• Tidak ada hasil yang ditemukan

Performa dan Analisis Ekonomi Broiler yang Diberi Ransum Sumber Pati atau Lemak Tinggi sebagai Sumber Energi serta Suplementasi Vitamin E dan C

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Performa dan Analisis Ekonomi Broiler yang Diberi Ransum Sumber Pati atau Lemak Tinggi sebagai Sumber Energi serta Suplementasi Vitamin E dan C"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN

AlivanYuliardi. 2013. Performa dan Analisis Ekonomi Broiler yang Diberi Ransum Sumber Pati atau Lemak Tinggi sebagai Sumber Energi serta Suplementasi Vitamin E dan C. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

PembimbingUtama : Dr. Ir. Sumiati, M. Sc.

PembimbingAnggota : Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS.

Kondisi di Indonesia yang cukup panas (diatas 300C) dan lembab (60 – 90%) (BMKG, 2010) berpotensi menyebabkan ayam kesulitan untuk melepaskan panas yang dihasilkan selama proses metabolisme dalam tubuh dan terus meningkat seiring dengan bertambahnya umur ayam. Pakan tinggi pati sebagai sumber energi akan menghasilkan panas di dalam tubuh yang lebih tinggi dibanding dengan pakan berbasis lemak sebagai sumber energi. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh sumber energi yang berbeda pada ayam broiler yang diberi suplementasi vitamin E dan vitamin C melalui air minum terhadap performa dan IOFCC (Income Over Feed and Chick Cost) ayam broiler.

Penelitian ini menggunakan 160 ekor DOC ayam broiler, vitamin E dan C yang sudah dicampur dalam bentuk bubuk, kandang dan peralatan serta ransum dan air minum. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan dengan masing-masing ulangan menggunakan 10 ekor ayam. Perlakuan pada penelitian ini terdiri atas R1 (pakan tinggi pati tanpa suplementasi vitamin), R2 (pakan tinggi lemak tanpa suplementasi vitamin), R3 (pakan tinggi pati dengan suplementasi vitamin), R4 (pakan tinggi lemak dengan suplementasi vitamin). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan . Peubah yang diamati adalah suhu, konsumsi ransum (g/ekor), bobot badan akhir (g/ekor), pertambahan bobot badan (g/ekor), konversi ransum, mortalitas (%) dan IOFCC (Rp/ekor).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kedua jenis ransum dan suplementasi vitamin E dan C tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum, bobot badan akhir, pertambahan bobot badan, dan mortalitas ayam broiler. Bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan yang dihasilkan pada perlakuan pakan tinggi lemak dan disuplementasi vitamin E dan C adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya sehingga menghasilkan konversi pakan yang paling baik dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Bobot badan akhir pada R4 adalah sebesar 1933,25 g/ekor sedangkan pada perlakuan R1, R2, dan R3 hanya sebesar 1752, 1745, dan 1740 g/ekor. Hasil konversi pakan yang dihasilkan paling baik terdapat pada R4 yakni sebesar 1,46 sedangkan pada perlakuan R1, R2, R3 berturut-turut adalah 1,58, 1,65, dan 1,68. Perlakuan R4 memiliki IOFCC yang paling besar yakni Rp 11.539,- per ekor per periode. Kesimpulan dari penelitian ini adalah perlakuan R4 memiliki hasil yang paling baik dan memberikan keuntungan yang paling besar.

Kata-kata kunci: ayam broiler, cekaman panas, vitamin E, vitamin C, lemak, pati

(2)

ABSTRACT

Performances and Economical Analyzes of Broiler Chicken Fed Carbohydrate or Fat Based Diet Supplemented with Vitamin E and Vitamin C through

Drinking Water

Yuliardi, A., Sumiati, and D. A. Astuti

Environmental temperature in Indonesia is high enough to let heat stress in broiler chicken. This heat stress may cause oxidative stress, decrease feed consumption and production. Vitamin E and C are usually used as anti heat-stress agent while carbohydrate and lipid are used as energy source. The purpose of this research was to find out the influence of supplementation of vitamin E and C through drinking water on broiler performance fed carbohydrate or lipid as energy source. The dose of vitamin E and C given was 1 g/L drinking water. This research used 160 Ross broiler chickens. This study used Completely Randomized Design (CRD) with four treatments (R1: carbohydrate based diet, R2: lipid based diet, R3: R1+ vitamin E and C supplementation, and R4: R2+vitamin E and C supplementation) and four replications. The data were analyzed using ANOVA. Variables measured were feed consumption, final body weight, body weight gain, feed conversion, mortality, and income over feed and chick cost (IOFCC). The results indicated that carbohydrate or lipid based diet and supplementation of vitamin E and C did not influence the feed consumption, final body weight, body weight gain, and mortality. However the lipid based diet supplemented with vitamin E and C improved feed efficiency. The feed conversion of R4 was 1.46. The IOFCC of R4 was the highest. The conclusion of this research was lipid based diet supplemented with vitamin E and C resulted the best performances and had the highest profit.

Keywords : broiler, heat stress, vitamin E, vitamin C, carbohydrate, lipid

(3)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki musim kemarau yang cukup panjang. Suhu lingkungan di Indonesia juga cukup tinggi, yakni diatas 30oC dan kelembabannya berkisar antara 60-90% (BMKG, 2010). Ayam Broiler optimal diproduksi pada wilayah subtropik atau berada pada kisaran suhu 20-25 oC dengan kelembaban udara berkisar 60-70%. Cekaman panas akibat dari tingginya suhu lingkungan yang melebihi kisaran zona suhu normal dapat menyebabkan stres oksidatif pada ayam broiler. Cekaman panas juga dapat menyebabkan tingkat kematian ayam yang tinggi. Respon ayam terhadap cekaman panas adalah dengan melakukan panting, yaitu merupakan mekanisme evaporasi saluran pernapasan. Proses panting memerlukan peningkatan aktivitas otot dan ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan energi. Broiler selalu dalam kondisi kehausan dan banyak minum, akibatnya feses yang dihasilkan basah dan lunak/encer. Daya tahan tubuh mengalami penurunan dan pada akhirnya akan membawa broiler pada kematian.

Cara untuk mengatasi cekaman panas pada ayam broiler salah satunya dengan menggunakan sumber energi yang menghasilkan panas lebih rendah. Pada umumnya ransum ayam broiler menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi dalam ransum. Akan tetapi, penggunaan karbohidrat ini menghasilkan panas yang cukup tinggi (15%). Maka dari itu lemak digunakan sebagai sumber energi alternatif yang dapat menghasilkan panas lebih rendah (10%) sehingga dapat meminimalisir terjadinya cekaman panas pada ayam broiler.

Upaya lainnya yang bisa dilakukan untuk mengatasi cekaman panas pada ayam broiler adalah dengan pemberian vitamin E dan C. Vitamin E berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan berperan untuk mengubah bentuk radikal bebas menjadi ikatan-ikatan yang aman sehingga menghentikan proses lipida peroksida. Vitamin E memperbaiki stres dan daya tahan terhadap penyakit, sehingga hasilnya performa produksi dan reproduksi meningkat, sedangkan vitamin C yang dikenal sebagai anti stress, berperan dalam metabolisme glukoneogenesis, yaitu suatu proses penyediaan energi selama terjadinya cekaman suhu tinggi.

Saat ini sumber energi untuk pakan ayam broiler yang paling umum digunakan adalah jagung, namun untuk memenuhi permintaan akan jagung di dalam

(4)

negeri masih impor. Indonesia masih memiliki alternatif bahan baku pakan lain yang dapat digunakan sebagai sumber energi. CPO (Crude Palm Oil) adalah sumber lemak yang mulai umum digunakan sebagai sumber energi dalam ransum ayam broiler. Oleh karena itu, dilakukan penilaian efektifitas penggunaan CPO sebagai sumber energi terhadap performa dan keuntungan ekonomis secara sederhana (Income Over Feed and Chick Cost).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa dan evaluasi ekonomis secara sederhana (Income Over Feed and Chick Cost) ayam broiler yang diberi bahan pakan sumber pati (jagung) dan bahan pakan sumber lemak (CPO) sebagai sumber energi serta suplementasi vitamin E dan C pada air minum.

(5)

TINJAUAN PUSTAKA CPO (Crude Palm Oil)

Sumber energi yang tergolong minyak nabati yang dapat digunakan sebagai bahan penyusun ransum diantaranya adalah minyak kelapa sawit (Scott et al., 1982).

Crude Palm Oil (CPO) merupakan sumber lemak yang sudah banyak digunakan untuk pakan ayam baik broiler maupun layer. Selain murah penggunaan CPO dalam pakan juga dapat meningkatkan warna kuning dalam pakan. Crude palm oil

mengandung asam-asam lemak tidak jenuh dalam jumlah sedikit dibandingkan minyak nabati lainnya. Berdasarkan kandungan asam lemaknya CPO digolongkan ke dalam minyak asam laurat, karena kandungan asam lauratnya yang paling besar dibandingkan dengan asam lemak lainnya (Anggorodi, 1979).

Indonesia adalah negara penghasil CPO terbesar pada tahun 2011 dengan produksi sebesar 23 juta ton per tahun. Pola peningkatan permintaan CPO untuk ekspor maupun konsumsi domestik menunjukkan bahwa komoditas non migas ini memiliki potensi untuk dikembangkan. Konsumsi negara-negara tujuan ekspor rata-rata meningkat dengan laju 26,97% dari tahun 1980-2010. Tahun 2010 ekspor CPO sebesar 16.480.000 ton. Konsumsi domestik CPO tercatat juga mengalami kenaikkan dari tahun ke tahun, sampai bulan Agustus tahun 2010 konsumsi CPO dalam negeri tetap mengalami kenaikkan hingga 5.240.000 ton (Ramadhan, 2011).

Jagung

Jagung merupakan pakan yang sangat baik untuk ternak. Jagung sangat disukai ternak dan pemikaiannya dalam ransum ternak tidak ada pembatasan. Jagung tidak mempunyai antinutrisi dan sifat pencahar. Walaupun demikian pemakaian dalam ransum ternak perlu dibatasi karena tidak ekonomis dan dapat menyulitkan ternak tersebut untuk berproduksi apabila digunakan terlalu tinggi.

