KONSERVASI
EX SITU
TUMBUHAN OBAT
DI KEBUN RAYA BOGOR
SYAMSUL HIDAYAT
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2011
Botanic Gardens. Under supervision of ERVIZAL A.M. ZUHUD and DIDIK WIDYATMOKO.
Bogor Botanic Gardens (Kebun Raya Bogor) has a long history of medicinal plant conservation. In order to improve the quality of the medicinal plant collections and their uses, Kebun Raya Bogor (KRB) needs to adopt relevant public and visitor expectations and manage key aspects of medicinal plant conservation and utilization. This study aims to establish a management strategy for the KRB medicinal plants collection. A set of questionnaires were used in this study. The data were processed using the Likert scale, set scoring method, and the AHP (analytic hierarchy process). The study suggested a total of 60 species to be given more attention. Of the 60 species assessed 9 species of which were prioritized, including Anaxagorea javanica, Coscinium fenestratum, Eusideroxylon zwageri, Heritiera littoralis, Kadsura scandens, Santalum album, Lunasia amara, Scorodocarpus borneensis, and Terminalia bellirica. Three basic conservation aspects (“tri-stimulus amar”) and the key KRB functions need to be strengthened and should be in line with the public expectations in order to achieve an integrated medicinal plant ex situ conservation.
Bogor. Dibimbing oleh ERVIZAL A.M. ZUHUD dan DIDIK WIDYATMOKO.
Kebun Raya Bogor (KRB) memiliki keterikatan sejarah yang kuat dalam pelestarian tumbuhan obat. Dalam rangka meningkatkan kualitas koleksi tumbuhan berpotensi obat serta pemanfaatannya, maka perlu diadakan pendataan secara detail mengenai jumlah koleksi tumbuhan berpotensi obat dan beberapa aspek konservasinya. Demikian pula agar tercipta kegiatan konservasi tumbuhan obat yang efektif dan efisien perlu menentukan spesies dan aksi konservasi prioritas. Hal ini sangat penting sebagai dasar ilmiah bagi pengembangan program konservasi KRB pada masa yang akan datang. Apa yang diharapkan masyarakat terhadap KRB perlu dijadikan dasar dalam menentukan program dan kebijakan dalam pelestarian tumbuhan obat.
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji kondisi terkini koleksi spesies tumbuhan obat di KRB, pemanfaatan, kategori kelangkaan, dan spesies prioritasnya.
2. Menggali harapan masyarakat terhadap peran KRB dalam konservasi ex situ tumbuhan obat.
3. Mengkaji apakah program konservasi tumbuhan obat di KRB sudah sesuai dengan harapan masyarakat dalam rangka penyusunan aksi konservasi pada masa yang akan datang.
Penelitian dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September – Desember 2010, dengan menggunakan seperangkat alat kuisioner. Kuisioner berupa lembar tes pernyataan ditujukan kepada masyarakat umum dan industri, lembar uji penentuan spesies prioritas ditujukan kepada peneliti/praktisi terkait, sedangkan lembar matriks pembandingan berpasangan ditujukan kepada para pengamat/pengawas koleksi KRB. Data diolah dengan menggunakan skala Likert, metode skoring, dan
Berdasarkan hasil inventarisasi tercatat 764 spesies koleksi berpotensi tumbuhan obat dari 465 genera dan 135 famili. Famili dengan spesies tumbuhan obat terbanyak adalah Fabaceae sedangkan habitus terbanyak adalah berupa pohon. Gangguan perut atau pencernaan adalah kelompok penyakit yang paling banyak menggunakan spesies tumbuhan obat. Sembilan spesies yaitu Anaxagorea javanica, Coscinium fenestratum, Eusideroxylon zwageri, Heritiera littoralis, Kadsura scandens, Santalum album, Lunasia amara, Scorodocarpus borneensis, dan Terminalia bellirica ditetapkan sebagai spesies prioritas.
AHP (analytic hierarchy process) dengan software expert choice.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
DI KEBUN RAYA BOGOR
SYAMSUL HIDAYAT
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS
Ketua Anggota
Dr. Didik Widyatmoko, M.Sc
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Konservasi Biodiversitas Tropika
Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karuniaNya karya tulis ilmiah sebagai tugas akhir dalam rangka program magister sains ini telah selesai dikerjakan. Penelitian dengan judul Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor, telah dilaksanakan selama 4 bulan yaitu dari bulan September hingga Desember 2010 di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor Ir. Mustaid Siregar MSi yang telah berkenan memberikan izin belajar kepada penulis. Selanjutnya terima kasih terutama ditujukan untuk Prof.Dr.Ir. Ervizal A.M. Zuhud MS dan Dr. Didik Widyatmoko M.Sc selaku pembimbing serta para dosen di program studi Konservasi Biodiversitas Tropika dimana penulis menimba ilmu. Penghargaan dan terima kasih selayaknya penulis sampaikan kepada para peneliti di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor dan para pengamat/pengawas koleksi tumbuhan KRB yang telah bersedia membantu proses kelancaran penelitian. Demikian pula apresiasi penulis sampaikan kepada rekan peneliti dari Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik- Departemen Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman-Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,Departemen Kehutanan, Taman Sringanis, Wana Tani, Karya Sari, serta beberapa pihak baik secara individu maupun kelembagaan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Ungkapan terima kasih tak lupa saya sampaikan kepada rekan-rekan sivitas KVT 2009/2010, KVT 2010/2011 dan MEJ 2009/2010 atas dukungannya serta para staf program pascasarjana di DKSHE yang telah membantu kelancaran proses ajar dan penyusunan tesis.
Selanjutnya tidak terlupakan terima kasih kepada keluarga terutama teh Titi Juhaeti, dan istri Siti Rohani serta anak-anak tercinta Syarifah Nesya Agniasari dan Sania Fadhila Rosya yang telah mendukung, membantu dan mendampingi penulis sepenuh hati hingga terselesaikannya tugas akhir ini.
Bogor, Juni 2011
dan ibu R Neneng Dahlia. Penulis adalah putra ke lima dari delapan bersaudara. Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur undangan khusus. Penulis memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………..xii
DAFTAR GAMBAR ………..xiii
DAFTAR LAMPIRAN ………..xiv
DAFTAR SINGKATAN ………..xv
1 PENDAHULUAN ………..1
1.1 Latar Belakang ……….……….1
1.2 Perumusan Masalah ………..4
1.3 Tujuan Penelitian ………..6
1.4 Manfaat Penelitian ………..6
2 TINJAUAN PUSTAKA ………..7
2.1 Kebun Raya Bogor ………. 7
2.2 Tumbuhan Obat ………..9
2.3 Kriteria Kelangkaan dan Prioritas Konservasi ………11
2.4 Pengertian Konservasi ………14
2.5 Masyarakat Terkait Tumbuhan Obat ………15
2.5.1 Masyarakat umum ………16
2.5.2 Masyarakat industri obat/jamu ………16
2.5.3 Masyarakat praktisi obat tradisional ………17
2.5.4 Masyarakat peneliti ………17
3 METODOLOGI ………19
3.1Kerangka Pemikiran ………19
3.2Metode ………24
3.2.1 Lokasi dan waktu penelitian ………24
3.2.2 Alat dan bahan ………24
3.2.3 Metode pengumpulan data ………25
3.2.4 Pengolahan data ………28
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ………31
4.1.1 Jumlah koleksi tumbuhan obat ………... 31
4.1.2 Potensi dan prospek pemanfaatan ………33
4.1.3 Kelangkaan koleksi tumbuhan obat ………38
4.2 Kegiatan dan Harapan KRB ………40
4.3 Harapan Masyarakat ………43
4.3.1 Masyarakat umum ………44
4.3.2 Masyarakat industri obat tradisional ………51
4.3.3 Masyarakat praktisi obat tradisional ………54
4.3.4 Masyarakat peneliti ………59
4.4 Rancangan Program Konservasi ………62
4.4.1 Spesies prioritas ………62
4.4.2 Aksi prioritas ………67
5 SIMPULAN DAN SARAN ………75
5.1Simpulan ………75
5.2 Saran ………76
DAFTAR PUSTAKA ………77
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Jumlah spesies tumbuhan obat berdasarkan familinya di KRB ……31
2. Sepuluh spesies koleksi tumbuhan obat tertua di KRB ………35
3. Jumlah spesies koleksi tumbuhan obat yang langka ………38
4. Kegiatan KRB yang berkaitan dengan konservasi tumbuhan obat ……41
5. Harapan pegawai KRB dan masyarakat terhadap aktivitas konservasi tumbuhan obat ………43
6. Kelompok masyarakat dan tujuan mengunjungi tumbuhan koleksi KRB ………44
7. Skor yang sesuai untuk setiap komponen konservasi tumbuhan Obat ………45
8. Karakteristik pengunjung yang paling sesuai terhadap konservasi tumbuhan obat di KRB ………46
9. Harapan masyarakat umum ………47
10. Harapan masyarakat industri obat tradisional ………51
11. Harapan masyarakat praktisi obat tradisional ………55
12. Harapan masyarakat peneliti ………59
13. Sembilan spesies prioritas dengan kategori A ………63
14. Hasil sintesis spesies prioritas alternatif untuk aksi konservasi di KRB ………66
15. Rancangan kebijakan dan aksi konservasi tumbuhan obat di KRB untuk masyarakat umum ………70
16. Rancangan kebijakan dan aksi konservasi tumbuhan obat di KRB untuk masyarakat industri obat tradisional ………... 71
17. Rancangan kebijakan dan aksi konservasi tumbuhan obat di KRB untuk masyarakat praktisi ………72
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Diagram alir “tri-stimulus amar konservasi”: stimulus, sikap dan
perilaku aksi konservasi ………23
2. Konsep skematik solusi konservasi tumbuhan obat berdasarkan harapan
masyarakat dan tupoksi KRB ………24
3.
