampaknya soal peristilahan hubungan penguasa tanah

belum dibakukan. Ada yang berpendapat bahwa land tenancy sebaiknya

(14)

14

Survei Agro Ekonomi atau SDP-SAE). Sedangkan hubungan-hubungan lainnya disebut dengan istilah aslinya (sewa-menyewa dan sebagainya).

Kiranya perlu juga dibedakan antara istilah pemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah. Kata pemilikan menunjuk kepada penguasaan formal, sedangkan kata penguasaan menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 ha. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 56/1960, atau yang dikenal sebagai UU Land Reform, batas luas maksimum dikenakan bukan saja pada pemilikan tanah tetapi juga penguasaan tanah (Pasal 1 Undang-Undang No 56/1960). Kata pengusahaan nampaknya cukup jelas, yaitu menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif.

Susilowati dan Suryani (1996) serta Suhartini dan Mintoro (1996) juga mengutarakan hal mengenai pemahaman pola pemilikan dan pengusahaan lahan. Pola pemilikan lahan pertanian menggambarkan keadaan pemilikan faktor produksi utama dalam produksi pertanian. Keadaan pemilikan lahan sering dijadikan suatu indikator bagi tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan walaupun belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya bagi tingkat kesejahteraan itu sendiri. Namun demikian, pola pemilikan lahan dapat dijadikan gambaran tentang pemerataan penguasaan faktor produksi utama di sektor pertanian yang dapat dijadikan sumber pendapatan bagi pemiliknya. Pada pola pengusahaan lebih ditekankan pada pemanfaatan secara langsung sumberdaya lahan untuk usahatani yang dilakukan oleh rumah tangga petani (RTP).

(15)

15

perdesaan dan terciptanya suatu kelembagaan yang berkaitan dengan hubungan kerja antara petani pemilik lahan dengan penggarap (Saleh dan Zakaria 1996).

Sumaryanto (1996) memasukan hak pengusahaan atau penggarapan bersama hak kepemilikan dalam cakupan hak penguasaan. Hak pengusahaan merupakan salah satu produk kelembagaan sehingga dinamikanya berkaitan erat dengan perubahan nilai, norma atau hukum yang dianut dan berlaku dalam suatu komunitas. Dibandingkan dengan hak kepemilikan, derajat okupasi hak pengusahaan lebih rendah. Pemilik mempunyai hak dan kewenangan untuk menjual, menukarkan, menghibahkan atau mewariskan lahannya itu kepada orang lain, sedangkan penggarap pada hakekatnya hanyalah memiliki hak untuk mengelola atau menggarap lahan tersebut sebagaimana diatur dalam sistem kelembagaan yang lazim dianut dalam komunitas tersebut.

Sugiarto (1996) dan Syukur et al. (1996) membagi sistem kelembagaan pengusahaan lahan menjadi empat bagian, yakni : sistem sewa-menyewa, sistem bagi hasil, sistem gadai dan sistem kombinasi. Sistem sewa merupakan pengalihan hak garap kepada orang lain dengan imbalan yang pada umumnya berupa uang tunai kepada pemilik lahan. Besarnya tingkat sewa biasanya ditentukan sesuai dengan harga pasar lahan setempat. Selanjutnya setelah transaksi sewa terjadi maka pengelolaan atas lahan dan risikonya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penyewa. Sistem sakap atau bagi hasil merupakan pengalihan hak garap kepada orang lain, dimana antara pemilik dan penggarap terjadi ikatan pengusahaan usahatani dan pembagian produksi. Dalam sistem sakap, pemilik lahan menyediakan lahan sedangkan penggarap menyediakan tenaga kerja sepenuhnya. Siapa yang menanggung sarana produksi dan bagaimana pembagian hasil produksi tergantung dari tradisi setempat dan perjanjian sebelumnya.

(16)

16

pemilik-penyewa, pemilik-penyakap, pemilik-penggadai, penyewa-penyakap, penyewa-penggadai, penyakap-penggadai dan lain sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem penguasaan lahan dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu : (1) petani yang mengusahakan lahan milik sendiri, (2) petani yang mengusahakan lahan bukan milik sendiri, dan (3) gabungan dari keduanya. Bagi petani yang mengusahakan lahan orang lain dapat dilakukan dengan cara menyewa, bagi hasil/sakap, dan gadai serta sangat dimungkinkan terjadinya kombinasi antar petani milik, menyewa, bagi hasil, dan gadai dalam satu rumah tangga petani. Selain itu penguasaan lahan dan pengusahaan lahan merupakan konsep yang berbeda. Penguasaan lahan merujuk pada kewenangan seseorang dalam menguasai lahannya yang diakibatkan karena memiliki, menyewa, sakap, gadai, dan pinjam.

Sedangkan pengusahaan lahan merujuk pada seberapa luas

pemanfaatan/penggunaan lahan yang dikuasi oleh petani. Tidak semua lahan yang dikuasai oleh petani diusahakan semuanya.

2.2. Pola dan Distribusi Lahan Petani

Sumaryanto dan Rusastra (2000) menelaah data Sensus Pertanian (SP) 1983 dan 1993 untuk melihat struktur penguasaan tanah di tingkat makro. Hasil SP 1993 menunjukkan bahwa struktur pemilikan tanah rumah tangga pertanian cukup timpang, sekitar 49 persen rumah tangga pertanian tanaman pangan termasuk kelompok dengan penguasaan kurang dari 0,5 ha, dengan rata-rata luas penguasaan sekitar 0,24 ha. Sementara pada tahun 1983 sebesar 41 persen, dengan rata-rata luas penguasaan 0,26 ha. Di sisi lain, terjadi kecenderungan menurunnya proporsi rumah tangga yang termasuk kelompok penguasaan tanah 0,51 ha ke atas, tetapi rata-rata luas penguasaannya bervariasi.

(17)

17

terjadinya polarisasi penguasaan tanah di perdesaan.

