PROSEDUR PENGAJUAN PHK MELALUI PENGADILAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI)
(STUDI ATAS PUTUSAN NOMOR 12/G/2009/PHI.PN.MDN)
S K R I P S I
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
NIM : 070200418 TORKIS SUTANTO
DEPARTEMEN :HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
PROGRAM KEKHUSUSAN :HUKUM PERBURUHAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAKSI
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan landasan dalam penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. Salah satu upaya yang diwajibkan dalam penyelesaian perselisihan itu adalah penyelesaian di luar pengadilan. Sebelum sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), para pihak wajib menyelesaikan permasalahannya dengan musyawarah, artinya tidak boleh langsung ke Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial adalah upaya terakhir penyelesaian perkara. Ini merupakan hal yang menarik karena secara umum biasanya para pihak dapat saja langsung ke pengadilan. Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha dapat dilakukan lewat pengadilan. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah Bagaimana prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam peraturan Perundang-undangan, Bagaimana penyelesaian perselisihan PHK menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 dan Bagaimana Pertimbangan Hukum Terhadap Hakim Menjatuhkan Putusan PHI Dalam Melakukan PHI (Studi Atas Putusan No. 12/G/2009/PHI.PN.MDN).
Adapun metode penelitian dilakukan dengan Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder. Teknik pengumpulan data dengan cara Studi Kepustakaan. Analisis data adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam peraturan perundang-undangan adalah Pengusaha/perusahaan, Pekerja/buruh dan Pengadilan. Dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka secara nyata Tergugat telah diberikan skorsing oleh Penggugat dan di dalam ketentuan tersebut telah disebutkan bahwa barang siapa yang diberikan skorsing oleh perusahaan “hukumnya wajib” perusahaan untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya kepada pekerja. Gugatan tersebut diajukan setelah melewati proses bipartit dan mediasi tripartit. Putusan Nomor 12/G/2009/PHI.PN.MDN dengan mempertimbangkan bahwa
judex facti yang menolak tuntutan provisi sudah tepat dan benar karena penghentian suatu produk yang digunakan oleh Tergugat harus terlebih dahulu ditentukan bahwa penggunaan tersebut tidak sah yang harus ditentukan dalam pokok perkara.
KATA PENGANTAR
.
Segala puji syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
kasih dan berkat yang dilimpahkannya sehingga penulis dapat memulai, menjalani
dan mengakhiri masa perkuliahan serta dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
sebaik-baiknya.
Adapun skripsi ini berjudul “
PROSEDUR PENGAJUAN PHK
MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI)
STUDI ATAS PUTUSAN UU NOMOR 2 TAHUN 2004
” yang merupakan alah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana Hukum UniversitasSumatera Utara Medan.
Dalam penyelesaian Skripsi ini, penulis telah banyak menerima bantuan
dan bimbingan serta dorongan semangat dari beberapa pihak, maka dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan rasa penghargaan
kepada:
1. Teristimewa ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua
(Abah dan Mama) serta Abang, Kakak dan Adik-adik dan seluruh keluarga
besar yang telah memberikan do’a dan motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
2. Terima kasih kepada Dekan dan pembantu Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
3. Ibu Surianingsih, SH, M.Hum, sebagai ketua Departemen Hukum
4. Ibu Dr. Agusmidah, SH. M.Hum, sebagai Pembimbing II yang telah
banyak memberi bimbingan dan nasehat dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen yang lainnya yang telah banyak berjasa dalam
membimbing penulis selama perkuliahan.
6. Seluruh rekan-rekan mahasiswa/i Fakulas Hukum USU yang telah banyak
membantu penulis selama kuliah
Akhir kata penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu
Dosen dan semua rekan-rekan atas segala kesilapan yang telah di perbuat penulis
selama ini, dan penulis berharap semoga skripsi yang sangat sederhana ini dapat
bermanfaat bagi semua pembaca dan pihak lain yang memerlukannya. Amin……..
Medan, Oktober 2013 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7
D. Keaslian Penulisan ... 8
E. Tinjauan Kepustakaan ... 8
F. Metode Penelitian ... 18
BAB II : PROSEDUR PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ... 20
A. Alasan Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja ... 20
B. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja secara umum ... 27
C. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha/perusahaan .. 29
D. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja/buruh ... 33
E. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan ... 35
BAB III : PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK MENURUT UU NOMOR 2 TAHUN 2004 ... 37
A. Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang ... 37
C. Hak-hak Tenaga Kerja yang di PHK ... 55
D. Penyelesaian secara bipartit ... 61
E. Penyelesaian melalui Mediasi ... 66
BAB IV : PERTIMBANGAN HUKUM TERHADAP HAKIM MENJATUHKAN PUTUSAN PHI DALAM MELAKUKAN PHK (STUDI ATAS PUTUSAN NO. 12/G/2009/PHI.PN.MDN) ... 72
A. Analisa kasus ... 72
B. Pertimbangan majelis hakim terhadap Pemutusan Hubungan Kerja ... 75
C. Putusan Majelis Hakim ... 79
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 82
A. Kesimpulan ... 82
B. Saran ... 84
ABSTRAKSI
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan landasan dalam penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. Salah satu upaya yang diwajibkan dalam penyelesaian perselisihan itu adalah penyelesaian di luar pengadilan. Sebelum sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), para pihak wajib menyelesaikan permasalahannya dengan musyawarah, artinya tidak boleh langsung ke Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial adalah upaya terakhir penyelesaian perkara. Ini merupakan hal yang menarik karena secara umum biasanya para pihak dapat saja langsung ke pengadilan. Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha dapat dilakukan lewat pengadilan. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah Bagaimana prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam peraturan Perundang-undangan, Bagaimana penyelesaian perselisihan PHK menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 dan Bagaimana Pertimbangan Hukum Terhadap Hakim Menjatuhkan Putusan PHI Dalam Melakukan PHI (Studi Atas Putusan No. 12/G/2009/PHI.PN.MDN).
