KHILĀFAH SEBAGAI BENTUK
MENURUT
Ḥ
IZB AL-TA
ḤRĪR INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Mansyur
NIM: 1112033100030
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
Mansyur
Khilāfah sebagai Bentuk Negara Ideal Menurut izb al-Ta rīr Indonesia
izb al-Taḥrīr Indonesia adalah sebuah gerakan politik Islam yang berlandaskan pada aturan-aturan Islam. Meskipun sebagai partai politik, izb al-Taḥrīr berbeda dengan partai politik Islam yang lain, izb al-Taḥrīr berlandaskan pada politik transnasionalisme. izb al-Taḥrīr bertujuan untuk melanjutkan kehidupan yang islami dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia. Untuk mencapai tujuan ini, izb al-Taḥrīr berupaya untuk menegakkan khilāfah.
Khilāfah adalah sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syarīʻah Islam secara total sebagai aturan hidup umat Islam beserta umat lain yang berada di bawah naungannya. Hanya dalam khilāfah semua urusan manusia diatur berdasarkan syarīʻah Islam dan dipelihara dengan baik. Kehidupan yang sejahtera dan bahagia atau hidup yang ideal, tidak bisa dicapai jika manusia tidak hidup di dalam sebuah negara yang ideal pula. Bagi izb al-Taḥrīr, satu-satunya negara ideal adalah negara khilāfah.
Skripsi ini merupakan penelitian tentang “Khilāfah sebagai Bentuk Negara Ideal Menurut izb al-Taḥrīr Indonesia” dan metode yang digunakan adalah metode deskriptif-analisis. Penelitian ini bertujuan menelisik ke dalam inti-inti gagasan atau ide pokok dari izb al-Taḥrīr Indonesia tentang khilāfah sebagai sebuah negara ideal. Dengan kata lain, negara ideal yang didambakan izb al-Taḥrīr Indonesia, tergambar dalam sistem khilāfah.
Dalam penelitian ini dijumpai bahwa segala bentuk sistem pemerintahan sekuler di zaman ini, adalah sistem yang dianggap buruk oleh izb al-Taḥrīr Indonesia. Segala jenis sistem sekuler adalah sistem turunan demokrasi yang melahirkan anak seperti nasionalisme, kapitalisme, sosialisme, dan sebagainya. Uniknya juga bahwa izb al-Taḥrīr Indonesia tidak menerima sistem lain selain sistem pemerintahn Islam, yang mengambil bentuk khilāfah. Mereka tidak berhenti dan tidak pula putus asa dalam memperjuangkan tegaknya khilāfah. Ini karena mereka beranggapan bahwa sistem inilah sitem yang sangat ideal untuk mengatasi segala bentuk permasalahan yang terjadi di seluruh negeri Islam atau negeri mayoritas penduduknya Islam.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillāh al-Raḥman al-Raḥim
Alhamdu lillāhi Rabbi al-‘ālamin, segala bentuk puji dan syukur penulis
haturkan kepada Allah swt. yang telah memberikan berbagai macam kenikmatan,
terutama kenikmatan umur, kesehatan, dan kekuatan, sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini, guna memperoleh gelar sarjana pada Jurusan Aqidah
dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian yang berjudul “Khilāfah sebagai Bentuk Negara Ideal Menurut
izb al-Taḥrīr Indonesia” ini tidak akan berlangsung dengan mulus tanpa adanya
bantuan dan arahan dari berbagai pihak terkait. Oleh karena itu, beribu-ribu terima
kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu penulis, mulai
dari awal perencanaan penelitian, pengumpulan referensi, berdiskusi, hingga
penulisan skripsi ini berlangsung.
Secara pribadi, penulis sangat bahagia dengan terselesaikannya skripsi ini.
Sebagai bentuk refleksi dari rasa bahagia tersebut, penulis menumpahkan air mata
seraya mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada kedua orang
tua penulis, Ayahanda Masayang Usman dan Ibunda Bidaya, yang senantiasa
menginspirasi, mendukung, serta memotivasi penulis untuk selalu sabar dan
bersemangat dalam menuntut ilmu. Terima kasih juga penulis ucapkan atas segala
bentuk pengorbanan yang diberikan kepada penulis, baik dalam bentuk materil
maupun moril.
iii
koreksi, dan arahan kepada penulis terkait penelitian yang penulis
kerjakan.
2. Dra. Tien Rahmatin, M.Ag. selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah
memberikan arahan dan saran dalam penelitian ini, sehingga penelitian ini
berjalan dengan lancar dan sesuai dengan harapan.
3. Dr. Syamsuri, MA dan Dra. Tien Rahmatin, M.Ag. selaku Kajur dan
Sekjur Aqidah dan Filsafat Islam yang telah membantu dan memudahkan
proses administrasi selama proses penelitian ini berlangsung.
4. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. K.H. Syamsul Ismain, Lc. dan Hj. Asma Juzzaini, SPd. I. selaku guru
tercinta penulis, yang telah memberikan dukungan pada penulis, baik
berupa finansial dan juga moral spiritual. Beliau berdua, terus memberikan
semangat dan motivasi kepada penulis dalam menuntut ilmu.
6. Semua saudara kandung penulis (Kakak Syamsuddin, Kakak Muslimin,
Kakak Nurma Yunita, Linda Permatasari, Rahman Jamil, dan Yanto
Kurniawan) yang telah mendukung dan memotivasi penulis dalam
melakukan segala aktivitas belajar. Khusunya kepada Rahman Jamil,
saudara kandung yang selama ini selalu ada bersama penulis dalam
menuntut ilmu.
7. Teman-teman kelas seperjuangan, anak-anak AF angkatan 2012,
iv
melangsungkan “diskusi” bersama penulis tentang strategi penyerangan
dan pertahanan. Juga kepada Faris Nadzir Amrullah yang telah berkenan
menyiapkan tempat untuk “diskusi”.
8. Seluruh teman mahasiswa Sumbawa Barat, Syamsul Arifin, Agus Berani,
Syarafuddin, Wawansyah, Iqbal Apriwansyah, Halim Juniarsyah, Akbar
Sorasa, Irfan Saputra, dan Gita Safitri Ilusi, yang senantiasa melaksanakan
aktivitas bersama penulis, serta membatu penulis ketika mendapat
masalah.
9. Intan Pertiwi, yang setia mendampingi penulis dalam beraktivitas,
utamanya dalam proses menuntut ilmu. Semoga kita dijadikan sebagai
pasangan yang berjodoh oleh Allah swt. serta saling menerima kelebihan
dan kekurangan masing-masing. Segala dukungan, semangat, inspirasi,
dan motivasinya, mempunyai arti tersendiri dalam perjuangan penulis
selama ini.
10.Semua teman Ikatan Pemuda dan Mahasiswa Sumbawa, yang terdiri dari
mahasiswa Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur, yang senantiasa
melangsungkan pertemuan guna membahas berbagai permasalahan.
Semoga segala peran, saran, arahan, dukungan, dan motivasi mereka
dicatat sebagai amal ṣālih dan dibalas dengan kebaikan oleh Allah swt.
Ciputat, 20 September 2016
v
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12
1. Tujuan ... 12
2. Manfaat ... 13
D. Tinjauan Pustaka... 14
E. Metode Penelitian ... 15
F. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II ḤIZB AL-TAḤRĪR DAN ḤIZB AL-TAḤRĪR INDONESIA A. Sejarah Singkat dan Perkembangan izb al-Taḥrīr ... 19
B. izb al-Taḥrīr Indonesia dan Kiprah Gerakannya ... 24
C. Perjuangan Dakwah izb al-Taḥrīr Indonesia ... 30
D. izb al-Taḥrīr Indonesia dan Upaya Menegakkan Kembali Khilāfah ... 37
E. Faktor Penghambat Tegaknya Khilāfah ... 39
BAB III GEJOLAK POLITIK DALAM KEPEMIMPINAN KHILĀFAH A. Gambaran Singkat Politik pada Masa Khulafā al-Rāsyidīn ... 45
B. Gejolak Politik pada Masa Bani Umayyah ... 56
C. Gejolak Politik pada Masa Bani Abbasiyyah ... 58
vi
E. Periode Khilāfah Manakah yang Ingin Dicontoh izb
al-Taḥrīr Indonesia? ... 63
BAB IV KHILĀFAH SEBUAH NEGARA IDEAL ḤIZB
AL-TAḤRĪR INDONESIA
A. Khilāfah dalam Pandangan izb al-Taḥrīr Indonesia ... 67
B. Struktur Khilāfah Versi izb al-Taḥrīr ... 69
C. Khilāfah Sebagai Sebuah Konsep Negara Ideal izb al-Taḥrīr
Indonesia ... 81
D. Mungkinkah Khilāfah Didirikan Kembali? ...88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 90
B. Saran ... 91
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi ini adalah pedoman yang terdapat dalam Jurnal Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin (HIPIUS). Volume 1, Nomor 1, Januari 2011.