Pada awal tahun 1980-an, menurut Wiradi dan Makali (1984) terdapat 2 kelompok pakar/peneliti yang berbeda pendapat tentang struktur penguasaan tanah di perdesaan. Kelompok pertama, yaitu Geertz, Hayami, dan Kikuchi berpendapat bahwa masyarakat perdesaan di Jawa tidak terkutub menjadi petani luas (tuan tanah) dan petani gurem (hamba tani), namun lebih merupakan stratifikasi yang meningkat. Kelompok lain adalah Sayogyo, Collier, Lyon, dan Kano yang berpendapat bahwa pengutuban masyarakat desa dalam hal penguasaan tanah memang sedang terjadi. Dinamika struktur penguasaan tanah 1983-1993 memperkuat pendapat kelompok kedua (Sumaryanto dan Rusastra 2000; Rusastra dan Sudaryanto 1997).

Data di tingkat mikro juga menunjukkan gejala ketimpangan pemilikan lahan dan peningkatan proporsi rumah tangga tunakisma terutama di perdesaan Jawa. Hasil penelitian Studi Dinamika Perdesaan (SDP) pada tahun 1982 di 12 desa di Jawa dan 3 desa di luar Jawa (Sulawesi Selatan) menunjukkan bahwa hampir di semua desa, Indeks Gini pemilikan tanah di atas 0,60. Terutama di Jawa, 6 dari 12 desa, indeks Gininya di atas 0,80, suatu tingkat ketimpangan yang berat. Temuan lain yang sangat bermakna adalah hampir di semua desa, 30 persen atau lebih rumah tangga tidak memiliki tanah, sedangkan kurang dari 20 persen rumah tangga memiliki setengah atau lebih dari total luas sawah yang ada (Wiradi dan Makali, 1984).

Hasil penelitian Panel Petani Nasional (PATANAS) tahun 1994/1995 dan 1998/1999 juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Selama periode tersebut, proporsi rumah tangga yang tidak mempunyai tanah cenderung meningkat, kecuali di desa perkebunan di luar Jawa. Indeks Gini di Jawa cenderung meningkat dari 0,72 menjadi 0,78, demikian juga di luar Jawa, meningkat dari 0,53 menjadi 0,54. Nampak bahwa ketimpangan pemilikan tanah di Jawa lebih besar dibandingkan luar Jawa (Adnyana 2000).

2.3. Pendapatan Usahatani Padi

(18)

18

geografis yang berbeda juga dapat mempengaruhi pendapatan usahatani di Kabupaten Subang (Disti 2006). Penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan dan biaya usahatani yang dikeluarkan petani program PTT di Desa Cijengkol lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya total petani Desa Mulyasari. Selain itu, penggunaan faktor-faktor produksi baik petani PTT Desa Mulyasari dan Desa Cijengkol juga belum mencapai kondisi optimal karena rasio NPM dan BKM tidak sama dengan satu sehingga baik petani PTT Desa Mulyasari maupun petani PTT Desa Cijengkol belum efisien. Berdasarkan perbandingan tingkat pendapatan terlihat bahwa penggunaan faktor produksi usahatani masih dapat ditingkatkan. Hal ini ditunjukkan dengan R/C rasio atas biaya tunai lebih besar daripada R/C rasio aktual. R/C rasio atas biaya tunai untuk petani PTT Desa Mulyasari pada kondisi optimal sebesar 5,28. Sedangkan R/C rasio tunai yang aktual sebesar 1,44. R/C rasio tunai untuk petani PTT Desa Cijengkol pada kondisi optimal sebesar 3,91 dan rasio tunai yang aktual sebesar 1,52.

Penjelasan Handayani (2006) lebih jauh mengungkapkan bahwa pendapatan usahatani milik luas lebih menguntungkan daripada pendapatan usahatani milik sempit. Nilai R/C pada usahatani milik luas adalah sebesar 2,12 sedangkan pada usahatani milik sempit adalah sebesar 1,97. Lebih rendahnya keuntungan yang diterima pada usahatani milik sempit disebabkan proporsi biaya yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan usahatani milik luas, khususnya biaya tenaga kerja dalam keluarga. Di sisi lain, pendapatan usahatani bukan milik luas memiliki keuntungan yang lebih kecil dibandingkan pendapatan usahatani bukan milik sempit. Nilai R/C pada usahatani bukan milik luas adalah sebesar 1,32 sedangkan nilai R/C pada usahatani bukan milik sempit adalah sebesar 1,36. Namun, secara umum keseluruhan usahatani padi sawah yang dilakukan di Desa Karacak cukup menguntungkan dan memberikan intensif untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai R/C yang lebih besar dari nilai satu.

(19)

19

dengan status lahan milik dalam satu musim tanam adalah sebesar Rp. 10.924.794,00 dengan biaya total yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 6.468.045,00. Simpulan penelitian Hantari (2007) yang lain memperlihatkan bahwa penerimaan total petani padi dengan status lahan bagi hasil dalam satu musim tanam adalah sebesar Rp. 8.264.285,00 dengan biaya total yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 9.588.958,00. Kondisi ini jika dibandingkan dengan petani pemilik lahan, maka petani penggarap lahan dengan status bagi hasil memiliki keuntungan yang jauh lebih rendah.

Kondisi perekonomian petani yang kurang beruntung, diperkirakan pula terjadi di Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi. Penerimaan RTP dari sektor pertanian padi belum dapat memenuhi pengeluaran rumah tangga secara keseluruhan sehingga diperlukan analisis pendapatan usahatani lahan untuk mengetahui apakah usahatani yang dilaksanakan menguntungkan atau tidak menguntungkan dan analisis perbandingan struktur pendapatan usahatani lahan antara petani pemilik lahan, petani pemilik dan penggarap, serta petani penggarap untuk mengetahui status penguasaan mana yang paling memberikan keuntungan maksimal bagi petani.

2.4. Hubungan Status Pengusahaan Lahan dengan Pendapatan Petani

Studi-studi untuk menentukan hubungan status pengusahaan lahan dengan pendapatan petani juga masih jarang dilakukan, sehingga akan lebih dipaparkan mengenai kajian-kajian pada studi-studi yang memiliki kaitan kuat terhadap hubungan status penguasaan lahan dengan pendapatan petani.