Adapun metode penelitian dilakukan dengan Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder. Teknik pengumpulan data dengan cara Studi Kepustakaan. Analisis data adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam peraturan perundang-undangan adalah Pengusaha/perusahaan, Pekerja/buruh dan Pengadilan. Dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka secara nyata Tergugat telah diberikan skorsing oleh Penggugat dan di dalam ketentuan tersebut telah disebutkan bahwa barang siapa yang diberikan skorsing oleh perusahaan “hukumnya wajib” perusahaan untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya kepada pekerja. Gugatan tersebut diajukan setelah melewati proses bipartit dan mediasi tripartit. Putusan Nomor 12/G/2009/PHI.PN.MDN dengan mempertimbangkan bahwa
judex facti yang menolak tuntutan provisi sudah tepat dan benar karena penghentian suatu produk yang digunakan oleh Tergugat harus terlebih dahulu ditentukan bahwa penggunaan tersebut tidak sah yang harus ditentukan dalam pokok perkara.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemutusan hubungana kerja (PHK) diatur dalam Pasal 150 sampai dengan
Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Pemutusan hubungan kerja berdasarkan ketentuan Pasal 150 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa :
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini
meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum
atau tidak, milik orang perorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik
milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain
yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemutusan hubungan kerja merupakan peristiwa yang tidak diharapkan
terjadinya khususnya bagi para pekerja/buruh, karena pemutusan hubungan kerja itu
akan memberikan dampak psycologis, economis-financiil bagi pekerja/buruh dan
keluarganya.1
Putusnya hubungan kerja bagi pekerja/buruh merupakan permulaan dari segala
pengakhiran. Pengakhiran dari mempunyai pekerjaan, pengakhiran membiayai
keperluan hidup sehari-hari bagi dirinya dan keluarganya, pengakahiran kemampuan
menyekolahkan anak-anak dan sebagainya.2
1
F.X. Djumialdi dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan hubungan Perburuhan pancasila, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm 88
Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat
2
dalam hubungan industrial seperti pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah
mengusahakan dengan segala upaya agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.3
Sangat disayangkan selama ini perselisihan antara pekerja dengan pengusaha
seringkali diselesaikan dengan cara-cara yang anarkis seperti demonstrasi dengan
kekerasan, pembakaran, pemogokan sampai penutupan perusahaan (lock out).
Seharusnya perselisihan itu dapat diselesaikan dengan damai dan saling
menguntungkan. Akibat perselisihan di antara pekerja dengan pengusaha tersebut
tentu saja akan membuat terganggunya proses produksi di perusahaan, untuk itulah
diperlukan penyelesaian secepatnya. Sehubungan dengan hal ini, Abdurrahman dan
Ridwan Syahrani mengatakan : Pengadilan merupakan tumpuan harapan bagi setiap
pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan yang memuaskan dalam suatu
perkara. Dari pengadilan inilah diharapkan suatu keputusan yang tidak berat sebelah.
Oleh karena jalan yang sebaik-baiknya untuk dapat penyelesaian suatu perkara dalam
suatu negara hukum adalah melalui pengadilan.4
Penanganan perselisihan PHK selama ini ditangani oleh Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P4P) di bawah naungan
Departemen/Instansi Ketenagakerjaan, sedangkan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang
ditetapkan tanggal 14 Januari 2005, penanganannya dialihkan ke Pengadilan
Negeri.
Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Nomor 2
Tahun 2004, disebutkan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan
Pengadilan Khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum (Pasal 55). Pada
3
Andrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 65 4
Pasal 51 ayat (1) disebutkan untuk pertama kali dengan Undang-Undang ini
dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri
Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang di daerah hukumnya
meliputi propinsi yang bersangkutan.
Hal senada juga disampaikan Yahya Harahap, ada beberapa kelemahan
pengadilan termasuk Pengadilan Hubungan Industrial yaitu :5
1. Penyelesaian perkara melalui proses litigasi pada umumnya lambat atau disebut waste of time (buang waktu lama), hal ini diakibatkan proses pemeriksaan sangat formalistik dan sangat teknis sekali. Selain dari pada itu arus perkara semakin deras sehingga pengadilan dijejali dengan beban yang terlampau banyak.
2. Biaya perkara mahal, apalagi jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian, semakin lama penyelesaian semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan. 3. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, oleh karena putusan
pengadilan tidak mampu memberikan penyelesaian yang memuaskan kepada para pihak yang bersangkutan sangat antagonistis, salah satu pihak pasti menang dan pihak lain pasti kalah. Keadaan kalah menang dalam berperkara tidak pernah membawa kedamaian tetapi menumbuhkan bibit dendam dan permusuhan.
Perselisihan antara pekerja dengan pengusaha, penyelesaiannya juga bisa
diselesaikan melalui pengadilan, namanya Pengadilan Hubungan Industrial yang
berada di bawah Pengadilan Negeri di ibukota provinsi. Upaya penyelesaian di
pengadilan merupakan upaya terakhir setelah penyelesaian di luar pengadilan tidak
tercapai. Lahirnya pengadilan ini sebenarnya perwujudan dari lahirnya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(selanjutnya disingkat dengan UU PPHI). Hal ini merupakan langkah maju sebab dulu
penyelesaian perselisihan dilakukan oleh suatu lembaga yang bernama Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, baik yang berada di pusat maupun di daerah.
5
Mengenai hal ini, UU PPHI memang telah memberikan kelonggaran bagi
Serikat Pekerja untuk bertindak menjadi kuasa hukum guna mewakili anggotanya
untuk bersidang di PHI (Pasal 87 UU PPHI), namun tak semua Serikat Pekerja juga
memiliki kemampuan teknis beracara di PHI, dan tak semua perusahaan terdapat
serikat pekerja. Sementara itu, menggunakan jasa Advokat juga bukan pilihan yang
mudah, terlebih karena ada faktor biaya dan ‘kepercayaan’ yang harus
dipertimbangkan.
Akibatnya banyak gugatan yang ditolak, dan membuat pekerja/buruh harus
mengajukan gugatan ulang padahal pada gugatan awal, pekerja/buruh sudah mengikuti
jalannya persidangan yang lama (50 hari) dan ketika gugatan ulang diajukan, maka
mau tidak mau pekerja/buruh harus menjalani persidangan dari awal (selama 50 hari)
lagi. Bayangkan, betapa banyak energi dan biaya yang dikeluarkan oleh pekerja/buruh.