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ا
a aط
ṭ ṭب
b bظ
ẓ ẓت
t tع
„ „ث
ts thغ
gh ghج
j jف
f fح
ḥ ḥق
q qخ
kh khك
k kد
d dل
l lذ
dz dhم
m mر
r rن
n nز
z zو
w wس
s sه
h hش
sy shء
ʼ ʼص
ṣ ṣي
y yض
ḍ ḍة
h hVokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
آ
ā
ā
إ
ي
ī
ī
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Walaupun manusia telah membangun peradaban di muka bumi ini selama
ribuan tahun, namun kita dapat melihat bahwa negara adalah pendatang yang baru
saja muncul dalam sejarah perkembangan organik dan sosial.1
Namun demikian, yang perlu dipahami adalah bahwa oleh manusia
modern, negara tidak hanya dipandang sebagai sebuah entitas absolut yang
mengharuskan semua elemen yang terikat dalam negara, tunduk kepada penguasa.
Akan tetapi sebaliknya, negara harus mengikuti ritme total dari semua elemen
yang ada dalam negara, utamanya rakyat atau warga negara yang bersangkutan.2
Munculnya suatu negara didasari oleh sifat dasar manusia yang tidak bisa
hidup sendiri dalam menjalani kehidupannya. Hidup berkelompok dan
memerlukan bantuan orang lain merupakan indikator utama kehidupan manusia.
Plato misalnya, berpandangan bahwa tujuan manusia yang sesungguhnya adalah
eudaimonia (well-being, atau hidup yang baik). Tetapi hidup yang baik itu tidak
akan bisa tercapai kecuali dalam polis (negara). Plato menyimpang dari tradisi
Yunani yang sudah timbul dalam diri kaum sofis, bahwa negara hanya
berasaskan nomos (adat kebiasaan) saja, bukan physis (kodrat).3
1
Carlton Clymer Rodee, dkk., Pengantar Ilmu Politik, terj. Zulkifly Hamid,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 26.
2 I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a,
Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara,
cet. ke-4 (Bandung: Refika Aditama, 2012), h. 1. 3
Bagi Plato, hanya filosof yang dapat memimpin masyarakat menuju hidup
yang baik dengan berorientasi kepada ide „Yang Baik’.4 Jika kepemimpinan
negara tidak dipegang oleh filosof, maka kebahagiaan akan sulit terwujud dalam
masyarakat.5 Hal yang terpenting juga adalah banwa negara berlandas pada
keadilan.6
Negara juga harus mementingkan kebajikan sebagai prinsip utama
negara.7 Masyarakat yang adil dan baik harus menjalankan tugas sesuai dengan
beberapa program pendidikan. Pendidikan berhubungan dengan penanaman nilai
dan pengajaran, penyiapan tenaga pengawal, dan seleksi kelas, serta propaganda
demi kepentingan masyarakat.8
Baik Plato maupun Aristoteles, berpandangan bahwa manusia menurut
kodratnya merupakan makhluk sosial. Atau dengan kata lain, bahwa manusia
menurut kodratnya, hidup dalam suatu polis (negara). Jika memang demikian
kenyataannya, maka sudah pasti bahwa hidup yang baik menuntut juga adanya
negara yang baik.9
Menurut Aristoteles, oleh karena tidak bisa hidup sendiri, manusia yang
terdiri dari individu-individu, membentuk suatu keluarga melalui perkawinan,
kemudian dari keluarga-keluarga itu terbentuk kelompok-kelompok yang disebut
4
Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual : Konfrontasi dengan Para Filsuf
dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, cet. ke-5 (Yogyakarta: KANISIUS, 2008), h. 58. 5
Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, cet. ke-4
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 76. 6
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, cet. ke-3 (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 110.
7
Kabul Budiono, Teori dan Filsafat Ilmu Politik, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 84-85.
8
James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, terj. CB. Mulyanto Pr., cet. ke-5,
(Yogyakarta: KANISIUS, 2014), h. 8. 9
3
masyarakat, dari kelompok-kelompok tersebut terbentuk kampung, kota, dan
kemudian sampai kepada taraf yang lebih besar dan luas, yakni negara.10
Adanya negara menjadi semacam keharusan bagi keberlangsungan hidup
manusia. Al-Fārābī misalnya, seperti dikutip oleh Abdul Qadir Djaelani,
menyatakan bahwa salah satu sifat keistimewaan manusia adalah homo socious
(suka bergaul). Karena hal inilah kemudian timbul dorongan dalam kehidupan
manusia untuk membentuk negara.11
Adapun mengenai kepala negara yang paling ideal adalah orang yang
mampu mengadakan komunikasi dengan „Akal Aktif’. Ia mempunyai karakter
istimewa, seperti berbadan sehat, kuat, berani, pintar, serta cinta kepada ilmu
pengetahuan dan keadilan.12
Kepemimpinan negara diserahkan kepada Nabi atau Rasul, atau filosof,
yang menjadi guru dan penuntun kepada akhlak mulia agar manusia memperoleh
kebahagiaan.13 Dengan kata lain, kepala negara berperan sangat penting, bukan
hanya untuk memimpin negara, tetapi juga menuntun masyarakat untuk mencapai
kebahagiaan.14
Al-Fārābī mengelompokkan negara menurut prinsip-prinsip teleologis
yang abstark. Negara utama yang sering dijadikan rujukan, sebenarnya hanyalah
satu di mana kehidupan yang baik dan bahagia menjadi tujuan utamanya. Namun
10
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h. 200-202.
11
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam (Surabaya: Bina Ilmu,
1995), h. 1-2. 12
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 77.
13
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet. ke- 12 (Jakarta: Bulan
Bintang, 2010), h. 21. 14
Munawwir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
mungkin saja ada sebuah negara yang tidak mempunyai tujuan yang dijadikan
pertimbangan kecuali pemenuhan kebutuhan hidup.15
Al-Fārābī disebut sebagai „Bapak Ilmu Politik Islam’ sebab dia
merupakan filosof Muslim pertama yang menguasai ilmu politik. Al- Fārābī
berkesimpulan bahwa politik bukan hanya berkisar pada raja dan pemerintah,
tetapi mencakup semua elemen masyarakat. Apapus status sosial manusia, ia pasti
tidak bisa lepas dari politik.16
Al-Ghāzālī misalnya, seperti dikutip Abdul Qadir Djaelani, berpendapat
bahwa suka bergaul, bekerja sama, berkawan, dan bermusuhan, merupakan sifat
istimewa manusia. Bahkan dalam keluarga sekalipun sifat semacam itu senantiasa
ada. Semua orang mempunyai kebutuhan dan saling bantu-membantu. Karena
adanya kebutuhan kepada beberapa hal, manusia kemudian biasanya merasa tidak
pernah puas dengan apa yang diusahakan.17
Akibat tidak pernah puas dengan apa yang diusahakan, manusia kemudian
menuruti hawa nafsu, sehingga menimbulkan persaingan, permusuhan, kejahatan,
dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, adanya suatu negara sangat diperlukan
untuk menyelamatkan dan menentramkan kehidupan manusia dari keadaan yang
tidak diinginkan.18
Mengacu kepada uraian di atas, adanya negara menjadi sangat penting
untuk mengumpulkan umat manusia di dalam suatu perkumpulan besar dan
berada di dalam ruang lingkup kehidupan yang sarat dengan aturan-aturan.
15
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 41.
16
Yusuf al-Qardawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas
terhadap Sekularisme dan Liberalisme, terj. Khoirul Amru Harahap (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), h. 49.
17
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal, h. 3-4.
18
5
Kehidupan seperti itu hanya bisa diwujudkan dalam suatu negara. Dengan
demikian, kemudian muncul negara dengan beraneka ragam aturan di dalamnya.
Dari kemunculan negara, timbul cita-cita manusia untuk membentuk suatu
negara ideal, negara utama, negara idaman, dan sebagainya. Negara seperti
demikian itu, bisa dikatakan sebagai suatu negara yang mampu mengantarkan
manusia kepada kehidupan yang lebih baik, bahagia lahir dan batin.
Jika kita meminjam gagasan Al-Fārābī, maka negara ideal yang dimaksud
adalah negara yang mampu mengantarkan manusia kepada kebahagiaan, bukan
hanya kebahagiaan material, tetapi juga spiritual, bukan hanya kebahagiaan di
dunia, tetapi juga kebahagiaan di akhirat kelak.19
Karena adanya cita-cita untuk hidup bahagia di dalam suatu negara, maka
kemudian manusia mencoba menerapkan beberapa aturan yang dianggap relevan
sebagai hukum atau kuasa tertinggi dalam negara, dan menetapkan siapa
sesungguhnya yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam negara. Muncul
kemudian beberapa golongan dengan berbagai teori, misalnya teori kedaulatan
Tuhan, menyatakan bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi tiada lain kecuali
Tuhan. Sebagai pemilik kekuasaan tertinggi, maka hanya Tuhan yang berhak
menciptakan hukum.
