• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosedur Pengajuan PHK Melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Studi Atas Putusan UU Nomor 2 Tahun 2004

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prosedur Pengajuan PHK Melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Studi Atas Putusan UU Nomor 2 Tahun 2004"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

PROSEDUR PENGAJUAN PHK MELALUI PENGADILAN

HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI)

(STUDI ATAS PUTUSAN NOMOR 12/G/2009/PHI.PN.MDN)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NIM : 070200418 TORKIS SUTANTO

DEPARTEMEN :HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

PROGRAM KEKHUSUSAN :HUKUM PERBURUHAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAKSI

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan landasan dalam penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. Salah satu upaya yang diwajibkan dalam penyelesaian perselisihan itu adalah penyelesaian di luar pengadilan. Sebelum sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), para pihak wajib menyelesaikan permasalahannya dengan musyawarah, artinya tidak boleh langsung ke Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial adalah upaya terakhir penyelesaian perkara. Ini merupakan hal yang menarik karena secara umum biasanya para pihak dapat saja langsung ke pengadilan. Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha dapat dilakukan lewat pengadilan. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah Bagaimana prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam peraturan Perundang-undangan, Bagaimana penyelesaian perselisihan PHK menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 dan Bagaimana Pertimbangan Hukum Terhadap Hakim Menjatuhkan Putusan PHI Dalam Melakukan PHI (Studi Atas Putusan No. 12/G/2009/PHI.PN.MDN).

Adapun metode penelitian dilakukan dengan Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder. Teknik pengumpulan data dengan cara Studi Kepustakaan. Analisis data adalah analisis kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam peraturan perundang-undangan adalah Pengusaha/perusahaan, Pekerja/buruh dan Pengadilan. Dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka secara nyata Tergugat telah diberikan skorsing oleh Penggugat dan di dalam ketentuan tersebut telah disebutkan bahwa barang siapa yang diberikan skorsing oleh perusahaan “hukumnya wajib” perusahaan untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya kepada pekerja. Gugatan tersebut diajukan setelah melewati proses bipartit dan mediasi tripartit. Putusan Nomor 12/G/2009/PHI.PN.MDN dengan mempertimbangkan bahwa

judex facti yang menolak tuntutan provisi sudah tepat dan benar karena penghentian suatu produk yang digunakan oleh Tergugat harus terlebih dahulu ditentukan bahwa penggunaan tersebut tidak sah yang harus ditentukan dalam pokok perkara.

(3)

KATA PENGANTAR

.

Segala puji syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

kasih dan berkat yang dilimpahkannya sehingga penulis dapat memulai, menjalani

dan mengakhiri masa perkuliahan serta dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

sebaik-baiknya.

Adapun skripsi ini berjudul “

PROSEDUR PENGAJUAN PHK

MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI)

STUDI ATAS PUTUSAN UU NOMOR 2 TAHUN 2004

” yang merupakan alah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana Hukum Universitas

Sumatera Utara Medan.

Dalam penyelesaian Skripsi ini, penulis telah banyak menerima bantuan

dan bimbingan serta dorongan semangat dari beberapa pihak, maka dalam

kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan rasa penghargaan

kepada:

1. Teristimewa ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua

(Abah dan Mama) serta Abang, Kakak dan Adik-adik dan seluruh keluarga

besar yang telah memberikan do’a dan motivasi kepada penulis dalam

menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

2. Terima kasih kepada Dekan dan pembantu Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Surianingsih, SH, M.Hum, sebagai ketua Departemen Hukum

(4)

4. Ibu Dr. Agusmidah, SH. M.Hum, sebagai Pembimbing II yang telah

banyak memberi bimbingan dan nasehat dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen yang lainnya yang telah banyak berjasa dalam

membimbing penulis selama perkuliahan.

6. Seluruh rekan-rekan mahasiswa/i Fakulas Hukum USU yang telah banyak

membantu penulis selama kuliah

Akhir kata penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu

Dosen dan semua rekan-rekan atas segala kesilapan yang telah di perbuat penulis

selama ini, dan penulis berharap semoga skripsi yang sangat sederhana ini dapat

bermanfaat bagi semua pembaca dan pihak lain yang memerlukannya. Amin……..

Medan, Oktober 2013 Penulis

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 18

BAB II : PROSEDUR PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ... 20

A. Alasan Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja ... 20

B. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja secara umum ... 27

C. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha/perusahaan .. 29

D. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja/buruh ... 33

E. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan ... 35

BAB III : PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK MENURUT UU NOMOR 2 TAHUN 2004 ... 37

A. Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang ... 37

(6)

C. Hak-hak Tenaga Kerja yang di PHK ... 55

D. Penyelesaian secara bipartit ... 61

E. Penyelesaian melalui Mediasi ... 66

BAB IV : PERTIMBANGAN HUKUM TERHADAP HAKIM MENJATUHKAN PUTUSAN PHI DALAM MELAKUKAN PHK (STUDI ATAS PUTUSAN NO. 12/G/2009/PHI.PN.MDN) ... 72

A. Analisa kasus ... 72

B. Pertimbangan majelis hakim terhadap Pemutusan Hubungan Kerja ... 75

C. Putusan Majelis Hakim ... 79

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 84

(7)

ABSTRAKSI

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan landasan dalam penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. Salah satu upaya yang diwajibkan dalam penyelesaian perselisihan itu adalah penyelesaian di luar pengadilan. Sebelum sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), para pihak wajib menyelesaikan permasalahannya dengan musyawarah, artinya tidak boleh langsung ke Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial adalah upaya terakhir penyelesaian perkara. Ini merupakan hal yang menarik karena secara umum biasanya para pihak dapat saja langsung ke pengadilan. Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha dapat dilakukan lewat pengadilan. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah Bagaimana prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam peraturan Perundang-undangan, Bagaimana penyelesaian perselisihan PHK menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 dan Bagaimana Pertimbangan Hukum Terhadap Hakim Menjatuhkan Putusan PHI Dalam Melakukan PHI (Studi Atas Putusan No. 12/G/2009/PHI.PN.MDN).

Adapun metode penelitian dilakukan dengan Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder. Teknik pengumpulan data dengan cara Studi Kepustakaan. Analisis data adalah analisis kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam peraturan perundang-undangan adalah Pengusaha/perusahaan, Pekerja/buruh dan Pengadilan. Dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka secara nyata Tergugat telah diberikan skorsing oleh Penggugat dan di dalam ketentuan tersebut telah disebutkan bahwa barang siapa yang diberikan skorsing oleh perusahaan “hukumnya wajib” perusahaan untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya kepada pekerja. Gugatan tersebut diajukan setelah melewati proses bipartit dan mediasi tripartit. Putusan Nomor 12/G/2009/PHI.PN.MDN dengan mempertimbangkan bahwa

judex facti yang menolak tuntutan provisi sudah tepat dan benar karena penghentian suatu produk yang digunakan oleh Tergugat harus terlebih dahulu ditentukan bahwa penggunaan tersebut tidak sah yang harus ditentukan dalam pokok perkara.