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
merupakan landasan dalam penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan
pengusaha. Salah satu upaya yang diwajibkan dalam penyelesaian perselisihan itu
adalah penyelesaian di luar pengadilan. Sebelum sampai ke Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI), para pihak wajib menyelesaikan permasalahannya dengan
musyawarah, artinya tidak boleh langsung ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Pengadilan Hubungan Industrial adalah upaya terakhir penyelesaian perkara. Ini
merupakan hal yang menarik karena secara umum biasanya para pihak dapat saja
langsung ke pengadilan. Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan penyelesaian perselisihan
Pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri Medan yang
memeriksa dan mengadili perkara-perkara perselisihan hubungan industrial dalam
peradilan tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan No.12/G/2009/PHI.PN.MDN
tergugat melakukan pelanggaran disiplin, namun diakui oleh tergugat pernah lalai dan
itu bukan merupakan perbuatan disengaja. Namun di dalam hal ini penguggat terlebih
dahulu harus mengerti dan menghayati tentang isi dari pada perjanjian kerja bersama
PT Newmont dengan UU No.3 Tahun 2003 karena aturan kedua ini mempunyau
hubgungan yang erat lain untuk mengambil keputusan khususnya dalam hal
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Bahwa dalam melakukan PHK, penggugat tidak
melalui prosedur, karena surat peringatan terhadap terguggat tidak sesuai prusedur
drngan tidak memberikan kesempatan kepada tergugat untuk memperbaiki kinerjanya
dan surat peringatan yang diterima tergugat tidak sesuai ketentuan, karena tidak
melalui tahapan tingkatan sesuai perjanjian kerja bersama sesuai dengan pasal 161
ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.6
Sesuai dengan permintaan penggugat pada angka 11 (sebelas) untuk
menghentikan upah pada terguggat dengan alasan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Pasal 108 Undang-Undang No.2 Tahun
2004 bahwa upah tidak dibayar apabila tidak melakukan pekerjaan, hal ini ditolak oleh
terguggat karena pasal yang dituduhkan tidak sesuai dengan permasalahan. Dalam hal
ini terguggat menawarkan untuk dapat bekerja kembali walaupun dengan syarat
sampai adanya putusan peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akan
tetapi penggugat sendiri yang tidak mau memperkerjakan kembali terguggat.7
Upaya hukum yang dapat dilakukan setelah terjadinya pemutusan
hubungankerja terhadap pekerja secara sepihak pada PT. Newmont,hanya melalui
6
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 12/G/2009/PHI.PN.MDN 7
2 (dua) tahapan saja yaitu tahapan bipartit dan mediasi, namun dalam proses
pelaksanaan kedua tahapan ini terjadi ketidaksesuaian dengan aturan yang ada
dalam bentuk perjanjian kerja bersama maupun Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003Tentang Ketenagakerjaan.Bahwa perlindungan hukum yang diterima pekerja
setelah terjadinya PemutusanHubungan Kerja pada PT. Newmont, tidak diberikan
karena dalam proses pemutusan hubungan kerja maupun setelah terjadinya
pemutusan hubungan kerja, pekerja belum menerima haknya berupa uang
pesangon yang tercantum dalam pasal 155 dan 156 Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan.
Dari uraian latar belakang masalah tersebut diatas yang diangkat dalam
penulisan ini adalah: “PROSEDUR PENGAJUAN PHK MELALUI
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI) STUDI ATAS PUTUSAN
UU NOMOR 2 TAHUN 2004.”
B. Perumusan Masalah
Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus
diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya rumusan masalah maka
akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak
mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam peraturan
Perundang-undangan?
3. Bagaimana Pertimbangan Hukum Terhadap Hakim Menjatuhkan Putusan PHI
Dalam Melakukan PHI (Studi Atas Putusan No. 12/G/2009/PHI.PN.MDN)?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah:
a. Untuk mengetahui prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam
peraturan Perundang-undangan
b. Untuk mengetahui penyelesaian perselisihan PHK menurut UU Nomor 2
Tahun 2004.
c. Untuk mengetahui Pertimbangan Hukum Terhadap Hakim Menjatuhkan
Putusan PHI Dalam Melakukan PHI (Studi Atas Putusan No.
12/G/2009/PHI.PN.MDN).
2. Manfaat penelitian
1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian lanjutan.
b. Memperkaya khasanah perpustakaan.
1. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau instansi terkait dalam
memberikan perlindungan terhadap pekerja /buruh dalam pemutusan
hubungan kerja (PHK) melalui pengadilan hubungan industrial (PHI).
b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat (pelaku usaha) mengenai
D. Keaslian Penulisan
Adapun judul tulisan ini adalah Prosedur Pengajuan PHK Melalui
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) STUDI Atas Putusan Nomor
12/G/2009/PHI.PN.MDN). Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam
bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul
yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum USU. Dengan demikian keaslian
skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah
E. Tinjauan Kepustakaan
Dalam kehidupan sehari-hari pemutusan hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha lainnya dikenal dengan istilah PHK atau
penghakhiran hubungan kerja, yang dapat terjadi karena telah berakhirnya waktu
tertentu yang telah disepakati/diperjanjikan sebelumnya dan dapat pula terjadi
karena adanya perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha, meninggalnya
pekerja/buruh atau karena sebab lainnya.8
Dalam praktik, pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya
waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan
permasalahan terhadap kedua belah pihak (pekerja/buruh maupun pengusaha)
karena pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari atau
mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga masing-masing
telah berupaya mempersiapkan diri dalam menghadapi kenyataan itu. Berbeda
halnya dengan pemutusan yang terjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini
akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak, lebih-lebih pekerja/buruh
8
yang dipandang dari sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah jika
dibandingkan dengan pihak pengusaha.9
PHK merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya,
khususnya dari kalangan buruh/pekerja karena dengan PHK buruh/pekerja yang
bersangkutan akan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi diri dan
keluarganya, karena itu semua pihak yang terlibat dalam hubungan industrial
(pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah), dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan
kerja.10
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana
dimaksud di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan. Jika pengusaha akan melakukan PHK, maka
terlebih dahulu harus merundingkannya dengan serikat buruh/pekerja atau dengan
buruh/pekerja yang bersangkutan jika tidak menjadi anggota serikat buruh/pekerja.
Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha
hanya dapat memutuskan hubungan kerja (PHK) dengan pekerja/buruh setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial (Pasal 151 ayat 3). Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan dari
lembaga yang berwenang batal demi hukum, kecuali alasan-alasan sebagaimana
diatur dalam pasal 154.11
9
Ibid, hlm 177
10
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi revisi, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm 195
11
Menurut Halim “pemutusan hubungan kerja adalah suatu langkah
pengakhiran hubungan kerja antara buruh dan majikan karena suatu hal tertentu.”12
Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan
bahwa : “Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dan pengusaha.”
Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor
Kep-15A/Men/1994 bahwa : “PHK ialah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha
dan pekerja berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitia Pusat.” Kedua pengertian
di atas memiliki latar belakang berbeda. Pengertian pertama lebih bersifat umum
karena pada kenyataannya tindakan PHK tidak hanya timbul karena prakarsa
pengusaha, tetapi oleh sebab-sebab lain dan tidak harus izin kepada Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Untuk pengertian kedua bersifat khusus, di
mana tindakan PHK dilakukan oleh pengusaha karena pekerja/buruh melakukan
pelanggaran atau kesalahan sehingga harus izin terlebih dahulu kepada P4D/P4P
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pengertian ini menurut penulis sangat tepat karena sudah mencakup
perbedaan kedua pengertian di atas. Selanjutnya, diatur bahwa untuk PHK oleh
pengusaha karena alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158
ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003), hanya dapat dilakukan setelah
adanya putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
(inkracht).
