• Tidak ada hasil yang ditemukan

Khilāfah sebagai Bentuk Negara Ideal Menurut Ḥizb al-Taḥrīr Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Khilāfah sebagai Bentuk Negara Ideal Menurut Ḥizb al-Taḥrīr Indonesia"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

KHILĀFAH SEBAGAI BENTUK

MENURUT

IZB AL-TA

ḤRĪR INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Mansyur

NIM: 1112033100030

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i

Mansyur

Khilāfah sebagai Bentuk Negara Ideal Menurut izb al-Ta rīr Indonesia

izb al-Taḥrīr Indonesia adalah sebuah gerakan politik Islam yang berlandaskan pada aturan-aturan Islam. Meskipun sebagai partai politik, izb al-Taḥrīr berbeda dengan partai politik Islam yang lain, izb al-Taḥrīr berlandaskan pada politik transnasionalisme. izb al-Taḥrīr bertujuan untuk melanjutkan kehidupan yang islami dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia. Untuk mencapai tujuan ini, izb al-Taḥrīr berupaya untuk menegakkan khilāfah.

Khilāfah adalah sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syarīʻah Islam secara total sebagai aturan hidup umat Islam beserta umat lain yang berada di bawah naungannya. Hanya dalam khilāfah semua urusan manusia diatur berdasarkan syarīʻah Islam dan dipelihara dengan baik. Kehidupan yang sejahtera dan bahagia atau hidup yang ideal, tidak bisa dicapai jika manusia tidak hidup di dalam sebuah negara yang ideal pula. Bagi izb al-Taḥrīr, satu-satunya negara ideal adalah negara khilāfah.

Skripsi ini merupakan penelitian tentang “Khilāfah sebagai Bentuk Negara Ideal Menurut izb al-Taḥrīr Indonesia” dan metode yang digunakan adalah metode deskriptif-analisis. Penelitian ini bertujuan menelisik ke dalam inti-inti gagasan atau ide pokok dari izb al-Taḥrīr Indonesia tentang khilāfah sebagai sebuah negara ideal. Dengan kata lain, negara ideal yang didambakan izb al-Taḥrīr Indonesia, tergambar dalam sistem khilāfah.

Dalam penelitian ini dijumpai bahwa segala bentuk sistem pemerintahan sekuler di zaman ini, adalah sistem yang dianggap buruk oleh izb al-Taḥrīr Indonesia. Segala jenis sistem sekuler adalah sistem turunan demokrasi yang melahirkan anak seperti nasionalisme, kapitalisme, sosialisme, dan sebagainya. Uniknya juga bahwa izb al-Taḥrīr Indonesia tidak menerima sistem lain selain sistem pemerintahn Islam, yang mengambil bentuk khilāfah. Mereka tidak berhenti dan tidak pula putus asa dalam memperjuangkan tegaknya khilāfah. Ini karena mereka beranggapan bahwa sistem inilah sitem yang sangat ideal untuk mengatasi segala bentuk permasalahan yang terjadi di seluruh negeri Islam atau negeri mayoritas penduduknya Islam.

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Bismillāh al-Raḥman al-Raḥim

Alhamdu lillāhi Rabbi al-‘ālamin, segala bentuk puji dan syukur penulis

haturkan kepada Allah swt. yang telah memberikan berbagai macam kenikmatan,

terutama kenikmatan umur, kesehatan, dan kekuatan, sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi ini, guna memperoleh gelar sarjana pada Jurusan Aqidah

dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian yang berjudul “Khilāfah sebagai Bentuk Negara Ideal Menurut

izb al-Taḥrīr Indonesia” ini tidak akan berlangsung dengan mulus tanpa adanya

bantuan dan arahan dari berbagai pihak terkait. Oleh karena itu, beribu-ribu terima

kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu penulis, mulai

dari awal perencanaan penelitian, pengumpulan referensi, berdiskusi, hingga

penulisan skripsi ini berlangsung.

Secara pribadi, penulis sangat bahagia dengan terselesaikannya skripsi ini.

Sebagai bentuk refleksi dari rasa bahagia tersebut, penulis menumpahkan air mata

seraya mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada kedua orang

tua penulis, Ayahanda Masayang Usman dan Ibunda Bidaya, yang senantiasa

menginspirasi, mendukung, serta memotivasi penulis untuk selalu sabar dan

bersemangat dalam menuntut ilmu. Terima kasih juga penulis ucapkan atas segala

bentuk pengorbanan yang diberikan kepada penulis, baik dalam bentuk materil

maupun moril.

(7)

iii

koreksi, dan arahan kepada penulis terkait penelitian yang penulis

kerjakan.

2. Dra. Tien Rahmatin, M.Ag. selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah

memberikan arahan dan saran dalam penelitian ini, sehingga penelitian ini

berjalan dengan lancar dan sesuai dengan harapan.

3. Dr. Syamsuri, MA dan Dra. Tien Rahmatin, M.Ag. selaku Kajur dan

Sekjur Aqidah dan Filsafat Islam yang telah membantu dan memudahkan

proses administrasi selama proses penelitian ini berlangsung.

4. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

5. K.H. Syamsul Ismain, Lc. dan Hj. Asma Juzzaini, SPd. I. selaku guru

tercinta penulis, yang telah memberikan dukungan pada penulis, baik

berupa finansial dan juga moral spiritual. Beliau berdua, terus memberikan

semangat dan motivasi kepada penulis dalam menuntut ilmu.

6. Semua saudara kandung penulis (Kakak Syamsuddin, Kakak Muslimin,

Kakak Nurma Yunita, Linda Permatasari, Rahman Jamil, dan Yanto

Kurniawan) yang telah mendukung dan memotivasi penulis dalam

melakukan segala aktivitas belajar. Khusunya kepada Rahman Jamil,

saudara kandung yang selama ini selalu ada bersama penulis dalam

menuntut ilmu.

7. Teman-teman kelas seperjuangan, anak-anak AF angkatan 2012,

(8)

iv

melangsungkan “diskusi” bersama penulis tentang strategi penyerangan

dan pertahanan. Juga kepada Faris Nadzir Amrullah yang telah berkenan

menyiapkan tempat untuk “diskusi”.

8. Seluruh teman mahasiswa Sumbawa Barat, Syamsul Arifin, Agus Berani,

Syarafuddin, Wawansyah, Iqbal Apriwansyah, Halim Juniarsyah, Akbar

Sorasa, Irfan Saputra, dan Gita Safitri Ilusi, yang senantiasa melaksanakan

aktivitas bersama penulis, serta membatu penulis ketika mendapat

masalah.

9. Intan Pertiwi, yang setia mendampingi penulis dalam beraktivitas,

utamanya dalam proses menuntut ilmu. Semoga kita dijadikan sebagai

pasangan yang berjodoh oleh Allah swt. serta saling menerima kelebihan

dan kekurangan masing-masing. Segala dukungan, semangat, inspirasi,

dan motivasinya, mempunyai arti tersendiri dalam perjuangan penulis

selama ini.

10.Semua teman Ikatan Pemuda dan Mahasiswa Sumbawa, yang terdiri dari

mahasiswa Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur, yang senantiasa

melangsungkan pertemuan guna membahas berbagai permasalahan.

Semoga segala peran, saran, arahan, dukungan, dan motivasi mereka

dicatat sebagai amal ṣālih dan dibalas dengan kebaikan oleh Allah swt.

Ciputat, 20 September 2016

(9)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1. Tujuan ... 12

2. Manfaat ... 13

D. Tinjauan Pustaka... 14

E. Metode Penelitian ... 15

F. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II ḤIZB AL-TAḤRĪR DAN ḤIZB AL-TAḤRĪR INDONESIA A. Sejarah Singkat dan Perkembangan izb al-Taḥrīr ... 19

B. izb al-Taḥrīr Indonesia dan Kiprah Gerakannya ... 24

C. Perjuangan Dakwah izb al-Taḥrīr Indonesia ... 30

D. izb al-Taḥrīr Indonesia dan Upaya Menegakkan Kembali Khilāfah ... 37

E. Faktor Penghambat Tegaknya Khilāfah ... 39

BAB III GEJOLAK POLITIK DALAM KEPEMIMPINAN KHILĀFAH A. Gambaran Singkat Politik pada Masa Khulafā al-Rāsyidīn ... 45

B. Gejolak Politik pada Masa Bani Umayyah ... 56

C. Gejolak Politik pada Masa Bani Abbasiyyah ... 58

(10)

vi

E. Periode Khilāfah Manakah yang Ingin Dicontoh izb

al-Taḥrīr Indonesia? ... 63

BAB IV KHILĀFAH SEBUAH NEGARA IDEAL ḤIZB

AL-TAḤRĪR INDONESIA

A. Khilāfah dalam Pandangan izb al-Taḥrīr Indonesia ... 67

B. Struktur Khilāfah Versi izb al-Taḥrīr ... 69

C. Khilāfah Sebagai Sebuah Konsep Negara Ideal izb al-Taḥrīr

Indonesia ... 81

D. Mungkinkah Khilāfah Didirikan Kembali? ...88

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 91

(11)

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi ini adalah pedoman yang terdapat dalam Jurnal Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin (HIPIUS). Volume 1, Nomor 1, Januari 2011.