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemutusan hubungana kerja (PHK) diatur dalam Pasal 150 sampai dengan

Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Pemutusan hubungan kerja berdasarkan ketentuan Pasal 150 Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa :

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini

meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum

atau tidak, milik orang perorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik

milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain

yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah

atau imbalan dalam bentuk lain.

Pemutusan hubungan kerja merupakan peristiwa yang tidak diharapkan

terjadinya khususnya bagi para pekerja/buruh, karena pemutusan hubungan kerja itu

akan memberikan dampak psycologis, economis-financiil bagi pekerja/buruh dan

keluarganya.1

Putusnya hubungan kerja bagi pekerja/buruh merupakan permulaan dari segala

pengakhiran. Pengakhiran dari mempunyai pekerjaan, pengakhiran membiayai

keperluan hidup sehari-hari bagi dirinya dan keluarganya, pengakahiran kemampuan

menyekolahkan anak-anak dan sebagainya.2

1

F.X. Djumialdi dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan hubungan Perburuhan pancasila, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm 88

Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat

2

(9)

dalam hubungan industrial seperti pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah

mengusahakan dengan segala upaya agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.3

Sangat disayangkan selama ini perselisihan antara pekerja dengan pengusaha

seringkali diselesaikan dengan cara-cara yang anarkis seperti demonstrasi dengan

kekerasan, pembakaran, pemogokan sampai penutupan perusahaan (lock out).

Seharusnya perselisihan itu dapat diselesaikan dengan damai dan saling

menguntungkan. Akibat perselisihan di antara pekerja dengan pengusaha tersebut

tentu saja akan membuat terganggunya proses produksi di perusahaan, untuk itulah

diperlukan penyelesaian secepatnya. Sehubungan dengan hal ini, Abdurrahman dan

Ridwan Syahrani mengatakan : Pengadilan merupakan tumpuan harapan bagi setiap

pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan yang memuaskan dalam suatu

perkara. Dari pengadilan inilah diharapkan suatu keputusan yang tidak berat sebelah.

Oleh karena jalan yang sebaik-baiknya untuk dapat penyelesaian suatu perkara dalam

suatu negara hukum adalah melalui pengadilan.4

Penanganan perselisihan PHK selama ini ditangani oleh Panitia

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P4P) di bawah naungan

Departemen/Instansi Ketenagakerjaan, sedangkan berdasarkan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang

ditetapkan tanggal 14 Januari 2005, penanganannya dialihkan ke Pengadilan

Negeri.

Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Nomor 2

Tahun 2004, disebutkan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan

Pengadilan Khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum (Pasal 55). Pada

3

Andrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 65 4

(10)

Pasal 51 ayat (1) disebutkan untuk pertama kali dengan Undang-Undang ini

dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri

Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang di daerah hukumnya

meliputi propinsi yang bersangkutan.

Hal senada juga disampaikan Yahya Harahap, ada beberapa kelemahan

pengadilan termasuk Pengadilan Hubungan Industrial yaitu :5

1. Penyelesaian perkara melalui proses litigasi pada umumnya lambat atau disebut waste of time (buang waktu lama), hal ini diakibatkan proses pemeriksaan sangat formalistik dan sangat teknis sekali. Selain dari pada itu arus perkara semakin deras sehingga pengadilan dijejali dengan beban yang terlampau banyak.

2. Biaya perkara mahal, apalagi jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian, semakin lama penyelesaian semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan. 3. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, oleh karena putusan

pengadilan tidak mampu memberikan penyelesaian yang memuaskan kepada para pihak yang bersangkutan sangat antagonistis, salah satu pihak pasti menang dan pihak lain pasti kalah. Keadaan kalah menang dalam berperkara tidak pernah membawa kedamaian tetapi menumbuhkan bibit dendam dan permusuhan.

Perselisihan antara pekerja dengan pengusaha, penyelesaiannya juga bisa

diselesaikan melalui pengadilan, namanya Pengadilan Hubungan Industrial yang

berada di bawah Pengadilan Negeri di ibukota provinsi. Upaya penyelesaian di

pengadilan merupakan upaya terakhir setelah penyelesaian di luar pengadilan tidak

tercapai. Lahirnya pengadilan ini sebenarnya perwujudan dari lahirnya

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

(selanjutnya disingkat dengan UU PPHI). Hal ini merupakan langkah maju sebab dulu

penyelesaian perselisihan dilakukan oleh suatu lembaga yang bernama Panitia

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, baik yang berada di pusat maupun di daerah.

5

(11)

Mengenai hal ini, UU PPHI memang telah memberikan kelonggaran bagi

Serikat Pekerja untuk bertindak menjadi kuasa hukum guna mewakili anggotanya

untuk bersidang di PHI (Pasal 87 UU PPHI), namun tak semua Serikat Pekerja juga

memiliki kemampuan teknis beracara di PHI, dan tak semua perusahaan terdapat

serikat pekerja. Sementara itu, menggunakan jasa Advokat juga bukan pilihan yang

mudah, terlebih karena ada faktor biaya dan ‘kepercayaan’ yang harus

dipertimbangkan.

Akibatnya banyak gugatan yang ditolak, dan membuat pekerja/buruh harus

mengajukan gugatan ulang padahal pada gugatan awal, pekerja/buruh sudah mengikuti

jalannya persidangan yang lama (50 hari) dan ketika gugatan ulang diajukan, maka

mau tidak mau pekerja/buruh harus menjalani persidangan dari awal (selama 50 hari)

lagi. Bayangkan, betapa banyak energi dan biaya yang dikeluarkan oleh pekerja/buruh.

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

merupakan landasan dalam penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan

pengusaha. Salah satu upaya yang diwajibkan dalam penyelesaian perselisihan itu

adalah penyelesaian di luar pengadilan. Sebelum sampai ke Pengadilan Hubungan

Industrial (PHI), para pihak wajib menyelesaikan permasalahannya dengan

musyawarah, artinya tidak boleh langsung ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Pengadilan Hubungan Industrial adalah upaya terakhir penyelesaian perkara. Ini

merupakan hal yang menarik karena secara umum biasanya para pihak dapat saja

langsung ke pengadilan. Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan penyelesaian perselisihan

(12)

Pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri Medan yang

memeriksa dan mengadili perkara-perkara perselisihan hubungan industrial dalam

peradilan tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan No.12/G/2009/PHI.PN.MDN

tergugat melakukan pelanggaran disiplin, namun diakui oleh tergugat pernah lalai dan

itu bukan merupakan perbuatan disengaja. Namun di dalam hal ini penguggat terlebih

dahulu harus mengerti dan menghayati tentang isi dari pada perjanjian kerja bersama

PT Newmont dengan UU No.3 Tahun 2003 karena aturan kedua ini mempunyau

hubgungan yang erat lain untuk mengambil keputusan khususnya dalam hal

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Bahwa dalam melakukan PHK, penggugat tidak

melalui prosedur, karena surat peringatan terhadap terguggat tidak sesuai prusedur

drngan tidak memberikan kesempatan kepada tergugat untuk memperbaiki kinerjanya

dan surat peringatan yang diterima tergugat tidak sesuai ketentuan, karena tidak

melalui tahapan tingkatan sesuai perjanjian kerja bersama sesuai dengan pasal 161

ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.6

Sesuai dengan permintaan penggugat pada angka 11 (sebelas) untuk

menghentikan upah pada terguggat dengan alasan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang

No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Pasal 108 Undang-Undang No.2 Tahun

2004 bahwa upah tidak dibayar apabila tidak melakukan pekerjaan, hal ini ditolak oleh

terguggat karena pasal yang dituduhkan tidak sesuai dengan permasalahan. Dalam hal

ini terguggat menawarkan untuk dapat bekerja kembali walaupun dengan syarat

sampai adanya putusan peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akan

tetapi penggugat sendiri yang tidak mau memperkerjakan kembali terguggat.7

Upaya hukum yang dapat dilakukan setelah terjadinya pemutusan

hubungankerja terhadap pekerja secara sepihak pada PT. Newmont,hanya melalui

6

Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 12/G/2009/PHI.PN.MDN 7

(13)

2 (dua) tahapan saja yaitu tahapan bipartit dan mediasi, namun dalam proses

pelaksanaan kedua tahapan ini terjadi ketidaksesuaian dengan aturan yang ada

dalam bentuk perjanjian kerja bersama maupun Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003Tentang Ketenagakerjaan.Bahwa perlindungan hukum yang diterima pekerja

setelah terjadinya PemutusanHubungan Kerja pada PT. Newmont, tidak diberikan

karena dalam proses pemutusan hubungan kerja maupun setelah terjadinya

pemutusan hubungan kerja, pekerja belum menerima haknya berupa uang

pesangon yang tercantum dalam pasal 155 dan 156 Undang-undang Nomor 13

Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan.

Dari uraian latar belakang masalah tersebut diatas yang diangkat dalam

penulisan ini adalah: “PROSEDUR PENGAJUAN PHK MELALUI

PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI) STUDI ATAS PUTUSAN

UU NOMOR 2 TAHUN 2004.”

B. Perumusan Masalah

Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus

diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya rumusan masalah maka

akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak

mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam peraturan

Perundang-undangan?

(14)

3. Bagaimana Pertimbangan Hukum Terhadap Hakim Menjatuhkan Putusan PHI

Dalam Melakukan PHI (Studi Atas Putusan No. 12/G/2009/PHI.PN.MDN)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah:

a. Untuk mengetahui prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam

peraturan Perundang-undangan

b. Untuk mengetahui penyelesaian perselisihan PHK menurut UU Nomor 2

Tahun 2004.

c. Untuk mengetahui Pertimbangan Hukum Terhadap Hakim Menjatuhkan

Putusan PHI Dalam Melakukan PHI (Studi Atas Putusan No.

12/G/2009/PHI.PN.MDN).

2. Manfaat penelitian

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan

pertimbangan bagi penelitian lanjutan.

b. Memperkaya khasanah perpustakaan.

1. Secara Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau instansi terkait dalam

memberikan perlindungan terhadap pekerja /buruh dalam pemutusan

hubungan kerja (PHK) melalui pengadilan hubungan industrial (PHI).

b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat (pelaku usaha) mengenai

(15)

D. Keaslian Penulisan

Adapun judul tulisan ini adalah Prosedur Pengajuan PHK Melalui

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) STUDI Atas Putusan Nomor

12/G/2009/PHI.PN.MDN). Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam

bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul

yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum USU. Dengan demikian keaslian

skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah

E. Tinjauan Kepustakaan

Dalam kehidupan sehari-hari pemutusan hubungan kerja antara

pekerja/buruh dengan pengusaha lainnya dikenal dengan istilah PHK atau

penghakhiran hubungan kerja, yang dapat terjadi karena telah berakhirnya waktu

tertentu yang telah disepakati/diperjanjikan sebelumnya dan dapat pula terjadi

karena adanya perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha, meninggalnya

pekerja/buruh atau karena sebab lainnya.8

Dalam praktik, pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya

waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan

permasalahan terhadap kedua belah pihak (pekerja/buruh maupun pengusaha)

karena pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari atau

mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga masing-masing

telah berupaya mempersiapkan diri dalam menghadapi kenyataan itu. Berbeda

halnya dengan pemutusan yang terjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini

akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak, lebih-lebih pekerja/buruh

8

(16)

yang dipandang dari sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah jika

dibandingkan dengan pihak pengusaha.9

PHK merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya,

khususnya dari kalangan buruh/pekerja karena dengan PHK buruh/pekerja yang

bersangkutan akan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi diri dan

keluarganya, karena itu semua pihak yang terlibat dalam hubungan industrial

(pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah), dengan

segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan

kerja.10

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana

dimaksud di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali

pekerja/buruh yang bersangkutan. Jika pengusaha akan melakukan PHK, maka

terlebih dahulu harus merundingkannya dengan serikat buruh/pekerja atau dengan

buruh/pekerja yang bersangkutan jika tidak menjadi anggota serikat buruh/pekerja.

Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha

hanya dapat memutuskan hubungan kerja (PHK) dengan pekerja/buruh setelah

memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial (Pasal 151 ayat 3). Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan dari

lembaga yang berwenang batal demi hukum, kecuali alasan-alasan sebagaimana

diatur dalam pasal 154.11

9

Ibid, hlm 177

10

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi revisi, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm 195

11

(17)

Menurut Halim “pemutusan hubungan kerja adalah suatu langkah

pengakhiran hubungan kerja antara buruh dan majikan karena suatu hal tertentu.”12

Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan

bahwa : “Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena

suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara

pekerja/buruh dan pengusaha.”

Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor

Kep-15A/Men/1994 bahwa : “PHK ialah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha

dan pekerja berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitia Pusat.” Kedua pengertian

di atas memiliki latar belakang berbeda. Pengertian pertama lebih bersifat umum

karena pada kenyataannya tindakan PHK tidak hanya timbul karena prakarsa

pengusaha, tetapi oleh sebab-sebab lain dan tidak harus izin kepada Panitia

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Untuk pengertian kedua bersifat khusus, di

mana tindakan PHK dilakukan oleh pengusaha karena pekerja/buruh melakukan

pelanggaran atau kesalahan sehingga harus izin terlebih dahulu kepada P4D/P4P

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pengertian ini menurut penulis sangat tepat karena sudah mencakup

perbedaan kedua pengertian di atas. Selanjutnya, diatur bahwa untuk PHK oleh

pengusaha karena alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158

ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003), hanya dapat dilakukan setelah

adanya putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

(inkracht).