(20)

20

Hasil penelitian Studi Dinamika Perdesaan (SDP) di 15 desa menunjukkan bahwa apabila distribusi pendapatan dikaitkan dengan strata luas pemilikan tanah, masih jelas nampak bahwa makin besar luas tanah milik makin besar pula pendapatan rata-rata rumah tangga. Namun, separuh dari jumlah desa yang diteliti ternyata sektor non pertanian memberikan sumbangan lebih dari 50 persen dari total pendapatan, semakin dekat dengan daerah perkotaan semakin besar proporsi pendapatan dari sektor non pertanian. Dengan demikian, rumah tangga yang memiliki tanah luas lah yang mempunyai jangkauan lebih besar ke sumber non pertanian (Wiradi dan Makali 1984).

Tingkat pendapatan rumah tangga perdesaan menurut luas pemilikan tanah hasil penelitian Patanas 1994/1995 dan 1998/1999 menunjukkan struktur yang berbeda. Proporsi sumbangan pendapatan dari sektor non pertanian yang relatif besar terjadi pada kelompok tunakisma dan pemilikan tanah rendah/sempit, baik di Jawa maupun luar Jawa. Sementara itu, proporsi pendapatan dari usaha pertanian berkorelasi positif dengan luas pemilikan tanah, semakin tinggi luas pemilikan tanah semakin tinggi proporsi pendapatan dari usaha pertanian. Proporsi pendapatan dari usaha pertanian meningkat pada kelompok tunakisma, pemilikan rendah dan sedang. Sementara pada kelompok pemilikan luas cenderung menurun, penurunan ini terutama terjadi di luar Jawa. Di Jawa proporsi pendapatan dari usaha pertanian cenderung meningkat untuk semua kelompok. Di Jawa sumbangan pendapatan dari sektor non pertanian meningkat hanya pada kelompok tunakisma, sementara pada rumah tangga yang memiliki tanah cenderung menurun. Sementara di luar Jawa meningkat untuk semua kelompok.

(21)

21

berkembang. Fenomena kedua disebabkan oleh rata-rata dan keragaman luas pemilikan dan garapan serta kegiatan usaha di luar sektor pertanian sudah sangat berkembang terutama di desa contoh yang dekat dengan pusat industri.

Korelasi antara total pendapatan dengan lahan milik di Sumatera Barat nyata dengan koefisien korelasi 0,29. Sementara korelasi pada kasus yang lain tidak nyata. Kasus di Jawa Tengah dan Kalimantan Barat menunjukkan bahwa ada hubungan terbalik antara total pendapatan dan luas pemilikan lahan. Pada kasus di Jawa Tengah menunjukkan peran kegiatan usaha di luar pertanian sudah cukup besar terutama pada desa contoh yang dekat sentra industri. Sedangkan di Kalimantan Barat menunjukkan masih banyaknya lahan milik yang belum tergarap dengan baik atau penggarapan di lakukan dengan cara gilir balik, serta masih rendahnya teknologi produksi yang diterapkan.

2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan

Studi-studi untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah masih jarang dilakukan sehingga akan lebih dipaparkan mengenai kajian pada studi yang menunjukkan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan, termasuk pengusahaan dan pemilikan lahan. Beberapa kajian tersebut menjadi landasan utama dalam penetapan variabel-variabel di dalam penelitian ini.

Wiradi dan Manning (1984) mengungkapkan penyebab perubahan struktur agraria penguasaan lahan petani beberapa desa di DAS Cimanuk terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah umur petani, lama pendidikan petani, pendapatan RTP, akses memperoleh lahan, dan jumlah tanggungan keluarga, sedangkan faktor eksternal yang dimaksud adalah pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah melalui rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW), intervensi swasta, faktor ekonomi (kesejahteraan), faktor sosial budaya (warisan), faktor alam dan kelembagaan hukum pertanian.

(22)

22

disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan pengalaman petani, rendahnya kesadaran dalam kehadiran dalam penyuluhan, rendahnya proporsi pendapatan usahatani terhadap total penerimaan RTP, rendahnya pemerataan pendapatan, tingginya jumlah tanggungan keluarga dan jumlah ahli waris, keterbatasan modal kerja dan tabungan, rendahnya akses terhadap penggunaan lahan sawah, rendahnya akses terhadap informasi, rendahnya akses untuk memperoleh kredit modal kerja, rendahnya harga hasil pertanian, tidak adanya dukungan kebijakan pemerintah (meliputi: harga, perpajakan, dan agraria yang wajar), ketidakjelasan arah pengembangan teknologi (meliputi: peralatan mekanisasi dan tingkat penggunaan input modern), tidak adanya dukungan faktor alam (meliputi: kesuburan lahan atau produktivitas lahan dan serangan hama penyakit) serta tingginya faktor risiko lahan.

Setiawan (2006), menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi semakin merosotnya penguasaan lahan. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah faktor ekonomi (misal: lemahnya proporsi pendapatan usahatani terhadap total penerimaan RTP), faktor alam (misal: banjir, kekeringan, erosi, pencemaran, iklim, cuaca, serangan hama penyakit yang semakin intensif, luas dan bervariasi sehingga sulit untuk diprediksi dan dikendalikan), kebijakan pemerintah tidak mengutamakan pertanian (kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian penguasaan sudah banyak dibuat, namun implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai dari pemangku kepentingan), akses petani terhadap penggunaan lahan pertanian yang tersedia, jumlah tanggungan keluarga (anak-anak pewaris tidak mendapatkan pekerjaan di luar sektor pertanian, akibatnya lahan warisan dibagi-bagi hingga jelas batas-batas kepemilikannya), faktor sosial ekonomi (misalnya: tingginya biaya sekolah anak) dan terbatasnya kredit modal kerja di sektor pertanian.

(23)

23

pemilikan atas tanah dapat terjadi, karena : (1) transaksi jual beli, (2) pertukaran, (3) hibah, dan (4) pewarisan. Sementara, perubahan hak penggarapan dapat disebabkan oleh faktor seperti : (1) transaksi sewa, (2) bagi hasil, (3) hak penguasaan lainnya.