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris

ا

a a

ط

ṭ ṭ

ب

b b

ظ

ẓ ẓ

ت

t t

ع

„ „

ث

ts th

غ

gh gh

ج

j j

ف

f f

ح

ḥ ḥ

ق

q q

خ

kh kh

ك

k k

د

d d

ل

l l

ذ

dz dh

م

m m

ر

r r

ن

n n

ز

z z

و

w w

س

s s

ه

h h

ش

sy sh

ء

ʼ ʼ

ص

ṣ ṣ

ي

y y

ض

ḍ ḍ

ة

h h

Vokal Panjang

Arab Indonesia Inggris

آ

ā

ā

إ

ي

ī

ī

(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Walaupun manusia telah membangun peradaban di muka bumi ini selama

ribuan tahun, namun kita dapat melihat bahwa negara adalah pendatang yang baru

saja muncul dalam sejarah perkembangan organik dan sosial.1

Namun demikian, yang perlu dipahami adalah bahwa oleh manusia

modern, negara tidak hanya dipandang sebagai sebuah entitas absolut yang

mengharuskan semua elemen yang terikat dalam negara, tunduk kepada penguasa.

Akan tetapi sebaliknya, negara harus mengikuti ritme total dari semua elemen

yang ada dalam negara, utamanya rakyat atau warga negara yang bersangkutan.2

Munculnya suatu negara didasari oleh sifat dasar manusia yang tidak bisa

hidup sendiri dalam menjalani kehidupannya. Hidup berkelompok dan

memerlukan bantuan orang lain merupakan indikator utama kehidupan manusia.

Plato misalnya, berpandangan bahwa tujuan manusia yang sesungguhnya adalah

eudaimonia (well-being, atau hidup yang baik). Tetapi hidup yang baik itu tidak

akan bisa tercapai kecuali dalam polis (negara). Plato menyimpang dari tradisi

Yunani yang sudah timbul dalam diri kaum sofis, bahwa negara hanya

berasaskan nomos (adat kebiasaan) saja, bukan physis (kodrat).3

1

Carlton Clymer Rodee, dkk., Pengantar Ilmu Politik, terj. Zulkifly Hamid,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 26.

2 I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a,

Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara,

cet. ke-4 (Bandung: Refika Aditama, 2012), h. 1. 3

(13)

Bagi Plato, hanya filosof yang dapat memimpin masyarakat menuju hidup

yang baik dengan berorientasi kepada ide „Yang Baik’.4 Jika kepemimpinan

negara tidak dipegang oleh filosof, maka kebahagiaan akan sulit terwujud dalam

masyarakat.5 Hal yang terpenting juga adalah banwa negara berlandas pada

keadilan.6

Negara juga harus mementingkan kebajikan sebagai prinsip utama

negara.7 Masyarakat yang adil dan baik harus menjalankan tugas sesuai dengan

beberapa program pendidikan. Pendidikan berhubungan dengan penanaman nilai

dan pengajaran, penyiapan tenaga pengawal, dan seleksi kelas, serta propaganda

demi kepentingan masyarakat.8

Baik Plato maupun Aristoteles, berpandangan bahwa manusia menurut

kodratnya merupakan makhluk sosial. Atau dengan kata lain, bahwa manusia

menurut kodratnya, hidup dalam suatu polis (negara). Jika memang demikian

kenyataannya, maka sudah pasti bahwa hidup yang baik menuntut juga adanya

negara yang baik.9

Menurut Aristoteles, oleh karena tidak bisa hidup sendiri, manusia yang

terdiri dari individu-individu, membentuk suatu keluarga melalui perkawinan,

kemudian dari keluarga-keluarga itu terbentuk kelompok-kelompok yang disebut

4

Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual : Konfrontasi dengan Para Filsuf

dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, cet. ke-5 (Yogyakarta: KANISIUS, 2008), h. 58. 5

Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, cet. ke-4

(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 76. 6

Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, cet. ke-3 (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 110.

7

Kabul Budiono, Teori dan Filsafat Ilmu Politik, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 84-85.

8

James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, terj. CB. Mulyanto Pr., cet. ke-5,

(Yogyakarta: KANISIUS, 2014), h. 8. 9

(14)

3

masyarakat, dari kelompok-kelompok tersebut terbentuk kampung, kota, dan

kemudian sampai kepada taraf yang lebih besar dan luas, yakni negara.10

Adanya negara menjadi semacam keharusan bagi keberlangsungan hidup

manusia. Al-Fārābī misalnya, seperti dikutip oleh Abdul Qadir Djaelani,

menyatakan bahwa salah satu sifat keistimewaan manusia adalah homo socious

(suka bergaul). Karena hal inilah kemudian timbul dorongan dalam kehidupan

manusia untuk membentuk negara.11

Adapun mengenai kepala negara yang paling ideal adalah orang yang

mampu mengadakan komunikasi dengan „Akal Aktif’. Ia mempunyai karakter

istimewa, seperti berbadan sehat, kuat, berani, pintar, serta cinta kepada ilmu

pengetahuan dan keadilan.12

Kepemimpinan negara diserahkan kepada Nabi atau Rasul, atau filosof,

yang menjadi guru dan penuntun kepada akhlak mulia agar manusia memperoleh

kebahagiaan.13 Dengan kata lain, kepala negara berperan sangat penting, bukan

hanya untuk memimpin negara, tetapi juga menuntun masyarakat untuk mencapai

kebahagiaan.14

Al-Fārābī mengelompokkan negara menurut prinsip-prinsip teleologis

yang abstark. Negara utama yang sering dijadikan rujukan, sebenarnya hanyalah

satu di mana kehidupan yang baik dan bahagia menjadi tujuan utamanya. Namun

10

K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h. 200-202.

11

Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam (Surabaya: Bina Ilmu,

1995), h. 1-2. 12

Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 77.

13

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet. ke- 12 (Jakarta: Bulan

Bintang, 2010), h. 21. 14

Munawwir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,

(15)

mungkin saja ada sebuah negara yang tidak mempunyai tujuan yang dijadikan

pertimbangan kecuali pemenuhan kebutuhan hidup.15

Al-Fārābī disebut sebagai „Bapak Ilmu Politik Islam’ sebab dia

merupakan filosof Muslim pertama yang menguasai ilmu politik. Al- Fārābī

berkesimpulan bahwa politik bukan hanya berkisar pada raja dan pemerintah,

tetapi mencakup semua elemen masyarakat. Apapus status sosial manusia, ia pasti

tidak bisa lepas dari politik.16

Al-Ghāzālī misalnya, seperti dikutip Abdul Qadir Djaelani, berpendapat

bahwa suka bergaul, bekerja sama, berkawan, dan bermusuhan, merupakan sifat

istimewa manusia. Bahkan dalam keluarga sekalipun sifat semacam itu senantiasa

ada. Semua orang mempunyai kebutuhan dan saling bantu-membantu. Karena

adanya kebutuhan kepada beberapa hal, manusia kemudian biasanya merasa tidak

pernah puas dengan apa yang diusahakan.17

Akibat tidak pernah puas dengan apa yang diusahakan, manusia kemudian

menuruti hawa nafsu, sehingga menimbulkan persaingan, permusuhan, kejahatan,

dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, adanya suatu negara sangat diperlukan

untuk menyelamatkan dan menentramkan kehidupan manusia dari keadaan yang

tidak diinginkan.18

Mengacu kepada uraian di atas, adanya negara menjadi sangat penting

untuk mengumpulkan umat manusia di dalam suatu perkumpulan besar dan

berada di dalam ruang lingkup kehidupan yang sarat dengan aturan-aturan.

15

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 41.

16

Yusuf al-Qardawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas

terhadap Sekularisme dan Liberalisme, terj. Khoirul Amru Harahap (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), h. 49.

17

Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal, h. 3-4.

18

(16)

5

Kehidupan seperti itu hanya bisa diwujudkan dalam suatu negara. Dengan

demikian, kemudian muncul negara dengan beraneka ragam aturan di dalamnya.

Dari kemunculan negara, timbul cita-cita manusia untuk membentuk suatu

negara ideal, negara utama, negara idaman, dan sebagainya. Negara seperti

demikian itu, bisa dikatakan sebagai suatu negara yang mampu mengantarkan

manusia kepada kehidupan yang lebih baik, bahagia lahir dan batin.

Jika kita meminjam gagasan Al-Fārābī, maka negara ideal yang dimaksud

adalah negara yang mampu mengantarkan manusia kepada kebahagiaan, bukan

hanya kebahagiaan material, tetapi juga spiritual, bukan hanya kebahagiaan di

dunia, tetapi juga kebahagiaan di akhirat kelak.19

Karena adanya cita-cita untuk hidup bahagia di dalam suatu negara, maka

kemudian manusia mencoba menerapkan beberapa aturan yang dianggap relevan

sebagai hukum atau kuasa tertinggi dalam negara, dan menetapkan siapa

sesungguhnya yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam negara. Muncul

kemudian beberapa golongan dengan berbagai teori, misalnya teori kedaulatan

Tuhan, menyatakan bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi tiada lain kecuali

Tuhan. Sebagai pemilik kekuasaan tertinggi, maka hanya Tuhan yang berhak

menciptakan hukum.