Kemudian ada lagi pendapat lain, misalnya dalam teori kedaulatan negara,
bahwa kekuasaan atau kedaulatan tertinggi itu tidak ada pada Tuhan, sebagaimana
yang dinyatakan oleh penganut teori kedaulatan Tuhan, tetapi ada pada negara itu
sendiri. Negaralah yang menciptakan hukum, segala sesuatu harus tunduk kepada
19
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filsuf dan Filsafatnya, cet. ke-5 (Jakarta: Rajawali Pers,
negara. Adanya hukum karena adanya negara, dan tiada satu hukumpun yang
berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara.
Ada juga teori kedaulatan hukum, yang menyatakan bahwa kekuasaan
tertinggi di dalam suatu negara yaitu hukum itu sendiri. Karena seluruh komponen
yang ada di dalam negara, semuanya tunduk kepada hukum, bahkan negara itu
sendiri juga tunduk kepada hukum. Selanjutnya, ada teori kedaulatan rakyat, yang
menyatakan bahwa pada awalnya individu-individu, melalui perjanjian
masyarakat, membentuk masyarakat dan kepada masyarakat pula mereka
menyerahkan kekuasaannya, yang selanjutnya, masyarakat itu menyerahkan
kekuasaan kepada raja. Jadi, sesungguhnya raja mendapatkan kekuasaannya dari
individu-individu tadi.20 Demikian gambaran singkat tentang beberapa hal yang
muncul ketika berbicara tentang negara.
Adanya suatu negara bagi segelintir orang, membawa kemaslahatan dalam
kehidupan manusia, dan bagi sebagian lainnya, mereka merasa tidak puas dengan
apa yang berlaku di dalam suatu negara, bahkan bagi mereka, adanya negara
justru membawa kemudaratan.
Tentu negara yang membawa kemaslahatan adalah negara yang ideal,
negara utama, negara impian manusia, yang dalam bahasa Al-Fārābī disebut
al-madīnah al-fāḍilah. Adapun negara utama (madīnah al-fāḍilah) sebagai suatu
masyarakat yang sempurna, yakni masyarakat yang sudah lengkap
bagian-bagiannya, dicontohkan oleh Al-Fārābī sebagai suatu organisme tubuh manusia
dengan anggota yang lengkap. Masing-masing organ tubuh bekerja sesuai fungsi
20
7
dan keahliannya. Begitu pula penduduk dalam negara ideal, akan bertindak sesuai
kedudukan, fungsi, dan keahliannya masing-masing.21
Sementara itu, negara yang membawa kemudaratan—masih meminjam
istilah Al-Fārābī—salah satunya adalah negara bodoh (al-madīnah al-jāhilah).
Negara bodoh (al-madīnah al-jāhilah) ialah negara di mana penduduknya tidak
mengenal kebahagiaan, dan kebahagiaan itu tidak pernah terlintas dalam hatinya.
Jika ditunjukkan atau diingatkan, maka mereka tidak mempercayainya dan tidak
mencarinya. Bagi mereka, yang disebut kebaikan adalah badan sehat, harta
lengkap dan cukup, serta hal-hal lain yang bersifat materil. Sedangkan hal-hal
yang ada di luar itu semua adalah kesengsaraan. Selain negara bodoh, ada juga
negara fasik (al-madīnah al-fāsiqah), negara sesat (al-madīnah al-ḍāllah), dan
sebagainya.22
Dari terbentuknya negara, terdapat golongan yang kemudian tidak cukup
puas dengan kehidupan yang dijalaninya dalam negara tersebut. Rasa tidak puas
itu muncul baik dari keburukan sistem pemerintahan yang diterapkan negara,
kedaulatan negara, penegakan hukum, keberadaan dan kebijakan pemimpin
negara, dan sebagainya. Sehingga dengan demikian muncul suatu golongan
dengan semangat baru, membawa gambaran sistem pemerintahan yang dirasanya
relevan untuk memperbaiki keadaan yang dialaminya, menerangkan teori dan
metode yang dianggap tepat untuk membentuk negara baru demi mencapai satu
tujuan—jika kita meminjam bahasa agama—yaitu kebahagiaan hidup di dunia
dan di akhirat kelak.
21
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, h. 83.
22
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, cet. ke-4 (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h.
Dalam konteks ini, kita ingin berbicara tentang izb al-Taḥrīr Indonesia,
yang bisa disebut sebagai suatu gerakan yang kurang puas dengan sistem
pemerintahan yang berlaku saat ini dalam suatu negara, utamanya negara-negara
yang dianggap sebagai pusat Islam, atau negara yang penduduknya mayoritas
Muslim, seperti Indonesia. Karena tidak puas dengan sistem yang diterapkan
pemerintah dalam negara, maka kemudian izb al-Taḥrīr Indonesia selalu
melakukan kritik dengan berbagai cara, seperti menyebarkan selebaran,
demonstrasi, pawai, bahkan tidak jarang mengadakan tablig akbar. Kebijakan
pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada kepentingan rakyat, menjadi
sorotan tajam. Di samping gejolak-gejolak politik yang terjadi di dalam negeri,
masalah-masalah politik yang terjadi di negeri-negeri Muslim lainnya juga tidak
lepas dari sorotan mereka.23
Menurut izb al-Taḥrīr, pokok dari segala permasalahan adalah tidak
dilaksanakannya syarīʻahIslam. Masyarakat hidup dalam suatu sistem yang tidak
sesuai dengan hukum Islam. Mereka melupakan karunia dan nikmat Tuhan yang
diberikan sehinggga mereka ditimpa kehinaan dan penderitaan. Mereka merasa
puas dengan mengharap belas kasihan dari para kapitalis yang tujuan hidupnya
hanya mencari keuntungan. Dalam pandangan izb al-Taḥrīr, syarīʻah tidak
hanya berhubungan dengan peribadatan („ubūdiyyah), tetapi juga tata cara
kehidupan sosial, politik, dan ekonomi.
Sebenarnya tujuan dari syarīʻah adalah ingin menciptakan suatu
masyarakat ideal, yakni masyarakat yang sehat baik secara fisik maupun mental.
Masyarakat ideal yang terpendam dalam cita-cita izb al-Taḥrīr tercermin dalam
23
Jajang Jahroni dan Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Raja
9
suatu konsep yang disebut ummah, yakni sebuah masyarakat yang menjunjung
tinggi peradaban, persatuan, dan nilai-nilai ketuhanan.24
Sementara itu, izb al-Taḥrīr memandang bahwa konsep negara bangsa
(nation-state) yang berkembang pada awal abad ke-20, sama sekali tidak sesuai
dengan cita-cita Islam, sebab dalam konsep tersebut terdapat ide-ide primordial
berdasarkan darah dan tempat kelahiran. Sementara Islam tidak memperkenankan
adanya primordialisme, bahkan menganggapnya sebagai sisa-sisa kepingan
peradaban jāhiliyyah. Adapun ide nasionalisme pertama kali dicetuskan oleh
seorang pemikir Perancis, Ernest Renan, dengan tujuan menggerogoti kekuasaan
Turki Usmani yang saat itu membentang dari Asia sampai Eropa dan Afrika. Pada
saat itu Turki masih merupakan satu-satunya ancaman bagi Barat. Karenanya,
Barat menciptakan konsep nasionalisme agar bangsa-bangsa Islam yang ada di
bawah himpunan kekuasaan Turki Usmani, secara satu per-satu melepaskan diri,
sehingga Barat bisa menghadapi Islam dengan mudah, tanpa hambatan. Bagi izb
al-Taḥrīr, munculnya nasionalisme merupakan sebuah konspirasi untuk
menghancurkan dunia Islam.25
Untuk membangkitkan kembali kekuatan dan kepercayaan diri umat
Islam, adalah dengan menerapkan dan melaksanakan syarīʻahIslam secara kāffah
(menyeluruh, total). Dari penerapan dan pelaksanaan syarīʽah, akan terbentuk
suatu masyarakat ideal, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Akan
tetapi untuk menerapkan dan melaksanakan syarīʻahsecara total, yang kemudian
membentuk masyarakat ideal, diperlukan suatu kekuasaan yang ideal pula, yang
24
Jajang Jahroni dan Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, h. 183-185.
25
dapat menerapkan sistem tersebut. Kekuasaan tersebut kemudian mengambil
bentuk negara, yakni negara ideal.