(24)

24 III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Teori Usahatani

Menurut Soeharjo dan Patong (1973), usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan oleh perorangan atau sekumpulan orang untuk menghasilkan output yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga ataupun orang lain disamping bermotif mencari keuntungan. Analisis pendapatan usahatani memiliki tujuan untuk menggambarkan keadaan sekarang suatu usaha dan untuk menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan.

Menurut Mosher 1968, diacu dalam Mubyarto 1979, usahatani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian, seperti tubuh tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan atas tanah itu, sinar matahari, bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah dan sebagainya.

Menurut Rifai 1960, definisi dari usahatani adalah setiap organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi ini berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seorang atau sekumpulan orang-orang segolongan sosial, baik yang berikatan geneologis maupun tertorial sebagai laksanawannya.

Menurut Suratiyah (2008) ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin.

(25)

25

memanfaatkan sumber daya pertanian untuk diproduksi sehingga mendatangkan keuntungan. Jika usahatani diartikan sebagai setiap organisasi alam, kerja, dan modal untuk produksi pertanian, maka usahatani mencakup segala bentuk organisasi produksi. Di Indonesia, terdapat banyak variasi organisasi produksi yang memenuhi definsi Bachtiar Rifai. Misalnya, seorang petani mengusahakan sebidang sawah untuk keperluan konsumsi keluarganya. Contoh ini menekankan bahwa pengertian usahatani yang dikemukakan Bachtiar Rifai tidak membatasi apakah produk yang dihasilkan oleh petani digunakan untuk keperluan konsumsi keluarga atau untuk tujuan komersial. Karena itu, misalnya, seorang petani mengusahakan tambak udang, di wilayah pantai utara Pulau Jawa (disebut Pantura), juga dapat disebut usahatani. Demikian halnya sebuah perusahaan pertanian yang menggunakan teknologi modern, seperti greenhouse, merupakan suatu usahatani7.

Menurut Hernanto (1989), terdapat empat unsur pokok dalam usahatani yang sering disebut sebagai faktor-faktor produksi, yaitu:

1) Tanah

Tanah usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan dan sawah. Tanah tersebut dapat diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil (menyakap), pemberian negara, warisan atau wakaf. Penggunaan tanah dapat diusahakan secara monokultur maupun polikultur atau tumpangsari. Tanah atau lahan adalah faktor produksi utama dalam pelaksanaan kegiatan usahatani.

2) Tenaga Kerja

Jenis tenaga kerja dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kesehatan dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan. Tenaga ini dapat berasal dari dalam dan luar keluarga (biasanya dengan cara upahan). Dalam teknis perhitungan, dapat dipakai konversi tenaga kerja dengan cara membandingkan tenaga pria sebagai ukuran baku, yaitu: 1

7

(26)

26

pria = 1 hari kerja pria (HKP), 1 wanita = 0,7 HKP, 1 ternak = 2 HKP, dan 1 anak = 0,5 HKP.

3) Modal

Modal dalam usahatani digunakan untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, pelepas uang/famili/tetangga), hadiah, warisan, usaha lain ataupun kontrak sewa.

4) Pengelolaan atau manajemen

Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasai dengan sebaik-baiknya dan mampu memberikan hasil yang diharapkan. Pengenalan pemahaman terhadap prinsip teknis dan ekonomis perlu dilakukan untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil. Prinsip teknis tersebut meliputi: a) perilaku cabang usaha yang diputuskan, b) perkembangan teknologi, c) tingkat teknologi yang dikuasai, dan d) cara budidaya dan alternatif cara lain berdasarkan pengalaman orang lain. Prinsip ekonomis antara lain: a) penentuan perkembangan harga, b) kombinasi cabang usaha, c) pemasaran hasil, d) pembiayaan usahatani, e) penggolongan modal dan pendapatan serta tercermin dari keputusan yang diambil agar resiko tidak menjadi tanggungan pengelola.

3.2. Lahan sebagai Faktor Produksi

Lahan pada hakekatnya adalah permukaan bumi yang merupakan bagian dari alam, sehingga lahan tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya, seperti: sinar matahari, curah hujan, angin, kelembaban udara dan lain sebagainya. Fungsi lahan dalam usahatani adalah tempat menyelenggarakan kegiatan produksi pertanian (usaha bercocok tanam dan pemeliharaan ternak) dan tempat pemukiman keluarga tani (Tjakrawiralaksana 1985).

(27)

27

dipindah-pindahkan; (d) dapat dipindahtangankan dan atau diperjualbelikan; (e) tidak ada penyusutan (tahan lama); dan (f) bunga atas lahan dipengaruhi oleh produktivitas lahan. Karena sifatnya yang khusus tersebut, lahan kemudian dianggap sebagai salah satu faktor produksi usahatani.

Lahan merupakan jenis modal yang sangat penting yang harus dibedakan dari jenis modal lainnya sehingga faktor lahan perlu digunakan atau dimanfaatkan secara efisien. Usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi pengusahaan lahan antara lain pemilihan komoditas cabang usahatani dan pengaturan pola tanam. Ukuran efisiensi penggunaan lahan adalah perbandingan antara output dan input. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam usahatani berkaitan dengan lahan yang digunakan adalah sumber dan status lahan, nilai lahan, fragmentasi lahan, lahan sebagai ukuran usahatani, serta perkembangan penguasaan lahan di Indonesia.

(1) Sumber Pengusahaan Lahan

Hernanto (1988) mengutarakan bahwa lahan yang diusahakan petani diperoleh dari berbagai sumber, yakni: (a) lahan milik, dibuktikan dengan surat bukti pemilikan (sertifikat) yang dikeluarkan oleh negara melalui Direktorat Jenderal Agraria; (b) lahan sewa, sebaiknya bukti dibuat oleh pejabat yang berwenang agar apabila terjadi hal yang tidak diinginkan dapat diselesaikan secara hukum; (c) lahan sakap, telah diatur oleh undang-undang bagi hasil (UUBH) atau UU No. 2 tahun 1960; (d) lahan pemberian negara atau lahan milik negara yang diberikan kepada seseorang yang mengikuti program pemerintah dan berjasa kepada negara, dalam hal ini pemilikannya dapat melalui prosedur gratis, ganti rugi dan kredit; (e) lahan waris, lahan yang karena hukum tertentu (agama) dibagikan kepada ahli warisnya; (f) lahan wakaf, lahan yang diberikan atas seseorang atau badan kepada pihak lain untuk kegiatan sosial; dan (g) lahan yang dibuka sendiri.