Kemudian ada lagi pendapat lain, misalnya dalam teori kedaulatan negara,

bahwa kekuasaan atau kedaulatan tertinggi itu tidak ada pada Tuhan, sebagaimana

yang dinyatakan oleh penganut teori kedaulatan Tuhan, tetapi ada pada negara itu

sendiri. Negaralah yang menciptakan hukum, segala sesuatu harus tunduk kepada

19

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filsuf dan Filsafatnya, cet. ke-5 (Jakarta: Rajawali Pers,

(17)

negara. Adanya hukum karena adanya negara, dan tiada satu hukumpun yang

berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara.

Ada juga teori kedaulatan hukum, yang menyatakan bahwa kekuasaan

tertinggi di dalam suatu negara yaitu hukum itu sendiri. Karena seluruh komponen

yang ada di dalam negara, semuanya tunduk kepada hukum, bahkan negara itu

sendiri juga tunduk kepada hukum. Selanjutnya, ada teori kedaulatan rakyat, yang

menyatakan bahwa pada awalnya individu-individu, melalui perjanjian

masyarakat, membentuk masyarakat dan kepada masyarakat pula mereka

menyerahkan kekuasaannya, yang selanjutnya, masyarakat itu menyerahkan

kekuasaan kepada raja. Jadi, sesungguhnya raja mendapatkan kekuasaannya dari

individu-individu tadi.20 Demikian gambaran singkat tentang beberapa hal yang

muncul ketika berbicara tentang negara.

Adanya suatu negara bagi segelintir orang, membawa kemaslahatan dalam

kehidupan manusia, dan bagi sebagian lainnya, mereka merasa tidak puas dengan

apa yang berlaku di dalam suatu negara, bahkan bagi mereka, adanya negara

justru membawa kemudaratan.

Tentu negara yang membawa kemaslahatan adalah negara yang ideal,

negara utama, negara impian manusia, yang dalam bahasa Al-Fārābī disebut

al-madīnah al-fāḍilah. Adapun negara utama (madīnah al-fāḍilah) sebagai suatu

masyarakat yang sempurna, yakni masyarakat yang sudah lengkap

bagian-bagiannya, dicontohkan oleh Al-Fārābī sebagai suatu organisme tubuh manusia

dengan anggota yang lengkap. Masing-masing organ tubuh bekerja sesuai fungsi

20

(18)

7

dan keahliannya. Begitu pula penduduk dalam negara ideal, akan bertindak sesuai

kedudukan, fungsi, dan keahliannya masing-masing.21

Sementara itu, negara yang membawa kemudaratan—masih meminjam

istilah Al-Fārābī—salah satunya adalah negara bodoh (al-madīnah al-jāhilah).

Negara bodoh (al-madīnah al-jāhilah) ialah negara di mana penduduknya tidak

mengenal kebahagiaan, dan kebahagiaan itu tidak pernah terlintas dalam hatinya.

Jika ditunjukkan atau diingatkan, maka mereka tidak mempercayainya dan tidak

mencarinya. Bagi mereka, yang disebut kebaikan adalah badan sehat, harta

lengkap dan cukup, serta hal-hal lain yang bersifat materil. Sedangkan hal-hal

yang ada di luar itu semua adalah kesengsaraan. Selain negara bodoh, ada juga

negara fasik (al-madīnah al-fāsiqah), negara sesat (al-madīnah al-ḍāllah), dan

sebagainya.22

Dari terbentuknya negara, terdapat golongan yang kemudian tidak cukup

puas dengan kehidupan yang dijalaninya dalam negara tersebut. Rasa tidak puas

itu muncul baik dari keburukan sistem pemerintahan yang diterapkan negara,

kedaulatan negara, penegakan hukum, keberadaan dan kebijakan pemimpin

negara, dan sebagainya. Sehingga dengan demikian muncul suatu golongan

dengan semangat baru, membawa gambaran sistem pemerintahan yang dirasanya

relevan untuk memperbaiki keadaan yang dialaminya, menerangkan teori dan

metode yang dianggap tepat untuk membentuk negara baru demi mencapai satu

tujuan—jika kita meminjam bahasa agama—yaitu kebahagiaan hidup di dunia

dan di akhirat kelak.

21

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, h. 83.

22

Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, cet. ke-4 (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h.

(19)

Dalam konteks ini, kita ingin berbicara tentang izb al-Taḥrīr Indonesia,

yang bisa disebut sebagai suatu gerakan yang kurang puas dengan sistem

pemerintahan yang berlaku saat ini dalam suatu negara, utamanya negara-negara

yang dianggap sebagai pusat Islam, atau negara yang penduduknya mayoritas

Muslim, seperti Indonesia. Karena tidak puas dengan sistem yang diterapkan

pemerintah dalam negara, maka kemudian izb al-Taḥrīr Indonesia selalu

melakukan kritik dengan berbagai cara, seperti menyebarkan selebaran,

demonstrasi, pawai, bahkan tidak jarang mengadakan tablig akbar. Kebijakan

pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada kepentingan rakyat, menjadi

sorotan tajam. Di samping gejolak-gejolak politik yang terjadi di dalam negeri,

masalah-masalah politik yang terjadi di negeri-negeri Muslim lainnya juga tidak

lepas dari sorotan mereka.23

Menurut izb al-Taḥrīr, pokok dari segala permasalahan adalah tidak

dilaksanakannya syarīʻahIslam. Masyarakat hidup dalam suatu sistem yang tidak

sesuai dengan hukum Islam. Mereka melupakan karunia dan nikmat Tuhan yang

diberikan sehinggga mereka ditimpa kehinaan dan penderitaan. Mereka merasa

puas dengan mengharap belas kasihan dari para kapitalis yang tujuan hidupnya

hanya mencari keuntungan. Dalam pandangan izb al-Taḥrīr, syarīʻah tidak

hanya berhubungan dengan peribadatan („ubūdiyyah), tetapi juga tata cara

kehidupan sosial, politik, dan ekonomi.

Sebenarnya tujuan dari syarīʻah adalah ingin menciptakan suatu

masyarakat ideal, yakni masyarakat yang sehat baik secara fisik maupun mental.

Masyarakat ideal yang terpendam dalam cita-cita izb al-Taḥrīr tercermin dalam

23

Jajang Jahroni dan Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Raja

(20)

9

suatu konsep yang disebut ummah, yakni sebuah masyarakat yang menjunjung

tinggi peradaban, persatuan, dan nilai-nilai ketuhanan.24

Sementara itu, izb al-Taḥrīr memandang bahwa konsep negara bangsa

(nation-state) yang berkembang pada awal abad ke-20, sama sekali tidak sesuai

dengan cita-cita Islam, sebab dalam konsep tersebut terdapat ide-ide primordial

berdasarkan darah dan tempat kelahiran. Sementara Islam tidak memperkenankan

adanya primordialisme, bahkan menganggapnya sebagai sisa-sisa kepingan

peradaban jāhiliyyah. Adapun ide nasionalisme pertama kali dicetuskan oleh

seorang pemikir Perancis, Ernest Renan, dengan tujuan menggerogoti kekuasaan

Turki Usmani yang saat itu membentang dari Asia sampai Eropa dan Afrika. Pada

saat itu Turki masih merupakan satu-satunya ancaman bagi Barat. Karenanya,

Barat menciptakan konsep nasionalisme agar bangsa-bangsa Islam yang ada di

bawah himpunan kekuasaan Turki Usmani, secara satu per-satu melepaskan diri,

sehingga Barat bisa menghadapi Islam dengan mudah, tanpa hambatan. Bagi izb

al-Taḥrīr, munculnya nasionalisme merupakan sebuah konspirasi untuk

menghancurkan dunia Islam.25

Untuk membangkitkan kembali kekuatan dan kepercayaan diri umat

Islam, adalah dengan menerapkan dan melaksanakan syarīʻahIslam secara kāffah

(menyeluruh, total). Dari penerapan dan pelaksanaan syarīʽah, akan terbentuk

suatu masyarakat ideal, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Akan

tetapi untuk menerapkan dan melaksanakan syarīʻahsecara total, yang kemudian

membentuk masyarakat ideal, diperlukan suatu kekuasaan yang ideal pula, yang

24

Jajang Jahroni dan Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, h. 183-185.

25

(21)

dapat menerapkan sistem tersebut. Kekuasaan tersebut kemudian mengambil

bentuk negara, yakni negara ideal.