Jagung mempunyai kandungan energi metabolis 3.300 kkal/kg, protein kasar 8,5%, lemak kasar 3,8% dan kandungan serat kasarnya 2,5% (Leeson dan Summers, 2005). Jagung kuning merupakan jenis jagung yang biasa digunakan untuk pakan unggas, karena banyak mengandung karoten (xanthophyl) dan vitamin A. Karoten berpengaruh terhadap pigmen kuning dalam cadangan lemak dan kuning telur.

(6)

Jagung kuning banyak mengandung asam amino sistin dan dapat merangsang nafsu makan ayam (Scott et al., 1982)

Ayam Broiler

Ayam broiler merupakan ayam tipe berat pedaging yang lebih muda dan berukuran lebih kecil, dapat tumbuh sangat cepat sehingga dapat dipanen pada umur 4 minggu yang ditujukan untuk menghasilkan daging dan menguntungkan secara ekonomis jika dibesarkan (Amrullah, 2004). Ayam broiler adalah ayam jantan atau betina yang berumur dibawah 8 minggu ketika dijual dengan bobot badan tertentu, mempunyai pertumbuhan yang cepat serta mempunyai dada yang lebar dengan timbunan daging yang baik. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai proses yang sangat kompleks meliputi pertambahan bobot hidup dan pertambahan semua bagian tubuh secara merata dan serentak (Maynard et al., 1979). Salah satu kriteria untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan pengukuran pertambahan bobot badan (PBB). PBB diartikan sebagai kemampuan untuk mengubah zat-zat nutrisi yang ada dalam ransum menjadi daging (Tillman et al., 1998). Ayam broiler mampu membentuk 1 kg daging atau lebih hanya dalam waktu 30 hari dan bisa sampai 1,5 kg dalam waktu 40 hari. Biasanya ayam broiler dipanen setelah umurnya mencapai 45 hari dengan bobot badan berkisar 1,5-2,5 kg (Didinkaem, 2006). Konsumsi ransum, bobot badan, pertambahan bobot badan, dan konversi ransum yang direkomendasikan pada berbagai umur ayam broiler strain Ross disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Standar Konsumsi Air minum, Konsumsi Ransum, Bobot Badan, Pertambahan Bobot Badan, dan Konversi Ransum yang Ayam Broiler

Strain Ross

Menurut Ross (2009), ayam broiler optimal diproduksi pada wilayah sub tropis atau berada pada kisaran suhu 20 - 25 oC dengan kelembaban udara berkisar

(7)

60 -70%. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ayam broiler adalah bangsa, tipe ayam, jenis kelamin, energi metabolis, kandungan protein dan suhu lingkungan (Wahju, 2004). Semakin tua umur ayam maka suhu lingkungan yang dibutuhkan semakin rendah atau sejuk, hal ini terkait dengan suhu dalam tubuh ayam yang semakin meningkat akibat semakin banyak energi panas yang dilepaskan akibat proses metabolisme zat nutrisi (Ross, 2009).

Konsumsi Pakan

Konsumsi pada umumnya diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, yang kandungan zat makanan di dalamnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut (Tillman et al., 1998). Konsumsi pakan adalah jumlah makanan yang terkonsumsi oleh ternak bila bahan makanan tersebut diberikan ad libitum. Konsumsi pakan merupakan faktor essensial sebagai dasar untuk hidup pokok dan untuk produksi. Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor hewan, faktor makanan yang diberikan dan faktor lingkungan (suhu dan kelembaban). Jumlah konsumsi pakan merupakan salah satu tanda terbaik bagi produktivitas ternak.

Konsumsi pakan sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin, besarnya tubuh, keaktifan dan kegiatan pertumbuhan atau produktivitas lainnya, yaitu suhu dan kelembaban udara. Suhu udara yang tinggi maka konsumsi pakan akan menurun karena konsumsi air minum yang tinggi berakibat pada penurunan konsumsi energi. Konsumsi juga sangat dipengaruhi oleh palatabilitas yang tergantung pada beberapa hal, yaitu penampilan dan bentuk makanan, bau, rasa, tekstur dan suhu lingkungan (Church dan Pond, 1988). Standar konsumsi ransum ayam broiler Strain Ross dapat dilihat pada Tabel 1.

Menurut Kartasudjana dan Suprijatna (2006), ayam mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energinya, sebelum kebutuhan energinya terpenuhi ayam akan terus makan. Jika ayam diberi makan dengan kandungan energi rendah maka ayam akan makan lebih banyak. Konsumsi ransum setiap minggu bertambah sesuai dengan pertambahan bobot badan. Setiap minggunya ayam mengonsumsi ransum lebih banyak dibandingkan dengan minggu sebelumnya (Fadilah, 2004). Energi metabolis yang diperlukan ayam berbeda, sesuai tingkat umurnya, jenis kelamin dan cuaca. Semakin tua ayam membutuhkan energi metabolis lebih tinggi (Fadilah,

(8)

2004). Menurut Wahju (2004), energi yang dikonsumsi oleh ayam digunakan untuk pertumbuhan jaringan tubuh, produksi, menyelenggarakan aktivitas fisik dan mempertahankan temperatur tubuh yang normal. Leeson dan Summer (2001) menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk ayam broiler periode starter 3050 kkal/kg ransum pada tingkat protein 22%, sedangkan periode finisher 3150 kkal/kg ransum pada tingkat protein 18%.

Angka kebutuhan energi yang absolut tidak ada karena ayam dapat menyesuaikan jumlah rasnsum yang dikonsumsi dengan kebutuhan energi bagi tubuhnya (Rizal, 2006). Kebutuhan protein untuk ayam yang sedang bertumbuh relatif lebih tinggi karena untuk memenuhi tiga macam kebutuhan yaitu untuk pertumbuhan jaringan, hidup pokok dan pertumbuhan bulu (Wahju, 2004). Rasyaf (1992) menyatakan bahwa kebutuhan energi metabolis berhubungan erat dengan kebutuhan protein yang mempunyai peranan penting pada pertumbuhan ayam broiler selama masa pertumbuhan. Amrullah (2004) menyatakan bahwa lemak dapat ditambahkan dalam ransum hingga 8%.

Konversi Ransum

Konversi ransum adalah pembagian antara konsumsi pada suatu minggu dengan pertambahan berat badan yang dicapai pada minggu tersebut (Rasyaf, 1999). Menurut Wahju (2004), konversi ransum adalah jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit PBB (Pertambahan Bobot Badan), semakin besar ukuran dan tua ternak maka nilai konversinya akan semakin tinggi. Faktor utama yang mempengaruhi konversi ransum adalah temperatur, kualitas ransum, kualitas air, pengafkiran, penyakit, manajemen pemeliharaan dan juga faktor pemberian ransum, penerangan dan faktor sosial (Anggorodi, 1979).

Cekaman Panas

Cekaman merupakan kondisi ternak dengan kesehatan terganggu yang disebabkan adanya lingkungan yang terjadi secara terus menerus pada hewan dan mengganggu proses homeostasis (Leeson dan Summers, 2001). Cekaman panas terjadi ketika ayam tidak mampu menyeimbangkan panas di dalam tubuhnya dengan panas yang ada di lingkungan. Menurut Kusnadi (2006), cekaman panas pada ayam

(9)

broiler dapat menurunkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan ransum, dan meningkatnya angka kematian.

Ayam adalah salah satu hewan homeotermik yang memiliki kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuhnya relatif stabil pada suatu kisaran suhu yang sempit walaupun terjadi perubahan suhu yang besar pada lingkungan. Cekaman panas yang berkepanjangan akan menyebabkan penurunan produksi hormon tiroksin sehingga konsumsi pakan menjadi rendah dan menyebabkan pertumbuhan terhambat sehingga produksinya rendah (Sahin et al., 2002).

Metabolisme Karbohidrat dan Lemak Metabolisme Karbohidrat

Sebagian besar dari energi dipergunakan hewan untuk keaktifan dalam pelaksanaan reaksi-reaksi kimia yang membantu metabolisme (Amrullah, 2004). Karbohidrat, protein dan lemak menyediakan energi untuk hewan dengan kandungan energi yang berbeda (Damron, 2003). Kandungan energi bruto pada karbohidrat kira-kira 3,74 kkal/gram (Leeson dan Summers, 2001). Nutrien yang mengandung karbon menyediakan energi untuk hewan (Taylor dan Field, 2004).

Karbohidrat mensuplai hampir seluruhnya untuk energi sebab merupakan sumber energi yang lebih ekonomis dibandingkan dengan protein. Energi yang digunakan sebagai daya hidup hewan, tetapi kebanyakan digunakan sebagai energi kimia yang dibutuhkan dalam proses pengubahan pakan menjadi produk ternak serta untuk menjaga keseimbangan temperatur tubuh (Taylor dan Field, 2004).

Glukosa merupakan sumber yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi. Siklus utama pemecahan glukosa untuk membentuk energi terdapat dalam 2 tahap. Tahap yang pertama diketahui sebagai proses glikolisis dan tahap yang kedua merupakan lanjutan dari tahap sebelumnya, yang sering dikenal dengan nama siklus krebs. Pada tahap glikolisis, satu mol glukosa akan dirombak menjadi

dihydroxyacetone phospate yang kemudian akan memiliki hasil akhir 2 mol piruvat (Gambar 1). Proses glikolisis tersebut menghasilkan total 8 mol ATP (Mc Donald, 2002).

(10)

Gambar 1. Proses Glikolisis Sumber: McDonald, 2002

Dua mol piruvat hasil dari glikolisis dioksidasi menghasilkan 1 karbon CO2

dan Acetyl coenzyme A. Acetyl coenzyme A kemudian dioksidasi menjadi karbon dioksida dan air melalui siklus Krebs (Gambar 2). Perombakan acetyl coenzyme A menjadi karbon dioksida dan air menghasilkan 30 mol ATP. Jadi total ATP yang dihasilkan dari 1 mol glukosa adalah 38 mol ATP (McDonald, 2002).