4. Jumlah koleksi KRB berpotensi obat ………33 Hirarki pembandingan berpasangan untuk spesies prioritas ………29
5. Asal koleksi tumbuhan berpotensi obat di KRB ………35
6. Sepuluh jenis penyakit tertinggi dalam penggunaan spesies di KRB ……36
7. Bagian-bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat ………38
8. Diagram Venn irisan kegiatan KRB dengan kegiatan yang diharapkan
masyarakat ………42
9. Irisan antara harapan masyarakat umum dengan aktivitas KRB ……47
10. Harapan masyarakat umum, fungsi KRB dan stimulus alamiah ……48
11. Harapan masyarakat umum, fungsi KRB dan stimulus manfaat ……49
12. Harapan masyarakat umum, fungsi KRB dan stimulus rela-religius ……50
13. Irisan antara harapan masyarakat IOT dengan aktivitas KRB ……51
14. Harapan masyarakat industri, fungsi KRB dan stimulus alamiah ……52
15. Harapan masyarakat industri, fungsi KRB dan stimulus manfaat ……53
16. Harapan masyarakat industri, fungsi KRB dan stimulus rela-religius …..54
17. Irisan antara harapan masyarakat praktisi dengan aktivitas KRB ……55
18. Harapan masyarakat praktisi, fungsi KRB dan stimulus alamiah ……56
19. Harapan masyarakat praktisi, fungsi KRB dan stimulus manfaat ……57
20. Harapan masyarakat praktisi, fungsi KRB dan stimulus rela-religius …..58
21. Irisan antara harapan masyarakat peneliti dengan aktivitas KRB ……59
22. Harapan masyarakat peneliti, fungsi KRB dan stimulus alamiah ……60
23. Harapan masyarakat peneliti, fungsi KRB dan stimulus manfaat ……61
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Koleksi tumbuhan KRB yang diketahui berpotensi obat ………85
2. Daftar tumbuhan obat di KRB yang perlu perhatian dan kategori
kelangkaannya menurut berbagai versi lembaga ………..126
3. Beberapa contoh spesies liar di KRB yang berpotensi obat …………..128
4. Kuisioner kepada para praktisi dan peneliti tumbuhan obat berupa
pertanyaan terbuka dan lembar uji penentuan spesies prioritas ...129
5. Contoh jawaban kuisioner yang telah diisi responden peneliti …..135
6. Hasil skoring penentuan prioritas untuk konservasi tumbuhan obat …..136
7. Lembar kuisioner kepada masyarakat umum ...138
8. Contoh jawaban kuisioner oleh seorang responden ...141
9. Karakteristik pengunjung KRB yang menguntungkan terhadap
komponen perlindungan (save) tumbuhan obat ……….….144
10. Karakterisitik pengunjung KRB yang menguntungkan terhadap
komponen pengawetan (study) tumbuhan obat ………..…145
11. Karakteristik pengunjung KRB yang menguntungkan terhadap
komponen pemanfaatan (use) tumbuhan obat ………..146
12. Karakteristik pengunjung KRB yang menguntungkan terhadap
komponen harapan konservasi tumbuhan obat ………..147
13. Tingkat kerelaan berkorban pengunjung terhadap konservasi tumbuhan
obat ………..148
DAFTAR SINGKATAN
Balittro : Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik AHP : Analytic Hierarchy Process
Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BGCI : Botanic Gardens Conservation International BPTO : Balai Penelitian Tanaman Obat
CBD : Convention on Biological Diversity
CITES : The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
COP : Conference of The Parties CR : Critically Endangered
DIKNAS : Pendidikan Nasional DD : Data Deficient
EN : Endangered
EW : Extinct in The Wild
GACP : Good Agricultural and Collection Practices
EX : Extinct
GSPC : Global Strategy for Plant Conservation
IABGC : International Agenda for Botanic Gardens Conservation IBSAP : Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan
IKOT : Industri Kecil Obat Tradisional IOT : Industri Obat Tradisional IPB : Institut Pertanian Bogor
IUCN : The International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources
KLH : Kementerian Lingkungan Hidup
LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LC : Least Concern
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
NE : Not Evaluated
PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini NT : Near Threatened
PKT KRB : Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor POM : Pengawasan Obat dan Makanan
Renstra : Rencana Strategis
RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah SOP : Standard Operational Procedur
TOGA : Tanaman Obat Keluarga
WCMC : World Conservation Monitoring Centre
VU : Vulnerable
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebun Raya Bogor (KRB) memiliki keterikatan sejarah yang kuat dalam
pelestarian tumbuhan obat. Pendiri KRB yaitu Prof. Caspar George Carl
Reinwardt merintis kebun ini dengan menyelidiki berbagai tumbuhan yang
digunakan dalam pengobatan. Tumbuhan ini kemudian dikumpulkan dalam
sebuah kebun botani yang disebut Buitenzorg. Beberapa kebun raya tua di dunia,
awalnya berdiri sebagai upaya dari pelestarian tumbuhan obat. Waylen (2006)
menyebut beberapa contoh kebun raya tua yang dimaksud, yaitu Kebun Raya
Padua (1545), Kebun Raya Chelsea (1673) dan Kebun Raya Kew (1847). Kebun
Raya Padua awalnya merupakan area budidaya herba obat dan sebagai tempat
belajar siswa dalam membedakan dan menggunakan herba obat secara benar.
Kebun Raya Chelsea oleh para apoteker dijadikan tempat untuk melatih
identifikasi tumbuhan dan budidaya tumbuhan eksotik untuk obat. Kebun Raya
Kew oleh direktur pertamanya tidak hanya diperuntukkan bagi para ilmuwan
botani tetapi juga digunakan sebagai tempat pelayanan bagi para pedagang obat
dan bahan kimia.
Tumbuhan obat merupakan sumber daya alam yang sangat berkaitan erat
dengan aspek kesehatan dan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia sejak
dahulu. Sejumlah spesies tumbuhan yang berguna dan berkembang di masyarakat
Indonesia saat ini berasal dari hasil introduksi tanaman dari luar negeri melalui
KRB. Kelapa sawit adalah salah satu komoditi pertanian dan sumber bahan obat
alami yang diintroduksi pada tahun 1848 dari Afrika Barat ke Indonesia melalui
KRB dan akhirnya menjadi induk kelapa sawit di Asia Tenggara. Tanaman
introduksi lainnya yang tercatat antara lain adalah teh, kayu manis, karet, coklat
dan bahkan kina yang merupakan bahan utama alami untuk pengobatan malaria
memiliki sejarah yang kuat dengan perkembangan KRB. Beberapa spesies
tumbuhan obat ini telah berhasil menyebar di berbagai daerah di Indonesia
sebagai hasil pengembangan dan penelitian yang dilakukan kebun raya saat itu.
Sampai tahun 2001 Laboratorium Konservasi Tumbuhan, Fakultas Kehutanan
obat (sekitar 2039 spesies) yang berasal dari hutan Indonesia (Zuhud 2009).
Sementara itu Tilaar (2004) menyatakan bahwa lebih dari 8000 spesies
merupakan tanaman yang mempunyai khasiat obat dan baru sekitar 800-1200
spesies yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk obat tradisional atau jamu.
Data dari IBEC (Indonesian Bio-pharmaceutical Exhibition and Congress) yang
disampaikan di Keraton Yogyakarta pada 18 Juli 2004 menunjukkan terdapat
7000 spesies tumbuhan obat di Indonesia, namun baru 465 spesies yang terjaring
dalam daftar industri obat tradisional. Terlepas dari data yang beragam saat ini,
beberapa spesies tumbuhan obat dikabarkan telah termasuk dalam kategori
langka. Dokumen IBSAP (Bappenas 2003) dalam lampirannya menyebutkan 44
spesies tumbuhan obat Indonesia yang dikategorikan langka.
Pelestarian keanekaragaman hayati secara ex situ merupakan hal penting
dalam strategi konservasi keanekaragaman hayati sebagaimana dicanangkan
dalam Agenda 21 Indonesia (KLH 1997). Dalam Agenda 21 disebutkan bahwa
‘upaya pelestarian harus disertai dengan pemeliharaan sistem pengetahuan
tradisional dan pengembangan sistem pemanfaatan keanekaragaman hayati yang
dilandasi oleh pembagian keuntungan yang adil’. KRB sebagai lembaga
konservasi ex-situ tumbuhan tentu memiliki tanggung jawab moral dalam
pelaksanaan pelestarian spesies tumbuhan obat asli Indonesia yang banyak terkait
dengan sistem pengetahuan tradisional yang telah mengalami proses kelangkaan.