Untuk mewujudkan hal tersebut, satu-satunya sistem yang tepat adalah

sistem khilāfah. Menegakkan dan melaksanakan syarīʻah secara total, berarti

menuntut berdirinya khilāfah. Mengapa harus khilāfah? Sebab khilāfah adalah

sebuah kekuasaan yang menerapkan syarīʻah Islam secara kāffah. Menurut izb

al-Taḥrīr, bagi umat Islam, mengangkat seorang khalīfah26yang akan memimpin

khilāfah dan menegakkan syarīʽah Islam secara kāffah, merupakan suatu

kebutuhan. Setiap kalalaian dan usaha menghalangi tegaknya khilāfah merupakan

suatu dosa besar.27

Taqī al-Dīn al-Nabhānī28 menegaskan bahwa sesungguhnya kekuatan

pemikiran Islam yang bersanding dengan tharīqah-nya sudah memadai untuk

mendirikan daulah Islam dan mewujudkan kehidupan yang islami. Jika pemikiran

ini telah meresap ke dalam hati, merasuk dalam jiwa, dan menyatu di dalam tubuh

kaum Muslim, maka akan menjadikan Islam hidup dan bisa dipraktekkan dalam

kehidupan. Hanya saja terlebih dahulu kita harus menyempurnakan sejumlah

aktivitas yang sangat besar sebelum mendirikan negara dan harus mencurahkan

semua kekuatan untuk melanjutkan kehidupan yang islami.

Oleh karena itu, usaha untuk mendirikan daulah Islam tidak cukup hanya

dengan membayangkan kesenangan dan harapan saja, dan tidak cukup hanya

26 Khalīfah

secara bahasa berarti wakil Tuhan yang berada di bumi. Lihat Jajang Jahroni

dan Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, h. 187.

27 izb al-Taḥrīr Indonesia,

Manifesto izb al-Ta rīr Untuk Indonesia, (Jakarta: izb al-Taḥrīr Indonesia, 2009), h. 14.

28 Taqī al-Dīn al-Nabhānī adalah pendiri dan pemimpin awal izb al-Taḥrīr, ia lahir pada

1909 M di Ijzim, distrik Haifa, Palestina dan meninggal pada 20 Desember 1977 M di Beirut. Ia secara resmi mendirikan izb al-Taḥrīr pada tahun 1952 M di al-Quds, dan pada tahun 1953 M,

izb al-Taḥrīr didirikannya di Amman. Lihat Jajang Jahroni dan Jamhari, Gerakan Salafi Radikal

(22)

11

dengan semangat dan cita-cita untuk melanjutkan kehidupan Islam. Terdapat satu

hal penting yang perlu diperhatikan dan harus dilaksanakan, yakni

memperhitungkan berbagai rintangan yang menghadang di hadapan Islam secara

teliti, sehingga mampu menghilangkannya. Kaum Muslim harus memperhatikan

tentang beratnya konsekuensi yang selalu menunggu orang-orang yang berusaha

bangkit untuk mencapai tujuan tersebut. Pandangan para pemikir harus diarahkan

secara spesifik menuju tanggung jawab yang sangat besar. Setiap pemikir

memberikan sumbangan pemikiran tentang masalah yang penting itu, sehingga

ucapan dan tindakannya berjalan seiring dalam metode yang sama disertai dengan

kesadaran, keinginan, kepastian, dan kedinamisan.29

Pada intinya, menurut izb al-Taḥrīr, kekuasaan khilāfah dapat mengatasi

berbagai persoalan yang dihadapi sekarang ini, utamanya persoalan yang dihadapi

oleh umat Islam. Bila negara-negara Islam berada di bawah satu komando

kekuasaan, maka tindakan-tindakan penjajahan, seperti yang dilakukan Amerika

terhadap Irak akhir-akhir ini, tidak akan pernah terjadi. Seorang juru bicara izb

al-Taḥrīr Indonesia, Ismail Yusanto, menegaskan bahwa khilāfah lebih dari

sekedar membentuk fakta pertahanan atau kerja sama ekonomi regional, akan

tetapi khilāfah bertujuan mewujudkan persaudaraan Muslim sedunia.30

Demikian gambaran singkat mengenai permasalahan yang terjadi di dalam

suatu negara, yang kemudian menimbulkan rasa tidak puas bagi beberapa

golongan, seperti yang dialami izb al-Taḥrīr Indonesia, sehingga mereka

menghendaki adanya sebuah negara ideal yang mampu memperbaiki kehidupan

29 Taqī al-Dīn al-Nabhānī,

Daulah Islam, terj. Umar Faruq (Jakarta: HTI-Press, 2012), h. 330-331.

30

(23)

umat, baik secara fisik maupun mental, serta mencapai kebahagiaan di dunia dan

selamat di akhirat.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dijelaskan, penulis ingin membatasi

masalah yang akan dikaji dalam penelitian berkisar pada „Khilāfah sebagai

Bentuk Negara Ideal Menurut izb al-Taḥrīr Indonesia.’

Selain itu, penulis juga mencoba merumuskan masalah yang akan

disinggung dalam pembahasan, yakni berkaitan dengan: „Bagaimana pandangan

izb al-Taḥrīr Indonesia tentang Khilāfah sebagai Bentuk Negara Ideal yang

didambakan?’

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam lagi hal-hal yang

berkaitan dengan negara ideal, sehingga nantinya para pembaca atau peneliti

lainnya bisa lebih mengenal dan mengetahui secara rinci bahwa memang kajian

tentang negara ideal merupakan kajian yang sangat menarik dan selalu mengacu

kepada berbagai macam pandangan dari beberapa tokoh atau kelompok.

Peneliti berharap dengan hadirnya penelitian ini, dapat menggugah serta

merangsang para pembaca dan peneliti lainnya untuk lebih giat lagi mengkaji

pandangan-pandangan atau konsep-konsep yang berkaitan dengan negara,

utamanya negara ideal, serta pergerakan kelompok Islam seperti izb al-Taḥrīr

(24)

13

2. Manfaat

Secara teoritis adanya hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan

sumbangan pengetahuan bagi peneliti pribadi, juga bagi para penggiat dunia

filsafat, utamanya para mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sehingga timbul minat yang besar

untuk mengkaji filsafat dan perkembangan pemikiran atau gerakan-gerakan

modern dalam dunia Islam, serta membangun keahlian di bidang tersebut.

Adapun manfaat secara praktis adalah sebagai berikut: Pertama, bagi

semua pihak di bidang Akademik, khususnya yang menangani Jurusan Aqidah

dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin, diharapkan dengan hadirnya penelitian

ini, dapat mengetahui kebiasaan dan kemampuan para mahasiswa dalam meneliti

dan menganalisa sesuatu yang dianggap bermasalah, sehingga bisa dijadikan

sebagai bahan untuk pembenahan kurikulum kedepannya.

Kedua, bagi pihak perpustakaan, diharapkan hasil penelitian ini, dikoleksi

di perpustakaan sebagai tambahan referensi, juga sebagai bahan evaluasi untuk

menciptakan lingkungan atau kondisi yang nyaman, tenang, aktif, dan kreatif

bagi mahasiswa agar mereka mempunyai minat yang besar dalam hal membaca,

meneliti, menganalisa, dan lainnya, sehingga kualitas mahasiswa meningkat.

Ketiga, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman

bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang betapa pentingnya

kebiasaan membaca, meneliti, dan manganalisa suatu masalah dalam segala hal,

(25)

D.Tinjauan Pustaka

Sebelum peneliti melakukan penelitian ini, telah ada beberapa peneliti lain

menulis skripsi yang berkaitan dengan konsep khilāfah dan izb al-Taḥrīr

Indonesia.

Pertama, penelitian Rudin Mulyantoro, Mahasiswa UIN Syahid Jakarta,

Fakultas Ushuluddin, Prodi Pemikiran Politik Islam, tahun 2009, dengan judul

Implementasi Syarīʻah Islam dalam Perspektif izb al-Ta rīr Indonesia. Secara

sekilas penelitian tersebut berbicara tentang bagaimana syarīʻahdalam pandangan

izb al-Taḥrīr Indonesia, dan seperti apa seharusnya syarīʻah diberlakukan dan

diterapkan di suatu daerah, utamanya Indonesia. Penelitian tersebut juga

menyinggung tentang bentuk negara dan pemerintahan, serta demokrasi.

Kedua, penelitian Siti Rohanah, Mahasiswi UIN Syahid Jakarta, Fakultas

Syariʻah dan Hukum, Prodi Jinayah Siyasah, tahun 2012, dengan judul

Pandangan Tokoh Islam Indonesia tentang Konsep Khilāfah Taqī al-Dīn al

-Nabhānī. Penelitian ini juga menjelaskan tentang khilāfah. Akan tetapi yang lebih

sentral adalah bagaimana pandangan khilāfahTaqī al-Dīn al-Nabhānī, dan seperti

apa para tokoh Islam Indonesia memandang konsep khilāfah yang dinginkan oleh

Taqī al-Dīn al-Nabhānī. Intinya adalah bagaimana tokoh-tokoh Islam Indonesia

memandang konsep khilāfahTaqī al-Dīn al-Nabhānī.

Demikian skripsi yang penulis temukan saat ini di Perpustakaan Utama

UIN Syahid Jakarta yang berkaitan dengan khilāfah dan izb al-Taḥrīr Indonesia.