Untuk mewujudkan hal tersebut, satu-satunya sistem yang tepat adalah
sistem khilāfah. Menegakkan dan melaksanakan syarīʻah secara total, berarti
menuntut berdirinya khilāfah. Mengapa harus khilāfah? Sebab khilāfah adalah
sebuah kekuasaan yang menerapkan syarīʻah Islam secara kāffah. Menurut izb
al-Taḥrīr, bagi umat Islam, mengangkat seorang khalīfah26yang akan memimpin
khilāfah dan menegakkan syarīʽah Islam secara kāffah, merupakan suatu
kebutuhan. Setiap kalalaian dan usaha menghalangi tegaknya khilāfah merupakan
suatu dosa besar.27
Taqī al-Dīn al-Nabhānī28 menegaskan bahwa sesungguhnya kekuatan
pemikiran Islam yang bersanding dengan tharīqah-nya sudah memadai untuk
mendirikan daulah Islam dan mewujudkan kehidupan yang islami. Jika pemikiran
ini telah meresap ke dalam hati, merasuk dalam jiwa, dan menyatu di dalam tubuh
kaum Muslim, maka akan menjadikan Islam hidup dan bisa dipraktekkan dalam
kehidupan. Hanya saja terlebih dahulu kita harus menyempurnakan sejumlah
aktivitas yang sangat besar sebelum mendirikan negara dan harus mencurahkan
semua kekuatan untuk melanjutkan kehidupan yang islami.
Oleh karena itu, usaha untuk mendirikan daulah Islam tidak cukup hanya
dengan membayangkan kesenangan dan harapan saja, dan tidak cukup hanya
26 Khalīfah
secara bahasa berarti wakil Tuhan yang berada di bumi. Lihat Jajang Jahroni
dan Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, h. 187.
27 izb al-Taḥrīr Indonesia,
Manifesto izb al-Ta rīr Untuk Indonesia, (Jakarta: izb al-Taḥrīr Indonesia, 2009), h. 14.
28 Taqī al-Dīn al-Nabhānī adalah pendiri dan pemimpin awal izb al-Taḥrīr, ia lahir pada
1909 M di Ijzim, distrik Haifa, Palestina dan meninggal pada 20 Desember 1977 M di Beirut. Ia secara resmi mendirikan izb al-Taḥrīr pada tahun 1952 M di al-Quds, dan pada tahun 1953 M,
izb al-Taḥrīr didirikannya di Amman. Lihat Jajang Jahroni dan Jamhari, Gerakan Salafi Radikal
11
dengan semangat dan cita-cita untuk melanjutkan kehidupan Islam. Terdapat satu
hal penting yang perlu diperhatikan dan harus dilaksanakan, yakni
memperhitungkan berbagai rintangan yang menghadang di hadapan Islam secara
teliti, sehingga mampu menghilangkannya. Kaum Muslim harus memperhatikan
tentang beratnya konsekuensi yang selalu menunggu orang-orang yang berusaha
bangkit untuk mencapai tujuan tersebut. Pandangan para pemikir harus diarahkan
secara spesifik menuju tanggung jawab yang sangat besar. Setiap pemikir
memberikan sumbangan pemikiran tentang masalah yang penting itu, sehingga
ucapan dan tindakannya berjalan seiring dalam metode yang sama disertai dengan
kesadaran, keinginan, kepastian, dan kedinamisan.29
Pada intinya, menurut izb al-Taḥrīr, kekuasaan khilāfah dapat mengatasi
berbagai persoalan yang dihadapi sekarang ini, utamanya persoalan yang dihadapi
oleh umat Islam. Bila negara-negara Islam berada di bawah satu komando
kekuasaan, maka tindakan-tindakan penjajahan, seperti yang dilakukan Amerika
terhadap Irak akhir-akhir ini, tidak akan pernah terjadi. Seorang juru bicara izb
al-Taḥrīr Indonesia, Ismail Yusanto, menegaskan bahwa khilāfah lebih dari
sekedar membentuk fakta pertahanan atau kerja sama ekonomi regional, akan
tetapi khilāfah bertujuan mewujudkan persaudaraan Muslim sedunia.30
Demikian gambaran singkat mengenai permasalahan yang terjadi di dalam
suatu negara, yang kemudian menimbulkan rasa tidak puas bagi beberapa
golongan, seperti yang dialami izb al-Taḥrīr Indonesia, sehingga mereka
menghendaki adanya sebuah negara ideal yang mampu memperbaiki kehidupan
29 Taqī al-Dīn al-Nabhānī,
Daulah Islam, terj. Umar Faruq (Jakarta: HTI-Press, 2012), h. 330-331.
30
umat, baik secara fisik maupun mental, serta mencapai kebahagiaan di dunia dan
selamat di akhirat.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan, penulis ingin membatasi
masalah yang akan dikaji dalam penelitian berkisar pada „Khilāfah sebagai
Bentuk Negara Ideal Menurut izb al-Taḥrīr Indonesia.’
Selain itu, penulis juga mencoba merumuskan masalah yang akan
disinggung dalam pembahasan, yakni berkaitan dengan: „Bagaimana pandangan
izb al-Taḥrīr Indonesia tentang Khilāfah sebagai Bentuk Negara Ideal yang
didambakan?’
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam lagi hal-hal yang
berkaitan dengan negara ideal, sehingga nantinya para pembaca atau peneliti
lainnya bisa lebih mengenal dan mengetahui secara rinci bahwa memang kajian
tentang negara ideal merupakan kajian yang sangat menarik dan selalu mengacu
kepada berbagai macam pandangan dari beberapa tokoh atau kelompok.
Peneliti berharap dengan hadirnya penelitian ini, dapat menggugah serta
merangsang para pembaca dan peneliti lainnya untuk lebih giat lagi mengkaji
pandangan-pandangan atau konsep-konsep yang berkaitan dengan negara,
utamanya negara ideal, serta pergerakan kelompok Islam seperti izb al-Taḥrīr
13
2. Manfaat
Secara teoritis adanya hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan pengetahuan bagi peneliti pribadi, juga bagi para penggiat dunia
filsafat, utamanya para mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sehingga timbul minat yang besar
untuk mengkaji filsafat dan perkembangan pemikiran atau gerakan-gerakan
modern dalam dunia Islam, serta membangun keahlian di bidang tersebut.
Adapun manfaat secara praktis adalah sebagai berikut: Pertama, bagi
semua pihak di bidang Akademik, khususnya yang menangani Jurusan Aqidah
dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin, diharapkan dengan hadirnya penelitian
ini, dapat mengetahui kebiasaan dan kemampuan para mahasiswa dalam meneliti
dan menganalisa sesuatu yang dianggap bermasalah, sehingga bisa dijadikan
sebagai bahan untuk pembenahan kurikulum kedepannya.
Kedua, bagi pihak perpustakaan, diharapkan hasil penelitian ini, dikoleksi
di perpustakaan sebagai tambahan referensi, juga sebagai bahan evaluasi untuk
menciptakan lingkungan atau kondisi yang nyaman, tenang, aktif, dan kreatif
bagi mahasiswa agar mereka mempunyai minat yang besar dalam hal membaca,
meneliti, menganalisa, dan lainnya, sehingga kualitas mahasiswa meningkat.
Ketiga, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang betapa pentingnya
kebiasaan membaca, meneliti, dan manganalisa suatu masalah dalam segala hal,
D.Tinjauan Pustaka
Sebelum peneliti melakukan penelitian ini, telah ada beberapa peneliti lain
menulis skripsi yang berkaitan dengan konsep khilāfah dan izb al-Taḥrīr
Indonesia.
Pertama, penelitian Rudin Mulyantoro, Mahasiswa UIN Syahid Jakarta,
Fakultas Ushuluddin, Prodi Pemikiran Politik Islam, tahun 2009, dengan judul
Implementasi Syarīʻah Islam dalam Perspektif izb al-Ta rīr Indonesia. Secara
sekilas penelitian tersebut berbicara tentang bagaimana syarīʻahdalam pandangan
izb al-Taḥrīr Indonesia, dan seperti apa seharusnya syarīʻah diberlakukan dan
diterapkan di suatu daerah, utamanya Indonesia. Penelitian tersebut juga
menyinggung tentang bentuk negara dan pemerintahan, serta demokrasi.
Kedua, penelitian Siti Rohanah, Mahasiswi UIN Syahid Jakarta, Fakultas
Syariʻah dan Hukum, Prodi Jinayah Siyasah, tahun 2012, dengan judul
Pandangan Tokoh Islam Indonesia tentang Konsep Khilāfah Taqī al-Dīn al
-Nabhānī. Penelitian ini juga menjelaskan tentang khilāfah. Akan tetapi yang lebih
sentral adalah bagaimana pandangan khilāfahTaqī al-Dīn al-Nabhānī, dan seperti
apa para tokoh Islam Indonesia memandang konsep khilāfah yang dinginkan oleh
Taqī al-Dīn al-Nabhānī. Intinya adalah bagaimana tokoh-tokoh Islam Indonesia
memandang konsep khilāfahTaqī al-Dīn al-Nabhānī.