12
Oleh sebab itu, apabila pengusaha akan melakukan PHK kepada
pekerja/buruh dengan alasan kesalahan berat, harus menempuh proses peradilan
pidana terlebih dahulu, yaitu dengan cara mengadukan pekerja/buruh yang
melakukan kesalahan berat tersebut kepada aparat berwajib. Dalam hal ini
otomatis pengusaha dan pekerja/buruh harus menempuh proses hukum yang
panjang dan memerlukan pengorbanan, baik waktu, tenaga, maupun biaya yang
tidak sedikit. Untuk menyikapi PHK seperti ini akhirnya kembali pada kesepakatan
antara pengusaha dan pekerja/buruh yang bersangkutan, bagaimana cara
menyiasatinya dengan baik sehingga perselisihan PHK dapat selesai dengan
praktis dan cepat.13
Bagaimanapun jika antara pengusaha dan pekerja/buruh menempuh jalur
pidana baru kemudian ke pengadilan hubungan industrial, tentu proses tersebut
sangat melelahkan dan menyita waktu. Dalam kasus tertentu yang masih dalam
batas toleransi bagi pengusaha lebih baik konsentrasi pada urusan perusahaannya,
sebaliknya juga bagi pekerja/buruh lebih baik cepat selesai urusan PHK-nya dan
dapat segera mencari pekerjaan baru di tempat lain.14
Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja, dan pemerintah dengan segala
upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Segala
upaya, berarti bahwa kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat
menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja, antara lain pengaturan waktu
kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan
kepada pekerja/buruh. Jadi, pemutusan hubungan kerja adalah merupakan tindakan
13
Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenaga Kerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 196
14
terakhir, bila segala upaya pencegahan telah gagal, baru pemutusan hubungan kerja
boleh dilakukan.15
Pemutusan hubungan kerja yang diatur dalam bab XII, dari pasal 150
sampai dengan pasal 172 UU No. 13 Tahun 2003 meliputi pemutusan hubungan
kerja yang terjadi pada :
a. Badan usaha yang berbadan hukum, maupun
b. Badan usaha tidak berbadan hukum
c. Milik perseorangan
d. Milikpersekutuan
e. Milik badan hukum
f. Milik swasta
g. Milik negara
h. Usaha-usaha sosial
i. Usaha-usaha lain
yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain (pasal 150 UU No. 13 Tahun 2003).
Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja
tidak dapat dihindari, maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/
atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima (pasal 156 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003). Ketentuan pasal 156 ayat 1 ini
merupakan ketentuan umum atas pemutusan hubungan kerja, hal ini berarti bahwa
pada setiap pemutusan hubungan kerja maka pengusaha wajib memberikan uang
15
pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang sesuai
dengan ketentuan peraturan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Prosedur pemutusan hubungan kerja adalah sebagai berikut :16
1. Wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau dengan pekerja,
maksud pemutusan hubunan kerja tersebut.
2. Bila perundingan gagal atau tidak menghasilkan persetujuan, maka pengusaha
hakya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan disertai
alasan yang menjadi dasarnya.
3. Permohonan penetapan dapat diterima bila telah dirundingkan terlebih dahulu
dan perundingan itu gagal. Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan adalah
batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja yang
bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima,
serta selama putusan belum ditetapkan, maka baik pengusaha maupun pekerja
harus tetap melaksanakan segala kewajibannya (Pasal 155 ayat 2 dan 3;pasal
170 UU No. 13 Tahun 2003).
Pengusaha dapat melakukan skorsing kepada pekerja yang sedang dalam
proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah berserta
hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja (Pasal 155 ayat 3 UU No. 13 Tahun
2003).
16
Pemutusan hubungan kerja tidak memerlukan penetapan bila dalam
keadaan seperti berikut ini (Pasal 154 UU No. 13 Tahun 2003).
a. Pekerja masih dalam masa percobaan kerja, sepanjang telah disyaratkan secara
tertulis sebelumnya.
b. Pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan
sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,
berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk
pertama kali.
c. Pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,
peraturan pengusaha, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan.
d. Pekerja meninggal dunia.
Bagian b pasal 154 di atas dinyatakan bahwa “berakhirnya hubungan kerja
sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali”, apa maksud dari
pernyataan tersebut? Penjelasan pasal 154 tidak memberikan penjelasan apapun.
Apakah yang dimaksud adalah bahwa :17
1. Dalam PHK ini pengusaha tidak wajib memberikan uang apapun, termasuk
uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak;atau
2. Untuk melanjutkan atau pembaruan perjanjian kerja hanya dapat dilakukan
setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya
perjanjian kerja (pemutusan hubungan kerja karena kemauan pekerja
sendiri)?Pembaruan perjanjian kerja hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan
paling lama 2 (dua) tahun (lihat pasal 59 ayat 6 UU No. 13 Tahun 2003)?
17
Dalam hal terjadi perpanjangan perjanjian kerja yang melebihi 1 (satu)
tahun atau terjadi pembaruan perjanjian kerja sebelum melebihi masa tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari, apa sanksinya bagi pengusaha? Semoga peraturan
pelaksanaan dari UU ketenagakerjaan ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan
‘sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali’ agar tidak
terjadi kesimpangsiuran. Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja hanya
dapat diberikan jika disertai dengan alasan yang diperbolehkan.18
Alasan yang tidak boleh dijadikan dasar permohonan penetapan pemutusan
hubungan kerja adalah (pasal 153 UU No. 13 Tahun 2003):
1. Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus.
2. Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
3. Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
4. Pekerja menikah
5. Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya
6. Pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau perkawinan dengan pekerja
lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
7. Pekerja mendirikan, menjadikan anggota dan/atau pengurus serikat pekerja,
pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau di dalam
18
jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
8. Pekerja yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan.
9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.
10.Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka
waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Pemutusan hubungan kerja dengan alasan tersebut di atas adalah batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan.
Alasan yang diperbolehkan untuk menjadi dasar pemutusan hubungan kerja
adalah:19
a. Karena pekerja melakukan kesalahan berat
b. Karena pekerja ditahan pihak berwajib
c. Karena telah diberikan surat peringatan ketiga
d. Karena perubahan status perusahaan
e. Karena perusahaan tutup
f. Karena perushaan pailit
g. Karena pekerja meninggal dunia
h. Karena pensiun
i. Karena mangkir
j. Karena pengusaha melakukan perbuatan yang tidak patut
19
k. Karena kemauan diri sendiri;serta
l. Karena sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja.