Jika dalam kedua skripsi tersebut membahas pandangan tokoh Islam Indonesia

(26)

15

Implementasi Syarīʻah Islam dalam Perspektif izb al-Ta rīr Indonesia, maka

lain halnya dengan penelitian yang akan peneliti laksanakan.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin membahas tentang Khilāfah sebagai

Bentuk Negara Idealbeserta sistem dan struktur yang diinginkan dan didambakan

oleh izb al-Taḥrīr Indonesia dengan mengacu kepada konsep-konsep yang

mereka tawarkan, baik dalam manifesto mereka dan yang lainnya.

E. Metode Penelitian

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, yakni dengan melakukan

penelitian pustaka (Library Research), kemudian mengambil beberapa istilah,

keterangan, atau pembahasan khusus pada beberapa bab dan halaman tertentu

yang berkaitan dengan negara ideal, baik dalam data primer maupun sekunder.

Data-data primer yang akan dijadikan rujukan atau referensi utama dalam

penelitian ini, terdiri dari buku karangan Syaikh Taqī al-Dīn al-Nabhānī, seperti

Daulah Islam, Pembentukan Partai Politik Islam, dan lain-lain. Di samping itu

ada juga sumber yang dikeluarkan oleh izb al-Taḥrīr—meskipun merujuk juga

kepada Syaikh Taqī al-Dīn al-Nabhānī—seperti Struktur Negara Khilāfah

(Pemerintahan dan Administrasi) dan Manifesto izb al-Ta rīr untuk Indonesia.

Sedangkan data sekunder terdiri dari beberapa buku yang di dalamnya

membicarakan tentang negara, negara ideal, negara Islam, dan lainnya. Dengan

kata lain, beberapa buku lainnya juga akan dijadikan rujukan atau referensi

tambahan dalam penelitian ini, selama buku tersebut dianggap relevan dan

(27)

Dalam penelitian ini, peneliti akan memokuskan kajian dengan

menggunakan beberapa metode penelitian untuk memperolah data.

Pertama, metode deskriptif, yakni suatu metode penelitian yang ditujukan

untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada yang berlangsung pada saat

ini atau saat yang lampau. Penggambaran kondisi bisa secara individual atau

kelompok. Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama,

yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek

yang diteliti secara tepat. Sehingga kesimpulan yang dibuat juga berdasarkan

tujuan yang telah dirumuskan.31

Metode penelitian deskriptif mencoba menerangkan bahwa seluruh hasil

penelitian harus dibahasakan, sebab ada kesatuan antara bahasa dan pikiran,

sebagaimana kesatuan antara jasad dan jiwa. Sebuah pemahaman baru bisa

dikatakan mantap ketika dapat dibahasakan. Suatu pengertian ketika diucapkan

dapat melahirkan pemahaman baru. Demikian juga, pengertian yang dibahasakan

menurut kekhususan dan kekonkritannya, dapat menjadi terbuka bagi pemahaman

umum.32

Kedua, metode analisis, yaitu metode yang dipakai untuk mendapatkan

pengetahuan ilmiah dengan cara mengadakan sebuah perincian terhadap objek

yang diteliti, atau cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan

jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan yang lainnya, dengan

tujuan memperoleh kejelasan mengenai objek yang diteliti tersebut.

31

cahayalaili.blogspot.com/2011/05/teknik-pengolahan-datadeskriptif.html, diakses pada 28 November 2015.

32

Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, cet. ke-4

(28)

17

Maksud dari metode analisis adalah melakukan pemeriksaan secara

konsepsional atas suatu pernyataan, sehingga dapat diperoleh suatu kejelasan arti

yang terkandung dalam pernyataan itu. Maksud dari analisis secara umum adalah

untuk memperoleh kejelasan arti yang sesungguhnya dalam suatu istilah atau

pendapat. Ketika mencoba memahami sesuatu, maka kita perlu kejelasan tentang

arti yang ingin dipahami dari istilah atau pendapat tertentu.33

Demikian metode yang akan digunakan dalam penelitian ini, dengan

menggunakan kedua metode ini, penulis berharap bisa menghasilkan sebuah karya

tulis yang benar-benar berkualitas.

Mengenai pedoman penulisan proposal dan skripsi, dalam penelitian ini

penulis menggunakan pedoman penulisan yang terdapat dalam “Buku Pedoman

Akademik Strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2012/ 2013.”

Berkaitan dengan pedoman transliterasi, penulis akan mengacu kepada

pedoman transliterasi yang digunakan pada “Jurnal Himpunan Peminat Ilmu

Ushuluddin (HIPIUS).”

F. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini, penulis membagi pembahasan menjadi beberapa bab,

yang deskripsinya dapat dirinci sebagai berikut:

BAB I atau bab pendahuluan, berkaitan dengan latar belakang penelitian,

batasan dan rumusan masalah, tinjauan pustaka, metode penelitian, sumber data

penelitian, pedoman penulisan, dan sistematika penulisan.

33

Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, cet. ke-3 (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

(29)

BAB II berbicara tentang sejarah singkat kepemimpinan khilāfah mulai

dari khulafā al-rāsyidīn dan seterusnya. Dalam bab ini juga dijelaskan tentang

kemajuan dan kemunduran sistem khilāfah. Di samping itu terdapat juga bahasan

tentang sistem khilāfah masa siapa yang ingin dicontoh oleh izb al-Taḥrīr

Indonesia.

BAB III berbicara tentang sejarah dan perkembangan izb al-Taḥrīr dan

izb al-Taḥrīr Indonesia. Bab ini juga membahas tentang perjuangan dan kiprah

gerakan izb al-Taḥrīr Indonesia dalam upaya menegakkan kembali Khilāfah

Islāmiyyah.

BAB IV berbicara tentang negara ideal menurut izb al-Taḥrīr Indonesia,

kemudian seperti apa pandangan izb al-Taḥrīr Indonesia tentang Khilāfah

beserta hal-hal lainnya yang berkaitan dengannya. Pembahasan dalam bab ini

adalah analisa tentang khilāfah sebagai bentuk negara ideal menurut izb

al-Taḥrīr Indonesia.

BAB V adalah bab penutup. Pembahasan dalam bab ini berkisar pada

(30)

19

BAB II

IZB AL-TA R R

DAN IZB AL-TA R R INDONESIA

A. Sejarah Singkat dan Perkembangan izb al-Ta rīr

izb al-Taḥrīr didirikan oleh Syaikh Taqī al-Dīn Ibn Ibrāhīm al-Nabhānī.

Beliau lahir di Ijzim daerah administratif Haifa pada tahun 1913 M. Namun

sebagian besar informasi menyebutkan bahwa beliau lahir pada tahun 1909 M.1

Setelah beliau meninggal dunia pada tahun 1977 M, kepemimpinan izb al-Taḥrīr

berpindah ke tangan Abdul-Qadim Zallum hingga tahun 2003 M, selanjutnya

berpindah ke tangan Atha Abu Rasytah hingga saat ini.2

izb al-Taḥrīr berdiri pada tahun 1953 M di al-Quds Palestina.

Sebelumnya, pada awal tahun berdirinya, izb al-Taḥrīr pernah mengajukan izin

untuk mendirikan partai politik kepada pemerintah Yordania, namun ditolak,

sebab dianggap ilegal. Latar belakang berdirinya izb al-Taḥrīr dapat dilihat dari

dua sisi, yakni historis dan normatif.3

Secara historis, sejak abad ke-19 M, izb al-Taḥrīr melihat umat Islam

berada dalam keterpurukan. Hal ini merupakan akibat dari dominasi penjajahan

Barat terhadap peradaban Islam. Melihat kondisi demikian, banyak gerakan Islam

yang muncul dengan tujuan menyelamatkan Islam dari keterpurukan tersebut.

Akan tetapi, menurut izb al-Taḥrīr, munculnya gerakan-gerakan tersebut tak

1 Abū Zaʽrūr,

Seputar Gerakan Islam, terj. Yahya Abdurrahman, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), h. 205.

2

Ainur Rafiq al-Amin, Membongkar Proyek Khilāfah Ala izb al-Ta rīr di Indonesia,

(Yogyakarta: LKiS, 2012), h. 21. 3

(31)

membawa banyak perubahan, justru menambah berbagai problematika bagi umat

Islam sendiri.4

Sedangkan secara normatif, munculnya izb al-Taḥrīr bertujuan untuk

merealisasikan perintah Allah dalam surat Ali Imran ayat 104, sebagai berikut:









































“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.”