Demikian skripsi yang penulis temukan saat ini di Perpustakaan Utama
UIN Syahid Jakarta yang berkaitan dengan khilāfah dan izb al-Taḥrīr Indonesia.
Jika dalam kedua skripsi tersebut membahas pandangan tokoh Islam Indonesia
15
Implementasi Syarīʻah Islam dalam Perspektif izb al-Ta rīr Indonesia, maka
lain halnya dengan penelitian yang akan peneliti laksanakan.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin membahas tentang Khilāfah sebagai
Bentuk Negara Idealbeserta sistem dan struktur yang diinginkan dan didambakan
oleh izb al-Taḥrīr Indonesia dengan mengacu kepada konsep-konsep yang
mereka tawarkan, baik dalam manifesto mereka dan yang lainnya.
E. Metode Penelitian
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, yakni dengan melakukan
penelitian pustaka (Library Research), kemudian mengambil beberapa istilah,
keterangan, atau pembahasan khusus pada beberapa bab dan halaman tertentu
yang berkaitan dengan negara ideal, baik dalam data primer maupun sekunder.
Data-data primer yang akan dijadikan rujukan atau referensi utama dalam
penelitian ini, terdiri dari buku karangan Syaikh Taqī al-Dīn al-Nabhānī, seperti
Daulah Islam, Pembentukan Partai Politik Islam, dan lain-lain. Di samping itu
ada juga sumber yang dikeluarkan oleh izb al-Taḥrīr—meskipun merujuk juga
kepada Syaikh Taqī al-Dīn al-Nabhānī—seperti Struktur Negara Khilāfah
(Pemerintahan dan Administrasi) dan Manifesto izb al-Ta rīr untuk Indonesia.
Sedangkan data sekunder terdiri dari beberapa buku yang di dalamnya
membicarakan tentang negara, negara ideal, negara Islam, dan lainnya. Dengan
kata lain, beberapa buku lainnya juga akan dijadikan rujukan atau referensi
tambahan dalam penelitian ini, selama buku tersebut dianggap relevan dan
Dalam penelitian ini, peneliti akan memokuskan kajian dengan
menggunakan beberapa metode penelitian untuk memperolah data.
Pertama, metode deskriptif, yakni suatu metode penelitian yang ditujukan
untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada yang berlangsung pada saat
ini atau saat yang lampau. Penggambaran kondisi bisa secara individual atau
kelompok. Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama,
yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek
yang diteliti secara tepat. Sehingga kesimpulan yang dibuat juga berdasarkan
tujuan yang telah dirumuskan.31
Metode penelitian deskriptif mencoba menerangkan bahwa seluruh hasil
penelitian harus dibahasakan, sebab ada kesatuan antara bahasa dan pikiran,
sebagaimana kesatuan antara jasad dan jiwa. Sebuah pemahaman baru bisa
dikatakan mantap ketika dapat dibahasakan. Suatu pengertian ketika diucapkan
dapat melahirkan pemahaman baru. Demikian juga, pengertian yang dibahasakan
menurut kekhususan dan kekonkritannya, dapat menjadi terbuka bagi pemahaman
umum.32
Kedua, metode analisis, yaitu metode yang dipakai untuk mendapatkan
pengetahuan ilmiah dengan cara mengadakan sebuah perincian terhadap objek
yang diteliti, atau cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan
jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan yang lainnya, dengan
tujuan memperoleh kejelasan mengenai objek yang diteliti tersebut.
31
cahayalaili.blogspot.com/2011/05/teknik-pengolahan-datadeskriptif.html, diakses pada 28 November 2015.
32
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, cet. ke-4
17
Maksud dari metode analisis adalah melakukan pemeriksaan secara
konsepsional atas suatu pernyataan, sehingga dapat diperoleh suatu kejelasan arti
yang terkandung dalam pernyataan itu. Maksud dari analisis secara umum adalah
untuk memperoleh kejelasan arti yang sesungguhnya dalam suatu istilah atau
pendapat. Ketika mencoba memahami sesuatu, maka kita perlu kejelasan tentang
arti yang ingin dipahami dari istilah atau pendapat tertentu.33
Demikian metode yang akan digunakan dalam penelitian ini, dengan
menggunakan kedua metode ini, penulis berharap bisa menghasilkan sebuah karya
tulis yang benar-benar berkualitas.
Mengenai pedoman penulisan proposal dan skripsi, dalam penelitian ini
penulis menggunakan pedoman penulisan yang terdapat dalam “Buku Pedoman
Akademik Strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2012/ 2013.”
Berkaitan dengan pedoman transliterasi, penulis akan mengacu kepada
pedoman transliterasi yang digunakan pada “Jurnal Himpunan Peminat Ilmu
Ushuluddin (HIPIUS).”
F. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini, penulis membagi pembahasan menjadi beberapa bab,
yang deskripsinya dapat dirinci sebagai berikut:
BAB I atau bab pendahuluan, berkaitan dengan latar belakang penelitian,
batasan dan rumusan masalah, tinjauan pustaka, metode penelitian, sumber data
penelitian, pedoman penulisan, dan sistematika penulisan.
33
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, cet. ke-3 (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
BAB II berbicara tentang sejarah singkat kepemimpinan khilāfah mulai
dari khulafā al-rāsyidīn dan seterusnya. Dalam bab ini juga dijelaskan tentang
kemajuan dan kemunduran sistem khilāfah. Di samping itu terdapat juga bahasan
tentang sistem khilāfah masa siapa yang ingin dicontoh oleh izb al-Taḥrīr
Indonesia.
BAB III berbicara tentang sejarah dan perkembangan izb al-Taḥrīr dan
izb al-Taḥrīr Indonesia. Bab ini juga membahas tentang perjuangan dan kiprah
gerakan izb al-Taḥrīr Indonesia dalam upaya menegakkan kembali Khilāfah
Islāmiyyah.
BAB IV berbicara tentang negara ideal menurut izb al-Taḥrīr Indonesia,
kemudian seperti apa pandangan izb al-Taḥrīr Indonesia tentang Khilāfah
beserta hal-hal lainnya yang berkaitan dengannya. Pembahasan dalam bab ini
adalah analisa tentang khilāfah sebagai bentuk negara ideal menurut izb
al-Taḥrīr Indonesia.
BAB V adalah bab penutup. Pembahasan dalam bab ini berkisar pada
19
BAB II
IZB AL-TA R R
DAN IZB AL-TA R R INDONESIA
A. Sejarah Singkat dan Perkembangan izb al-Ta rīr
izb al-Taḥrīr didirikan oleh Syaikh Taqī al-Dīn Ibn Ibrāhīm al-Nabhānī.
Beliau lahir di Ijzim daerah administratif Haifa pada tahun 1913 M. Namun
sebagian besar informasi menyebutkan bahwa beliau lahir pada tahun 1909 M.1
Setelah beliau meninggal dunia pada tahun 1977 M, kepemimpinan izb al-Taḥrīr
berpindah ke tangan Abdul-Qadim Zallum hingga tahun 2003 M, selanjutnya
berpindah ke tangan Atha Abu Rasytah hingga saat ini.2
izb al-Taḥrīr berdiri pada tahun 1953 M di al-Quds Palestina.
Sebelumnya, pada awal tahun berdirinya, izb al-Taḥrīr pernah mengajukan izin
untuk mendirikan partai politik kepada pemerintah Yordania, namun ditolak,
sebab dianggap ilegal. Latar belakang berdirinya izb al-Taḥrīr dapat dilihat dari
dua sisi, yakni historis dan normatif.3
Secara historis, sejak abad ke-19 M, izb al-Taḥrīr melihat umat Islam
berada dalam keterpurukan. Hal ini merupakan akibat dari dominasi penjajahan
Barat terhadap peradaban Islam. Melihat kondisi demikian, banyak gerakan Islam
yang muncul dengan tujuan menyelamatkan Islam dari keterpurukan tersebut.
Akan tetapi, menurut izb al-Taḥrīr, munculnya gerakan-gerakan tersebut tak
1 Abū Zaʽrūr,
Seputar Gerakan Islam, terj. Yahya Abdurrahman, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), h. 205.
2
Ainur Rafiq al-Amin, Membongkar Proyek Khilāfah Ala izb al-Ta rīr di Indonesia,
(Yogyakarta: LKiS, 2012), h. 21. 3
membawa banyak perubahan, justru menambah berbagai problematika bagi umat
Islam sendiri.4
Sedangkan secara normatif, munculnya izb al-Taḥrīr bertujuan untuk
merealisasikan perintah Allah dalam surat Ali Imran ayat 104, sebagai berikut:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.”