(11)

Gambar 2. Siklus Krebs

Sumber: McDonald, 2002

Metabolisme Lemak

Lemak yang cukup dalam tubuh ayam broiler yang dipasarkan diperlukan untuk memberikan penampakan yang bagus pada hasil pemotongan dan untuk memperbaiki kualitas dagingnya. Akan tetapi, jika terlalu banyak akan merusak. Trigliserida adalah lemak utama yang disimpan dalam jaringan tubuh ayam. Sekitar 95% trigliserida datang dari ransum, 5%nya disintesis dalam tubuh. Lemak dapat meninggalkan sel-sel lemak dalam tubuh berupa lipoprotein, dan karena itu, lemak ransum menjadi faktor penentu perlemakan. Tetapi kelebihan lemak tidak pernah dapat dibuang dari tubuh. Kalau terlalu banyak lemak yang dikonsumsi, kelebihannya akan disimpan dalam sel lemak kecuali sedikit yang dirombak ketika tubuh memerlukan energi (Amrullah, 2004).

Lemak mempunyai energi bruto sekitar 9,1 kkal/gram, nilai ini adalah 82% dari 11,2 kkal yang dibutuhkan untuk mendeposisikan 1 kg lemak dalam tubuh

(12)

(Leeson dan Summers, 2001). Menurut Anggorodi (1994), lemak merupakan kelompok lipida sederhana sebagai hasil reaksi esterifikasi asam lemak netral (trigliserida) dengan gliserol. Lipida tidak larut dalam air tetapi larut dalam eter, kloroform, dan benzena. Lemak berperan penting dalam metabolisme energi dengan keberadaan fraksi gliserol yang dapat diubah oleh tubuh ternak menjadi fruktosa, kemudian diubah menjadi glukosa yang dapat digunakan sebagai sumber gula dalam darah.

Lemak digunakan sebagai sumber energi dalam bentuk gliserol. Gliserol diperoleh dari perombakan triacylglycerol melalui lipase. Gliserol memiliki sifat glikogenik yang kemudian akan memasuki siklis glikolisis dalam bentuk

dihydroxyacetone phospate (McDonald, 2002). Produksi dihydroxyacetone phospate

ditunjukkan oleh Gambar 3.

Gambar 3. Perombakan Gliserol menjadi DHAP Sumber: McDonald, 2002

Bentuk dihydroxyacetone phosphate kemudian dapat diubah kembali menjadi bentuk glukosa. Glukosa dapat dibentuk melalui kebalikan reaksi aldolase untuk menghasilkan fructose-1,6-diphosphate yang kemudian dikonversi kembali menjadi glukosa melalui aktivitas hexose diphosphatase, glucose-6-phosphate isomerase, dan

glucose-6-phospatase. Jika glukosa ini akan digunakan untuk memproduksi energi dapat dihasilkan 21 ATP setiap mol gliserol (Mcdonald, 2002).

McDonald (2002) menjelaskan bahwa, di sisi lain, dihydroxyacetone phosphate dapat memasuki proses glikolisiss dan dimetabolis menjadi piruvat kemudian melewati siklus tricarboxylic acid diubah menjadi karbon dioksida dan air. Perombakan gliserol menjadi energi kemudian akan menghasilkan 22 mol ATP setiap 1 mol gliserol.

(13)

Suplementasi vitamin E dan vitamin C

Kandungan vitamin dalam ransum harus mencukupi kebutuhan, namun kandungan vitamin dalam ransum tersebut dikhawatirkan dapat berkurang jumlahnya seiring proses pembuatan ransum sehingga jumlahnya tidak lagi mencukupi kebutuhan ternak. Selain itu, pemberian vitamin melalui ransum ternak tidak terlal efektif karena dapat banyak terbuang melalui ekskreta. Pada waktu cuaca panas ayam akan lebih banyak minum. Air minum akan membuat vitamin lebih larut dan terbuang keluar tubuh. Cara terbaik untuk mengatasi hal ini adalah memberikan campuran vitamin melalui air minum tiga hari berturut-turut dalam selang dua minggu. Dengan demikian, cadangan vitamin akan cukup dan laju metabolisme dapat dipertahankan (Amrullah, 2004).

Puthpongsiriporn et al. (2001) melaporkan bahwa pemberian vitamin E sebanyak 65 IU/kg pakan dan vitamin C sebanyak 1000 ppm melalui air minum pada ayam petelur yang mengalami stress panas tidak mempengaruhi paramater produksi tetapi mempengaruhi level status immunitas, kandungan antioksidan dalam kuning telur dan kandungan antioksidan pada plasma darah. Pemberian vitamin E sebanyak 60 mg/kg pakan yang dikombinasikan dengan vitamin C sebanyak 60 mg/kg pakan pada hewan kesayangan yang sehat tidak berdampak banyak pada sistem imun dan parameter antioksidan tubuh (Hesta et al., 2009). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suplementasi vitamin E yang dikombinasikan vitamin C akan lebih optimal ketika ternak dalam kondisi stress baik itu yang diakibatkan oleh lingkungan atau dalam tubuh ternak itu sendiri. Hal ini disebabkan ketika stress ternak akan mengalami gangguan sintesa vitamin C dalam tubuh dan tingginya radikal bebas dalam tubuh yang dapat merusak membran sel dan jaringan tubuh.

Vitamin E

Vitamin E ditemukan oleh Evans dan Bishop sebagai vitamin yang larut dalam lemak atau minyak dan dikenal juga sebagai alpha-tocopherol (Anggorodi, 1994). Vitamin E termasuk vitamin larut lemak yang erat kaitannya dengan metabolisme lemak, berfungsi sebagai antioksidan dalam pemecahan rantai asam lemak, berperan dalam sistem kekebalan dan penuaan serta behubungan erat dengan metabolisme mineral selenium. Selain sebagai proteksi dari peroksidasi lemak, vitamin E berperan sebagai regulator sistem kekebalan tubuh di tingkat sel.

(14)

Suplemetasi vitamin E 100 mg/kg pakan dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh ketika berlangsung stres panas (Niu et al., 2009). Sahin et al. (2002) melaporkan bahwa pemberian vitamin E sebanyak 250 mg/kg pakan memperbaiki performa ayam broiler dan menurunkan konsentrasi tryglicerida serta kolesterol dalam plasma darah yang dipelihara dalam kondisi stress panas (32 oC). Rasio heterophyl (H) : lympocyte (L) meningkat yang menandakan kemampuan sistem imun dalam melakukan phagocytosis meningkat dengan pemberian vitamin E 30 kali dosis normal (10 mg/kg pakan) pada ayam broiler.

Groff dan Sareen (2005) menyatakan bahwa vitamin E memiliki fungsi memelihara integritas sel tubuh, mencegah peroksidasi asam-asam lemak tak jenuh yang berada pada phospolipid membrane seluler, membran mitokondria dan endoplasmik retikulum. Vitamin E merupakan vitamin yang larut dalam lemak. Untuk dapat dilarutkan dalam air minum ayam broiler maka perlu dilakukan miselisasi atau perubahan berat jenis partikel serta penambahan stabilizer berupa gula laktosa.

Vitamin C

Vitamin C bisa disintesa oleh tubuh ayam pada kondisi normal dan hewan dewasa, fungsinya ialah sebagai antioksidan dalam berbagai reaksi yang bisa merugikan tubuh, sintesa vitamin C dalam tubuh erat kaitannya dengan level glukosa tubuh dan akan berkurang ketika terjadi stress. Ayam broiler memungkinkan sintesis vitamin C ini karena mempunyai ketiga enzim yang diperlukan yakni enzim NADPH, L-gulonolakton oxidase, D-glukuronolakton reduktase yang semuanya terdapat dalam ginjal ayam. Dalam keadaan cekaman panas, ayam tidak dapat mensintesis vitamin C ini sehingga perlu ditambahkan dalam pakan (Morrison, 1961). Mckee et al. (1997) melaporkan bahwa pemberian vitamin C 150 mg/kg pakan mempengaruhi sistem penyimpanan energi didalam tubuh yang bisa digunakan ketika asupan energi berkurang saat stress panas berlangsung. Vitamin C bisa teroksidasi, terdegradasi oleh enzim dan rusak oleh suhu pemanasan. Mekanisme vitamin C sebagai antioksidan disajikan dalam Gambar 4.

(15)

Gambar 4. Mekanisme Kerja Vitamin C sebagai Antioksidan Sumber: Lehninger, 2005

Menurut Lehninger (2005), mekanisme kerja vitamin C sebagai antioksidan dibagi menjadi 3 tahap yaitu 1) selama oksidasi oleh asam askorbat, sebuah radikal bebas disebut radikal asam semidehidroaskorbic dibentuk tetapi memiliki paruh waktu yang pendek 2) Oksidasi senyawa radikal tersebut membentuk asam dehidroaskorbic 3) asam dehidroaskorbik dapat dikurangi dengan hidrogen yang berasal dari glutathione tereduksi.

Hasil penelitian Kusnadi (2006) pada ayam broiler umur 3-5 minggu menunjukkan bahwa pemberian vitamin C nyata (P<0,05) meningkatkan konsumsi ransum dan PBH (pertambahan bobot harian). Konsumsi ransum meningkat dari 1436 gram/ekor pada kontrol menjadi 1584, 1556, dan 1595 gram/ekor masing-masing untuk suplementasi vitamin C sebanyak 250, 500 dan 750 ppm. Pertambahan bobot badan harian meningkat dari 670 gram/ekor pada kontrol menjadi 774, 800, dan 791/ekor gram masing-masing untuk suplementasi vitamin C sebanyak 250, 500 dan 750 ppm.

Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC)

Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) merupakan peubah penting yang secara ekonomis dapat menggambarkan besarnya keuntungan yang diperoleh dari tiap-tiap perlakuan. IOFCC sendiri adalah perbedaan rata-rata pendapatan (dalam

(16)

rupiah) yang diperoleh dari hasil penjualan satu ekor ayam pada akhir penelitian dengan rata-rata pengeluaran biaya DOC ditambah ransum satu ekor ayam selama penelitian. Faktor yang mempengaruhi antara lain harga DOC, konsumsi ransum, bobot badan akhir dan harga jual per kg bobot hidup. Untuk mengetahui income over feed and chick cost (IOFCC) dapat digunakan rumus menurut Santoso dalam Mide (2007):

IOFCC = TP (Rp) – {BR (Rp) + DOC (Rp)} (Rp)}

Keterangan :

IOFCC= Income Over Feed and Chick Cost TP = Total Penjualan

BR = Biaya Ransum + vitamin E dan C

(17)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember 2011, bertempat di kandang C dan Laboratorium Nutrisi Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis proksimat pakan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Ternak yang Digunakan

Penelitian ini menggunakan DOC ayam broiler strain Ross sebanyak 160 ekor dengan rataan bobot badan awal 42 g/ekor yang dipelihara selama 33 hari.

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah 4 buah kandang yang setiap kandang dibagi menjadi 4 pen dengan ukuran masing-masing 1m x 1m x1,5m . Kandang sistem litter

beralaskan sekam padi yang telah difumigasi. Setiap pen berisi 10 ekor ayam dan dilengkapi dengan 1 tempat ransum dan 1 tempat air minum. Setiap kandang diberi lampu pijar 100 watt sebanyak 1 buah sebagai penghangat buatan (brooder). Peralatan lain yang digunakan diantaranya tirai penutup, kertas koran, timbangan digital, plastik untuk tempat ransum, ember untuk mengambil air, seng sebagai lingkar pembatas, sapu, sekam pengganti, termometer, gelas ukur, label, karung, mangkuk, sikat lantai, detergen, karbol, masker, dan alat tulis.

Ransum dan Air Minum

Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Air minum yang diberikan pada ayam adalah air minum kemasan isi ulang yang telah dianalisis kandungan mineralnya (Tabel 2). Vitamin E dan C yang digunakan merupakan produksi PT. Trouw Nutrition Indonesia dan sudah disediakan dalam bentuk bubuk. Pada saat 6 hari pertama penelitian ini menggunakan pakan starter komersial BR-611 berbentuk

crumble produksi PT. Charoen Pokphand Indonesia. Komposisi zat makanan ransum komersial disajikan dalam Tabel 2.

(18)

Tabel 2. Kandungan Mineral Air yang Diberikan pada Ayam Penelitian

Parameter Satuan Hasil Persyaratan SNI 01-3553-1996

Keadaan:

terlarut mg/liter 64 maks. 500

Kesadahan (CaCO3) mg/liter 28,6 maks. 150

Tabel 3. Komposisi Zat Makanan Ransum Komersial Broiler Starter BR-611 Produksi PT. Charoen Pokphand Indonesia

Zat Makanan Jumlah (%)

Energi metabolis (kkal/kg) 3000 – 3100

Sumber: Label Pakan BR-611 PT. Charoen Pokphand Indonesia (2011)

Ransum Perlakuan berbentuk crumble diberikan pada umur 7 – 21 hari dengan mengacu pada kebutuhan Ross (2009). Ransum penelitian berbentuk pellet

diberikan pada umur 22-33 hari. Komposisi dan kandungan zat makanan ransum penelitian tercantum pada Tabel 4.

(19)

Tabel 4. Komposisi dan Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian (umur 7 – 33

Hasil analisis kandungan zat makanan ransumb:

Kadar air (%) 13,45 13,04 13,45 13,04

Energi bruto (kkal/kg) 3.986,00 4.328,00 3.986,00 4.328,00

Kalsium (%) 1,25 1,32 1,25 1,32

Phospor Total(%) 0,66 0,76 0,66 0,76

Keterangan : a

setiap kg premix (produksi PT. Trouw Nutrition Indonesia) mengandung vitammin A 500 KIU, vitamin D3 140 KIU, vitamin E 3,2 g, vitamin B1 120 mg, vitamin B2 320 mg, vitamin B6 160 mg, vitamin B12 0,8 mg, biotin 3,6 mg, vitamin K3 120 mg, calcium d-pantothenate 480 mg, folic acid 40 mg, niacin 2 g, Fe 2,4 g, Cu 0,8 g, Zn 2,4 g, Mn 2,8 g, Se 6 mg, I 60 mg

b

Analisis zat makanan ransum dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Prosedur Pemeliharaan

Penelitian ini dilangsungkan selama 33 hari. Pemberian pakan saat DOC (1 minggu pertama) dilakukan 8 kali sehari setiap jam 06.00, 08.00, 10.00, 12.00, 15.00, 17.00, 19.00, dan terakhir pada jam 21.00 dengan jumlah pemberian sedikit atau secukupnya. Pemberian pakan ransum penelitian untuk umur 8-33 (minggu ke-2 sampai akhir) diberikan selama 2-3 kali sehari. Pagi hari diberikan sebanyak 40% dimulai pada jam 06.00 WIB setelah kandang dibersihkan, kemudian sebanyak 60% pada waktu jam 15.30 WIB. Pemberian vitamin melalui air minum hanya dilakukan selama jam 09.00 – 15.00 WIB. Pemberian vitamin sehari dilakukan selama 2 kali (masing-masing 3 jam) untuk mengantisipasi reduksi kandungan vitamin dalam air. Adapun acuan dalam pemberian vitamin C ialah sebesar 150 mg/kg pakan atau setara dengan 60 mg/l air minum (Mckee et al., 1997) sedangkan untuk vitamin E sebesar

(20)

100 mg/kg pakan atau setara dengan 8 mg/l air minum setelah dikurangi kandungan yang ada dalam pakan (Niu et al., 2009). Dengan acuan ini maka dosis vitamin yang diberikan adalah sebanyak 1 gram untuk setiap 1 liter air minum.

Suhu kandang selama pemeliharaan selalu diukur. Suhu diukur sebanyak 3 kali dalam sehari, yaitu pada pukul 07.00, 13.00, dan 23.00. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer digital. Nilai rataan suhu lingkungan di kandang selama proses pemeliharaan berkisar 25-30 oC.

Rancangan dan Analisis Data Perlakuan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang digunakan yakni:

1. R1 = pakan tinggi pati (jagung) tanpa suplementasi vitamin E dan C melalui air minum

2. R2 = pakan tinggi lemak (CPO) tanpa suplementasi vitamin E dan C melalui air minum

3. R3 = pakan tinggi pati (jagung) + suplementasi vitamin E dan C melalui air minum

4. R4 = pakan tinggi lemak (CPO) + suplementasi vitamin E dan C melalui air minum

Rancangan Percobaan

Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali dan masing-masing ulangan terdiri dari 10 ekor ayam. Apabila terdapat perbedaan (p < 0.05) antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Mattjik dan Sumertajaya 2002). Model linier yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = µ + τi + εij

Yij = Nilai pengamatan perlakuan ke-i ulangan ke-j

µ = Rataan umum

τi = Efek perlakuan ke-i

εijk = Galat percobaan

(21)

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah:

Suhu. Suhu diukur sebanyak 3 kali dalam sehari, yaitu pada pukul 07.00, 13.00, dan 23.00 dengan menggunakan termometer digital.

Konsumsi Ransum (g/ekor). Konsumsi ransum rataan per ekor per minggu dihitung dari selisih antara jumlah ransum yang diberikan selama 7 hari dengan sisa ransum. Perhitungan sisa ransum dilakukan dengan memisahkan ekskreta dan sisa ransum yang ada di tempat pakan.

Bobot Badan Akhir (g/ekor). Bobot badan akhir diperoleh dari rataan bobot badan per ekor pada saat ayam berumur 33 hari.

Pertambahan Bobot Badan (g/ekor). Perhitungan bobot badan awal saat DOC datang dilakukan satu per satu untuk mengetahui bobot badan DOC rata-rata. Perhitungan pertambahan bobot badan dihitung dengan cara penimbangan bobot badan per ekor pada akhir minggu dikurangi rataan bobot badan per ekor awal minggu DOC datang. Perhitungan PBB juga dilakukan 7 hari sekali.

Konversi Ransum. Konversi ransum diperoleh dari perbandingan jumlah konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan (feed/gain) setiap minggu selama penelitian.

Mortalitas (%). Banyaknya ayam yang mati dibandingkan dengan jumlah ayam awal yang dipelihara.

IOFCC (Income Over Feed and Chick Cost) (Rp/ekor). IOFCC (Income Over Feed and Chick Cost) yakni perbedaan rata-rata pendapatan (dalam rupiah) yang diperoleh dari hasil penjualan satu ekor ayam pada akhir penelitian dengan rata-rata pengeluaran biaya satu ekor ayam selama penelitian setelah dikurangi dengan biaya pakan. Untuk mengetahui income over feed and chick cost (IOFCC) digunakan rumus menurut Santoso dalam Mide (2007):

IOFCC (Rp/ekor) = TP (Rp) – {BR (Rp) + DOC (Rp)}

Keterangan :

IOFCC= Income Over Feed and Chick Cost TP = Total Penjualan

BR = Biaya Ransum + vitamin E dan C

(22)

HASIL DDAN PEMMBAHASANN Suhu Lingkungan PPemeliharaaan

(23)

tepat karena akan dapat menanggulangi stress yang ditimbulkan akibat stress panas tersebut.

Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam Broiler

Data rata-rata konsumsi ransum, bobot badan, pertambahan bobot badan, konversi pakan, dan mortalitas selama perlakuan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Performa Ayam Broiler yang Dipelihara Selama 26 Hari

Peubah Perlakuan

Keterangan : R1 = Pakan tinggi pati, R2 = Pakan tinggi lemak sebagai, R3 = R1 + suplementasi vitamin E dan C, R4 = R2 + suplementasi vitamin E dan C. Superskrip menunjukan hasil yang berbeda nyata antar perlakuan (p < 0,05).

Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum yang paling tinggi dicapai oleh perlakuan R3 yakni sebesar 2697 g/ekor dan terendah dicapai oleh perlakuan R1 yakni sebesar 2580 g/ekor, sedangkan pada perlakuan lainnya yakni R2 dan R4 masing-masing sebesar 2667 g/ekor dan 2624 g/ekor. Penggunaan pati atau lemak sebagai sumber energi ransum tidak mempengaruhi konsumsi ransum secara nyata. Suplementasi vitamin E dan C melalui air minum ayam juga tidak nyata mempengaruhi konsumsi ransum ayam broiler pada penelitian ini. Menurut Kartasudjana dan Suprijatna (2006), ayam mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energinya. Sebelum kebutuhan energinya terpenuhi ayam akan terus makan. Jika ayam diberi makan dengan kandungan energi rendah maka ayam akan makan lebih banyak. Pada penelitian ini, sumber energi pada pakan terdapat dalam bentuk berbeda yakni dalam bentuk pati dan dalam bentuk lemak, akan tetapi energi metabolis ransum sama, sehingga tidak mempengaruhi konsumsi ransum. Suhu udara yang tinggi akan menurunkan konsumsi pakan karena konsumsi air minum yang tinggi sehingga akibatnya terjadi penurunan konsumsi energi (Church dan Pond, 1988).

(24)

Pada kondisi suhu lingkungan yang tinggi, ayam akan cenderung menurunkan konsumsi energinya. Pada penelitian ini, suhu lingkungan pada siang hari berkisar diatas 32,66 °C dan sudah merupakan suhu lingkungan yang tidak nyaman untuk ayam broiler. Penelitian Kusnadi (2006) menyatakan bahwa ayam broiler yang dipelihara di suhu harian sebesar 32 °C memiliki konsumsi ransum yang nyata lebih rendah dibandingkan yang dipelihara di suhu 24 °C. Konsumsi ransum normal ayam broiler strain Ross umur 33 hari adalah sebesar 2886 g/ekor (Ross, 2007). Pada penelitian ini, konsumsi ransum berkisar antara 2580-2697 g/ekor dan berada sedikit dibawah standar yang diberikan Ross (2007). Jika ditinjau secara mingguan, konsumsi pakan selama penelitian disajikan pada Gambar 6.

0.0

Gambar 6. Konsumsi Pakan Mingguan Ayam Broiler Hasil Penelitian

R1 = Pakan berbasis karbohidrat, R2 = Pakan berbasis lemak sebagai, R3 = R1 + suplementasi vitamin E dan C, R4 = R2 + suplementasi vitamin E dan C.

Gambar 6 menunjukkan peningkatan konsumsi pakan yang paling signifikan terjadi pada minggu keempat. Pada minggu kedua, konsumsi pakan hasil penelitian adalah 415,77-451,83 g/ekor/minggu dan hasil ini berada di atas standar Ross (2007) yakni 324 g/ekor/minggu. Pada minggu ketiga, konsumsi ransum hasil penelitian berkisar antara 528,09-584,32 g/ekor/minggu dan hasil ini berada sedikit dibawah standar Ross (2007) yang menyatakan bahwa konsumsi ransum minggu ketiga adalah sebesar 626 g/ekor/minggu. Ross (2007) menyatakan bahwa konsumsi ransum pada minggu keempat dan kelima masing-masing adalah 916 g/ekor/minggu dan 1183 g/ekor/minggu. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini, konsumsi

(25)

ransum minggu keempat berada diatas standar Ross yakni rata-rata sebesar 931,95 g/ekor/minggu, sedangkan konsumsi ransum pada minggu kelima rata-rata sebesar 1012,88 g/ekor/minggu berada sedikit di bawah standar Ross (2007). Pada penelitian Setiawan (2002), konsumsi ransum ayam broiler selama umur 21-35 hari pada suhu 32 °C dan disuplementasi vitamin C sebanyak 250 ppm adalah sebesar 1222 g/ekor/minggu, sedangkan pada perlakuan kontrol yang tidak disuplementasi vitamin C konsumsi ransumnya sebesar 972 g/ekor/minggu.

Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Badan (PBB)

Pemberian vitamin E dan C dengan pakan tinggi lemak tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada perlakuan ini pertambahan bobot badan mencapai 1807,64 g/ekor, sedangkan pada perlakuan lainnya pertambahan bobot badan hanya berkisar antara 1611,87-1628,93 g/ekor. Pada perlakuan R4, hasil pertambahan bobot badan yang diperoleh 10,97% lebih tinggi dari R1, 11,55% lebih tinggi dari R2, dan 12,14% lebih tinggi dari R3. Hasil ini lebih rendah sedikit dibandingkan dengan standar Ross (2007) yang menyatakan bahwa PBB ayam broiler hingga 33 hari adalah 1841 g/ekor. Pertambahan bobot badan mingguan ayam broiler hasil penelitian disajikan pada Gambar 7.

0.0

Gambar 7. Pertambahan Bobot Badan Mingguan Ayam Broiler Hasil Penelitian R1 = Pakan berbasis karbohidrat, R2 = Pakan berbasis lemak sebagai, R3 = R1 + suplementasi vitamin E dan C, R4 = R2 + suplementasi vitamin E dan C.

Berdasarkan Gambar 7, pertambahan bobot badan ayam semua perlakuan sampai dengan minggu keempat yang mengalami peningkatan. Minggu kelima

(26)

menunjukan hal yang berbeda, dari minggu keempat sampai minggu kelima hanya ayam R1 dan R4 yang memiliki pertambahan bobot badan yang bernilai positif, sedangkan ayam yang diberi perlakuan R2 dan R3 mengalami penurunan bobot badan. Perlakuan R4 memiliki PBB terbesar, hal ini mungkin disebabkan penggunaan ransum berbasis lemak dan suplementasi vitamin E dan C lebih efektif dibandingkan ransum yang tinggi pati, karena mungkin vitamin E yang disuplementasikan akan lebih mudah larut pada pakan yang tinggi lemak. Meskipun konsumsi pakan hasil penelitian masih berada di bawah standar Ross (2007), tetapi PBB mingguan hasil penelitian berada diatas standar yang diberikan Ross kecuali pada minggu ketiga. Pada minggu ketiga, PBB yang dihasilkan penelitian ini sebesar 401,13 g/ekor, sedangkan standar yang diberikan Ross sebesar 419 g/ekor.

Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Badan Akhir

Peningkatan PBB yang terjadi pada perlakuan pakan berbasis lemak dengan suplementasi vitamin E dan C berakibat pada peningkatan bobot badan akhir. Bobot badan akhir ayam broiler pada penelitian ini masing-masing sebesar 1752,00g (R1), 1745,5g (R2), 1740,75g (R3), dan 1933,25g (R4). Bobot badan hasil penelitian ini berada diatas bobot badan ayam broiler yang dihasilkan pada penelitian Kusnadi (2006) dimana ayam broiler berada pada cekaman panas (32°C) dan disuplementasi vitamin C yakni sebesar 1564 ± 333 g/ekor

Berdasarkan data pada Tabel 5, bobot badan serta pertambahan bobot badan ayam broiler pada R4 lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Peningkatan yang dicapai oleh ayam pada perlakuan R4 lebih tinggi 10,34% dari R1, 10,75% dari R2, dan lebih tinggi 11,05% dari R3. Sehingga dapat ditarik kesimpulan jika interaksi antara penggunaan pakan berbasis lemak dengan suplementasi vitamin E dan C melalui air minum memberikan efek yang paling baik dibandingkan perlakuan yang lainnya dalam meningkatkan bobot badan. Kelebihan lemak tidak pernah dapat dibuang dari tubuh. Kalau terlalu banyak lemak yang dikonsumsi, kelebihannya akan disimpan dalam sel lemak kecuali sedikit yang dirombak ketika tubuh memerlukan energi (Amrullah, 2004). Bobot badan mingguan ayam broiler hasil penelitian disajikan pada Gambar 8.

(27)

0

Gambar 8. Bobot Badan Mingguan Ayam Broiler Hasil Penelitian

R1 = Pakan berbasis karbohidrat, R2 = Pakan berbasis lemak sebagai, R3 = R1 + suplementasi vitamin E dan C, R4 = R2 + suplementasi vitamin E dan C.

Pada Gambar 8 dapat dilihat bobot badan ayam R2 selalu paling tinggi sampai dengan minggu keempat, namun pada minggu kelima bobot badan ayam R4 merupakan yang paling tinggi dibandingkan perlakuan yang lain. Hal ini mungkin dikarenakan efek suplementasi vitamin terhadap pakan berbasis sumber lemak baru terlihat optimal pada minggu kelima. Dari hasil penimbangan bobot hidup umur 3 minggu pada penelitian Kusnadi (2006) diperoleh rataan 801 ± 53 g/ekor. Dari hasil penelitian ini diperoleh rata-rata 809 ± 23 g/ekor dan hasil ini berada diatas hasil penelitian Kusnadi (2006).

Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Pakan

Data pada Tabel 5 menunjukan bahwa angka konversi ransum pada penelitian ini masing-masing adalah 1,58 (R1), 1,65 (R2), 1,68 (R3), dan 1,46 (R4). Anggorodi (1985) menyatakan bahwa indeks konversi ransum hanya akan naik bila hubungan antara jumlah energi dalam formula dan kadar protein telah disesuaikan secara teknis. Konversi ransum pada R4 masih berada di bawah standar konversi ransum menurut Ross (2007) yang menyatakan bahwa konversi ransum pada umur 33 hari adalah 1,56. Hasil konversi pakan pada penelitian ini juga jauh lebih efektif dibandingkan dengan penelitian serupa yang dilakukan Kusnadi (2006). Pada penelitian Kusnadi (2006), konversi ransum ayam broiler umur 35 hari yang disuplementasi vitamin C sebesar 250 ppm dan berada pada suhu 32°C adalah

(28)

sebesar 2,65 dan hasil ini sama dengan hasil penelitian Setiawan (2002) yang melakukan penelitian serupa.