(2) Status Penguasaan Lahan

(28)

28

membagi status-status hukum lahan menjadi status hak milik, status hak sewa, status hak bagi hasil (sakap), status hak gadai dan status hak pakai atau hak guna usaha (HGU). Status lahan merupakan faktor penting dalam usaha pengembangan usahatani, karena faktor ini dapat mempengaruhi kesediaan para petani melakukan investasi pada lahan atau menggunakan teknologi baru yang menguntungkan.

Dalam hubungannya dengan pengelolaan usahatani dikaitkan dengan lahan sebagai faktor produksi, status lahan mempunyai keunggulan-keunggulan maupun kelemahan-kelemahan. Keunggulan lahan dengan hak milik petani, diantaranya adalah: (a) petani bebas mengusahkan lahannya; (b) petani bebas merencanakan seseuatu kepada lahannya baik jangka pendek maupun jangka panjang; (c) petani bebas menentukan cabang usaha untuk lahan sesuai dengan faktor-faktor fisik dan faktor ekonomi yang dimiliki; (d) petani bebas menggunakan teknologi dan cara budidaya tanpa campur tangan orang lain; dan (e) petani bebas memperjualbelikan, menyewakan, dan menggadaikan lahannya.

Lahan dengan hak sewa mempunyai kewenangan seperti lahan dengan hak milik di luar batas jangka waktu sewa yang disepakati. Penyewa tidak mempunyai kewenangan untuk menjual dan menjaminkan lahan sebagai anggunan. Dalam hal perencanaan usaha, penyewa harus mempertimbangkan jangka waktu sewa. Lahan dengan hak sakap tidak mempunyai kewenangan untuk menjual lahan. Dalam setiap kegiatan pengusahaan usahatani, seperti penentuan cabang usaha dan pilihan teknologi harus dikonsultasikan dengan pemilknya.

(29)

29

(3) Nilai Lahan

Semakin terbatasnya lahan yang tersedia dan semakin terjaminnya kepastian akan pemilikan lahan, maka akan selalu terjadi jual beli lahan. Nilai lahan sangat bervariasi dari unsur waktu dan tempat. Di daerah perkotaan, lahan usahatani mempunyai nilai yang cukup tinggi, bahkan terkadang tidak sebanding dengan nilai ekonomis dari hasil lahan tersebut. Soeharjo dan Patong (1973) mengutarakan nilai lahan tergantung kepada: (a) tingkat kesuburan lahan, harga lahan yang lebih subur (baik fisik maupun kimiawi) lebih tinggi daripada lahan yang tidak subur; (b) fasilitas pengairan, nilai lahan yang berpengairan baik lebih tinggi daripada lahan yang tidak berpengairan; dan (c) posisi lokasi, nilai lahan yang dekat dengan jalan atau sarana penghubung lebih tinggi daripada lahan yang tidak dekat dengan jalan atau sarana penghubung.

(4) Fragmentasi Lahan

(30)

30

digunakan; dan (h) kemungkinan percecokan antar petani lebih tinggi karena banyaknya tetangga lahan.

(5) Lahan Sebagai Ukuran Usahatani

Lahan sebagai unsur produksi seringkali juga dipakai untuk pengukuran besaran usahatani (size of business). Menurut Soeharjo dan Patong (1973) ukuran-ukuran tersebut antara lain: (a) luas total lahan usahatani, yakni mengukur semua lahan yang dimiliki sebagai satu kesatuan produksi; (b) luas tanam pertanaman, yakni mengukur luas tanaman yang diusahakan; (c) luas total tanaman, yakni memperhitungkan luas dari semua cabang usahatani yang diusahakan; dan (d) luas tanaman utama, yakni mengukur luas tanaman pokok yang diusahakan. Namun, menurut Tjakrawiralaksana (1985) ukuran tersebut bukanlah cara yang terbaik, keberatan-keberatan dalam pemakaiannya antara lain: (a) pengukurannya tidak menyertakan keterangan mengenai kualitas daripada lahannya; (b) pengukurannya tidak menggambarkan hubungan dengan pemakaian unsur-unsur produksi lainnya yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi tingkat produksi; dan (c) pengukurannya tidak memperhatikan adanya perbedaan letak ekonomis daripada lahan itu sendiri.

(6) Perkembangan Penguasaan Lahan di Indonesia

(31)

31

lahan yang semakin pincang, dan selanjutnya eksistensi petani lahan sempit akan mendorong terjadinya alih fungsi lahan (konversi lahan) pertanian dan atau alih profesi ke sektor lain yang dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Perkembangan RTP menurut luas penguasaan lahan selama periode 1983-2003 (Tabel 5) menunjukkan beberapa indikasi, diantaranya adalah: (a) secara keseluruhan, pada sepuluh tahun terakhir (selama periode 1993-2003), terdapat indikasi polarisasi penguasaan lahan yang semakin serius; (b) fakta empirisnya adalah RTP dengan penguasaan lahan <0,50 ha dan >2,0 ha meningkat relatif tajam, masing-masing sekitar 31,95 persen dan 74,95 persen. (c) sementara itu, kategori dengan luas 0,50-0,99 ha dan 1,00-1,99 ha hanya meningkat sebesar 5,28 persen dan 10,48 persen; (d) hal yang serupa juga terjadi di luar Pulau Jawa yang diwakili oleh Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan.