Sejak awal berdirinya, izb al-Taḥrīr diklaim oleh pendirinya sekaligus
para aktivisnya sebagai partai politik, bukan sebagai organisasi sosial keagamaan.5
Meskipun sebagai partai politik, izb al-Taḥrīr mempunyai perbedaan mendasar
dengan partai politik lain yang kita kenal. izb al-Taḥrīr adalah partai politik
Islam yang berlandaskan pada transnasionalisme. Pernyataan ini berkaitan dengan
usaha keras izb al-Taḥrīr dalam menyatukan semua wilayah Islam ke dalam satu
kekuasaan politik yang disebut khilāfah.6
Di samping itu, tujuan berdirinya izb al-Taḥrīr adalah untuk
mengembalikan kehidupan Islam melalui dakwah dan jihad. Akan tetapi, dakwah
dan jihad itu tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya sebuah sandaran yang
secara total mendukung Islam. Oleh karenanya, adanya sebuah sandaran berupa
pemerintahan Islam atau Khilāfah Islāmiyyah, menjadi suatu keharusan, agar
4
Ainur Rafiq al-Amin, Membongkar Proyek Khilāfah, h. 21.
5
Afdlal dkk., Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005), h. 265.
6
Jajang Jahroni dan Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Raja
21
dakwah dan jihad yang bertujuan mengembalikan kehidupan Islam itu dapat
terealisasi.7
Sesuai dengan namanya izb al-Taḥrīr, yang berarti partai pembebasan,
memiliki tujuan untuk membebaskan umat manusia dari dominasi paham,
pemikiran, sistem hukum, dan negara kufur, menuju kepada paham, pemikiran,
sistem hukum, dan negara Islam dengan menerapkan syarīʻah Islam secara total
serta mengemban dakwah ke seluruh dunia. Tujuan seperti ini berarti membawa
kembali umat Islam ke dalam kehidupan Islam yang sesungguhnya. Untuk
mencapai kehidupan Islam yang sesungguhnya, umat Islam harus berada di dalam
dār al-Islām dan masyarakat Islam. Semua permasalahan yang ada dalam
kehidupan umat diatur oleh syarīʻah Islam. Metode seperti inilah yang menjadi
satu-satunya solusi untuk membangkitkan kembali semangat umat Islam.8
izb al-Taḥrīr meyakini bahwa Islam diturunkan untuk mengatur segala
aspek kehidupan manusia, sehingga satu-satunya solusi yang ditawarkan untuk
menyelamatkan umat manusia dari kerusakan dan keterpurukan, adalah kembali
kepada syarīʻah Islam. Untuk menerapkan syarīʻah Islam secara total, diperlukan
berdirinya sebuah daulah khilāfah.9
Dalam perjuangannya, izb al-Taḥrīr mengikuti metode atau tharīqah
dakwah yang digunakan oleh Rasulullah dalam menghadapi paham, pemikiran,
atau ideologi yang dilahirkan oleh sistem sekularisme, baik yang berbau
kapitalistik ataupun sosialistik. izb al-Taḥrīr mengungkap secara pelan-pelan
segala paham yang dianggapnya rusak dan bertentangan dengan Islam, seperti
7
Ainur Rafiq al-Amin, Membongkar Proyek Khilāfah, h. 21-22.
8 izb al-Taḥrīr Indonesia,
Manifesto izb al-Ta rīr Untuk Indonesia, (Jakarta: izb al-Taḥrīr Indonesia, 2009), h. 67-68.
9 izb al-Taḥrīr Indonesia,
demokrasi, patriotisme, sosialisme, kapitalisme, dan lain-lain. izb al-Taḥrīr
menentang paham-paham demikian tanpa adanya kompromi ataupun penyesuaian
diri. Dalam perjuangannya, izb al-Taḥrīr sebisa mungkin menjauhi aktifitas
kekerasan, seperti bentrokan, mengadu kekuatan fisik, dan lainnya.10
Dalam mengemban dakwah, izb al-Taḥrīr tidak hanya menyerukan
ideologinya kepada masyarakat umum, tetapi juga kepada orang-orang yang
mempunyai peran politik yang berpengaruh hebat. Bagi izb al-Taḥrīr, orang
yang mempunyai peran politik harus melawan segala bentuk penjajahan, baik
berupa pemikiran atau yang lainnya, dan memberikan dukungan kepada izb
al-Taḥrīr untuk menegakkan kekuasaan Islam. Dengan demikian, keberadaan izb
al-Taḥrīr bisa menjadi representasi bagi umat Islam dalam memperjuangkan
kehidupan Islam yang sesungguhnya.11
Karena perjuangan yang gigih ini, tidak sedikit negara-negara kafir yang
menentang izb al-Taḥrīr, bahkan terus meminta para penguasa tiran di
negeri-negeri Muslim untuk menghentikan dan memberantas segala aktivitas perjuangan
yang dilakukan izb al-Taḥrīr. Penguasa-penguasa tiran tersebut kemudian
mengabulkan permintaan negara-negara kafir yang mempunyai tujuan buruk,
dengan menyebarkan fitnah, penganiayaan, penangkapan, dan pemboikotan. Hal
ini terjadi di berbagai negara, seperti Irak, Suriah, Libya, dan negara-negara lain.
Bahkan di negara seperti Rusia dan Uzbekistan, sejumlah anggota izb al-Taḥrīr
dibunuh.12
Di tengah berbagai persoalan yang dihadapi dalam perjuangan, izb
al-Taḥrīr tetap konsisten, sabar, dan ikhlas. Terbukti dengan melihat perkembangan
10 izb al-Taḥrīr Indonesia,
Manifesto izb al-Ta rīr Untuk Indonesia, h. 68-69.
11 izb al-Taḥrīr Indonesia,
Manifesto izb al-Ta rīr Untuk Indonesia, h. 69-70.
12 izb al-Taḥrīr Indonesia,
23
pesat yang dialami oleh izb al-Taḥrīr, terutama ketika berada dalam
kepemimpinan Abdul Qadim Zallum. Di tangan beliau, izb al-Taḥrīr
mempunyai ribuan anggota pengemban pemikirannya, sedangkan jutaan orang
lainnya menjadi pendukungnya. Di bawah pimpinan amīr kedua ini, izb
al-Taḥrīr telah berkembang di lebih dari 40 negara, dan menjadi partai terbesar di
dunia yang memperjuangkan tegaknya khilāfah. Akhir-akhir ini izb al-Taḥrīr
semakin mendapat tempat di hati umat, terutama setelah mengadakan konferensi
terbesar sepanjang sejarah tentang penegakan khilāfah di Indonesia pada 2007 M.
Terdapat sekitar 100.000 orang yang hadir dan jutaan lainnya mengarahkan
fokusnya pada konferensi yang diselenggarakan tersebut 13
Ada beberapa faktor yang menyebabkan pesatnya perkembangan izb
al-Taḥrīr, di antaranya: Pertama, izb al-Taḥrīr berdiri di atas fikrah (pemikiran)
yang mempunyai batasan yang jelas, sehingga tidak ada kekaburan atau
pembiasan di dalamnya. Bahkan lebih dari itu, izb al-Taḥrīr mempunyai fikrah
yang cemerlang, jernih, dan murni. Hal ini sekaligus membedakan izb al-Taḥrīr
dari gerakan-gerakan lain yang memiliki berbagai promlematika di dalamnya.
Bahkan bagi izb al-Taḥrīr, gerakan-gerakan lain itu berdiri di atas fikrah yang
masih umum tanpa batasan yang jelas, tidak cemerlang, tidak jernih, dan tidak
murni. Kedua, izb al-Taḥrīr memiliki tharīqah (metode) yang khas untuk
penerapan fikrahnya. Dalam menerapkan fikrah-nya, izb al-Taḥrīr menunjukkan
kesiapan yang maksimal, sehingga tidak ada kontradiksi di dalam gerakan.