12

(18)

Oleh sebab itu, apabila pengusaha akan melakukan PHK kepada

pekerja/buruh dengan alasan kesalahan berat, harus menempuh proses peradilan

pidana terlebih dahulu, yaitu dengan cara mengadukan pekerja/buruh yang

melakukan kesalahan berat tersebut kepada aparat berwajib. Dalam hal ini

otomatis pengusaha dan pekerja/buruh harus menempuh proses hukum yang

panjang dan memerlukan pengorbanan, baik waktu, tenaga, maupun biaya yang

tidak sedikit. Untuk menyikapi PHK seperti ini akhirnya kembali pada kesepakatan

antara pengusaha dan pekerja/buruh yang bersangkutan, bagaimana cara

menyiasatinya dengan baik sehingga perselisihan PHK dapat selesai dengan

praktis dan cepat.13

Bagaimanapun jika antara pengusaha dan pekerja/buruh menempuh jalur

pidana baru kemudian ke pengadilan hubungan industrial, tentu proses tersebut

sangat melelahkan dan menyita waktu. Dalam kasus tertentu yang masih dalam

batas toleransi bagi pengusaha lebih baik konsentrasi pada urusan perusahaannya,

sebaliknya juga bagi pekerja/buruh lebih baik cepat selesai urusan PHK-nya dan

dapat segera mencari pekerjaan baru di tempat lain.14

Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja, dan pemerintah dengan segala

upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Segala

upaya, berarti bahwa kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat

menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja, antara lain pengaturan waktu

kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan

kepada pekerja/buruh. Jadi, pemutusan hubungan kerja adalah merupakan tindakan

13

Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenaga Kerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 196

14

(19)

terakhir, bila segala upaya pencegahan telah gagal, baru pemutusan hubungan kerja

boleh dilakukan.15

Pemutusan hubungan kerja yang diatur dalam bab XII, dari pasal 150

sampai dengan pasal 172 UU No. 13 Tahun 2003 meliputi pemutusan hubungan

kerja yang terjadi pada :

a. Badan usaha yang berbadan hukum, maupun

b. Badan usaha tidak berbadan hukum

c. Milik perseorangan

d. Milikpersekutuan

e. Milik badan hukum

f. Milik swasta

g. Milik negara

h. Usaha-usaha sosial

i. Usaha-usaha lain

yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah

atau imbalan dalam bentuk lain (pasal 150 UU No. 13 Tahun 2003).

Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja

tidak dapat dihindari, maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/

atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya

diterima (pasal 156 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003). Ketentuan pasal 156 ayat 1 ini

merupakan ketentuan umum atas pemutusan hubungan kerja, hal ini berarti bahwa

pada setiap pemutusan hubungan kerja maka pengusaha wajib memberikan uang

15

(20)

pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang sesuai

dengan ketentuan peraturan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Prosedur pemutusan hubungan kerja adalah sebagai berikut :16

1. Wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau dengan pekerja,

maksud pemutusan hubunan kerja tersebut.

2. Bila perundingan gagal atau tidak menghasilkan persetujuan, maka pengusaha

hakya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh

penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial;

permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis

kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan disertai

alasan yang menjadi dasarnya.

3. Permohonan penetapan dapat diterima bila telah dirundingkan terlebih dahulu

dan perundingan itu gagal. Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan adalah

batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja yang

bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima,

serta selama putusan belum ditetapkan, maka baik pengusaha maupun pekerja

harus tetap melaksanakan segala kewajibannya (Pasal 155 ayat 2 dan 3;pasal

170 UU No. 13 Tahun 2003).

Pengusaha dapat melakukan skorsing kepada pekerja yang sedang dalam

proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah berserta

hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja (Pasal 155 ayat 3 UU No. 13 Tahun

2003).

16

(21)

Pemutusan hubungan kerja tidak memerlukan penetapan bila dalam

keadaan seperti berikut ini (Pasal 154 UU No. 13 Tahun 2003).

a. Pekerja masih dalam masa percobaan kerja, sepanjang telah disyaratkan secara

tertulis sebelumnya.

b. Pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan

sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,

berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk

pertama kali.

c. Pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,

peraturan pengusaha, perjanjian kerja bersama, atau peraturan

perundang-undangan.

d. Pekerja meninggal dunia.

Bagian b pasal 154 di atas dinyatakan bahwa “berakhirnya hubungan kerja

sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali”, apa maksud dari

pernyataan tersebut? Penjelasan pasal 154 tidak memberikan penjelasan apapun.

Apakah yang dimaksud adalah bahwa :17

1. Dalam PHK ini pengusaha tidak wajib memberikan uang apapun, termasuk

uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak;atau

2. Untuk melanjutkan atau pembaruan perjanjian kerja hanya dapat dilakukan

setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya

perjanjian kerja (pemutusan hubungan kerja karena kemauan pekerja

sendiri)?Pembaruan perjanjian kerja hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan

paling lama 2 (dua) tahun (lihat pasal 59 ayat 6 UU No. 13 Tahun 2003)?

17

(22)

Dalam hal terjadi perpanjangan perjanjian kerja yang melebihi 1 (satu)

tahun atau terjadi pembaruan perjanjian kerja sebelum melebihi masa tenggang

waktu 30 (tiga puluh) hari, apa sanksinya bagi pengusaha? Semoga peraturan

pelaksanaan dari UU ketenagakerjaan ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan

‘sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali’ agar tidak

terjadi kesimpangsiuran. Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja hanya

dapat diberikan jika disertai dengan alasan yang diperbolehkan.18

Alasan yang tidak boleh dijadikan dasar permohonan penetapan pemutusan

hubungan kerja adalah (pasal 153 UU No. 13 Tahun 2003):

1. Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter

selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus.

2. Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban

terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku

3. Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya

4. Pekerja menikah

5. Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui

bayinya

6. Pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau perkawinan dengan pekerja

lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

7. Pekerja mendirikan, menjadikan anggota dan/atau pengurus serikat pekerja,

pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau di dalam

18

(23)

jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur

dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

8. Pekerja yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai

perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan.

9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,

jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.

10.Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit

karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka

waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Pemutusan hubungan kerja dengan alasan tersebut di atas adalah batal demi

hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan.

Alasan yang diperbolehkan untuk menjadi dasar pemutusan hubungan kerja

adalah:19

a. Karena pekerja melakukan kesalahan berat

b. Karena pekerja ditahan pihak berwajib

c. Karena telah diberikan surat peringatan ketiga

d. Karena perubahan status perusahaan

e. Karena perusahaan tutup

f. Karena perushaan pailit

g. Karena pekerja meninggal dunia

h. Karena pensiun

i. Karena mangkir

j. Karena pengusaha melakukan perbuatan yang tidak patut

19

(24)

k. Karena kemauan diri sendiri;serta

l. Karena sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja.

Dari alasan-alasan yang diperbolehkan tersebut di atas, maka pemutusan

hubungan kerja diperbolehkan tanpa penetapan Depnaker bila dengan alasan :

1. Karena pekerja melakukan kesalahan berat (pasal 158 ayat 1 UU No. 13 Tahun

2003)

2. Pekerja yang setelah 6 (enam) bulan ditahan pihak berwajib karena proses

pidana (pasal 160 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003)

3. Pekerja mengundurkan diri atas kemauan diri sendiri (pasal 162 UU No. 134

Tahun 2003) hal 183

4. Pekerja mengundurkan diri karena pengusaha melakukan perbuatan yang tidak

patut (pasal 169 dan 171 UU No. 13 Tahun 2003).

Pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan dapat

mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial

bila tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut dalam waktu paling

lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya (pasal

171 UU No. 13 Tahun 2003).

Ketentuan pasal 171 ini perlu juga diperjelas, apakah pemutusan hubungan

kerja tanpa penetapan ini mencakup pemutusan hubungan kerja yang inisiatifnya

dari pekerja seperti misalnya pengunduran diri atas kemauan sendiri? Pengunduran

diri atas kemauan sendiri adalah merupakan pemutusan hubungan kerja tanpa

penetapan, apakah ini termasuk pemutusan hubungan kerja yang dapat diajukan

gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial? Kiranya

(25)

pemutusan hubungan kerja yang dapat digugat seperti ketentuan pasal 171 ini

karena kedudukan pekerja di Indonesia ini sangatlah lemah sehingga banyak

perusahaan yang mengancam pekerja untuk melakukan pengunduran diri saja

walaupun sebenarnya kesalahan pekerja itu bukan kesalahan berat. Sehubungan

dengan hal tersebut maka semua pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan

kiranya terbuka kemung

kinan untuk digugat dalam jangka waktu satu

tahun.

20

F. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan

dari sebuah pengetahuan maka diperlukan metode penelitian. Karena dengan

menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai

tujuan dari penelitian maka penulis menggunakan metode penelitian yakni :

1. Data dan Sumber Data

Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari 21

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai

kekuatan mengikat kepada masyarakat. Dalam penelitian ini antara lain

UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial.

:

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan

mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini adalah buku-buku,

makalah, artikel dari surat kabar, majalah, dan internet.

20

Ibid, hlm 184 21

(26)

2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka

digunakan teknik pengumpulan data dengan cara : Studi Kepustakaan, dilakukan

dengan mempelajari dan menganalisis yang berkaitan dengan topik penelitian,

sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari: buku-buku, surat kabar, makalah

ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain

yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

3. Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif,

yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya

dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas

dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan

guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif berupa data-data yang akan diteliti

(27)

BAB II

PROSEDUR PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DALAM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Alasan Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja

Alasan-alasan yang dapat membenarkan suatu pemberhentian/pemutusan

dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan yaitu :22

1. Alasan-alasan yang berhubungan atau yang melekat pada pribadi buruh

2. Alasan-alasan yang berhubungan dengan tingkah laku buruh

3. Alasan-alasan yang berkenaan dengan jalannya perusahaan artinya demi

kelangsungan jalannya perusahaan

Alasan-alasan Terjadinya PHK Ada sepuluh alasan bagi perusahaan untuk

mem-PHK Anda dengan mengacu kepada Undang-Undang No. 13 tahun 2003.

4. Pekerja/buruh melakukan Kesalahan Berat

Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 158 UU

Ketenagakerjaan inkonstitusional, maka pengusaha tidak lagi dapat langsung

melakukan PHK apabila ada dugaan pekerja melakukan kesalahan berat.

Berdasarkan asas praduga tak bersalah, pengusaha baru dapat melakukan PHK

apabila pekerja terbukti melakukan kesalahan berat yang termasuk tindak pidana.

Atas putusan MK ini, Depnaker mengeluarkan surat edaran yang berusaha

memberikan penjelasan tentang akibat putusan tersebut.23

22

Sendjun H. Manulang, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm 121

23

(28)

a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik

perusahaan;Pasal 158, ayat 1 berbunyi, "Pengusaha dapat memutuskan

hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah

melakukan kesalahan berat sebagai berikut:

1) memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan

perusahaan;

2) mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau

mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan

kerja;

3) melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

4) menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja

atau pengusaha di lingkungan kerja;

5) membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dengan ceroboh atau

sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik

perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;

6) dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha

dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

7) membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya

dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

8) melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam

pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih."

Jenis kesalahan berat lainnya dapat diatur dalam PP/PKB, tetapi apabila

(29)

dari lembaga yang berwenang. Demikian juga sebelum melakukan PHK, harus

terlebih dahulu melalui mekanisme yang ditentukan, misalnya dengan memberi

surat peringatan (baik berturut-turut, atau surat peringatan pertama dan terakhir)

untuk jenis kesalahan berat yang ditentukan PP/PKB.24

1) pekerja/buruh tertangkap tangan;

Namun, perlu kita ketahui bahwa alasan PHK berupa kesalahan berat yang

dimaksud pada Pasal 158, ayat 1 harus didukung dengan bukti misalnya:

a) ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau

b) bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang

di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2

(dua) orang saksi.

5. Pekerja/buruh Melakukan Diduga Tindak Pidana

Istilah Tindak Pidana adalah berasal dari kata istilah yang dikenal dalam

Hukum Belanda yaitu “Strafbaar Feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa

yang dimaksud dengan Strafbaar Feititu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum

ada keragaman pendapat.25

Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana ini adalah

perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan-perbuatan ini juga merugikan

masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan

terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.

24

Adrian Sutedi,Op.Cit, hlm.74 25

(30)

Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti

sosial. Pasal 160, ayat 1 menyebutkan, "Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak

yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan

pengusaha, ".

6. Pekerja/buruh Melakukan Pelanggaran Ketentuan yang diatur dalam

Perjanjian Kerja Pasal 161, ayat 1 menyebutkan, "Dalam hal pekerja/buruh

melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan

hubungan kerja,setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat

peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut." Bila Anda tidak

mengindahkan peraturan perusahaan dan tidak mengindahkan surat peringatan

yang diberikan oleh perusahaan. ini bisa menjadi alasan PHK untuk pekerja.

7. Pekerja/buruh Mengundurkan Diri

Salah satu jenis PHK yang inisiatifnya dari pekerja/buruh adalah

pengakhiran hubungan kerja karena pekerja/buruh mengundurkan diri atas

kemauan sendiri dan dilakukan tanpa penetapan (izin). Syarat yang harus dipenuhi

apabila seorang pekerja/buruh mengundurkan diri agar mendapatkan hak-haknya

dan mendapatkan surat keterangan kerja/eksperience letter adalah permohonan

tertulis harus diajukan selambat-lambatnya 30 hari sebelum hari h tanggal

pengunduran diri. Hal yang harus dilakukan pekerja/buruh yang mengundurkan

diri adalah sebagai berikut :

1) Pekerja/buruh tidak terikat dalam ikatan dinas.

2) Selama menunggu hari, pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajiban

(31)

Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pengganti formasi untuk

jabatan dimaskud atau dalam rangka transfer of knowledge.

5. PHK Karena terjadi Perubahan Status, Pengabungan, Peleburan, atau Perubahan

Kepemilikan Perusahaan.

Apabila terjadi PHK karena terjadi perubahan status, penggabungan

(merger), peleburan (konsolidasi) atau perubahan kepemilikan perusahaan (akuisisi), dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja maka

terhadap pekerja/buruh berhak atas uang pesangon satu kali dan uang pengganti

hak. Apabila PHK yang terjadi disebabkan oleh perubahan status, merger, atau

konsolidasi, dan pengusaha tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja dengan

pekerja/buruh berhak uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu

kali, dan uang pengganti hak.asal 163, ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat

melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi

perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan

perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja."