Tabel 5. Jumlah RTP Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai di Provinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003

Propinsi Golongan luas lahan

Jumlah rumah tangga

1983 1993 2003

1983-1993 1993-2003 Jabar <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 1.630.281 674.801 393.820 173.595 2.305.065 544.761 242.540 90.853 2.557.823 465.297 194.910 76.317 41,39 (20,90) (38,41) (47,66) 10,97 (12,83) (19,64) (16,00) Sumsel <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 39.000 79.176 144.026 185.122 156.152 192.596 245.753 179.812 186.860 135.616 257.892 323.995 300,39 143,25 70,63 (2,87) 19,67 (29,59) 4,94 80,19 Kalsel <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 85.787 67.735 72.108 53.464 143.009 92.150 69.259 35.061 180.449 98.953 87.031 77.062 66,70 36,04 (3,95) (34,42) 26,18 7,38 25,66 119,79 Indonesia <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 6.412.246 3.671.243 2.922.294 2.168.315 10.631.887 4.348.303 3.132.145 1.601.409 14.028.589 4.578.053 3.460.406 2.801.627 65,81 18,44 7,18 (26,15) 31,95 5,28 10,48 74,95 Sumber : Badan Pusat Statistika 2004, diacu dalam Lokollo et al. 2007

(32)

1983-32

2003), memberikan sejumlah informasi (Tabel 6), diantaranya adalah: (a) jumlah RTP petani gurem meningkat secara konsisten, yaitu untuk RTP <0,10 ha sebesar 9,87 persen dan RTP 0,10-0,49 ha sebesar 2,03 persen; (b) jumlah RTP >2,0 ha (petani luas) menurun sebesar 2,19 persen namun luasan yang dikuasai sangat besar (mendekati 50,0 persen); (c) rataan luas lahan yang dikuasai petani gurem menurun, yaitu RTP < 0,10 ha sebesar 0,03 ha dan RTP 0,10-0,49 ha sebesar 0,21 ha; (d) rataan luas penguasaan lahan petani luas (periode 1993-2003) meningkat sebesar 0,46 ha; dan (e) RTP 0,50-0,99 ha, rataan luasan lahannya meningkat sebesar 0,34 ha dan RTP 1,00-1,99 ha sebesar 0,15 ha, sehingga secara umum distribusi penguasaan lahan antar kelompok petani nampak semakin timpang.

Tabel 6. Jumlah RTP Pengguna Lahan Menurut Luas Lahan yang Dikuasai di Indonesia pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003.

Lahan yang

diusaha-kan

1983 1993 2003

1 2 3 1 2 3 1 2*) 3

<0,10 1.245.960 7,30

63.722 0,38 0,05

1.594.375 7,54

82.979 0,49 0,05

4.269.044 17,17

96.255 0,49 0,02

0,10-0,49

6.355.004 37,21

1.703.678 10,12 0,27

7.986.510 37,75

747.406 4,46 0,09

9.795.545 39,24

876.587 4,46 0,09

0,50-0,99

4.000.264 23,42

2.655.352 15,77 0,66

4.373.203 20,67

3.906.272 23,29 0,89

4.578.053 18,41

4.581.431 23,29 1,00

1,00-1,99

3.179.270 18,61

4.087.770 24,27 1,29

4.422.493 20,90

4.253.652 25,36 0,96

3.460.406 13,91

4.988.852 25,36 1,44 >2,00 2.298.818

13,46

8.331.72 49,47 3,62

2.779.390 13,14

7.784.770 46,41 2,80

2.801.627 11,27

9.130.287 46,41 3,26 17.079.316

100,00

16.842.248 100,00 0,99

21.155.971 100,00

16.774.170 100,0 0,79

24.868.675 100,00

19.673.412 100,00 0,79

Sumber : Badan Pusat Statistika 2004, diacu dalam Lokollo et al. 2007

Keterangan : 1=Jumlah RTP; 2=luas tanah yang dikuasai; 3=rata-rata luas tanah yang kuasai

3.3. Pendapatan Usahatani

[image:32.595.110.515.349.569.2]
(33)

33

keinginan-keinginan dan memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dengan demikian, pendapatan yang diterima petani akan dialokasikan pada berbagai kebutuhan.

Analisa pendapatan mempunyai kegunaan bagi petani maupun bagi pemilik faktor produksi. Soeharjo dan Patong (1973) mengutarakan tujuan utama dari analisa pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usahatani dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan. Bagi seorang petani, analisa pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur apakah kegiatan usahanya pada saat ini berhasil atau tidak. Suatu usahatani dikatakan sukses, apabila pendapatan yang diperoleh memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (a) cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi termasuk biaya angkutan dan biaya administrasi; (b) cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan, termasuk pembayaran sewa tanah dan pembayaran dana depresiasi modal; dan (c) cukup untuk membayar upah tenaga kerja yang dibayar atau bentuk-bentuk upah lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah.

(34)

34 3.4. Hubungan Penguasaan Lahan dengan Pendapatan Petani

Studi Rasahan (1988) menunjukkan bahwa terdapat dua pola utama yang mencirikan keadaan struktur dan distribusi pendapatan masyarakat perdesaan, yaitu: (1) Ada hubungan searah antara distribusi pendapatan dengan penguasaan lahan pertanian. Pola ini umumnya dikenal pada masyarakat agraris di mana sumberdaya lahan (land base agriculture) memegang peranan sangat dominan dalam menciptakanarus masuk pendapatan masyarakat perdesaan, hal ini tampak di perdesaan Jawa maupun luar Jawa. Dengan kata lain, ketimpangan maupun pemerataan distribusi pendapatan dapat dijelaskan atau terefleksikan pada

ketimpangan maupun pemerataan distribusi penguasaan lahan ataupun

penggarapan lahan pertanian; dan (2) Ada hubungan terbalik antara konsentrasi pendapatan dengan konsentrasi penguasaan atau penggarapan lahan pertanian. Kegiatan atau usaha-usaha non-pertanian atau usaha non land base agriculture

dilihat sebagai alternatif sumber pendapatan rumahtangga perdesaan. Usaha tersebut dapat memberikan bias negatif maupun positif terhadap distribusi masyarakat perdesaan. Bias negatif apabila kehadiran usaha non land base agriculture sebagai sumber kegiatan menghasilkan arus pendapatan yang justru memperburuk distribusi pendapatan, dan sebaliknya untuk bias positif.