Dari alasan-alasan yang diperbolehkan tersebut di atas, maka pemutusan
hubungan kerja diperbolehkan tanpa penetapan Depnaker bila dengan alasan :
1. Karena pekerja melakukan kesalahan berat (pasal 158 ayat 1 UU No. 13 Tahun
2003)
2. Pekerja yang setelah 6 (enam) bulan ditahan pihak berwajib karena proses
pidana (pasal 160 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003)
3. Pekerja mengundurkan diri atas kemauan diri sendiri (pasal 162 UU No. 134
Tahun 2003) hal 183
4. Pekerja mengundurkan diri karena pengusaha melakukan perbuatan yang tidak
patut (pasal 169 dan 171 UU No. 13 Tahun 2003).
Pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan dapat
mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
bila tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut dalam waktu paling
lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya (pasal
171 UU No. 13 Tahun 2003).
Ketentuan pasal 171 ini perlu juga diperjelas, apakah pemutusan hubungan
kerja tanpa penetapan ini mencakup pemutusan hubungan kerja yang inisiatifnya
dari pekerja seperti misalnya pengunduran diri atas kemauan sendiri? Pengunduran
diri atas kemauan sendiri adalah merupakan pemutusan hubungan kerja tanpa
penetapan, apakah ini termasuk pemutusan hubungan kerja yang dapat diajukan
gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial? Kiranya
pemutusan hubungan kerja yang dapat digugat seperti ketentuan pasal 171 ini
karena kedudukan pekerja di Indonesia ini sangatlah lemah sehingga banyak
perusahaan yang mengancam pekerja untuk melakukan pengunduran diri saja
walaupun sebenarnya kesalahan pekerja itu bukan kesalahan berat. Sehubungan
dengan hal tersebut maka semua pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan
kiranya terbuka kemung
kinan untuk digugat dalam jangka waktu satu
tahun.
20F. Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan
dari sebuah pengetahuan maka diperlukan metode penelitian. Karena dengan
menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai
tujuan dari penelitian maka penulis menggunakan metode penelitian yakni :
1. Data dan Sumber Data
Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari 21
a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai
kekuatan mengikat kepada masyarakat. Dalam penelitian ini antara lain
UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
:
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan
mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini adalah buku-buku,
makalah, artikel dari surat kabar, majalah, dan internet.
20
Ibid, hlm 184 21
2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka
digunakan teknik pengumpulan data dengan cara : Studi Kepustakaan, dilakukan
dengan mempelajari dan menganalisis yang berkaitan dengan topik penelitian,
sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari: buku-buku, surat kabar, makalah
ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain
yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
3. Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif,
yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya
dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas
dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan
guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif berupa data-data yang akan diteliti
BAB II
PROSEDUR PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Alasan Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja
Alasan-alasan yang dapat membenarkan suatu pemberhentian/pemutusan
dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan yaitu :22
1. Alasan-alasan yang berhubungan atau yang melekat pada pribadi buruh
2. Alasan-alasan yang berhubungan dengan tingkah laku buruh
3. Alasan-alasan yang berkenaan dengan jalannya perusahaan artinya demi
kelangsungan jalannya perusahaan
Alasan-alasan Terjadinya PHK Ada sepuluh alasan bagi perusahaan untuk
mem-PHK Anda dengan mengacu kepada Undang-Undang No. 13 tahun 2003.
4. Pekerja/buruh melakukan Kesalahan Berat
Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 158 UU
Ketenagakerjaan inkonstitusional, maka pengusaha tidak lagi dapat langsung
melakukan PHK apabila ada dugaan pekerja melakukan kesalahan berat.
Berdasarkan asas praduga tak bersalah, pengusaha baru dapat melakukan PHK
apabila pekerja terbukti melakukan kesalahan berat yang termasuk tindak pidana.
Atas putusan MK ini, Depnaker mengeluarkan surat edaran yang berusaha
memberikan penjelasan tentang akibat putusan tersebut.23
22
Sendjun H. Manulang, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm 121
23
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik
perusahaan;Pasal 158, ayat 1 berbunyi, "Pengusaha dapat memutuskan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah
melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
1) memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
2) mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan
kerja;
3) melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
4) menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja
atau pengusaha di lingkungan kerja;
5) membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dengan ceroboh atau
sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik
perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
6) dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha
dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
7) membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
8) melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih."
Jenis kesalahan berat lainnya dapat diatur dalam PP/PKB, tetapi apabila
dari lembaga yang berwenang. Demikian juga sebelum melakukan PHK, harus
terlebih dahulu melalui mekanisme yang ditentukan, misalnya dengan memberi
surat peringatan (baik berturut-turut, atau surat peringatan pertama dan terakhir)
untuk jenis kesalahan berat yang ditentukan PP/PKB.24
1) pekerja/buruh tertangkap tangan;
Namun, perlu kita ketahui bahwa alasan PHK berupa kesalahan berat yang
dimaksud pada Pasal 158, ayat 1 harus didukung dengan bukti misalnya:
a) ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
b) bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang
di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2
(dua) orang saksi.
5. Pekerja/buruh Melakukan Diduga Tindak Pidana
Istilah Tindak Pidana adalah berasal dari kata istilah yang dikenal dalam
Hukum Belanda yaitu “Strafbaar Feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa
yang dimaksud dengan Strafbaar Feititu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum
ada keragaman pendapat.25
Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana ini adalah
perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan-perbuatan ini juga merugikan
masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan
terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.
24
Adrian Sutedi,Op.Cit, hlm.74 25
Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti
sosial. Pasal 160, ayat 1 menyebutkan, "Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak
yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan
pengusaha, ".
6. Pekerja/buruh Melakukan Pelanggaran Ketentuan yang diatur dalam
Perjanjian Kerja Pasal 161, ayat 1 menyebutkan, "Dalam hal pekerja/buruh
melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja,setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat
peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut." Bila Anda tidak
mengindahkan peraturan perusahaan dan tidak mengindahkan surat peringatan
yang diberikan oleh perusahaan. ini bisa menjadi alasan PHK untuk pekerja.
7. Pekerja/buruh Mengundurkan Diri
Salah satu jenis PHK yang inisiatifnya dari pekerja/buruh adalah
pengakhiran hubungan kerja karena pekerja/buruh mengundurkan diri atas
kemauan sendiri dan dilakukan tanpa penetapan (izin). Syarat yang harus dipenuhi
apabila seorang pekerja/buruh mengundurkan diri agar mendapatkan hak-haknya
dan mendapatkan surat keterangan kerja/eksperience letter adalah permohonan
tertulis harus diajukan selambat-lambatnya 30 hari sebelum hari h tanggal
pengunduran diri. Hal yang harus dilakukan pekerja/buruh yang mengundurkan
diri adalah sebagai berikut :
1) Pekerja/buruh tidak terikat dalam ikatan dinas.