Sejak awal berdirinya, izb al-Taḥrīr diklaim oleh pendirinya sekaligus

para aktivisnya sebagai partai politik, bukan sebagai organisasi sosial keagamaan.5

Meskipun sebagai partai politik, izb al-Taḥrīr mempunyai perbedaan mendasar

dengan partai politik lain yang kita kenal. izb al-Taḥrīr adalah partai politik

Islam yang berlandaskan pada transnasionalisme. Pernyataan ini berkaitan dengan

usaha keras izb al-Taḥrīr dalam menyatukan semua wilayah Islam ke dalam satu

kekuasaan politik yang disebut khilāfah.6

Di samping itu, tujuan berdirinya izb al-Taḥrīr adalah untuk

mengembalikan kehidupan Islam melalui dakwah dan jihad. Akan tetapi, dakwah

dan jihad itu tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya sebuah sandaran yang

secara total mendukung Islam. Oleh karenanya, adanya sebuah sandaran berupa

pemerintahan Islam atau Khilāfah Islāmiyyah, menjadi suatu keharusan, agar

4

Ainur Rafiq al-Amin, Membongkar Proyek Khilāfah, h. 21.

5

Afdlal dkk., Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005), h. 265.

6

Jajang Jahroni dan Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Raja

(32)

21

dakwah dan jihad yang bertujuan mengembalikan kehidupan Islam itu dapat

terealisasi.7

Sesuai dengan namanya izb al-Taḥrīr, yang berarti partai pembebasan,

memiliki tujuan untuk membebaskan umat manusia dari dominasi paham,

pemikiran, sistem hukum, dan negara kufur, menuju kepada paham, pemikiran,

sistem hukum, dan negara Islam dengan menerapkan syarīʻah Islam secara total

serta mengemban dakwah ke seluruh dunia. Tujuan seperti ini berarti membawa

kembali umat Islam ke dalam kehidupan Islam yang sesungguhnya. Untuk

mencapai kehidupan Islam yang sesungguhnya, umat Islam harus berada di dalam

dār al-Islām dan masyarakat Islam. Semua permasalahan yang ada dalam

kehidupan umat diatur oleh syarīʻah Islam. Metode seperti inilah yang menjadi

satu-satunya solusi untuk membangkitkan kembali semangat umat Islam.8

izb al-Taḥrīr meyakini bahwa Islam diturunkan untuk mengatur segala

aspek kehidupan manusia, sehingga satu-satunya solusi yang ditawarkan untuk

menyelamatkan umat manusia dari kerusakan dan keterpurukan, adalah kembali

kepada syarīʻah Islam. Untuk menerapkan syarīʻah Islam secara total, diperlukan

berdirinya sebuah daulah khilāfah.9

Dalam perjuangannya, izb al-Taḥrīr mengikuti metode atau tharīqah

dakwah yang digunakan oleh Rasulullah dalam menghadapi paham, pemikiran,

atau ideologi yang dilahirkan oleh sistem sekularisme, baik yang berbau

kapitalistik ataupun sosialistik. izb al-Taḥrīr mengungkap secara pelan-pelan

segala paham yang dianggapnya rusak dan bertentangan dengan Islam, seperti

7

Ainur Rafiq al-Amin, Membongkar Proyek Khilāfah, h. 21-22.

8 izb al-Taḥrīr Indonesia,

Manifesto izb al-Ta rīr Untuk Indonesia, (Jakarta: izb al-Taḥrīr Indonesia, 2009), h. 67-68.

9 izb al-Taḥrīr Indonesia,

(33)

demokrasi, patriotisme, sosialisme, kapitalisme, dan lain-lain. izb al-Taḥrīr

menentang paham-paham demikian tanpa adanya kompromi ataupun penyesuaian

diri. Dalam perjuangannya, izb al-Taḥrīr sebisa mungkin menjauhi aktifitas

kekerasan, seperti bentrokan, mengadu kekuatan fisik, dan lainnya.10

Dalam mengemban dakwah, izb al-Taḥrīr tidak hanya menyerukan

ideologinya kepada masyarakat umum, tetapi juga kepada orang-orang yang

mempunyai peran politik yang berpengaruh hebat. Bagi izb al-Taḥrīr, orang

yang mempunyai peran politik harus melawan segala bentuk penjajahan, baik

berupa pemikiran atau yang lainnya, dan memberikan dukungan kepada izb

al-Taḥrīr untuk menegakkan kekuasaan Islam. Dengan demikian, keberadaan izb

al-Taḥrīr bisa menjadi representasi bagi umat Islam dalam memperjuangkan

kehidupan Islam yang sesungguhnya.11

Karena perjuangan yang gigih ini, tidak sedikit negara-negara kafir yang

menentang izb al-Taḥrīr, bahkan terus meminta para penguasa tiran di

negeri-negeri Muslim untuk menghentikan dan memberantas segala aktivitas perjuangan

yang dilakukan izb al-Taḥrīr. Penguasa-penguasa tiran tersebut kemudian

mengabulkan permintaan negara-negara kafir yang mempunyai tujuan buruk,

dengan menyebarkan fitnah, penganiayaan, penangkapan, dan pemboikotan. Hal

ini terjadi di berbagai negara, seperti Irak, Suriah, Libya, dan negara-negara lain.

Bahkan di negara seperti Rusia dan Uzbekistan, sejumlah anggota izb al-Taḥrīr

dibunuh.12

Di tengah berbagai persoalan yang dihadapi dalam perjuangan, izb

al-Taḥrīr tetap konsisten, sabar, dan ikhlas. Terbukti dengan melihat perkembangan

10 izb al-Taḥrīr Indonesia,

Manifesto izb al-Ta rīr Untuk Indonesia, h. 68-69.

11 izb al-Taḥrīr Indonesia,

Manifesto izb al-Ta rīr Untuk Indonesia, h. 69-70.

12 izb al-Taḥrīr Indonesia,

(34)

23

pesat yang dialami oleh izb al-Taḥrīr, terutama ketika berada dalam

kepemimpinan Abdul Qadim Zallum. Di tangan beliau, izb al-Taḥrīr

mempunyai ribuan anggota pengemban pemikirannya, sedangkan jutaan orang

lainnya menjadi pendukungnya. Di bawah pimpinan amīr kedua ini, izb

al-Taḥrīr telah berkembang di lebih dari 40 negara, dan menjadi partai terbesar di

dunia yang memperjuangkan tegaknya khilāfah. Akhir-akhir ini izb al-Taḥrīr

semakin mendapat tempat di hati umat, terutama setelah mengadakan konferensi

terbesar sepanjang sejarah tentang penegakan khilāfah di Indonesia pada 2007 M.

Terdapat sekitar 100.000 orang yang hadir dan jutaan lainnya mengarahkan

fokusnya pada konferensi yang diselenggarakan tersebut 13

Ada beberapa faktor yang menyebabkan pesatnya perkembangan izb

al-Taḥrīr, di antaranya: Pertama, izb al-Taḥrīr berdiri di atas fikrah (pemikiran)

yang mempunyai batasan yang jelas, sehingga tidak ada kekaburan atau

pembiasan di dalamnya. Bahkan lebih dari itu, izb al-Taḥrīr mempunyai fikrah

yang cemerlang, jernih, dan murni. Hal ini sekaligus membedakan izb al-Taḥrīr

dari gerakan-gerakan lain yang memiliki berbagai promlematika di dalamnya.

Bahkan bagi izb al-Taḥrīr, gerakan-gerakan lain itu berdiri di atas fikrah yang

masih umum tanpa batasan yang jelas, tidak cemerlang, tidak jernih, dan tidak

murni. Kedua, izb al-Taḥrīr memiliki tharīqah (metode) yang khas untuk

penerapan fikrahnya. Dalam menerapkan fikrah-nya, izb al-Taḥrīr menunjukkan

kesiapan yang maksimal, sehingga tidak ada kontradiksi di dalam gerakan.

Mungkin inilah yang menyebabkan izb al-Taḥrīr banyak digandrungi oleh

berbagai kalangan masyarakat. Metode yang diterapkan izb al-Taḥrīr sangat

13 izb al-Taḥrīr Indonesia,

(35)

jelas tanpa diliputi kekaburan dan ketidakjelasan. Berbeda dengan

gerakan-gerakan lain yang bergerak dengan banyak diliputi kekaburan dan ketidakjelasan,

bahkan mesin penggerak perjuangannya belum sepenuhnya punya kesadaran yang

benar, hanya mempunyai keinginan dan semangat belaka.14

Segala aktivitas izb al-Taḥrīr adalah demi mewujudkan ideologi mereka

dalam upaya menegakkan Khilāfah Islamiyyah. Bagi izb al-Taḥrīr, ideologi

merupakan harga mati. Karenanya ideologi itu tidak dapat ditawar-tawar. Atas

dasar ini, izb al-Taḥrīr terhitung sebagai partai yang ideologinya berat, bahkan

tidak ada bedanya dengan gerakan-gerakan lain.15

B. izb al-Ta rīr Indonesia dan Kiprah Gerakannya

Mengenai masuknya izb al-Taḥrīr ke Indonesia, tidak diperoleh

keterangan yang pasti. Gerakan ini diperkirakan masuk ke Indonesia pada era

1980-an ketika marak-maraknya gerakan Islam.16 Namun demikian ada pula

pendapat yang menyatakan bahwa datangnya izb al-Taḥrīr ke Indonesia terjadi

melalui proses transmisi ide. Pada awalnya, transmisi ide ini terjadi melalui

kontak antara salah seorang tokoh aktivis izb al-Taḥrīr, yakni ʽAbd al-Raḥmān

al-Baghdādī yang berasal dari Libanon, dengan ʽAbdullah ibn Nūḥ, seorang

peimpinan pesantren al-Ghāzālī, Bogor Jawa Barat. Kontak ini terjadi pada Tahun

80-an ketika Ibnu Nūḥ mengunjungi anaknya yang sedang kuliah di Sydney,

14 Taqī al-Dīn al-Nabhānī,

Pembentukan Partai Politik Islam, terj. Zakaria dkk., cet. ke-6 (Jakarta: izb al-Taḥrīr Indonesia, 2013), h. 5-6.