Berdasarkan Renstranya (Sari et al. 2005), terdapat 4 misi penting KRB, dua di
antaranya sangat terkait dengan pemanfaatan keanekaragaman hayati, yaitu (1)
pendayagunaan tumbuhan tropika dan (2) peningkatan apresiasi masyarakat
terhadap tumbuhan dan lingkungan. Dua misi konservasi yang mengarah kepada
pemanfaatan sumberdaya tumbuhan secara berkelanjutan ini realisasinya masih
jauh dari harapan. Pendayagunaan tumbuhan tropika seperti halnya kelapa sawit
dan kina pada masa awal perkembangan KRB belum lagi terulang. Sementara
misi lainnya yaitu pelestarian tumbuhan tropika dalam pelaksanaannya masih
terfokus dalam bentuk kebun koleksi.
Terkoleksinya spesies tumbuhan obat serta terdokumentasinya
pengetahuan-pengetahuan tradisional dari berbagai daerah di Nusantara merupakan upaya
tentu sejalan dengan Target 8 dan 9 GSPC (CBD 2002) di mana 60% spesies
terancam kepunahan dapat dikoleksi secara ex situ dan 70% dari keragaman
tumbuhan pangan yang bernilai ekonomi dapat dikonservasi dan yang
berhubungan dengan pengetahuan lokal dapat dipertahankan. Target 8 GSPC
bahkan telah direvisi dalam COP 10 CBD 2010 di mana persentase tumbuhan
terancam kepunahan yang harus dikoleksikan menjadi 75% (Sharrock and
Oldfield 2011). Menurut Jackson dan Sutherland (2000), tumbuhan obat termasuk
kelompok spesies yang bernilai penting bagi sosial ekonomi masyarakat lokal dan
bersama dengan spesies pangan termasuk dalam prioritas program International
Agenda for Botanic Gardens in Conservation (IABGC). Dalam hal ini taman
koleksi tumbuhan obat dapat dikembangkan oleh kebun raya sebagai taman
penting untuk pameran dan pendidikan yang bernilai penting ekonomi dan
konservasi bagi masyarakat (Leadlay and Greene 1998).
KRB saat ini memiliki koleksi 3411 spesies, dari 1259 genera dan 215
famili tumbuhan, di antaranya adalah spesies tumbuhan obat. Koleksi yang
berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan belahan dunia ini memiliki habitus
yang sangat beragam, mulai dari tumbuhan merambat, herba, perdu sampai
pohon-pohon berkayu berukuran besar. Semua spesies koleksi tercatat dengan
baik, termasuk aspek taksonomi dan ekologinya di Bagian Registrasi, namun saat
ini belum tersedia data yang komprehensif mengenai kegunaannya sebagai obat
dari masing-masing spesies koleksi tersebut serta kategori kelangkaannya.
Akurasi data mengenai keberadaan tumbuhan obat dan kategori
kelangkaannya di suatu lembaga sangat mendukung upaya konservasi secara
berkelanjutan (Langpap 2005). Untuk itu dalam rangka meningkatkan kualitas
informasi tentang koleksi, khususnya koleksi tumbuhan berpotensi obat, perlu
diadakan pendataan secara detail mengenai jumlah koleksi tumbuhan berpotensi
obat dan berbagai aspek konservasinya. Hal ini sangat penting sebagai dasar
ilmiah bagi pengembangan program konservasi di KRB pada masa yang akan
datang, yang tidak hanya bertitik tolak dari kepentingan pengelola tetapi juga
1.2. Perumusan Masalah
Kebun raya didefinisikan sebagai lembaga yang memiliki koleksi tanaman
hidup yang terdokumentasi untuk keperluan penelitian, konservasi, pameran dan
pendidikan. Karakteristik suatu kebun raya antara lain dicirikan dengan adanya (1)
label yang memadai pada tanaman koleksi, (2) informasi ilmiah untuk koleksi, (3)
dokumentasi koleksi yang baik, (4) komunikasi dan informasi dengan kebun raya
lain, (5) pertukaran biji atau material dengan kebun raya lain, (6) komitmen dan
tanggung jawab untuk memelihara koleksinya, (7) monitoring tanaman
koleksinya, (8) promosi konservasi melalui pendidikan lingkungan, (9) penelitian
terhadap tanaman koleksinya serta (10) terbuka untuk umum (Jackson and
Sutherland 2000). Selanjutnya Ballantyne et al. (2007) menyatakan bahwa kebun
raya adalah tempat yang paling berpotensi untuk kegiatan pendidikan masyarakat
dan untuk memotivasi sikap pro konservasi serta merangsang publik untuk
melakukan upaya-upaya konservasi.
Ironisnya, kebun raya dalam pengertian umum sering diartikan sebagai
kebun kumpulan pepohonan yang ditata rapih, indah dan nyaman untuk rekreasi.
Kemudian kebun raya menjadi kawasan tujuan wisata yang mendatangkan
penghasilan. Pemahaman ini begitu kuat melekat di masyarakat kita hingga fungsi
utamanya sebagai kawasan konservasi, lahan penelitian biologi, sarana pendidikan
lingkungan sekaligus sebagai museum hidup sering terlupakan (Darnaedi 2001).
Demikian yang terjadi saat ini, padahal kebun raya memiliki sejarah panjang dan
peranan besar dalam kegiatan eksplorasi dan dokumentasi keragaman spesies
tumbuhan termasuk di dalamnya pengembangan ilmu pengetahuan sistematika,
hortikultura, dan saat ini bidang filogenetika molekular (Crane et al. 2009).
Salah satu aset penting kebun raya adalah tumbuhan obat. Sejak zaman
kebangkitan di Eropa, beberapa kebun raya di universitas-universitas dunia telah
melakukan dan memperlakukan tanaman koleksinya sebagai sesuatu yang bernilai
secara medis dan farmasi kepada para mahasiswa di bidang kedokteran. Untuk
tujuan ini, spesimen tumbuhan yang dikoleksi dari alam baik oleh para botanis
maupun oleh para pengusaha pengembang tanaman, telah dikirim ke kebun raya,
pada umumnya berupa biji dan dikembangbiakkan di kebun raya (Müller and
berbagai kepentingan dasar manusia seperti pengobatan berdasarkan
tumbuh-tumbuhan yang penting. (Donaldson 2009). Dalam perkembangannya
pengetahuan tumbuhan obat saat ini di beberapa kebun raya seringkali diabaikan
(Crane et al. 2009), padahal secara historis tumbuhan obat adalah bagian penting
dari suatu kebun raya (Shan-an and Zhong-ming 1991).
Konservasi tumbuhan obat Indonesia adalah suatu hal yang tidak bisa
ditunda lagi. Sebagai lembaga konservasi ex situ, KRB berkewajiban melestarikan
dan mengembangkan koleksi tumbuhan obatnya. Kompetensi KRB dalam
konservasi tumbuhan secara umum adalah menyiapkan bahan perumusan
kebijakan tentang konservasi ex situ tumbuhan tropika, pengembangan kawasan
konservasi ex situ dan model konservasi tumbuhan langka, pelaksanaan penelitian
konservasi dan pendayagunan tumbuhan, reintroduksi dan pemulihan jenis-jenis
tumbuhan tropika, serta pengembangan pendidikan lingkungan (LIPI 2002). Agar
kompetensi ini dapat terlaksana dengan baik, maka mutlak dibutuhkan data dasar
yang memadai. Dalam hal ini data dasar seperti jumlah koleksi tumbuhan obat
yang dimiliki, informasi khasiat dan bagian tumbuhan yang digunakan dari
koleksi tersebut, serta aspek-aspek konservasi koleksi tumbuhan obat
bersangkutan seharusnya tersedia dengan baik.
Tumbuhan obat tidak sekedar menjadi koleksi yang dilindungi tetapi
seharusnya memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Apa yang diharapkan
masyarakat terhadap KRB tentunya perlu dijadikan dasar dalam menentukan
program dan kebijakannya dalam pelestarian tumbuhan obat. Belum terwujudnya
tujuan konservasi tumbuhan obat di KRB secara kongkrit diduga dikarenakan
belum sejalannya antara program kegiatan KRB dengan harapan masyarakat.
Pendayagunaan koleksi terutama koleksi tumbuhan obat belum optimal
dikarenakan KRB belum memiliki data secara lengkap dan akurat, terutama
mengenai kepastian bahwa suatu koleksi merupakan tumbuhan obat dan
bagaimana kategori kelangkaannya, serta belum menentukan prioritas spesies
tumbuhan obat yang dapat menuntun aksi konservasinya ke arah yang lebih
efektif dan komprehensif sesuai dengan kompetensi KRB dan harapan
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan:
1. Mengkaji kondisi terkini koleksi spesies tumbuhan obat di KRB,
pemanfaatan, kategori kelangkaan, dan spesies prioritasnya.
2. Menggali harapan masyarakat terhadap peran KRB dalam konservasi ex
situ tumbuhan obat.