2) Selama menunggu hari, pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajiban
Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pengganti formasi untuk
jabatan dimaskud atau dalam rangka transfer of knowledge.
5. PHK Karena terjadi Perubahan Status, Pengabungan, Peleburan, atau Perubahan
Kepemilikan Perusahaan.
Apabila terjadi PHK karena terjadi perubahan status, penggabungan
(merger), peleburan (konsolidasi) atau perubahan kepemilikan perusahaan (akuisisi), dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja maka
terhadap pekerja/buruh berhak atas uang pesangon satu kali dan uang pengganti
hak. Apabila PHK yang terjadi disebabkan oleh perubahan status, merger, atau
konsolidasi, dan pengusaha tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja dengan
pekerja/buruh berhak uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu
kali, dan uang pengganti hak.asal 163, ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi
perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan
perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja."
6. PHK karena Likuidasi
Pasal 164, ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan
perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau
keadaan memaksa (force majeur)". Kerugian perusahaan yang dimaksud harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh
7. Perusahaan melakukan efisiensi
Ini merupakan alasan phk yang sering digunakan. Pasal 164, ayat 3
menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua)
tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi."
8. Perusahaan mengalami Pailit
Pasal 165 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit,.."Kata pailit
berasal dari bahasa Prancis; failite yang berarti kemacetan pembayaran.kepailitan
diartikan sebagai suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan
keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal
ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya.
Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan
pemerintah. Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan
bahwa yang dimaksudkan dengan pailit adalah seseorang yang oleh suatu
pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktivitasnya atau warisannya telah
diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya pengertian pailit dihubungkan
dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitor atas
utang-utangnya yang telah jatuh tempo.
Ketidakmampuan tersebut harus disertai suatu tindakan nyata untuk
mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun
atas permintaan pihak ketiga. Maksud dari pengajuan permohonan tersebut sebagai
Orang sering menyamakan arti pailit ini sama dengan bankrupt atau
bangkrut dalam bahasa Indonesia. Namun, menurut penulis pengertian pailit tidak
sama dengan bangkrut, karena bangkrut berarti ada unsur keuangan yang tidak
sehat dalam suatu perusahaan, tetapi pailit bisa terjadi pada perusahaan yang
keadaan keuangannya sehat, perusahaan tersebut dipailitkan karena tidak
membayar utang yang telah jatuh tempo dari salah satu atau lebih kreditornya.
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.26
9. Pekerja/buruh Memasuki Usia Pensiun
Pasal 167 ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun..." Ini
merupakan alasan PHK yang normal
10. Pekerja/buruh Mangkir Selama lima (5) hari berturut-turut
Pasal 168, ayat 1 menyebutkan, "Pekerja/buruh yang mangkir selama 5
(lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang
dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali
secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan
mengundurkan diri.
26
B. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja secara umum
Pemutusan hubungan kerja adalah mengembalikan karyawan ke
masyarakat. Hal ini disebabkan karyawan pada umumnya belum meninggal dunia
sampai habis masa kerjanya. Oleh karena itu perusahaan bertanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu yang timbul akibat dilakukannya
tindakan pemutusan hubungan kerja. Di samping itu juga harus menjamin agar
karyawan yang dikembalikan ke masyarakat harus berada dalam kondisi sebaik
mungkin.27
Pekerja harus diberi kesempatan untuk membela diri sebelum hubungan
kerjanya diputus. Pengusaha harus melakukan segala upaya untuk menghindari
memutuskan hubungan kerja. Pengusaha dan pekerja beserta serikat pekerja
menegosiasikan pemutusan hubungan kerja tersebut dan mengusahakan agar tidak
terjadi pemutusan hubungan kerja. Jika perundingan benar-benar tidak
menghasilkan kesepakatan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Penetapan ini tidak diperlukan jika pekerja yang
sedang dalam masa percobaan bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis,
pekerja meminta untuk mengundurkan diri tanpa ada indikasi adanya tekanan atau
intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian
kerja dengan waktu tertentu yang pertama, pekerja mencapai usia pensiun, dan jika
pekerja meninggal dunia.
Pengusaha mempekerjakan kembali atau memberi kompensasi kepada
pekerja yang alasan pemutusan hubungan kerjanya ternyata ditemukan tidak adil.
Jika pengusaha ingin mengurangi jumlah pekerja oleh karena perubahan dalam
operasi, pengusaha pertama harus berusaha merundingkannya dengan pekerja atau
serikat pekerja. Jika perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, maka baik
pengusaha maupun serikat pekerja dapat mengajukan perselisihan tersebut kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.28
Berikut ini diuraikan prosedur pemutusan hubungan kerja secara umum
menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yakni:29
1. Sebelumnya semua pihak (pengusaha, pekerja/buruh, serikat
pekerja/serikat buruh) harus melakukan upaya untk menghindari terjadinya
PHK (Pasal 151 ayat (1)
2. Jika tidak dapat dihindari, pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau
pekerja/buruh mengadakan perundingan (Pasal 151 ayat (2))
3. Jika perundingan berhasil, buat persetujuan bersama
4. Jika tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan penetapan secara
tertulis disertai dasar dan alasan-alasannya kepada pengadilan hubungan
industrial (Pasal 151 ayat (3)) dan (Pasal 152 ayat (1)).
5. Selama belum ada penetapan/putusan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, kedua pihak tetap melaksanakan segala
kewajiban masing-masing. Di mana pekerja/buruh tetap menjalankan
pekerjaannya dan pengusaha membayar upah (Pasal 155 ayat (2)).
28
29
6. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan huruf e
berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses
PHK dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang
biasa diterima oleh pekerja/buruh (Pasal 155 ayat (3)).
Khusus mengenai penanganan PHK missal yang disebabkan keadaan
perusahaan, seperti rasionalisasi, resesi ekonomi dan lain-lain menyarankan
sebelumnya agar melakukan upaya perbaikan.
C. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha/perusahaan
Prosedur PHK oleh pengusaha terbagi dalam dua macam yaitu :30
1. PHK karena kesalahan ringan
Dalam praktik prosedur PHK karena kesalahan ringan biasanya diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama. Hal ini perlu dilakukan untuk keabsahan prosedur tersebut.
a. Biasanya diawali dengan adanya peringatan lisan, kemudian
peringatan tertulis kesatu, kedua dan ketiga (berakhir). Peringatan
tertulis secara bertahap tidaklah bersifat mutlak, bergantung tingkat
kesalahan yang dilakukan pekerja/buruh dan urgensinya bagi
perusahaan. Jadi, bisa saja pengusaha langsung memberikan
peringatan tertulis pertama dan terakhir, sepanjang prosedur itu telah
diatur dalam perjanjian kerja bersama. Peringatan tertulis pertama, dan
terakhir dalam praktek sering digunakan pengusaha untuk memberikan
sanksi kepada pekerja/buruh yang mengarah pada pemutusan
hubungan kerja. Masa berlaku masing-masing peringatan biasanya
30
enam bulan, kecuali diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
b. Apabila masih dalam tenggang waktu berlakunya peringatan tertulis
ketiga (terakhir) ternyata pekerja/buruh melakukan kesalahan lagi,
pengusaha secara langsung dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
c. Apabila pemutusan hubungan kerja dapat diterima oleh pekerja/buruh
yang bersangkutan, buat perjanjian bersama untuk dasar permohonan
penetapan ke pengadilan hubungan industry.
d. Apabila pemutusan hubungan kerja tidak dapat diterima oleh
pekerja/buruh yang bersangkutan, salah satu pihak atau para pihak
menempuh mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.