Mungkin inilah yang menyebabkan izb al-Taḥrīr banyak digandrungi oleh
berbagai kalangan masyarakat. Metode yang diterapkan izb al-Taḥrīr sangat
13 izb al-Taḥrīr Indonesia,
jelas tanpa diliputi kekaburan dan ketidakjelasan. Berbeda dengan
gerakan-gerakan lain yang bergerak dengan banyak diliputi kekaburan dan ketidakjelasan,
bahkan mesin penggerak perjuangannya belum sepenuhnya punya kesadaran yang
benar, hanya mempunyai keinginan dan semangat belaka.14
Segala aktivitas izb al-Taḥrīr adalah demi mewujudkan ideologi mereka
dalam upaya menegakkan Khilāfah Islamiyyah. Bagi izb al-Taḥrīr, ideologi
merupakan harga mati. Karenanya ideologi itu tidak dapat ditawar-tawar. Atas
dasar ini, izb al-Taḥrīr terhitung sebagai partai yang ideologinya berat, bahkan
tidak ada bedanya dengan gerakan-gerakan lain.15
B. izb al-Ta rīr Indonesia dan Kiprah Gerakannya
Mengenai masuknya izb al-Taḥrīr ke Indonesia, tidak diperoleh
keterangan yang pasti. Gerakan ini diperkirakan masuk ke Indonesia pada era
1980-an ketika marak-maraknya gerakan Islam.16 Namun demikian ada pula
pendapat yang menyatakan bahwa datangnya izb al-Taḥrīr ke Indonesia terjadi
melalui proses transmisi ide. Pada awalnya, transmisi ide ini terjadi melalui
kontak antara salah seorang tokoh aktivis izb al-Taḥrīr, yakni ʽAbd al-Raḥmān
al-Baghdādī yang berasal dari Libanon, dengan ʽAbdullah ibn Nūḥ, seorang
peimpinan pesantren al-Ghāzālī, Bogor Jawa Barat. Kontak ini terjadi pada Tahun
80-an ketika Ibnu Nūḥ mengunjungi anaknya yang sedang kuliah di Sydney,
14 Taqī al-Dīn al-Nabhānī,
Pembentukan Partai Politik Islam, terj. Zakaria dkk., cet. ke-6 (Jakarta: izb al-Taḥrīr Indonesia, 2013), h. 5-6.
15
Jajang Jahroni dan Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, h. 180.
16
25
Australia. Kedua tokoh ini mempunyai peran besar dalam penyebaran awal
ide-ide izb al-Taḥrīr di Indonesia.17
Dari pertemuan itu, Ibnu Nūḥ terkesan dengan pengetahuan Islam yang
dimiliki oleh al-Baghdādī. Karenanya, ia mengundang al-Baghdādī ke Indonesia,
tepatnya ke Bogor Jawa Barat untuk membantunya mengembangkan
pesantrennya. Melalui pesantren inilah kemudian al-Baghdādī mulai menyebarkan
ide-ide izb al-Taḥrīr di Indonesia. Pada tahun 1982, al-Baghdādī tiba di
Indonesia dan menyebarkan ajaran izb al-Taḥrīr melalui pesantren Ibnu Nūḥ.
Sasaran pertama dakwahnya adalah para akademisi kampus, utamanya aktivis
mahasiswa Muslim di masjid kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut
Teknologi Bandung (ITB). Semua aktivitas dan kesempatan awal tersebut ia
manfaatkan untuk mengenalkan ide-ide izb al-Taḥrīr kepada mahasiswa.18
Setelah melihat mahasiswa cukup antusias dan mulai tertarik dengan
ide-ide izb al-Taḥrīr, al-Baghdādī dan Ibnu Nūḥ selanjutnya mengorganisir
rekrutmen dan pendidikan secara sistematis melalui training dan halaqah. Basis
utama rekrutmen dan pergerakan izb al-Taḥrīr Indonesia pada awal
perkembangannya adalah masjid IPB. Dari situ kemudian izb al-Taḥrīr
Indonesia menyebarkan gagasannya ke berbagai kampus-kampus umum di Jawa
dan Jakarta, serta ke Sulawesi dan Sumatra melalui Lembaga Dakwah Kampus
(LDK) yang pembentukannya diinisiasi oleh izb al-Taḥrīr Indonesia. Namun
demikian pada awal pergerakannya, al-Baghdādī dan Ibnu Nūḥ tidak memakai
17 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,
Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011), h. 17.
18 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,
nama izb al-Taḥrīr karena mengingat adanya kecurigaan negara terhadap
ekspresi politik Islam pada masa awal Orde Baru.19
Akibat adanya tekanan negara terhadap ekspresi politik Islam dan
aktivisme mahasiswa pada masa Orde Baru, izb al-Taḥrīr Indonesia bergerak
secara sembunyi-sembunyi.20 Meskipun negara tidak pernah melepaskan
pengawasannya terhadap aktivitas gerakan Islam, menurut Ismail Yusanto,
gerakan izb al-Taḥrīr tidak pernah terlacak oleh pemerintah. Salah satu
penyebabnya adalah bahwa para aktivis izb al-Taḥrīr selalu menekankan hidup
low-profile dalam kehidupan sosial masyarakat. Pengalaman pahit yang dialami
oleh para aktivis izb al-Taḥrīr di beberapa negara Timur Tengah, dijadikan
pelajaran berharga oleh izb al-Taḥrīr di Indonesia. Menurut Ismail Yusanto,
ketika masih berada di Timur Tengah, para seniornya bahkan mengubur
buku-buku izb al-Taḥrīr agar tidak terlacak oleh aparat keamanan. Oleh karena itu,
pada awal perkembangannya, izb al-Taḥrīr berusaha menghindari publikasi. Hal
ini menyebabkan banyak anggota izb al-Taḥrīr yang tidak mengenal pemimpin
mereka yang sebenarnya.21
Pada masa Soeharto, izb al-Taḥrīr hanya melakukan aktivitas yang
berkaitan dengan pembinaan anggota dan kaderisasi. Tahap ini bisa dikatakan
sebagai tahap tatsqīf izb al-Taḥrīr di Indonesia. izb al-Taḥrīr Indonesia
bergerak sebagai organisasi bawah tanah yang dipimpin oleh Ibnu Nūḥ hingga
masa wafatnya pada tahun 1987 M, lalu digantikan oleh Muḥammad al-Khaṭṭaṭ,
dan selanjutnya oleh Hāfiẓ „Abd al-Raḥmān. Pada masa awal, izb al-Taḥrīr
Indonesia maupun gerakan Islam lainnya dibangun lewat LDK. Hal ini mengingat
19 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,
Perkembangan Paham Keagamaan, h. 18.
20 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,
Perkembangan Paham Keagamaan, 18. 21
27
bahwa izb al-Taḥrīr datang ke Indonesia beriringan dengan gerakan Islam
lainnya, seperti gerakan Tarbiyyah, Jamāʽah al-Tablīgh, dan kelompok Salafi.
Awalnya tidak ada perbedaan antara gerakan-gerakan tersebut dalam LDK, seperti
pembinaan, pengkaderan dan sebagainya, diadakan bersama-sama dengan tutor
dan subjek yang sama. Namun setelah tahun 1988 M terjadi perpecahan di antara
mereka karena tajamnya perbedaan ideologi.22
izb al-Taḥrīr Indonesia selanjutnya memakai LDK sebagai jaringan
rekrutmen. Bahkan menurut Collins, ide pendirian LDK digagas oleh pimpinan
izb al-Taḥrīr Indonesia. Sebuah LDK di IPB, yakni Badan Kerohanian Islam
Mahasiswa (BKIM) menjadi lembaga penting bagi penyebaran awal ide-ide izb
al-Taḥrīr. Para aktivis BKIM ini intens menghadiri kajian-kajian yang diberikan
oleh Ibnu Nūḥ, bahkan mereka datang ke pesantren al-Ghāzālī untuk belajar pada
Ibnu Nūḥ dan al-Baghdādī. Melalui jaringan LDK Bogor, izb al-Taḥrīr
Indonesia kemudian meneruskan penyebaran ide-idenya kepada
mahasiswa-mahasiswa yang ada di luar Bogor. Melalui jaringan LDK luar Bogor, seperti
LDK Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung, IKIP Malang, Universitas
Airlangga (UNAIR) Surabaya, Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar, dan
Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, bentangan sayap izb al-Taḥrīr
Indonesia semakin melebar dan meluas.23
Demi menjaga jaringan yang terbentuk di kampus-kampus, maka pada
masa berpisah dari gerakan Islam lainnya tahun 1994 M, izb al-Taḥrīr
Indonesia melebarkan dakwahnya ke publik tanpa menggunakan nama izb
al-Taḥrīr. Pada masa ini izb al-Taḥrīr Indonesia membentuk organisasi-organisasi
22 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,
Perkembangan Paham Keagamaan, h. 19.