3. Mengkaji apakah program konservasi tumbuhan obat di KRB sudah
sesuai dengan harapan masyarakat dalam rangka penyusunan aksi
konservasi pada masa yang akan datang.
1.4. Manfaat Penelitian
Keakuratan data dan informasi ilmiah mengenai potensi koleksi tumbuhan
obat yang dimiliki KRB sangat bermanfaat bagi KRB dan masyarakat luas.
Rancangan aksi konservasi tumbuhan obat yang sudah disusun dapat dijadikan
rujukan bagi tindakan konservasi tumbuhan obat di KRB maupun di lembaga
konservasi lainnya pada masa yang akan datang. Rancangan aksi ini juga dapat
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebun Raya Bogor
KRB pada mulanya merupakan bagian dari 'samida' (hutan buatan atau
taman buatan) yang paling tidak telah ada pada pemerintaha
dalam
kelestarian lingkungan sebagai tempat memelihara benih-benih kayu yang langka.
Oleh karenanya sejak Reinwardt tiba di Indonesia pada tahun 1816 dia melihat
setidaknya terdapat satu instansi botani yang sebenarnya sudah berjalan yang
berkedudukan di Bogor (Goss 2004).
Goss (2004) menerangkan ketika Hasskarl datang ke Bogor tahun 1817 dia
melihat kebun sebagai taman yang cantik namun tidak ada sentuhan sains. Sejak
itu Hasskarl mentransformasi kebun raya dari taman kantor gubernur jenderal
menjadi instansi yang didedikasikan untuk menginterpretasikan alam daerah
kolonisasi dan sebagai pusat pengetahuan alam. Reinwardt mendapatkan
wewenang untuk mengurus sains dan pertanian di daerah koloni Belanda ini untuk
segera menjawab tugasnya antara lain mengumpulkan informasi tentang flora
yang memiliki manfaat ekonomi. Sejak awal abad 20 instansi biologi
pemerintahan kolonial Belanda diidentikkan dengan KRB.
KRB saat ini merupakan suatu kawasan konservasi ex situ yang mengoleksi
berbagai spesies tumbuhan yang ditata dalam tatanan arsitektur lanskap.
Tumbuhan koleksinya diutamakan berasal dari Indonesia, yang dimanfaatkan
sebagai tempat penelitian, pendidikan lingkungan dan rekreasi. Koleksi KRB
dicatat di Bagian Registrasi agar menjadi jelas asal usul tumbuhan tersebut
(Yuzammi et al. 2006).
Secara umum masyarakat mengenal kebun raya sebagai tempat rekreasi
alam, namun sebenarnya fungsi kebun raya bukan sekedar tempat rekreasi. Ruang
lingkup tugas dan fungsi Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor
(PKT-KRB), LIPI diuraikan dengan jelas dalam Keputusan Presiden RI Nomor 103
tahun 2001 serta Keputusan Ketua LIPI Nomor 1151/M/2001 (LIPI 2002).
Melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan, penyusunan
pedoman, pemberian bimbingan teknis, penyusunan rencana dan program,
pelaksanaan penelitian bidang konservasi ex situ tumbuhan tropika serta evaluasi
dan penyusunan laporan.
Sedangkan fungsi PKT-KRB adalah:
1. Penyiapan bahan perumusan kebijakan bidang konservasi ex situ tumbuhan
tropika.
2. Penyusunan pedoman, pembinaan, dan pemberian bimbingan teknis penelitian
bidang konservasi ex situ tumbuhan tropika.
3. Penyusunan rencana dan program pelaksanaan penelitian bidang konservasi
ex situ tumbuhan tropika.
4. Pemantauan pemanfaatan hasil penelitian bidang konservasi ex situ tumbuhan
tropika.
5. Pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi bidang konservasi ex situ
tumbuhan tropika.
6. Evaluasi dan penyusunan laporan penelitian bidang konservasi ex situ.
7. Pelaksanaan urusan tata usaha.
Sementara itu secara global misi kebun raya di dunia sebenarnya adalah
(International Agenda Botanic Gardens in Conservation):
1. Mencegah kehilangan spesies dan keanekaragaman genetik tumbuhan.
2. Mencegah degradasi lingkungan alam.
3. Meningkatkan pemahaman masyarakat akan nilai penting tumbuhan dan
ancaman yang dihadapinya.
4. Meningkatkan manfaat alam lingkungan.
5. Mempromosikan dan menjamin pemanfaatan sumberdaya alam secara
berkelanjutan.
Dari tugas dan fungsi serta misi secara global di atas maka dapat disimpulkan
pada hakekatnya terdapat 4 fungsi utama dari suatu kebun raya, yaitu:
1. Fungsi konservasi, yaitu melestarikan representasi keanekaragaman tumbuhan
secara ex situ untuk menjadi back up yang penting dan sumber pemulihan
2. Fungsi penelitian, yaitu melaksanakan dan memfasilitasi berbagai kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang botani, konservasi, hortikultura dan
pemanfaatan tumbuhan.
3. Fungsi pendidikan, yaitu menyajikan informasi yang jelas dan memberikan
kemudahan bagi pengunjung untuk meningkatkan pengetahuan di bidang
botani, konservasi, lingkungan, budidaya dan pemanfaatan tumbuhan, serta
mampu merangsang tumbuh-kembangkan kesadaran, kepedulian,
tanggungjawab dan komitmen masyarakat terhadap pelestarian sumberdaya
hayati.
4. Fungsi rekreasi, yaitu mampu menciptakan suasana yang nyaman, aman,
menyegarkan dan inspiratif untuk mendukung kehidupan sosial
kemasyarakatan yang lebih baik.
2.2. Tumbuhan Obat
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, tumbuhan obat merupakan
kebutuhan utama di alam sehingga sangat dekat hubungan antara manusia dengan
pengembangan botani dan pengetahuan tumbuhan obat (Shan-an and Zhong-ming
1991). Tumbuhan obat telah berabad-abad didayagunakan oleh bangsa Indonesia
dalam bentuk jamu untuk memecahkan berbagai masalah kesehatan yang
dihadapinya dan merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia yang perlu
dipelihara dan dilestarikan. Pengetahuan tentang obat tumbuh-tumbuhan asli
Indonesia dan cara pemakaiannya diperoleh hanya dengan melihat dan mendengar
belaka dari orang tuanya. Sementara di luar negeri pengobatan dengan
tumbuh-tumbuhan itu oleh beberapa pihak dianjurkan secara kuat dan meyakinkan
(Sastroamidjojo 1997).
Tumbuhan obat didefinisikan sebagai jenis tanaman yang sebagian, seluruh
tanaman dan atau eksudat tanaman tersebut digunakan sebagai obat, bahan, atau
ramuan obat-obatan. Ahli lain mengelompokkan tumbuhan berkhasiat obat
menjadi tiga kelompok (Siswanto 2004), yaitu:
1. Tumbuhan obat tradisional merupakan spesies tumbuhan yang diketahui atau
dipercayai masyarakat memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai
Pengertian obat tradisional berdasarkan UU RI No.23 tahun 1992 tentang
Kesehatan pasal 1 menyebutkan bahwa: Obat tradisional adalah bahan atau
ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,
sediaan galenik atau campuran dan bahan-bahan tersebut, yang secara turun
temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
2. Tumbuhan obat modern merupakan spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah
dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan
penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.
3. Tumbuhan obat potensial merupakan spesies tumbuhan yang diduga
mengandung atau memiliki senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat tetapi
belum dibuktikan penggunaannya secara ilmiah-medis sebagai bahan obat.
Sedangkan Departemen Kesehatan RI mendefinisikan tanaman obat
Indonesia seperti yang tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan
No.149/SK/Menkes/IV/1978, yaitu:
1. Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional
atau jamu.
2. Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan pemula bahan
baku obat (precursor).
3. Tanaman atau bagian tanaman yang diekstraksi dan ekstrak tanaman tersebut
digunakan sebagai obat.
Selanjutnya berdasarkan keputusan Kepala Badan POM RI No.
HK.00.05.4.2411 tentang ketentuan pokok pengelompokan dan penandaan obat
bahan alam Indonesia, obat tradisional dikelompokkan menjadi tiga yaitu jamu,
obat herbal terstandar, dan fitofarmaka (Suharmiati dan Handayani 2006). Obat
alami didefinisikan sebagai sediaan obat, baik berupa obat tradisional, fitofarmaka
dan farmasetik, berupa simplisia (bahan segar atau yang dikeringkan), ekstrak,
kelompok senyawa atau senyawa murni
Organisasi kesehatan dunia memperkirakan sekitar 400 juta orang di dunia
percaya akan obat herbal dan 25% resep-resep pengobatan didasarkan pada
bahan-bahan obat yang berasal dari tumbuhan (Rai et al. 2000). Sementara itu
saat ini diperkirakan lebih dari 50.000 spesies tumbuhan tingkat tinggi di dunia
mengalami ancaman diakibatkan kehilangan habitat, pemanenan berlebihan untuk
perdagangan, tekanan jenis-jenis invasif dan pencemaran (Hamilton 2008).