2. PHK karena kesalahan berat
Sejak terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Perkara Nomor 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 atas hak uji materiil
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, maka PHK oleh
pengusaha kepada pekerja/buruh yang melakukan kesalahan berat hanya dapat
dilakukan setelah adanya putusan hakim pidana yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (inkracht).31
31
Beberapa macam pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan:32
1. PHK karena pekerja melakukan kesalahan berat
Ada kesalahan berat didukung dengan bukti sebagai berikut:
a. Pekerja/buruh tertangkap tangan
b. Ada pengakuan pekerja/buruh yang bersangkutan
c. Bukti-bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi
Dari pekerja/buruh yang diputuskan hubungan kerjanya
berdasarkan kesalahan berat hanya dapat memperoleh uang pengganti hak
sedang bagi pekerja/buruh yang tugas dan fungsinya tidak mewakili
kepentingan pengusaha secara langsung. Selain memperoleh uang
pengganti, juga diberikan uang pisah yang besarnya diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, dan atau perjanjian kerja bersama (PKB).33
2. PHK karena pekerja ditahan yang berwajib
Bagi pekerja/buruh yang ditahan pihak berwajib yang diduga
melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh setelah 6 (enam) bulan tidak melakukan pekerjaan yang
disebabkan masih dalam proses perkara pidana. Dalam ketentuan bahwa
pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh uang penghargaan masa
kerja sebesar 1 (satu) kali ditambah uang pengganti hak.
32
Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Penerbit Pustaka Yustisia, Jakarta, 2008, hlm 105
33
Untuk pemutusan hubungan kerja ini tanpa harus ada penetapan
dari Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial tetapi apabila pengadilan
memutuskan perkara pidana sebelum 6 (enam) bulan dan pekerja/buruh
dinyatakan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembali.34
3. PHK karena pengusaha mengalami kerugian
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami
kerugian secara terus menerus secara 2 (dua) tahun. Kemudian juga harus
dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah
diaudit oleh akuntan public dengan kewajiban memberikan uang pesangon
1 (satu) kali ketentuan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan
dan uang pengganti hak.
4. PHK karena pekerja mangkir
Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari berturut-turut
tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi bukti-bukti yang sah dan telah di
panggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat
diputuskan hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
Adapun keterangan secara tertulis dan bukti yang sah harus diserahkan
paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk kerja dan untuk
panggilan patut diartikan bahwa panggilan dengan tenggang waktu paling
lama 3 (tiga) hari kerja dengan dialamatkan pada alamat pekerja yang
bersangkutan atau alamat yang dicatat pada perusahaan.35
34
Ibid, hlm 108 35
5. PHK karena pekerja meninggal dunia
Apabila pekerja meninggal dunia, maka hubungan kerja secara
otomatis berakhir. Kepada ahli waris diberikan sejumlah uang yang
besarnya 2 (dua) kali uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti
hak. Adapun sebagai ahli waris, janda/duda atau kalau tidak ada anak atau
tidak ada juga keturunan garis lurus ke atas/kebawah selama diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.36
6. PHK karena pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja
Di dalam hubungan kerja ada suatu ikatan antara pekerja dengan
pengusaha yang berupa perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan
perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh pengusaha atu secara
bersama-sama antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang isinya minimal memuat
hak dan kewajiban masing-masing pihak dan syarat-syarat kerja, dengan
perjanjian yang telah disetujui oleh masing-masing pihak diharapkan di
dalam implementasinya tidak dilanggar oleh salah satu pihak.37
D. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja/buruh
Buruh/pekerja berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan pihak
pengusaha, karena pada prinsipnya buruh tidak boleh dipaksakan untuk
terus-menerus bekerja bilamana ia sendiri tidak menghendakinya. Dengan demikian
PHK oleh buruh ini yang aktif untuk meminta diputuskan hubungan kerja adalah
dari buruh/pekerja itu sendiri.38
36
Ibid, hlm 109 37
Ibid, hlm 110 38
Pekerja/buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan
pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan kepada buruh/pekerja
yang bersangkutan memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156
ayat (4). Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang
tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain
menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4) diberikan
uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja
bersama.39
Sebagaimana uraian sebelumnya bahwa PHK oleh pekerja/buruh itu terbagi
dan disebabkan oleh dua hal, yaitu PHK karena permintaan pengunduran diri dan
PHK karena permohonan kepada pengadilan hubungan industrial. Masing-masing
memiliki prosedur yang berbeda yaitu:40
1. Prosedur PHK karena permintaan pengunduran diri
Diatur dalam pasal 162 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
sebagai berikut :
a. Diajukan secara tertulis kepada pengusaha selambat-lambatnya tiga
puluh hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri.
b. Tidak terikat dalam ikatan dinas, dan pengunduran diri
c. Tetap menjalankan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran
diri.