15

Jajang Jahroni dan Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, h. 180.

16

(36)

25

Australia. Kedua tokoh ini mempunyai peran besar dalam penyebaran awal

ide-ide izb al-Taḥrīr di Indonesia.17

Dari pertemuan itu, Ibnu Nūḥ terkesan dengan pengetahuan Islam yang

dimiliki oleh al-Baghdādī. Karenanya, ia mengundang al-Baghdādī ke Indonesia,

tepatnya ke Bogor Jawa Barat untuk membantunya mengembangkan

pesantrennya. Melalui pesantren inilah kemudian al-Baghdādī mulai menyebarkan

ide-ide izb al-Taḥrīr di Indonesia. Pada tahun 1982, al-Baghdādī tiba di

Indonesia dan menyebarkan ajaran izb al-Taḥrīr melalui pesantren Ibnu Nūḥ.

Sasaran pertama dakwahnya adalah para akademisi kampus, utamanya aktivis

mahasiswa Muslim di masjid kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut

Teknologi Bandung (ITB). Semua aktivitas dan kesempatan awal tersebut ia

manfaatkan untuk mengenalkan ide-ide izb al-Taḥrīr kepada mahasiswa.18

Setelah melihat mahasiswa cukup antusias dan mulai tertarik dengan

ide-ide izb al-Taḥrīr, al-Baghdādī dan Ibnu Nūḥ selanjutnya mengorganisir

rekrutmen dan pendidikan secara sistematis melalui training dan halaqah. Basis

utama rekrutmen dan pergerakan izb al-Taḥrīr Indonesia pada awal

perkembangannya adalah masjid IPB. Dari situ kemudian izb al-Taḥrīr

Indonesia menyebarkan gagasannya ke berbagai kampus-kampus umum di Jawa

dan Jakarta, serta ke Sulawesi dan Sumatra melalui Lembaga Dakwah Kampus

(LDK) yang pembentukannya diinisiasi oleh izb al-Taḥrīr Indonesia. Namun

demikian pada awal pergerakannya, al-Baghdādī dan Ibnu Nūḥ tidak memakai

17 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,

Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011), h. 17.

18 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,

(37)

nama izb al-Taḥrīr karena mengingat adanya kecurigaan negara terhadap

ekspresi politik Islam pada masa awal Orde Baru.19

Akibat adanya tekanan negara terhadap ekspresi politik Islam dan

aktivisme mahasiswa pada masa Orde Baru, izb al-Taḥrīr Indonesia bergerak

secara sembunyi-sembunyi.20 Meskipun negara tidak pernah melepaskan

pengawasannya terhadap aktivitas gerakan Islam, menurut Ismail Yusanto,

gerakan izb al-Taḥrīr tidak pernah terlacak oleh pemerintah. Salah satu

penyebabnya adalah bahwa para aktivis izb al-Taḥrīr selalu menekankan hidup

low-profile dalam kehidupan sosial masyarakat. Pengalaman pahit yang dialami

oleh para aktivis izb al-Taḥrīr di beberapa negara Timur Tengah, dijadikan

pelajaran berharga oleh izb al-Taḥrīr di Indonesia. Menurut Ismail Yusanto,

ketika masih berada di Timur Tengah, para seniornya bahkan mengubur

buku-buku izb al-Taḥrīr agar tidak terlacak oleh aparat keamanan. Oleh karena itu,

pada awal perkembangannya, izb al-Taḥrīr berusaha menghindari publikasi. Hal

ini menyebabkan banyak anggota izb al-Taḥrīr yang tidak mengenal pemimpin

mereka yang sebenarnya.21

Pada masa Soeharto, izb al-Taḥrīr hanya melakukan aktivitas yang

berkaitan dengan pembinaan anggota dan kaderisasi. Tahap ini bisa dikatakan

sebagai tahap tatsqīf izb al-Taḥrīr di Indonesia. izb al-Taḥrīr Indonesia

bergerak sebagai organisasi bawah tanah yang dipimpin oleh Ibnu Nūḥ hingga

masa wafatnya pada tahun 1987 M, lalu digantikan oleh Muḥammad al-Khaṭṭaṭ,

dan selanjutnya oleh Hāfiẓ „Abd al-Raḥmān. Pada masa awal, izb al-Taḥrīr

Indonesia maupun gerakan Islam lainnya dibangun lewat LDK. Hal ini mengingat

19 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,

Perkembangan Paham Keagamaan, h. 18.

20 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,

Perkembangan Paham Keagamaan, 18. 21

(38)

27

bahwa izb al-Taḥrīr datang ke Indonesia beriringan dengan gerakan Islam

lainnya, seperti gerakan Tarbiyyah, Jamāʽah al-Tablīgh, dan kelompok Salafi.

Awalnya tidak ada perbedaan antara gerakan-gerakan tersebut dalam LDK, seperti

pembinaan, pengkaderan dan sebagainya, diadakan bersama-sama dengan tutor

dan subjek yang sama. Namun setelah tahun 1988 M terjadi perpecahan di antara

mereka karena tajamnya perbedaan ideologi.22

izb al-Taḥrīr Indonesia selanjutnya memakai LDK sebagai jaringan

rekrutmen. Bahkan menurut Collins, ide pendirian LDK digagas oleh pimpinan

izb al-Taḥrīr Indonesia. Sebuah LDK di IPB, yakni Badan Kerohanian Islam

Mahasiswa (BKIM) menjadi lembaga penting bagi penyebaran awal ide-ide izb

al-Taḥrīr. Para aktivis BKIM ini intens menghadiri kajian-kajian yang diberikan

oleh Ibnu Nūḥ, bahkan mereka datang ke pesantren al-Ghāzālī untuk belajar pada

Ibnu Nūḥ dan al-Baghdādī. Melalui jaringan LDK Bogor, izb al-Taḥrīr

Indonesia kemudian meneruskan penyebaran ide-idenya kepada

mahasiswa-mahasiswa yang ada di luar Bogor. Melalui jaringan LDK luar Bogor, seperti

LDK Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung, IKIP Malang, Universitas

Airlangga (UNAIR) Surabaya, Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar, dan

Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, bentangan sayap izb al-Taḥrīr

Indonesia semakin melebar dan meluas.23

Demi menjaga jaringan yang terbentuk di kampus-kampus, maka pada

masa berpisah dari gerakan Islam lainnya tahun 1994 M, izb al-Taḥrīr

Indonesia melebarkan dakwahnya ke publik tanpa menggunakan nama izb

al-Taḥrīr. Pada masa ini izb al-Taḥrīr Indonesia membentuk organisasi-organisasi

22 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,

Perkembangan Paham Keagamaan, h. 19.

23 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,

(39)

dan aktivitas-aktivitas terselubung, seperti mengadakan seminar-seminar, halaqah

mingguan, penerbitan buku dan pamflet. Meskipun demikian, semua aktivitas

izb al-Taḥrīr pada masa Orde Baru terbatas pada pengenalan ide dan rekrutmen,

tanpa bergerak lebih jauh kepada aksi-aksi atau demonstrasi di jalanan.24

Pasca Reformasi, keadaaan politik di Indonesia berubah total. Momentum

ini dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan Islam untuk memformalkan dan

menampakkan diri ke permukaan setelah lama bersembunyi dan berjalan di bawah

tanah. izb al-Taḥrīr juga tak ketinggalan dalam memanfaatkan momentum ini

untuk keluar dari persembunyiannya. Hal ini dianggap sangat penting agar izb

al-Taḥrīr beserta ide-idenya dikenal oleh masyarakat. Di samping itu, izb

al-Taḥrīr juga ingin berpartisipasi dalam proses transformasi yang berlangsung di

masyarakat.25

Ketika gerakan Islam lainnya mulai muncul ke depan publik pada tahun

1998 M, izb al-Taḥrīr Indonesia malah mulai secara terang-terangan muncul di

tahun 2000-an, terutama ketika menyelenggarakan konferensi internasional

tentang khilāfah di Stadion Senayan Jakarta. Dalam konferensi itu yang diundang

menjadi pembicara antara lain: Dr. Muḥammad ʽUtsmān dan Muḥammad

al-Khaṭtaṭ (Indonesia), Ismail al-Wahwah (Australia), dan Syarif al-Dīn M. Zain

(Malaysia). Sejak tahun 2000 M, perkembangan izb al-Taḥrīr Indonesia terlihat

menonjol dalam kaitannya dengan keanggotaan, media dan operasi. Dalam tahap

ini mereka mulai bergerak dari tahap pembinaan ke tahap interaksi bersama

umat.26

24 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,

Perkembangan Paham Keagamaan, h. 20. 25

Jajang Jahroni dan Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, h. 174.