Peran tumbuhan obat menurut Schopp-Guth and Fremuth (2001) sangat
penting dalam bidang biologi dan ekologi yaitu sebagai pondasi dimana tumbuhan
obat memberikan akses keterlibatan masyarakat dalam konservasi di habitat
alaminya. Dalam kata lain keterkaitan tumbuhan obat dengan manusia cukup
besar dalam mengatur dan menentukan konservasi serta pemanfaatan tumbuhan
secara berkelanjutan.
2.3. Kriteria Kelangkaan dan Prioritas Konservasi
IUCN telah mengatur kriteria yang tepat untuk mengevaluasi risiko
kepunahan ribuan spesies dan subspesies. Tujuannya adalah untuk menyampaikan
urgensi isu-isu konservasi kepada publik dan pembuat kebijakan, serta membantu
komunitas internasional untuk mencoba mengurangi kepunahan spesies. (IUCN
2010).
1.
Berdasarkan kriteria IUCN tahun 2008 (IUCN 2010) spesies
diklasifikasikan ke dalam sembilan kelompok, didasarkan pada tingkat penurunan
dan ukuran populasi, wilayah distribusi geografis, dan derajat fragmentasi
populasi. Sembilan kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
2.
Punah (EX) - tidak ada individu yang tersisa.
3.
Punah di alam (EW) - dikenal hanya untuk bertahan hidup di penangkaran,
atau sebagai populasi naturalisasi di luar jangkauan bersejarah.
4.
Kritis (CR) – resiko kepunahan ekstrim di alam liar dalam waktu dekat.
5.
Genting (EN) - risiko kepunahan sangat tinggi di alam liar.
6.
Rawan (VU) - risiko kepunahan tinggi di alam liar.
7.
Hampir terancam (NT) - kemungkinan menjadi langka dalam waktu dekat.
8.
Risiko rendah (LC) - tidak memenuhi syarat untuk kategori risiko punah. Taksa
menyebar luas dan melimpah termasuk dalam kategori ini.
9.
Data belum mencukupi (DD) - tidak cukup data untuk membuat penilaian
risiko kepunahan.
Berdasarkan kriteria kelangkaan tersebut di atas, Red list IUCN tumbuhan
Indonesia tercatat 740 spesies di antaranya 204 termasuk kategori rawan, 70
genting, dan 112 kritis (IUCN 2010). Kelangkaan menurut versi Nature Serve
Conservation (2010) meliputi ukuran populasi (untuk spesies), luas penguasaan
daerah, luas penghunian, jumlah kemunculan (populasi yang berbeda), jumlah
kemunculan atau persentase area dengan viabilitas yang baik, dan spesifisitas
lingkungan.
Beberapa spesies tumbuhan obat dinyatakan langka serta terancam
kepunahan. Di Indonesia, kegiatan eksploitasi hutan, konversi hutan dan
pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat, serta pengambilan tumbuhan obat
dengan tidak mempertimbangkan aspek kelestarian dapat dipandang sebagai
faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian dan penurunan populasi tumbuhan
obat, sehingga secara tidak disadari kelangkaan spesies tumbuhan obat terus
meningkat (Herlina 2010). Hasil penelitian Hidayat (2006) beberapa sebab
kelangkaan tumbuhan obat di alam antara lain adalah:
Namun demikian untuk menetapkan prioritas konservasi tidak hanya
didasarkan kepada kriteria kelangkaan tetapi juga faktor lainnya seperti ekonomi,
politik, dan sosial (Risna et al. 2010).
1. Penebangan liar
2. Diversifikasi lahan
3. Pemanenan langsung
4. Pemakaian bagian tertentu tumbuhan secara berlebihan
5. Populasi hidup mengelompok
6. Pemanfaatan tumbuhan multiguna
7. Sedikit menghasilkan anakan
8. Struktur populasi tidak seimbang
9. Bencana alam
Meelis et al. (2004) menyatakan bahwa penyebab kelangkaan tumbuhan
obat dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu kelangkaan secara alami dan
kelangkaan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia yang tidak sesuai dengan
kaidah ekologi/lingkungan. Noerdjito dan Maryanto (2005) menyatakan bahwa
terkendali dari spesies langka serta kerusakan habitat yang diakibatkan oleh
kegiatan manusia.
Ironisnya pengetahuan yang tersedia mengenai tumbuhan obat di
lembaga-lembaga konservasi masih sangat kurang. Hal ini merupakan tantangan utama
dalam prioritas kegiatan konservasi dan dalam rangka menjamin pemanfaatan
tumbuhan yang berkelanjutan. Di antara berbagai permasalahan dalam penelitian,
pendugaan keberadaan tumbuhan obat dan ancaman potensialnya butuh perhatian
utama (Dhar et al. 2000). Menurut Hamilton (2008) kajian potensi dan
pemanfaatan berkelanjutan tumbuhan obat saat ini merupakan kunci untuk
pelestarian di seluruh habitatnya. Pernyataan ini mengantisipasi kenyataan banyak
lembaga konservasi di dunia saat ini terfokus pada kegiatan yang berhubungan
dengan sumberdaya genetika tumbuhan khususnya pada tumbuhan pangan dan
tumbuhan obat liar, namun sangat kurang aplikasi pemanfaatannya (Meilleur and
Hodgkin 2004). Dalam kaitan ini Kala (1999) memperkirakan dalam 50 tahun ke
depan hampir 50% spesies tumbuhan tingkat tinggi di dunia akan mengalami
kepunahan.
Diperlukan program pemulihan spesies terancam dan langka diakibatkan
meningkatnya konsumsi terhadap sumberdaya seperti obat-obatan. Bahkan
peningkatan perhatian kehilangan keanekaragaman hayati perlu menjadi trend
dalam program pemulihan spesies (Kerkvlieta and Langpapc 2007). Pada dekade
ini, dengan meningkatnya kepedulian terhadap resiko kepunahan dan kehilangan
variasi genetika, pusat konservasi ex situ dan in situ, secara terwakili telah
berkembang di belahan dunia dengan tujuan umum adalah menyelamatkan
tumbuhan, keanekaragaman gen, dan membuatnya selalu tersedia dan siap untuk
dimanfaatkan (Barazani et al. 2008). Sebagian besar tumbuhan (selain serealia
dan kacang-kacangan) memiliki biji non ortodoks atau berbiak secara vegetatif,
sehingga metode pelestarian yang sesuai adalah kebun koleksi (Leunufna 2007).
2.4. Pengertian Konservasi
Konservasi berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con
(together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya
(wise use). Secara tertulis ide ini pertama kali dikemukakan oleh Theodore
Roosevelt (1902) seorang Amerika. Sebenarnya jauh sebelum itu konservasi
dalam pelaksanaannya telah dimulai di Asia. Raja Asoka (252 SM) di India
mengumumkan bahwa perlu dilakukan perlindungan terhadap binatang liar, ikan
dan hutan. Sedangkan di Inggris, Raja William I (1804 M) pada saat itu telah
memerintahkan para pembantunya untuk mempersiapkan sebuah buku berjudul
Doomsday Book yang berisi inventarisasi dari sumber daya alam milik kerajaan
yang digunakan sebagai dasar untuk membuat perencanaan rasional bagi
pengelolaan dan pembangunan negaranya (Mackinnon 1993).
Dalam UU RI No 5 tahun 1990 Konservasi sumber daya alam hayati
didefinisikan sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya. Menurut Bari dan Supriatna (1999), konservasi muncul karena adanya
kekhawatiran terjadinya kepunahan. Konservasi ini diartikan oleh para ahli
sebagai kebijaksanaan dan program jangka panjang untuk mempertahankan
komunitas alami dalam kondisi yang memungkinkan berlangsungnya evolusi.
Konservasi tumbuhan mengandung pengertian manajemen penggunaan oleh
manusia atas tumbuhan sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan
keuntungan optimal yang berkelanjutan bagi generasi masa kini pada saat yang
bersamaan harus memelihara potensi-potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan
aspirasi generasi mendatang. Konservasi tumbuhan tidak hanya bermakna
perlindungan tumbuhan dari ancaman kepunahan, tetapi juga mengandung
pengertian jaminan keberlanjutan pemanfaatannya bagi peningkatan kesejahteraan
manusia sebagai modal dasar pembangunan (Basuki et al. 1999).
Pikiran yang salah tentang konservasi adalah anggapan bahwa masalah
konservasi adalah masalah teknis/ilmiah semata. Pengalaman Indonesia dan
negara-negara lain menunjukkan bahwa konservasi bukanlah semata-mata
masalah teknis/ilmiah melainkan masalah yang kompleks meliputi masalah teknis,
ilmiah, ekonomi, dan sosial (Suhirman 2001).
Ada dua metode utama untuk mengkonservasi biodiversitas, yaitu
alaminya). Menurut Zuhud et al. (dalam Herlina 2010) tujuan konservasi ex situ
adalah a) untuk diintroduksi kembali ke habitat aslinya, b) untuk kegiatan
pemuliaan dan c) untuk tujuan penelitian dan pendidikan. Prioritas konservasi ex
situ diberikan untuk spesies yang habitatnya telah rusak atau tidak dapat
diamankan lagi. Konservasi ex situ juga harus digunakan untuk meningkatkan
spesies lokal yang hampir punah menjadi tersedia kembali di alam.