3.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan

Pengusahaan lahan sawah oleh petani padi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memiliki keterkaitan antara faktor yang satu dengan faktor yang lainnya. Barlowe (1978) dengan teori lahannya mengutarakan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan penggunaan atau pengusahaan lahan, diantaranya adalah perkembangan teknologi, tingkat pendidikan, proporsi pendapatan usahatani terhadap penerimaan rumah tangga, jumlah tabungan, perkembangan usia, faktor alam dan dukungan kebijakan pemerintah.

(35)

35

keluarganya; (5) kekurangan modal kerja untuk usahatani; (6) jumlah tabungan kecil; (7) sulitnya memperoleh penggunaan lahan dari pihak lain; (8) sulitnya memperoleh pinjaman kredit modal kerja; (9) harga jual hasil panen tidak stabil; (10) jarangnya keikutsertaan petani dalam penyuluhan yang banyak memberi sumber informasi; (11) perkembangan teknologi yang buruk; (12) tidak mendukungnya kebijakan pemerintah; (13) tidak mendukungnya faktor alam.

3.6. Kerangka Pemikiran Operasional

Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor beras dunia merupakan salah satu alasan mengapa upaya peningkatan produksi beras nasional melalui program intensifikasi dan ektensifikasi perlu dilakukan. Di lain sisi, salah satu hambatan program intensifikasi maupun ekstensifikasi adalah adanya alih fungsi (konversi) lahan ke penggunaan non pertanian, padahal lahan merupakan faktor produksi utama dalam usaha pertanian. Oleh karena itu, upaya mengendalikan laju konversi sangat penting dilakukan agar Indonesia dapat memenuhi kebutuhan berasnya secara nasional.

Selain adanya konversi lahan pertanian, ketersediaan gabah atau beras juga dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penguasaan lahan sawah oleh rumah tangga petani padi. Berdasarkan data hasil Sensus Pertanian 1993 dan 2003, perkembangan penguasaan lahan sawah per rumah tangga petani pengguna lahan (RTP) ternyata cenderung mengalami penurunan. Jumlah rumah tangga petani pengguna lahan yang < 0,49 ha mengalami peningkatan yang cukup besar. Jika pada tahun 1983 jumlahnya sebanyak 7,600,964 RTP, maka pada tahun 2003 jumlahnya menjadi 14,064,589 RTP. Dengan demikian kenaikan jumlah RTP luas lahan <0,49 ha selama 20 tahun sebesar 85,04 persen. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui rata-rata kepemilikan lahan petani pada tahun 1983 sebesar 0,23 ha dan kepemilikan ini semakin kecil karena di tahun 2003 menjadi 0,07 ha. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesejahteraan petani semakin berkurang.

(36)

36

itu, terdapat banyak masyarakat yang tidak memiliki akses untuk menguasai lahan. Ketimpangan yang terkait dengan lahan dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu ketimpangan penguasaan lahan, dan ketimpangan pengusahaan lahan. Indikator untuk melihat besar kecilnya ketimpangan adalah dengan cara melihat atau menghitung indeks Gini berdasarkan lahan milik, lahan yang dikuasai, dan lahan yang diusahakan oleh Rumah Tangga Petani.

Penguasaan dan pengusahaan lahan merupakan konsep yang berbeda. Seorang petani dapat menguasai lahannya melalui cara : (1) memperoleh hak waris; (2) membeli; (3) menyewa; (4) menggadai; (5) menyakap; dan (6) meminjam. Petani yang memperoleh lahan melalui hak waris dan membeli selanjutnya mengusahakan lahannya hak miliknya disebut sebagai petani pemilik. Sedangkan petani yang menguasai lahan dengan menyewa, gadai, sakap, dan pinjam selanjutnya disebut petani penggarap.

Tidak setiap lahan yang dimiliki dan dikuasai akan dimanfaatkan oleh petani untuk kegiatan produksi. Lahan yang dikuasai petani selanjutnya dimanfaatkan disebut dengan lahan yang diusahakan. Luas lahan yang diusahakan tidak akan melebihi luas lahan yang dikuasai petani. Oleh karena itu, indikator yang tepat untuk mengukur keragaan kesejahteraan petani adalah indikator pengusahaan lahan.

(37)

37

ketimpangan penguasaan lahan adalah indeks gini yang dikembangkan oleh Oshima pada tahun 1976. Pada wilayah yang penguasaan lahannya relatif timpang, karekteristik petani nya biasanya didominasi oleh penggarap dengan pengusahaan lahan yang relatif kecil. Besarnya penggarap disebabkan karena adanya tekanan permintaan penguasaan lahan oleh petani penggarap dan ketidakmampuan atau keterbatasan pemilik lahan untuk mengusahakan semua lahan yang dikuasainya.

Akses untuk mengusahakan lahan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Berdasarkan penelitian terdahulu, faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pengusahaan lahan adalah status penguasaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap), umur, pendidikan, pengalaman bertani, jumlah tanggungan keluarga, jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian, jumlah hari kerja, jumlah organisasi yang diikuti, interaksi pertemuan di kelompok tani, hutang, aset, luas lahan sawah yang dikuasai, luas lahan milik, produktivitas padi, biaya usahatani, penerimaan usahatani, dan pendapatan usahatani.

Umur petani diperkirakan akan mempengaruhi luasnya lahan yang diusahakan. Semakin tua umur petani, kekuatan fisiknya semakin berkurang, sehingga produktifitas dalam bekerja akan mengalami penurunan. Penurunan produktifitas yang dialami petani tua terlihat dari semakin (1) berkurangnya luas sawah yang diusahakan; (2) semakin sedikitnya curahan waktu berusahatani; (3) penyerahan pengusahaan oleh petani lain melalui mekanisme sewa, sakap dan gadai. Dengan demikian, umur petani diduga akan memiliki hubungan yang terbalik dengan penguasaan lahan. Jika semakin tua umur petani, maka semakin kecil penguasaan lahan petani;

(38)

38

pola pikir dan prilaku petani yang tercermin dari ketekunan bekerja dan produktifitas petani. Dengan demikian, pendidikan diduga akan memiliki hubungan yang searah dengan penguasaan lahan. Semakin lama petani mampu mengenyam pendidikan, maka semakin luas penguasaan lahan petani.