Berdasarkan uji statistik, konversi ransum ayam broiler yang diberi ransum berbasis lemak serta disuplementasi vitamin E dan C (R4) umur 7-33 hari menunjukan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan perlakuan R2 (ransum berbasis lemak tanpa suplementasi vitamin E dan C) dan R3 (ransum berbasis pati dengan suplementasi vitamin E dan C). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa efisiensi penggunaan ransum pada perlakuan R4 merupakan yang paling efektif, sedangkan konversi ransum yang paling tidak efektif terdapat pada perlakuan R2 dan R3. Pada perlakuan R4, efisiensi penggunaan ransum lebih hemat 190 gram ransum dalam meningkatkan 1 kg bobot badan ayam broiler jika dibandingkan dengan pakan berbasis lemak yang tidak mendapat suplementasi vitamin E dan C (R2). Dalam hal ini, vitamin E dan C dapat mempengaruhi penggunaan dan penyerapan lemak, sehingga dengan mengkonsumsi ransum lebih sedikit namun dapat menghasilkan bobot badan yang lebih baik dari R2. Konversi ransum pada R4 mencapai hasil 1,46 dan hasil ini berada dibawah hasil penelitian Mckee et al. (1997) yang menghasilkan konversi pakan sebesar 1,47 untuk ayam broiler yang disuplementasi vitamin C sebesar 150 ppm. Konversi pakan mingguan ayam broiler hasil penelitian disajikan pada Gambar 9.

0.0

Gambar 9. Konversi Pakan Mingguan Ayam Broiler Hasil Penelitian

R1 = Pakan berbasis karbohidrat, R2 = Pakan berbasis lemak sebagai, R3 = R1 + suplementasi vitamin E dan C, R4 = R2 + suplementasi vitamin E dan C.

(29)

Berdasarkan Gambar 9 terlihat data yang didapatkan sampai dengan minggu keempat konversi pakan dari setiap perlakuan meningkat setiap minggu, namun pada minggu kelima konversi pakan perlakuan R4 mengalami hal yang berbeda dengan perlakuan yang lain. Pada perlakuan R1, R2, R3 konversi pakan tetap meningkat pada minggu kelima, sedangkan konversi pakan perakuan R4 menurun pada minggu kelima. Hal ini disebabkan pada perlakuan R4 bobot badan akhir yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lain sehingga konversi pakan yang dihasilkan menjadi lebih baik dibandingkan konversi pakan perlakuan yang lain. Semakin menurunnya nilai konversi pakan menunjukkan peningkatan efisiensi penggunaan pakan.

Pengaruh Perlakuan terhadap Mortalitas

Penggunaan sumber energi yang berbeda dalam ransum serta suplementasi vitamin E dan C tidak berpengaruh terhadap tingkat mortalitas. Pada penelitian ini total kematian hanya ada 4 ekor dari 160 ekor ayam. Total kematian tersebut dihitung mulai dari minggu kedua, karena penelitian mulai dilakukan pada umur 7 hari. Pada perlakuan R2 jumlah ayam yang mati sebanyak 1 ekor dan pada R3 sebanyak 3 ekor. Data mortalitas mingguan ayam broiler disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Mortalitas Mingguan Ayam Broiler Hasil Penelitian (ekor)

Minggu ke- R1 R2 R3 R4

2 0 0 1 0 3 0 0 1 0 4 0 1 1 0 5 0 0 0 0 Keterangan : R1 = Pakan berbasis karbohidrat, R2 = Pakan berbasis lemak sebagai, R3 = R1 +

suplementasi vitamin E dan C, R4 = R2 + suplementasi vitamin E dan C

Data pada Tabel 6 menyatakan bahwa selama minggu kedua hingga minggu keempat penelitian terdapat ayam yang mati pada R3. Pada minggu kedua dan ketiga, kematian ayam bukan disebabkan oleh perlakuan tetapi disebabkan karena kompetisi dalam pen. Kematian ayam pada minggu keempat disebabkan karena

Sudden Death Syndrome (SDS). Hal ini diketahui dari ciri-ciri fisik pada saat ayam mati, yakni kematian yang tiba-tiba dan ayam berada dalam posisi terlentang. Penyakit SDS ini seringkali menyerang ayam-ayam yang dipelihara pada suhu lingkungan yang tinggi. Ayam sangat rentan terserang SDS pada umur 3-6 minggu.

(30)

Menurut Leeson dan Summers (2001), Sudden death syndrome disebabkan oleh

metabolic disorder. Sudden death syndrome biasanya menyerang ayam broiler jantan, bobot badan tinggi, dengan pertumbuhan yang cepat. Konfirmasi hasil nekropsi mengenai SDS sulit didapat karena tidak ada tanda khusus, daging dalam keadaan baik, dan gizzard dalam kondisi terisi penuh. Kematian yang mendadak ini sering disebut heart attack atau flipover (Leeson dan Summers, 2001).

Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC)

Data income over feed and chick cost ayam broiler hasil penelitian pada bulan November 2011 sampai Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 menyajikan data pendapatan yang diperoleh dalam pemeliharaan ayam broiler dengan perlakuan sumber energi pakan yang berbeda serta suplementasi vitamin E dan C. Biaya tenaga kerja dan operasional lainnya dianggap sama setiap perlakuan. Harga ransum dalam perhitungan ini diberikan oleh pabrik tempat pembuat pakan ini (PT. Gunung Putri Farm). IOFCC tertinggi adalah ayam dengan perlakuan R4 yaitu sebesar Rp 11.539,- dan terendah pada perlakuan R3 yakni sebesar Rp 8.016,-. Hal ini terkait dengan bobot badan akhir yang dihasilkan tinggi dan konversi ransum R4 yang rendah. Selisih tersebut terbilang cukup signifikan dan dapat menjadi tambahan keuntungan yang berarti bagi peternak ayam broiler.

Tabel 7. Income Over Feed and Chick Cost Ayam Broiler

Parameter R1 R2 R3 R4

Konsumsi ransum (kg/ekor) 2,58 2,67 2,70 2,62

Harga ransum (Rp/kg) 4200 4000 4200 4000

Biaya ransum (Rp/ekor) 10836 10668 11327,4 10496

Biaya vitamin (Rp/ekor) 0 0 23 24

Biaya DOC (ekor) 5000 5000 5000 5000

Biaya Ransum+DOC+biaya vitamin 15836 15668 16350,4 15520

Bobot jual 8-33 hari (kg/ekor) 1,752 1,745 1,741 1,933

Harga jual (Rp/kg/ekor) 14000 14000 14000 14000

Pendapatan (Rp/ekor) 24528 24430 24370,5 27062

IOFCC (Rp/ekor) 8692 8762 8016 11539

Keterangan : R1 = Pakan berbasis karbohidrat, R2 = Pakan berbasis lemak sebagai, R3 = R1 + suplementasi vitamin E dan C, R4 = R2 + suplementasi vitamin E dan C.

Sehubungan dengan hasil perhitungan data tersebut, IOFCC broiler sangat dipengaruhi oleh konsumsi ransum, pertambahan berat badan, biaya vitamin, biaya

(31)

pakan selama penelitian dan harga jual ayam per ekor. Penambahan biaya vitamin per ekor broiler tiap perlakuan adalah R1 (Rp 0,-), R2 (Rp 0,-), R3 (Rp 23,-), dan R4 (Rp 24,-). Jika ditinjau secara ekonomis, penambahan biaya vitamin tersebut berpengaruh baik pada R4 karena dapat meningkatkan keuntungan jika dibandingkan dengan R2 yang tidak disuplementasi vitamin, sedangkan pada R3 penambahan vitamin tidak memberikan keuntungan jika diandingkan dengan R1. Sesuai yang dikemukakan oleh Rasyaf (2004) bahwa besarnya nilai Income Over Feed and Chick Cost dipengaruhi oleh konsumsi ransum, pertambahan berat badan, biaya pakan dan harga jual per ekor. Soeharsono (1976) menyatakan bahwa konsumsi pakan yang diharapkan lebih efisien dan pertambahan berat badan bisa berbanding terbalik (lebih cepat) sehingga konversi pakan yang digunakan sebagai pegangan dalam produksi ayam broiler juga semakin efektif karena melibatkan berat badan dan konsumsi pakan, laju perjalanan pakan dalam seluran pencernaan, bentuk fisik pakan, komposisi pakan dan imbangan kandungan gizi pakan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Siregar (2011) yang menunjukkan bahwa hasil IOFCC tertinggi terdapat pada perlakuan dengan konversi pakan yang terendah. Pada penelitian Siregar (2011), diperoleh hasil IOFCC sebesar Rp 9.407,-/ekor pada perlakuan kontrol. Jika dibandingkan dengan penelitian ini, penggunaan pakan berbasis lemak sebagai sumber energi dengan penambahan vitamin E dan C masih memiliki IOFCC yang lebih besar, yaitu sebesar Rp 11.539,-.

(32)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Penambahan vitamin E dan C dalam air minum pada ayam broiler yang diberi pakan berbasis lemak sebagai sumber energi dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dengan angka konversi ransum sebesar 1,46. Suplementasi vitamin E dan C pada ayam broiler yang diberi ransum tinggi lemak (R4) dapat menghasilkan keuntungan ekonomis (IOFCC) tertinggi, yaitu sebesar Rp 11.539,- per ekor per periode.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pemberian berbagai taraf dosis vitamin E dan C melalui air minum ayam broiler agar dapat diketahui taraf yang optimal untuk meningkatkan ayam broiler.

(33)

PERFORMA DAN ANALISIS EKONOMI BROILER YANG

DIBERI RANSUM SUMBER PATI ATAU LEMAK

TINGGI SEBAGAI SUMBER ENERGI SERTA

SUPLEMENTASI VITAMIN E DAN C

SKRIPSI ALIVAN YULIARDI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

(34)

PERFORMA DAN ANALISIS EKONOMI BROILER YANG

DIBERI RANSUM SUMBER PATI ATAU LEMAK

TINGGI SEBAGAI SUMBER ENERGI SERTA

SUPLEMENTASI VITAMIN E DAN C

SKRIPSI ALIVAN YULIARDI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

(35)

RINGKASAN

AlivanYuliardi. 2013. Performa dan Analisis Ekonomi Broiler yang Diberi Ransum Sumber Pati atau Lemak Tinggi sebagai Sumber Energi serta Suplementasi Vitamin E dan C. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

PembimbingUtama : Dr. Ir. Sumiati, M. Sc.