Konservasi ex situ tidak selalu secara tegas dapat dipisahkan dari konservasi
in situ. Sebagai contoh adalah konservasi tumbuhan obat yang membutuhkan dua
metode konservasi secara terpadu (integrated). Keterikatan secara khusus
konservasi tumbuhan obat dengan sistem budaya, mata pencaharian dan
perekonomian memberikan peranan penting dalam kehidupan manusia.
Berjuta-juta orang di dunia telah menggunakan herbal obat, sementara berBerjuta-juta-Berjuta-juta orang
lainnya telah mendapatkan penghasilan dari pemanenan secara alam maupun hasil
budidaya tumbuhan obat, atau terlibat langsung dalam perdagangan dan
proses-prosesnya. Tumbuhan obat secara signifikan telah menjadi lambang kemakmuran
di beberapa sistem budaya, dan seringkali dijadikan sebagai sumber kekuatan.
(Hamilton 2009).
2.5. Masyarakat Terkait Tumbuhan Obat
Penggunaan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam bidang
pengobatan adalah suatu seni yang sama tuanya dengan sejarah peradaban umat
manusia (Waluyo 2009). Zuhud (2009) bahkan mengatakan ramuan jamu atau
obat tradisional berkembang bukan atas landasan saintifik gaya ilmu farmasi
barat, tetapi sepenuhnya atas dasar empiris yang teruji melalui trial dan error
secara turun menurun. Pengetahuan masyarakat akan tumbuhan obat tertentu juga
dapat ditelusuri dengan nama-nama yang dijadikan nama kampungnya. Di
Kabupaten Bogor tidak kurang dari 20 kecamatan dan 100 desa memakai nama
tumbuhan sebagai nama kampungnya, sebagian di antaranya adalah nama
2.5.1. Masyarakat umum
Meskipun bangsa Indonesia sejak dahulu kala hidup di tengah-tengah
kekayaan sumber daya alam, akan tetapi sejarah juga mencatat bahwa kebanyakan
tanaman perdagangan berasal dari negara lain. Seiring dengan kemajuan zaman
dan toleransi masyarakat terhadap invasi kebudayaan luar menyebabkan secara
perlahan banyak sekali spesies tumbuhan asing yang telah melebur dalam
kehidupan sehari-hari (Waluyo 2009). Terlebih lagi potensi ekonomi cukup besar
di sektor obat herbal ini. Pasar obat herbal Indonesia pada 2003 sebesar Rp 2,5
triliun, dan meningkat menjadi Rp 8 triliun-Rp 10 triliun pada 2010.
Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat sebenarnya sudah lama seperti
di berbagai daerah dengan tradisinya dan juga adanya TOGA, namun menurut
Damayanti et al. (2009) dengan masuknya program kesehatan dari pemerintah
yang berkiblat ke pengobatan modern, kemandirian masyarakat akan kesehatan
masing-masing semakin menurun. Menurut Suharmiati dan Handayani (2006)
program Toga sebenarnya lebih mengarah kepada self care untuk menjaga
kesehatan anggota keluarga serta untuk menangani penyakit ringan. Meskipun
pengobatan modern berkembang pesat, namun menurut Padua et al. (1999)
tumbuhan obat masih merupakan hasil hutan non kayu yang bernilai penting dan
menjadi prioritas serta isu konservasi di masyarakat.
2.5.2. Masyarakat industri obat/jamu
Pada awalnya tumbuhan obat hanya dikonsumsi langsung dalam bentuk
segar, rebusan, atau racikan. Pada perkembangannya tumbuhan obat dikonsumsi
lebih praktis dalam bentuk pil, kapsul, sirup, atau kaplet dan diproduksi dalam
skala industri yang memiliki teknologi modern (Siswanto 2004). Industri jamu
adalah industri yang memiliki
bahan baku yang digunakan industri jamu 98% berasal dari dalam negeri dan
sisanya saat ini sudah berhasil dibudidayakan. Industri jamu banyak memberi
manfaat karena melibatkan ratusan ribu petani, melibatkan para peneliti di bidang
pertanian, teknologi pangan, bioteknologi, farmakognosi, farmakologi, serta
Jumlah industri obat tradisional di Indonesia terus mengalami peningkatan.
Pada tahun 1997 baru 449 industri yang terdiri dari 429 industri kecil obat
tradisional (IKOT) dan 20 industri obat tradisional (IOT), sepuluh tahun
kemudian tepatnya pada tahun 2008 telah menjadi 1166 industri terdiri dari 1037
IKOT dan 129 IOT (Balittro 2010). Dengan meningkatnya jumlah industri dan
produksi obat tradisional secara langsung meningkatkan penggunaan bahan baku
tumbuhan obat.
2.5.3. Masyarakat praktisi obat tradisional
Praktisi obat tradisional atau pengobat tradisional merupakan ujung tombak
untuk masyarakat di sekitarnya yang sangat berpengaruh dalam menghadapi
berbagai masalah kesehatan. Pengobat tradisional seperti tertuang dalam Surat
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1076 2003 dikelompokkan menjadi empat
yaitu (1) kelompok pengobat tradisional ramuan, (2) pengobat tradisional
keterampilan, (3) pengobat tradisional supranatural, dan (4) pengobat tradisional
berdasar pada kaidah agama (Pudjiastuti 2009).
Pengobat tradisional di Indonesia sering diidentikkan dengan dukun. Pada
umumnya mereka berpendirian bahwa ilmu pengobatan yang suci ini sekali-kali
tidak boleh diumumkan kepada khalayak ramai, sehingga belum pernah disiarkan
karangan tentang pengetahuan mereka yang memenuhi syarat ilmiah
(Sastroamidjojo 1997). Pada kenyataannya di Indonesia dukun memegang peran
penting dalam penanganan kesehatan pertama di berbagai wilayah pedesaan
(Padua et al. 1999).
2.5.4. Masyarakat peneliti
Selain pengobat tradisional secara formal saat ini sudah ada beberapa rumah
sakit di Indonesia yang sudah menggunakan herbal sebagai pengobatan. Beberapa
rumah sakit itu adalah RS Persahabatan Jakarta, Pusat Kanker Nasional Dharmais
Jakarta, RS Sardjito Yogyakarta, RS Karyadi Semarang, RS Hasan Sadikin
Bandung, RS Dr Sutomo Surabaya, RS Syaiful Anwar Malang, RSAL
Mintohardjo Jakarta, RS Pirngadi Medan, RS Kandou Manado, RS Sanglah Bali,
Makassar. Obat tradisional dari tumbuhan mulai mendapat perhatian yang layak
dari dunia penelitian kedokteran sejak masuknya bala tentara Jepang ke Indonesia
yang menyebabkan persediaan obat menipis (Sastroamidjojo 1997).
Penelitian tumbuhan obat telah berlangsung di Indonesia lebih dari 50
tahun. Penelitian ditekankan pada sample koleksi, inventarisasi, etnobotani,
bioteknologi, agronomi, kandungan kimia, skrining farmakologi dan toksikologi,
standardisasi produksi, formulasi dan konservasi (Padua et al. 1999).
Upaya pendekatan penyelamatan sumberdaya genetika tumbuhan melalui
pola kolaboratif dan partisipatif merupakan alternatif untuk menjawab tantangan
konservasi. Semua ini tentu saja didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat
memiliki kepentingan dan keterkaitan dengan sumberdaya alam di sekitarnya. Di
sisi lain, masyarakat cenderung akan mau memberikan komitmen jangka panjang
dalam upaya konservasi sumberdaya genetika tumbuhan di Indonesia. Komitmen
itu tidak saja muncul tanpa adanya kepastian akses manfaat dan akses kepada
proses pengambilan kebijakan dalam upaya penyelamatan tumbuhan pada tataran
teknis/lapangan (Wirasena 2010). Peneliti dari berbagai disiplin ilmu sangat
diperlukan untuk menjembatani upaya konservasi tumbuhan obat dengan
komitmen masyarakat. Di samping penelitian botani, penelitian biokimia harus
dilakukan untuk mengatasi potensi kegunaan tumbuhan. KRB dengan hasil
eksplorasinya yang kaya dapat menyumbangkan material dengan identitas
3. METODOLOGI
3.1. Kerangka Pemikiran
Tumbuhan obat adalah salah satu kekayaan koleksi KRB dan merupakan
kekayaan alam yang dibutuhkan oleh masyarakat dari masa ke masa. Pemenuhan
kebutuhan tumbuhan obat yang hanya bersandarkan keberadaannya di alam tanpa
budidaya akan semakin sulit dan alam pun akan kehabisan stoknya. Hal ini terjadi
di beberapa kawasan hutan seperti di Taman Nasional Ujung Kulon untuk kasus
pule dan di Taman Nasional Meru Betiri untuk kasus kedawung (Hidayat 2006).