6. PHK karena Likuidasi

Pasal 164, ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan

hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan

perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau

keadaan memaksa (force majeur)". Kerugian perusahaan yang dimaksud harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh

(32)

7. Perusahaan melakukan efisiensi

Ini merupakan alasan phk yang sering digunakan. Pasal 164, ayat 3

menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap

pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua)

tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi."

8. Perusahaan mengalami Pailit

Pasal 165 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan

hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit,.."Kata pailit

berasal dari bahasa Prancis; failite yang berarti kemacetan pembayaran.kepailitan

diartikan sebagai suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan

keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal

ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya.

Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan

pemerintah. Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan

bahwa yang dimaksudkan dengan pailit adalah seseorang yang oleh suatu

pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktivitasnya atau warisannya telah

diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya pengertian pailit dihubungkan

dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitor atas

utang-utangnya yang telah jatuh tempo.

Ketidakmampuan tersebut harus disertai suatu tindakan nyata untuk

mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun

atas permintaan pihak ketiga. Maksud dari pengajuan permohonan tersebut sebagai

(33)

Orang sering menyamakan arti pailit ini sama dengan bankrupt atau

bangkrut dalam bahasa Indonesia. Namun, menurut penulis pengertian pailit tidak

sama dengan bangkrut, karena bangkrut berarti ada unsur keuangan yang tidak

sehat dalam suatu perusahaan, tetapi pailit bisa terjadi pada perusahaan yang

keadaan keuangannya sehat, perusahaan tersebut dipailitkan karena tidak

membayar utang yang telah jatuh tempo dari salah satu atau lebih kreditornya.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit

yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah

pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.26

9. Pekerja/buruh Memasuki Usia Pensiun

Pasal 167 ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan

hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun..." Ini

merupakan alasan PHK yang normal

10. Pekerja/buruh Mangkir Selama lima (5) hari berturut-turut

Pasal 168, ayat 1 menyebutkan, "Pekerja/buruh yang mangkir selama 5

(lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang

dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali

secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan

mengundurkan diri.

26

(34)

B. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja secara umum

Pemutusan hubungan kerja adalah mengembalikan karyawan ke

masyarakat. Hal ini disebabkan karyawan pada umumnya belum meninggal dunia

sampai habis masa kerjanya. Oleh karena itu perusahaan bertanggung jawab untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu yang timbul akibat dilakukannya

tindakan pemutusan hubungan kerja. Di samping itu juga harus menjamin agar

karyawan yang dikembalikan ke masyarakat harus berada dalam kondisi sebaik

mungkin.27

Pekerja harus diberi kesempatan untuk membela diri sebelum hubungan

kerjanya diputus. Pengusaha harus melakukan segala upaya untuk menghindari

memutuskan hubungan kerja. Pengusaha dan pekerja beserta serikat pekerja

menegosiasikan pemutusan hubungan kerja tersebut dan mengusahakan agar tidak

terjadi pemutusan hubungan kerja. Jika perundingan benar-benar tidak

menghasilkan kesepakatan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja

dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial. Penetapan ini tidak diperlukan jika pekerja yang

sedang dalam masa percobaan bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis,

pekerja meminta untuk mengundurkan diri tanpa ada indikasi adanya tekanan atau

intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian

kerja dengan waktu tertentu yang pertama, pekerja mencapai usia pensiun, dan jika

pekerja meninggal dunia.

(35)

Pengusaha mempekerjakan kembali atau memberi kompensasi kepada

pekerja yang alasan pemutusan hubungan kerjanya ternyata ditemukan tidak adil.

Jika pengusaha ingin mengurangi jumlah pekerja oleh karena perubahan dalam

operasi, pengusaha pertama harus berusaha merundingkannya dengan pekerja atau

serikat pekerja. Jika perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, maka baik

pengusaha maupun serikat pekerja dapat mengajukan perselisihan tersebut kepada

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.28

Berikut ini diuraikan prosedur pemutusan hubungan kerja secara umum

menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yakni:29

1. Sebelumnya semua pihak (pengusaha, pekerja/buruh, serikat

pekerja/serikat buruh) harus melakukan upaya untk menghindari terjadinya

PHK (Pasal 151 ayat (1)

2. Jika tidak dapat dihindari, pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau

pekerja/buruh mengadakan perundingan (Pasal 151 ayat (2))

3. Jika perundingan berhasil, buat persetujuan bersama

4. Jika tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan penetapan secara

tertulis disertai dasar dan alasan-alasannya kepada pengadilan hubungan

industrial (Pasal 151 ayat (3)) dan (Pasal 152 ayat (1)).

5. Selama belum ada penetapan/putusan dari lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial, kedua pihak tetap melaksanakan segala

kewajiban masing-masing. Di mana pekerja/buruh tetap menjalankan

pekerjaannya dan pengusaha membayar upah (Pasal 155 ayat (2)).

28

29

(36)

6. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan huruf e

berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses

PHK dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang

biasa diterima oleh pekerja/buruh (Pasal 155 ayat (3)).

Khusus mengenai penanganan PHK missal yang disebabkan keadaan

perusahaan, seperti rasionalisasi, resesi ekonomi dan lain-lain menyarankan

sebelumnya agar melakukan upaya perbaikan.

C. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha/perusahaan

Prosedur PHK oleh pengusaha terbagi dalam dua macam yaitu :30

1. PHK karena kesalahan ringan

Dalam praktik prosedur PHK karena kesalahan ringan biasanya diatur

dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama. Hal ini perlu dilakukan untuk keabsahan prosedur tersebut.

a. Biasanya diawali dengan adanya peringatan lisan, kemudian

peringatan tertulis kesatu, kedua dan ketiga (berakhir). Peringatan

tertulis secara bertahap tidaklah bersifat mutlak, bergantung tingkat

kesalahan yang dilakukan pekerja/buruh dan urgensinya bagi

perusahaan. Jadi, bisa saja pengusaha langsung memberikan

peringatan tertulis pertama dan terakhir, sepanjang prosedur itu telah

diatur dalam perjanjian kerja bersama. Peringatan tertulis pertama, dan

terakhir dalam praktek sering digunakan pengusaha untuk memberikan

sanksi kepada pekerja/buruh yang mengarah pada pemutusan

hubungan kerja. Masa berlaku masing-masing peringatan biasanya

30

(37)

enam bulan, kecuali diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

b. Apabila masih dalam tenggang waktu berlakunya peringatan tertulis

ketiga (terakhir) ternyata pekerja/buruh melakukan kesalahan lagi,

pengusaha secara langsung dapat melakukan pemutusan hubungan

kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

c. Apabila pemutusan hubungan kerja dapat diterima oleh pekerja/buruh

yang bersangkutan, buat perjanjian bersama untuk dasar permohonan

penetapan ke pengadilan hubungan industry.

d. Apabila pemutusan hubungan kerja tidak dapat diterima oleh

pekerja/buruh yang bersangkutan, salah satu pihak atau para pihak

menempuh mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.