26 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,

(40)

29

Sejak diselenggarakan konferensi internasional di Istora Senayan Jakarta

yang dihadiri oleh para tokoh izb al-Taḥrīr baik nasional maupun internasional

serta para tokoh Islam dari organisasi lain, izb al-Taḥrīr resmi melakukan

aktifitasnya di Indonesia yang kemudian dikenal dengan nama izb al-Taḥrīr

Indonesia. Para tokoh izb al-Taḥrīr Indonesia awal banyak yang bertempat di

Bogor. Usaha mereka dalam menyebarkan ide-idenya disambut baik oleh civitas

academica IPB sehingga salah satu tokoh terkenalnya seperti Muḥammad

al-Khaṭtaṭ adalah alumni dari perguruan tinggi tersebut.27

Untuk saat ini, dalam lingkup nasional, humas izb al-Taḥrīr Indonesia

dipegang oleh Ismail Yusanto, sedangkan untuk lingkungan Jawa Barat dipegang

oleh Muḥammad Syababi. izb al-Taḥrīr Indonesia didirikan dan beroperasi

dengan dana yang berasal dari para simpatisan tanpa meminta dan menerima

bantuan dari pemerintah, bahkan menolak dan mengharamkan bantuan dana dari

pemerintah. izb al-Taḥrīr Indonesia mencoba berkembang secara mandiri. Untuk

menjaga kemandirian dan independensi ini, izb al-Taḥrīr Indonesia harus

melakukan penelitian yang akurat terhadap segala bentuk sumbangan yang

diberikan kepada mereka. Sejak awal, izb al-Taḥrīr Indonesia didesain sebagai

sebuah organisasi politik, namun berbeda dengan organisasi yang dikenal selama

ini. izb al-Taḥrīr Indonesia tidak mendaftarkan diri secara formal sebagai parpol

yang ikut dalam pemilu. Menurut aktivisnya, hal ini dilakukan izb al-Taḥrīr

Indonesia karena situasi saat ini sangat membingungkan umat Islam dengan

kehadiran parpol Islam yang banyak. Karena itu, izb al-Taḥrīr Indonesia tidak

27

(41)

mau mengikuti jejak parpol lain yang berlandaskan Islam untuk ikut berpartisipasi

dalam pemilu yang kemudian dapat menjadi anggota legislatif.28

Di samping itu, alasan lain yang menyebabkan izb al-Taḥrīr Indonesia

tidak mengikuti pemilu adalah masalah ideologi. Ideologi bagi izb al-Taḥrīr

Indonesia merupakan harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar. Oleh karena itu

mengadakan kerjasama dengan pemerintah tidak akan mengubah keadaan apapun,

sebab ideologi izb al-Taḥrīr Indonesia tak akan bisa diterapkan secara total

selama masih ada campur tangan lain. Jika demikian adanya, izb al-Taḥrīr

Indonesia lebih baik memilih tidak ikut dalam proses pemilu.29

C. Perjuangan Dakwah izb al-Ta rīr Indonesia

Dalam aktivitas dakwah, izb al-Taḥrīr Indonesia mengedepankan

beberapa tahapan metode yang merupakan senjata utama mereka, diantaranya:

Pertama, tahap tatsqīf (pengkaderan, pembinaan) guna mendapatkan bimbingan,

pembelajaran, dan pemahaman ideologi partai. Kedua, tahap tafāʻul (interaksi)

dengan masyarakat umum, yang bertujuan untuk mengenalkan ideologi partai

kepada masyarakat, sehingga masyarakat menganggap ideologi partai itu sebagai

ideologi mereka. Dengan demikian diharapkan agar ideologi partai dibela oleh

masyarakat ketika menemui hambatan. Ketiga, tahap istilām al-hukmi

(penerimaan kekuasaan) secara menyeluruh melalui dukungan umat, sampai partai

dapat menjadikan pemerintahan sebagai sarana untuk menerapkan ideologinya

atas umat.30

28

Afdlal dkk., Islam dan Radikalisme di Indonesia, h. 266-267.

29

Jajang Jahroni dan Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia,h. 180-181.

30 Taqī al-Dīn al-Nabhānī ,

(42)

31

Aktivitas izb al-Taḥrīr Indonesia dalam upaya menegakkan kembali

KhilāfahIslāmiyyah yang sangat menonjol dan masih berlangsung hingga saat ini,

sebagai berikut:

1. Mengorganisir Demonstrasi

Eksistensi izb al-Taḥrīr Indonesia yang paling menonjol di publik adalah

gerakan protesnya di jalanan dalam bentuk pawai dan demonstrasi. Sejak awal

tahun 2000 M, izb al-Taḥrīr Indonesia bisa dikatakan sebagai gerakan Islam

yang paling aktif menyuarakan aspirasi dan tuntutannya di jalanan. Dalam

banyak kasus, aksi jalanan izb al-Taḥrīr Indonesia diatur secara sistematis

dan terorganisir baik pada level nasional maupun provinsi dalam merespon

isu-isu nasional dan internasional.31

2. Menyelenggarakan Seminar dan Diskusi Publik

Aktivitas intelektual izb al-Taḥrīr Indonesia menemukan ekspresinya lewat

seminar dan publikasi. Ini tentu saja merupakan strategi untuk menyebarkan

ide-ide izb Al-Taḥrīr Indonesia dan menarik dukungan dari elemen-elemen

terdidik masyarakat Indonesia. Seminar aktif dilaksanakan mulai dari tingkat

daerah, nasional, dan bahkan internasional dalam merespon isu lokal, nasional,

dan global.32

3. Publikasi Melalui Media

Sarana lainnya yang digunakan izb al-Taḥrīr Indonesia untuk menyampaikan

ide-idenya kepada masyarakat luas adalah media dan publikasi. Ini menjadi

sarana untuk menjaga komunikasi dan kesatuan pemikiran di kalangan

anggota. Media izb al-Taḥrīr Indonesia terdiri dari pamflet, buletin, majalah,

31 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,

Perkembangan Paham Keagamaan, h. 22.

32 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,

(43)

tabloid, booklet, buku, DVD, dan websites. izb al-Taḥrīr Indonesia

menerbitkan pamflet mingguan „Buletin al-Islam’ yang biasanya diedarkan ke

masjid-masjid setiap minggunya. Di samping itu izb al-Taḥrīr Indonesia juga

menerbitkan majalah bulanan „al-Wa’ie’(kesadaran) dengan cover mengkilap,

yang di cetak 15.000 exemplar per edisi. Bahkan sejak akhir 2008 M, izb

al-Taḥrīr Indonesia juga menerbitkan sebuah tabloid yang memiliki kualitas

cetak bagus, yang disebut „Media Ummat’. Lebih dari itu mereka juga

menerbitkan buku-buku izb al-Taḥrīr, khususnya buku pendiri izb

al-Taḥrīr dalam bentuk terjemahan dan aslinya. Penerbit-penerbit izb al-Taḥrīr

yang berperan dalam penerbitan buku antara lain: Al-Izzah di Bangil Jawa

Timur, Pustaka Thariqul Izzah dan Mahabbah Cipta Insani di Bogor, serta

belakangan ini ada HTI-Press di Jakarta. Sebagaimana cabang izb al-Taḥrīr

lainnya yang ada di manca negara, izb al-Taḥrīr Indonesia juga mempunyai

websites di

Gambar

Gambaran singkat di atas hanya sebagai pengantar kepada ide khilāfah
gambaran atau bentuk negara ideal yang selama ini mereka dambakan. Dengan

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pencucian dalam jumlah air yang sedikit, busa sangat penting karena dalam pencucian dengan sedikit air, busa akan berperan untuk tetap

Rancang bangun alat penetas telur tanaga surya kapasitas telur 10-20 butir telur ini dibuat dengan cara di memodifikasi penetas telur yang sudah ada dengan menambahkan bagian

Berdasarkan hasil pengujian secara individu dengan taraf signifikansi 20% didapatkan sebesar 1,29 yang artinya bahwa semua variabel prediktor dalam model secara

Berdasarkan hal tersebut maka penulis melakukan penelitian tentang evaluasi pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun (Studi Kasus di Kelurahan

Ya, seperti yang dilontarkannya pada Seminar Nasional Sesko ABRI beberapa waktu silam: bahwa sekarang ini harus ada sikap yang positif terhadap aspirasi dari bawah?. Begitu

Selain itu, anda juga dapat melihat laporan interaktif yang membantu anda mengukur kualitas dari data di berbagai koridor dan kinerja dari para pengguna

Hal ini menandakan bahwa selama benih disimpan, telah terjadi proses respirasi dalam benih, sehingga cadangan makanan yang terdapat pada kotiledon yang

Ketika kegiatan belajar mengajar, penulis sangat memperhatikan metode yang digunakan hal tersebut dilakukan karena dengan adanya metode proses pembelajaran bisa