Kekayaan dan keanekaragaman spesies tumbuhan obat yang dimiliki bangsa
Indonesia ini ternyata belum memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan
masyarakatnya (Waluyo 2009). Penanganan secara pasif (in situ) tumbuhan obat
yang hidup di kawasan konservasi relatif memadai, akan tetapi bagi spesies
tumbuhan obat liar yang hidup di luar wilayah sistem cagar alam secara teknis
tidak terjamin keamanannya (Djumidi et al. 1999). Dalam hal ini Suhirman
(1999) telah mengingatkan bahwa manusia tidak menyadari betapa pentingnya
tumbuhan tidak hanya untuk kesejahteraan tetapi juga untuk kelangsungan hidup
kita, mereka tidak peduli akan kepunahan spesies. Pelibatan berbagai pemangku
kepentingan dalam mengkaji dan mengembangkan kebijakan, hukum, dan strategi
akan mempengaruhi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tumbuhan obat
(WHO-IUCN-WWF 2010).
Dalam rangka menuju pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang tumbuhan obat, maka diperlukan suatu strategi pengembangannya.
Pengembangan tumbuhan obat di Indonesia perlu adanya dukungan penuh
kebijakan pemerintah terutama adanya jaminan terselenggaranya penelitian yang
berkelanjutan. Langkah-langkah yang harus ditempuh antara lain: inventarisasi
dan karakterisasi keanekaragaman spesies tumbuhan obat, kerjasama antar
lembaga penelitian, LSM, dan perusahaan farmasi serta lembaga penelitian
independen lainnya, serta penentuan skala prioritas arah penelitian tumbuhan obat
(Purwanto 2002). Dalam hal ini penentuan prioritas konservasi tumbuhan obat
merupakan salah satu prioritas penelitian yang dinyatakan dalam draft Guidelines
Penyusunan strategi pengelolaan konservasi tumbuhan didorong oleh
adanya masalah-masalah terkait dengan lingkungan hidup. Untuk dapat mengatasi
masalah-masalah tersebut diperlukan sumberdaya manusia yang mampu
mengelola sumberdaya alam secara bijaksana (Rideng 1999). Sumberdaya
manusia secara mikro mencakup dua aspek yaitu aspek fisik (postur tubuh,
kesehatan, daya tahan, dan sebagainya) dan aspek non fisik (kognitif, afektif dan
psikomotor). Kedua aspek tersebut saling melengkapi sehingga merupakan
kesatuan yang utuh. Kualitas kedua aspek tersebut perlu terus ditingkatkan
melalui pendidikan.
Salah satu bentuk pengelolaan tumbuhan adalah koleksi secara ex situ.
Koleksi ex situ menurut Lascurain et al. (2008) menyediakan bahan untuk
penelitian, reintroduksi, pendidikan, dan peningkatan kepedulian masyarakat.
Pelestarian ex situ tumbuhan obat sebenarnya secara langsung dapat bermanfaat
bagi kehidupan manusia (Diwyanto 2002) dan dapat dilakukan dengan berbagai
cara, antara lain:
1. Penyimpanan dalam kamar-kamar bersuhu dingin.
2. Kebun koleksi.
3. Kebun plasma nutfah.
4. Kebun botani/kebun raya.
KRB sudah lama memiliki koleksi tumbuhan obat baik secara khusus
maupun yang tersebar di pelosok kebun. Saat ini tumbuhan obat koleksi KRB
baru berperan sebagai penghias dan pelengkap taman. Beberapa koleksi
mengalami kematian dan kehilangan baik akibat alami, ulah manusia, maupun
bencana alam (Hidayat et al. 2007). Sesuai kaidah konservasi terutama mengenai
pemanfaatan yang berkelanjutan seharusnya koleksi tumbuhan obat KRB dapat
dirasakan keberadaan dan manfaatnya oleh masyarakat umum. Di sisi lain sebagai
lembaga konservasi flora ex situ skala nasional dan internasional, KRB sangat
diharapkan kiprahnya untuk memenuhi Target 8 dan 9 GSPC (CBD 2002) dimana
60% spesies terancam dapat dikoleksi secara ex situ dan 70% dari keragaman
tumbuhan pangan dan bernilai ekonomi dapat dikonservasi serta yang
Secara historis tumbuhan obat adalah bagian penting dari kebun raya
(Shan-an (Shan-and Zhong-ming 1991), Kebun raya memer(Shan-ank(Shan-an secara penuh dalam berbagai
kegiatan mulai dari seleksi, analisis, pendugaan, budidaya, konservasi, dan
perlindungan tumbuhan obat (Akerele 1991). Keberadaan kebun raya sebagai
lembaga konservasi ex situ berperan sangat penting dalam perlindungan,
pengawetan, dan pemanfaatan sumber daya alam seperti tumbuhan obat.
Suhirman (2001) menyatakan ada empat strategi yang perlu dikerjakan
dalam bidang konservasi keanekaragaman tumbuhan:
1. Penggemblengan ahli konservasi menjadi kader konservasi.
2. Penentuan prioritas taksa yang akan dikonservasi.
3. Pendidikan konservasi bagi seluruh lapisan masyarakat.
4. Penegakan hukum.
Selain itu Suhirman (2001) juga menyatakan pentingnya penentuan
ancaman terhadap tumbuhan tertentu, karena tanpa pengetahuan yang benar
tentang faktor-faktor yang mengancam suatu spesies maka tidak mungkin kita
dapat melaksanakan konservasinya secara seksama.
Pada dasarnya konservasi berkaitan erat dengan kebutuhan masyarakat.
Konservasi sering dianggap hanya merupakan beban saja karena menghabiskan
pikiran, dana yang besar, tenaga yang melelahkan dan berkepanjangan.
Pandangan tersebut diduga bahwa upaya konservasi dilihat sebagai suatu
kewajiban dimana tidak tampak adanya kegiatan yang diiringi oleh proses
pemanfaatannya (Diwyanto 2002). Masyarakat di sekitar kebun botani melihat
kebun dari kepentingan masing-masing, sehingga kalau kebun botani tidak
memberi manfaat apapun kepada dirinya mereka tidak akan termotivasi untuk
tidak merusak apalagi memeliharanya. (Ruslan & Sastrapradja 2008).
Di Indonesia pemanfaatan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat terus dikembangkan, namun rendahnya pengetahuan dasar
pemanfaatan sumberdaya genetika dari tumbuhan menyebabkan ketidakpedulian
masyarakat dalam kegiatan konservasi tumbuhan (Basuki et al. 1999). Penyebab
lain yang lebih mendasar adalah kurangnya informasi tentang konservasi
tumbuhan kepada masyarakat. Tingkat mengetahui, memahami, dan mampu
pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal atau
penyuluhan (Bari dan Supriatna 1999).
Menurut Bari dan Supriatna (1999) upaya pelestarian sumberdaya hayati
tumbuhan harus ditingkatkan melalui pendidikan. Pendidikan konservasi
seharusnya tidak hanya untuk masyarakat umum tetapi juga untuk para politikus
dan pembuat kebijakan (Suhirman 1999). Etika pemanfaatan tumbuhan harus
menjadi kesadaran dan langkah utama umat manusia dalam mengelola
sumberdaya alam hayati. Konservasi adalah salah satu etika pilihan yang disadari
dan akan menjamin kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain. (Bari dan
Supriatna 1999).
Hal yang penting menurut Amzu (2007) untuk dapat terwujudnya
konservasi seperti apa yang diharapkan adalah prasyarat adanya kerelaan
berkorban untuk konservasi. Kerelaan berkorban sebenarnya adalah suatu sikap
yang timbul dikarenakan adanya nilai obyek yang memenuhi harapan. Nilai dapat
memotivasi individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu (Sumitomo 2004).
Azwar (2010) menjelaskan bahwa pengetahuan mengenai proses
terbentuknya sikap individu dan kelompok akan sangat bermanfaat dalam
penanganan masalah-masalah sosial. Penanganan itu antara lain dalam bentuk
pemberian stimulus-stimulus tertentu untuk memperoleh efek perilaku yang
diinginkan. Dalam kaitan konservasi tumbuhan obat Amzu (2007) mengajukan
konsep tri-stimulus amar konservasi sebagai alat untuk mengimplementasikan
pengelolaan kawasan konservasi (Gambar 1). Sukarnya tujuan konservasi
terwujud memuaskan tidak lain penyebabnya adalah terjadi bias pemahaman dan
pengalaman dalam masyarakat antar konteks nilai-nilai alamiah (Bio-ekologi dan
kelangkaan) nilai-nilai manfaat (ekonomi) dan nilai-nilai rela-religius (agama,
keikhlasan, moral dan sosial budidaya).
Nilai alamiah adalah nilai-nilai kebenaran di alam. Tumbuhan obat KRB
memiliki catatan di Bagian Registrasi sehingga nilai kebenaran secara ilmiah dan
historis adalah stimulus utama dalam pelestariannya. Sebagai tumbuhan yang
ditanam di luar habitatnya tumbuhan obat koleksi KRB banyak mengalami
kematian dan gangguan dalam pertumbuhannya. Beberapa spesies langka menjadi
Gambar 1 Diagram alir “tri-stimulus amar konservasi”: stimulus, sikap dan perilaku aksi konservasi (Amzu 2007).