PembimbingAnggota : Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS.

Kondisi di Indonesia yang cukup panas (diatas 300C) dan lembab (60 – 90%) (BMKG, 2010) berpotensi menyebabkan ayam kesulitan untuk melepaskan panas yang dihasilkan selama proses metabolisme dalam tubuh dan terus meningkat seiring dengan bertambahnya umur ayam. Pakan tinggi pati sebagai sumber energi akan menghasilkan panas di dalam tubuh yang lebih tinggi dibanding dengan pakan berbasis lemak sebagai sumber energi. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh sumber energi yang berbeda pada ayam broiler yang diberi suplementasi vitamin E dan vitamin C melalui air minum terhadap performa dan IOFCC (Income Over Feed and Chick Cost) ayam broiler.

Penelitian ini menggunakan 160 ekor DOC ayam broiler, vitamin E dan C yang sudah dicampur dalam bentuk bubuk, kandang dan peralatan serta ransum dan air minum. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan dengan masing-masing ulangan menggunakan 10 ekor ayam. Perlakuan pada penelitian ini terdiri atas R1 (pakan tinggi pati tanpa suplementasi vitamin), R2 (pakan tinggi lemak tanpa suplementasi vitamin), R3 (pakan tinggi pati dengan suplementasi vitamin), R4 (pakan tinggi lemak dengan suplementasi vitamin). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan . Peubah yang diamati adalah suhu, konsumsi ransum (g/ekor), bobot badan akhir (g/ekor), pertambahan bobot badan (g/ekor), konversi ransum, mortalitas (%) dan IOFCC (Rp/ekor).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kedua jenis ransum dan suplementasi vitamin E dan C tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum, bobot badan akhir, pertambahan bobot badan, dan mortalitas ayam broiler. Bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan yang dihasilkan pada perlakuan pakan tinggi lemak dan disuplementasi vitamin E dan C adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya sehingga menghasilkan konversi pakan yang paling baik dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Bobot badan akhir pada R4 adalah sebesar 1933,25 g/ekor sedangkan pada perlakuan R1, R2, dan R3 hanya sebesar 1752, 1745, dan 1740 g/ekor. Hasil konversi pakan yang dihasilkan paling baik terdapat pada R4 yakni sebesar 1,46 sedangkan pada perlakuan R1, R2, R3 berturut-turut adalah 1,58, 1,65, dan 1,68. Perlakuan R4 memiliki IOFCC yang paling besar yakni Rp 11.539,- per ekor per periode. Kesimpulan dari penelitian ini adalah perlakuan R4 memiliki hasil yang paling baik dan memberikan keuntungan yang paling besar.

Kata-kata kunci: ayam broiler, cekaman panas, vitamin E, vitamin C, lemak, pati

(36)

ABSTRACT

Performances and Economical Analyzes of Broiler Chicken Fed Carbohydrate or Fat Based Diet Supplemented with Vitamin E and Vitamin C through

Drinking Water

Yuliardi, A., Sumiati, and D. A. Astuti

Environmental temperature in Indonesia is high enough to let heat stress in broiler chicken. This heat stress may cause oxidative stress, decrease feed consumption and production. Vitamin E and C are usually used as anti heat-stress agent while carbohydrate and lipid are used as energy source. The purpose of this research was to find out the influence of supplementation of vitamin E and C through drinking water on broiler performance fed carbohydrate or lipid as energy source. The dose of vitamin E and C given was 1 g/L drinking water. This research used 160 Ross broiler chickens. This study used Completely Randomized Design (CRD) with four treatments (R1: carbohydrate based diet, R2: lipid based diet, R3: R1+ vitamin E and C supplementation, and R4: R2+vitamin E and C supplementation) and four replications. The data were analyzed using ANOVA. Variables measured were feed consumption, final body weight, body weight gain, feed conversion, mortality, and income over feed and chick cost (IOFCC). The results indicated that carbohydrate or lipid based diet and supplementation of vitamin E and C did not influence the feed consumption, final body weight, body weight gain, and mortality. However the lipid based diet supplemented with vitamin E and C improved feed efficiency. The feed conversion of R4 was 1.46. The IOFCC of R4 was the highest. The conclusion of this research was lipid based diet supplemented with vitamin E and C resulted the best performances and had the highest profit.

Keywords : broiler, heat stress, vitamin E, vitamin C, carbohydrate, lipid

(37)

PERFORMA DAN ANALISIS EKONOMI BROILER YANG

DIBERI RANSUM BERBASIS PATI ATAU

LEMAK SEBAGAI SUMBER ENERGI SERTA

SUPLEMENTASI VITAMIN E DAN C

ALIVAN YULIARDI D24080363

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

(38)

Judul : Performa dan Analisis Ekonomi Broiler yang Diberi Ransum Sumber Pati atau Lemak Tinggi sebagai Sumber Energi serta Suplementasi Vitamin E dan C

Nama : AlivanYuliardi

NIM : D24080363

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

(Dr. Ir. Sumiati, M. Sc.) NIP. 19611017 198603 2 001

Pembimbing Anggota,

(Prof. Dr. Ir. DewiApriAstuti, MS) NIP. 19611005 198503 2 001

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat G. Permana, MSc. Agr) NIP 19670506 199103 1 001

Tanggal Ujian: 13 November 2012 Tanggal Lulus:

(39)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 1 Juli 1990. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Ali Halimi dan ibu Yuni Anita Siregar.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1996 dan diselesaikan pada tahun 2002. Penulis bersekolah dasar di 2 sekolah yang berbeda yakni Sekolah Dasar Tugu Ibu hingga kelas 2 SD dan dilanjutkan di Sekolah Dasar Negeri Beji 6 Depok hingga selesai. Pendidikan lanjutan t

pada tahun 2002 masih di kota Depok yakni di SMPN 2 Depok dan diselesaikan pada tahun 2005. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Depok di pada tahun 2005 dan diselesaikan pada tahun 2008.

ingkat pertama dimulai

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Pada tahun 2010, penulis pernah magang di peternaakan sapi perah di daerah Kuningan, Jawa Barat.

(40)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkat dan karunia-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salam dan terimakasih penulis panjatkan kepada keluarga, dosen pembimbing, sahabat, dan banyak pihak lain yang senantiasa selalu mendukung dalam penelitian hingga penulisan skripsi ini. Skripsi ini merupakan penjabaran dari hasil penelitian yang sudah penulis lakukan di bulan Desember 2011.

Ayam broiler merupakan salah satu komoditi peternakan yang sangat digemari oleh penduduk Indonesia. Saat ini, sudah banyak berkembang usaha ayam broiler di berbagai daerah. Perkembangan usaha ayam broiler ini seringkali terhambat oleh kondisi lingkungan di Indonesia yang memiliki suhu rata-rata harian sangat tinggi dan kelembapan harian yang rendah. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan ayam broiler karena ayam broiler mudah terkena cekaman panas. Cekaman panas pada ayam broiler tentu saja dapat menimbulkan banyak kerugian seperti penurunan produksi karena menurunnya konsumsi pakan, performa menurun, hingga kematian. Penggunaan lemak sebgai sumber energi dalam ransum yang menghasilkan panas tubuh lebih rendah dibandingkan dengan karbohidrat diharapkan mampu memenuhi kebutuhan energi ayam broiler pada saat ekaman panas. Penggunaan vitamin E dan C juga diharapkan dapat menekan efek negatif dari cekaman panas tersebut.

Skripsi ini dapat dijadikan salah satu referensi dalam memecahkan permasalahan diatas serta diharapkan dapat memberikan banyak informasi mengenai penggunaan vitamin E dan C dan pengaruhnya terhadap organ dalam ayam broiler yang diberi ransum berbasis karbohidrat dan lemak. Penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ayam broiler pada khususnya dan berguna bagi ilmu pengetahuan pada umumnya.

Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu berbagai saran dan perbaikan di masa yang akan datang dapat menjadi khasanah tersendiri bagi skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

Penulis

(41)

DAFTAR ISI

Metabolisme Karbohidrat dan Lemak ………….……….. 7

Metabolisme Karbohidrat …….………. 7

Suhu Lingkungan Pemeliharaan ….……….... Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam Broiler...

20 21 Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum………... 21 Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Badan ………. 23

(42)

Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Badan Akhir ………. 24 Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Pakan ...……… 25 Pengaruh Perlakuan terhadap Mortalitas ……… 27 Income Over Feed and Chick Coct (IOFCC) ... 28

KESIMPULAN DAN SARAN ………. 30

Kesimpulan ……… 30

Saran ……….. 30

UCAPAN TERIMAKASIH ……….. 31

DAFTAR PUSTAKA ……….... 32

LAMPIRAN ………. 35

(43)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Konsumsi, Bobot Badan, Pertambahan Bobot Badan, dan Konversi Ransum yang Direkomendasikan pada Berbagai Umur Ayam Broiler Strain Ross ………... 4 2 Kandungan Mineral Air Minum Kemasan ... 16 3 Komposisi Zat Makanan Ransum Komersial Broiler Starter

BR-611 Produksi PT. Charoen Pokphand Indonesia……….. 16 4 Komposisi dan Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian

(umur 7 – 33 hari) ………. 17

5 Performa Ayam Broiler yang Dipelihara Selama 26

Hari……... 21 6 Mortalitas Mingguan Ayam Broiler Hasil Penelitian ………... 27

7 Income Over Feed and Chick Cost Ayam Broiler ... 28

(44)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Proses Glikolisis ... 8 2 Siklus Krebs ... 9 3 Perombakan Gliserol menjadi DHAP ... 10 4 Mekanisme Kerja Vitamin C sebagai Antioksidan ………… 13 5 Rataan Suhu Harian (°C) selama Penelitian dan Referensi