23 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,
dan aktivitas-aktivitas terselubung, seperti mengadakan seminar-seminar, halaqah
mingguan, penerbitan buku dan pamflet. Meskipun demikian, semua aktivitas
izb al-Taḥrīr pada masa Orde Baru terbatas pada pengenalan ide dan rekrutmen,
tanpa bergerak lebih jauh kepada aksi-aksi atau demonstrasi di jalanan.24
Pasca Reformasi, keadaaan politik di Indonesia berubah total. Momentum
ini dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan Islam untuk memformalkan dan
menampakkan diri ke permukaan setelah lama bersembunyi dan berjalan di bawah
tanah. izb al-Taḥrīr juga tak ketinggalan dalam memanfaatkan momentum ini
untuk keluar dari persembunyiannya. Hal ini dianggap sangat penting agar izb
al-Taḥrīr beserta ide-idenya dikenal oleh masyarakat. Di samping itu, izb
al-Taḥrīr juga ingin berpartisipasi dalam proses transformasi yang berlangsung di
masyarakat.25
Ketika gerakan Islam lainnya mulai muncul ke depan publik pada tahun
1998 M, izb al-Taḥrīr Indonesia malah mulai secara terang-terangan muncul di
tahun 2000-an, terutama ketika menyelenggarakan konferensi internasional
tentang khilāfah di Stadion Senayan Jakarta. Dalam konferensi itu yang diundang
menjadi pembicara antara lain: Dr. Muḥammad ʽUtsmān dan Muḥammad
al-Khaṭtaṭ (Indonesia), Ismail al-Wahwah (Australia), dan Syarif al-Dīn M. Zain
(Malaysia). Sejak tahun 2000 M, perkembangan izb al-Taḥrīr Indonesia terlihat
menonjol dalam kaitannya dengan keanggotaan, media dan operasi. Dalam tahap
ini mereka mulai bergerak dari tahap pembinaan ke tahap interaksi bersama
umat.26
24 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,
Perkembangan Paham Keagamaan, h. 20. 25
Jajang Jahroni dan Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, h. 174.
26 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,
29
Sejak diselenggarakan konferensi internasional di Istora Senayan Jakarta
yang dihadiri oleh para tokoh izb al-Taḥrīr baik nasional maupun internasional
serta para tokoh Islam dari organisasi lain, izb al-Taḥrīr resmi melakukan
aktifitasnya di Indonesia yang kemudian dikenal dengan nama izb al-Taḥrīr
Indonesia. Para tokoh izb al-Taḥrīr Indonesia awal banyak yang bertempat di
Bogor. Usaha mereka dalam menyebarkan ide-idenya disambut baik oleh civitas
academica IPB sehingga salah satu tokoh terkenalnya seperti Muḥammad
al-Khaṭtaṭ adalah alumni dari perguruan tinggi tersebut.27
Untuk saat ini, dalam lingkup nasional, humas izb al-Taḥrīr Indonesia
dipegang oleh Ismail Yusanto, sedangkan untuk lingkungan Jawa Barat dipegang
oleh Muḥammad Syababi. izb al-Taḥrīr Indonesia didirikan dan beroperasi
dengan dana yang berasal dari para simpatisan tanpa meminta dan menerima
bantuan dari pemerintah, bahkan menolak dan mengharamkan bantuan dana dari
pemerintah. izb al-Taḥrīr Indonesia mencoba berkembang secara mandiri. Untuk
menjaga kemandirian dan independensi ini, izb al-Taḥrīr Indonesia harus
melakukan penelitian yang akurat terhadap segala bentuk sumbangan yang
diberikan kepada mereka. Sejak awal, izb al-Taḥrīr Indonesia didesain sebagai
sebuah organisasi politik, namun berbeda dengan organisasi yang dikenal selama
ini. izb al-Taḥrīr Indonesia tidak mendaftarkan diri secara formal sebagai parpol
yang ikut dalam pemilu. Menurut aktivisnya, hal ini dilakukan izb al-Taḥrīr
Indonesia karena situasi saat ini sangat membingungkan umat Islam dengan
kehadiran parpol Islam yang banyak. Karena itu, izb al-Taḥrīr Indonesia tidak
27
mau mengikuti jejak parpol lain yang berlandaskan Islam untuk ikut berpartisipasi
dalam pemilu yang kemudian dapat menjadi anggota legislatif.28
Di samping itu, alasan lain yang menyebabkan izb al-Taḥrīr Indonesia
tidak mengikuti pemilu adalah masalah ideologi. Ideologi bagi izb al-Taḥrīr
Indonesia merupakan harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar. Oleh karena itu
mengadakan kerjasama dengan pemerintah tidak akan mengubah keadaan apapun,
sebab ideologi izb al-Taḥrīr Indonesia tak akan bisa diterapkan secara total
selama masih ada campur tangan lain. Jika demikian adanya, izb al-Taḥrīr
Indonesia lebih baik memilih tidak ikut dalam proses pemilu.29
C. Perjuangan Dakwah izb al-Ta rīr Indonesia
Dalam aktivitas dakwah, izb al-Taḥrīr Indonesia mengedepankan
beberapa tahapan metode yang merupakan senjata utama mereka, diantaranya:
Pertama, tahap tatsqīf (pengkaderan, pembinaan) guna mendapatkan bimbingan,
pembelajaran, dan pemahaman ideologi partai. Kedua, tahap tafāʻul (interaksi)
dengan masyarakat umum, yang bertujuan untuk mengenalkan ideologi partai
kepada masyarakat, sehingga masyarakat menganggap ideologi partai itu sebagai
ideologi mereka. Dengan demikian diharapkan agar ideologi partai dibela oleh
masyarakat ketika menemui hambatan. Ketiga, tahap istilām al-hukmi
(penerimaan kekuasaan) secara menyeluruh melalui dukungan umat, sampai partai
dapat menjadikan pemerintahan sebagai sarana untuk menerapkan ideologinya
atas umat.30
28
Afdlal dkk., Islam dan Radikalisme di Indonesia, h. 266-267.
29
Jajang Jahroni dan Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia,h. 180-181.
30 Taqī al-Dīn al-Nabhānī ,
31
Aktivitas izb al-Taḥrīr Indonesia dalam upaya menegakkan kembali
KhilāfahIslāmiyyah yang sangat menonjol dan masih berlangsung hingga saat ini,
sebagai berikut:
1. Mengorganisir Demonstrasi
Eksistensi izb al-Taḥrīr Indonesia yang paling menonjol di publik adalah
gerakan protesnya di jalanan dalam bentuk pawai dan demonstrasi. Sejak awal
tahun 2000 M, izb al-Taḥrīr Indonesia bisa dikatakan sebagai gerakan Islam
yang paling aktif menyuarakan aspirasi dan tuntutannya di jalanan. Dalam
banyak kasus, aksi jalanan izb al-Taḥrīr Indonesia diatur secara sistematis
dan terorganisir baik pada level nasional maupun provinsi dalam merespon
isu-isu nasional dan internasional.31
2. Menyelenggarakan Seminar dan Diskusi Publik
Aktivitas intelektual izb al-Taḥrīr Indonesia menemukan ekspresinya lewat
seminar dan publikasi. Ini tentu saja merupakan strategi untuk menyebarkan
ide-ide izb Al-Taḥrīr Indonesia dan menarik dukungan dari elemen-elemen
terdidik masyarakat Indonesia. Seminar aktif dilaksanakan mulai dari tingkat
daerah, nasional, dan bahkan internasional dalam merespon isu lokal, nasional,
dan global.32
3. Publikasi Melalui Media
Sarana lainnya yang digunakan izb al-Taḥrīr Indonesia untuk menyampaikan
ide-idenya kepada masyarakat luas adalah media dan publikasi. Ini menjadi
sarana untuk menjaga komunikasi dan kesatuan pemikiran di kalangan
anggota. Media izb al-Taḥrīr Indonesia terdiri dari pamflet, buletin, majalah,
31 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,
Perkembangan Paham Keagamaan, h. 22.
32 Ahmad Syafi’i Mufid, ed.,
tabloid, booklet, buku, DVD, dan websites. izb al-Taḥrīr Indonesia
menerbitkan pamflet mingguan „Buletin al-Islam’ yang biasanya diedarkan ke
masjid-masjid setiap minggunya. Di samping itu izb al-Taḥrīr Indonesia juga
menerbitkan majalah bulanan „al-Wa’ie’(kesadaran) dengan cover mengkilap,
yang di cetak 15.000 exemplar per edisi. Bahkan sejak akhir 2008 M, izb
al-Taḥrīr Indonesia juga menerbitkan sebuah tabloid yang memiliki kualitas
cetak bagus, yang disebut „Media Ummat’. Lebih dari itu mereka juga
menerbitkan buku-buku izb al-Taḥrīr, khususnya buku pendiri izb
al-Taḥrīr dalam bentuk terjemahan dan aslinya. Penerbit-penerbit izb al-Taḥrīr
yang berperan dalam penerbitan buku antara lain: Al-Izzah di Bangil Jawa
Timur, Pustaka Thariqul Izzah dan Mahabbah Cipta Insani di Bogor, serta
belakangan ini ada HTI-Press di Jakarta. Sebagaimana cabang izb al-Taḥrīr
lainnya yang ada di manca negara, izb al-Taḥrīr Indonesia juga mempunyai
websites di