Pengalaman bertani diperkirakan akan mempengaruhi terhadap luas lahan sawah yang diusahakan. Lama pengalaman bertani dapat mempengaruhi petani dalam mengelola kegiatan usahatani yang dijalankan. Semakin lama pengalaman bertani, maka kemampuan petani dalam mengelola kegiatan usahataninya akan semakin baik. Dengan demikian, pengalaman bertani diduga memiliki hubungan yang searah dengan penguasaan lahan. Semakin lama pengalaman bertani, maka semakin luas penguasaan lahan petani.

Jumlah tanggungan keluarga diperkirakan akan mempengaruhi terhadap luas lahan sawah yang diusahakan. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga petani, maka semakin banyak pengeluaran rumah tangga petani yang harus ditutupi. Pada kondisi demikian, petani akan berusaha untuk mengoptimalkan pendapatan rumah tangga melalui; (1) peningkatan pendapatan dari hasil pertanian; (2) meningkatkan pendapatan dari luar pertanian. Bagi petani padi, salah satu upaya untuk meningkatkan pendapatannya adalah dengan cara meningkatkan luas pengusahaan lahan sawahnya. Jika hal ini sulit dilakukan maka petani akan berupaya untuk mengoptimalkan perolehan pendapatan dari luar usahatani. Dengan demikian, mengingat ketersediaan lahan relatif terbatas, jumlah tanggungan keluarga diduga memiliki hubungan yang terbalik dengan penguasaan lahan. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga petani, maka semakin kecil penguasaan lahan petani.

(39)

39

Jumlah hari kerja diperkirakan akan mempengaruhi terhadap luas pengusahaan lahan sawah. Semakin tinggi intensitas petani bekerja dan mengalokasikan waktunya untuk kegiatan usahatani padi, maka produktifitas petani dalam bekerja pun semakin tinggi dan petani semakin memiliki keinginan untuk semakin meningkatkan penguasaan lahannya. Dengan demikian semakin lama jumlah hari kerja, maka semakin luas penguasaan lahan petani.

Jumlah organisasi yang diikuti diperkirakan akan mempengaruhi terhadap luas pengusahaan lahan sawah petani. Jika semakin banyak jumlah organisasi yang diikuti petani, maka waktu yang tersedia bagi petani untuk melakukan aktivitas usahataninya pun semakin sedikit dan terhambat oleh berbagai kesibukan yang ditimbulkan karena aktivitas untuk memajukan semua organisasi tersebut. Oleh karena itu, petani akan menyewakan lahannya kepada orang lain agar lahan tersebut masih tetap bermanfaat. Dengan demikian, semakin banyak jumlah organisasi yang diikuti petani, maka semakin kecil luas penguasaan lahan petani. Interaksi pertemuan di kelompok tani diduga turut mempengaruhi luas pengusahaan lahan sawah. Semakin banyak interaksi pertemuan di kelompok tani, maka semakin banyak informasi atau pengetahuan yang petani dapatkan agar aktivitas usahataninya semakin baik. Selain itu, akses petani untuk meningkatkan penguasaan lahannya pun lebih terbuka dibandingkan dengan petani yang jarang mengikuti pertemuan di kelompok tani, karena petani melakukan sosialisasi dengan banyak petani lainnya. Dengan demikian, interaksi pertemuan di kelompok tani diduga memiliki hubungan yang searah dengan penguasaan lahan. Semakin banyak interaksi pertemuan di kelompok tani, maka semakin luas penguasaan lahan petani.

(40)

40

mampu melaksanakan tahapan proses budidaya dengan baik. Semuanya memerlukan ketersedian kas yang memadai untuk membeli input dan membayar upah tenaga kerja. Jika ketersedian kas berkurang, dan berimplikasi terhadap penggunaan input yang seadanya, maka produksi yang dihasilkan tidak akan optimal. Untuk mengatasi kurangnya ketersedian kas, banyak petani yang pada akhirnya terlilit hutang. Dengan dem

Gambar

Tabel 6. Jumlah RTP Pengguna Lahan Menurut Luas Lahan yang  Dikuasai di
Gambar 1. Kerangka pemikiran operasional hubungan penguasaan lahan sawah dengan
Tabel 34.   Luas Lahan Pemilik dan Penggarap Sewa (ha) pada Pengusahaan Tanaman Padi di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011
Tabel 36.  Keragaan Pengusahaan Lahan Padi MT 3 2010-2011 Rumah Tangga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bertanggung jawab terhadap jalanya acara dari awal s/d akhir sebagai Panitia Pengabdian Masyarakat UBSI berupa Penyuluhan dan Penerapan Social Distancing serta Physical

jamban di Kelurahan Tanjung Kecamatan Rasanae Barat Kota Bima • Memenuhi syarat jika semua KK (100% KK) sudah memiliki jamban dan laik digunakan • Tidak memenuhi

(3) Kendala yang dialami sekolah dalam meningkatkan hasil ujian nasional adalah kejenuhan yang dialami siswa, dan perkembangan mental siswa dalam mempersiapkan ujian

Perbedaan usia yang sangat jauh diantara mereka membuat mereka memiliki perbedaan dalam cara berpikir, Chen Meng yang ingin menjadi wanita karir dan merasa

Dalam sebuah tulisan ilmiah, isi atau konten yang ada di dalamnya harus sistematis dan isi pikiran yang dikemukakan harus berurutan dalam suatu system,

Dimana dialog tersebut mengartikan adanya tindakan dari Keuskupan Agung Gereja Katolik dalam membungkam setiap orang terutama jurnalis yang akan mempublikasikan segala hal

Keadaan substrat pada ketiga stasiun ini yang memiliki sedikit perbedaan yaitu pada stasiun 1 substrat yang ditemukan berpasir dan berlumpur dan pada stasiun 2