39
Ibid, hlm 205 40
2. Prosedur PHK karena permohonan kepada pengadilan hubungan industrial
Diatur dalam pasal 169 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa
pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Prosedur penyelesaian adalah melalui upaya penyelesaian perundingan
bipartite, konsiliasi atau mediasi, kemudian mengajukan gugatan pada pengadilan
hubungan industrial. Jadi, setelah upaya penyelesaian di luar pengadilan tidak
berhasil, pekerja/buruh menempuh penyelesaian melalui pengadilan, yakni dengan
cara mengajukan gugatan kepada pengusaha melalui pengadilan hubungan
industrial.41
E. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan
Yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan ialah
pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang
bersangkutan (majikan/buruh) berdasarkan alasan penting. Dalam pasal 1603 v
KUHPerdata disebutkan tiap pihak (buruh, majikan) setiap waktu, juga sebelum
pekerjaan dimulai berwenang berdasarkan alasan penting mengajukan permintaan
tertulis kepada pengadilan di tempat kediamannya yang sebenarnya untuk
menyatakan perjanjian kerja putus.42
Alasan penting adalah disamping alasan mendesak juga karena perubahan
keadaan pribadi atau kekayaan permohon sedemikian rupa sifatnya, sehingga
adalah layak untuk memutuskan hubungan kerja. Pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan oleh pengadilan atas permintaan pihak majikan tidak memerlukan izin
41
Ibid, hlm 203 42
dari P4D atau P4P. Demikian juga halnya dengan pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan oleh Balai hart peninggalan untuk kepentingan majikan yang dinyatakan
pailit dan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perwakilan Indonesia di
luar negeri untuk kepentingan pengusaha kapal. Terhadap putusan pengadilan
negeri tersebut tidak ada upaya untuk melawan atau menolaknya kecuali jika Jaksa
Agung memandang perlu untuk mengajukan demi kepentngan undang-undang.43
Pengaturan penyelesaian PHK dalam hukum ketenagakerjaan kita pada
masa yang akan dating sesuai dengan Undang-Undang Pengadilan Perselisihan
Industrial dilakukan oleh pengadilan perselisihan industrial yang merupakan
peradilan ad hoc di Pengadilan Negeri.44
43 Ibid 44
BAB III
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2004
A. Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang
Perselisihan Hak timbul karena tidak terpenuhinya hak akibat adanya
perbedaan pelaksanaan/penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, Perjanjian Kerja dan Perjanjian Kerja Bersama, contoh Upah pekerja
yang seharusnya dibayar sesuai UMK tetapi dibayarkan lebih kecil. Perselisihan
kepentingan timbul karena tidak ada kesesuaian pendapat mengenai pembuatan
dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang telah disepakati bersama, contoh
Kepentingan pekerja dalam hal beribadah dibatasi. Perselisihan PHK timbul karena
tidak ada kesesuaian pendapat mengenai PHK, contoh pekerja yang dituduh
melakukan kesalahan tetapi pembuktiannya belum ada sudah terlabih dahulu di
PHK. Perselisihan antar serikat pekerja timbul karena adanya ketidaksesuaian
pendapat mengenai keanggotaan, hak dan kewajiban serikat pekerja, contoh
adanya perebutan pengakuan keanggotaan dan perebutan hak untuk berunding.
Keempat perselisihan yang telah disebutkan sebelumnya, memiliki alur
penyelesaian yang berbeda-beda karena dilihat dari jenis perselisahan dan akibat
yang ditimbulkan oleh masing-masing perselisihan. Tetapi pada prinsipnya semua
jenis perselisihan harus diselesaikan terlebih dahulu melalui musyawarah/ secara
bipatrid.45
Dalam Pasal 1 angka 4 UU PPHI 2004 diebutkan bahwa, “Perselisihan
pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh
salah satu pihak.” Dalam bahasa yang lebih sederhana atau mudah untuk
menggambarkan ketentuan tersebut, baik pihak pengusaha/perusahaan maupun
pekerja berbeda pendapat mengenai kapan suatu hubungan kerja berakhir. Pihak
pengusaha kadang-kadang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pihak
pekerja, tetapi pihak pekerja merasa dirugikan atas keputusan tersebut karena
merasa masih berhak untuk bekerja.
Akibat dari perselisihan PHK selalu berkaitan dengan pemenuhan hak,
kompensasi, atau pesangon atas pekerja dan kewajiban pengusaha untuk
memenuhi kewajiban tersebut. Pemenuhan akan uang pesangon dan yang terkait
dengan hak pekerja jika di-PHK menjadi suatu hal yang sangat krusial bagi pekerja
itu sendiri. Hal tersebut disebabkan adanya PHK tersebut bisa membuat
perekonomiannya berantakan. Oleh karena itu, jika dilihatdari masa kerja dan
keuntungan yang telah didapat dari perusahaan atas jerih-payah seseorang layaklah
kemudian pekerja tersebut memperoleh pesangon. PHK berarti berkaitan dengan
pemenuhan hak-hak ekonomi pekerja dan kondisi keuangan dari perusahaan.
Karenanya sangat wajar jika kemudian pemerintah melakukan intervensi, bukan
hanya melindungi hak-hak pekerja, tetapi juga memerhatikan kemampuan dari
keuangan perusahaan tersebut dengan memberikan pengaturan-pengaturan
berpatokan standar, baik secara nasional maupun internasional.
Praktiknya, tidak semua perusahaan menerapkan ketentuan mengenai PHK
berakhir. Hal tersebut kadang-kadang dikaitkan dengan status hukum dari
perusahaan. Kata perusahaan selalu diidentikan dengan perseroan terbatas (PT),
sehingga di luar status hukum tersebut, pihak pengusaha seringkali mengelak atau
bahkan menanamkan pengertian kepada karyawannya bahwa perusahaannya bukan
sebuah PT. Akibatnya, munculnya PHK tidak menjamin hak-hak pekerja menjadi
utuh sesuai dengan yang diharapkan oleh undang-undang. Pasal 150 UU
Ketenagakerjaan 2003 yang menyebutkan, “Ketentuan mengenai pemutusan
hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja
yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang
mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.”46
PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara karyawan dan perusahaan.
Apabila kita mendengar istilah PHK, yang biasa terlintas adalah pemecatan
sepihak oleh pihak perusahaan karena kesalahan karyawan. Karenanya, selama ini
singkatan PHK memiliki konotasi negatif. Padahal, kalau kita tilik definisi di atas
yang diambil dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan PHK dapat
terjadi karena bermacam sebab. Intinya tidak persis sama dengan pengertian
dipecat.
Menurut Tulus, pemutusan hubungan kerja (separation) adalah
mengembalikan karyawan ke masyarakat. Hal ini disebabkan karyawan pada
46
umumnya belum meninggal dunia sampai habis masa kerjanya. Oleh karena itu
perusahaan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu
yang timbul akibat dilakukannya tindakan pemutusan hubungan kerja47
Pemberhentian adalah pemutusan hubungan kerja seseorang karyawan
dengan suatu organisasi perusahaan. Tergantung alasannya, PHK mungkin
membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(LPPHI) mungkin juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua PHK yang
butuh penetapan dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak
perlu ada penetapan, PHK tidak berujung sengketa hukum, atau karena karyawan
tidak mengetahui hak mereka. Mekanisme perselisihan PHK beragam dan
berjenjang.
.
48
1.Perundingan Bipartit
Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha
dan pekerja atau serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai
kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam
penyelesaian perselisihan. Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang
ditandatangai para Pihak. Isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila
tercapai kesepakatan maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka
tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh
para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya menddaftarkan
perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan slah satu pihak ingkar.
Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi.
47
Agus Moh. Tulus, Manajemen Sumberdaya Manusia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm 167
48