Nilai manfaat berkaitan erat dengan pandangan praktis atau pragmatis, yang
bahkan menjadi pegangan banyak orang, terutama apabila dikaitkan dengan
kenyataan dan tujuan yang ingin dicapai baik pada tingkat individu, kelompok
maupun masyarakat (Amzu 2007). Beragam bakteri, kapang, serta makhluk mikro
lainya telah diketahui sebagai kekayaan tersembunyi di antara spesies koleksi
tumbuhan obat. Beragam penyakit dapat diatasi tumbuhan obat mulai dari
gangguan kulit hingga gangguan organ dalam manusia, ini merupakan nilai yang
belum termanfaatkan dari koleksi tumbuhan obat KRB (Hidayat et al. 2006).
Nilai rela, moral dan spiritual bangsa Indonesia yang berkaitan dengan
konservasi tumbuhan sebagai kearifan berbagai suku dan agama yang dianut
bangsa Indonesia dapat disampaikan, yang secara umum ditekankan kepada sikap
harmonis dengan Tuhan, terhadap sesama makhluk dan terhadap alam lingkungan
(Bari dan Supriatna 1999). Kecintaan terhadap alam dan tumbuhan, kesenangan
akan keindahan taman/tumbuhan, kesejukan, ketenangan, kenyamanan dan
keamanan adalah beberapa contoh nilai yang dapat mendorong kerelaan
masyarakat untuk konservasi. Menurut Amzu (2007) stimulus rela-religius sangat
berpengaruh dan efektif mendorong terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi
konservasi.
Tri-Stimulus Amar Konservasi
• Stimulus Alamiah Nilai-nilai kebenaran dari alam, kebutuhan keberlanjutan sumberdaya alam hayati sesuai dengan karakter bioekologinya
• Stimulus Manfaat
Nilai-nilai kepentingan untuk manusia: manfaat ekonomi, manfaat obat, manfaat biologis/ekologis dan lainnya
• Stimulus Rela
Selanjutnya berdasarkan pada modifikasi konsep tri stimulus amar
konservasi, skema solusi konservasi tumbuhan obat yang dapat memenuhi
harapan masyarakat dan sesuai fungsi KRB adalah sebagai berikut:
Tri Stimulus amar konservasi
KRB
Masya-rakat
Tumbuhan obat
Tupoksi: Konservasi Penelitian Pendidikan Rekreasi Harapan
Solusi Konservasi : Pemanfaatan TO berkelanjutan, berkeadilan, beradab dan berdaulat
3.2. Metode
3.2.1. Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan September – Desember 2010, baik data
primer maupun data sekunder.
3.2.2. Alat dan bahan
Katalog koleksi KRB dan buku-buku tentang tumbuhan obat sebagai alat
utama dalam inventarisasi dan identifikasi koleksi tumbuhan obat. Sebagai bahan
kajian adalah semua koleksi tumbuhan yang terdapat di kebun koleksi dan data-Gambar 2 Konsep skematik solusi konservasi tumbuhan obat
data koleksi yang terdapat di Bagian Registrasi Koleksi KRB. Berbagai laporan
dan berkas/dokumen koleksi tumbuhan obat di KRB menjadi bahan pendukung.
Seperangkat alat kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas
tiga macam kuisioner:
1. Kuisioner berupa pernyataan-pernyataan yang disusun dalam lembaran tes
yang memuat informasi dan harapan masyarakat terhadap KRB dan koleksi
tumbuhan obat.
Pernyataan-pernyataan dalam kuisioner ini diperoleh dengan melakukan
wawancara pendahuluan terhadap 100 orang pengunjung dan 50 orang pegawai
KRB untuk memperoleh gambaran pendapat dan harapan tentang keberadaan
tumbuhan obat di KRB. Selanjutnya hasil wawancara ini disusun menjadi
beberapa pernyataan dan ditanya ulang kepada 100 orang pengunjung lainnya
untuk mendapatkan respon setuju atau tidak setuju. Dua puluh pernyataan yang
mendapatkan respon setuju paling banyak dipilih sebagai pernyataan pada
kuisioner akhir dengan skala Likert.
2. Kuisioner untuk menentukan spesies prioritas konservasi di kebun, terutama
ditujukan kepada orang atau badan tertentu yang bergerak di bidang tumbuhan
obat. Kuisioner ini berupa lembar uji penentuan spesies prioritas (Lampiran 4).
3. Kuisioner yang ditujukan kepada pengamat/pengawas KRB untuk menentukan
spesies mendesak ditindaklanjuti berupa matriks uji pembandingan
berpasangan (Lampiran 14).
3.2.3. Metode pengumpulan data
Untuk mendapatkan sejumlah data yang pasti dan akurat sesuai tujuan
penelitian maka telah dilakukan tahapan kegiatan sebagai berikut:
1. Dalam rangka mengkaji data terkini koleksi tumbuhan obat di KRB maka
dilakukan:
a. Inventarisasi koleksi baik secara desk study maupun observasi di kebun.
Desk study dengan mengacu kepada katalog koleksi KRB menandai
semua spesies tumbuhan yang diduga bermanfaat sebagai bahan obat
Observasi dilakukan dengan cara mengecek ke kebun mengenai spesies
yang telah ditandai pada katalog untuk memastikan keberadaannya.
b. Observasi potensi dan kegunaan koleksi dilakukan dengan penggalian
informasi melalui buku kebun dan hasil-hasil penelitian serta pustaka
tumbuhan obat.
c. Kategori kelangkaan dan spesies prioritas dicek berdasarkan
dokumen-dokumen berikut: IUCN red list 2010, WCMC 1997, IBSAP 2003, BGCI
priority 2008 dan CITES 2010.
d. Wawancara terstruktur untuk mendapatkan spesies prioritas dan spesies
yang mendesak ditindaklanjuti. Spesies prioritas dengan menggunakan
lembar uji penentuan spesies prioritas ditujukan kepada para peneliti dan
praktisi tumbuhan obat yang berkaitan di bidangnya. Taksa yang diuji
adalah spesies yang telah dilakukan pengecekan status dan kategori
kelangkaannya. Sejumlah 30 peneliti/praktisi terlibat dalam pengisian
lembar uji ini. Sementara itu lembar uji berupa matriks pembandingan
berpasangan digunakan untuk menentukan spesies prioritas yang perlu
segera ditindaklanjuti aksi konservasinya. Responden untuk matriks ini
dipilih para pengamat/pengawas koleksi KRB yang sehari-hari bekerja di
kebun koleksi.
2. Penggalian harapan masyarakat dilakukan melalui wawancara dan
kuisioner. Wawancara dilakukan baik kepada pengunjung (mewakili masyarakat
umum), praktisi kesehatan/pengobat tradisional, industri obat tradisional dan
peneliti untuk mendapatkan sejumlah informasi mengenai harapan masyarakat
terhadap peran KRB dalam pengelolaan koleksi tumbuhan obat dan aspek-aspek
konservasi lainnya.
Penentuan responden dilakukan sebagai berikut:
Responden masyarakat umum
Responden dipilih dengan metode random sampling. Penentuan jumlah responden
didasarkan pada data pengunjung pada bulan Oktober 2010. Jumlah responden
n= dengan presisi 5% (tingkat kepercayaan 95%), dimana:
n = jumlah sample (responden)
N= jumlah populasi sample, dalam hal ini diambil jumlah rata-rata
pengunjung dalam seminggu setelah dikurangi wisatawan mancanegara dan
dikurangi wisatawan anak-anak, sehingga diperoleh N = 4551 dan n = 368
Selanjutnya pengambilan sampling per hari dilakukan dengan proportionate
random sampling dengan rumus ni = x n, dimana:
ni = jumlah sample menurut hari
Ni = jumlah sample seluruhnya (368)
n = jumlah pengunjung rata-rata dalam hari bersangkutan
N = jumlah pengunjung dalam seminggu (4551)
Dengan demikian diperoleh sample (ni) untuk hari Senin hingga hari Minggu
sebagai berikut:
Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu Total
29 27 35 28 21 92 136 368
Responden praktisi/pengobat, industri dan peneliti dipilih secara acak dari
berbagai lembaga terkait seperti berikut:
a. Mewakili praktisi/pengobat adalah 2 pengobat dari Taman Sringanis, 2
praktisi dari Karyasari, 1 orang dari Wana Tani dan 7 orang perawat/bidan.
b. Mewakili industri obat tradisional adalah 1 orang dari Liza Herbal, 2 orang
dari Kampoeng Djamoe, 1 orang dari Parang Husada dan 1 dari Aneka Sari.
c. Mewakili peneliti adalah 16 orang dari LIPI, 2 orang dari Balitro, 2 orang dari
Litbang Kehutanan, 2 orang dari BPTO, 2 orang dari IPB dan 1 orang LSM.
3. Untuk mengkaji apakah program konservasi tumbuhan obat di KRB sudah
sesuai dengan harapan masyarakat maka dilakukan pengecekan aktivitas KRB
yang berkaitan dengan konservasi tumbuhan obat melalui laporan tahunan KRB