Ross (2009) ... 20 6 Grafik Konsumsi Pakan Mingguan Ayam Broiler Hasil

Penelitian ... 22 7 Grafik Pertambahan Bobot Badan Mingguan Ayam Broiler

Hasil Penelitian ... 23 8 Grafik Bobot Badan MingguanAyam Broiler Hasil Penelitian 25 9 Grafik Konversi Pakan Mingguan Ayam Broiler Hasil

Penelitian ... 26

(45)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Analisis Ragam Konsumsi Pakan Ayam Broiler Umur 33 Hari

….……….. 36 2 Analisis Ragam Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Umur 33

Hari ………... 36 3 Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler

Umur 33 Hari ... 36 4 Analisis Ragam Konversi Pakan Ayam Broiler Umur 33 Hari 36

(46)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki musim kemarau yang cukup panjang. Suhu lingkungan di Indonesia juga cukup tinggi, yakni diatas 30oC dan kelembabannya berkisar antara 60-90% (BMKG, 2010). Ayam Broiler optimal diproduksi pada wilayah subtropik atau berada pada kisaran suhu 20-25 oC dengan kelembaban udara berkisar 60-70%. Cekaman panas akibat dari tingginya suhu lingkungan yang melebihi kisaran zona suhu normal dapat menyebabkan stres oksidatif pada ayam broiler. Cekaman panas juga dapat menyebabkan tingkat kematian ayam yang tinggi. Respon ayam terhadap cekaman panas adalah dengan melakukan panting, yaitu merupakan mekanisme evaporasi saluran pernapasan. Proses panting memerlukan peningkatan aktivitas otot dan ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan energi. Broiler selalu dalam kondisi kehausan dan banyak minum, akibatnya feses yang dihasilkan basah dan lunak/encer. Daya tahan tubuh mengalami penurunan dan pada akhirnya akan membawa broiler pada kematian.

Cara untuk mengatasi cekaman panas pada ayam broiler salah satunya dengan menggunakan sumber energi yang menghasilkan panas lebih rendah. Pada umumnya ransum ayam broiler menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi dalam ransum. Akan tetapi, penggunaan karbohidrat ini menghasilkan panas yang cukup tinggi (15%). Maka dari itu lemak digunakan sebagai sumber energi alternatif yang dapat menghasilkan panas lebih rendah (10%) sehingga dapat meminimalisir terjadinya cekaman panas pada ayam broiler.

Upaya lainnya yang bisa dilakukan untuk mengatasi cekaman panas pada ayam broiler adalah dengan pemberian vitamin E dan C. Vitamin E berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan berperan untuk mengubah bentuk radikal bebas menjadi ikatan-ikatan yang aman sehingga menghentikan proses lipida peroksida. Vitamin E memperbaiki stres dan daya tahan terhadap penyakit, sehingga hasilnya performa produksi dan reproduksi meningkat, sedangkan vitamin C yang dikenal sebagai anti stress, berperan dalam metabolisme glukoneogenesis, yaitu suatu proses penyediaan energi selama terjadinya cekaman suhu tinggi.

Saat ini sumber energi untuk pakan ayam broiler yang paling umum digunakan adalah jagung, namun untuk memenuhi permintaan akan jagung di dalam

(47)

negeri masih impor. Indonesia masih memiliki alternatif bahan baku pakan lain yang dapat digunakan sebagai sumber energi. CPO (Crude Palm Oil) adalah sumber lemak yang mulai umum digunakan sebagai sumber energi dalam ransum ayam broiler. Oleh karena itu, dilakukan penilaian efektifitas penggunaan CPO sebagai sumber energi terhadap performa dan keuntungan ekonomis secara sederhana (Income Over Feed and Chick Cost).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa dan evaluasi ekonomis secara sederhana (Income Over Feed and Chick Cost) ayam broiler yang diberi bahan pakan sumber pati (jagung) dan bahan pakan sumber lemak (CPO) sebagai sumber energi serta suplementasi vitamin E dan C pada air minum.

(48)

TINJAUAN PUSTAKA CPO (Crude Palm Oil)

Sumber energi yang tergolong minyak nabati yang dapat digunakan sebagai bahan penyusun ransum diantaranya adalah minyak kelapa sawit (Scott et al., 1982).

Crude Palm Oil (CPO) merupakan sumber lemak yang sudah banyak digunakan untuk pakan ayam baik broiler maupun layer. Selain murah penggunaan CPO dalam pakan juga dapat meningkatkan warna kuning dalam pakan. Crude palm oil

mengandung asam-asam lemak tidak jenuh dalam jumlah sedikit dibandingkan minyak nabati lainnya. Berdasarkan kandungan asam lemaknya CPO digolongkan ke dalam minyak asam laurat, karena kandungan asam lauratnya yang paling besar dibandingkan dengan asam lemak lainnya (Anggorodi, 1979).

Indonesia adalah negara penghasil CPO terbesar pada tahun 2011 dengan produksi sebesar 23 juta ton per tahun. Pola peningkatan permintaan CPO untuk ekspor maupun konsumsi domestik menunjukkan bahwa komoditas non migas ini memiliki potensi untuk dikembangkan. Konsumsi negara-negara tujuan ekspor rata-rata meningkat dengan laju 26,97% dari tahun 1980-2010. Tahun 2010 ekspor CPO sebesar 16.480.000 ton. Konsumsi domestik CPO tercatat juga mengalami kenaikkan dari tahun ke tahun, sampai bulan Agustus tahun 2010 konsumsi CPO dalam negeri tetap mengalami kenaikkan hingga 5.240.000 ton (Ramadhan, 2011).

Jagung

Jagung merupakan pakan yang sangat baik untuk ternak. Jagung sangat disukai ternak dan pemikaiannya dalam ransum ternak tidak ada pembatasan. Jagung tidak mempunyai antinutrisi dan sifat pencahar. Walaupun demikian pemakaian dalam ransum ternak perlu dibatasi karena tidak ekonomis dan dapat menyulitkan ternak tersebut untuk berproduksi apabila digunakan terlalu tinggi.

Jagung mempunyai kandungan energi metabolis 3.300 kkal/kg, protein kasar 8,5%, lemak kasar 3,8% dan kandungan serat kasarnya 2,5% (Leeson dan Summers, 2005). Jagung kuning merupakan jenis jagung yang biasa digunakan untuk pakan unggas, karena banyak mengandung karoten (xanthophyl) dan vitamin A. Karoten berpengaruh terhadap pigmen kuning dalam cadangan lemak dan kuning telur.

(49)

Jagung kuning banyak mengandung asam amino sistin dan dapat merangsang nafsu makan ayam (Scott et al., 1982)

Ayam Broiler

Ayam broiler merupakan ayam tipe berat pedaging yang lebih muda dan berukuran lebih kecil, dapat tumbuh sangat cepat sehingga dapat dipanen pada umur 4 minggu yang ditujukan untuk menghasilkan daging dan menguntungkan secara ekonomis jika dibesarkan (Amrullah, 2004). Ayam broiler adalah ayam jantan atau betina yang berumur dibawah 8 minggu ketika dijual dengan bobot badan tertentu, mempunyai pertumbuhan yang cepat serta mempunyai dada yang lebar dengan timbunan daging yang baik. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai proses yang sangat kompleks meliputi pertambahan bobot hidup dan pertambahan semua bagian tubuh secara merata dan serentak (Maynard et al., 1979). Salah satu kriteria untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan pengukuran pertambahan bobot badan (PBB). PBB diartikan sebagai kemampuan untuk mengubah zat-zat nutrisi yang ada dalam ransum menjadi daging (Tillman et al., 1998). Ayam broiler mampu membentuk 1 kg daging atau lebih hanya dalam waktu 30 hari dan bisa sampai 1,5 kg dalam waktu 40 hari. Biasanya ayam broiler dipanen setelah umurnya mencapai 45 hari dengan bobot badan berkisar 1,5-2,5 kg (Didinkaem, 2006). Konsumsi ransum, bobot badan, pertambahan bobot badan, dan konversi ransum yang direkomendasikan pada berbagai umur ayam broiler strain Ross disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Standar Konsumsi Air minum, Konsumsi Ransum, Bobot Badan, Pertambahan Bobot Badan, dan Konversi Ransum yang Ayam Broiler

Strain Ross

Menurut Ross (2009), ayam broiler optimal diproduksi pada wilayah sub tropis atau berada pada kisaran suhu 20 - 25 oC dengan kelembaban udara berkisar

Gambar

Gambar 1. Proses Glikolisis
Gambar 2. Siklus Krebs
Gambar 4. Mekanisme Kerja Vitamin C sebagai Antioksidan
Tabel 2.  Kandungan Mineral Air yang Diberikan pada Ayam Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, puisi-puisi Afrizal Malna menjadi sebuah karya sastra yang menarik untuk dapat diolah dalam penyajiannya sebagai teks (tertulis, dilihat – puisi hadir

kelayakan LP3A yang telah dilaksanakan (seperti terlampir dalam berita acara), dilakukan revisi. dalam rangka penyempurnaan LP3A sebagaisyarat melanjutkan ke tahap

Variabel kepuasan pelanggan mempunyai bobot jawaban antara 15 sampai dengan 25, dengan nilai rata-rata (mean) sebesar 20,86, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara umum

Mungkin saja, dari sisi orang lain saat melihat Ne- hemia mengambil keputusan yang radikal untuk mening- galkan Babel, akan dipandang sebagai kegagalan dan hal itu sah-sah saja,

UU PVT yang memberikan perlindungan hukum bagi pemulia untuk menikmati manfaat ekonomi dan hak-hak lainnya yang dimiliki pemulia, diharapkan dapat

Hasil uji Mann Whitney didapatkan bahwa tidak ada perbedaan tekanan darah pada kelompok intervensi, dan kelompok kontrol, sehingga konsumsi pisang ambon dapat

Nama pengapalan yang sesuai dengan PBB : Tidak diatur Kelas Bahaya Pengangkutan : Tidak diatur Kelompok Pengemasan (jika tersedia) : Tidak diatur. Bahaya Lingkungan :

berbasis mobile (mobile game) cukup menjanjikan menjadikan kompetensi atau keahlian dalam mengembangkan mobile game perlu dilakukan di sekolah utamanya pada