2. PHK karena kesalahan berat

Sejak terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Perkara Nomor 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 atas hak uji materiil

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, maka PHK oleh

pengusaha kepada pekerja/buruh yang melakukan kesalahan berat hanya dapat

dilakukan setelah adanya putusan hakim pidana yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap (inkracht).31

31

(38)

Beberapa macam pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan:32

1. PHK karena pekerja melakukan kesalahan berat

Ada kesalahan berat didukung dengan bukti sebagai berikut:

a. Pekerja/buruh tertangkap tangan

b. Ada pengakuan pekerja/buruh yang bersangkutan

c. Bukti-bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang

berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh

sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi

Dari pekerja/buruh yang diputuskan hubungan kerjanya

berdasarkan kesalahan berat hanya dapat memperoleh uang pengganti hak

sedang bagi pekerja/buruh yang tugas dan fungsinya tidak mewakili

kepentingan pengusaha secara langsung. Selain memperoleh uang

pengganti, juga diberikan uang pisah yang besarnya diatur dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan, dan atau perjanjian kerja bersama (PKB).33

2. PHK karena pekerja ditahan yang berwajib

Bagi pekerja/buruh yang ditahan pihak berwajib yang diduga

melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka

pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap

pekerja/buruh setelah 6 (enam) bulan tidak melakukan pekerjaan yang

disebabkan masih dalam proses perkara pidana. Dalam ketentuan bahwa

pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh uang penghargaan masa

kerja sebesar 1 (satu) kali ditambah uang pengganti hak.

32

Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Penerbit Pustaka Yustisia, Jakarta, 2008, hlm 105

33

(39)

Untuk pemutusan hubungan kerja ini tanpa harus ada penetapan

dari Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial tetapi apabila pengadilan

memutuskan perkara pidana sebelum 6 (enam) bulan dan pekerja/buruh

dinyatakan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembali.34

3. PHK karena pengusaha mengalami kerugian

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap

pekerja/buruh karena tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami

kerugian secara terus menerus secara 2 (dua) tahun. Kemudian juga harus

dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah

diaudit oleh akuntan public dengan kewajiban memberikan uang pesangon

1 (satu) kali ketentuan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan

dan uang pengganti hak.

4. PHK karena pekerja mangkir

Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari berturut-turut

tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi bukti-bukti yang sah dan telah di

panggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat

diputuskan hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.

Adapun keterangan secara tertulis dan bukti yang sah harus diserahkan

paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk kerja dan untuk

panggilan patut diartikan bahwa panggilan dengan tenggang waktu paling

lama 3 (tiga) hari kerja dengan dialamatkan pada alamat pekerja yang

bersangkutan atau alamat yang dicatat pada perusahaan.35

34

Ibid, hlm 108 35

(40)

5. PHK karena pekerja meninggal dunia

Apabila pekerja meninggal dunia, maka hubungan kerja secara

otomatis berakhir. Kepada ahli waris diberikan sejumlah uang yang

besarnya 2 (dua) kali uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti

hak. Adapun sebagai ahli waris, janda/duda atau kalau tidak ada anak atau

tidak ada juga keturunan garis lurus ke atas/kebawah selama diatur dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.36

6. PHK karena pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja

Di dalam hubungan kerja ada suatu ikatan antara pekerja dengan

pengusaha yang berupa perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan

perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh pengusaha atu secara

bersama-sama antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang isinya minimal memuat

hak dan kewajiban masing-masing pihak dan syarat-syarat kerja, dengan

perjanjian yang telah disetujui oleh masing-masing pihak diharapkan di

dalam implementasinya tidak dilanggar oleh salah satu pihak.37

D. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja/buruh

Buruh/pekerja berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan pihak

pengusaha, karena pada prinsipnya buruh tidak boleh dipaksakan untuk

terus-menerus bekerja bilamana ia sendiri tidak menghendakinya. Dengan demikian

PHK oleh buruh ini yang aktif untuk meminta diputuskan hubungan kerja adalah

dari buruh/pekerja itu sendiri.38

36

Ibid, hlm 109 37

Ibid, hlm 110 38

(41)

Pekerja/buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan

pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan kepada buruh/pekerja

yang bersangkutan memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156

ayat (4). Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang

tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain

menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4) diberikan

uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja

bersama.39

Sebagaimana uraian sebelumnya bahwa PHK oleh pekerja/buruh itu terbagi

dan disebabkan oleh dua hal, yaitu PHK karena permintaan pengunduran diri dan

PHK karena permohonan kepada pengadilan hubungan industrial. Masing-masing

memiliki prosedur yang berbeda yaitu:40

1. Prosedur PHK karena permintaan pengunduran diri

Diatur dalam pasal 162 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

sebagai berikut :

a. Diajukan secara tertulis kepada pengusaha selambat-lambatnya tiga

puluh hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri.

b. Tidak terikat dalam ikatan dinas, dan pengunduran diri

c. Tetap menjalankan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran

diri.

39

Ibid, hlm 205 40

(42)

2. Prosedur PHK karena permohonan kepada pengadilan hubungan industrial

Diatur dalam pasal 169 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa

pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Prosedur penyelesaian adalah melalui upaya penyelesaian perundingan

bipartite, konsiliasi atau mediasi, kemudian mengajukan gugatan pada pengadilan

hubungan industrial. Jadi, setelah upaya penyelesaian di luar pengadilan tidak

berhasil, pekerja/buruh menempuh penyelesaian melalui pengadilan, yakni dengan

cara mengajukan gugatan kepada pengusaha melalui pengadilan hubungan

industrial.41

E. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan

Yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan ialah

pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang

bersangkutan (majikan/buruh) berdasarkan alasan penting. Dalam pasal 1603 v

KUHPerdata disebutkan tiap pihak (buruh, majikan) setiap waktu, juga sebelum

pekerjaan dimulai berwenang berdasarkan alasan penting mengajukan permintaan

tertulis kepada pengadilan di tempat kediamannya yang sebenarnya untuk

menyatakan perjanjian kerja putus.42

Alasan penting adalah disamping alasan mendesak juga karena perubahan

keadaan pribadi atau kekayaan permohon sedemikian rupa sifatnya, sehingga

adalah layak untuk memutuskan hubungan kerja. Pemutusan hubungan kerja yang

dilakukan oleh pengadilan atas permintaan pihak majikan tidak memerlukan izin

41

Ibid, hlm 203 42

(43)

dari P4D atau P4P. Demikian juga halnya dengan pemutusan hubungan kerja yang

dilakukan oleh Balai hart peninggalan untuk kepentingan majikan yang dinyatakan

pailit dan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perwakilan Indonesia di

luar negeri untuk kepentingan pengusaha kapal. Terhadap putusan pengadilan

negeri tersebut tidak ada upaya untuk melawan atau menolaknya kecuali jika Jaksa

Agung memandang perlu untuk mengajukan demi kepentngan undang-undang.43

Pengaturan penyelesaian PHK dalam hukum ketenagakerjaan kita pada

masa yang akan dating sesuai dengan Undang-Undang Pengadilan Perselisihan

Industrial dilakukan oleh pengadilan perselisihan industrial yang merupakan

peradilan ad hoc di Pengadilan Negeri.44

43 Ibid 44

(44)

BAB III

PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 2 TAHUN 2004

A. Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang

Perselisihan Hak timbul karena tidak terpenuhinya hak akibat adanya

perbedaan pelaksanaan/penafsiran terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan, Perjanjian Kerja dan Perjanjian Kerja Bersama, contoh Upah pekerja

yang seharusnya dibayar sesuai UMK tetapi dibayarkan lebih kecil. Perselisihan

kepentingan timbul karena tidak ada kesesuaian pendapat mengenai pembuatan

dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang telah disepakati bersama, contoh

Kepentingan pekerja dalam hal beribadah dibatasi. Perselisihan PHK timbul karena

tidak ada kesesuaian pendapat mengenai PHK, contoh pekerja yang dituduh

melakukan kesalahan tetapi pembuktiannya belum ada sudah terlabih dahulu di

PHK. Perselisihan antar serikat pekerja timbul karena adanya ketidaksesuaian

pendapat mengenai keanggotaan, hak dan kewajiban serikat pekerja, contoh

adanya perebutan pengakuan keanggotaan dan perebutan hak untuk berunding.

Keempat perselisihan yang telah disebutkan sebelumnya, memiliki alur

penyelesaian yang berbeda-beda karena dilihat dari jenis perselisahan dan akibat

yang ditimbulkan oleh masing-masing perselisihan. Tetapi pada prinsipnya semua

jenis perselisihan harus diselesaikan terlebih dahulu melalui musyawarah/ secara

bipatrid.45

(45)

Dalam Pasal 1 angka 4 UU PPHI 2004 diebutkan bahwa, “Perselisihan

pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya

kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh

salah satu pihak.” Dalam bahasa yang lebih sederhana atau mudah untuk

menggambarkan ketentuan tersebut, baik pihak pengusaha/perusahaan maupun

pekerja berbeda pendapat mengenai kapan suatu hubungan kerja berakhir. Pihak

pengusaha kadang-kadang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pihak

pekerja, tetapi pihak pekerja merasa dirugikan atas keputusan tersebut karena

merasa masih berhak untuk bekerja.

Akibat dari perselisihan PHK selalu berkaitan dengan pemenuhan hak,

kompensasi, atau pesangon atas pekerja dan kewajiban pengusaha untuk

memenuhi kewajiban tersebut. Pemenuhan akan uang pesangon dan yang terkait

dengan hak pekerja jika di-PHK menjadi suatu hal yang sangat krusial bagi pekerja

itu sendiri. Hal tersebut disebabkan adanya PHK tersebut bisa membuat

perekonomiannya berantakan. Oleh karena itu, jika dilihatdari masa kerja dan

keuntungan yang telah didapat dari perusahaan atas jerih-payah seseorang layaklah

kemudian pekerja tersebut memperoleh pesangon. PHK berarti berkaitan dengan

pemenuhan hak-hak ekonomi pekerja dan kondisi keuangan dari perusahaan.

Karenanya sangat wajar jika kemudian pemerintah melakukan intervensi, bukan

hanya melindungi hak-hak pekerja, tetapi juga memerhatikan kemampuan dari

keuangan perusahaan tersebut dengan memberikan pengaturan-pengaturan

berpatokan standar, baik secara nasional maupun internasional.

Praktiknya, tidak semua perusahaan menerapkan ketentuan mengenai PHK

(46)

berakhir. Hal tersebut kadang-kadang dikaitkan dengan status hukum dari

perusahaan. Kata perusahaan selalu diidentikan dengan perseroan terbatas (PT),

sehingga di luar status hukum tersebut, pihak pengusaha seringkali mengelak atau

bahkan menanamkan pengertian kepada karyawannya bahwa perusahaannya bukan

sebuah PT. Akibatnya, munculnya PHK tidak menjamin hak-hak pekerja menjadi

utuh sesuai dengan yang diharapkan oleh undang-undang. Pasal 150 UU

Ketenagakerjaan 2003 yang menyebutkan, “Ketentuan mengenai pemutusan

hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja

yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang

perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta

maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang

mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau

imbalan dalam bentuk lain.”46

PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang

mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara karyawan dan perusahaan.

Apabila kita mendengar istilah PHK, yang biasa terlintas adalah pemecatan

sepihak oleh pihak perusahaan karena kesalahan karyawan. Karenanya, selama ini

singkatan PHK memiliki konotasi negatif. Padahal, kalau kita tilik definisi di atas

yang diambil dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan PHK dapat

terjadi karena bermacam sebab. Intinya tidak persis sama dengan pengertian

dipecat.

Menurut Tulus, pemutusan hubungan kerja (separation) adalah

mengembalikan karyawan ke masyarakat. Hal ini disebabkan karyawan pada

46

(47)

umumnya belum meninggal dunia sampai habis masa kerjanya. Oleh karena itu

perusahaan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu

yang timbul akibat dilakukannya tindakan pemutusan hubungan kerja47

Pemberhentian adalah pemutusan hubungan kerja seseorang karyawan

dengan suatu organisasi perusahaan. Tergantung alasannya, PHK mungkin

membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

(LPPHI) mungkin juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua PHK yang

butuh penetapan dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak

perlu ada penetapan, PHK tidak berujung sengketa hukum, atau karena karyawan

tidak mengetahui hak mereka. Mekanisme perselisihan PHK beragam dan

berjenjang.

.

48

1.Perundingan Bipartit

Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha

dan pekerja atau serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai

kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam

penyelesaian perselisihan. Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang

ditandatangai para Pihak. Isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila

tercapai kesepakatan maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka

tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh

para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya menddaftarkan

perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan slah satu pihak ingkar.

Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi.

47

Agus Moh. Tulus, Manajemen Sumberdaya Manusia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm 167

48

Referensi

Dokumen terkait

konsentrasi yang besar yaitu 40%, dengan lama pengadukan 30 menit sampai 120 menit sudah menunjukan penurunan yang signifikan dengan penurunan terbesar 12,76 mek O 2

75% 75% Hasil penggabungan 100% Dengan perpotongan 50% 55% 75% Hasil penggabungan 100% Dengan perpotongan 30% 55% 55% Hasil penggabungan 100% Dengan perpotongan 10% Tabel

Secara garis besar, dapat disimpulkan pengertian wacana adalah satuan bahasa terlengkap daripada fonem, morfem, kata, klausa, kalimat dengan koherensi dan kohesi yang tinggi

Setelah dilakukan penelitian dari segi ayat-ayat yang membahas tentang ihsan , dapat disimpulkan bahwasanya ihsan adalah ikhlas beramal karena mencari keridhaan

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, sumber keuangan yang berasal dari pendapatan asli daerah lebih penting dibandingkan dengan sumber-sumber diluar pendapatan asli daerah,

Wuryanti, 10220021, Penanganan Pembiayaan Macet Dalam Perspektif Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (Studi Kasus Di Pt. Bprs Bhakti Sumekar

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hasil tangkapan ikan layur terhadap penggunaan umpan dan ukuran mata pancing yang berbeda serta menganalisis